BAGIAN KEEMPAT

BAGIAN KEEMPAT

Kalau bukan karena Pak Handarbeni, boleh j adi Bu Lant ing t ak pernah mendengar nama Haruki Wanibuchi. Overst e purnawira yang berhasil merebut j abat an t erpent ing pada PT Bagi-bagi Niaga bekas sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi, sering menyebut nama it u. Dari Pak Han it ulah Bu Lant ing t ahu bahwa Haruko adalah seorang bint ang f ilm Jepang yang pot ret nya sering

Pak Han, melebihi Naoko Nemot o, geisha yang berunt ung pernah menj adi penghuni Ist ana Negara it u.

"Lho, kok Anda t idak ambil saj a dia dari Jepang? Bukankah bisa diat ur agar Haruko diperhit ungkan sebagai hart a rampasan perang?" demi kian Bu Lant ing pernah bergurau dengan Pak Han "Soal biaya t ak j adi masalah bagi seorang direkt ur PT Bagi-bagi Niaga, bukan?"

"Ndak git u. Unt uk nyicipi seorang gadis Jepang mudah. Aku punya uang. Namun unt uk memboyong dia ke rumah ada halangan polit is, at au halangan t at a krama, at au semacam it u. "

"Kok?"

"Mbakyu lupa kit a orang Jawa? Di Ist ana sudah ada Naoko Nemot o. Nah, bila aku j uga membawa gadis Jepang sepert i Haruko, it u namanya ngembari srengenge, mengembari mat ahari. Kit a orang Jawa pant ang melakukan sesuat u yang merupakan prest ise pribadi Pemimpin Besar. Mau kualat apa?"

"Takut kualat ? Bekas t ent ara dan pej uang kok t akut ?"

"Boleh dibilang begit u. Tet api masalahnya, aku t ak ingin repot . "

"Terus t eranglah. Tak ingin kehilangan kursi direkt ur ut ama PT Bagi-bagi Niaga. Iya, kan?"

"Ah, sudahlah. Yang j elas rumahku yang baru di Slipi masih kosong. Aku ingin segera mengisinya bukan dengan seorang Haruko, cukuplah dengan yang kini

"Saya t ahu, saya t ahu. "

"Kat a t eman-t eman yang sudah punya, hebat lho, Mbakyu. "

"Pernah melihat anak t inggalan t ent ara Jepang yang kini banyak diburu it u?"

"Seorang t eman menunj ukkannya kepadaku. Teman it u sungguh membuat aku merasa iri. Dan dia bil ang Mbakyu-lah pemasoknya. "

"Barang langka selalu menarik. Sepert i benda-benda ant ik. At au bekisar. Dan Anda memint a saya mencarinya?"

"Langka at au t idak, ant ik at au bukan, aku t idak main-main, lho. "

"Saya percaya Anda t idak main-main. Anda but uh bekisar unt uk menghias ist ana Anda yang baru. Ya, bekisar, kan?"

"Bekisar bagaimana?"

"Bekisar kan hasil kawin campur ant ara ayam hut an dan ayam kot a. Yang kini banyak dicari adalah anak blast eran macam it u, bukan? Blast eran Jepang- Melayu. Memang, Pak Han, hasil kawin campur sering menarik. Ent ahlah, barangkali bisa menghadirkan ilusi romant is, at au bahkan ilusi berahi. Khayalan-khayalan kenikmat an berahi. Eh, saya kok j adi saru. "

"Ya, saya t ahu Anda berunt ung, punya biaya unt uk menghadirkan apa saj a unt uk bersenang-senang. "

"Nasib, Mbakyu. Barangkah memang sudah j adi nasib. Aku merasa sej ak muda nasibku baik. Dulu, pada zaman perang kemerdekaan aku melepaskan kart u domino unt uk bergabung dengan para pej uang sekadar ikut ramai-ramai. Yang pent ing gagah-gagahan. Dan kalau kebet ulan ada kont ak senj at a aku senang karena, rasanya, aku sedang main pet asan. Juj ur saj a, sej ak dul u aku lebih menikmat i bunyi pet asan daripada yang dibilang orang sebagai perj uangan. Pokoknya aku ikut grudak-gruduk, dar-der-dor, dan lari. Orang muda kan suka yang rusuh dan brut al. Banyak t emanku mat i, eh, aku sekali pun t ak pernah t erluka. Malah dapat pangkat let nan. Dan kini. . . "

"Dapat kursi direkt ur ut ama. . . "

"He-heh-heh. . . Nasib, Mbakyu, nasib. "

Dan hanya t iga bulan sej ak pembicaraan it u, pagi ini Bu Lant ing mengirimkan pot ret Lasi kepada Pak Han melalui si Kacamat a. Dalam pengant arnya Bu Lant ing menulis, apabila suka dengan cal on yang disodorkan, Pak Han harus lebih dulu menepat i j anj i. Pak Han harus menyerahkan kepada Bu Lant ing Mercedes-nya yang baru. Plus biaya operasi pencarian sekian j ut a. Bila t ak dipenuhi, calon akan diberikan kepada orang lain, salah seorang bos Permina, perusahaan minyak milik negara.

Di ruang kerj anya, Handarbeni mengamat i t iga f ot o yang baru dit erimanya. Sat u f ot o seluruh badan, sat u f ot o set engahnya, dan sat u lagi f ot o waj ah cl ose- up. Mat a lelaki 61 t ahun it u menyala. Tersenyum. Waj ahnya hidup. Lal u bangkit dan berj alan ke arah cermin dan menyisir rambut nya yang sudah j arang t et api sel al u bersemir. Merapikan leher baj unya. Dan kembali ke mej a unt uk menat ap t iga f ot o Lasi.

Nyat a benar yang t ergambar di sana bukan Haruko Wanibuchi meski t erkesan penuh sebagai seorang gadis Jepang, bahkan alis dan rambut nya dirias mirip akt ris f ilm negeri Sakura it u. Merah kimononya persis yang dipakai Haruko dalam penampilannya pada sebuah kalender. Tet api secara keseluruhan daya t arik yang muncul sama. At au bahkan lebih kuat ?

Ada keluguan, at au kemalu-mal uan sehingga perempuan dalam f ot o it u t erkesan t idak t erlalu masak. Ah, Overst e Purnawira Handarbeni sudah kenyang pengalaman. Menghadapi perempuan yang kelewat mat ang sering menyebalkan. Perempuan dalam f ot o it u j uga menampilkan sesuat u yang t erasa ingin disembunyikan, dit ahan-t ahan pada senyumnya yang set engah j adi. Cit ra keluguan perempuan kampung? Mungkin. Ah, Handarbeni t eringat seloroh seorang t eman. "Kenapa, ya, ayam kampung kok lebih enak daripada broiller? Apa karena ayam kampung t et ap makan cacing dan serangga sement ara broiller diberi makanan buat an pabrik?"

At au, hanya karena sudah t erlalu lama ngebet dengan seorang gadis Jepang, di mat a Handarbeni perempuan dalam f ot o it u menj adi sangat cant ik?

