BAGIAN KEDUA
BAGIAN KEDUA
Musim pancaroba t elah lewat dan kemarau t iba. Udara Karangsoga yang sej uk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari. Namun kemarau di t anah vulkanik it u t ak pernah mendat angkan kekeringan. Pepohonan t et ap hij au karena t anah di sana kaya akan kandungan air. Suara gemercik air t et ap t erdengar dari parit -parit berbat u at au dari dasar j urang yang t ert ut up rimbunan pakis-pakisan. Kemarau di Karangsoga hanya berart i t iadanya huj an dalam sat u at au dua bulan. Alam sangat memanj akan kampung it u dengan memberinya cukup air dan kesuburan. Lal u, mengapa para penyadap kelapa di Karangsoga hidup miskin adalah kenyat aan ironik, yang anehnya t ak pernah dipermasal ahkan apal agi dipert anyakan di sana.
Kehidupan di Karangsoga t et ap mengalir sepert i air di sungai-sungai kecil yang berbat u-bat u. Manusianya hanyut , t erbent ur-bent ur, kadang t enggelam at au bahkan membusuk di dasarnya. Tak ada yang mengel uh, t ak ada yang punya gereget , misalnya mencari kemungkinan memperoleh mat a pencarian lain karena menyadap nira punya risiko sangat t inggi dengan hasil sangat rendah. At au menggalang persat uan agar mereka bisa bert ahan dari kekej aman pasar bebas yang sangat lel uasa memainkan harga gula.
Tidak. Karangsoga t et ap adhem-ayem sepert i biasa, t enang, seol ah kemiskinan para penyadap di sana adalah kenyat aan yang sudah dikemas dan harus mereka t erima. Malam it u pun Karangsoga t enang. Bulan yang hampir bulat leluasa mendaulat langit karena awan hanya sedikit menyaput uf uk barat .
Eyang Mus t urun dari suraunya yang kecil set elah beberapa lelaki t ua lebih dulu meninggalkannya. Di emper surau Eyang Mus mengangkat muka unt uk sej enak menat ap langit . Dan cahaya bulan yang menerpa waj ah sert a-mert a menyej ukkan hat inya. Bunyi t erompah yang t erat ur mengiringi l angkahnya dan segera bergant i nada ket ika Eyang Mus menginj ak lant ai rumah.
duduk berl ama-lama sambil menunggu mat a mengant uk. Tak ada kesibukan pada malam sepert i it u bagi pasangan yang sudah dit inggal oleh anak-anak. Keempat anak mereka sudah lama berumah t angga dan memisahkan diri.
Namun malam ini Eyang Mus t ak ingin duduk t ermangu. Bulan hampir bulat yang dilihat nya sej enak ket ika ia t urun dari surau t elah mengusik hat inya lal u menunt un l angkahnya ke poj ok ruang depan. Di sana ada gambang kayu keling yang usianya mungkin lebih t ua daripada Eyang Mus sendiri. Eyang Mus yang sering mendapat sebut an sant ri kuno, mahir memainkan gambang t unggal unt uk mengiringi bait -bait suluk yang biasa dit embangkannya dalam irama sinom at au dhandhanggula. Bagi seorang sant ri kuno sepert i Eyang Mus, suluk yang diant ar oleh irama gambang t ak lain adalah t angis rindu seorang kawula akan Gust i- nya; t angis seorang pengembara yang ingin menyat u kembali dengan asal -mula dan t uj uan akhir segala yang ada, sangkan paraning dumadi. Maka bila sudah t enggelam dalam suluk-nya Eyang Mus lupa akan sekeliling, mabuk, keringat membasahi t ubuh, dan air mat anya berj at uhan. Suaranya ngelangut menusuk malam, menusuk langit . Apalagi bila yang dit embangkannya adal ah bait -bait pilihan.
Wong kas ingkang sampun makolih
Hakul yakin t ingale pan nyat a
sart a lan sapat emone
Pan sampun sirna luluh
t et ebenge j agat puniki
Kabot an kat ingalan
ing wardayanipun
Anging j at ine Sanghyang Suksma
Dat an pegat anj enengaken mangkyeki
Kang ket ung mung Pangeran
Sapolahe dadi pangabekt i
Pan ora pest i wekt une pan ora salat wulu
Tan pegat ing ulat liring
Madhep maring Hyang Suksma
Salir kang kadulu
andul u j at ining t unggal
j roning bekt i miwah saj abaning bekt i
Sampun anunggal t ingal
Adalah manusia ist imewa yang t elah sampai kepada kebenaran sej at i; pandangan hat inya menj adi bening begit u ia berhadapan dcngan Tuhan. Lul uh lebur segal a t abir dunia. Pandangannya larut dalam kebesaran Tuhan-nya. Tak put us menyebut nama-Nya. Baginya yang ada hanyalah Allah.
Semua geraknya menj adi sembah, salat j iwanya t egak sepanj ang wakt u bahkan ket ika raganya dalam keadaan t ak suci. Mat a hat inya t ak put us memandang Allah. Kenyat aan yang ada baginya adal ah kesat uan wuj ud baik ket ika dalam salat maupun di l uarnya. Hasrat manusiawi 'lah t erselaraskan dengan kehendak Ilahi.
Dan semuanya baru berhent i apabil a Eyang Mus, oleh mat ra kemanusiaan sendiri, t ersadar dirinya t erhadirkan di alam kesehat ian.
Orang Karangsoga, bahkan Mbok Mus sendiri t ak pernah mengert i bet apa j auh j iwa Eyang Mus mengembara ket ika lelaki t ua it u sedang bersila di depan gambangnya. Mereka t idak t ahu, ket ika mat a Eyang Mus t erpej am hat inya malah melihat dunia yang lebih nyat a. Namun demikian orang Karangsoga set idaknya mampu menangkap muat an wadhag, muat an lahiriah suara gambang Eyang Mus. Muat an it u adalah irama gambang yang menyapa hat i, menyent uh j iwa sehingga mereka bet ah mendengarkannya. Apalagi ket ika t engah malam Orang Karangsoga, bahkan Mbok Mus sendiri t ak pernah mengert i bet apa j auh j iwa Eyang Mus mengembara ket ika lelaki t ua it u sedang bersila di depan gambangnya. Mereka t idak t ahu, ket ika mat a Eyang Mus t erpej am hat inya malah melihat dunia yang lebih nyat a. Namun demikian orang Karangsoga set idaknya mampu menangkap muat an wadhag, muat an lahiriah suara gambang Eyang Mus. Muat an it u adalah irama gambang yang menyapa hat i, menyent uh j iwa sehingga mereka bet ah mendengarkannya. Apalagi ket ika t engah malam
Eyang Mus bangkit set elah selesai dengan beberapa pupuh suluk lalu duduk di bangku panj ang. Lelaki t ua it u sedang menggulung rokok dan ist rinya sedang membersihkan bibir dengan susur ket ika seorang perempuan uluk salam. Eyang Mus dan ist rinya sudah kenal suara it u, suara Mbok Wiryaj i.
