BAGIAN KELIMA

BAGIAN KELIMA

Lampu ut ama di kamar Lasi sudah lama padam. Yang t inggal menyala adalah lampu kecil bert udung plast ik biru yang berada di poj ok ruangan. Sunyi sekal i. Lasi sudah lama berbaring di t empat t i dur. Tet api Lasi t ak dapat memej amkan mat a. Dari j auh t erdengar penj ual sekot eng mendent ingkan mangkuknya. Dent ang j am pukul dua t engah malam. Lasi yang makin gelisah bangkit unt uk memat ikan lampu kecil it u. Pekat seket ika. Dalam kegelapan yang menelan sekeliling, Lasi mencoba mengendapkan hat i dan kembali merebahkan diri menant i kant uk. Tet api kegelisahannya malah makin menj adi-j adi.

Pada layar malam yang sangat pekat Lasi melihat dengan j elas sosok Kanj at yang dat ang seminggu lalu. Anak Pak Ti r it u! Dia sudah besar dan gagah. Dia dat ang dengan senyum dan sinar mat a seorang lelaki dewasa; senyum dan sinar mat a yang mendebarkan. Tet api, sudahlah. Lasi harus berusaha melupakan Kanj at . Karena malam ini ada hal lain yang l ebih menggelisahkan hat inya. Handarbeni! Tadi sore Lasi diaj ak Bu Lant ing berkunj ung ke rumah lelaki it u di Slipi. Sebuah bangunan baru yang gagah.

Sebenarnya Lasi sudah mulai t erbiasa dengan rumah-rumah bagus di Jakart a. Maka Lasi t ak begit u heran lagi dengan rumah Pak Han yang lant ainya lebih put ih daripada piring yang biasa dipakainya di Karangsoga. Ruangan dan kamarnya besar-besar, dapurnya mengilap, dan ada kolam ikan di ruang t engah. Perabot nya serba kayu j at i dengan bant alan t ebal dan empuk. Set iap ruang t idur dilengkapi kamar mandi mewah.

Tidak. Lasi t idak begit u heran l agi. Tet api ket ika berada di rumah Pak Han it u Lasi berdebar-debar karena ada sebuah pot ret besar berbingkai perak t erpaj ang pada t embok ruang t engah. Dan pot ret it u adalah f ot o Lasi sendiri dalam kimono merah.

demikian ramah dan manis ket ika mengant ar Lasi dan Bu Lant ing berkeliling rumah. Hanya Bu Lant ing yang berhat i peka t ahu perasaan Lasi.

"Las, akul ah yang memberikan pot ret mu kepada Pak Han. Sudah kubilang, Pak Han menyukai perempuan dalam pakaian kimono. Tet api yang memasang pot ret mu di sana mungkin Pak Han sendiri. "

"Lho iya, dan apa pendapat mu? Sangat pant as, bukan?" uj ar Pak Han.

"Amat sangat pant as, " j awab Bu Lant ing. Lasi menunduk dan t ersipu. "Lebih pant as lagi andaikan Lasi sendiri yang menghias rumah baru ini. Nah, Pak Han, sekarang saya balik bert anya, apa pendapat Anda?"

"Susah payah kubangun rumah ini, kaukira buat siapa?"

"Anda t idak berolok-olok, bukan?" t anya Bu Lant ing.

"Aku bukan anak-anak lagi. Buat apa berolok-olok?"

Handarbeni dan Bu Lant ing sama-sama t ert awa dan sama-sama mencari t anggapan pada waj ah Lasi. Merah rona dan t ersenyum malu. Lasi merasa sesak di dada, gerah, dan berkeringat . Dan ingin sekali segera meninggalkan rumah it u. Unt ung, Handarbeni memang segera mengaj ak mereka keluar unt uk makan malam. Tet api Lasi kehilangan selera karena hat inya t erus gelisah. Bahkan kegelisahan Lasi masih t erkesan di waj ah meskipun Handarbeni sudah membawanya j alan-j alan ke Pasaraya di t ingkat at as rest oran it u dan membelikannya baj u dan sebuah t as t angan yang sangat mahal.

kembali ke rumah Handarbeni.

"Las, apa kamu belum t ahu mengapa Pak Han memasang pot ret mu di rumahnya yang baru it u?" t anya Bu Lant ing t anpa menoleh kepada Lasi.

Lasi langsung menundukkan kepala dan menggeleng. Tet api hat i kecilnya sudah merasa, sesuat u yang mengej ut kan akan segera didengarnya.

"Las, aku mau bilang sama kamu, ya. Aku harap kamu sangat senang mendengarnya. Las, sebenarnya Pak Han menaruh harapan kepadamu. Pak Han suka sama kamu dan ingin kamu man menj adi ist rinya. Kat anya, dia sungguh t idak main-main. "

Lasi t erbel alak. Sej enak t erpana dan t iba-t iba sulit bernapas. Waj ahnya pucat oleh guncangan yang mendadak menggoyang j iwanya. Sepasang alisnya merapat . Lasi gelisah. Tet api Bu Lant ing t ak ambil peduli.

"Bila kamu mau, rumah Pak Han yang baru it u akan menj adi t empat t inggal mu. Aku sendiri ikut senang bila kamu menj adi Nyonya Handarbeni. Nah, apa kat aku dulu. Kamu memang cant ik sehingga seorang kaya sepert i Pak Han bisa j at uh hat i kepadamu. Bagaimana, Las, kamu mau menerima t awaran it u, bukan?"

Lasi t idak menj awab. Ia t et ap menunduk. Tangannya gemet ar dan mulai sibuk mengusap air mat a.

"Las, bila aku j adi kamu, harapan Pak Han akan kut erima sebagai keberunt ungan. Memang Pak Han t idak muda lagi. Bahkan kukira dia sudah punya sat u at au dua ist ri. Namun di a punya kelebihan; dia akan mampu mencukupi banyak keinginanmu. "

Bu Lant ing berhent i sej enak karena harus mengambil gulungan benang renda yang j at uh ke lant ai.

"Las, kamu sendiri sudah berpengalaman menj adi ist ri yang bekerj a sangat keras sambil mengabdi sepenuhnya kepada suami. Tet api apa hasilnya? Selama it u, menurut cerit a kamu sendiri, t erbukt i kalung sebesar rambut pun t ak mampu kamu beli, malah kamu dikhianat i suami. Pakaianmu lusuh dan badanmu rusak. Kini ada pel uang bagimu unt uk mengubah nasib. Dan karena kamu memang sudah pant as menj adi ist ri orang kaya, j angan sia-siakan kesempat an ini. "

Bu Lant ing berhent i l agi, kali ini karena haus. Diangkat nya gelas t eh manis yang baru dilet akkan di hadapannya oleh pembant u. Dan t angannya segera kembali ke benang renda.

Air mat a Lasi sudah reda.

"Bagaimana, Las?"

"Bu, " j awab Lasi gagap dan makin gelisah. Suaranya sepert i t ert ahan di t enggorokan. Bibirnya berget ar. "Sebenarnya saya belum berpikir t ent ang segala macam it u. Saya malu. Saya masih punya suami. Dan hat i saya belum t enang dari kesusahan yang saya bawa dari kampung. Lagi pula, apa bet ul Pak Han mengharapkan saya? Bu, saya cuma perempuan dusun yang miskin dan hanya t amat sekolah desa. Jadi apa yang diharapkan Pak Han dari seorang sepert i saya?"

Bu Lant ing t erkekeh t et api mat a dan t angannya t et ap lekat pada benang renda. Tet ap t anpa memandang Lasi, Bu Lant ing t erus berceramah, sesekali diselingi dengan derai t awa.

punya sesuat u yang disukai set iap lelaki: waj ah cant ik dan t ubuh yang bagus. Kamu mungkin j uga t idak t ahu bahwa sesungguhnya lel aki kurang t ert arik, at au malah segan t erhadap perempuan yang t erlalu cerdas apalagi berpendidikan t erlalu t inggi. Bagi lel aki, perempuan yang kurang pendidikan dan miskin t idak j adi soal asal dia cant ik. Apalagi bila si cant ik it u penurut . Jadi lelaki memang bangsat . Nah, kamu dengar? Kini kamu t ahu kenapa Pak Han suka sama kamu? Sebabnya, kamu cant ik dan diharapkan bisa menj adi boneka penghias rumah dan kamar t idur. Maka percayalah, kamu akan selalu dimanj akan, dit imang- t imang sel ama kamu t et ap menj adi sebuah boneka; cant ik t et api penurut . "

Tawa Bu Lant ing kembali pecah. Sebaliknya, Lasi diam dan t ak mengert i apa yang dikat akan Bu Lant ing. Kerut -kerut di keningnya makin j elas.

"Bu, t et api bagaimana j uga saya masih punya suami. Rasanya t idak pat ut berbicara t ent ang lelaki lain selagi surat cerai pun belum ada di t angan. "

"Ah, it u mudah, " pot ong Bu Lant ing dengan suara dat ar dan dingin, bahkan t anpa sedikit pun memalingkan waj ah. "Sangat mudah. Kalau mau, kamu malah bisa punya surat cerai t anpa menunggu t alak dari suamimu dan kamu t ak perlu pulang kampung. Uang, Las, uang. Dengan uangnya Pak Han at au siapa saj a bisa mendapat apa saj a, apalagi sekadar surat ceraimu. "

"Ya, Bu. Tet api, t et api sedikit pun saya bel um berpikir t ent ang perkawinan. Ah, bagaimana mungkin, saya masih punya suami. "

Lasi t ak bisa meneruskan kat a-kat anya. Air mat a yang kembali deras membuat lidahnya kelu. Dan bayangan Kanj at muncul sekej ap. Bu Lant ing t et ap t enang, t et ap sunt uk dengan benang dan j arum rendanya.

"Sudah kubilang, yang pent ing kamu bersedia menerima Pak Han dan kamu akan berunt ung. Lagi pula buat apa mengingat -ingat suami pengkhianat . Masalah surat cerai dan lain-lain, mudah diat ur. "

Lasi mengerut kan kening.

"Apa kira-kira saya boleh pikir-pikir dulu, Bu? Soalnya, urusan sepert i ini sangat pent ing, bukan?"

"Bukan hanya sangat pent ing melainkan j uga keberunt ungan yang sangat besar bagimu. "

"Tadi Ibu bilang Pak Han sudah punya sat u at au dua ist ri?"

"Bet ul. Dan j uga t erl alu t ua bagi kamu. Tet api, Las, apa art inya it u semua j ika Pak Han bisa memberi kamu rumah gedung dengan perlengkapannya yang mewah, pakaian bagus, dan mungkin j uga simpanan uang di bank at au kendaraan. Las, aku sama sepert i kamu, perempuan. Aku sudah cukup pengalaman hidup.

Dulu, aku pun berpikiran sepert i kamu. Tak sudi berbagi suami karena aku pun punya keset iaan. Makan t ak makan t idak j adi soal, yang pent ing akur, ayem t ent rem. Suami hendaknya yang sepadan dan gagah. It u dulu. Sekarang, Las, t ernyat a kemakmuran it ulah yang t erpent ing. Buat apa menj adi ist ri sat u- sat unya dan punya suami muda bila kit a t inggal di rumah kumuh, t ak sempat merawat badan, dan selalu dikej ar kekurangan? Las, hidup hanya sat u kali; mengapa harus miskin seumur-umur? Nah, kinilah wakt unya kamu mengubah nasib. Jangan biarkan peluang ini lewat karena mungkin t idak bakal dat ang dua kali seumur hidupmu. "

Lasi diam dan menggigit bibir. Lidahnya serasa t erkunci oleh kepandaian Bu Lant ing menyusun kat a-kat anya.

"Mau pikir apa lagi, Las?" sambung Bu Lant ing. "Masalahnya sudah j elas, kamu mendapat peluang j adi wong kepenak, orang yang berunt ung. Kenapa harus kamu pikir dua kali? Ah, t et api baiklah. Kamu boleh pikir-pikir dulu. Namun aku pesan, j angan kecewakan orang yang berniat baik t erhadap kamu. Besok kamu harus memberi j awaban, sebab Pak Han sudah menunggu. Ingat , j angan kecewakan aku dan Pak Han. Kalau kamu menampik peluang yang dia t awarkan, j adilah kamu orang t ak t ahu diunt ung. Dan t ak mau bert erima kasih kepadaku! "

Bu Lant ing bangkit dengan waj ah beku dan pekat .

Dan Lasi t ersent ak karena mendengar bunyi j am t iga dini hari. Sambil menggeliat gelisah Lasi mengeluh, "Besok aku harus memberi j awaban. Tet api apa?"

Sesungguhnya Lasi t ahu j awaban yang harus diberikan hanya sat u di ant ara dua: ya at au t idak. Namun kedua j awaban it u amat sulit dicari karena keduanya bersembunyi dalam rimba ket idakj elasan, keraguan, malah ket idakt ahuan. Segal anya serba samar dan baur. Lasi j adi gagap karena merasa dihadapkan kepada dua pilihan yang t iba-t iba muncul di depan mat a.

Dua pilihan? Oh, t idak. Hanya sat u pilihan! Tiba-t iba Lasi sadar dirinya sedang berhadapan dengan hanya sat u pilihan. Lasi hampir must ahil bilang "t idak". Lasi merinding ket ika menyadari dirinya sudah t ermakan oleh sekian banyak pemberian: penampungan oleh Bu Lant ing, segala pakaian, bahkan j uga makan- minum. Uang dan perhiasan. Bel um lagi hadiah-hadiah dari Pak Han. Lasi merasa t erkepung dan t erkurung oleh segala pemberian it u. Lasi t erkej ut dan merasa dikej ar oleh at uran yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa t ak ada pemberian t anpa menunt ut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. "Ya ampun, t ernyat a diriku sudah t ert imbun rapat oleh ut ang kabecikan, ut ang, ut ang budi, at au apalah namanya. Bila aku masih punya muka, aku harus menurut i kemauan Bu Lant ing unt uk membayar kembali ut ang it u. Aku t ak mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?"

Lasi mendesah kemudian mengisak. Hat i t erasa pepat . Ia t eringat pada pert emuannya dengan Kanj at . Dan t et ap t ak mengert i, get un, mengapa Kanj at t idak mengambil sikap lugas, berj anj i mau hidup bersama misalnya, lalu mengaj aknya lari ent ah ke mana. Lasi mendesah lagi.

Anehnya, dalam kegelisahan yang makin rumit Lasi masih bisa merasakan kadar kebenaran dalam ucapan Bu Lant ing; bahwa hidup sebagai ist ri penyadap memang t idak banyak harapan. Lasi merasakan sendiri, para penderes bekerj a hari ini unt uk makan hari ini. Bahkan sering lebih buruk dari it u yakni ket ika harga gul a mencapai t it ik t erendah. At au ket ika gula mereka gemblung, lembek, dan gagal dicet ak. Para penyadap bert ahan dalam kehidupan yang get ir it u hanya karena mereka sudah membiasakan diri dengan segala macam kepahit an. Bahkan sel ama hidup bersama Darsa, Lasi pun t idak pernah ingin melarikan diri dari keget iran hidup sebagai ist ri penyadap. Sama sepert i orang- orang Karangsoga, Lasi t idak merasa perlu mempermasalahkan kesulit an hidup dan kemiskinan karena mereka t ak pernah mampu melihat j alan keluar. At au keduanya sudah dit erima sebagai bagian keseharian yang sudah menyat u dan t elanj ur akrab sehingga t ak perlu mempert anyakannya lagi.

At au sesungguhnya Lasi sendiri sering menemukan celah kenikmat an dalam kepahit annya sebagai seorang ist ri penyadap. Misalnya, puasnya hat i ket ika gula yang diolahnya keras dan kuning; segarnya mandi curah di sumur yang t erlindung rumpun bambu set elah lama bekerj a di depan t ungku; nikmat nya makan nasi dengan sayur bening dan sambal t erasi ket ika lapar demikian menggigit set elah keringat bercucuran. Semua t ak bisa dirasakannya lagi set elah Lasi lari dari Karangsoga. Semuanya t ak bisa digant i dengan kemanj aan hidup yang kini dit erimanya set elah Lasi t inggal bersama Bu Lant ing, menj adi bagian kehidupan Jakart a.

At au puasnya hat i ket ika menerima uang hasil penj ualan gula kepada Pak Tir. Meski t ak seberapa, bahkan Lasi selalu merasa t idak menerima j umlah yang semest inya, t et api sel alu ada kenikmat an ket ika menerimanya. Kini Lasi t ahu bet ul apa yang menyebabkan kenikmat an it u: gamblangnya asal-usul uang yang dit erima yakni cucuran keringat suami dan dirinya sendiri. Perol ehan uang semacam it u t idak menimbulkan beban dalam hat i. Sangat berbeda ket ika Lasi menerima uang dari Bu Lant ing yang sering dikat akan sebagai t it ipan dari Pak Han; Lasi selalu merasa ada sesuat u yang t erbeli at au t ergadai. Dan Lasi merasakan sakit bila mengingat dirinya sudah kehilangan kemampuan unt uk

Dent ang j am menunj ukkan pukul set engah empat pagi. Meski kamarnya t et ap gelap, Lasi mencoba menat ap l angit -langit . Tet api yang t erbayang di pelupuk mat a adalah semua orang Karangsoga. Oh, mereka t et ap sepert i dulu, suka meremehkan Lasi. Dan Lasi memej amkan mat a kuat -kuat ket ika t eringat pengkhianat an Darsa. "Ah, t idak! Aku t akkan kembali ke Karangsoga meskipun sebenarnya aku t ak pernah menol ak menj adi ist ri seorang penyadap, asal bukan Darsa. "

Ya. Tet api apa? Pert anyaan it u dat ang lagi dan mengepung lagi. Sekej ap Lasi t eringat pada Kanj at . Malah t erlint as niat unt uk mempert imbangkan kemungkinan lari menyusul anak Pak Tir it u. Namun pikiran demikian hanya sej enak singgah di kepalanya. Lasi t ak bisa membayangkan dia punya keberanian lari dari rumah Bu Lant ing. Bahkan Lasi t ak t ahu ke mana harus menyusul Kanj at . At au Lasi malu dan t ak ingin dikat akan sebagai bubu yang mengej ar ikan. Apalagi Lasi j uga sadar, Kanj at bel um pernah bert erus t erang menyat akan harapannya.

"Tidak. Aku t idak akan lari menyusul Kanj at . "

Ya, t et api apa? Lasi makin gelisah. Ent ah sudah berapa kali ia mengubah posisi t ubuhnya! Miring ke kiri, ke kanan, t engadah, at au t el ungkup. Meskipun demikian keresahan hat i malah kian mengembang. Dan Lasi merasa t iba di j alan bunt u ket ika sadar memang hanya t inggal sat u kemungkinan yang harus dit erimanya: menurut i anj uran Bu Lant ing menj adi ist ri Pak Han. "Menj adi ist ri Pak Han? Apakah aku bisa? Apakah benar kat a Bu Lant ing, enak menj adi ist ri orang kaya?"

Mungkin. At au ent ahlah, karena Lasi bel um pernah merasakannya at au bahkan sekedar membayangkannya. Sepert i semua ist ri penyadap, Lasi merasa dunia makmur bukan dunianya. Duni a makmur adalah dunia asing. Di Karangsoga Lasi melihat dunia makmur pada kehidupan Pak Tir. Meski t inggal bersama puluhan penderes dan dalam banyak hal Pak Tir bisa brayan, membaur dengan mereka, namun t engkulak it u t et ap lain, t et ap asing. Pak Tir bisa bersikap t awar, t anpa rasa bersalah, misalnya ket ika mengat akan harga gul a j at uh. Sej ak anak-anak

Di Karangsoga j uga pernah ada Pak Talab. Dengan bant uan saudaranya yang konon j adi orang pent ing, Pak Talab menj adi pemborong karbit an yang selalu memenangkan t ender unt uk proyek-proyek Inpres. Pak Talab j adi orang kaya mendadak, orang kaya t iban. Lasi t ahu bet ul, orang-orang Karangsoga merasa risi dengan t ingkah Pak Talab. Apabila Pak Tir t erlihat asyik sendiri dengan kekayaannya, Pak Talab lain lagi. Dia dan keluarganya bert ingkah ket emben, pamer dengan kemakmuran yang mendadak mereka t erima. Ulah mereka macam-macam dan selalu dapat dibaca sebagai usaha menarik perhat ian dan mint a pengakuan akan kelebihan mereka di bidang hart a.

Pak Talab j uga j adi j arang bergaul dengan para t et angga. Dia sepert i t akut dikat akan masih sat u lapisan dengan orang kebanyakan. Apabila mendapat pengakuan, biasanya berupa puj ian, Pak Talab bungah sepert i anak kecil yang dimanj akan. Namun bila pengakuan t ak didapat , pol ahnya bisa t ak t erduga: kadang meraj uk, marah, at au malah j adi pamer dan pongah. Lasi t ahu bet ul , kebanyakan orang Karangsoga risi, bahkan malu. Pokoknya mereka t ak suka direpot kan oleh t ingkah Pak Talab.

Masalahnya, aku harus bagaimana andaikat a aku sendiri sudah menj adi ist ri Pak Han? Haruskah aku menghindari perilaku sepert i Pak Talab agar aku t idak membikin risi dan repot orang lain?

At au!

At au!

At au biarlah aku meniru Pak Talab unt uk mencolok mat a Darsa bahwa aku t idak pant as dia perlakukan seenaknya? Juga unt uk menunj ukkan kepada semua orang Karangsoga bahwa aku, Lasi, bisa meraih peluang unt uk membalas sikap mereka yang selalu meremehkan aku?

Dalam kegelapan kamarnya Lasi bangkit dan duduk bersimpuh di t empat t idur. Amat lengang. Namun Lasi t ersenyum dan t urun unt uk menyalakan lampu. Mat anya menyipit karena silau ol eh cahaya yang t iba-t iba membuat kamarnya benderang. Tanpa maksud t ert ent u Lasi duduk di depan kaca rias. Lasi berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri. Subj ek dan bayangannya saling t at ap dengan pandangan menusuk kedalaman hat i. Ada kesadaran yang t iba-t iba t erbit dan mendorong keduanya berbincang empat mat a.

"Las! "

"Iya. "

"Mungkin benar kat a Bu Lant ing; enak lho, j adi ist ri orang kaya. "

"Tak t ahul ah. "

"Mau mencoba?"

"Ent ahlah. Aku bingung. "

"Tet api kamu t ak bisa mengelak. Hayo, kamu mau apa bila t idak pat uh sama Bu Lant ing?"