Handarbeni meraih t elepon, memut ar nomor dengan t ergesa dan kelihat an kurang sabar menant i Bu Lant ing mengangkat pesawat nya.

"Aku sudah melihat pot ret it u. Ah, boleh j uga. Aku ingin bert emu dengan orangnya. Di mana? Di sit u?"

"Eh, sabar, Raden. Perhat ikan dulu baik-baik. Sebab meski ayahnya seorang Jepang t ul en bet apa j uga dia bukan Haruko. "

"Tapi mirip, kok. "

"Tak apa. Tak apa. Yang pent ing dia sangat mengesankan. Siapa namanya?"

"Las, Lasi. . . ah, bahkan saya lupa nama lengkapnya. Yang j elas, umurnya 24 dan masih punya suami. "

"Tak urusan! Yang kut anya, di mana dia? Kapan aku bisa bert emu?"

"Pak Han, sudah saya bilang, sabar! Bekisar Anda ada di suat u t empat dan belum akrab dengan suasana Jakart a. Dia belum j inak. Saya sendiri harus penuh perhit ungan dalam menanganinya. Sebab, salah-salah dia bisa t ak kerasan dan t erbang lagi ke hut an. "

"Ya, ya. Tet api sekadar ingin lihat , boleh, kan?"

"It u bisa diat ur. Pak Han, pada t ahap pert ama ini saya hanya ingin bilang bahwa bekisar pesanan Anda sudah saya dapat . Dan agaknya Anda berminat . Begit u?"

"Ya, ya. "

"Terima kasih. Eh. Jangan l upa j anj i, l ho. "

"Tent u, t ent u. Kapan bisa kukirim? At au Mbakyu ambil?" "Tent u, t ent u. Kapan bisa kukirim? At au Mbakyu ambil?"

Dan Bu Lant ing melet akkan gagang t elepon.

Tersenyum, dan mendesah panj ang. Niaga yang berliku dan rumit sudah memperlihat kan bayangan keunt ungan. Si t ua Handarbeni yang berkant ong sangat t ebal bernaf su t erhadap bekisar dari Karangsoga. Namun pada saat yang sama Bu Lant ing sadar, pekerj aan belum selesai bahkan sedang memasuki t ahapan peka. Bu Lant ing t ahu, berdasarkan pengal aman ada kemungkinan bekisarnya t idak bisa j inak; menolak lelaki yang menghendakinya. Tet api berdasarkan pengalaman pula Bu Lant ing mengert i, kemakmuran adalah umpan yang sangat manj ur unt uk menj inakkan bekisar-bekisar kampung yang kebanyakan punya l at ar kemelarat an.

Bu Lant ing makin sering mengaj ak Lasi kel uar; makan-makan di rest oran, belanj a di Pasaraya, at au beranj ang-sana ke rumah t eman. At au menghadiri resepsi perkawinan di gedung pert emuan yang megah. Lasi mulai t erbiasa dengan sepat u, j am t angan, sert a sudah bisa berbicara lewat t elepon dan menghidupkan t elevisi. Bu Lant ing mengamat inya dengan saksama dan yakin bekisar it u menikmat i semuanya. Kadang Bu Lant ing t ersenyum bil a memperhat ikan perubahan f isik bekisarnya. Put ih kulit nya makin hidup. Rambut nya bercahaya, dan bila t ersenyum gigi Lasi sudah put ih dan begit u indah. Tumit nya yang dulu pipih dan pecah-pecah sudah membent uk bulat t elur dan halus. Lasi sudah lain, meski sisa kecanggungannya masih t ampak bila berhadapan dengan orang yang t ak dikenal nya. Dan kemarin Bu Lant ing mendengar Lasi bernyanyi kecil menirukan biduan di t elevisi. "Bekisarku sudah j inak dan bet ah di kot a. "

Bu Lant ing t eringat Handarbeni yang sudah berkali-kal i menelepon ingin diberi kesempaLan melihat Lasi. Kemarin-kemarin Bu Lant ing selalu berusaha menunda pert emuan it u, khawat ir segalanya belum siap. Tet api sekarang lain; Bu Lant ing percaya sit uasinya sudah mat ang. Sudah t iba saat nya Handarbeni dipert emukan dengan bekisar yang ingin dibelinya. Telepon pun diangkat unt uk memberit ahu Handarbeni bahwa lelaki it u boleh bert emu Lasi nant i sore di rumah Bu Lant ing sendiri.

"Jadi selama ini bekisar it u ada di rumahmu?"

"Ya. Kenapa?"

"Kalau aku t ahu begit u, sej ak dulu aku ke sit u dengan at au t anpa izinmu. "

"Sudahlah. Nant i sore Anda bisa melihat nya. Tet api t ol ong, Pak Han, hal uslah cara pendekat an Anda. "

"Halus bagaimana?"

"Halus, ya t idak kasar. Soal nya saya belum bilang apa-apa kepada Lasi. Menyebut nama at au gambaran t ent ang Anda pun belum. "

"Jadi aku harus bagaimana?"

"Bert amul ah sepert i biasa sebagai t eman saya j am lima sore nant i. "

"Mengapa harus nant i sore? Sekarang bagaimana?"

"Saya mengert i, Pak Han, Anda t idak sabar. Tet api j angan sekarang. Sungguh. Kami t idak siap. "

"Baik, nant i sore pun j adilah. Dan apakah aku perlu membawa ol eh-oleh?"

"Bila Anda sediakan buat saya, boleh. Boleh. Tet api bukan unt uk Lasi. Tak lucu, baru bert emu langsung memberi ol eh-oleh. Lagi pula Anda harus yakin dulu bahwa bekisar it u memang pant as mengisi rumah Anda yang baru. Sej auh ini Anda baru melihat f ot onya, bukan?"

Jam lima sore. Namun belum lagi j am t iga Bu Lant ing sudah memint a Lasi mandi. Lasi mengira dirinya akan diaj ak kel uar karena hal it u sudah t erlalu sering t erj adi. Apalagi selesai mandi Lasi melihat induk semangnya sudah berdandan. Dan pert anyaan mul ai muncul dalam hat i Lasi ket ika Bu Lant ing menyuruhnya mengenakan kimono. Lasi bel um pernah diaj ak pergi dengan pakaian sepert i it u.

"Kit a mau ke mana sih, Bu? Saya kok pakai kimono?"

"Tidak ke mana-mana, Las. Kit a t idak akan pergi. Aku mau menerima t amu. Tamuku ingin melihat cara orang memakai baj u adat Jepang ini. "

"Teman Ibu?"

"Ya t ent u, Las. Masakan aku menerima t amu yang belum kukenal. Dia lel aki yang baik, Las. "

Lasi agak t erkej ut . "Laki-laki?"

"Ya, laki-l aki. Mengapa heran? Las, t emanku bahkan l ebih banyak lelaki daripada perempuan. Dan yang akan dat ang nant i orangnya baik. Sangat kaya. Rumahnya ada empat at au lima. Pokoknya sangat kaya. Nah, kamu lihat , semua t emanku adalah orang-orang sepert i it u. "

Dan orang sepert i it u ingin melihat aku dalam pakaian kimono? pikir Lasi.