"Aku t ak pangling akan suaramu. Bersama siapa?" t anya Eyang Mus sambil membukakan pint u.
"Sendiri, Yang. "
"Suamimu?"
"Di rumah. "
Di bawah sorot lampu gant ung t ampak waj ah Mbok Wiryaj i yang gelap. Eyang Mus suami-ist ri sudah haf al, ist ri Wiryaj i it u selalu dat ang bila ada kekusut an di rumah.
"Duduklah. Rasanya waj ahmu mendung. Cekcok lagi?"
"Biasa, Yang. Mungkin sudah j adi surat an, saya dan suami saya harus sering cekcok. "
"Yang, pada awalnya saya dan suami saya bicara soal Lasi. Bicara ke sana kemari, eh, lama-lama kami bert engkar. Daripada ramai di rumah lebih baik saya menyingkir ke sini. "
"Cobalah, sesekali kamu dat ang kemari dengan nasi hangat dan gulai ikan t awes, past i kut erima dengan gembira. Jangan selalu soal pusing kepala yang kamu sodorkan kepadaku. Sekarang urusan apa lagi?"
"Lasi, Yang. Maksud saya, suaminya si Darsa it u. Sudah empat bulan dirawat di rumah keadaannya t ak berubah. "
"Masih ngompol?"
"Ngompol t erus, malah perangai Darsa sekarang berubah. Ia j adi suka marah, sepanj ang hari uring-uringan. Kemarin Darsa membant ing piring hanya karena Lasi agak l ama pergi ke warung. Aku kasihan kepada Lasi. Suami sepert i kambing l umpuh, pakaiannya yang sengak harus dicuci t iap hari, t api saban kali Lasi malah kena marah. "
"Siapa yang menyiapkan kayu bakar?"
"Nah, it u! Mengolah nira memang pekerj aan Lasi sej ak kecil. Tet api soal mencari kayu? Eyang Mus, saya t ak t ega melihat Lasi t iap hari bersusah payah mengambil kayu di hut an. Dan yang membuat saya cemas, apakah penderit aan Lasi bisa berakhir? Bagaimana kalau Darsa t ak bisa sembuh?"
"Kamu j angan berpikir sepert i it u. "
"Eyang Mus, Lasi masih muda. Apa iya, seumur-umur ia harus ngewulani suami yang hanya bisa ngompol?" Mbok Wiryaj i t ersenyum pahit .
"Hus. "
"Saya t idak main-main, Eyang Mus. Sekarang Darsa memang hanya bisa ngompol, dit ambah perangainya yang berubah j adi pemarah. Dengan keadaan sepert i it u, sampai kapan Lasi bisa bert ahan, dan haruskah saya diam belaka?"
"Nant i dul u. Kalau perasaanku t ak salah, aku menangkap maksud t ert ent u dalam kat a-kat amu. Kamu t idak l agi menghendaki Darsa j adi menant umu?"
Mbok Wiryaj i t erkej ut . Waj ahnya berubah. Eyang Mus t ersenyum karena percaya dugaannya j it u.
"Jangan t ergesa-gesa. Sebelum mendapat kecelakaan Darsa adal ah suami yang baik. Kini Darsa t ak berdaya karena sesuat u yang berasal dari luar kehendaknya. Lalu, apakah kamu mau t ega?"
"Aku ikut t anya, " sela Mbok Mus. "Apakah Lasi kelihat in t ak suka lagi bersuami Darsa?"
"Tidak j uga. Saya kira Lasi t et ap set ia menemani suaminya yang bau sengak it u. Dan hal it ulah yang membuat saya malah j adi lebih kasihan kepadanya. Masalahnya, apakah Lasi harus mendnderit a lahir-bat in seumur hidup?"
"Sebelum kamu punya pikiran pendek sepert i t adi, apa kamu sudah cukup ikht iar unt uk menyembuhkan Darsa?"
"Sudah t ak kurang, Eyang Mus. Tidak sembuh di rumah sakit , kemudian segal a j amu sudah banyak diminum. Jampi sudah banyak disembur. "
"Ya. Ikht iar harus t et ap dij alankan. Juga doa. Dulu kamu sendiri bilang, bila hendak memberikan welas-asih, Gust i Allah t idak kurang cara. Tet api mengapa sekarang kamu j adi berput us asa? Kamu t ak lagi percaya bahwa Gust i Allah ora sare, t et ap j aga unt uk menerima segala doa?"
"Iya, Eyang Mus. Semua it u saya percaya. Tet api. . . "
"Teruskan, kenapa t erput us?"
Mbok Wiryaj i kelihat an ragu.
"Eyang Mus, saya bert erus t erang saj a, ya. Kemarin saya mendapat pesan dari Pak Sambeng, guru yang dulu mengaj ar Lasi. Ket ika Lasi masih gadis Pak Sambeng melamarnya t et api kami t olak karena wakt u it u Pak Sambeng masih punya ist ri. Kini, dia menduda. Dia masih menghendaki Lisi. Kat anya, bil a t ak kena perawan, j andanya pun j adi. "
"Cukup! Rupanya inil ah hal t erpent ing mengapa kamu dat ang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menant u seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begit u mendengar pesan Pak Sambeng it u. Sat u hal kamu t ak boleh l upa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga j angan l upa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaj i, aku t ak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pi hakmu bila kamu t erus berikht iar dan berdoa unt uk kesembuhan Darsa. "
"Bunek si dukun bayi?"
"Ya. Bunek memang dukun bayi. Tet api banyak orang bilang pij at annya t erbukt i bisa menyembuhkan beberapa lelaki peluh, eh, lelaki yang anu-nya mat i. "
"Kamu yang menghubungi Bunek?"
"Bukan. Lasi sendiri yang menyerahkan suaminya unt uk dit angani peraj i it u. "
"Nah, it u namanya pikiran waras. Aku sungguh-sungguh ikut berdoa semoga ikht iar kalian kali ini berhasil. "
Mbok Wiryaj i hanya mengangguk. Tet api kesan t ak puas masih t ersisa pada waj ahnya. Emak Lasi it u lalu merebahkan diri di balai-balai yang didudukinya.
"Kamu bol eh berist irahat di sini. Tapi j angan menginap. Ora ilok, t ak baik meninggalkan suami sendiri di rumah, " dan t angan Eyang Mus meraih kot ak t embakau. Sesaat kemudian t erdengar bunyi pemant ik api sert a embusan napas dengan asap rokok. Sepi dari luar merayap masuk. Mbok Mus menyuruh emak Lasi pulang t et api hanya mendapat j awaban desah napas. Mbok Wiryaj i pulas.