"It ulah sulit nya. "

"Sudahlah, Las. Tak usah banyak pikir. Biarkan t erj adi apa yang agaknya harus

"Baiklah. Aku akan membiarkan t erj adi apa yang agaknya harus t erj adi. "

"Tidak hanya it u, Las. Kamu harus memanf aat kan pel uang yang ada di depanmu. Kamu sudah cukup pengalaman hidup menj adi ist ri penyadap yang serba susah. Nant i kamu boleh menikmat i kemakmuran yang ada di t anganmu. Kamu j uga sudah cukup menderit a karena sikap orang-orang Karangsoga yang selalu dengki kepadamu. Nant i kamu harus t unj ukkan kepada mereka siapa kamu sebenarnya dan apa saj a yang bi sa kamu lakukan t erhadap mereka. "

"Apa aku bisa?"

"Bisa saj a. "

"Kok kamu t ahu?"

"Jadi kamu bingung?"

"Memang aku bingung. "

Bingung. Dan Lasi bangkit lagi, berj alan ke t empat t idur dengan hat i dan j iwa yang sangat lelah. Agaknya aku harus rela hanyut pada apa yang akan t erj adi, keluhnya beberapa kali. Lasi merebahkan diri. Dan t ekanan yang menyesak dada t erasa menurun set elah Lasi beberapa kali mengosongkan dada dengan melepas desah panj ang. Angan-angan yang l int ang pukang mulai mengendap dan samar. Mat anya mulai t erasa berat . Jagat besarnya makin susut , susut , dan lenyap ke dalam j agat kecilnya kelika Lasi menarik napas yang lent ur pert anda ia mulai melayang ke alam mimpi. Tidur yang t ak seberapa lama t ergoda mimpi Bingung. Dan Lasi bangkit lagi, berj alan ke t empat t idur dengan hat i dan j iwa yang sangat lelah. Agaknya aku harus rela hanyut pada apa yang akan t erj adi, keluhnya beberapa kali. Lasi merebahkan diri. Dan t ekanan yang menyesak dada t erasa menurun set elah Lasi beberapa kali mengosongkan dada dengan melepas desah panj ang. Angan-angan yang l int ang pukang mulai mengendap dan samar. Mat anya mulai t erasa berat . Jagat besarnya makin susut , susut , dan lenyap ke dalam j agat kecilnya kelika Lasi menarik napas yang lent ur pert anda ia mulai melayang ke alam mimpi. Tidur yang t ak seberapa lama t ergoda mimpi

Ket ika Lasi bert emu di mej a makan unt uk sarapan, Bu Lant ing menagih j anj i.

"Sudah punya keput usan?"

Sej enak Lasi t ermangu t et api kemudian mengangguk perlahan.

"Bagaimana? Kamu ikut i kat a-kat aku, bukan?"

"Bu, sebenarnya saya t idak bisa memut uskan apa-apa. Saya hanya akan menurut ; semua t erserah Ibu bagaimana baiknya. Saya pasrah. Tet api, Bu, sebenarnya saya t akut . "

"Takut ? Kok?"

"Ya, Bu. Bagaimana j uga saya adalah seorang perempuan kampung. Apa saya bisa mendampingi Pak Han?"

"Las. kamu sudah lebih dari pant as j adi orang kot a. Sekarang ini malah t ak akan ada orang percaya bahwa kamu orang kampung. Jadi j angan ragu menerima t awaran Pak Han. Memang, kamu belum pernah j adi ist ri orang kaya. Ah, it u gampang, Las. Nant i kamu akan t ahu sendiri bahwa semuanya biasa dan mudah. "

"Bu, masih ada lagi yang menj adi pikiran saya; bagaimana soal surat cerai? Saya ingin bicara blak-blakan, t anpa surat cerai dari bekas suami, saya t idak mungkin mau kawin lagi. "

Waj ah Bu Lant ing berubah beku dan dingin.

"Kamu j angan khawat ir t ent ang kemampuan Pak Han. Sepert i sudah kubilang, kamu bisa memperoleh surat cerai di sini. Las, di Jakart a ini segala sesuat u bisa dit embak. Surat cerai, oh iya, j uga surat pindahmu bisa dit embak di sini dengan duit . Nah, agar urusan j adi cepat dan mudah, serahkan semuanya kepada Pak Han. Kamu t inggal t ahu beres. Enak, bukan?"

Lasi t ermenung. Kedua alisnya merapat .

"Tet api, Bu, soal surat cerai saya menghendaki yang asli, yang saya peroleh dari bekas suami. Saya j uga ingin mint a rest u orangt ua. "

"Oh, aku t ahu. Maksudmu, kamu ingin pulang dulu ke kampung?"

"Iya. "

Bu Lant ing diam. Ia memikirkan kemungkinan Lasi t ak kembali kepadanya bila sudah sampai di Karangsoga. Ah, t idak. Bekisar it u masih amat lugu. Lasi bisa dipercaya.

kukira Pak Han ingin bert emu kamu sebelum kamu berangkat . Lho iya, Las. Ini soal perj odohan. Jadi bagaimana j uga kamu harus berbicara dulu berdua-dua dengan dia. Ah, kamu sudah bisa pacaran. Menyenangkan, bukan?"

Tawa Bu Lant ing deras sepert i t alang bocor. Tet api Lasi malah menunduk dengan waj ah dingin.

"Lho, Las. Pacaran pent ing unt uk kesenangan hidup. Malah kamu t ahu aku yang t ak muda l agi ini pun masih suka pacaran. Ya, kan?"

Bu Lant ing t ert awa lagi. Dan Lasi makin menunduk.

Jam t uj uh malam Handarbeni muncul di rumah Bu Lant ing. Necis dengan baj u kaus kuning muda dan celana hij au t ua. Waj ahnya cerah dengan senyum renyah dan sorot mat a penuh kegembiraan. Rambut nya, meskipun sudah menipis, t ersisir rapi dan hit am oleh semir baru. Handarbeni sudah t ahu bekisar it u mau, at au set idaknya t idak menolak menj adi miliknya dari pembicaraan t elepon dengan Bu Lant ing t adi siang. Kini Handarbeni dat ang karena ingin berbicara sendiri dengan bekisarnya.

"Wah, Anda kelihat an lain, Pak Han, " sambut Bu Lant ing di t eras.

"Lain? Aku masih biasa sepert i ini. "

"Pokoknya bila hat i sedang menyala segalanya j adi lain; ya kelimis, ya necis, ya murah senyum. Ah, t et api Anda memang layak bersenang hat i malam ini. Hat i siapa sih, yang t idak menyala mendapat bekisar cant ik dan masih begit u segar?"

Handarbeni hanya membalas dengan senyum dan duduk sebelum nyonya rumah menyilakannya. Mengambil rokok dari saku baj u dan menyalakannya. Gelisah. Bu Lant ing t ersenyum. Lucu. Ternyat a, seorang kakek pun t et ap bisa celala- celili, gampang salah t ingkah ket ika menunggu pacar keluar dari kamar. Masih dengan senyum, Bu Lant ing masuk unt uk memberit ahu Lasi akan kedat angan t amunya. Lasi menanggapinya dengan sikap biasa, sangat biasa. Namun set idaknya Lasi mengangguk ket ika Bu Lant ing menyuruhnya memat ut diri sebelum keluar menemui Handarbeni.

"Pak Han, kukira bekisar it u sudah j inak dan bisa Anda masukkan ke dalam sangkar yang sudah Anda sediakan. Namun pandai-pandailah membuat dia bet ah. Karena bekisar Anda akan menemui banyak hal yang sangat boleh j adi t ak pernah dibayangkan sebelumnya, lebih l agi perj odohannya dengan Anda. Dia harus banyak melakukan penyesuaian dan bila gagal akan menj adikannya t idak bet ah t inggal dalam sarang yang paling bagus sekalipun. Pokoknya Anda barus merawat nya dengan sangat hat i-hat i. "

"Aku sudah pernah bilang bahwa aku bukan anak muda lagi. Aku sudah bisa ngemong dan yang pent ing aku sudah biasa bersabar. "

"Sebenarnya saya sudah t ahu siapa dan bagaimana Anda. Namun saya merasa harus bicara sekadar mengingat kan Anda agar t et ap berhat i-hat i. Nah, sekarang, Anda berdua mau cukup bert emu di sini at au bagaimana?"

"Kamu past i t ahu apa yang kuinginkan. "

"Tahu! Anda ingin keluar berdua. Silakan. Saya pun punya j anj i malam ini. "

"Jadi kamu j uga mau keluar?"

Bu Lant ing hanya t ersenyum lebar. Handarbeni j uga hendak t ert awa t et api t ert ahan karena Lasi muncul. Bu Lant ing mengat ur Lasi duduk pada kursi yang paling dekat dengan Handarbeni. Suasana t erasa agak kaku dan akan t erus demikian apabila Bu Lant ing t idak mencairkannya.

"Kalau sudah begini saya t idak bisa bilang apa-apa sel ain ucapan selamat . Ah, set idaknya selamat berbicara dari hat i ke hat i buat Anda, Pak Han, sert a kamu, Lasi. Dan t idak sepert i wakt u lalu, sekarang saya t idak boleh menj adi pihak ket iga di ant ara Anda berdua. Jadi. . . "

Sebuah mobil t erlihat membelok masuk halaman. Bu Lant ing segera t ahu siapa yang dat ang. Si Kacamat a t urun set elah memberi aba-aba dengan klaksonnya.

"Ah, rupanya sayalah yang harus berangkat l ebih dulu. Yang menj emput saya sudah dat ang. Pak Han, Lasi, silakan at ur wakt u Anda berdua. Saya berangkat . Selamat ya. "

Bu Lant ing bergerak agak t ergesa sepert i anak it ik manila lari ke kubangan. Handarbeni memandangnya dengan senyum. Ada yang t erasa lucu. Ternyat a, seorang nenek pun bisa bert ingkah sepert i perawan ingusan bila sedang pacaran.

Hanya t inggal berdua, Handarbeni dan Lasi sej enak t erj ebak dalam kelengangan. Lasi bahkan merasa sangat berat unt uk mengangkat muka. Ada kegelisahan mengusik hat inya, semacam rasa bersalah ent ah kepada siapa, karena Lasi seakan sudah menyediakan diri dimiliki oleh seorang l elaki lain. Dalam pandangan mat a yang t iba-t iba membaur Lasi melihat dengan j elas bilik t idur dal am rumahnya di Karangsoga. Lasi j uga melihat kain sarung Darsa t erayun pada t ali sampiran dalam bilik it u. Bahkan Lasi seakan merasakan

"Las, " suara Handarbeni pelan dan dat ar. Tet api t ak urung Lasi t ersent ak dibuat nya. "Bu Lant ing sudah bilang soal keinginanku kepadamu, bukan?"

Diam. Waj ah Lasi menj adi permukaan air yang diam t anpa riak sekecil apa pun. Namun t erlihat beban berat di balik t at apan mat anya yang kosong.

"Bagaimana, Las?"

Lasi mengerut kan kening lal u samar-samar mengangguk.

"Kat a Bu Lant ing kamu menerima aj akanku. Begit u, bukan?"

Lasi kembali beku. Keraguan dan kehampaan muncul lagi di waj ahnya.

"Bagaimana? Kat akanl ah, Las. "

"Pak. . . "

"Ya?"

"Saya cuma menurut , " kat a Lasi pelan, t anpa mengangkat waj ah. Handarbeni mendesah, lega. Tersenyum sendiri dan mat anya lekat pada Lasi yang t et ap menunduk.

"Las, aku ingin bicara agak banyak t et api bukan di t empat ini. Kit a keluar sekalian makam malam. Kamu mau, bukan?"

Lasi t erdiam dan kelihat an ragu.

"Saya malu. "

"Tak usah malu, Las. Kamu sudah lama menj adi anak Jakart a, menj adi anak Bu Lant ing. Kalau mau hidup di kot a ini, j angan t erlalu banyak rasa malu. Ayol ah. "

Akhirnya Lasi mengangguk. Lasi merasa t ak punya t empat lagi unt uk bersembunyi. Handarbeni t ersenyum. Mat anya berkilat .

"Las, aku ingin mendengar suaramu. "

"Ya, Pak. " Suara Lasi l irih set elah sekian lama t et ap membisu.

"Ah, meski aku memang sudah t ua, aku lebih suka kamu panggil Mas. Bagaimana?"

"Ya, Pak. Eh. Ya, Mas. " Suara Lasi lirih sekali dan t erdengar agak t erpaksa.

"Nah, begit u. Sekarang ambil baj u hangat sebab udara di luar agak dingin. " "Nah, begit u. Sekarang ambil baj u hangat sebab udara di luar agak dingin. "

"Nant i dul u, Las. Aku hampir lupa. Aku punya sesuat u unt uk kamu. "

Handarbeni merogoh saku celana dan mengambil sesuat u yang t erbungkus kert as dan menyerahkannya kepada Lasi. "Bukalah di dalam dan kalau kamu suka, pakailah. "

Lasi mengulurkan t angannya dengan canggung, mengucapkan t erima kasih dengan suara yang hampir t ak t erdengar lal u melangkah masuk. Dalam kamar set elah menarik baj u hangat dari gant ungan, Lasi ingin melihat isi bungkusan yang t ergenggam di t angannya. Sesuat u yang melingkar, dan agak berat . Ket ika bungkusan t erbuka mat a Lasi t erbelalak melihat sebuah gelang yang t idak t erlalu besar namun bermat a banyak. Tanpa sadar Lasi memasang gelang it u pada t angan kirinya. Cahaya put ih kebiruan berj at uhan dari pernik-pernik permat anya. Lasi berdebar. Ia t idak mengert i t ent ang int an at au berlian. Namun t erasa ada sihir yang membuat nya t ersenyum. Ada sihir berbisik di hat i mengat akan bahwa semua perempuan past i menyukai dan membanggakan gelang sepert i it u. Sihir it u pula yang mengat akan bahwa sangat bodoh bil a Lasi menampik pemberian Pak Han it u. Lasi kembali t ersenyum.

Dan senyum it u masih t ersisa ket ika Lasi kembali berhadapan dengan Handarbeni di ruang t amu. Senyum berhias lekuk pipi yang membuat Handarbeni t erbayang pada waj ah Haruko Wanibuchi meskipun bint ang f ilm Jepang it u hanya sempat dikenal nya melalui maj alah hiburan.

"Sudah siap, Las?" t anya Handarbeni lembut dan sant un sepert i gadis kecil sedang memanj akan bonekanya.

"Sudah, Pak. "

"Eh, iya. Saya sudah siap, Mas. "

"Ayolah. "

Lasi menurut ket ika Handarbeni membimbing t angannya berj alan keluar. Seorang gent leman t ua mengepit t angan pacarnya yang belia l alu dengan anggun membukakan pint u kiri mobil, memut ar unt uk mencapai pint u kanan, dan sesaat kemudian mesin pun mendesing lembut . Lasi membeku. Ent ahlah, mendadak Lasi merasa seharusnya ia t idak dalam keadaan berdua-dua dengan seorang lel aki, siapa pun dia.

"Ingin makan apa, Las; ayam goreng, rendang Padang, apa masakan Cina?" t anya Handarbeni set elah mobil meluncur di Jalan Cikini.

Lasi t et ap membeku.

"Las?"

"Oh. . . "

"Kamu ingin makan apa?"

"Anu. Terserah. Saya ikut saj a. "

"Saya t ak punya permint aan apa-apa, kok. "

"At au ayam Kalasan di Arya Dut a?"

"Terserah saj a. "

"Ah, aku lupa. Set engah darahmu adalah Jepang. Sudah pernah menikmat i sukiyaki at au t empura?"

"Apa it u?"

"Hidangan dari negeri ayahmu, Jepang. "

"Namanya pun saya baru mendengar. "

"Mau mencoba?"

"Pak. . . eh, Mas Han, sebenarnya saya ingin makan nasi dengan sambal t erasi dan lalapan. "

Senyap. Lasi t erkej ut dan menyesal at as ket erus-t erangannya. Malu, dan ingin mencabut kat a-kat anya andaikan bisa. Handarbeni t ersenyum, nyaris menj adi t awa. Tet api t ua bangka it u segera sadar, menert awakan kej uj uran orang,

"Dengan senang hat i, Las, kamu akan kuant ar ke sana. Di Jakart a ini, apalah yang t iada. Percayalah, kit a akan mendapat hidangan nasi put ih dengan sambal t erasi dan l alapan. Tambah sayur bening dan ikan asin?"

Lasi t ert awa lirih dan menunduk.

"Semua it u hidangan unt uk orang kampung sepert i saya, Mas Han. Apa Mas Han j uga suka?"

"Ya, aku j uga suka. "

"Bukan pura-pura suka?"

"Ah, Las. Bila soal makan t idak bercampur dengan urusan gengsi dan semacamnya, semuanya bisa sangat sederhana; yang pent ing sehat . Yang pent ing nil ai gizinya, bukan j enis at au harganya at au dari mana asalnya. "

"Jadi Mas Han benar-benar suka sambal t erasi?"

"Hm, ya. Apalagi bila kamu yang membuat nya. " Lasi t ersipu. Suasana menj adi begit u menyenangkan sehingga hat i Handarbeni berkobar, mendorong t angan kirinya bergerak dan j emarinya menggamit dagu Lasi. Dan Lasi menarik kepalanya ke belakang karena dia t idak siap menerima kemesraan sepert i it u.

Di sebuah rumah makan khas Sunda, Lasi menemukan hidangan yang sudah sekian lama amat dirindukannya. Seluruh sist em pencernaannya yang sudah Di sebuah rumah makan khas Sunda, Lasi menemukan hidangan yang sudah sekian lama amat dirindukannya. Seluruh sist em pencernaannya yang sudah

"Las, sehabis makan kamu ingin ke mana lagi?"

"Tak ingin ke mana-mana. "

"Nont on?"

"Tidak t ahu. Saya t idak ingin ke mana-mana. "

"Kalau begit u lebih baik kit a pul ang ke Slipi. Kit a omong-omong saj a di rumah sendiri, past i lebih lel uasa. Kamu mau, bukan?"

Kali ini Handarbeni t ak menunggu perset uj uan Lasi.

"Tet api j angan sampai t erlalu malam. "

"Kamu t akut sama Bu Lant ing?"

"Bukan t akut , nggak enak. "

"Kamu bisa t elepon kepada Bu Lant ing. At au malah t ak perlu. Kit a sudah j adi calon suami-ist ri, bukan?"

Lasi t erkej ut . Tiba-t iba Lasi sadar bahwa Handarbeni memang punya cukup alasan unt uk berkat a sepert i it u.

Dalam perj alanan ke rumah Handarbeni di Slipi, Lasi t ak pernah bicara kecuali sekadar menj awab pert anyaan yang diaj ukan kepadanya. Lasi t engah mencoba mencairkan kebimbangan karena t idak sepenuhnya mengert i lakon apa yang sedang diperaninya. Perasaannya mengambang dan samar. Namun dari segala yang mengambang dan samar it u ada sat u t it ik yang past i: Lasi merasa t idak seharusnya berada dal am keadaan sepert i sekarang ini. Dan perasaan asing it u makin memberat di hat i set elah Lasi berada di dalam rumah Handirbeni yang baru dibangun it u.

"Las, ini bukan rumah siapa-siapa melainkan rumah kit a. Kamu bukan orang asing di sini. Malah, kamu nyonya rumah. "

"Bukan, Mas Han, " uj ar Lasi.

"Bukan? Ah, ya. Lebih t epat dikat akan kamu calon nyonya rumah ini. Meskipun begit u aku sudah menganggap kamu nyonya rumah sepenuhnya. Jadi j angan canggung. Kamu sudah t ahu t empat nya bil a kamu memerlukan makanan dan minuman. Juga lemari pakaianmu sudah t ersedia dengan isinya. Tet api maaf , aku belum mendapat pembant u yang cocok. Di sini baru ada Pak Min, sopir, dan Pak Uj ang, penj aga. "

Lasi sepert i t ak berminat mendengarkan penj elasan Handarbeni. Mungkin karena t erlalu nikmat makan dengan sambal dan lalapan, Lasi kelihat an lelah. Ia duduk sepert i orang yang mulai mengant uk. Handarbeni mendekat dan memint a Lasi pindah duduk di sof a. Mereka berdekat -dekat . Lasi kembali merasa t idak seharusnya berada dalam keadaan sepert i it u. Lebih lagi karena

"Las. . . "

"Ya, Mas. "

"Rumah ini sudah l engkap, kok. Maksudku, j ika lelah malam ini kamu bisa t idur di sini. Ada banyak kamar. Kamu t inggal pilih. Ndak apa-apa kok, Las. Bet ul, ndak apa-apa. "

Tak ada t anggapan. Lasi bermain dengan j emarinya. Dan menggeleng.

"Lho, daripada t idur di rumah Bu Lant ing? Rumah it u t akkan pernah menj adi milik kit a, bukan?"

Lasi menggeleng lagi. Dan dalam hat inya t erus berkembang perasaan bahwa dirinya t idak pat ut berdua-dua dengan Handarbeni. Bahkan akan menginap di bawah sat u at ap? At au bahkan sat u kamar?

Handarbeni bingung, sepert i kehilangan acara. Bangkit , mengambil dua minuman kaleng dari l emari pendingin. Kembali ke sof a dan mendapat i Lasi benar-benar mulai t erkant uk. Handarbeni melet akkan minuman di at as mej a kecil di samping sof a, duduk, dan menegakkan kepala karena Lasi mint a diant ar pulang ke rumah Bu Lant ing. Handarbeni menepuk dahi sendiri dan t iba-t iba waj ahnya cerah. Ada gagasan. "Tunggu sebent ar, Las. "

Handarbeni masuk ke sebuah kamar dan keluar lagi dengan sebuah proyekt or kecil di t angan, melet akkannya di at as mej a kemudian menghadapkannya ke t embok. Tangannya sibuk memasang f ilm, mengulur kabel, lal u berj alan Handarbeni masuk ke sebuah kamar dan keluar lagi dengan sebuah proyekt or kecil di t angan, melet akkannya di at as mej a kemudian menghadapkannya ke t embok. Tangannya sibuk memasang f ilm, mengulur kabel, lal u berj alan

Lasi hampir t ert idur. Namun t erkej ut karena t iba-t iba lampu padam dan ada bioskop di t embok depan sana, Lasi kembali t erj aga. Apalagi kemudian Handarbeni kembali duduk di sampingnya sambil melingkarkan t angan ke pundak.

"Las, j angan ngant uk. Kit a nont on f ilm. "

Lasi diam dan meski t erasa berat mat anya mulai mengikut i adegan di depan sana. Sebuah suasana purba. Seorang lelaki prasej arah yang hampir t elanj ang dan berambut panj ang, berj alan mengendap-endap di sepanj ang bant aran sungai. Lel aki kekar dan masih muda it u bersenj at akan sepot ong t ulang besar, berj alan agak t erbungkuk. Serangga dan burung-burung kecil bet erbangan ket ika si manusia purba berj alan menembus belukar.