Tet api Lasi kehabisan kat a-kat a. Lasi t et ap duduk dan diam sampai Bu Lant ing menyuruhnya masuk ke kamar dan mulai berdandan. Tak lama kemudian Bu Lant ing pun ikut masuk, membant u Lasi merias waj ah dan menat a rambut . Bu Lant ing harus lebih banyak campur t angan ket ika Lasi mulai memasang kimono merahnya.

"Las, aku t ak pernah bosan mengat akan kamu memang gadis Jepang. "

"Apa iya, Bu?"

"Bet ul. "

"Bila saya memang gadis Jepang, bagaimana?"

"Banyak yang mau! "

Lasi t erdiam, merapikan pakaiannya, lalu berj alan ke depan kaca.

"Las, bagaimana bila ada lelaki mau sama kamu? Soal nya, sudah kubilang, kamu masih sangat muda dan menarik. Ti dak aneh bil a akan ada lelaki, bahkan mungkin yang kaya, melirik kepadamu. "

Lasi t idak segera menj awab. "Bu, saya bel um berpikir t ent ang suami. Ibu t ahu, kan, saya l ari ke sini pun gara-gara suami. "

"Aku mengert i, Las. Cuma, salahmu sendiri mengapa kamu cant ik. Jadi salira- mu sendiri yang mengundang para lelaki. Ah, begini saj a, Las. Kel ak kamu kubant u memilih lelaki yang pant as j adi suamimu. Bet ul, kamu akan kubant u. "

"Ibu kok aneh. Saya belum punya surat j anda, l ho. "

Bu Lant ing t ert awa.

"Bagi seorang lelaki yang berduit , surat j anda bukan masalah. Kamu akan segera memperolehnya kapan kamu suka. "

"Sudah cukup, Bu?" kat a Lasi mengalihkan pembicaraan.

"Ya, sudah. Dan, Las, sekarang baru j am empat kurang. Kamu t inggal dan menunggu t amu it u. Aku mau kel uar sebent ar. Sebent ar. . . "

"Keluar? Bagaimana. . . "

"Tak lama. Bet ul. Syukur aku bisa kembali sebelum t amu it u dat ang. Bila t idak, t olong wakili aku menerimanya dan t unggu sampai aku kembali. "

"Tet api saya malu, Bu. "

"Eh, t idak boleh begit u. Kamu sudah lama j adi anakku, kenapa masih malu bert emu orang? Lagian kamu t ak punya sesuat u yang memalukan. Kamu cant ik.

Lasi masih ingin mengelak namun Bu Lant ing sudah bergerak membelakanginya. Lasi hanya bisa memandang induk semangnya meraih t as t angan di mej a t engah, berj alan sepert i bebek manila, keluar halaman, dan melambaikan t angan di pinggir j alan raya unt uk menghent ikan sebuah t aksi. Suara rem berdecit . Kemudian suara pint u mobil dit ut up dan derum t aksi yang menj auh.

Duduk di kamar seorang diri, Lasi merasa ada kerusuhan besar dalam hat inya. Takut t ak mampu mewakili Bu Lant ing menerima t amunya. Takut berhadapan dengan lel aki yang belum dikenal, dan siapa dia sebenarnya? Lasi gelisah. Lasi bangkit dan duduk lagi di depan cermin besar. Dipandangnya kembaran dirinya dalam kaca, dan t iba-t iba rasa t akut nya malah menyesakkan dada. "Jangan- j angan Bu Lant ing benar, sekarang aku cant ik. Dan sebent ar lagi ada laki-l aki dat ang unt uk melihat aku memakai kimono?" Lasi makin gelisah.

Lamunan Lasi mendadak t erput us ket ika t erdengar bel berdering. Duh, Gust i, t amu it u dat ang. Lho? Ini bel um lagi j am set engah lima? Lasi bergegas menuj u ruang depan, menenangkan diri sej enak, lalu memut ar t ombol pint u.

Lalu t erperanj at . Kedua mat anya t erpaku pada seorang lelaki yang berdiri kurang dari dua met er di depannya. Jelas sekali lelaki it u j uga kaget , sama sepert i yang dirasakan Lasi. Keduanya saling t at ap pada kedalaman mat a masing-masing. Keduanya seakan mat i langkah. Bibir Lasi berget ar.

Dalam pel upuk mat anya yang t erbuka lebar t iba-t iba Lasi melihat dirinya masih seorang bocah sedang berlari di malam t erang bulan. Di belakangnya menyusul seorang bocah lelaki yang mont ok dan ingin bersembunyi bersama dalam permainan kucing-kucingan. Lasi merasa geli sebab t eman ciliknya it u t erlalu rapat menempel ke t ubuhnya.

Bayangan masa kanak-kanak t erus bermain di mat a Lasi, t et api ia mendengar lelaki di depannya mendesah panj ang. Lelaki it u kelihat an sudah kenbali

"Las. "

"Kanj at ? Oalah, Gust i, aku agak pangling! " Lasi bergerak ingin menepuk pundak Kanj at , t et api gerakannya t ert ahan. Anehnya Lasi membiarkan t angannya l ama dalam genggaman Kanj at .

"Ya, aku t adi j uga pangling. "

"Kok kamu t ahu aku berada di sini?"

"Bu Koneng yang memberikan alamat rumah ini. "

"Bu Koneng?"

"Ya. Aku ikut Pardi mengangkut gula. Pardi memang biasa ist irahat di warung Bu Koneng. Tet api t adi kami harus bert engkar dulu dengan pemilik warung makan it u. "

"Bert engkar?"

"Ya. Karena pada mul anya perempuan it u bersikeras t ak mau menunj ukkan di mana kamu berada. Pardi mengancam akan memanggil polisi bila Bu Koneng t et ap ngot ot . " "Ya. Karena pada mul anya perempuan it u bersikeras t ak mau menunj ukkan di mana kamu berada. Pardi mengancam akan memanggil polisi bila Bu Koneng t et ap ngot ot . "

"Ah, aku sangat senang karena kamu dat ang. Kamu sudah gede, gagah. Eh! Kamu t ahu bagaimana keadaan Emak?"

Kanj at masih canggung. Ia j adi salah t ingkah. Meski sudah yakin siapa yang berdiri di depannya, Kanj at masih sulit percaya bahwa perempuan cant ik dengan kimono merah it u adalah Lasi. Sej ak diberit ahu oleh Bu Koneng bahwa Lasi t inggal bersama seorang kaya, Kanj at punya kesimpulan Lasi bekerj a menj adi pembant u rumah t angga. Tet api sosok yang kini berdiri di depannya sama sekali t idak memperlihat kan t anda-t anda seorang babu. Dalam rias dan busana sepert i it u Lasi bahkan membuat j ant ung Kanj at berkisar-kisar. Lekuk pipi Lasi yang sej ak dulu sangat manis di mat a Kanj at t erkesan bert ambah indah. Lasi sepert i kayu dipoles pernis; masih t ampak pola garis serat nya t et api t erlihat j auh lebih t erawat dan indah. Kanj at menelan ludah.