Cekat -ceket . Langkahnya panj ang dan ayunan t angannya j auh, mungkin karena Bunek biasa t ergesa bila berj alan memenuhi panggilan perempuan yang sedang menunggu det ik kelahiran bayinya. Namun cirinya yang lain pun t ak kalah mencolok. Bunek selal u kelihat an paling t inggi bila berada di ant ara perempuan-perempuan lain. Tawanya mudah ruah, j uga lat ahnya. Pada saat lat ah, ucapan yang paling cabul sekalipun dengan mudah meluncur dari mulut nya. Namun dal am keadaan biasa pun Bunek biasa berkat a mesum seringan ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya. Waj ah Bunek bulat panj ang dan semua orang percaya ia cant ik ket ika masih muda. Kulit nya malah masih lembut meskipun Bunek sudah punya beberapa cucu. Rambut nya yang lebat mulai beruban t et api Bunek raj in menyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan singset . Ia selalu ingin bergerak cepat .
Banyak perempuan menj adi pelanggan Bunek. Konon karena pij at an t angannya yang lembut namun t et ap bert enaga. Ket erampilan demikian konon t ak mudah t ert andingi oleh peraj i lain. Telapi lebih banyak orang bilang, bukan hanya pij at an Bunek yang disukai melainkan j uga suasana cair dan ringan yang selal u dibawanya di mana pun Bunek berada. Bagi Bunek segala masalah boleh dihadapi dengan t ert awa, bahkan dengan lat ah yang cabul. Rasa sakit yang menusuk perut ket ika seorang perempuan melahirkan hanya perkara ent eng di mat a Bunek. "Aku j uga pernah melahirkan. Rasa sakit ket ika j abang bayi mau keluar bisa membuat aku ingin meremas suami sampai remuk. Namun heran, sungguh heran, aku t idak j era. Aka bunt ing lagi dan bunt ing lagi. Aka kecanduan. Eh, apa kamu t idak begit u? Tidak? He-he-he! "
Suat u kali seorang ibu meraung-raung ket ika hendak melahirkan. Perempuan it u bersumpah habis-habisan demi langit dan bumi bahwa dia t ak sudi hamil lagi. Tak sudi! Tet api Bunek menanggapinya sambil t ersenyum ringan. "Tahun lalu kamu bersumpah demi bapa-biyung, sekarang kamu bersumpah demi l angit dan bumi, t et api aku percaya t ahun depan kamu hamil pula. Lalu kamu akan bersumpah demi apa l agi? Ayolah, aku belum bosan mendengar sumpahmu, he- he-he. "
Apabila ada perempuan t idak memilih Bunek, sebabnya mungkin karena kesukaan dukun bnyi it u bert erus t erang. Bunek biasa blak-blakan menyuruh seorang suami j aj an bila t ak sabar menunggu ist rinya sehat kembali set el ah melahirkan. Bila disanggah orang karena nasihat nya yang samin it u dengan ent eng Bunek bilang, "Lelaki ngebet it u biasa, waj ar. Dan siapa yang bisa
Selama merawat Darsa, Bunek t et ap membawa suasana yang menj adi cirinya, cair dan ent eng. Mula-mula Darsa agak t ersinggung karena t erasa bet ul Bunek menyepelekan penderit aannya. Namun lama-kelamaan Darsa menikmat i keserbacairan dukun bayi it u. Tent ang kemih Darsa yang t erus menet es misalnya, Bunek hanya bilang, "Ah, t idak apa-apa. Cuma air yang merembes. Sepert i nira yang kamu sadap, kemihmu akan berhent i menet es pada saat nya. " At au t ent ing pucuk Dirsa yang lemah, "It u j uga t idak apa-apa. Sepert i ular t idur, nant i akan menggeliat bangun bila cuaca mulai hangat . "
Kat a "t idak apa-apa" yang selalu diulang dengan senyum Bunek yang ringan akhirnya mampu membangkit kan kepercayaan Darsa, percaya bahwa cacat t ubuh yang disandangnya hanya masalah sement ara, t idak apa-apa, dan t idak must ahil Bunek bisa mengat asinya. Maka Darsa makin pat uh kepada Bunek. Dia serahkan dirinya unt uk diurut dari kaki sampai kepala. Bagian pusar dan selangkangannya selal u mendapat garapan khusus.
"Pant as, bocah-mu mat i. Urat -urat di selangkanganmu dingin sepert i bant al kebocoran, " kat a Bunek suat u kali. "Kamu harus banyak bergerak agar urat - urat mu t idak beku. "
Darsa hanya melenguh.
"Tak lupa minum j amu?"
Darsa melenguh lagi.
"Ya. Meski pahit namun harus kamu minum. Bahannya bukan apa-apa, sekadar akar ilalang dan uj ung akar pinang sert a cengkih. Kamu t ahu mengapa akar ilalang?"
"Tidak. "
"Akar ilalang akas dan punya daya t embus hebat . Tanah cadas yang keras pun dapat dit erobosnya. "
Darsa nyengir.
"Kamu t ahu mengapa cengkih?"
Darsa nyengir lagi.
"Cengkih bisa menimbulkan kehangat an. Ya. Karena semuanya bermula dari berhangat -hangat . "
Pada pekan pert ama set iap hari Bunek dat ang merawat Darsa di rumah. Namun selanj ut nya Darsa dimint a dat ang ke rumah Bunek pada malam hari. "Di siang hari pekerj aanku t erlalu banyak, " kat a Bunek. "Lagi pul a kamu perlu banyak berj alan unt uk menghidupkan kembali urat -urat t ungkaimu yang dingin. "
Dengan senang hat i Darsa memenuhi permint aan Bunek karena pergi malam hari j arang bert emu orang lain. Darsa malu, set iap orang akan menut up hidung bila berpapasan dengan dia. Sengak. Lasi sering menemani Darsa pergi ke rumah Bunek. Namun bila badan t erasa let ih, Lasi mel epas Darsa berangkat seorang diri.
Huj an pert ama sudah t urun mengakhiri musim kemarau selama hampir lima bulan. Perdu yang meranggas pada dinding-dinding l embah dan lereng j urang Huj an pert ama sudah t urun mengakhiri musim kemarau selama hampir lima bulan. Perdu yang meranggas pada dinding-dinding l embah dan lereng j urang
Ket ika mat ahari naik rat usan kupu dari berbagai j enis dan warna bet erbangan mengelilingi bunga-bunga liar at au berkej aran dengan pasangannya. Pagi hari ribuan laron keluar, t erbang berhamburan mengundang burung-burung dan serangga pemangsa. Pagi yang meriah, suasana khas awal musim huj an. Burung layang-layang, keket , dan si ekor kipas pamer ket angkasan mereka menyambar mangsa. Tapi capung maling t ak lagi mengej ar buruannya apabil a sudah ada seekor laron di mulut nya. Sedikit laron yang selamat adalah yang segera bert emu pasangannya. Laron j ant an akan menggigit pant at laron bet ina, t urun ke bumi, dan melepas sendiri sayap-sayap mereka. Keduanya akan merayap beriringan, menggali t anah di t empat yang t ersembunyi, dan siap berkembang biak unt uk membangun koloni baru.