Lasi menikmat i t ont onan it u. Pemandangan di sana mengingat kan Lasi pada pengalamannya sendiri ket ika mengumpulkan kayu bakar di hut an. Ada serangga bet erbangan, ada derik rant ing kering t erinj ak, dan ada gemercik air di dasar j urang. Bau l umut dari dinding t ebing. Ada kokok ayam hut an. Ada ramat laba-laba berpendar sepert i j ala benang sut era yang dit ebar di udara. Tet api Lasi merasa ngeri ket ika bioskop memperlihat kan seekor buaya t iba-t iba muncul dan menyerang si lelaki purba. Dengan senj at a t ulangnya lelaki it u membela diri bahkan mengalahkan penyerangnya.

Lasi lega. Mat anya t erus lekat pada gambar hidup yang t erproyeksi di t embok sana. Demikian asyik sehingga Lasi kurang menaruh perhat ian t erhadap t angan Handarbeni yang mul ai sempoyongan, melingkari pinggangnya.

Manusia purba it u t erus berj alan lalu berhent i di t ubir lembah. Mat a si purba memandang ke bawah, menat ap sepasang kambing hut an yang sedang berkelamin. Si kambing j ant an t erlal u besar dan perkasa bahkan brut al

Selesai menont on kambing kawin lelaki purba it u meneruskan perj alanan, menembus hut an dengan pepohonan raksasa. Tet api l agi-lagi ia berhent i dan menat ap ke at as. Di sana, pada dahan besar yang t umbuh mendat ar, ada sepasang munyuk, j uga sedang berkel amin. Primit if , hewani. St eril. Lasi t ersenyum at au memalingkan muka at au memej amkan mat a. Sekali t erdengar Lasi t erkikih. Dan di l uar kesadaran Lasi, Handarbeni makin lekat . Sement ara Lasi makin hanyut dengan t okoh l elaki purbanya apalagi ket ika si t okoh t iba- t iba membalikkan badan, l ari, dan t erus lari menempuh j alur yang semula dilewat inya. Burung-burung kecil kembal i bet erbangan. Serangga berhamburan. Si purba t erus lari menempuh semak, t anah t erbuka, bibir t ebing, kemudian t iba pada wilayah t epi sungai yang bergua-gua. Lelaki purba it u masuk ke dalam salah sat u gua dan menarik keluar seorang perempuan yang sama purbanya. Perempuan it u dipaksa melepaskan anak kecil yang kebet ulan sedang dit et ekinya.

Lasi menahan napas. Tet api di sebelahnya Handarbeni malah t ert awa ngikik. Handarbeni sudah bel asan kali melihat f ilm cabul yang sedang diput arnya it u dan kini sengaj a menyaj ikannya kepada Lasi demi sebuah t uj uan. Dan Lasi kembali menahan napas ket ika melihat si l elaki purba mulai memaksa perempuan pasangannya. Brut al sepert i kambing j ant an. Primit if , hewani, st eril, sepert i munyuk. Tidak. Lebih dari it u. Di mat a Lasi adegan ant ara lelaki purba dan pasangannya di sana j uga t erasa liar, sangat t idak waj ar, biadab, nirsila, menj ij ikkan, dan ent ah apa lagi , Lasi t ak punya cukup perbendaharaan kat a unt uk melukiskannya. Yang j elas Lasi mulai merasa perut nya mual. Jant ungnya berdebar. Kepalanya pening. Badannya basah oleh keringat dingin. Menggigil . Mendesah dalam keluhan yang t ak j elas. Kemudian Lasi sungguh- sungguh memej amkan mat i karena merasa t ak sanggup lebih lama melihat apalagi mencerna adegan yang bagi penglihat annya, sangat , sangat , sangat cabul. Lebih dari brengsek dari segala brengsek yang pernah dilihat at au didengarnya. Sat u hal saj a cukup membuat bulu kuduk Lasi berdiri; sekadar j empol t angan suaminya pun Lasi belum pernah disuruh mengulumnya! Padahal yang baru dit ont onnya sepuluh kali lebih brengsek.

Film habis t anpa Lasi menget ahui bagaimana akhir cerit anya. Tet api Lasi malah merasa berunt ang t idak melihat nya sampai selesai. Meskipun begit u perut nya t et ap t erasa mual. Kepalanya pusing. Lasi hampir munt at h. Handarbeni cepat bangkit unt uk menyalakan lampu. Dan t erkej ut ket ika di bawah lampu yang t erang t erlihat waj ah Lasi amat pucat dan shock. Lasi

Handarbeni berj alan hilir-mudik menunggu Lasi keluar dari kamar mandi. Menggeleng-gelengkan kepala, penasaran. Dan t erasa ada yang meleset . Dengan memut ar f ilm biru, sesungguhnya, Handarbeni ingin mencoba mengundang f ant asi berahi unt uk membakar Lasi. Bila api sudah berkobar Handarbeni akan berj erang dan mengendal ikannya sepuas hat i. Meleset . Lasi bukan hanya t ak t erbakar, kok malah munt ah? Meleset . Handarbeni sungguh penasaran. Bahkan khawat ir j angan-j angan Lasi j adi benar-benar sakit . Tet api Handarbeni mencoba t enang ket ika berhadapan dengan Lasi yang baru keluar dari kamar mandi.

"Las, kamu sakit ?"

"Tidak, " j awab Lasi sambil menggelengkan kepala. Tet api waj ahnya masih pucat . Bibirnya pasi.

"Kok munt ah?"

"Mual dan pusing. Namun sekarang sudah hilang, " j awab Lasi sambil duduk lesu.

"Unt uk mual dan pusing di sini ada persediaan obat nya. Akan kuambil unt ukmu. "

"Jangan repot , Mas Han. Saya sudah sembuh. Saya t ak memerlukan obat , " uj ar Lasi bohong, padahal kepalanya masih berdenyut dan rasa mual belum hilang benar dari perut nya.

Handarbeni lenyap. Duduk seorang diri, Lasi merasa sepert i baru dat ang dari t empat asing. Film yang baru dit ont onnya it u! Lasi bergidik. Muskil, must ahil . Sebidang wilayah yang baginya sangat pribadi dan rahasia, yang bagi Lasi keindahannya j ust ru t erlet ak pada kerahasiaannya it u, bisa disont oloyokan dengan cara yang paling brengsek. Lasi bergidik lagi. Mual dan pusing lagi. Ada yang t erasa t erinj ak-inj ak dalam j iwanya. Anehnya, kesont oloyoan it u j uga membawa pert anyaan yang menusuk hat i: mengapa kamu merasa t erhina ket ika melihat adegan brengsek it u? Unt uk pert anyaan ini Lasi hanya punya j awaban sahaj a, "Karena aku bukan kambing, bukan pula munyuk. "

At au Lasi malah berpikir, apakah bukan karena dirinya orang kampung, dia merasa muskil ket ika berhadapan dengan kebrengsekan it u? Karena t ernyat a Lasi j uga merasa, hal t ergariskan sebagai orang kampung yang miskin, t ak t erdidik, dan t ak berpengalaman mungkin adalah sebuah kesalahan nasib yang menyebabkan ket ert inggalan. Dengan demikian kegagapannya menghadapi adegan t anpa rasa malu, sepert i yang baru dit ont onnya beberapa saat berselang, adalah sebuah kesalahan dan ket ert inggalan pula. Dengan kat a l ain, mereka yang bisa mendapat kenikmat an dari t ont onan cabul semacam it u, Pak Han misalnya, berada pada pihak yang t ak salah dan t ak t ert inggal zaman. Karena it u mereka t ak usah dipersamakan dengan kambing apalagi munyuk. Demikiankah seharusnya?

At au bukan hanya Pak Han. Di warung Bu Koneng pun Lasi sudah melihat sesuat u yang baginya sangat ganj il mengenai perkelaminan. Para lelaki yang membeli si Ant ing Besar at au si Bet is Kering di warung Bu Koneng; beberapa di ant aranya kelihat an baru sekali bert emu dengan perempuan yang dibelinya. Hampir t anpa perkenalan, mereka bisa langsung masuk kamar. Lasi sering heran, sangat heran; keint iman semacam it u mereka lakukan t anpa keakraban hat i dan j iwa? Jadi hanya penyat uan raga? Perset ubuhan! Bukan peleburan dua pribadi secara t ot al ?

Lasi ingat , dulu, apa yang dilakukannya bersama Darsa adalah sesuat u yang dimulai dengan api yang memercik dalam j iwa. Tulus. Yang menyat u bukan hanya badan, melainkan ada yang lebih mendalam lagi. "Perset ubuhan" adalah kat a yang t ak cukup memadai unt uk menyebut kannya.

Ah! Lasi menggelengkan kepala. Dan t iba-t iba pikiran Lasi melayang ringan. Ingat annya kembali kepada f ilm cabul it u. Ent ahlah, kini Lasi mengenangnya dengan pikiran yang cair, komis. Tanpa mengert i mengapa bisa t erj adi, Lasi merasa t el ah berpindah sudut pandang. Dalam f ilm cabul t adi dit ampilkan gaya seekor kambing j ant an yang brut al dan penuh t enaga. Mengerikan. Tet api si munyuk? Lasi t ersenyum. Binat ang yang mirip manusia it u dalam penampilan perkelaminannya, t idak bisa t idak, t erl ihat menggelikan. Tampangnya blo'on. Lucu. Bila mengingat nya t ak bisa lain Lasi harus t ersenyum. Malah Lasi sedang t erpingkal t anpa suara ket ika Handarbeni dat ang membawa segel as t eh manis.

"Kamu t ert awa, Las?"

Lasi makin t erpingkal hingga air mat anya keluar.

"Tidak. "

"Tidak? Kamu sedang t ert awa, bukan?"

"Lucu. "

"Lucu?"

"Ya. Ternyat a munyuk bisa brengsek, kayak manusia. "

Tawa Lasi meledak. Sambil memegangi perut nya yang t erasa sakit karena lama t erpingkal , Lasi menel ungkup di at as mej a dan t erus t ert awa. Handarbeni kecut . Lelaki it u pun ikut t ert awa t et api bukan karena merasa ada sesuat u yang lucu. Handarbeni t ersodok oleh gaya pert anyaan Lasi. Ternyat a, dalam

Lasi merasa sepert i daun bungur yang j at uh ke alas air Kalirong. Hanyut , mengapung, dan kadang menyerah ket ika dipermainkan angin.

Ket ika akhirnya t awa Lasi habis, yang t ersisa adalah suasana yang akrab dan mengendap. Handarbeni merasa set engah berhasil. Memang dia gagal membakar berahi Lasi. Namun keakraban yang t ercipt a set idaknya membuat Handarbeni merasa t iada beban ket ika harus berbicara t ent ang hal-hal yang sangat pribadi. Dia t idak bosan memuj i keindahan mat a dan lekuk pipi Lasi dan senang memanggilnya dengan Haruko. Dan ket ika merasa j arak hat i sudah demikian dekat Handarbeni, sekali lagi, memint a Lasi menginap. Mendengar pemint aan Pak Han, mendadak Lasi surut sepert i siput menarik diri ke balik perlindungan rumah kapurnya. Ket ika Handarbeni mengulang permint aannya, Lasi hanya menj awab dengan gel engan kepala.

Handarbeni diam. Menghadapi ket eguhan Lasi t erasa ada sodokan t erarah ke lembaga moral yang sudah lama t ak pernah menj adi pert imbangan perilakunya. Namun anehnya Handarbeni t ersenyum. Lagi-lagi Handarbeni merasa ada pert ahanan dalam kel uguan perempuan kampung; pert ahanan yang memerlukan perj uangan unt uk menembusnya, sebuah t ant angan yang membawa kadar kenikmat an. Handarbeni t ersenyum lagi. Tet api dadanya bergemuruh. Apalagi ket ika Lasi pun menat ap dengan senyumnya yang berhias lesung pipit .

"Jadi bagaimana, Las?" ucap Handarbeni dalam desah.

"Saya ingin pulang. "

"Baik. Aku akan mengant armu. Dengan senang hat i. "

"Bukan cukup dengan Pak Min?"

Lasi t ersenyum dan membiarkan Handarbeni menggandeng dirinya keluar. Tet api unt uk kesekian kali Lasi merasa t idak seharusnya membiarkan diri digandeng seorang lel aki. Ent ahl ah.

Jarang t erj adi bulan Puasa j at uh pada musim kemarau. Tet api hal yang j arang it u selalu dinant i oleh para penyadap, karena sudah menj adi kebiasaan pada saat sepert i it u harga gula akan naik dan bisa mencapai t it ik t ert inggi. Para penderes sendiri t idak mengert i mengapa harga gul a naik pada bulan Puasa, t erut ama sej ak sepul uh hari menj elang Lebaran. Mereka hanya t ahu dari pengalaman sej ak lama bahwa harga dagangan mereka membaik bahkan melonj ak menj elang akhir bulan it u. Tet api para t engkulak sepert i Pak Tir bisa mengat akan bahwa kenaikan harga gula disebabkan ol eh melonj aknya t ingkat konsumsi di kot a-kot a besar. "Pada bulan Puasa banyak orang membuat makanan manis, t erut ama di kot a. "

Harga j ual gula yang sangat baik pada bulan Puasa dan mudahnya kayu bakar didapat pada musim kemarau adalah dua hal yang bersama-sama mampu sej enak menj ernihkan waj ah masyarakat penyadap. Pada musim ini para penyadap nuerasa pekerj aan mereka j auh l ebih ringan. Selain mudah mendapat kayu bakar, bat ang kelapa t idak licin karena lumut yang melapisinya mengering. Nira j uga sangat bernas. Inil ah hari-hari para penyadap sej enak bisa t ersenyum dan t ert awa. Mereka unt uk sement ara cukup makan dan mungkin bisa menyisihkan sedikit uang unt uk menggant i baj u anak-anak. Dan karena hat i t erasa ringan, sering t erdengar mereka berdendang ket ika mereka membelah kayu at au bahkan ket ika mereka sedang t ersiur-siur pada ket inggian pohon kelapa. Anak-anak mereka pun berubah. Pipi mereka j adi mont ok dan bet is mereka j adi berisi. Mereka bergembira dan sering bert embang ramai- ramai di bawah sinar bulan. Ada sebuah t embang yang sangat mereka sukai, t embang t ent ang harapan di bul an Puasa bagi anak-anak yang sehari-hari t ak

Dina Bakda uwis leren nggone pasa

Padha ariaya seneng-seneng at i raga

Nyandhang anyar sart a ngepung sega punar

Bingar-bingar mangan enak ngant i meklar

Di hari lebaran sudah kit a purnakan puasa

Kit a berhari raya, bersenang j iwa dan raga

Berbusana baru, menyant ap nasi pat en

Riang gembira sant ap enak hingga perut

kenyang benar

Malam hari, sement ara anak-anak berlar ian at au bert embang di bawah sinar bulan, beberapa lelaki biasa berkumpul di surau Eyang Mus. Ket ika hidup t erasa kepenak; t ak sia-sia, dan perut t erasa aman, mereka punya pel uang memikirkan sesuat u yang t ak pernah hilang dalam j iwa t et api sering mereka lupakan ket ika lapar: sangkan paraning dumadi. Para penyadap yang selalu menyebut Gust i Allah unt uk membuka kesadaran t erdalam demi keselamat an mereka, sering lupa pergi ke surau karena mereka bingung menj awab pert anyaan yang menggigit ; mana yang harus didul ukan, oman at au iman? Oman adal ah t angkai bulir padi, perlambang keamanan perut . Oman dan iman adalah kebingungan para penyadap yang muncul dalam ungkapan yang sering mereka ucapkan, "Bagaimana kami bisa lest ari berbakt i bila perhat ian kami habis oleh ket akut an akan t iadanya makanan unt uk besok pagi?"

Maka ket ika ket akut an it u hilang, para penyadap sangat ingin membukt ikan diri bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang t et ap el ing dan t et ap berhat i rumangsa di hadapan kemahakuasaan Gust i. Mereka berpuasa karena dalam suasana perut aman mereka j ust ru t ak ingin lagi berkat a, "Buat apa puasa karena t anpa puasa pun perut kami selalu kosong. " Dan hanya di surau Maka ket ika ket akut an it u hilang, para penyadap sangat ingin membukt ikan diri bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang t et ap el ing dan t et ap berhat i rumangsa di hadapan kemahakuasaan Gust i. Mereka berpuasa karena dalam suasana perut aman mereka j ust ru t ak ingin lagi berkat a, "Buat apa puasa karena t anpa puasa pun perut kami selalu kosong. " Dan hanya di surau

Namun t ak j arang, set elah lelah membaca slawat an at au suluk mereka t erlibat dalam percakapan t ent ang hukum dan biasanya Eyang Mus menj adi sumber ruj ukan. Malam ini ada sebuah pert anyaan sangat khas yang selalu menggant ung, karena set iap kali diaj ukan, Eyang Mus l ebih suka menghindar daripada menj awabnya. Pert anyaan it u sudah diaj ukan Mukri pada Puasa t ahun kemarin dulu: apakah seorang penderes sepert i Mukri t et ap waj ib berpuasa sement ara in harus naik-t urun 40 pohon kel apa pagi dan sore hari?

"Eyang Mus, malam ini saya mint a j awaban yang j elas. Saya t idak t ahan lebih lama dalam kebingungan; t idak puasa t akut salah, t et api bila berpuasa kaki saya sering gemet ar ket ika naik-t urun pohon kelapa. Apalagi bila hari huj an. "

"Bet ul, Eyang Mus, " sela San Kardi. "Sudah sekian t ahun Eyang Mus t ak mau menj awab pert anyaan ini. Sekarang Eyang Mus kami mint a menj awabnya. "

Suasana mendadak j adi sepi. Terdengar dengan j elas suara anak-anak yang berebut an kunang-kunang di hal aman. Eyang Mus menunduk sehingga kelihat an j elas iket wulung yang membalut kepalanya. Terbat uk lirih lalu mengangkat muka. Senyumnya yang t ul us menghias waj ahnya yang t ua.

"Ah, kalian t ak pernah bosan mengaj ukan pert anyaan ini. Begini, Anak-anak. Dhawuh berpuasa hanya unt uk mereka yang percaya, dan dasarnya adalah ket ulusan dan kej uj uran. Int inya adal ah pelaj aran t ent ang pengendalian dorongan rasa. Mukri, bila kamu kuat melaksanakan puasa meski pekerj aanmu berat , dhawuh it u sebaiknya kamu laksanakan. "

"Bila t ak kuat ?" pot ong Mukri.

"Di sinilah pent ingnya kej uj uran it u. Sebab kamu sendirilah yang paling t ahu kuat -t idaknya kamu berpuasa sement ara pekerj aanmu memang menguras banyak t enaga. Apabil a kamu benar-benar t idak kuat , ya j angan kamu paksakan. Nant i malah mengundang bahaya. Dalam hal sepert i ini kukira kamu bisa menggant i puasamu dengan cara berderma at au menebusnya dengan berpuasa pada bulan l ain. Gampang?"

Mukri dan San Kardi saling pandang. Keduanya t ampak gembira karena merasa sudah t erlepas dari kebimbangan yang lama menindih hat i mereka.

"Jelasnya, Yang, bila saya t ak kuat berpuasa karena pekerj aan yang sangat berat , saya boleh berbuka?"

Eyang Mus mengangguk dan t ert awa. "Asal kamu t ulus dan j uj ur. "

"Eyang Mus. . . "

"Nant i dul u, aku belum selesai bicara. Meski kalian bisa memperoleh kemudahan, j angan l upa bahwa dalam bul an Puasa sepert i sekarang ini kal ian t et ap dimint a berlat ih mengendalikan naf su, perasaan, dan keinginan. Karena, it ulah int i aj aran puasa. "

"Baik, Yang. Tet api it u, lho. Jawaban Eyang Mus t ernyat a sederhana. Lal u mengapa Eyang Mus menundanya sampai bert ahun-t ahun?"

Eyang Mus t erkekeh. Mulut nya yang sudah ompong t erbuka. "Mau t ahu j awabku? Begini, Anak-anak. Aku memang membat asi diri berbicara soal puasa. Sebab aku t ahu kalian bekerj a sangat berat dan berbahaya, sement ara pekerj aanku hanya memelihara sebuah kol am ikan, it u pun t idak seberapa l uas. It ulah, maka aku t ak berani mengat akan puasamu harus sama sepert i puasaku. "

"Dan it ulah, maka sampai sekian lama Eyang Mus t ak berani bert erus t erang kepada kami?" seloroh Mukri.

Mereka t ert awa. Eyang Mus j uga t ert awa.

Bulan t ua sudah meninggi ket ika orang-orang t urun meninggalkan saran Eyang Mus. Terdengar kent ongan menandakan pukul sebelas, hampir t engah malam. Anak-anak sudah lama masuk dan t idur dalam pelukan udara kemarau yang dingin. Sunyi. Hanya suara t okek dari lubang pada pohon sengon dan suara gangsir. Kepak sayap kelelawar. Suara t erompah kayu Eyang Mus mengiringi langkahnya pulang. Desah pint u bambu yang digeser. Eyang Mus masuk. Di luar, bulan yang t inggal sebelah mulai merambat menuruni langit sebelah barat . Namun semuanya bisu dan hampir t ak ada gerak. Karangsoga sudah nyenyak karena dinginnya mal am kemarau. Hanya ada cericit suara t ikus busuk di pinggir kol am. Ada kucing melint asi halaman t anpa suara, hanya bola mat anya memant ulkan sepasang cahaya kebiruan. Di langit yang t anpa noda sering membersit lint asan cahaya bint ang berpindah. Dan samar-samar dua ekor keluang t erbang membent uk sepasang bayangan yang bergerak beriringan dalam keheningan.