"Eh, Jat , maaf . Ayo masuk. Kamu bert amu di rumah ini dan aku, anggapl ah yang punya rumah, karena Ibu kebet ulan bel um lama keluar. "

Kanj at hanya t ersenyum. Mat anya t et ap pada sekuj ur t ubuh Lasi. Yang diamat i j adi rikuh. Lasi salah t ingkah.

"Maaf , Jat , apakah aku kelihat an nganyar-anyari? At au malah aneh? Lucu?"

Kanj at t iaak bisa menj awab. Dan menunduk ket ika pandangannya t ersambar mat a Lasi yang bercahaya.

"Kamu pant as menj adi nyonya rumah ini, " gumam Kanj at .

"Kamu pant as j adi nyonya rumah ini, " ulang Kanj at .

Waj ah Lasi memerah.

"Ayolah masuk. At au kamu lebih suka duduk di t eras ini?"

Kanj at mengangguk l alu mengambil kursi rot an yang ada di dekat nya. Lasi pun duduk berseberangan mej a yang kecil dan l onj ong.

"Jat , kamu belum menj awab pert anyaanku. Bagaimana keadaan Emak?"

"Baik. Kemarin masih kulihat emakmu menj ual gula. Dan dari pembicaraannya aku t ahu dia susah karena kamu t inggal pergi. "

Lasi menel an ludah.

"Emak t ahu bahwa kamu akan dat ang kemari?" t anya Lasi.

Kanj at menggeleng.

"Jadi kamu dat ang kemari t anpa pesan apa pun unt uk aku?" "Jadi kamu dat ang kemari t anpa pesan apa pun unt uk aku?"

"Jadi kamu dat ang kemari hanya karena ingin ket emu aku? At au apa?"

Kanj at mengangguk l agi. Dan senyumnya t ert ahan.

"Kamu t ak suka aku dat ang?"

"Oh, t idak. Tidak. . . "

Lasi t ak bisa meneruskan ucapannya. Mendadak hat inya ikut rusuh. Keduanya membisu. Dan lengang. Tet api kadang Kanj at mencuri pandang. Mereka bert ukar senyum. Hat i Lasi j uga riuh. Ah, kenangan masa kanak-kanak. Dulu, bila ada anak Karangsoga yang t idak ikut -ikut an meleceh Lasi, dialah Kanj at . Dulu, bila ada bocah yang berusaha membela ket ika Lasi diganggu anak nakal, Kanj at lah dia. Dan dulu, bila ada anak Pak Tir yang bongsor dan lucu sehingga Lasi senang menganggapnya sebagai adik, Kanj at j uga orangnya. Bahkan kal au bukan malu karena merasa dirinya anak miskin, sesungguhnya sej ak dulu Lasi ingin selal u manis pada Kanj at .

"Las, aku sendiri t ak bisa mengat akan dengan past i mengapa aku dat ang kemari. Mungkin hanya karena aku ingin melihat kamu. At au ent ahlah. "

Lasi diam, mendengarkan Kanj at yang berbicara sambil menunduk dan gelisah.

"Tet api set elah sampai kemari aku t ahu j awabnya. Aku ingin kamu kembali ke Karangsoga. Eh, t et api hal it u t erserah kamu. Apalagi suamimu sudah mengawini Sipah. Oh, maaf . Aku t ak sengaj a memberi kamu kabar buruk. "

Lasi mengerut kan kening dan mat anya menyempit . Napasnya yang pendek- pendek mewakili ombak besar yang t iba-t iba melanda hat inya. Air mat anya t erbit karena luka lama yang t ak sengaj a t ergesek keras.

"Las, kalau aku boleh bert anya, bagaimana cerit a sampai kamu t inggal di rumah ini?"

"Bu Koneng t idak mengat akannya kepadamu?"

"Dia, set elah kami desak-desak, mengat akan kamu ikut Bu Lant ing. Tak ada cerit a lainnya. "

"Memang begit u. Aku ikut Ibu pemilik rumah ini dan dia menganggapku sebagai anaknya. Di sini aku t idak bekerj a apa pun kecuali menemani Ibu j alan-j alan dan memel ihara bunga. "

Kanj at diam. Tet api hat inya t et ap rusuh.

"Jadi kamu bet ah t inggal di sini?"

"Bagaimana, ya? Aku t ak bisa menj elaskannya. Aku hanya merasa lebih baik berada di sini daripada t inggal di rumah karena bagiku amat lah sulit dimadu bareng sabumi, dimadu dalam sat u kampung. Tet api, Jat , mengapa kamu bert anya sepert i it u?"

Kanj at menunduk. Sesungguhnya ia ingin berkat a bahwa ia menduga mungkin ada sesuat u di balik kebaikan Bu Lant ing t erhadap Lasi. Namun perasaan it u

"Aku j uga t idak bisa menj elaskannya. Yang bisa kukat akan, aku punya keinginan kamu kembali ke Karangsoga. Pul anglah ke rumah emakmu bila t ak ingin berkumpul kembali dengan suamimu. "

Lasi menggeleng dan menggel eng. Tangannya sibuk menghapus air mat a yang t iba-t iba keluar menderas.

"Kenapa?"

"Jat , " j awab Lasi set elah lama hanya sibuk dengan air mat anya. "Unt uk apa aku pulang? Tak ada guna, bukan? Rumah t anggaku sudah hancur. Suamiku t ak bisa lagi kupercaya. Dan aku anak orang miskin yang menderit a sej ak aku masih kecil. Bila aku kembali aku merasa past i semua orang Karangsoga t et ap sepert i dulu at au malah lebih: senang menyakit i aku. "

"Las, kamu j angan berkat a sepert i it u karena aku pun anak Karangsoga. "

"Maaf . Kamu memang sat u-sat unya. . . "

Tiba-t iba Lasi berhent i berkat a. Mat anya yang redup menat ap Kanj at dengan pandangan yang dalam. Ent ah mengapa Lasi merasa ingin mengulang masa kanak-kanak, mint a perlidungan Kanj at bila menghadapi gangguan anak nakal. Berput ar kembali dengan j elas rekaman pengalaman masa bocah: Lasi bergegas pulang sekolah, siap melint as t it ian pi nang sebat ang. Tet api di seberang sudah berdiri t iga anak lelaki merint ang j alan. Seorang lagi yang paling kecil kelihat an bimbang. Lasi mengusir t iga anak lelaki it u set elah menakut i mereka dengan kayu penggaris. Anak yang paling kecil kelihat an ingin membela Lasi t et api t ak berdaya. Si kecil Kanj at hanya t erpaku dan mint a dimengert i dirinya t idak ikut nakal. Tet api dul u Kanj at lebih kecil. Sekarang anak it u sudah j adi lelaki berbadan besar, berkumis, dan lengannya berbulu.

"Jat , bagaimana sekol ahmu?"