Di pekarangan yang penuh pepohonan Darsi sedang mengumpulkan rant ing- rant ing mat i unt uk kayu bakar. Sudah beberapa hari Darsa bisa kembali bekerj a yang ringan-ringan. Set engah t ahun t erpaksa berist irahat membuat ot ot - ot ot nya hampir kehilangan kekuat an. Maka Darsa belum berani menyadap sendiri pohon-pohon kelapanya. Meskipun demikian beberapa perubahan j el as nampak pada diri Darsa. Waj ahnya mulai bercahaya dan segala gerak-geriknya kelihat an l ebih bert enaga. Dan Lasi merasakan perubahan lain, Darsa makin j arang marah. Suaminya it u j uga sudah mau bercakap-cakap, bahkan kadang t ert awa dan bergurau bersama Mukri. Padahal biasanya waj ah Darsa berubah gelap apabila Mukri dat ang mengant ar nira. Apalagi bila Lasi kelihat an t erlalu bersemangat membant u Mukri menurunkan pongkor dari pundaknya. Memang, Mukri suka mencuri pandang dan kadang senyumnya nakal. Lasi yang sekian bulan t idak diapa-apakan bisa t ersengat oleh ulah Mukri. Hanya t ersengat , selebihnya t idak ada apa-apa lagi.
Dan ada perubahan yang lebih nyat a. Suat u kali Darsa mendekat i Lasi yang sedang j ongkok di depan t ungku. Dengan waj ah t erang Darsa berbisik,
"Las, celana yang kupakai sej ak pagi masih kering. "
"Syukur, Kang. Oh, pant as, cucianmu makin sedikit . "
"Kamu senang, Las?"
Lasi menunduk. Waj ahnya memerah.
"Kamu sendiri senang apa t idak?"
Lasi dan Darsa berpandangan. Lasi t ersengat dan ada gelombang kej ut menyent ak j ant ungnya. Pipinya merona. Namun Lasi segera menundukkan kepala.
"Nant i kit a bikin selamat an, ya, Kang. Kit a syukuran. "
"Ya, bil a aku sudah benar-benar pulih-asal, kembali segar sepert i sediakala. "
"Ya, Kang. "
Lasi t erus bekerj a mengendalikan api. Nira dalam kawah menggelegak sepert i mengimbangi semangat yang t iba-t iba mengembang di hat i Lasi. Asap mengepul dan bergul ung naik ke udara. Bau nira yang mulai memerah t ercium lebih harum. Oh, bet ul Gust i Allah ora sare, bisik Lasi unt uk diri sendiri. Akhirnya Kang Darsa sembuh karena welas-asih-Nya. Orang yang senang menyebut ku randha magel, j anda kepalang t anggung, boleh menut up mulut . Emak yang selalu menyebut -nyebut nama Pak Sambeng j uga boleh t ut up mulut . Lasi
Tadi malam huj an t urun sej ak sore dan baru berhent i bersamaan dengan bunyi beduk subuh di surau Eyang Mus. Beberapa bagian lant ai t anah rumah Lasi t ampak basah karena gent ing di at asnya bocor. Udara sangat dingin namun pagi ini Lasi dan Darsa sama-sama mandi keramas. Ada luap kegembiraan yang t ert ahan. Mereka bergurau, saling menyiramkan air. Di at as mereka seekor burung ekor kipas mencecet dan selalu bergerak sigap sepert i mewakili semangat yang sedang menggeliat dalam hat i pasangan penyadap muda it u. Darsa sudah mengambil kembali pekerj aan yang selama ia sakit dipercayakan kepada t et angganya, Mukri.
Meski punya pengalaman pahit t erbant ing dari ket inggian puncak kelapa, semangat Darsa t et ap t inggi, t ak t erlihat kesan khawat ir akan j at uh buat kali kedua. Di Karangsoga belum pernah t erdengar cerit a seorang penyadap j era karena j at uh. Rakam, misalnya, j at uh sampai t iga kali dan meninggal pada kecelakaan yang keempat . Mungkin ia akan t et ap menyadap nira apabila nyawanya t ak melayang. Meskipun begit u kemarin Lasi berdiri lama di depan pint u ket ika melepas Darsa pergi menyadap. Mulut Lasi komat -kamit . Mangkat slamet , bali slamet , bisik Lisi. Amit -ami t j angan sepert i dulu, mangkat slamet , kembali sudah t erkul ai dalam gendongan Mukri.
Menj elang mat ahari t ergelincir Lasi sudah selesai mengolah niranya. Gula merah sudah siap dal am sebuah bakul kecil dit ut up daun-daun waru kering sebagai pengisap kelembapan. Dengan selendang t ua bakul it u diangkat nya ke punggung. Simpul selendang menekan dadanya. Lasi t ak pernah sadar dalam keadaan sepert i it u ada bagian t ubuh yang memadat yang t ampak lebih menyembul kcluar dan menarik mat a laki?l aki.
Dengan sebakul gula merah di punggungnya Lasi keluar rumah dan berj alan cepat menuj u rumah Pak Tir. Lebih nyaman t erasa, menj ual hasil sadapan suami daripada hasil sadapan orang lain. Mat ahari bersinar penuh sehingga Lasi harus menyipit kan mat anya selama perj alanan. Kupu-kupu masih banyak bet erbangan. Bunga bungur yang selalu muncul pada awal musim huj an mekar dalam dompolan ungu berput ik kuning dan berlat ar daun yang hij au berkilat . Beberapa ekor kumbang yang berpunggung kuning t erbang-hinggap pada bunga yang masih segar dan meluruhkan kelopak yang sudah t ua. Sepasang kut il ang melompat -lompat pada rant ing-rant ingnya. Si j ant an melant unkan kicaunya
Lasi t erus melangkah. Menyeberang t it i an pinang sebat ang, t ersenyum sendiri karena t eringat dulu ia sering berlama-lama di sit u, lal u mendaki dan muncul pada gang yang lurus menuj u rumah Pak Tir. Sudah ada beberapa perempuan yang sama-sama hendak menj ual gula. Lasi menunggu giliran. Dan merasakan suasana t iba-t iba berubah kaku dan heni ng. Tiba-t iba t erasa ada j arak ant ara dirinya dan semua orang yang ada di sana. Perempuan-perempuan it u kelihat an menahan diri, enggan bert egur-sapa, malah mereka t ersenyum aneh di ant ara mereka sendiri. At au saling mengedipkan mat a. Tiga laki-laki yang sedang mengangkat pet i-pet i gula dari gudang ke bak t ruk yang diparkir di halaman j uga t ersenyum dan saling pandang set elah mereka menget ahui kedat angan Lasi.