Makin dekat Lebaran orang Karangsoga makin banyak senyum karena harga gula kelapa t erus naik. Pada puncaknya nant i mungkin harga sekilo gula bisa sepadan dengan sat u set engah at au bahkan dua kilo beras. Apabil a keadaan ini t ercapai, meskipun t idak lima t ahun sekali dan mungkin hanya berlangsung beberapa hari, orang Karangsaga merasa berunt ung j ust ru karena mereka adalah penyadap nira. Set elah t ersedia beberapa kilo beras dan sedikit uang unt uk menyambut Lebaran, mereka merasa bahwa hidup adalah kenikmat an yang pant as disyukuri. Dalam rasa berunt ung sepert i ini mereka pergi menyadap, menembus kabut pagi yang dingin dengan hat i yang ringan. Mereka berbagi kegembiraan bila saling berpapasan di j alan dengan t ert awa at au bersenandung bahkan ket ika mereka sedang berada di ket inggian pohon kel apa. Memang, mereka sangat sadar bahwa harga gula yang pant as t idak pernah berlangsung lama. Namun kesadaran it u pula yang mengharuskan para penderes Karangsoga menikmat i hari-hari yang langka dan sangat berharga it u. Tert awalah selagi ada peluang, meski hanya sej enak.

dengan suara beduk subuh dari saran Eyang Mus. Lal u suara panggilan yang berbaur kokok ayam j ant an dan kicau burung-burung. Dan bunyi t erompah kayu beberapa l elaki t ua yang set ia memenuhi panggilan it u. Kecipak air di kolam yang ada di samping surau. Dengung ribuan lebah madu yang merubung pepohonan yang sedang berbunga, dan t eriakan angsa di halaman rumah Pak Tir. Kelent ang-kelent ung suara pongkor mulai t erdengar dan di t imur langit mulai t erang. Beberapa pohon kelapa mulai bergoyang pert anda sudah ada lelaki Karangsoga menembus kabut kemarau yang dingin dan mulai bekerj a menyadap nira.

Sinar mat ahari belum menj amah pucuk-pucuk pohon kelapa ket ika sebuah sedan keluar dari j alan raya, membelok ke kanan menelusuri j alan kampung yang menanj ak, dan t erus menanj ak menuj u Karangsoga. Para penderes yang melihat kedat angan mobil it u yakin hari ini Pak Tir punya t amu t auke yang sering dat ang bersama keluarga. Hubungan dagang yang sudah berlangsung puluhan t ahun membuat Pak Tir kelihat an sangat akrab dengan keluarga t aukenya. Mereka sudah kelihat an sepert i bersaudara.

Sedan it u t erus merayap di at as j alan sempit yang naik-t urun dan berbat u. Ayam-ayam berlarian menghindar. Seekor anak kambing mengembik dan segera lari bergabung dengan induknya. Sepasang angsa menegakkan leher dan si j ant an bert eriak nyaring dan serak. Beberapa orang perempuan muncul di pint u dan bergumam; sepagi ini Pak Tir punya t amu. Hadiah apa lagi yang bakal dit erima dari t aukenya?

Tet api sedan it u t idak membelok ke halaman rumah Pak Tir. Terus merayap dan baru berhent i di sebuah mul ut lorong beberapa puluh met er ke selat an. Mesin mat i dan t ak lama kemudian keluar seorang lelaki lima puluhan, kurus dan berpeci. Dari pint u mobil sebelah kiri muncul seorang perempuan muda berkulit sangat bersih dengan rambut t ergerai agak sebahu. Mereka mulai menarik perhat ian orang-orang yang t inggal di sekit ar sedan it u berhent i. Dua anak lelaki malah lari mendekat . Kemudi an seorang gadis kecil dengan adik di punggungnya. Seorang penyadap yang sedang mengiris manggar pun berhent i unt uk lebih leluasa memandang ke bawah; siapakah lel aki dan perempuan yang mengendarai sedan it u? Tet api sedan it u t idak membelok ke halaman rumah Pak Tir. Terus merayap dan baru berhent i di sebuah mul ut lorong beberapa puluh met er ke selat an. Mesin mat i dan t ak lama kemudian keluar seorang lelaki lima puluhan, kurus dan berpeci. Dari pint u mobil sebelah kiri muncul seorang perempuan muda berkulit sangat bersih dengan rambut t ergerai agak sebahu. Mereka mulai menarik perhat ian orang-orang yang t inggal di sekit ar sedan it u berhent i. Dua anak lelaki malah lari mendekat . Kemudi an seorang gadis kecil dengan adik di punggungnya. Seorang penyadap yang sedang mengiris manggar pun berhent i unt uk lebih leluasa memandang ke bawah; siapakah lel aki dan perempuan yang mengendarai sedan it u?

"Ya, Mbok, " j awab Lasi dengan nada biasa. Waj ahnya pun t idak menggambarkan kegembiraan yang meluap. Jabat t angan unt uk emaknya j uga ringan saj a.

Mbok Wiryaj i t ak bisa berkat a-kat a lagi. Dadanya sesak. Terengah-engah. Air mat anya mulai meleleh. Emak Lasi it u benar-benar menangis. Ia begit u gembira dan ingin merangkul anaknya t et api mendadak ada rasa segan muncul dalam hat i. Emak yang sudah sekian bulan memendam kangen it u berdiri kaku, merasa t ak diberi pel uang unt uk menumpahkan kerinduannya. Mbok Wiryaj i merasa Lasi t elah berubah: pakaiannya, t at a rambut nya, selopnya, bahkan gerak-geriknya, pandangan mat anya, segalanya. Aneh, di mat a Mbok Wiryaj i, Lasi sudah lain, sangat lain. Dingin. Lasi kelihat an sepert i seorang nyonya, art inya ist ri t auke Cina at au ist ri priyayi yang makmur dan cant ik. Dan di at as segalanya, Lasi sepert i t idak kangen kepada emaknya sendiri meski sudah lama t ak bert emu. Dingin. Lalu apa pula art inya, Lasi dat ang dengan mobil bersama seorang lel aki asing?

"Mbok, ini Pak Min, sopir, " uj ar Lasi memperkenalkan lelaki kurus it u.

Pak Min mengangguk dalam, membuat Mbok Wiryaj i risi. Seumur-umur dia belum pernah mendapat perlakuan sepert i it u. Mbok Wiryaj i j uga merasa Pak Min bersikap sangat sopan t erhadap Lasi sepert i t erhadap maj ikan. Jadi benar, Lasi sudah lain. It u perasaan Mbok Wiryaj i. Padahal Lasi sendiri merasa banyak bagian dirinya t et ap ut uh. Paru-parunya masih peka t erhadap kej ernihan udara pagi di desanya. Penciumannya masih t aj am t erhadap bau pakis-pakisan yang t umbuh lebih pada dinding-dinding parit di sekit arnya. Telinganya masih sempurna menikmat i kicau si ekor kipas yang t erbang-hinggap dengan licah dalam kerimbunan rumpun bambu. Dan Lasi sej enak t ert egun ket ika melihat j auh di sana, di balik sapuan kabut , sebat ang pohon kelapa bergoyang. Tampak seorang penyadap t urun dengan dua pongkor t ergant ung dan berayun-ayun dari pinggangnya. Lasi mel ihat dunia l amanya t erput ar kembali di depan mat a.

Masih dengan perasaan t ak keruan Mbok Wiryaj i mengiringi Lasi berj alan sepanj ang l orong. Pak Min di belakang, menj inj ing sebuah koper. Iring-iringan kecil it u bergerak menuj u rumah Mbok Wiryaj i karena t ernyat a Lasi t idak ingin masuk kembali ke rumah sendiri yang memang sudah lama dikosongkan. Di depan pint u, Lasi berhadapan dengan Wiryaj i, ayah t irinya yang j uga paman Darsa. Keduanya hanya bert at apan, saling sapa dengan basa-basi yang dingin dan t erasa j anggal.

Lasi dat ang dari Jakart a membawa sedan, it ulah cel ot eh t erbaru yang segera merambat ke semua sudut Karangsoga. Dan cerit a pun menurut i kebiasaan di sana, berkembang t ak t erkendal i ke segala arah. Meskipun demikian segala cerit a orang Karangsoga bisa disimpul kan, mereka mempert anyakan bagaimana bisa, hanya dalam enam bulan Lasi berubah menj adi demikian makmur. Penampilannya menj adi demikian mengesankan sehingga para t et angga bahkan emaknya sendiri merasa t erpisahkan oleh j arak yang sukar dit erangkan. Anehnya rat a-rat a orang Karangsoga sudah menduga Lasi mendapat kemikmuran dari kecant ikannya. "Kalau bukan karena cant ik, di Jakart a Lasi paling-paling j adi babu, " kat a mereka.

Dengan mengat akan bahwa Lasi j adi makmur berkat kecant ikannya, orang Karangsoga bermaksud memperhalus dakwaan mereka. Mereka t ak berani mengat akan kecurigaan mereka bahwa Lasi t elah melacurkan diri. Bila t idak, masakan secepat it u Lasi punya sedan. Pakaian dan perhiasannya hanya bisa dibandingkan dengan milik ist ri t auke yang sering dat ang ke rumah Pak Tir.

Hari-hari berikut celot ch orang Karangsoga t erus berkembang. Tet api mereka t ak lagi bicara soal dari mana Lasi mendapat kemakmuran. Mereka beralih ke t opik yang baru; Lasi sedang menunt ut cerai dari Darsa. Namun t opik ini pun cepat padam karena di luar dugaan semua orang Karangsoga, proses perceraian it u sangat cepat dan l ancar. Mereka mengat akan bahwa Lasi membawa "surat sakt i" dari seorang overst e purnawira di Jakart a yang dit uj ukan kepada Kepala Desa Karangsoga dan Kepala Kant or Urusan Agama. Karena silau oleh t anda t angan seorang overst e, kat a t ukang celot eh di Karangsoga, Kepala Desa bersegera membawa Darsa menghadap Kepala KUA. Bahkan t anpa kehadiran Lasi di kant or it u t alak Darsa pun j at uh.

Pada usia hampir dua puluh lima t ahun Kanj at lulus sebagai insinyur. Di hari- hari pert ama menj adi sarj ana Kanj at merasakan kegembiraan, dan j uga kebanggaan. Tet api hari-hari berikut t erasa membawa kekaburan. Kanj at t ak mudah menj awab pert anyaan sendiri; sesudah menyandang gelar sarj ana, l alu apa? Beberapa t eman seangkat an segera meninggalkan kampus unt uk melamar pekerj aan menj adi pegawai negeri Depart emen Pert anian. Dan Kanj at , ent ah mengapa, t ak ingin mengikut i l angkah mereka. Mungkin karena Kanj at t ahu, melamar pekerj aan sepert i it u sering berart i berhadapan dengan sist em birokrasi yang absurd dan adakalanya sepert i memint a belas kasihan.

Seorang t eman mengaj ak Kanj at mencoba melamar menj adi pegawai perkebunan milik para konglomerat yang makin banyak dibuka t erut ama di luar Pulau Jawa. At au menj adi pegawai bagi pemegang hak pengusahaan hut an. Kat a t eman t adi, pada sekt or swast a semacam it u pelamaran t idak begit u rumit dan aspek prof esional lebih diperhit ungkan. Ent ahlah, t awaran ini pun t ak menarik hat i Kanj at , t erut ama karena ia t ahu para pengusaha HPH, t ermasuk keput usan-keput usan yang melahirkannya, punya andil besar dalam pembot akan hut an-hut an Kalimant an, Sumat ra, Sulawesi, dan Irian Jaya. Kanj at t idak ingin ikut menj adi sel kanker yang menggerogot i kehij auan bumi.

Sesungguhnya ada sat u t awaran l ain, dan kali ini diberikan oleh Dokt or Jirem. Kanj at dimint a t et ap t inggal di kampus menj adi asist en dosen. Mulanya Kanj at t idak t ert arik pada t awaran ini. Gaj i seorang asist en dosen t idak menarik dan lebih lagi Kanj it merasa kurang bisa t ekun dalam t ugas sebagai pengaj ar. Namun ket ika Pak Jirem bilang bahwa dengan t et ap menj adi warga kampus Kanj at punya peluang lain, pikirannya berubah. Menurut Pak Jirem, Kanj at bisa bergabung dalam kelompok penelit i yang sudah sat u t ahun dipimpinnya. Dan Kanj at t erkej ut ket ika Pak Jirem bert anya dengan gaya lugas.

"Jat , kamu sudah l upa akan skripsi yang baru kemarin kamu t ulis? Maksud saya, apakah di hat imu masih ada ket erpihakanmu kepada kehidupan para penyadap

Karena gagap Kanj at hanya bisa mengangguk dan t ersenyum.

"Ah, sarj ana baru zaman sekarang! Baru kemarin kamu bilang soal keprihat inan, bahkan ket erpihakan. Dan sekarang kamu sudah l upa. Semangat t empe?"

Kanj at t ersenyum pahit . Menggaruk-garuk kepala. Waj ahnya berubah merah dan napasnya t ert ahan. Nyat a bet ul hat i Kanj at t ersinggung oleh kat a-kat a seniornya. Dokt or Jirem pun kemudian sadar ucapannya memakan hat i anak muda di depannya. Menyesal, t et api semuanya t elah t elanj ur.

"Pak Jirem, " kat a Kanj at dengan suara berat . "Saya sih, sampai kapan pun t et ap anak Karangsoga. Saya sel alu merasa kaum penyadap di sana adalah sanak f amili saya sendiri. Jadi kepahit an hidup mereka adalah keprihat inan dan beban j iwa saya j uga, beban yang t ak ringan. "

Kanj at berhent i. Gelisah. Pak Jirem memperhat ikannya, masih dengan rasa menyesal.

"Jadi beban?" t anya Pak Jirem karena lama dit unggu Kanj at belum j uga meneruskan kat a-kat anya.

"Ya. Karena, sement ara saya bisa merasakan kesusahan mereka, saya boleh dibilang t ak mampu berbuat sesuat u. Pak, mungkin perasaan saya salah. Namun memang saya merasa dalam kondisi kehidupan yang dikuasai oleh perekonomian pasar bebas sepert i sekarang, segala ket erpihakan t erhadap kehidupan pinggiran kurang mendapat dukungan. Malah, j angan-j angan obsesi saya unt uk membant u para penyadap merupakan sesuat u yang sia-sia. Sepert i pernah saya kat akan dulu, j angan-j angan nant i ada orang menyebut saya Don Kisot . "

Junior dan senior sama-sama t erdiam. Namun t ak lama kemudian Pak Jirem t ersenyum. Kedua t angannya masih dalam saku celana.

"Ya, saya mengakui ada kebenaran dalam kat a-kat amu. Namun saya j uga mengakui masih ada kebenaran dalam pepat ah lama; lebih baik berbuat sesuat u, meskipun kecil, daripada t idak sama sekali. Dalam hal perdagangan gula kelapa, karena sudah lama t erkuasai oleh t angan gurit a yang begit u kuat , kit a mungkin t ak bisa berbuat banyak. Tet api apakah t ak ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat penyadap yang perlu kit a bant u?"

"Banyak! " j awab Kanj at cepat . Begit u cepat sehingga Jirem merasa napasnya t erpot ong. Tet api Jirem t ersenyum karena melihat ada semangat t ergambar dalam waj ah Kanj at .

Dengan gairah Kanj at menghit ung segi-segi kehidupan para penyadap yang bisa dit angani sebagai bahan penelit ian. Kanj at t ahu bet ul para penyadap sangat disulit kan oleh nira, yang cepat berubah menj adi asam. Penemuan bahan kimia pengawet yang murah dan mudah didapat t ent u sangat menol ong mereka. Bahan kimia lain yang bisa membant u pengerasan gula j uga sangat dibut uhkan para penyadap. Kanj at merasa yakin, dengan bant uan beberapa t eman yang t ahu urusan kimia kedua bahan it u bisa dibuat . Para penderes j uga perlu mendapat penget ahuan bahwa pohon kelapa mereka memerlukan pemupukan, suat u hal yang sama sekali t ak pernah mereka sadari kegunaannya. Tet api Kanj at merasa berat ket ika mengat akan kepada Pak Jirem, soal bahan bakar penggant i.

"Para penyadap t et ap menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Juga limbah kilang padi berupa sekam. Tungku mereka merupakan sebuah sist em pemborosan energi yang luar biasa. Dalam penelit ian saya ket ahui hanya sekit ar 20 persen panas yang t ermanf aat kan. "

"Hanya dua puluh persen?"

"Ya. Dan kit a t ahu kayu, bahkan sekam, harus mereka beli. Bila harga gul a j at uh, mereka t ak mungkin mengolah nira kecuali dengan cara mencuri kayu di hut an t ut upan. At au menebang kayu apa saj a yang mereka miliki. "

"Ya, saya sudah t ahu dari ket erangan dalam skripsimu. Kebut uhan bahan bakar para penderes punya andil paling besar dal am kerusakan hut an di sekit ar Karangsoga. "

"Juga, proses pembent ukan bunga t anah berhent i karena di musim kemarau para penderes menyapu bersih sampah daun dari hut an di sekit ar mereka. Dan yang sat u ini t ak t ert ulis dalam skripsi saya. Bahkan pohon soga hampir at au sudah hilang dari Karangsoga. Apabila keborosan akan kayu bakar t ak dihent ikan, kampung saya akan berubah menj adi wilayah monokult ur karena selain kelapa semua pepohonan t erancam masuk t ungku. "

"Jadi, Jat , sebenarnya kamu ingin melakukan banyak hal. Dan yang kamu perlukan sekarang, mungkin, adalah sebuah moment um unt uk menghilangkan keraguan, moment um unt uk mendorong kamu segera bert indak. "

At as bant uan Dokt or Jirem, Kanj at berhasil menyusun sebuah t im penelit i. Joko Adi t ahu soal kimia, Topo Sumarso t ahu urusan produksi pert anian, dan Hermiat i bisa menyusun hasil penelit ian t im menj adi bahan t ulisan unt uk media massa. Kanj at sendiri mengambil bagian masalah dampak lingkungan kegiat an produksi gula kelapa.

Kegiat an t im kecil yang dipimpin Kanj at menj adi bagian kegiat an penelit ian yang sudah lama diket uai Dokt or Jirem. Mereka berkant or di sebuah ruang sempit di kompleks kampus. Tet api ket i ka mereka harus berkerj a di lapangan, rumah orangt ua Kanj at di Karangsoga sering menj adi basis kegiat an. Kanj at dan t iga t emannya sering berkumpul unt uk membicarakan koordinasi at aupun kemaj uan bidang garapan masing-masing.

gunanya membuat t ungku-t ungku percobaan yang kat anya bisa menghemat kayu bakar? Apa guna mencat at punahnya berbagai j enis kayu dan perdu yang kat anya disebabkan kerakusan t ungku para penderes? Juga apa perlunya banyak bert anya t ent ang t et ek bengek kegiat an para penyadap it u?

"Lho, kalau cuma ingin bisa membuat t ungku at au mengakrabi orang Karangsoga, mengapa aku harus menyekolahkan dia sampai j adi insinyur?" kat a Pak Tir kepada ist rinya suat u hari.

"Memang l ucu ya, insinyur kok kerj anya sepert i it u. Yang kudengar, insinyur it u adalah pegawai, orang berpangkat yang berkant or di kot a. "

"Ya, t et api it ulah anakmu. Coba, aj aklah dia bicara dan apa maunya. "

"Ah, biarlah, Pak. Nant i bila dia marah lalu memilih kerj a di t empat yang j auh, lalu aku malah j adi susah. Kan bagaimana j uga, kat anya, dia menj adi dosen. "

"Dosen t ungku?"

"Sampeyan j angan menyakit inya. Dia bungsu kit a. "

"It ulah. Kamu memang selalu memanj akannya. Maka ul ahnya aneh-aneh. Masakan sudah j adi dosen masih repot dengan t anah liat unt uk membuat t ungku, dengan kayu bakar. Dosen apa it u? Daripada berbuat macam-macam lebih baik kamu suruh anakmu it u mencari calon ist ri. "

Ist ri Pak Tir diam. Emak Kanj at it u t ahu, suaminya sedang kecewa t erhadap anaknya namun t ak berani bert erus t erang t erhadap Kanj at . Bila pembicaraan Ist ri Pak Tir diam. Emak Kanj at it u t ahu, suaminya sedang kecewa t erhadap anaknya namun t ak berani bert erus t erang t erhadap Kanj at . Bila pembicaraan

Tim yang dipimpin Kanj at sudah sat u bulan bekerj a. Banyak t emuan t elah dicat at oleh Kanj at sendiri maupun Joko dan Topo. Gil iran Hermiat i merangkum hasil penelit ian ket iga t emannya it u unt uk disusun sebagai naskah art ikel unt uk media massa. Kanj at sendiri masih sibuk di Karangsoga, memperbaiki model t ungku hemat kayu api yang dimodif ikasi dari model t ungku t emuan Ir. Johannes. Bungsu Pak Tir it u sedang bekerj a di bengkel nya ket ika Pardi muncul t iba-t iba. Pert anyaannya pun nyal awadi, mengandung rahasia,

"Mas Kanj at sudah dengar?"

"Dengar apa?"

"Dia sudah resmi j adi j anda. "

"Maksudmu Lasi?"

"Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Mau bert aruh dengan saya t ent ang siapa yang akan pert ama dat ang ke rumah Mbok Wiryaj i unt uk melamar Lasi?"

Kanj at t ersenyum.

"Mas Kanj at sudah bert emu dia?" "Mas Kanj at sudah bert emu dia?"

"Saya bisa mengert i. Masalahnya, sekarang Lasi sudah resmi menj adi j anda. Tak ada sal ahnya bila seorang lel aki, apalagi masih sendiri, pergi ke sana. At au Mas Kanj at t ak khawat ir keduluan orang?"

Kanj at t ersenyum, lalu memint a Pardi lebih mendekat . Waj ah Kanj at berubah- ubah ket ika mengat akan sesuat u kepada Pardi. Tet api mereka mengakhiri pert emuan dengan senyum ringan. Pardi malah t ert awa.

Kemudian t erbukt i sore ini Pardi-lah orang pert ama yang melangkah menuj u rumah Mbok Wiryaj i unt uk bert emu Lasi. Langkahnya ringan, waj ahnya t anpa beban, dan asap rokok t ak berhent i mengepul dari mul ut nya. Pardi, sopir yang sangat berpengalaman menghadapi banyak perempuan, t ak sedikit pun kelihat an canggung ket ika sudah duduk berhadapan dengan Lasi. Namun apa yang sert a-mert a dilakukan Lasi t erhadap Pardi adalah sesuat u yang mengej ut kan sopir Pak Tir it u. Lasi melet akkan beberapa lembar uang di bawah mat a Pardi.

"Di, aku belum t ahu apa keperl uanmu dat ang kemari. Namun t erimalah uang it u lebih dulu agar ut angku kepadamu lunas. Dan t erima kasih at as kebaikanmu. "

Pardi t ercengang namun langsung mengert i maksud Lasi. Gagu. Menggelengkan kepala. Pardi merasa t ak bisa berbuat lain kecuali menerima kembali uang yang diberikannya kepada Lasi enam bulan berselang.

"Nah, Di, sekarang kamu boleh mengat akan apa maumu, " uj ar Lasi dengan senyum.