"Alhamdulillah, hampir selesai. Las, sebent ar iagi aku insinyur. "

"Oh? Syukur. Kamu bahkan hampir insinyur. Nah, sekarang aku j adi ingin bert anya. Kamu anak orang kaya, calon insinyur, lalu mcngapa kamu mau bersusah payah mencari aku di sini? Aku yang sej ak bocah selalu diremehkan oleh orang Karangsoga! "

"Las! "

Lasi menangis lagi. Pipinya yang put ih merona merah. Kanj at t erpoj ok oleh pert anyaan Lasi sehingga ia t ak mudah menemukan kat a unt uk diucapkan.

"Maaf kan, Las, aku t ak bisa menj awab pert anyaanmu. Malah aku balik bert anya. Sebenarnya kamu mau pulang apa t idak?"

Kali ini pun Lasi hanya menggel engkan kepala. Mat anya yang merah melekat pada waj ah Kanj at . Ingin dicarinya sasmit a yang bisa menerangkan mengapa Kanj at t erus mengaj aknya pulang. Samar, sangat samar, Lasi menangkap apa yang dicari pada senyum dan mat a Kanj at . Dada Lasi berdenyut . "Ah, t et api bet ulkah perasaanku? Sej at ikah sasmit a sekilas yang kut angkap dari kedua mat a Kanj at ? Mungkin t idak. Aku hanya seorang j anda kepal ang, melarat , dan malah dua t ahun l ebih t ua. Dia perj aka, t erpelaj ar, dan anak orang paling kaya di Karangsoga. Must ahil dia menaruh harapan kepadaku. Dia dengan mudah dapat menemukan gadis yang lebih muda dan sepadan. Tidak! "

"Bagaimana, Las?"

"Jat , aku bungah kamu menyusul aku kemari. Tet api aku t idak ingin pulang. Biarlah aku di sini. Aku ingin ngisis dari kegerahan hidupku sendiri. "

"Tidak kasihan sama Emak? Dia kelihat an begit u menderit a. "

Hening. Lasi menunduk dan mengusap mat a.

"Jadi sudah t idak bisa dit awar l agi, kamu t idak mau pulang?"

Lasi mengangguk. Kanj at menyandar ke bel akang. Waj ahnya bunt u. Kanj at kelihat an sulit meneruskan pembicaraan.

"Baiklah, Las. Jauh-j auh aku dat ang kemari memang hanya unt uk memint a kamu pulang. Tet api bila kamu t ak mau, aku menghargai keinginanmu t inggal di sini. Meski begit u apakah aku boleh sekal i-sekali dat ang lagi kemari?"

"Oalah, Gust i, aku senang bila kamu t idak melupakan aku. Seringlah dat ang lagi. Aku j uga t idak akan lupa kamu. Dan kamu t idak marah, bukan? Jat , aku khawat ir kamu marah. "

Kanj at menggelengkan kepala dan t ersenyum t awar l alu bangkit sambil menyodorkan t angan mint a bersalaman. Lasi t erkej ut .

"Mau pulang?"

"Ya, sudah cukup. Kasihan Pardi yang sudah lama menungguku. "

"Tet api bet ul, kan, kamu t idak marah?"

"Bet ul. " Dan Kanj at t ersenyum paksa.

"Nant i dul u. . . "

Lasi lari ke dalam dan muncul l agi dengan sebuah f ot o di t angan. "Aku t it ip ini buat Emak. Tolong sampaikan. Tolong j uga kat akan aku baik-baik di sini. "

Kanj at memperhat ikan f ot o Lasi dalam kimono merah it u. Tak pernah t erkirakan Lasi bisa menj adi demikian menarik. Kanj at menggigit bibir.

"Maaf , Lis, bagaimana bila f ot o ini kumint a?"

Lasi t erpana. Mulut nya komat -kamit t anpa bunyi.

"Kamu suka?"

Kanj at mengangguk. Dan senyumnya membuat waj ah Lasi merah.

"Bila suka, ambillah. Tet api j angan dirusak, ya. Dan apa kamu j uga mau memberi aku f ot omu?"

"Sayang aku t idak membawanya. Oh, t unggu. "

Tangan Kanj at merogoh dompet di saku bel akang, membukanya dengan t ergesa. Senyumnya mengembang ket ika ket emu apa yang dicarinya. Sebuah pasf ot o dirinya dalam hem put ih dan dasi hit am. Mat a Lasi berbinar ket ika menerima l alu menat ap f ot o it u.

Kanj at t ersenyum sambil memasukkan f ot o Lasi ke dalam saku baj unya, menat apnya dengan mat a bercahaya, lalu mint a diri.

Lasi t ak menemukan kat a-kat a unt uk melepas Kanj at . Keduanya hanya beradu pandang. Bert ukar senyum. Tangan Lasi berkeringat ket ika berj abat . Mat anya t erus mengikut i Kanj at yang berj alan meninggalkannya. Kanj at t erus melangkah t anpa sekali pun menoleh ke belakang dan menghilang di balik pagar halaman. Pada saat yang sama Lasi memej amkan mat a rapat -rapat .

Kembali duduk seorang diri Lasi malah j adi bimbang. Lasi menyesal t idak mint a ket egasan Kanj at mengapa anak Pak Tir it u dat ang dan memint anya pulang. Tanpa maksud t crt ent u rasanya t ak mungkin Kanj at bersusah payah dat ang diri Karangsoga. Lalu mengapa Kanj at t idak bert erus t erang? "Karena bagaimana j uga Kanj at t ahu aku masih ist ri Darsa?" Ah, ya. Lasi j uga menyesal mengapa t erlalu cepat menolak diaj ak Kanj at pulang. Padahal pulang sebent ar bersama Kanj at berart i kesempat an melihat keadaan Emak at au bahkan membereskan urusannya dengan Darsa.

Angan-angan Lasi bubrah ket ika sebuah mobil biru t ua masuk ke halaman. Jam lima kurang sedikit . Lasi sadar t amu yang harus disambut nya sudah dat ang. Sebelum t amu it u t urun dari mobilnya Lasi bergegas masuk unt uk menghapus sisa t angisnya. Rias yang rusak cepat diperbaiki sebisanya. Lalu keluar unt uk membuka pint u depan. Dan t amu it u sudah berdiri di t eras. Hal pert ama yang t erkesan ol eh Lasi adalah cincin emas besar dengan bat u berwarna biru melingkar di j arinya. Jam t angannya pun kuning emas. Lalu t ubuhnya yang Angan-angan Lasi bubrah ket ika sebuah mobil biru t ua masuk ke halaman. Jam lima kurang sedikit . Lasi sadar t amu yang harus disambut nya sudah dat ang. Sebelum t amu it u t urun dari mobilnya Lasi bergegas masuk unt uk menghapus sisa t angisnya. Rias yang rusak cepat diperbaiki sebisanya. Lalu keluar unt uk membuka pint u depan. Dan t amu it u sudah berdiri di t eras. Hal pert ama yang t erkesan ol eh Lasi adalah cincin emas besar dengan bat u berwarna biru melingkar di j arinya. Jam t angannya pun kuning emas. Lalu t ubuhnya yang

Lasi merasa t at apan t amu it u sekilas menyambar mat a dan menyapu sekuj ur t ubuhnya. Tet api hanya sej enak. Det ik berikut t amu it u sudah t ersenyum sepert i seorang guru t ua sedang memuj i muridnya yang pandai dan cant ik. Senyum it u mencairkan kegugupan Lasi.