Pak Tir sendiri sibuk dengan bat ang t imbangan. Lelaki gemuk dengan kepala bulat yang mulai bot ak it u bekerj a cepat dan mekanis. Tangannya selalu t angkas memainkan bat ang t imbangan, menangkapnya pada saat yang t epat , yait u ket ika bat ang kuningan it u mulai bergerak naik. Ket erampil an sepert i it u akan memberikan keunt ungan sepersekian ons gula sekali t imbang. Maka Pak Tir kadang t ersinggung apabila ada orang t erlalu saksama memperhat ikan caranya menimbang gula. Pembayaran gul a pun dilakukan Pak Tir dengan gampang dan dingin.
"Hari ini harga gula t urun lagi. Aku hanya menurut i at uran t auke. Bila mereka menaikkan harga, aku ikut . Bila t urun, aku j uga ikut . "
Para ist ri penyadap sudah t erbiasa mendengar kabar buruk sepert i it u. Maka mereka selalu hanya bisa menanggapinya dengan cara menelan l udah dan alis yang berat . Tak bisa l ain. Menol ak harga yang dit ent ukan Pak Tir lalu membawa gula mereka pulang? Tak mungkin, karena kebanyakan mereka punya ut ang pada t engkulak gula it u. Juga, hasil penj ual an hari ini adalah hidup mereka hari ini yang t idak mungkin mereka t unda. Maka bagi mereka harga gul a adalah ket ent uan menakut kan yang ent ah dat ang dari mana dan harus mereka t erima, suka at au t idak suka.
t auke bilang pabrik kecap di Jakart a yang biasa menerima gula t erbakar sehingga st ok gula menumpuk di gudang. At au lagi, harga solar naik karena pemerint ah memot ong subsidi harga bahan bakar minyak. Tauke t erpaksa menurunkan harga pembelian gula unt uk menut up kenaikan biaya angkut an.
Ist ri-ist ri penyadap it u selalu mendengarkan cerit a Pak Tir dengan set ia. Mereka menganggukkan kepala set iap kali Pik Tir selesai dengan sat u cerit a. Tet api mereka sungguh t idak bisa mengert i apa hubungan ant ara musim buah dan j at uhnya harga gula, t ent ang pabrik kecap yang t erbakar, dan kenaikan bahan bakar minyak. Mereka mengangguk karena it ulah sat u-sat unya hal yang bisa mereka lakukan. Ya, mengangguk bukan karena mereka mengert i. Anggukan mereka lebih t erasa sebagai pert anda ket idakberdayaan.
Ket ika akhirnya giliran Lasi t iba, Pak Tir menat apnya sej enak lalu berdecak sambil menggelengkan kepala. Sama sepert i semua orang yang berada di sekelilingnya, Pak Tir pun t ersenyum aneh. Suaranya bernada penuh simpat i ket ika Pak Tir berkat a perlahan,
"Oalah, Las, buruk amat perunt unganmu. Kamu harus bisa sabar. Puluh-puluh, Las, barangkali sudah j adi garis nasibmu. "
"Pak Tir, apa maksud Anda?" t anya Lasi gagap. Waj ahnya menunj ukkan kcbimbangan yang amat sangat .
"Lho, apa kamu belum t ahu?"
"Tahu hal apa, Pak? Ada apa sebenarnya?" Waj ah Lasi makin t ak menent u. Bibirnya gemet ar.
Pak Tir kembali menggelengkan kepala. Terasa ada yang aneh dan muskil.
"Las, aku t ak ingin mengat akan sampai kamu t ahu sendiri apa yang kumaksud. Memang aneh, Las. Aneh. Orang sekampung sedih t ahu t et api kamu sendiri malah t ak merasa apa-apa. "
Dengan t angan gemet ar karena risau, Lasi menerima uang pembayaran gul a yang diberikan Pak Tir. Tanpa menghit ung uang it u Lasi langsung melangkah pulang. Sekilas dilihat nya orang-orang masih memandangnya dengan cara aneh. Terasa ada cakar t aj am menusuk dadanya. Kuduk Lasi t erasa panas, seakan semua mat a orang melekat di sana. Lasi berj alan set engah berlari agar bisa secepat nya sampai di rumah. Langkahnya panj ang-panj ang. Tak dipedulikannya seekor si kaki seribu yang merayap melint as j alan di depannya. Padahal biasanya Lasi paling ngeri melihat binat ang yang lamban dan menj ij ikkan it u. Lasi hampir masuk ke halaman rumah ket ika dari arah samping muncul emaknya. Mbok Wiryaj i berj alan sambil mengangkat kain t inggi-t inggi. Kemarahan yang luar biasa kelihat an dari waj ahnya yang t erbakar.
"Oalah, Lasi, anakku. Kaniaya t emen awakmu! Sial amat perunt unganmu! "
"Apa, Mak? Sebet ulnya ada apa, Mak?"
"Gust i. Jadi kamu belum t ahu? Darsa, suamimu, t engik! Dia bacin! Dia kurang aj ar. Sipah sedang menunt ut nya agar dikawin. Kamu t idak usah pulang ke rumahmu. Kamu harus mint a cerai. "
Lasi masih mendengar emaknya t erus nyapnyap dengan ledakan kat a-kat a yang sangat pedas dan t aj am. Lasi j uga masih melihat bayangan emaknya bergerak- gerak dalam kemabukannya. Tet api Lasi sendiri t erpaku, mat anya t erbuka lebar t anpa kedip, kedua bibirnya berhent i pada posisi sepert i hendak berkat a- kat a. Dan kesadarannya melayang ke dalam dunia yang asing. Lasi melihat semua orang. Pepohonan dan burung-burung menyeringai mengej eknya. Mat ahari t erlihat kuning kot or dan air di dasar j urang menyuarakan gelak t awa. Muncul Bunek bert elanj ang dada, t et eknya menggelant ung sampai ke pusar, menyeringai dengan gigi membusuk dan j arang. Rambut nya gembel menj adi Lasi masih mendengar emaknya t erus nyapnyap dengan ledakan kat a-kat a yang sangat pedas dan t aj am. Lasi j uga masih melihat bayangan emaknya bergerak- gerak dalam kemabukannya. Tet api Lasi sendiri t erpaku, mat anya t erbuka lebar t anpa kedip, kedua bibirnya berhent i pada posisi sepert i hendak berkat a- kat a. Dan kesadarannya melayang ke dalam dunia yang asing. Lasi melihat semua orang. Pepohonan dan burung-burung menyeringai mengej eknya. Mat ahari t erlihat kuning kot or dan air di dasar j urang menyuarakan gelak t awa. Muncul Bunek bert elanj ang dada, t et eknya menggelant ung sampai ke pusar, menyeringai dengan gigi membusuk dan j arang. Rambut nya gembel menj adi
Dunia Lasi t erus j ungkir balik dan malang melint ang. Segala sesuat u melayang, berhamburan, dan berbaur dengan sej ut a kunang-kunang, sej ut a bint ang dan sej ut a kembang api yang meledak bersama. Ada ular belang siap memat uk. Ada kalaj engking. Lalu ada suara berdent ing pecah dalam liang t elinga Lasi. Lalu segalanya hening. Yang j ungkir balik perlahan mereda. Yang herhamburan perlahan berhent i dan luruh. Yang t ampak pekat mencair. Yang keruh mengendap. Perlahan Lasi hadir kembali ke dalam dunia nyat a.
Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih Lasi melihat Sipah, perawan lewat umur anak bungsu Bunek. Gadis berkaki pincang dan amat pemalu it u sedang menunt ut Darsa mengawininya? Pada det ik pert ama Lasi mempercayai kenyat aan it u, bakul yang sedang dipegangnya j at uh ke t anah. Juga uang yang digenggamnya. Kelent ing receh logam j at uh ke t anah berbat u. Kedua t angan Lasi mengepal. Lasi t erlempar kembali ke dalam dunia khayal, menj adi kepit ing bat u raksasa dengan capit dari gunt ing baj a. Lasi siap memangkas put us pert ama-t ama leher Bunek, kemudian leher Darsa, kemudian leher semua orang. Tapi t ak pernah ada kepit ing raksasa at au j ari dari gunt ing baj a. Yang t ergelar di depan Lasi adalah kenyat aan dirinya t erlempar dari pent as t empat selama ini dia hadir. Lasi kini merasa di al am awang-uwung, ant ah berant ah. Tak ada layar at au cermin t empat ia melihat pant ulan dirinya sendiri. Tak ada sesuat u unt uk membukt ikan bahwa dirinya ada. Lasi merasakan dirinya t ak lagi mewuj ud. Hilang, at au ket iadaan yang menghunj amkan rasa amat sakit ke dalam dadanya.
Sepert i kelaras pisang t ert iup angin, Lasi bergoyang lalu berj al an. Dengan mat anya yang t ak pernah berkedip dan waj ah mat i rasa Lasi menj adi sosok yang bergerak t anpa kesadaran penuh. Masih t erus mengut uk dan mengumpat Darsa, Mbok Wiryaj i mengikut i Lasi, pulang. Sampai di ambang pint u Mbok Wiryaj i melihat suaminya sedang duduk diam sepert i pongkor kosong. Sert a- mert a kemarahannya meruah lebih dahsyat .
"It u, Darsa kemenakanmu. Tengik bacin! Tak t ahu diunt ung. Set engah t ahun hanya menj adi kambing lumpuh yang harus dicat u, kini dia malah menghina anakku. Kamu t idak t ahu Lasi secepat nya akan dapat suami baru bila ia j adi
Lasi j adi j anda?"
"Nant i dul u, " kat a Wiryaj i sabar.
"Tidak! Kemenakanmu memang kurang aj ar. Menyesal, mengapa dulu aku menj odohkan dia dengan anakku. Menyesal! "
Mbok Wiryaj i megap-megap karena kehabisan kat a-kat a. Lasi yang duduk di balai-balai masih membisu. Keheningan yang sesaat kemudian diisi oleh suara t erompah mendekat . Eyang Mus masuk dan berdiri sej enak di pint u. Lelaki dan perempuan t et angga j uga berdat angan.
"Ada apa, Wiryaj i? Dari rumah aku mendengar orang bert eriak-t eriak?"
"Darsa, Yang. Kemenakan saya it u nakal . Dia sedang menghadapi t unt ut an Sipah, anak Bunek. Sipah menunt ut Darsa mengawininya. Darsa memang ingin membuat malu orangt uanya, " j awab Wiryaj i lesu.
"Nah, Eyang Mus! " Tiba-t iba Mbok Wiryaj i menyambar. "Dulu saya menyuruh Lasi mint a cerai, t et api sampeyan t idak set uj u. Sekarang malah begini j adinya. Sampeyan harus ikut menanggung semua ini. Sekarang sampeyan harus ikut menyuruh Lasi mint a cerai. "
"Sabar. Dari dulu aku selalu ikut menanggung kesulit an yang kalian hadapi. Sekarang aku j uga ikut menyalahkan Darsa. Memang, wong lanang punya wenang. Tapi sekali-kali t ak boleh sewenang-wenang. Jelas Darsa salah. Namun aku mint a j angan dul u bicara soal perceraian. "
"Sabar. Aku t ak bermaksud sej auh it u. Yang harus kal ian t unggu adalah suasana hat i yang t enang. Tidak baik mengambil keput usan besar dalam keadaan panas sepert i ini. Juga, apa pun sikap yang akan diambil t erhadap Darsa, Lasi-lah yang punya hak. Percayalah akan adanya hak di t angan anakmu. Karena, ist ri yang set ia hanya unt uk suami yang set ia, begit u at urannya. "
Beberapa t et angga, l elaki dan perempuan, ikut bicara. Mereka bersama-sama berusaha menenangkan Mbok Wiryaj i. Seseorang mengingat kan Mbok Wiryaj i akan keyakinan orang Karangsoga bahwa segala hal sudah ada yang mengat ur, "Manusia mung saderma nglakoni, " kat anya. Lasi, meski t erkesan sepert i pet asan siap meledak, t et ap diam. Lengang, meski kaku dan t egang. Eyang Mus yang semul a bermaksud memanggil Darsa mengurungkan niat nya. Mempert emukan Darsa dengan Lasi dan Mbok Wiryaj i ket ika suasana masih panas sama dengan mengumpankan kucing ke depan anj ing yang sedang amok.
"Nah, aku mau pulang. Aku mint a kalian bisa bersabar menghadapi cobaan berat ini. Dan kamu, Las, ayo ikut ke rumahku unt uk menenangkan diri di sana. Mau?"
Di luar dugaan semua orang Lasi bangkit lalu berj alan mengikut i Eyang Mus. Orang-orang memandangnya dengan rasa kasihan. Dari rumah Wiryaj i orang melihat t ubuh Lasi dan Eyang Mus sedikit demi sedikit t enggelam di balik pagar hidup ket ika mereka mulai menapak j alan menurun. Dan lenyap sama sekali set elah keduanya melewat i kelokan ke selat an.