"Las, aku berharap belum seorang pun dat ang mendahuluiku. Aku melamarmu pada hari pert ama kamu j adi j anda. Bisa kamu t erima?"

Lasi membelalakkan mat a.

"Hus. Brengsek! Dasar lelaki. Dasar sopir. Sont oloyo! Yang kamu pikir hanya it u-it u mel ulu. Kamu t ak t ahu sakit nya orang sepert i aku? Tidak?"

"Las, aku t idak main-main. "

"Tidak. "

"Dengar dulu. . . "

"Tidak, t idak! "

"Baiklah, t et api j angan bert eriak sepert i it u. Sayang, secant ik kamu bert eriak- t eriak sepert i angsa j ant an. "

"Kamu yang brengsek. Kurang aj ar. "

Pardi t ert awa.

"Kat akanlah semaumu. "

Pardi t ert awa lagi. Cengar-cengir, menoleh kiri-kanan.

"Mana emakmu?"

"Di dalam. "

Pardi cengar-cengir l agi. Lalu merogoh saku baj u dan melet akkan sebuah surat di at as mej a t epat di hadapan Lasi. Sesaat set elah t ahu siapa pengirimnya, waj ah Lasi menegang. Bibirnya berget ar. Bisu. Lengang, sehingga t erdengar j elas suara korek api yang dinyakikan Pardi. Lasi membuka surat it u yang t ernyat a hanya berisi beberapa kalimat . Ada langkah mendekat dari ruang dalam. Lasi cepat menyembunyikan surat it u dalam genggamannya. Mbok Wiryaj i muncul.

"Oh, kamu, Di?"

"Ya, Mbok. Malu-malu apa, saya mau melamar Lasi, " kat a Pardi sambil senyum. "Siapa t ahu anak Mbok yang sudah kayak Jepang t ulen ini mau menerima seorang lel aki brengsek. "

"Nah, pernah mendengar ada orangt ua mau menerima calon menant u brengsek?" kat a Mbok Wiryaj i dengan waj ah sedingin bibir t empayan. Lalu masuk lagi. Pardi dan Lasi sama-sama t ersenyum.

"Las, Mas Kanj at ingin bert emu kamu. Bisa, kan?"

Waj ah Lasi kembali t egang. Menunduk. Membaca lagi surat yang berada di t angannya. Mendesah.

"Bagaimana, Las? Kok malah bengong?" t anya Pardi lirih.

"Bagaimana ya, Di? Aku bingung, " j awab Lasi sambil mendesah.

"Bingung?"

Lasi mengerut kan kening. Menelan ludah. Mat anya yang sipit kel ihat an makin sipit . Pardi menat apnya, menikmat inya. Kadang Pardi merasa begit u sial karena Kanj at , anak maj ikannya, lebih dahulu naksir Lasi. Andaikan t idak!

"Las, dalam surat it u Mas Kanj at bilang mau ket emu kamu, bukan?"

"Ya. Tet api aku bingung. "

Diam. Pardi mengisap rokoknya dalam-dal am. Lasi menunduk sepert i kehilangan kat a unt uk diucapkan. Tanpa mengaku bingung pun perasaan it u t ergambar j elas pada waj ahnya, pada gerik t angannya yang t ak menent u.

"Las, aku kan cuma disuruh Mas Kanj at mengant ar surat buat kamu. Nah, surat ini sudah kamu t erima. Aku permisi. "

Lasi gagap. Pardi mengira Lasi akan mengucapkan sesuat u unt uk disampaikan kepada Kanj at . Tet api lama dit unggu bibir Lisi hanya bergerak-gerak t anpa

"Tunggu, Di. Dengar dulu. Aku pun ingin bert emu Kanj at . Tet api kukira aku t ak bisa. Di, memang sebaiknya aku t idak bert emu dia. " Lasi menunduk dan mendesah.

"Kok?"

Lasi kembali mendesah. Mengusap mat a yang basah. Menggigit bibir. Ada dua pernik perl ahan muncul di mat a dan meleleh pada pipinya yang bersih.

"Kamu benar-benar t ak mau bert emu Mas Kanj at ?"

Lasi mengangguk.

"Jadi aku harus mengat akan kepadanya bahwa kamu t ak ingin dia t emui?"

Lasi mengangguk lagi. Pardi mendesah. Tet api Pardi merasa ada sesuat u yang t ak waj ar; ada j arak ant ara kesan pada waj ah Lasi dan kat a-kat a yang diucapkannya. Tet api Pardi merasa t ak berdaya, bunt u. Maka ia mengisap rokoknya dalam-dalam lalu bangkit .

"Baiklah. Akan kukat akan kamu t ak mau ket emu Mas Kanj at . "

Lasi t ak menj awab apa pun. Diam dan menunduk. Namun keraguan muncul dengan j el as pada waj ahnya. Bangkit dan melangkah meninggal kan Pardi yang t et ap berdiri dan bingung.

Makin dekat hari Lebaran, surau Eyang Mus makin ramai. Lepas saat berbuka puasa j emaah lelaki dan perempuan mulai berdat angan. Mbok Wiryaj i dan suaminya pun sudah berangkit meninggalkan Lasi seorang diri di rumah. Semula Lasi hendak ikut sert a, t et api kemudi an mengurungkan niat begit u menyadari dirinya baru sehari menj adi j anda. Lasi merasa belum sanggup hadir di t engah orang banyak; t ak sanggup menahan t at apan mat a mereka.

Sendiri di rumah, Lasi merasa t erkepung kebimbangan. Lasi t ak bisa menent ukan apa yang layak dilakukannya. Maka Lasi duduk di ruang depan dan membiarkan segala sesuat u berlalu t anpa t anggapan. Telinganya mendengar suara beduk dari surau Eyang Mus. Juga suara anak-anak, at au kadang suara burung-burung bluwak berebut t empat menginap dalam rumpun bambu di at as rumah orangt uanya. Lasi j uga t ak t ert ar ik akan ulah seekor kupu-kupu yang t erbang mengedari lampu gant ung di depannya. Namun Lasi set idaknya menggerakkan bola mat anya ket ika ia melihat dari balik j eruj i kayu ada sosok samar di halaman. Sosok it u berj alan mendekat dan makin lama makin j elas. Seorang lel aki, dan langkahnya l urus menuj u pint u depan.

Pardi? Bukan. Dia bel um lama pergi dan dia t ak pernah memakai baj u lengan panj ang. Kanj at ? Must ahil. Lasi sudah mengirim pesan lewat Pardi bahwa dia t ak mau bert emu anak Pak Tir it u. Jadi lelaki yang sudah berdiri di depan it u bukan Kanj at . Tet api Lasi t erkej ut ket ika mendengar suara lelaki di sana. Dada Lasi gemuruh: senang, gagap, at au t ak menent u.

Kanj at melangkah masuk begit u Lasi membukakan pint u. Kel ugasan seorang lelaki t ampak pada cit ra waj ahnya. Mat anya menat ap Lasi. Dari rona waj ah Lasi, mat anya yang menyala, Kanj at segera mengert i kedat angannya bukan sesuat u yang t ak disukai. Kanj at t ersenyum. Lasi t ersenyum. Kemudian mereka duduk berhadapan. Lasi berdiri unt uk membesarkan nyala lampu t et api Kanj at bergerak mendahul uinya. Tangan mereka bersinggungan. Mereka sama-sama

"Las, " kat anya mengakhiri kebisuan yang kaku dan j anggal .

"Apa?"

"Maaf kan, aku dat ang meskipun kat a Pardi kamu t ak ingin kut emu. "

Lasi t ersenyum. Mat anya berkilat . Dalam hat i Lasi malah bersorak j ust ru karena Kanj at berani melanggar pesan yang dibawa Pardi. Lasi t ert awa dan keindahan lekuk pipinya paripurna. Giliran dada Kanj at yang gemuruh.

"Las. . . "

"Ya?"

"Kamu diam?"

"Aku harus bilang apa?"

"Kamu t idak marah?"

Lasi menggelengkan kepala. Menunduk. Kadang alisnya t erkesan menyimpan beban berat .

"Kau baik-baik saj a, bukan?"

"Sepert i yang kamu l ihat . "

"Ya, kamu kelihat an l ebih segar. "

"Kamu memuj iku?"

Kanj at t ersenyum.

"Kudengar kamu sudah selesai sekolah dan kini kamu j adi dosen. Enak, ya?"

Kanj at t ersipu.

"Las, f ot omu masih kusimpan. Kamu t ahu mengapa?"

"Sama. Fot omu j uga masih kusimpan. Dan kamu t ahu mengapa?"

Mereka beradu pandang dan bert ukar senyum.

"Las, aku ingin bicara. Kamu mau mendengarnya, bukan?" "Las, aku ingin bicara. Kamu mau mendengarnya, bukan?"

"Kamu mau bilang apa, Jat ?"

Gant i Kanj at yang gugup.

"Banyak yang ingin kukat akan. Kamu bisa merasakannya?"

Lasi mengangguk.

"Jadi masih perlukah aku mengat akannya?"

Lasi menggeleng.

"Jat , it u t ak mungkin. "

"Tak mungkin? Siapa bilang?" "Tak mungkin? Siapa bilang?"

"Las. . . "

"Kit a harus berani melupakan keinginan yang sekuat apa pun bila kit a t ak mau menyesal kelak. "

"Tidak. Apa yang kamu kat akan t adi sudah l ama t ak kupedulikan. "

"Tet api j angan l upa, ini Karangsoga. Pernah kamu dengar seorang j ej aka mengawini j anda di sini?"

"It u pun sudah lama t ak kupikirkan. "

"Tet api orangt uamu?"

"Las, aku sudah dewasa. Aku. . . "

"Jat , t et api aku t ak bisa. Tidak bisa. Kamu harus t ahu aku memang t ak bisa. "

Lasi menel ungkupkan waj ah di at as daun mej a. Mengisak. Kanj at t erpana. Hening. Kupu-kupu it u dat ang lagi dan kembali t erbang mengedari lampu. Lasi t erus mengisak. Dan t iba-t iba Kanj at merasa harus memperhat ikan ucapan Lasi t erakhir, "Kamu harus t ahu bahwa aku memang t ak bisa. " Ya. Kanj at ingat cerit a t et angga kiri-kanan bahwa ada seorang overst e purnawira membant u

"Las, apa kamu sudah punya rencana lain?"

Lasi mengangkat waj ah. Mengusap mat a dan mendesah. Kemudian dengan nada sangat berat Lasi mengiyakan pert anyaan Kanj at . Sepi. Lasi menat ap waj ah Kanj at , ingin melihat pant ulan reaksi di sana. Kanj at membeku. Namun t ak lama. Ada semangat t iba-t iba menguak dan t erbit dalam cahaya waj ahnya.

"Overst e purnawira it u, Las?"

"Ya. Kamu sudah t ahu. "

"Semua orang t ahu dari cerit a yang berkembang di balai desa. "

"Ya. Begit ulah, Jat . Maka kubilang aku t ak bisa. Aku sudah punya rencana dengan orang l ain. "

Kanj at t ermangu dan menelan l udah. Kemudian t erdengar ucapannya yang berget ar dalam,

"Kamu bersungguh-sungguh dengan rencana it u? Maksudku, t ak bisa lagi dit awar?"

"Dit awar?"

Mat a Lasi membulat . Ada cit ra kebimbangan menyaput waj ahnya. Bibirnya berget ar.

"Sayang t ak bisa. Sungguh, aku t ak bisa, " desah Lasi hampir t ak t erdengar. "Aku t ak bisa menyalahi j anj i yang t el anj ur kuucapkan. Jat , kamu bisa mengert i, bukan?"

Kanj at diam, lama. Lalu mengangguk. Jakunnya t urun-naik.

"Kamu j uga mengert i perasaanku?"

Kanj at menat ap Lisi l angsung pada bol a mat anya. Ada pert ukaran rasa yang sangat int ensif melalui cahaya mat a, bahkan gerak urat waj ah yang samar. Kemudian Kanj at mengangguk kigi. Dan waj ahnya hampa.

"Las, aku sangat sulit menerima kenyat aan ini. Tet api baiklah. "

Kanj at t ak meneruskan kat a-kat anya. Suasana t erasa kering dan j anggal. Lasi mempermainkan cincin di j ari. Cahaya kebiruan berpendar dari mat a berliannya. Kanj at menggosok-gosokkin t elapak t angan pada daun mej a. Dan kupu-kupu it u masih t erbang mengedari lampu. Kanj at bangkit dan mengulurkan t angan, mint a diri. Lasi t erpana, namun disambut nya j uga t angan Kanj at . Keduanya merasa ada get aran hangat dalam t elapak t angan masing- masing. Lasi makin erat menggenggam t angan Kanj at . Mat anya berlinang. Bibirnya berget ar. Kanj at bergerak ke pint u. Bisu. Tet api t iba-t iba Lasi menahan l angkahnya.

"Jat , t unggu. Aku punya pesan unt uk orangt uamu. Tolong kat akan, besok pagi

"Kamu akan pergi ke rumahku?"

"Ya. Aku akan mengembalikan uang gadai kebun kelapa kepada ayahmu. Kamu ingat aku menggadaikan kebun kelapa unt uk biaya pengobat an Kang Darsa, eh, dudaku?"

Plas. Ada t amparan sengit mendarat di hat i Kanj at . Ada ironi sangat t aj am t erasa menusuk dada. Kanj at t iba-t iba merasa dirinya dipaksa kembali menat ap nasib para penyadap. Memang, kini Lasi kelihat an makmur dan t idak lagi bergelut dengan gula kelapa. Tet api di luar diri Lasi, masalah gadai-menggadai kebun kelapa, sat u-sat unya sumber hidup kebanyakan orang Karangsoga, adalah nyala dan hampir selalu melibat kan ayah Kanj at .

"Jat , kamu bagaimana? Kamu marah? Kamu t ak suka aku pergi ke rumah orangt uamu?"

Kanj at t erkej ut .

"Kamu sakit ? Kok pucat ?"

"Ah, t idak. Tidak apa-apa. Aku t ak keberat an kamu dat ang kapan saj a kamu suka. Maaf kan. Sekarang, permisi. "

Kanj at t ersenyum j anggal, lalu berbal ik dan melangkah keluar. Selama masih t erkena cahaya lampu, t ubuh Kanj at adalah bayangan remang yang bergerak menj auh. Kemudian l enyap. Pada det ik yang sama Lasi merasa ada debur dalam kehampaan hat inya. Tet api Lasi t ak bisa apa-apa kecuali memej amkan mat a unt uk mencoba menekan perih yang menggigit hat i. Telinganya

Menj adi ist ri Handarbeni, t ernyat a, bermula dari sebuah upacara ringan. It ulah yang dirasakan Lasi. Pemikahan dilaksanakan di rumah Pak Han di Slipi. Semua pet ugas diundang dari Kant or Urusan Agama, dan para saksi didat angkan ent ah dari mana. Tak ada keramaian. Tamu pun t ak seberapa, hanya beberapa l elaki t eman Pak Han, Bu Koneng, Bu Lant ing, dan si Kacamat a. Unt ung, si Bet is Kering dan si Ant ing Besar t ak muncul. Lalu kenduri.

Semula Lasi merasa sedih karena t ak seorang kerabat pun, bahkan j uga emaknya, hadir pada upacara di suat u pagi hari Minggu it u. Namun perasaaan demikian t ak lama mengendap di hat i Lasi karena suasana yang t erj adi pada acara pernikahan it u t erasa ent eng, cair, dan sepert i main-main sehingga kehadiran seorang emak t erasa t ak perlu. Ya, sepert i main-main. Bet ul, "main- main" adal ah kat a yang paling bagus unt uk melukiskan perasaan Lasi dan suasana pada saat it u. Aneh. Lasi sendiri heran mengapa hat i dan j iwanya t idak ikut menikah, t idak ikut kawin. Mengapa, bahkan Lasi t eringat masa kecil dulu ket ika sering bermain kawin-kawinan bersama t eman ket ika bocah. Bagi Lasi, kawin-kawinan adalah permainan yang lucu, asyik, menyenangkan; namun t et ap sebagai sesuat u yang t ak mengandung kesungguhan, apal agi kesej at ian.

Lasi sering mencoba memahami perasaan sendiri. Jangan-j angan hanya karena Kanj at t ak bisa dilupakan, perkawinannya dengan Handarbeni t erasa sebagai main-main. Lasi ingat bet ul ket ika t erj adi ij ab-kabul, pada det ik yang sama j iwa Lasi penuh berisi Kanj at . Tet api Lasi kemudian sadar, sangat sadar, Kanj at adalah sesuat u yang sudah sangat j auh unt uk diraih. At au Lasi sendiri yang t elanj ur menj auh. Lasi j uga sadar bahwa j auh sebel um hari perkawinan it u dia sudah menyat akan bersedia menj adi ist ri Pak Han. Lal u dari mana dat ang perasaan main-main it u?

Ah, Lasi t erkej ut ket ika menemukan j awahan yang past i. Hat i dan j iwa Lasi mengat akan, perasaan it u j ust ru dat ang dari suasana yang t ercipt a oleh sikap Handarbeni sendiri. Terasa oleh Lasi apa yang t erj adi pada pagi hari Minggu it u adalah sesuat u yang t idak mendalam bagi Handarbeni, sesuat u yang berada di luar t eras kehidupan pribadi lelaki gemuk it u. Ya. Dari kesahaj aannya Lasi merasa bahwa perkawinannya kali ini sama sekali lain dari perkawinannya dulu dengan Darsa, bet apapun Darsa t elah bert indak kurang aj ar kepadanya.

Hari-bari pert ama menj adi Nyonya Handarbeni adalah pelaj aran yang harus diikut i oleh Lasi, t erut ama t ent ang hubungan suami-ist ri at au bahkan hubungan lelaki-perempuan dengan cara yang baru. At au sesungguhnya pelaj aran it u sudah diberikan oleh Pardi pada hari pert ama Lasi kabur dari Karangsoga. Pacar-pacar Pardi yang ada pada set iap warung yang disinggahinya it u; mereka melayani Pardi t anpa kesadaran sebagai kewaj iban, lalu melayani set iap lelaki lain yang dat ang t anpa rasa bersalah. Pardi pun t ent u mengert i bahwa pacar- pacarnya akan melayani j uga set iap lelaki yang membeli mereka. Dan, Pardi kelihat an biasa-biasa saj a, t ak peduli.

Di warung Bu Koneng, Lasi mendapat pelaj aran lebih banyak. Di sana Lasi mendapat penget ahuan baru bahwa perint imin ant ara lelaki dan perempuan t ak dibungkus dengan berbagai at uran. Gampang, murah. Di sana Lasi melihat perint iman sebagai sesuat u yang semudah orang membeli kacang. Dan t ernyat a para pelakunya sepert i si Ant ing Besar at au si Bet is Kering t et ap manusia biasa. Mereka bisa bergaul , pergi ke pasar, t ert awa di pinggir j alan, dan mendengarkan musik dari radio sambil berj oget .

"Las, ini bukan Karangsoga, " demikian Bu Lant ing pernah bilang.

"Las, hidup ini sepert i anggapan kit a. Bila kit a anggap sulit , sulit l ah hidup ini. Bila kit a anggap menyenangkan, senanglah hidup ini. Las, aku sih selalu menganggap hidup it u enak dan kepenak. Maka aku sel alu menikmat i set iap kesempat an yang ada. Kamu pun mest inya demikian. " It u ceramah Bu Lant ing yang dul u pernah didengar Lasi. Dan dari sekian banyak pit ut ur Bu Lant ing buat Lasi, sat u yang mengena dalam hat inya, "Barangkali sudah sampai t it i- mangsane kamu menj alani ket ent uan dalam surat anmu sendiri, pandum-mu sendiri bahwa kamu harus j adi ist ri orang kaya. Lho, bila memang merupakan pandum kemuj uranmu, mengapa kamu ragu?"

Ya. Maka Lasi mulai belaj ar menikmat i dunianya yang baru, berusaha yakin bahwa dirinya memang cant ik dan pant as menj adi bagian dari kehidupan orang- orang kaya, dan semua it u adalah pandum yang t ak perlu dit olak. Jadi Lasi bisa merasa benar-benar senang ket ika misalnya, suat u kali diaj ak Handarbeni t erbang ke Bali. At as desakan Handarbeni Lasi pun akhirnya bersedia t erj un ke kolam dalam sebuah hot el mewah di sana dengan pakaian renang yang t ipis dan Ya. Maka Lasi mulai belaj ar menikmat i dunianya yang baru, berusaha yakin bahwa dirinya memang cant ik dan pant as menj adi bagian dari kehidupan orang- orang kaya, dan semua it u adalah pandum yang t ak perlu dit olak. Jadi Lasi bisa merasa benar-benar senang ket ika misalnya, suat u kali diaj ak Handarbeni t erbang ke Bali. At as desakan Handarbeni Lasi pun akhirnya bersedia t erj un ke kolam dalam sebuah hot el mewah di sana dengan pakaian renang yang t ipis dan

Hampir sat u t ahun menj adi ist ri Handarbeni, Lasi sudah larut menj adi bagian kehidupan golongan kaya kot a Jakart a. Apa-apa yang dulu hanya t erbayang dalam mimpi, Handarbeni mendat angkannya dengan nyat a bagi Lasi. Bu Lant ing benar ket ika berkat a, selama Lasi bisa menj adi boneka cant ik yang penurut , ia akan mendapat apa yang diinginkannya. Bet ul. Handarbeni memanj akan Lasi sebagai seorang penggemar unggas menyayangi bekisarnya.

Tet api dal am sat u t ahun it u pul a Lasi t ahu secara lebih mendalam apa dan siapa Handarbeni. Benar pula kat a Bu Lant ing, Handarbeni sudah mempunyai dua ist ri sebelum mengawini Lasi. Maka dal am sat u minggu Handarbeni hanya t iga kali pulang ke Slipi. Yang ini t idak mengapa karena Lasi mendapat kompensasi berupa kemakmuran yang sungguh banyak. Lasi j uga akhirnya t ahu bahwa sesungguhnya Handarbeni adalah laki-laki yang hampir impot en. Kelelakiannya hanya muncul bil a ada bant uan obat -obat an. Yang ini t erasa menekan hat i Lasi, namun t ak mengapa karena pada diri Lasi masih t ersisa keyakinan hidup orang Karangsoga; seorang ist ri harus narima, menerima suami apa adanya. Tet api Lasi menj adi sangat kecewa ket ika menyadari bahwa perkawinannya dengan Handarbeni memang benar main-main. Lasi merasa dirinya hanya dij adikan pelengkap unt uk sekadar kesenangan dan gengsi.