"Selamat sore, aku Pak Han, " sal am Handarbeni. Senyumnya mengembang lagi.

"Selamat sore, Pak. Mari masuk. "

"Terima kasih. Tet api nant i dulu. Aku mau bilang, Bu Lant ing berunt ung. Dia bilang punya anak angkat yang cant ik. Kamul ah orangnya?"

Lasi t erkej ut oleh pert anyaan yang sama sekali t idak diduganya. Waj ah Lasi merona. Dan ia hanya bisa mengangguk kaku unt uk menj awab pert anyaan it u. Dari cara Pak Han memandang Lasi sadar bahwa t amu it u adalah lelaki yang ingin melihat perempuan berkimono sepert i yang dikat akan Bu Lant ing. Lasi bert ambah gagap. Tet api Handarbeni malah senang. Ia menikmat i kegagapan perempuan muda di depannya.

"Aku j uga sudah t ahu namamu. Lasi?"

Lasi mengangguk lagi. Dan menunduk. Bermain dengan j emari t angan yang kukunya bercat merah saga. Dan dengan sikap Lasi it u Handarbeni malah punya kesempat an lebih leluasa memandang bekisar yang akan dibelinya. Bahkan Handarbeni t iba-t iba mendapat kesenangan aneh karena merasa menj adi kucing j ant an yang sangat berpengalaman dan sedang berhadapan dengan t ikus bet ina yang bodoh dan but a. Handarbeni amat menikmat i kepuasan it u karena dia t erlalu biasa menghadapi t ikus-t ikus berpengalaman t et api malah selalu Lasi mengangguk lagi. Dan menunduk. Bermain dengan j emari t angan yang kukunya bercat merah saga. Dan dengan sikap Lasi it u Handarbeni malah punya kesempat an lebih leluasa memandang bekisar yang akan dibelinya. Bahkan Handarbeni t iba-t iba mendapat kesenangan aneh karena merasa menj adi kucing j ant an yang sangat berpengalaman dan sedang berhadapan dengan t ikus bet ina yang bodoh dan but a. Handarbeni amat menikmat i kepuasan it u karena dia t erlalu biasa menghadapi t ikus-t ikus berpengalaman t et api malah selalu

"Kamu sangat pant as dengan pakaian it u. Kudengar ayahmu memang orang Jepang?"

Lasi senyum t ert ahan. Tet api lekuk pipinya malah j adi lebih indah. Ent ahlah, dulu di Karangsoga Lasi t erlalu risi bahkan j engkel bila disebut rambon Jepang. Namun sekarang sebut an it u t erdengar sej uk. Mungkin karena orang Karangsoga mengucapkan sebut an it u sebagai pelecehan sedangkan Bu Lant ing, dan kini Pak Han, menyebut nya sebagai puj ian? Ent ahlah.

"Pak, mari masuk, " kat a Lasi unt uk menghindari pert anyaan Pak Han lebih j auh.

"Ya. Mana Ibu?"

"Ibu sedang keluar sebent ar. Saya dimint a mewakilinya menemui Pak Han sampai Ibu kembali. "

Handarbeni t ersenyum, mengangguk-angguk dan makl um. Si t ua Lant ing memang licin. Tet api kali ini Handarbeni bert erima kasih at as kelicinan it u. Waj ahnya makin meriah.

"Oh? Kalau begit u ayolah duduk bersamaku. Aku sudah biasa dat ang kemari sepert i saudara kandung ibu angkat mu. Jadi kamu j angan rikuh. Kama sudah j adi anak Jakart a. Siapa yang pemalu t idak bisa j adi anak kot a ini. Kamu senang t inggal di Jakart a, bukan?" "Oh? Kalau begit u ayolah duduk bersamaku. Aku sudah biasa dat ang kemari sepert i saudara kandung ibu angkat mu. Jadi kamu j angan rikuh. Kama sudah j adi anak Jakart a. Siapa yang pemalu t idak bisa j adi anak kot a ini. Kamu senang t inggal di Jakart a, bukan?"

"Ya. "

Dan Handarbeni menyalakan rokok. "Banyak orang kampung pergi ke kot a karena hidup di sana susah. Apal agi kamu memang lebih pant as j adi orang kot a. "

"Apa iya, Pak. Saya kok belum percaya. Sebab saya bodoh. Saya t idak sekolah. "

"Tidak sekolah?"

"Hanya t amat sekolah desa. "

"Meski begit u kamu t et ap lebih pant as j adi orang kot a. Lho, kamu t ahu mengapa aku bilang begit u?"

Lasi t ersipu.

"Tahu?"

Lasi menggeleng. Handarbeni t ert awa. Suasana berubah cair dan Lasi merasa lebih leluasa.

Tidak lagi pant as menggendong bakul di punggung. Pokoknya kamu lebih layak j adi nyonya, t inggal di rumah yang bagus, dengan mobil. . . "

"Bet ul! " t iba-t iba t erdengar suara Bu Lant ing yang sebenarnya sudah agak lama berdiri di balik pint u. "Bet ul, t ak seorang pun bisa membant ah bahwa Lasi memang pant as j adi nyonya. Nah, Pak Han, apakah Anda punya calon unt uk Lasi?"

"Kit a cari dan past i dapat . Kat a orang sekolahan, yang t erbaik selalu sudah ada pemesannya. Iya, kan?"

"Bet ul, Pak Han. Barang yang demagang akan cepat l aku. "

Handarbeni dan Bu Lant ing sama-sama t ert awa. Lasi yang t ak enak karena merasa j adi dagangan yang t erlal u banyak dipuj i, bangkit .

"Maaf , Bu, saya belum menyiapkan minuman. Tadi Pak Han menahan saya di ruang t amu ini. "

"Oh? Tent u. Lelaki mana t ak suka duduk berdua dengan kamu. Ya, sekarang ambillah minuman. "

Hening sej enak. Handarbeni menyedot rokok dan mengembuskan asapnya ke at as. Punggungnya merebah ke sandaran, sangat sant ai.

"Ah, aku suka bekisarmu. Penampilannya hampir sepenuhnya Jepang. Malah lebih j angkung dari rat a-rat a gadis Sakura. Sekarang aku percaya, dalam urusan barang langka kamu memang sangat ahli! "

"Wah, wah, kalau hat i gembira puj ian pun keluar sepert i laron di musim huj an. "

"Bet ul. Kamu j empol . Kok bisa-bisanya kamu menemukan bekisar yang demikian bagus. "

"Jangan berkat a t ent ang apa-apa yang sudah nyat a. Bahkan saya merasa belum berhasil serat us persen. Bekisar Anda it u, Pak Han, masih berj alan sepert i perempuan pet ani. Serba t ergesa dan kaku. Sangat j auh dari keanggunan. Sisi ini adalah pekerj aan rumah saya yang bel um selesai. "

"Ya. Sekilas aku t elah melihat nya. Namun kamu harus t ahu j uga bahwa aku t ak ingin dia sepenuhnya j adi anak kot a. Sedikit sapuan kesan kampung malah aku suka. "

"Ya. Saya t ahu Anda sudah j enuh dengan penampilan yang serba art if isial sepert i yang diperlihat kan kebanyakan perempuan kot a. Anda ingin menikmat i sisa keluguan. Iya, kan?"