Karangsoga sibuk lagi dengan pergunj ingan. Cerit a berkembang ke segala arah
Bunek. Sipah yang cacat dan sangat pemal u kurang layak dianggap punya keberanian menggoda Darsa. Seorang pet ut ur dengan gaya sangat meyakinkan berkat a, orang pert ama yang t ahu akan kesembuhan Darsa t ent ulah Bunek sendiri. Kat a pet ut ur ini, kesembuhan Darsa t idak bol eh dibukt ikan langsung kepada ist rinya, melainkan harus kepada orang lain lebih dahulu. Kat a pet ut ur it u pula, yang demikian adalah syarat yang biasa dilakukan oleh seorang dukun lemah pucuk sepert i Bunek.
"Boleh j adi, " kat a pet ut ur t adi, "Bunek ingin menyediakan diri menj adi aj ang penguj ian kesembuhan Darsa. Siapa t ahu. Namun mal u karena sudah bercucu dan beruban, Darsa dil impahkannya kepada Sipah. "
Mengakhiri cerit anya, si pet ut ur t ersenyum puas dan disambut gelak t awa orang-orang yang mendengarkannya.
Pet ut ur lain membawa cerit a yang t ak kalah seru, seakan dia t ahu bet ul apa yang t erj adi ant ara Darsa, Bunek, dan anak gadisnya. Menurut pet ut ur yang sat u ini, pada awalnya Sipah menolak ket ika suat u mal am emaknya menyuruh menggant ikannya mengurut Darsa. Hanya karena t akut akan kemarahan emaknya, Sipah menurut dan Bunek pergi meninggalkan Sipah hanya berdua dengan Darsa.
"Nah, meski pincang, Sipah t et ap perempuan, bukan?" Tawa mereka pun meledak lagi.
Keluar dari t ikungan t erakhir Pardi merasa lepas dari ket egangan. Lampu t ruknya menyorot j auh karena j alan di depan sudah t erbent ang lurus meskipun menurun dan t erus menurun. Pardi menyalakan rokok dan Sapon duduk lebih t enang. Seekor keklawar t ert angkap sorot lampu. Binat ang it u t erbang berkelok-kelok mengej ar serangga.
Jauh di depan seekor kucing liar at au musang bulan t ermangu di pinggir j alan.
Menj elang masuk j al an besar Pardi mengangkat pedal rem karena j alan kampung it u mulai dat ar. Tet api Pardi t iba-t iba menginj aknya lagi unt uk memperlambat t ruknya karena ia melihat sesosok t ubuh mendadak muncul dari balik sebuah pohon. Sopir mana saj a t ahu it ulah cara peremput an j alanan menarik perhat ian orang, t erut ama para pengemudi kendaraan. Dan Pardi menggenj ot rem kuat -kuat karena orang di depan sana bukan sekadar berusaha menarik perhat ian melainkan sengaj a merint ang j alan. Truk berhent i t erhuyung karena berat muat an. Mesinnya mat i selagi gigi penggeraknya belum bebas. Pardi dan Sapon sama-sama mengumpat kesal. Namun keduanya kemudian sama-sama berseru,
"Lho, Lasi? Mau apa dia?"
Sopir dan kernet t urun bersama-sama. Dan j auh di luar dugian mereka, Lasi menyerobot masuk kabin dan duduk membeku. "Mas Pardi, aku ikut , " uj ar Lasi dingin dan kaku. Tat apan mat anya lurus ke depan. Waj ahnya keras dan beku sepert i dinding bat u menyirat kan suat u t ekad yang t ak t ergoyahkan.
"Ikut ? Kami mau ke Jakart a dan kamu mau ikut ?"
Tak ada j awaban. Dan Lasi t ak bergeming. Mat anya yang nyalang t erus menat ap t anpa kedip ke depan.
"Lho, j angan, Las. Kami t ahu kamu sedang punya masalah. Nant i orang bilang aku mencampuri urusanmu. Jangan, Las, " cegah Pardi.
"Ya, lagi pula kami merasa t ak enak t erhadap suami dan orangt uamu. Juga Eyang Mus. Salah-salah mereka mengira kami melarikan kamu. Wah, bisa repot , " t ambah Sapon.
Lasi masih membat u di t empat nya. Pardi membuang rokok dan menggilasnya dengan sandal. Sapon berj alan berput ar-put ar. Suasana t erasa canggung dan bunt u. Mesin t ruk menderum-derum.
"Las, sesungguhnya kamu mau ke mana?" t anya Pardi.
"Truk ini mau ke mana?"
"Sudah kubilang, ke Jakart a. "
"Ke Jakart a at au ke mana saj a, aku ikut . "
Pardi menggaruk kepala. Sapon malah menj auh lal u duduk menyelonj or di pinggir j alan. Ia bimbang.
"Bagaimana, Pon?"
"Terserah Mas Pardi. Bagiku, asal kit a t idak dit uduh macam-macam. "
"Mas Pardi, " kat a Lasi t iba-t iba. "Bumi-langit j adi saksi bahwa aku pergi at as kemauanku sendiri. Ayolah. At au bila kalian keberat an aku akan t urun dan duduk di depan roda. Bagaimana?"
Sekali lagi Pardi menggaruk kepala. Namun akhirnya sopir it u naik. Sapon pun naik. Lasi duduk di ant ara keduanya. Mesin t ruk menggeram dan roda-rodanya
"Baiklah, bila kamu sudah bersaksi kepada l angit , kepada bumi. Aku pun bersumpah bahwa aku t ak punya urusan dengan pel arianmu ini. "
Dekat mul ut j alan besar Pardi kembali menghent ikan t ruknya. "Aku mau beli rokok dulu, " kat anya sambil melompat t urun. Pardi memang membeli rokok. Tet api kesempat an it u digunakannya j uga unt uk t it ip pesan bagi orangt ua Lasi kepada pemilik warung. Bagaimana j uga Pardi ingin membersihkan diri sebab sebent ar lagi past i ada geger; Lasi raib dari Karangsoga.
Memasuki j alan besar t ruk membelok ke barat dan meluncur beriringan dengan kendaraan lain yang dat ang dari t imur. Di at as j alan kelas t iga yang berlapis aspal t ruk dari Karangsoga it u berj alan lebih t enang dan dikemudikan dalam kecepat an t et ap. Suara mesin menderu dat ar. Pardi kembali menyalakan rokok. Kabin t ruk t erang sej enak. Sapon menengok ke kanan dan sekej ap t erlihat olehnya mat a Lasi berkaca-kaca.