"Ya, Las. Kamu memang diperlukan Pak Han t erut ama unt uk paj angan dan gengsi, " kat a Bu Lant ing suat u kali ket ika Lasi berkLinj ung ke rumahnya di Cikini. "At au barangkali unt uk menj aga cit ra kej ant anannya di depan para sahabat dan relasi. Ya, bagaimana j uga suamimu it u seorang direkt ur ut ama sebuah perusahan besar. Lalu, apakah kamu t idak bisa menerimanya?"

"Bukan t ak bisa. Saya sadar harus menerimanya meski dengan rasa t ert ekan. "

"Maksudmu?"

"Apa?"

Lasi diam dan t ert unduk.

"Anu, maaf , Las, kamu t idak kenyang?"

"Bukan hanya it u, " j awab Lasi t ersipu.

"Maksudmu?"

"Ket erlaluan, Bu. Yang ini saya benar-benar t idak bisa menerimanya. "

"Yang mana?"

Lasi t ert unduk. Jelas sekali Lasi sulit mengemukakan perasaannya.

"Yang mana, Las?" ulang Bu Lant ing.

Lasi t et ap t ert unduk. Ingat annya melayang pada suat u malam ket ika ia dalam kamar bersama Handarbeni. Malam yang menj engkelkan. Handarbeni benar- benar kehil angan kelelakiannya meski obat -obat an t elah diminumnya. Unt uk menut upi kekecewaan Lasi akibat kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral j anj i membelikan ini-it u dan keesokan harinya semuanya akan Lasi t et ap t ert unduk. Ingat annya melayang pada suat u malam ket ika ia dalam kamar bersama Handarbeni. Malam yang menj engkelkan. Handarbeni benar- benar kehil angan kelelakiannya meski obat -obat an t elah diminumnya. Unt uk menut upi kekecewaan Lasi akibat kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral j anj i membelikan ini-it u dan keesokan harinya semuanya akan

"Las, aku memang sudah t ua. Aku t ak lagi bisa memberi dengan cukup. Maka, bila kamu kehendaki, kamu aku izinkan memint a kepada lelaki lain. Dan syarat nya hanya sat u: kamu j aga mulut dan t et ap t inggal di sini menj adi ist riku. Bil a perlu, aku sendiri yang akan mencarikan l elaki it u unt ukmu. "

Lasi memej amkan mat anya rapat -rapat . Bu Lant ing t ersenyum.

"Lho, Las. Kamu belum menj awab pert anyaanku. "

Lasi mendesah. Kemudian dari mulut nya mengalir pengakuan dalam ucapan- ucapan yang pat ah-pat ah. Lasi berharap pengakuan it u akan mendapat t anggapan yang sej uk, penuh pengert ian. Namun yang kemudian didengarnya dari mulut Bu Lant ing adalah ledakan t awa. Dan gerakan kedua t angan yang mirip orang berenang.

"Oalah, Las, kubilang j uga apa. Pak Han lelaki yang luar biasa baik, bukan? Oalah, Lasi, muj ur amat nasibmu! "

Lasi membat u di t empat nya. Ia memandang Bu Lant ing hanya dengan sudut mat a. Jij ik, kecewa, dan t ak bisa dimengert i.

"Lalu kamu bagaimana, Las?"

"Aku bagaimana?" "Aku bagaimana?"

Ada ruang hampa t iba-t iba mengambang dalam dada Lasi. Kosong. Lengang. Dan bunt u. Lasi ingin cepat mengalihkan pokok pembicaraan, t et api Bu Lant ing t erus mengej arnya.

"Misalkan iku menj adi kamu Las, wah! "

"Tidak, Bu. Yang sat u ini saya t ak sanggup melakukannya. "

"Tet api ini Jakart a, Las. Di sini, banyak perempuan at au ist ri yang saleh. It u, aku percaya. Tapi ist ri yang t ak saleh pun banyak j uga. Jadi yang begit u-begit u it u, yang dikat akan suamimu agar kamu melakukannya, t idak aneh. Ah, kamu pun nant i akan t erbiasa. Ent eng saj alah. . . "

"Sungguh, Bu. Saya t ak sanggup. "

"Las, kamu j angan berpura-pura. Aku t ahu kamu masih sangat muda. Past i kamu masih memerlukan yang begit u-begit u. At au, nant i dulu; kamu t ak bisa mencari. . . ?"

"Ah, t idak. Bukan it u. "

"Lho, kalau kamu t ak bisa, j angan khawat ir. Aku yang akan mencarikannya buat kamu. "

"Las, kamu j angan sok alim. Mau dibuat enak dan kepenak kok malah t ak mau. Apa it u bukan bodoh namanya?"

Lasi t ersinggung. Waj ahnya mendung.

"Masalahnya bukan alim at au t idak alim, melainkan lebih sederhana. Melakukan hal sepert i it u, bahkan baru membayangkannya, bagi saya t erasa sangat ganj il. It u saj a. "

"Ganj il ? Ganj il? Apa yang ganj il ?"

Bu Lant ing t ert awa lagi, lalu mendadak berhent i. Mengusap air mat a yang menet es dari hidung dan menat ap Lasi dengan pandangan yang serius. Nada suaranya merendah.

"Eh, Las, begini saj a. Aka punya saran. Mint a cerai saj a. Jangan khawat ir. Aku j amin kamu t idak akan lama menj adi j anda. Dan soal suami penggant i, it u urusanku. It u gampang. Akan kucarikan buat kamu suami yang l ebih kaya, dan yang pent ing lebih muda. Ee. . . percayalah kepadaku. Bagaimana?"

Lasi t ert egun. Waj ahnya beku.

"Ent ahlah. Yang demikian t ak pernah t erpikir. Pokoknya ent ahlah. "

"Ah, kamu ini bagaimana? Kamu cuma bisa bilang ent ahlah. Kal au begit u apa

Ent ahlah. Lasi memang merasa ent ahlah, ent ah yang akan dilakukannya. Suat u kali Lasi memut uskan benar-benar ingin menerima suami sepenuhnya, t ermasuk impot ensinya. Lasi merasa keput usan it u t idak buruk. Ia akan menekan perasaan demi suami yang t elah banyak memanj akannya dengan kemakmuran yang sungguh banyak. Apalagi dalam hat i Lasi sudah t umbuh rasa kasihan t erhadap Handarbeni. Kasihan, karena Lasi t ahu Handarbeni berusaha menyenangkannya set iap hari. Juga set iap gilir malam meskipun yang ini Handarbeni lebih sering gagal. Namun keput usan demikian sulit t erlaksana karena Handarbeni sendiri sering mengulang apa yang pernah dikat akan kepada Lasi, "Kamu boleh mint a kepuasan kepada lelaki lain. Yang pent ing kamu j aga mulut dan t et ap t inggal j adi ist riku di rumah ini. "

Dan akhirnya menj adi kebiasaan yang t erasa sangat menj ij ikkan. Set iap kali gagal menyenangkan Lasi, Handarbeni selalu mengulang ucapan it u. Usaha Lasi unt uk menghent ikannya t ak dihiraukan oleh Handarbeni. Lasi prot es. Lasi uring- uringan. Suat u kali Lasi bilang bahwa dia benar-benar t idak mau l agi mendengar Handarbeni menawarkan peluang nyeleweng.

"Kenapa sih, Mas Han suka bilang sepert i it u?"

"Kenapa?"

"Ya, kenapa?"

"Karena aku t ahu kamu masih sangat muda. Juga karena aku t idak merasa keberat an selama kamu j aga mulut dan t idak mint a cerai. Jelas?"

Lasi menangis karena sangat sulit percaya bahwa yang baru didengar bet ul- bet ul kel uar dari mulut suaminya. Dunia yang baginya t erasa begit u ganj il t iba- t iba t erbent ang dan Lasi dipersil akan masuk. Lasi prot es lebih keras. Lasi mint a Lasi menangis karena sangat sulit percaya bahwa yang baru didengar bet ul- bet ul kel uar dari mulut suaminya. Dunia yang baginya t erasa begit u ganj il t iba- t iba t erbent ang dan Lasi dipersil akan masuk. Lasi prot es lebih keras. Lasi mint a

Huj an t ampaknya bel um lama berhent i ket ika sore hari Lasi t iba di Karangsoga. Bersama Pak Min yang mengendarai Mercy baru, Lasi dat ang ke rumah orangt uanya, kali pert ama set ahun sej ak ia menj adi ist ri Handarbeni. Turun dari mobil Lasi segera merasa sesuat u yang sangat berbeda; udara segar. Bau alami l umut dan pakis-pakisan yang baru t ersiram huj an. Bau t anah kelahiran. Lasi merasa kedat angannya menj adi perhat ian orang t et api mereka t idak mau mendekat . Kecuali beberapa anak. Mereka mengelilingi mobil Lasi, masing-masing dengan mat a membulat .

Mbok Wiryaj i keluar, lari sepanj ang lorong set apak karena sudah merasa past i siapa yang dat ang. Bunyi langkah kaki yang menginj ak t anah basah berbaur dengan let up kegembiraan. Anehnya Mbok Wiryaj i berhent i beberapa langkah di depan Lasi. Ada j arak yang t ak t ert embus olehnya sampai Lasi mendekat dan mengulurkan t angan. Biasa, t ak t erkesan rasa kangen. Unt ung, Mbok Wiryaj i lega karena set idaknya Lasi mau t ersenyum dan bert anya t ent ang kesehat annya.

Lasi masih berdiri di samping mobil sambil memandang sekeliling, memandang Karangsoga yang kuyup. Teringat olehnya bet apa sukar mengolah nira di kal a hari huj an namun hasilnya t ak cukup unt uk sekilo beras. Namun Lasi merasa hanyut oleh kenangan masa lain ket ika hidungnya mencium bau nira hampir masak. Dalam rongga mat anya t erlihat t engguli menggelegak dan uap yang menggumpal dan naik menembus at ap. Dan put aran kenangan it u mendadak put us ket ika bayangan Darsa muncul. Lasi memej amkan mat a lal u bergerak menyusul Mbok Wiryaj i dan Pak Min yang mendahul ui masuk rumah dengan barang-barang bawaan.

t et angga lain. Dan malam it u pun Lasi merasakan sesuat u yang amat berbeda: sikap Mukri dan para t et angga it u. Sangat j elas mereka mengambil j arak. Mereka lebih banyak menunggu sampai Lasi bert anya sesuat u kepada mereka. Waj ah mereka, sinar mat a mereka, lain. Lasi t ahu ist ri Mukri sangat t erkesan oleh gelang yang dipakainya. Hampir, Lasi membuka mulut unt uk mengat akan harga gelang it u. Unt ung bat al. Bila t idak, ist ri Mukri bisa amat sangat t erkej ut . Sebab andaikan rumah, t anah, dan pohon-pohon kelapa Mukri dij ual pun t akkan t erkumpul uang seharga gelang kecil di t angan Lasi it u. Bahkan Pak Tir, orang t erkaya di Karangsoga, kelak akan t ahu dari t aukenya bahwa harga seluruh hart a bendanya t akkan cukup unt uk membeli sat u mobil yang dibawa Lasi.

Tiga hari berada di rumah orangt ua di kampung halaman, Lasi belum mendapat kepast ian apa yang akan dilakukannya. Selama t iga hari it u Lasi hanya melangkahkan kaki seput ar kampung t anpa t uj uan t ert ent u. Selama t iga hari pula Lasi merasakan bet apa sikap semua orang Karangsoga j auh berubah. Semua orang ingin memperlihat kan keakraban kepadanya dan waj ah mereka cerah ket ika diaj ak bicara. Mat a mereka mengat akan, mereka menyesal dan t idak ingin lagi merendahkan Lasi sepert i yang t erj adi pada masa lalu. Lasi sering ingin t ersenyum menikmat i perubahan sikap orang-orang sekampung. Terasa ada kepuasan karena dendam yang t erbayar. Namun sesering it u pul a Lasi t eringat ada kat a-kat a yang pernah diucapkan emaknya, aj a dumeh, j angan suka merasa diri berlebih.

Kemarin Lasi berj alan-j alan, sekadar mengenang kembali lorong-lorong kampung yang dulu dilaluinya set iap hari. Ada rasa nikmat ket ika kakinya merambah t it ian bat ang pinang. Telinganya mendengar riang-riang at au kokok ayam bet ina yang sedang menggiring anak-anaknya. Dan akhirnya perj alanan t anpa t uj uan t ert ent u it u membawa Lasi ke sebuah kolam ikan milik t et angga. Ada kakus dengan dinding compang-camping di at as kolam it u dan mendadak Lasi ingin buang haj at . Ent ahlah, meski sudah lama menj adi ist ri orang kaya, Lasi belum merasa pas dengan kakus duduk mewah yang ada di rumah suaminya di Slipi. Di bawah rimbun pepohonan, dengan semilir angin yang membawa bau- bauan alami t ert ent u, Lasi mal ah merasakan puasnya buang haj at .

Malam keempat huj an lebat kembali t urun di Karangsoga. Lasi kembali merasakan nikmat nya masa lalu: t idur dal am udara sej uk dengan iringan suara huj an menimpa kelebat an rumpun bambu dan pepohonan di bel akang rumah. At au bunyi anak burung bluwak yang kedinginan dan mencari induknya. Sert a Malam keempat huj an lebat kembali t urun di Karangsoga. Lasi kembali merasakan nikmat nya masa lalu: t idur dal am udara sej uk dengan iringan suara huj an menimpa kelebat an rumpun bambu dan pepohonan di bel akang rumah. At au bunyi anak burung bluwak yang kedinginan dan mencari induknya. Sert a

Dalam sebuah pembicaraan yang singkat dan lugas, kesepakat an pun t ercapai. Pak Talab akan membangun rumah Mbok Wiryaj i dengan bent uk dan bahan- bahan yang sama sekali baru. Pul ang dari rumah Pak Talab, Lasi mengemukakan rencana yang sudah diput uskannya sendiri kepada emaknya. Mbok Wiryaj i membelalakkan mat a.

"Las, kamu t idak main-main?"

"Tidak, Mak. "

"Tet api aku t idak pernah memint a kamu melakukan hal it u. Aku t idak. . . "

"Sudahlah, Mak. Emak memang t idak mint a. Tapi saya sendiri mel ihat rumah ini sudah t erlalu t ua. Saya sendiri yang menghendaki rumah ini dibangun kembali dan Emak t inggal t ahu beres. Mak, Saya t idak ingin Mas Han kebocoran bila suat u saat kelak suamiku it u menginap di sini. "

Mulut Mbok Wiryaj i t iba-t iba rasa t erkunci. Ah, t erasa ada kesadaran unt uk mengakui bet apa dirinya kini kecil, t idak banyak art i di depan kepent ingan anaknya. Mbok Wiryaj i t unduk dan menelan ludah. Terasa, bet apa dirinya kini sudah berubah menj adi sekadar pinggiran unt uk kepent ingan Lasi. Ya, perasaan

Demikian kecil makna keberadaannya sehingga unt uk membangun rumah sendiri pun Mbok Wiryaj i boleh dibilang t ak diaj ak bicara. Mbok Wiryaj i menelan ludah lagi.

Dengan j aminan biaya yang lancar rumah Mbok Wiryaj i selesai dal am wakt u dua bulan. Dalam j angka wakt u it u Lasi dua-t iga kali pulang-balik Jakart a- Karangsoga, sekali bersama Handarbeni. Orang Karangsoga sebet ulnya heran mengapa suami Lasi begit u t ua, l ayak menj adi ayahnya. Tet api perasaan it u lenyap oleh cit ra bagus yang segera diperlihat kan oleh lelaki it u. Handarbeni ramah, mau berbicara dengan banyak orang, dan mau menyediakan dana unt uk perbaikan beberapa j embat an kampung.

Karena kemakmuran yang t erlihat dalam kehidupan Lasi, suat u saat Mukri dat ang.

"Las, kamu t idak ingin melihat Eyang Mus?"

"Eyang Mus? Oalah, Gust i! Aku hampir melupakan orang t ua it u. Kang Mukri, bagaimana keadian Eyang Mus?"

"Dia masih sehat . Tet api apa kamu sudah dengar Mbok Mus sudah meninggal ?"

"Meninggal? Innalillahi. "

"Ya. Namun bukan it u yang ingin kukat akan padamu. Yang ingin kusampaikan kepadamu, surau Eyang Mus j uga sudah t ua. Kamu sudah selesai membangun rumah orangt uamu. Apa kamu t idak ingin beramal membangun surau Eyang Mus?"

"Bagaimana, Las?"

"Ent ahlah. Aku belum pernah memikirkannya. Aku bahkan baru t eringat Eyang Mus karena kamu bercerit a t ent ang suraunya. "

"Kalau begit u apa sal ahnya kamu melihat Eyang Mus. "

"Kamu benar, Kang. Aku akan pergi ke rumah Eyang Mus, kapan-kapan. "

"Kok kapan-kapan?"

"Karena aku baru t eringat sekarang. "

Ternyat a Lasi dat ang ke rumah Eyang Mus pada keesokan harinya. Benar kat a Mukri, surau Eyang Mus sudah begit u t ua, j uga rumah Eyang Mus sendiri, sehingga Lasi merasa harus berhat i-hat i ket ika membuka pint u depan. Eyang Mus yang sudah mendengar suara Lasi t et ap duduk di kursi, hanya sedikit menegakkan kepala. Set ahun t ak bert emu orang t ua it u, Lasi mel ihat Eyang Mus banyak berubah, makin kurus dan lamban. Kant ong mat anya menggant ung dan t ulang pipinya makin menonj ol. Suar anya t erdengar dalam. Kasihan. Dari Mukri, Lasi t ahu bahwa kini Eyang Mus t inggal sendiri. Makan-minum dicat u oleh seorang anaknya yang t inggal t ak j auh dari sana.

"Yang. . . "

"Ya, Yang. "

Lasi t erj ebak keharuan. Dan rasa bersalah, karena sudah sekian lama berada di Karangsoga namun baru sekali menengok orang t ua it u. Lasi menarik kursi di samping Eyang Mus. Makin j elas kerent aannya.

"Eyang Mus masih suka menabuh gambang?" t anya Lasi sekenanya sement ara mat anya melihat perangkat gambang Eying Mus masih di t empat biasa.

"Tidak. Tanganku sudah sering gamang, sering kesemut an. Aku t ak bisa lagi memukul gambang. "

"Yang. . . "

"Apa, Las?"

"King Mukri bilang, surau Eyang Mus perlu dipugar. Bet ul?"

Eying Mus t erperanj at . Mat anya yang buram dan kelabu menat ap Lasi.

"Apa bet ul , Yang?" ul ang Lasi.

"Tidak, " j awab Eying Mus mant ap.

Lasi t erkej ut dengan j awahan yang t ak t erduga it u.

"Tidak? Kenapa, Yang?"

"Aku bisa mengira-ngira, Mukri memint amu membiayai pemugaran surau kit a it u. Iya, kan?"

"Ya. "

"Kamu mau?"

"Ya, mau. "

"Kamu ada cukup uang?"

"Cukup, Yang. "

"Ah, t et api t ak perlu. Kukira surau kit a masih baik. Art inya, masih bisa mendat angkan ket ent eraman j iwa bagi siapa saj a yang bersuj ud kepada Tuhan di sana. Surau kit a masih membawa suasana yang akrab bagi orang-orang Karangsoga, masih lebih cocok dengan al am lingkungan dan kebiasaan mereka. "

"Eyang Mus t idak ingin surau kit a berl ant ai t egel dan berdinding t embok? Surau berdinding bambu sudah ket inggalan zaman, " kat a Lasi set elah agak lama t erdiam.

Eyang Mus t ersenyum.

"Tidak, Las. Aku mal ah khawat ir surau yang t erlalu bagus akan membuat suasana t erasa asing bagi orang-orang yang biasa t inggal di rumah berdinding bambu dan t idur di at as pelupuh. Surau yang bagus mungkin bisa membuat orang-orang di sini merasa berada dalam ruangan yang t ak akrab. "

Lasi diam lagi.

"Kalau begit u, bagaimana bila saya membeli pengeras suara unt uk surau kit a? Eyang Mus, di mana-mana orang memasang pengeras suara unt uk mesj id dan surau mereka. "

"Las, it u pun t idak. Terima kasih. Mesj id balai desa sudah dipasangi corong. Set iap wakt u salat suaranya t erdengar sampai kemari. Bila surau kit a j uga dipasangi pengeras suara, nant i j adi berlebihan. Tidak, Las. Terima kasih. "

Eyang Mus diam. Terlihat kesan risi karena t elah menampik kebaikan yang dit awarkan Lasi.

"Las. . . "

"Apa, Yang?"

"Bila benar kau ingin mendermakan uang, saat ini mungkin ada orang yang sangat memerlukannya. "

"Kanj at . "

"Kanj at ?" Lasi t erkej ut unt uk kal i kedua.

"Ya. "

"Anak Pak Tir perlu bant uan uang?"

"Begini. Kudengar Kanj at ingin membuat percobaan, mengolah nira secara besar-besaran. Semacam kilang gula kelapa. Ada orang bilang, dengan mengolah nira secara besar-besaran penggunaan bahan bakar bisa dihemat . Konon Kanj at akan menggunakan kompor pompa yang besar unt uk mengolah nira yang dibeli dari penduduk. Namun unt uk biaya percobaan-percobaan it u Kanj at t ak punya cukup uang. "

"Ayahnya?"

"Kasihan anak muda it u. Pak Tir t ak pernah set uj u akan t et ek bengek yang dilakukan anaknya. Pak Tir malah sangat kecewa karena Kanj at senang menggelut i urusan kaum penyadap yang menurut dia t ak pant as dilakukan oleh seorang insinyur-dosen. "

"Nant i dul u, Yang. Kanj at akan membeli nira dari para penyadap?"

"Begit u yang kudengar. Orang bilang, bila percobaannya berhasil, para "Begit u yang kudengar. Orang bilang, bila percobaannya berhasil, para

"Jadi, j adi, para penyadap t ak perlu lagi menj ual gula?"

"Mest inya begit u. At au, t emuilah Kanj at . Kamu akan mendapat penj elasan langsung dari dia. Aku sendiri sebet ulnya t ak begit u paham. Aku hanya percaya Kanj at anak yang baik dan apa yang ingin dicobanya, aku percaya, bert uj uan baik pula. Maka, bant ulah dia. "

Sepi. Mat a Lasi menat ap dat ar t api ia t ak melihat sesuat u. Hanya ada Kanj at . Ya. Sesungguhnya nama it u selalu lekat di hat inya sej ak Lasi berada kembali di Karangsoga. Tet api bersembunyi di mana dia? Sudah bencikah dia? Ent ahlah, yang j elas sosoknya selalu t ampak dalam angan-angan Lasi. Alisnya yang t ebal dan sorot mat anya yang t aj am. Kesederhanaannya. Tak banyak omongnya. Sikapnya yang sej ak dulu selalu ingin melindunginya. Dada Lasi berdebar. Ada pikiran nakal; membandingkan Handarbeni yang t ua dengan Kanj at yang masih sangat muda.