Handarbeni t ersenyum. Kedua kakinya diselonj orkan ke depan. Kepalanya t erdongak berbant al sandaran kursi.

"Ah, andaikan mungkin, aku ingin membawa bekisarku pulang sekarang j uga. " Handarbeni t ert awa t anpa mengubah posisi duduknya.

"Apa?"

"Jangan sepert i anak kecil mendapat mainan baru. Pak Han, perj alanan kit a masih cukup panj ang. Lasi, meskipun saya t ahu sudah sangat ingin berpisah dari suaminya, belum punya surat cerai. Ini sebuah masalah. Kedua, akhirnya kit a harus dapat meyakinkan dia agar bersedia menj adi bekisar Anda. Ini adalah soal yang paling peka. "

"Ya, aku menyadari hal it u. Aku j uga sadar giri lusi, j alma t an kena kinira, hat i manusia t ak bisa diduga. Jelasnya, urusan bisa runyam bila bekisar it u t ak mau kumasukkan ke kandang yang kusediakan di Slipi. "

"Iya. Maka Anda benar-benar harus sabar dan bij aksana. Kesabaran adalah kunci. Anda j uga saya mint a. . . "

Lasi keluar membawa minuman dan makanan kecil. Kemunculannya sert a- mert a menghent ikan diskusi kecil ant ara Bu Lant ing dan t amunya. Dan dari ekspresi waj ahnya Lasi t idak menyadari dirinya sedang menj adi bahan pembicaraan.

"Anda j uga saya mint a t idak menunj ukkan minat yang berlebihan, " sambung Bu Lant ing set elah Lasi masuk kembali.

"Aku sudah enam pul uh lebih. "

"Oh, maaf . Saya percaya Anda sudah banyak pengalaman. Maksud saya, Anda saya mint a bersikap pasif namun t et ap manis. Selebihnya saya yang akan menggiring bekisar it u masuk kandang milik Anda, bukan sekadar masuk melainkan dengan senang hat i. Unt uk mencapai hasil yang memuaskan, Pak Han, saya kira Anda harus mau menunggu sampai dua at au t iga bulan. Nah, saya ragu apakah Anda bisa memenuhi permint nan ini. "

Handarbeni t erkekeh. Lalu t ersenyum.

"Jangan t ersenyum dulu, sebab saya punya permint aan lain. Mul ai sekarang segala biaya unt uk pemeliharaan bekisar saya bebankan kepada Anda. "

"Karena aku merasa bekisar it u sudah j adi milikku, sebenarnya kamu t ak perlu berkat a begit u. Sebel um kamu mint a aku sudah bersedia menanggungnya. Bagi aku yang pent ing adal ah j aminan hasil kerj amu. "

"Anda percaya kepada saya, bukan?"

"Ya, sej auh ini kamu t erbukt i bisa kupercaya. "

"Terima kasih. Asal Anda t ahu, yang sudah saya lakukan adalah mengaj ari bekisar it u membiasakan diri dari hal menyikat gigi sampai merawat kuku- kukunya yang rusak. Dari mengenal nama-nama alat kecant ikan sampai nama- nama makanan dan masakan. Dan yang saya belum sepenuhnya berhasil adalah meyakinkan bekisar it u bahwa dirinya bukan lagi perempuan kampung ist ri seorang penyadap. Ia masih punya rasa rendah diri dan belum sepenuhnya percaya akan kelebihan penampilannya. Ah, t et api unt ung, bekisar it u cerdas. Ia cepat menangkap hal-hal baru yang saya aj arkan kepadanya. "

"Baiklah, Bu Lant ing, sement ara kut it ipkan bekisarku karena aku percaya kepadamu. Tet api sekarang panggil dia karena aku ingin melihat nya sekali lagi sebelum aku pulang. "

"Anda mau pulang?"

Lasi keluar masih dengan kimono merahnya. Waj ahnya merona ket ika Handarbeni mengaj aknya bersalaman set elah memuj inya dengan acungan j empol .

"Aku senang bila kamu bet ah t inggal bersama Bu Lant ing. Sudah pelesir ke mana saj a selama di Jakart a?"

Lasi t ersipu. Menunduk dan bermain j emari t angan.

"Belum banyak yang dilihat , " sela Bu Lant ing.

"Baik. Lain wakt u kit a j alan-j alan, pel esir bersama. Mau lihat Pant ai Ancol at au nomon f ilm di Hot el Indonesia?"

Lasi t et ap t ersipu.

"Pak Han, mengapa t idak mengundang kami lebih dulu dat ang ke rumah Anda sebelum Anda mengaj ak kami j alan-j alan?" t anya Bu Lant ing.

"Oh, kamu bet ul . Ya, aku senang sekali bila kalian mau dat ang ke rumahku. At urlah wakt unya. Aku menunggu kedat angan kalian. "

"Baik, nami Anda kami berit ahu kapan kami akan dat ang. Tet api kat akan lebih dulu ke rumah Anda yang mana kami harus dat ang? Rumah yang baru Anda bangun di Slipi, bukan?"

Handarbeni t ert awa mengiyakan. Mat anya berkilat -kilat ket ika sekali lagi mengangguk sambil t ersenyum kepada Lasi.

Sej ak meninggalkan rumah Bu Lant ing pikiran Kanj at t erus lekat kepada Lasi. Bermacam-macam perasaan mendadak mengembang dalam hat inya. Penampilan f isik Lasi sangat di luar dugaan. Lasi menj adi j auh lebih menarik. Dada Kanj at selalu berdenyut lebih keras bil a membayangkannya. Namun lebih dari soal penampilan, kenyat aan bahwa Lasi berada di rumah orang kaya yang t ak dikenal sebelumnya membuat hat i Kanj at t erasa t ak enak. Kanj at t ak bisa menghindar dari pert anyaan t ent ang t uj uan Bu Lant ing membawa Lasi ke rumahnya. Dari berit a yang sering t erbaca di koran, bahkan dari berit a yang beredar dari mulut ke mulut Kanj at sering mendengar t ent ang perempuan desa yang t ert ipu dan t erpaksa menj adi pelacur di kot a-kot a besar. Kanj at berharap hal semacam it u t idak akan t erj adi at as diri Lasi. Anehnya Kanj at t et ap punya perasaan bahwa keberadaan Lasi di rumah gedung di daerah Cikini it u t idak waj ar, set idaknya bukan kehendak Lasi sendiri. Memang Bu Koneng menj amin, Bu Lant ing sekali-kali t idak akan menyengsarakan Lasi. Namun pemilik warung nasi it u pun t idak berkat a lebih j elas dan Kanj at t idak begit u percaya akan j aminan yang diberikannya.