Sampai t iba saat meninggalkan rumah Eyang Mus, Lasi t ak memberi kesanggupan apa pun menyangkut rencana percobaan yang dilakukan Kanj at . Namun sampai di rumah orangt uanya Lasi segera memanggil ist ri Mukri. Lasi ingin t ahu hari-hari Kanj at bisa dit emui di Karangsoga. Ist ri Mukri menj elaskannya dengan semangat dan t erperinci bahkan dengan t ambahan macam-macam.

Tambahan it u misalnya, kini ada seor ang gadis, Hermiat i, lengket dengan Kanj at . Hermiat i selalu memakai celana panj ang biru, ket at , rambut nya sebahu dan bil a mengendarai sepeda mot or gayanya sepert i anak lelaki.

"Cant ik? Apa dia. . . eh, siapa dia t adi?"

"Hermiat i. Dia cant ik?"

"Soal cant ik, dia kalah sama kamu. "

"Ah! "

"Bet ul. Lagi pula dia hanya naik sepeda mot or dan kamu naik mobil. "

"Tet api dia lengket , kan?"

"Ya. Apal agi bila mereka naik sat u sepeda mot or. Lengket bet ul. Eh, Las, nant i dulu. Sej ak t adi kamu belum mengat akan buat apa kamu mau bert emu Kanj at . "

Waj ah Lasi mendadak t erasa hangat . Dia pun t idak sepenuhnya berhasil menyembunyikan ket erkej ut annya. Namun Lasi segera bisa mengat asi keadaan.

"Aku dengar dari Eyang Mus, Kanj at punya rencana ini-it u t et api t ak cukup biaya. Eyang Mus memint a aku membant u Kanj at . Jadi aku ingin bert emu dia. "

Jawaban Lasi memuaskan ist ri Mukri yang j uga t idak t ahu bahwa selama berada di Karangsoga, sebenarnya Lasi merasa penasaran karena sekali pun belum pernah bert emu Kanj at . Padahal ist ri Mukri bilang, hampir set iap Sabt u siang Kanj at pulang ke Karangsoga, kadang sendiri, kadang dengan beberapa t eman.

Adalah Pardi, suat u pagi t erlihat sedang berbincang-bincang dengan Pak Min di gang depan rumah Mbok Wiryaj i. Pardi t ampak sedang menanyakan sesuat u t emang mobil bagus yang dipegang Pak Min. Lasi memanggilnya dan Pardi dat ang dengan gayanya yang khas. Rokok t erus mengepul di mulut nya. Langkahnya ringan dan bibirnya cengar-cengir. Begit u duduk di kursi baru kat a- kat anya langsung membuat Lasi t erpoj ok.

"Ah, Nyonya Besar, t ernyat a kamu masih ingat padaku. "

"Jangan git u, Di. Aku t ak pernah lupa, kal au bukan karena kamu, aku t akkan sampai ke Jakart a. "

"Kalau begit u, bagi-bagilah kemakmuranmu. "

"Sungguh? Kamu mau beli rokok?"

"Tidak. Aku hanya berolok-olok. "

"Nggak kirim gula ke Jakart a?"

"Aku malah baru pulang t adi pagi. "

"Masih dengan Sapon?"

"Masih. Tet api sekarang anak maj ikanku t ak pernah lagi ikut aku naik t ruk gula. Kenapa ya, Las?"

"Maksudmu Kanj at ?"

"Ah, siapa lagi?"

"Kenapa kamu t anyakan it u kepadaku?"

"Kenapa, ya?"

Waj ah Lasi merah. Lasi t ak pernah lupa, Pardi adalah sat u-sat unya orang yang t ahu apa-apa t ent ang dirinya dengan Kanj at . Dada Lasi berdebar. Lidahnya j adi sulit unt uk berkat a-kat a. Pardi cengar-cengir, senang melihat Lasi t ergagap. At au senang menikmat i kecant ikan Lasi, t erut ama pada keindahan seput ar mat anya.

"Di, aku ingin ket emu dia. Tolong, ya. Kamu t ahu caranya?"

Pardi t ert awa. Rokok hampir j at uh dari mulut nya. Lasi meraj uk.

"Las, dunia memang aneh, ya. Dulu, dia yang ngot ot ingin bert emu kamu. Sekarang kamu yang merengek ingin ket emu dia. Dan, ini yang hebat : kamu lupa sudah punya suami? Mau apa lagi, t oh kamu sudah demikian makmur?"

"Lho, Di. Aku hanya ingin ket emu anak maj ikanmu it u. Aneh?"

Pardi t ert awa lagi. Jelas, ia meremehkan alasan yang baru didengarnya. Lasi

"Jangan sepert i anak kecil, Las. Hanya mau bert emu pacar kamu mint a bant uan?"

"Pacar? Brengsek. Aka cuma mint a t olong sampaikan pesan kepada Kanj at , aku ingin bert emu dia. It u saj a. "

"Sungguh?"

Mat a Pardi menyala ket ika melihat pipi Lasi merona. Lasi menunduk. Senyumnya j anggal t api bernas.

"Jadi benar, kan, kamu ingin bert emu pacar? Awas, bisa kulaporkan kepada suamimu. "

"Sudahlah, Di, aku t idak main-main. "

"Baik, baik. Ah, t ernyat a memang benar, yang namanya pacar sukar dilupakan. "

Pardi meninggalkan rumah Mbok Wiryaj i sambil menggeleng-gel engkan kepala dan senyum yang t ak mudah hil ang. Lasi yang sudah makmur dan makin cant ik masih ingin bert emu Kanj at ? Mungkin, unt uk memberinya bant uan keuangan. Tet api mat a Lasi sendiri banyak memberi aba-aba, keinginannya bert emu Kanj at bukan sekadar masalah bant uan uang. Pardi menggeleng lagi. Asap rokok makin mengepul dari mulut nya.

dan menemuinya di sebuah t empat yang sangat pribadi. Lasi bert erus t erang bahwa sej ak semula dirinya t erbawa arus yang t ak bisa dimengert i dan perkawinannya dengan Handarbeni pun sepert i t erj adi di l uar dirinya.

"Jat , kamu mau menolongku, bukan?"

Kanj at menat apnya dengan sorot mat a penuh keraguan.

"Menolong bagaimana? Kamu kan sudah j adi ist ri orang?"

"Jat , mungkin perkawinanku t idak akan lama. Mungkin aku akan mint a cerai. Aku akan kembali j adi j anda. "

"Ya?"

"Kamu mau brayan urip-bersamaku, Jat ?"

"Brayan urip? Kawin?"

"Ya. Ah, t et api sebenarnya aku malu. Sebenarnya aku harus t ahu diri karena aku j anda. Malah dua kali j anda. Aku j uga lebih t ua. Tet api, Jat , bagaimana ya? Dan kat a Bu Lant ing, aku cant ik. Benar, Jat , aku cant ik?"

Kanj at t ert egun.

"Bet ul?"

Kanj at mengangguk dan senyumnya nakal.

Dan Lasi kaget sendiri. Sadar dari lamunannya, Lasi t ersenyum pahit karena t ak seorang pun berada di dekat nya, t idak pula Kanj at . Lal u, pada pert emuan scbenarnya keesokan harinya, Lasi mula-mula t ak mudah omong. Mula-mula Lasi lebih sering menat ap Kanj at dengan perasaan t ak menent u. Ada harap, ada segan dan malu. Ket enangan yang diperlihat kan Kanj at malah membuat Lasi merasa kecil. Anehnya, dada Lasi selalu berdebar bila mat a Kanj at menyambarnya. Telapak t angannya berkeringat .

"Kamu memanggilku, Las?" t anya Kanj at set elah mengambil t empat duduk.

"Aku ingin bert emu kamu. Terima kasih, kamu mau dat ang. Ke mana saj a kamu selama ini?"

"Aku pun sebenarnya ingin bert emu kamu. Tapi ent ahl ah. "

"Jat , kamu menghindar?"

"Tidak j uga. "

"Kukira, ya! "

"Sudahlah. Sekarang, apa yang ingin kamu kat akan kepadaku? Pardi hilang kamu mau membant uku?"

"Jat . . . "

"Ya?"

"Kemarin aku memang ingin bicara dengan kamu soal bant uan yang mungkin bisa kuberikan kepadamu. Tet api hal ini, nant i saj a. "

"Ya. Lal u?"

"Aku t ak t ahu. Ah, Jat . Mengapa kamu hanya sepert i it u? Apa it u hanya alasan karena sebenarnya kamu t ak mau duduk sebent ar bersamaku?"

Kanj at diam dan merasa t erpoj ok di j alan bunt u. Ada riak mengget arkan j ant ungnya ket ika dengan kekuat an mat anya, Lasi menunt ut sesuat u, ent ah apa.

"Jat , aku mau cerit a. Kamu mau mendengarnya, bukan?"

"Ya, mau. Cerit alah yang banyak. "

Lasi t erlihat beherapa kali menelan ludah.

"Tent u, Las. Sennua orang t ahu kamu sudah kawin lagi. "

"Tet api apa kamu t ahu bahwa aku cuma, anu. . . aku cuma, anu. . . cuma kawin- kawinan?"

Sepi. Kanj at menat ap Lasi yang t iba-t iba menunduk.

"Kawin-kawinan? Maksudmu?"

"Kawin-kawinan, kamu t ak t ahu? Art inya, main-main. Tahu?"

Kanj at mengerut kan kening. Int uisinya bekerj a keras unt uk memahami kat a- kat a Lasi. Ya. Kanj at bukan anak kemarin sore. Ia sarj ana. Tak t erlalu sulit bagi Kanj a memahami maksud Lasi. Mungkin t idak serat us persen t epat . Namun sepanj ang menyangkut keluhan seorang ist ri t erhadap perkawinan sendiri, Kanj at sudah t ahu past i ke mana muaranya. Kanj at mendesah.

"Jat , kamu sudah t ahu, bukan?"

"Ya. "

"Nah, aku puas karena kamu sudah t ahu perkawinanku cuma kawin-kawinan. Sekarang, gant i soal. Eyang Mus bilang kamu punya rencana yang perlu biaya. Jat , mungkin aku bisa membant umu. "

Kanj at t eNenyum dan mengangguk-angguk. Tet api dari senyum Kanj at it u Lasi melihat ket idakpast ian. Apalagi Lasi melihat Kanj at menggeleng dan menggeleng lagi sepert i memendam kebunt uan.

"Bagaimana, Jat ?"

"Wah, t erima kasih at as t awaranmu. Tet api rencana it u t ernyat a sulit kami laksanakan. "

"Maksudmu?"

Kanj at diam lagi. Tak mudah baginya menerangkan hasil sebuah penelit ian ilmiah kepada orang sepert i Lasi yang meski sudah j adi orang kaya, pendidikannya hanya t amat sekolah dasar. Namun Kanj at mencobanya j uga.

"Dalam penelit ian ulang kami menemukan, pengolahan nira secara masal dengan t ungku modern yang kami rencanakan t ernyat a akan menghadapi banyak kesulit an. Dari penyadap t ak akan mau menj ual nira karena hal semacam it u baru bagi mereka. Para penyadap masih sangat sulit menerima perubahan. Juga, penghasilan mereka j adi berkurang meskipun mereka memperoleh wakt u luang unt uk melakukan kegiat an l ain. Mereka t ak punya ket erampil an lain unt uk mengisi wakt u luang it u. Jadi bagi para penyadap, mengolah nira adalah sat u-sat unya kegiat an produkt if . Sayangnya kegiat an it u baru membawa keunt ungan bagi mereka apabila bahan bakar diperoleh secara cuma-cuma. Dengan kat a lain, l ingkungan, t erut ama hut an di sekit ar Karangsoga, yang harus menerima beban biaya bahan bakar it u. "

"Lalu?"

"Las, lebih dari sat u t ahun aku dan beberapa t eman mencoba berbuat sesuat u "Las, lebih dari sat u t ahun aku dan beberapa t eman mencoba berbuat sesuat u

Kanj at kel ihat an get ir. Tet api senyumnya selalu membuat Lasi berdebar dan t ert unduk.

"Jadi gagal, Jat ?"

"Kukira, ya. Tet api bagaimanapun aku sudah mencobanya. Juga aku menj adi sadar bahwa permasal ahan para penyadap di sini memang besar dan rumit sehingga t ak bisa diselesaikan dengan cara kecil-kecilan. Segi-segi pandang sepert i kebiasaan, t araf penget ahuan, dan j uga budaya t erlibat di dalamnya. Dari luar, para penyadap menghadapi t at a niaga gul a yang demikian senj ang dan t idak adil, namun sudah berhasil mencipt akan ket ergant ungan yang demikian mendalam. Jadi hanya dengan usaha besar-besaran, t erencana dengan baik, sert a ada kebij aksanaan polit ik dan dana yang banyak, t araf hidup para penyadap dapat diperbaiki. Las, kami t ak punya kekuat an sepert i it u. Las?"

"Ya. Eh, apa t adi? Kamu ngomong apa t adi? Para penyadap t ergant ung- gant ung?"

Kanj at t ert awa dan yakin sampai demikian j auh Lasi t idak mendengarkan kat a- kat anya. Tidak mendengarkan, at au Lasi t ak mampu mengikut i j alan pikiran seorang insinyur. Suasana j adi lucu. Lasi akhirnya j uga t ersenyum. Kanj at ingin t idak memandang lekuk pipi yang sangat indah it u, mat a spesif ik yang sangat menawan it u, t api t ak bisa. Dan makin dipandang, denyut dalam dada Kanj at makin seru. Lasi yang merasa sedang dit at ap, membal asnya dengan senyum set engah j adi. Kanj at menarik napas panj ang dan menyandar ke belakang.

"Las, persoalan kaum penyadap malah makin bert ambah rumit . Kamu melihat

"Ya, ya. Aku melihat nya. Pancang apa it u?"

"List rik, Las. Sebent ar lagi Karangsoga dialiri list rik. "

"Ya, aku pun sudah mendengarnya. Wah! Hebat , aku akan mint a Pak Talab memasang list rik di rumah ini. "

"Ya. Demi Tuhan, kit a bersyukur karena list rik akan masuk ke Karangsoga. Dengan list rik orang Karangsoga bisa mendapat banyak kemudahan. Masalahnya, Las, lagi-l agi kaum penyadap it u. Banyak pohon kelapa t umbuh berbaris sepanj ang t epi j alan dan lorong kampung ini. Pohon-pohon kelapa sepert i it u harus dit ebang karena kawat list rik direncanakan lewat di sana. "

"Dit ebangi? Oh, ya. Aku baru sadar sekarang. Kawat l ist rik akan menj alar ke mana-mana. Banyak pohon kelapa akan dirobohkan. "

"Ya. Banyak penyadap dat ang kepadaku karena mereka harus merelakan pohon-pohon kelapa sumber penghidupan mereka dirobohkan t anpa uang penggant i. Tet api aku t ak bisa berbuat apa-apa. Dan kamu masih ingat Darsa?"

"Ah, ya. Kenapa Kang Darsa?"

"Bekas suamimu it u hanya punya dua belas bat ang kel apa, sepul uh di ant aranya t umbuh sej aj ar di t epi lorong. "

"Sepuluh it u yang akan dirobohkan?"

"Ya. Kemarin dia dat ang kepadaku, dia sudah kubilang, aku t ak bisa berbuat apa-apa. Ket ika kudat angi, Lurah pun t ak bisa berbuat apa-apa. "

"Kasihan Kang Darsa. "

"Padahal bukan hanya Darsa. Dan di desa lain yang sudah lebih dulu dimasuki list rik, beberepa penyadap malah berj at uhan set elah t ersengat set rum. "

"Gust i. Sengat an list rik?"

"Ya. Karena t ahu t ak akan mendapat uang penggant i, mereka enggan menebang bat ang kel apa yang ada dekat j alur kawat . Apalagi kebanyakan penyadap memang t idak punya sumber penghasilan l ain. Bila t ak ada angin at au huj an, mereka memang aman. Namun bila ada goyangan yang membuat pelepah-pelepah it u menyent uh kawat , semuanya menj adi l ain. "

Lasi menunduk dan mengerut kan kening. Kanj at t erpesona. Ia selalu sadar dirinya waj ib berusaha t idak menat ap Lasi, t et api selalu pula gagal. Ada get aran mengimbas aliran darah set iap kali mat anya menangkap keindahan di hadapannya.

"Jadi, j adi, Kang Darsa j uga akan disengat list rik?"

"Tidak, karena pohon-pohon kelapa Darsa malah harus dit ebang. Harus, karena j alur kawat akan lewat t epat di sana. "

"Lalu?"

"Kudengar Darsa dimint a pindah ke Kalimant an. Tet api bekas suamimu it u t idak bersedia berangkat karena dia hanya bisa menyadap nira. Orang bilang, di t empat yang baru t idak t ersedia pohon kelapa yang bisa digarap Darsa. "

"Jadi? Jadi?"

Kanj at menggeleng. Ia kelihat an kehilangan semangat membicarakan persoalan kaum penyadap. Pada waj ahnya t ergambar kebunt uan. Tet api t iba- t iba Kanj at menegakkan punggung. Kanj at sepert i menemukan sesuat u yang pent ing.

"Las, malah kudengar penebangan pohon-pohon kelapa yang t erkena j alur list rik akan dimulai di sini besok pagi. Kamu ingin melihat ?"

"Pohon kel apa Kang Darsa bagaimana? Juga dit ebang besok?"

"Ya, besok. Sebenarnya aku t ak t ega melihat mereka kehilangan sumber mat a pencarian. Namun ent ahlah, rasanya aku pun ingin t inggal sampai besok. Sekarang kukira cukup, aku mint a permisi. "

"Jat ! "

Kanj at urung bangkit . Ia melihat Lasi menat apnya sej enak, lalu menunduk.

"Jat , kamu t ak ingin t inggal lebih lama?"

"Tidak. Cuma ngobrol saj a. Mau, kan?"

Kanj at mengangkat alis dan t ersenyum t awar.

"Kalau hanya ngobrol , kukira sudah cukup. Permisi, Las. . . "

"Sebent ar, Jat . Kudengar kamu sudah punya pacar. Bet ul?"

Kanj at kaget , t et api kemudian ia t ert awa. Ia t eringat pada Hermiat i; hit am manis, mandiri, dan l ugas. Hermi adalah t eman yang menyenangkan. Di

f akult as, ia adalah mahasiswinya yang pint ar. Namun Kanj at t idak merasa dia sudah menj adi pacarnya.

"Bet ul, kan?"

"Tidak. Sudah lama aku t idak memikirkan soal it u. "

"Maksudmu?"

"Ya, aku sudah lama t ak ingin pacaran. "

"It u aku sudah dengar. Yang kumaksud, mengapa kamu begit u?"

Kanj at gel isah. Senyumnya muncul t et api t awar dan kaku.

"Kamu t ak marah bila aku t ak mau berkat a lebih banyak?"

"Aku marah. "

"Kamu t ak suka aku menyimpan perasaan pribadi?"

"Pokoknya aku marah, " Lasi meraj uk. Kanj at merasa j adi serba salah.

"Baiklah, Las. Aku bert erus t erang, t et api hanya unt uk kamu. Sej ak aku merasa t ak berunt ung, aku j adi malas berpikir t ent ang pacaran. Dulu, kamu adalah ist ri Darsa. Sekarang kamu adalah ist ri orang lain lagi. Aku memang t ak berunt ung. "

"Jadi, j adi, akulah penyebabnya?" t anya Lasi t anpa mengangkat muka. Mendadak pipi Lasi memerah dan bibirnya berget ar.

Kanj at diam. Ia hanya menarik napas panj ang.

"Jat , kamu mau memaaf kan aku, kan?"

"Kamu t ak bersalah apa pun. Bet ul, Las, kamu t ak punya salah sedikit pun kepadaku. "

"Ya. Tet api hal it u semat a-mat a urusan pribadiku. "

"Jat , aku sudah bert erus t erang mengat akan bahwa perkawinanku cuma main- mainan. It u pengakuanku yang sangat j uj ur. Sekarang boleh kan, aku mint a kej uj uranmu pula?"

"Maksudmu?"

"Begini, Jat , cepat at au lambat , perkawinanku akan bubar lagi. It u past i. Jat , aku akan kembali j adi j anda. It u past i. . . "

Lasi t ak bisa meneruskan kat a-kat anya. Tangannya sibuk menghapus air mat a. Kanj at kembali menarik napas panj ang. Ia bahkan menopang dagu dengan t angan kirinya set elah Lasi, dengan nada yang sangat dat ar dan t erput us-put us, mencerit akan keadaan dirinya yang sebenarnya.

"Sudah kubilang, perkawinanku t erasa sangat aneh. Ganj il. Maka siapa pun yang masih punya pikiran waj ar t ak mungkin t ahan t inggal dalam perkawinan sepert i it u. "

Lasi bicara dan t erus bicara. Tent ang Bu Lant ing yang menawarkan cara berahi bebas pun keluar j uga dari mulut Lasi. Kanj at mendengarkannya dengan dahi berkerut dan alis yang merapat . Ah, Kanj at j adi t ahu, di balik kemakmuran yang dari l uar t ampak sangat megah, Lasi menanggung beban yang t ak kepalang j ust ru karena ia masih ingin dikat akan punya pikiran waj ar.

"Jat , bila aku mau j adi orang nggak bener, sangat gampang. Aku boleh dibil ang punya semua kemudahan unt uk melakukan hal it u. Bahkan sudah kubilang, "Jat , bila aku mau j adi orang nggak bener, sangat gampang. Aku boleh dibil ang punya semua kemudahan unt uk melakukan hal it u. Bahkan sudah kubilang,

Kanj at meluruskan punggung dan menyandar ke belakang. Mengusap waj ah dengan t angan kirinya, lalu menggeleng-gel engkan kepala. Ada yang t erasa gawat dan canggih. Terasa ada ket erpanggil an yang samar-samar mulai hadir mendekat . Tet api Kanj at j uga merasa obj ek ket erpanggilan it u berada dalam sebuah kandang khayali dan Kanj at t akkan begit u mudah memasukinya. Dan Kanj at mendengar Lasi mengisak.

"Jat , aku menyesal. Seharusnya aku t idak mengat akan semua ini kepadamu. Aku malu. "

Kanj at malah makin merasa t ak enak. Makin t erpanggil. Tet api ia belum j uga bisa membuka mulut . Ket ika akhirnya Kanj at menemukan kat a unt uk diucapkan, suaranya t erdengar parau.

"Las, kamu t ak perlu menyesal. Kamu t ak salah mengat akan semua it u kepadaku. "

"Tak salah? Jadi aku t ak salah?"

"Ya. "

"Kalau begit u kamu bet ul-bet ul t ahu perasaanku?"

"Ya, aku t ahu. "

"Tahu?"

Kanj at mengangguk dan t ersenyum. Anggukan it u, ent ah mengapa, sangat berkesan di hat i Lasi yang kemudian melepas napas panj ang. Lega. Ent ahlah, Lasi merasa lega. Senyumnya mengembang dan rasanya diberikan secara khusus buat Kanj at .

"Nah, aku permisi. Sudah cukup, kan?"

Lasi mengangguk. Mat anya bercahaya. Senyumnya renyah lagi.

Kali ini Kanj at benar-benar bangkit , dij abat nya t angan Lasi sambil t ersenyum. Kanj at merasa t elapak t angan Lasi berkeringat dan agak berget ar. Sekilas t erlihat kemanj aan, namun Lasi kelihat an berusaha melawannya. Kanj at berangkat t anpa menoleh ke kiri-kanan. Lasi mengant arnya sampai ke pint u dan berdiri di sana. Mat anya menerawang. Terasa ada sesuat u yang t ert inggal dan masih menggumpal dalam hat i. Ada hasrat yang t et ap mengendap. Tet api Kanj at sudah j auh. Bahkan t ak t ampak lagi sosoknya.

Pagi ini Darsa bangun lebih awal set elah semalaman hampir t ak bisa t idur. Pagi ini Darsa t ak pergi menyadap nira karena sepuluh dari dua belas pohon miliknya akan dirobohkan. Jongkok di emper rumahnya, Darsa merenung dan merenung, mengapa hidupnya sel alu susah. Belum lagi hat i benar-benar t erhibur akibat t erpaksa berpisah dengan Lasi l ebih dari set ahun yang lalu, kini dia akan kehilangan sat u-sat unya sumber mat a pencarian. Ada niat pergi ke rumah Eyang Mus unt uk bert anya, mengapa orang bisa demikian menderit a bukan oleh kesalahan sendiri? Dulu ket ika Darsa menderit a karena harus bercerai dengan Pagi ini Darsa bangun lebih awal set elah semalaman hampir t ak bisa t idur. Pagi ini Darsa t ak pergi menyadap nira karena sepuluh dari dua belas pohon miliknya akan dirobohkan. Jongkok di emper rumahnya, Darsa merenung dan merenung, mengapa hidupnya sel alu susah. Belum lagi hat i benar-benar t erhibur akibat t erpaksa berpisah dengan Lasi l ebih dari set ahun yang lalu, kini dia akan kehilangan sat u-sat unya sumber mat a pencarian. Ada niat pergi ke rumah Eyang Mus unt uk bert anya, mengapa orang bisa demikian menderit a bukan oleh kesalahan sendiri? Dulu ket ika Darsa menderit a karena harus bercerai dengan

Darsa pusing. Darsa lumpuh. Ia t ak kuasa menj awab pert anyaan yang muncul dalam hat i sendiri. Maka dalam puncak kelumpuhannya Darsa hanya bisa t ert awa get ir unt uk mencoba berdamai dengan nasib buruk dan memaksa dirinya percaya bahwa orang, t erut ama orang kecil sepert i dirinya, paling- paling hanya bisa nrima pandum.

Dalam bul an-bul an t erakhir sebenarnya hidup Darsa mulai t erasa menyenangkan. Darsa mulai berhasil meredam rasa t ak puas t erhadap Sipah, ist rinya, yang pincang dan t erpaksa dinikahinya. Sipah sudah memberinya seorang bayi yang lucu dan put ih, dan inilah keunggulan ist rinya yang pincang it u dibanding dengan Lasi. Bagi Darsa, seorang bayi adalah bukt i kelelakian, bahkan bukt i keberadaan. Bayi it u selalu bangun menj elang f aj ar dan ocehannya polos dan sangat menawan. Dengan seorang bayi di rumah, hidup Darsa t crasa mapan dan gambl ang. Bahwa Sipah t et ap pincang, t ak lagi j adi persoalan yang t erlal u mengganj al hat inya.

Darsa j uga menemukan kenyat aan yang dulu t ak pernah t erbayangkan. Mempunyai ist ri pincang, memang, berart i malas mengaj aknya ke kondangan. Namun sebaliknya, Darsa t ak pernah merasa khawat ir meninggalkan Sipah seorang diri, malam hari sekalipun, misal nya bila Darsa ingin sunt uk nont on wayang. Bahkan akhirnya Darsa percaya kat a orang bahwa ist ri bisa banyak, namun j odoh past ilah hanya seorang, dan yang seorang it u bagi Darsa adalah si pincang Sipah. Dan Darsa j adi lebih percaya bahwa Gust i Allah memang adil. Sebab t ernyat a, dengan sikap nrima pandum, seorang ist ri pincang pun bisa memberi kesej ukan. Perasaan semacam it u t ak pernah didapat nya ket ika Darsa mempunyai ist ri Lasi yang nirmala dan cant ik.

Tet api pagi ini ket enangan hidup ying sedang berseri it u harus pupus. Ket ika mat ahari mulai naik, para pekerj a yang akan merobohkan pohon-pohon kelapa yang kena j alur list rik mulai berdat angan. Mereka adalah orang-orang muda yang baru sekali muncul di Karangsoga. Mereka dingin, t ak mau t ahu akan kepedihan hat i para penyadap yang akan kehilangan pohon-pohon kelapa. Dengan gergaj i mesin mereka mulai bekerj a; mekanis, lugas, bahkan pongah.

Dalam kebisingan suara chain saw mereka t erus bekerj a. Tak sampai dua menit sebat ang kelapa akan roboh. Anak-anak yang bel um t ahu kepedihan orangt ua mereka, bersorak-sorak set iap ada bat ang kelapa roboh ke bumi. Anak-anak it u baru sekali melihat gergaj i mesin dan di mat a mereka perkakas masinal it u sangat hebat .

Karena suara mesin gergaj i yang t erus meraung-raung, makin banyak orang keluar dan berkerumun menyaksikan penebangan pohon-pohon kelapa it u. Tet api mereka diam. Waj ah mereka adalah gambaran kepasrahan. At au ket idakberdayaan. Kanj at yang berada di ant ara mereka j uga diam. Hanya ada t arikan-t arikan napas panj ang. Lasi yang selalu berdiri di dekat Kanj at j uga diam. Orang-orang it u bergerak mengikut i perj alanan para penebang. Dan mereka mempunyai perasaan sama; perist iwa paling mengesankan akan t erj adi di pekarangan Darsa karena penyadap it u akan kehilangan hampir semua pohon kelapanya. Maka mereka pun bergerak bersama-sama ke sana.

Darsa sudah berada di sana, j ongkok seorang diri di at as t anah yang agak t inggi dan mat anya menat ap bat ang-bat ang keiapa yang set iap hari disadapnya dan sebent ar lagi akan t umbang. Darsa melihat Giman, anaknya yang masih bayi, melompat -lompat sepert i cecak t erbang yang meluncur dari sat u pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya. Darsa j uga melihat pongkor-pongkor, t ungku, kawah pengol ah nira, dan arit penyadap. Terakhir, Darsa melihat dirinya sendiri melayang dari ket inggian pohon kelapa, t erus melayang masuk ke dalam j urang yang sangat dalam. Dan Darsa baru t ersadar ket ika suara gergaj i mesin yang makin mendekat t erasa menggorok di j ant ung dengan get aran yang mengoyak j iwa. Urat rahang Darsa menggumpal. Sekil as muncul murka pada waj ahnya. Sekej ap kemudian muncul gambaran rasa t idak berdaya.

Mukri mendekat i Darsa, mengucapkan sesuat u, t at api Darsa t idak memberi t anggapan apa pun. Mukri j uga kehilangan t iga pohon kelapanya. Namun miliknya yang t ersisa masih ada dua puluh dua bat ang. Mukri ingin menghibur Darsa t et api Darsa t idak bergeming. Mat a Darsa t erbuka mat i sebagai mat a bambu, t ak berkedip, dan hampa. Dan waj ah Darsa mendadak pasi ket ika mat a gergaj i mesin menyent uh bat ang kelapa pert amanya. Mesin mendesing makin keras dan pohon kelapa it u berget ar, perlahan condong, lal u roboh menyent ak t anah. Semak dan perdu ikut poranda. Serangga-serangga kecil t erbang berhamburan.

"Darsa, kit a memang t ak bisa lain kecuali pasrah. Maksudku, daripida bersedih dan t erus kecewa t et api pohon-pohon it u t et ap t umbang, lebih baik kit a t erima dan mengalah. "

Darsa t et ap t ak bergeming, dan sat u lagi pohon kelapanya roboh. Sebuah pongkor t erlempar dan isinya t erburai membasahi t anah t ak j auh dari t empat Darsa berada. Darsa sepert i melihat mayat anak-ist rinya t erbuj ur di bumi.

Mukri menepuk pundak Darsa. "Sungguh, Darsa. Percuma menyesali at au menolak kuasa yang kit a t ak mungkin menampiknya. Kukira, lebih baik kamu mencoba hidup dari dua bat ang pohon kelapamu yang t ersisa. "

Pohon yang ket iga berget ar, bergoyang, kemudian melayang rebah dalam t at apan mat a Darsa. Berdebum ke bumi dan ent akannya mengguncang dadanya.

Pendar-pendar yang sangat menyakit kan pecah dalam hat i Darsa. Giman melompat -lompat di ant ara pohon-pohon kelapa yang masih t egak. Tet api bayi it u mulai menangis. Darsa hampir ikut menangis.

Pohon keempat , kelima, keenam, dan set erusnya pun bert umbangan. Dengan sepuluh bat ang kelapa yang mal ang melint ang, pekarangan Darsa porak- poranda sepert i habis diamuk badai. Dalam j ongkoknya, Darsa bergoyang. Mukri memegang pundaknya karena mengira Darsa hampir j at uh. Keliru, karena Darsa malah bangkit t epat ket ika pohon yang kesepuluh habis dimakan gergaj i. Dengan langkah t anpa t enaga Darsa berj alan pulang. Kanj at mengikut inya dengan pandangan mat a. Darsa t erus melangkah, menapak j alan yang menanj ak, meninggalkan hiruk-pikuk suara pohon yang bert umbangan dan suara gergaj i mesin yang t erus mendesing. Tubuh Darsa akhirnya lenyap di uj ung t anj akan. Pada saat yang sama Kanj at t ert unduk dan mendesah.

"Aku mau pergi ke rumah Kang Darsa. Kamu mau ikut , Jat ?" suara Lasi t iba-t iba

"Aku mau ke rumah Kang Darsa. Ikut ?"

Kanj at diam. Tet api ia menurut ket i ka Lasi menarik t angannya. Mereka mengikut i j alan yang dit empuh Darsa belum lama berselang. Mereka berj al an menunduk dan membisu.

Dalam perj alanan it u Kanj at dan Lasi sudah membayangkan akan menemukan Darsa duduk dengan mat a hampa karena boleh dibilang dia t elah kehilangan segalanya. Tet api sampai di halaman rumah Darsa mereka berhent i dan saling memandang. Mereka melihat Darsa sedang duduk sambil merokok. Waj ahnya cair, t anpa beban. Suaranya pun bening ket ika Darsa menyambut kedat angan Kanj at dan Lasi. Sipah berdiri di samping Darsa sambil membopong bayinya. Tet api Sipah segera mundur t erpincang-pincang ket ika melihat Lasi dan Kanj at dat ang. Lasi berhadap-hadapan dengan Darsa, bekas suaminya. Mat a Lasi basah. Darsa menunduk. Lasi melihat pongkor-pongkor t eronggok di emper samping, diam dan kosong. Bahkan dari t empat ia berdiri Lasi melihat t ungku pengol ah nira, dingin dan mat i. Dinding anyaman bambu it u rapuh dan t embus pandang. Suasana t erasa gamang meskipun Kanj at , Lasi, dan Darsa sama berusaha t ersenyum. Mereka kelihat an menunggu siapa yang akan mulai bicara.

"Ah, kalian dat ang ke rumah buruk ini. Terima kasih, t et api kami t ak punya kursi, " kat a Darsa akhirnya. "Ada perlu?"

"Tidak, Kang, " j awab Kanj at dan Lasi hampir bersamaan.

"Hanya ingin bert emu Kang Darsa, " kat a Lasi.

"Bukan ingin ikut -ikut an memint aku boyong ke Kalimant an karena aku sudah t ak punya pohon kelapa lagi?"

"Tidak. "

"Syukurlah. Lebih baik kalian sepert i Mukri, menyuruhku bersabar dan pasrah. Ya. Mukri benar. Kalau bukan pasrah, lalu mau apa? Coba, mau apa?"

Darsa t ersenyum. Lal u diisapnya rokok buat annya sendiri dalam-dalam dan diembuskarmya asapnya dalam t iupan yang lepas. Lepas. Terlihat bayangan rasa lega pada waj ah Darsa. Tet api Kanj at membat u. Terasa sebuah ironi besar mendadak menindih hat inya.

"At au sepert i Eyang Mus, " sambung Darsa.

"Eyang Mus bilang, pohon-pohon kelapaku dirobohkan orang karena sudah menj adi surat an. Sudah menj adi nasib. Terimalah nasibmu dengan hat i l apang, it u kat a Eyang Mus. Ya, memang bet ul . Andaikan t idak mau menerima apa yang t ak bisa kut ampik, lal u aku bisa berbuat apa? Coba, seorang penyadap sepert i aku ini mau apa? Mbalelo?"

Darsa t ersenyum lagi. Malah t erkekeh. Kanj at makin membeku. Pengakuan Darsa dan kepolosannya menerima kenyat aan pahit menj adikan beban t erasa makin mengimpit j iwanya.

"Tet api pohon kelapamu hanya t inggal dua bat ang. Mau diapakan, Kang?" t anya Lasi.

"Lho, aku masih seorang penyadap. Aku masih akan menyadap nira meskipun hanya dua bat ang kel apa yang kumiliki. "

"Ket ika menyadap dua belas pohon, aku mendapat t iga kilo gul a. Dengan dua pohon aku akan mendapat hanya set engah kilo. Lho, apa t umon? Di mana di dunia ini ada penyadap yang hanya menyadap dua pohon kelapa?"

Tawa Darsa meledak. Kanj at dan Lasi t erpaku karena keduanya t ahu, set engah kilo gula t ak lebih berharga daripada set engah kilo beras.

"Ah, mungkin aku j uga mau j ual kayu bakar, " uj ar Darsa masih dal am suara ringan.

"Sekarang penj agaan hut an makin keras, Kang. Kamu bisa dit angkap mandor. Kamu bisa dihukum. "

"Lha, kalau surat an mengat akan demiki an, aku mau apa? Hayo, aku mau apa? Pula, apa l agi yang bisa aku makan kecuali nunut urip, numpang hidup, pada hasil hut an? Dan kalau j alan ini akan menyebabkan aku dit angkap mandor, ya aku bisa apa selain pasrah?"

Darsa t ert awa. Kanj at menunduk dan t ersenyum, senyum paling pahit yang pernah ia rasakan sepanj ang hidupnya. Pengakuan Darsa t erdengar dan t erasa sebagai t el unj uk api yang menuding akan adanya j aringan t angan gurit a yang mengisap Darsa dan puluhan ribu penderes sepert i dia. Tangan gurit a it u demikian t angguh dan melembaga sehingga seorang lemah dan t ert indas sepert i Darsa hanya bisa bilang, ini sudah nasib. Kalau t idak menerima kepahit an ini lalu mau apa? Coba, mau apa?

Apabila Kanj at hanya membeku dan membiarkan amok berkobar dalam hat i, Lasi lain. Lasi mendengar t awa Darsa sebagai rint ihan paling memilukan yang t ak mungkin keluar kecuali lewat guyu-t angis, t awa yang membungkus t angis. Maka Lasi pun sibuk menghapus air mat a. Lalu t iba-t iba Lasi merasa ada Apabila Kanj at hanya membeku dan membiarkan amok berkobar dalam hat i, Lasi lain. Lasi mendengar t awa Darsa sebagai rint ihan paling memilukan yang t ak mungkin keluar kecuali lewat guyu-t angis, t awa yang membungkus t angis. Maka Lasi pun sibuk menghapus air mat a. Lalu t iba-t iba Lasi merasa ada

Lasi duduk di samping Sipah, madunya, yang t erus menangis. Tak ada sepat ah kat a segera bisa diucapkannya. Namun t angan Lasi bergerak membuka dompet , mengeluarkan beberapa lembar uang yang masih baru.

"Berikan uang ini kepada Kang Darsa. Uang it u cukup unt uk makan kalian selama set ahun bila kalian gunakan unt uk menyewa pohon kelapa. Sudah, j angan t erus menangis. "

Anehnya, Lasi sendiri malah menangis lagi. Keluar, menggamit pipi bayi yang sedang dibopong Sipah, lalu pergi. Kanj at menyusul karena ia pun merasa t ak bisa berbuat apa-apa unt uk Darsa. Kanj at bahkan bisa merasakan sebuah ironi lagi yang t ak kalah pekat ; Darsa yang t elah memberikan sumber penghidupannya demi kawat list rik, must ahil kelak dapat menj adi pelanggan.

Dalam perj alanan pul ang, Lasi dan Kanj at membisu. Dari kej auhan mereka masih mendengar suara chain saw yang t erus merobohkan pohon-pohon kelapa. Tet api mereka sudah mendengar kicau burung. Juga riang-riang. Ket ika keduanya memasuki l orong yang menembus bayangan pepohonan, sepasang burung ekor kipas mel int as berkej aran. Kanj at dan Lasi masih diam. Dan keduanya merasa t ak bisa menghindar dari kenangan masa kanak-kanak ket ika mereka berkej aran melint as j alan yang sedang mereka susuri. Lasi t eringat , dulu, Kanj at selalu merapat kan diri pada t ubuhnya ket ika berdua giliran bersembunyi dalam permainan kucing-kucingan. Kanj at pun merasa dalam kenangan yang sama; Kanj at masih bisa merasakan bau rambut Lasi. Hening.

"Jat , aku akan kembali ke Jakart a besok at au lusa. Kamu ikut , ya?" t anya Lasi.

Kanj at menegakkan kepala, lal u menelan ludah. Ia t idak siap menerima

"Terinna kasih, Las. Sekarang aku pegawai negeri. Tak mudah bagiku pergi sekehendak hat i. "

"Jat ?" suara Lasi t erdengar dalam.

"Apa?"

Lasi kelihat an ragu.

"Aku masih menyimpan f ot omu. Kamu?"

Kanj at t ergagap lagi. Pikirannya masih sukar dibawa pergi dari rumah Darsa. Gagap, karena Kanj at memang masih menyimpan f ot o Lasi dengan kimono merah it u. Ent ahlah, Kanj at merasa t ak mampu menyingkirkan f ot o it u, misalkan dengan cara mengembalikannya kepada Lasi.

"Masih?" ul ang Lasi karena melihat Kanj at membisu.

Kanj at t ersenyum dan mengangguk. Lasi t ert awa. Senyum it u, l esung pipi it u. Dan kekuat an pesona mat a it u. Kanj at menoleh ke samping karena t ak ingin hat inya lebih lama t erguncang-guncang.

Kanj at dan Lasi berj alan perlahan sepanj ang lorong set apak kemudian berhent i di bawah kerindangan pepohonan. Ada seberkas cahaya menerobos dedaunan dan membuat lat ar put ih pada sisi leher Lasi. Mereka saling pandang. Lasi sepert i hendak menangis. Kanj at dan Lasi sama-sama canggung. Lalu keduanya Kanj at dan Lasi berj alan perlahan sepanj ang lorong set apak kemudian berhent i di bawah kerindangan pepohonan. Ada seberkas cahaya menerobos dedaunan dan membuat lat ar put ih pada sisi leher Lasi. Mereka saling pandang. Lasi sepert i hendak menangis. Kanj at dan Lasi sama-sama canggung. Lalu keduanya

Set elah l ewat punggung t anj akan, Kanj at mint a izin mengambil j alan menyimpang. Lasi diam. Pada waj ahnya t erlihat keraguan. Kanj at melihat pada kedalaman mat a Lasi masih t ersimpan pesona yang membuat dadanya berdebar. Tet api pada mat a Lasi pula Kanj at melihat kenyat aan lain: Lasi masih punya suami. Dan lebih dari kenyat aan it u, dalam mat a Lasi, Kanj at j uga melihat Darsa, Sipah, dan Giman. Sorot mat a bayi Darsa it u t erasa mengepung j iwanya. Tat apan it u sepert i menyindir-nyindir Kanj at yang gagal meringankan beban hidup para penyadap.

Berj alan seorang diri, Kanj at melangkah dengan waj ah menat ap t anah. Pikirannya t erombang-ambing ant ara Lasi dan Darsa. Pengakuan Lasi bahwa kehidupannya t erkurung dalam sit uasi yang t idak waj ar, menggugah perhat ian Kanj at yang sudah lama t erpendam. Sesungguhnya, membiarkan Lasi menj adi ibu unt uk sebuah rumah t angga yang baik, siapa pun yang menj adi suaminya, bagi Kanj at adalah keharusan. Tet api membiarkan Lasi t et ip berada dalam kemungkinan t erbawa arus kehidupan yang t ak senonoh mungkin merupakan kesalahan. At au Kanj at harus berani j uj ur mengaku bahwa bet apa j uga Lasi adalah harapan dan cit a-cit a yang t et ap hidup dalam j iwanya. Apabila ada peluang unt uk mencapai j alan yang sah dan t erhormat , memperist ri Lasi akan menj adi pert imbangan pert ama Kanj at .

Pada pihak lain, Darsa adalah dunia para penyadap yang t erus memanggil ket erpihakan Kanj at . Sudah menj adi kesadaran yang mendalam di hat i Kanj at bahwa para penyadap menyimpan piut ang yang sangat besar pada orang-orang dari lapisan yang lebih makmur, t ermasuk Kanj at sendiri. Tet api piut ang it u agaknya t ert elan oleh benalu, bahkan siluman st rukt ural yang t ak kasat mat a. Piut ang para penyadap it u menj adi uap yang t erlupakan dan dianggap khayali. Maka sangat mungkin t erasa ganj il ket ika orang membincangkannya. Di mat a Kanj at , piut ang para penyadap adalah sesuat u yang sangat nyat a, meski ia merasa gagal membayarnya kembali. Keringat para penyadap it u mungkin akan menj adi ut ang abadi baginya.