"Bisa ket emu?" t anya Pardi sert a-mert a Kanj at t urun dari t aksi di depan warung Bu Koneng. Kanj at t ak segera menj awab. Pardi bahkan melihat waj ah anak maj ikannya it u berat . Pardi hanya dij awab dengan anggukan kepala.

"Kit a t erus pulang?" t anya Pardi lagi karena melihat Kanj at langsung naik ke kabin t ruk.

"Kamu sudah dapat muat an? Mana Sapon?"

"Lumayan, ada muat an barang rongsokan sampai ke Purwokert o. Si Sapon sudah ngorok di bak. "

"Kalau begit u, ayolah, kit a pulang. "

Pardi bersiap dan t angannya bergerak hendak memut ar kunci kont ak. Tet api t ert ahan karena t iba-t iba Kanj at menepuk pundaknya dari samping.

"Nant i dulu, Di. Aku ingin ngobrol sebent ar. "

"Ngobrol apa? Lasi?"

Kanj at t ak menj awab. Tet api t angannya merogoh saku baj u dan dikeluarkannya f ot o Lasi yang langsung di perlihat kannya kepada Pardi. Sopir it u membuka mat a lebar-lebar agar dapat mengenali siapa yang t erpampang dalam gambar di t angannya.

"Mas Kanj at , ini si Lasi anak Mbok Wiryaj i?"

"Kamu pangling?"

"Bukan main, Mas. Aku bilang bukan main. Hanya beberapa bulan pergi dari kampung Lasi sudah sangat lain. Sangat cant ik, Mas. Tak memalukan buat dipacari! Dan meski hanya anak Mbok Wiryaj i dan t idak gadis lagi, t et api Lasi pant as menj adi ist ri seorang cal on insinyur. "

"Saya t idak ngawur. Apa Mas kira saya t ak t ahu Mas Kanj at senang sama Lasi?"

Kanj at t ersenyum kaku karena merasa t erpoj ok. Diambilnya f ot o Lasi dari t angan Pardi lalu disimpannya kembali dal am saku.

"Apabila Lasi t erus t inggal bersama Bu Lant ing kira-kira apa yang bakal dialaminya?" t anya Kanj at t anpa menoleh kepada Pardi.

"Mas Kanj at mempunyai perkiraan yang t idak baik?"

"Terus t erang, ya. Maka aku sesungguhnya merasa kasihan, dan khawat ir Lasi akan dij adikan perempuan yang nggak bener. Menurut kamu apa perasaanku ini berlebihan?"

"Tidak, Mas. Sedikit at au banyak saya pun punya rasa yang sama. Namun, andaikan pcrasaan kit a benar, apa yang ingin Mas Kanj at lakukan?"

"Karena Lasi bukan anak-anak lagi dan j uga masih punya suami, yang pat ut kulakukan hanyalah memint anya pulang. Hal it u sudah kulakukan dan gagal. Lasi kelihat an senang t inggal bersama orang kaya. Dia j uga kelihat an dimanj akan. Kamu t ahu, Di, ket ika aku dat ang Lasi mengenakan pakaian sepert i dal am f ot o it u. "

"Cant ik?"

"Ya, it ulah. Saya yakin Bu Lant ing mau menampung Lasi karena kecant ikannya. Mas Kanj at , saya kira hal ini bisa berbunt ut nggak bener. Maka saya set uj u bila Mas Kanj at berusaha mengambil Lasi dari rumah Bu Lant ing. Kasihan dia, Mas. "

"Tidak mudah melakukannya, Di. Lagi pula, sepert i sudah kubilang, Lasi masih punya suami. Tak enak, t erlalu j auh mengurus ist ri orang. Apa kat a orang Karangsoga nant i, apalagi bila t ernyat a kemudian. . . Ah, t idak. "

Pardi t ert awa.

"Mas Kanj at , pikiran it u t idak sal ah. Saya yang brengsek ini pun pant ang mengganggu perempuan bersuami karena perempuan yang bebas amat banyak. Tet api t ent ang Lasi, siapa yang kira-kira pant as menol ongnya selain Mas Kanj at ?"

"Aku sudah mencobanya sebat as kepat ut an. "

"Mungkin belum cukup, Mas. "

"Belum cukup? Jadi menurut kamu, aku harus bagaimana lagi?"

"Barangkal i, lho, Mas Kanj at , Lasi mau pulang j ika Mas Kanj at berj anj i akan bert anggung j awab. "

"Bert anggung j awab? Ah, aku mengert i maksudmu. Aku harus berj anj i mengawini Lasi bila dia sudah diceraikan suaminya?"

"Maaf , Mas Kanj at . It u perkiraan saya belaka. Meskipun demikian saya j uga menyadari t idak mudah bagi seorang insi nyur, anak bungsu Pak Tir, melakukan it u semua. Karangsoga bakal geger; ada perj aka t erpelaj ar dan kaya mengawini j anda miskin, lebih t ua pula. Bahkan sangat mungkin orangt ua Mas Kanj at sendiri t idak akan mau punya menant u bernama Lasi. Namun andaikan saya adalah Mas Kanj at , andaikan. "

"Ya, bagaimana?"

"Andaikan saya adalah Mas Kanj at , saya t akkan pedul i dengan omongan orang Karangsoga. Bila saya suka Lasi, pert ama saya harus j uj ur kepada diri saya sendiri. Lal u, masa bodoh dengan gunj ingan orang. Toh sebenarnya Lasi perempuan yang baik. Apalagi sekarang dia makin cant ik. Jadi yang pokok adalah kej uj uran. "

Kanj at mendesah. Pardi mengambil rokok dan menawarkannya kepada Kanj at t et api dit olak. Kabin t ruk segera penuh asap set dah Pardi menyalakan rokoknya.

"Di, " kat a Kanj at menghent ikan keheningan.

"Ya, Mas?"

"Bahkan sesungguhnya aku merasa malu bil a orang-orang Karangsoga t ahu bahwa aku menyukai Lasi. Maka aku mint a kamu j angan bocor mulut . Tahanl ah lidahmu set idaknya selama Lasi belum bercerai dari suaminya. "

"Ya, saya berj anj i. Ah, Mas Kanj at , mulut saya masih mulut lelaki. Percayalah. Lagi pula saya merasa waj ib mendukung keinginan Mas Kanj at . Set ia kawan

"Ya. Tet api sayang aku t ak mungkin bert indak apa pun dalam sat u at au dua minggu ini. "

"Lho, kenapa?"

"Uj ian. Aku harus menyiapkan diri menghadapi uj ian. Maka paling cepat aku bisa kembali menemui Lasi bulan depan. "

"Wah, t erl alu lama, Mas. "

"Aku pun ingin bert indak secepat nya. Tet api apa boleh buat . Apakah aku harus menunda kcsempat an menyelesaikin sekolah?"

"Saya mengert i, Mas. Tet api segalanya bisa t erj adi at as diri Lasi selama j angka sebulan lebih it u. "

"Bukan hanya kamu yang cemas, Di. Maka kubilang, apa boleh buat . Sekarang, ayo berangkat . "