Lasi memang menangis. Kini ia mulai sadar akan apa yang sedang dilakukannya; lari meninggalkan Karangsoga, bumi yang melahirkan dan dit inggalinya selama dua puluh empat t ahun usianya. Lari dari rumah; rumah lahir, rumah bat in t empat dirinya hadi r, punya peran dan punya makna. Lari meninggalkan t ungku dan kawah pengol ah nira dan wangi t enggul i mendidih. Dan semuanya berart i lari dari yang nyat a menuj u ket idakpast ian, menuj u dunia baru yang harus diraba-raba, dunia yang bel um dikenal at au mengenalnya.
Lasi kadang merasa ragu dan t akut . Namun rasa sakit karena perbuat an Darsa dan lebih-l ebih sakit karena merasa dirinya t idak lagi berharga unt uk seorang suami, membuat t ekadnya lebih pekat . Lari dan mbal elo adalah sat u-sat unya cara unt uk lampiaskan perlawanan sekaligus membela keberadaannya. Lari dan lari meski Lasi sadar t ak punya t empat unt uk dit uj u.
rokok baru bila yang l ama habis. Sapon mencoba bernyanyi. Tet api suaranya t erdengar sember, t ert ekan, dan parau. Gant i bersiul, namun bunyinya pun t ak enak didengar. Kebisuan t erus bert ahan sampai Pardi menghent ikan t ruknya di depan sebuah warung makan. Sapon t urun l ebih dulu unt uk mengganj al roda supaya aman.
"Las, aku l apar. Warung makan ini langgananku. Kamu j uga belum makan, bukan?"
"Ya, t et api aku t ak lapar. "
"Lapar at au t idak kamu harus makan. Kit a mau berj alan j auh, t ak baik membiarkan perut kosong. Bisa masuk angin. "
"Bet ul, Las, " sela Sapon. "Kit a makan dulu. "
"Aku t ak pernah makan di l uar rumah. Mal u. "
"Kalau begit u sekarang kamu coba. Lagi pul a kamu sudah ikut kami, maka kamu harus ikut i at uran kami. Jangan sampai bikin repot gara-gara kamu sakit karena perut kaubiarkan kosong. "
"Apa kit a sudah j auh dari Karangsoga?"
"Sudah. Di t empat ini kukira t ak ada orang yang mengenal mu. Ayolah t urun. "
"Jangan bilang begit u. Kamu ikut kami, maka soal makan kamilah yang t anggung. Kecuali kamu mau bikin malu kami. "
Akhirnya Lasi mau t urun dan masuk ke warung mengikut i Pardi dan Sapon. Lasi dan Sapon langsung duduk t et api Pardi t erus ke belakang. Seorang perempuan muda melayani Pardi dengan memberikan sabun dan handuk. Pardi t ampak sudah sangat akrab dengan perempuan it u. Mereka sekilas t ampak sepert i suami-ist ri. "Biasa, Las, " kat a Sapon yang melihat Lasi t erheran-heran. "Sopir, kat a orang, bila ingin ngaso, ya mampir. Jadi pacarnya banyak. " Lasi t ak memberi t anggapan apa pun. Ia sedang mencat at dalam hat i sesuat u yang baru diket ahuinya karena sesuat u it u belum pernah dilihat nya di Karangsoga.
Sinar put ih lampu pet romaks membuat sosok Lasi t ampak j elas. Kain kebaya yang dikenakannya sudah lusuh. Rambut nya disanggul sembarangan sepert i perempuan hendak pergi ke sawah. Waj ahnya berminyak pert anda sudah l ama Lasi t idak mandi. Juga t ernyat a Lasi t ak memakai alas kaki. Dan bibirnya pucat . Beberapa kali Sapon mendengar suara keruyuk dari perut Lasi.
Meski pada awalnya kelihat an canggung, Lasi makan dengan sangat lahap. Segelas besar t eh manis pun dit enggak habis. Kalau bukan karena rasa lapar yang sudah lama t ert ahan, t ak mungkin Lasi makan sel ahap it u. Keadaan Lasi mengingat kan Sapon akan cerit a or ang bahwa sej ak mendengar suaminya berkhianat Lasi t ak mau makan, j uga t ak bi sa t idur. Bila cerit a it u bet ul, boleh j adi sudah dua hari perut Lasi t ak t erisi makanan dan mungkin j uga t idak t idur.
Sapon menggeleng-gelengkan kepala. Dan t ersenyum; karena dal am keadaan demikian pun Sapon melihat Lasi t et ap dal am kekhasannya: kont ras ant ara hit am pekat rambut nya dan put ih kulit nya begit u mengesankan. Alis dan mat anya t dk ada duanya, membuat Lasi sangat mudah menarik perhat ian. Apalagi t inggi badan Lasi sepert i emaknya, Mbok Wiryaj i, lebih t inggi dari kebanyakan perempuan Karangsoga. Sapon t ersenyum lagi. Kini dia t eringat Darsa. Bet ul, sumpah serapah Mbok Wiryaj i, pikir Sapon. Darsa lelaki t ak t ahu diunt ung, t ak berhat i-hat i dengan kemuj urannya mendapat ist ri secant ik Lasi yang memang sudah dibilang orang lebih pant as menj adi ibu l urah.
Pardi keluar dari ruang dalam dan sudah bergant i baj u. Lasi heran lagi. Tet api Pardi hanya menanggapinya dengan senyum, lalu mint a dilayani makan. Lagi- lagi perempuan muda it u meladeninya sepert i seorang ist ri. Lasi t eringat pada ist ri Pardi di Karangsoga. Kalau begit u, pikir Lasi, benar kat a orang, wis sakj ege wong lanang gedhe gorohe, memang demikian adanya, semua lelaki t ukang ngibul . Dan perempuan yang berambut kerit ing dan berant ing berbent uk cincin it u melirik Lasi. Lasi t ersinggung dan hat inya berkat a bahwa perempuan it u cemburu t erhadapnya. Jant ung Lasi berdebar. Lasi ingin sekali menerangkan bahwa dirinya adalah perempuan somahan yang punya harga diri dan t idak ingin merebut lelaki mana pun. Dirinya sekadar menumpang t ruk unt uk l ari dan kebet ulan Pardi yang menj adi sopir. Tet api kat a-kat a yang sudah hampir t umpah it u hanya berput ar-put ar kemudian bergaung dalam dada. Pada kenyat aannya Lasi hanya bisa menelan ludah dan menelan ludah lagi.
Set elah membisikkan sesuat u kepada pacarnya, Pardi mengaj ak Sapon dan Lasi berangkat . Jam dinding t ua di warung it u menunj uk angka delapan. Udara malam benar-benar dingin. Mesin t ruk kembali menderum dan perj alanan sepanj ang malam yang akan menempuh j arak empat rat us kilomet er dilanj ut kan. Pardi t erus-menerus merokok dan set iap kali korek api menyala, Sapon melirik ke kanan. Waj ah Lasi kelihaLan lebih t enang bahkan pada kesempat an melirik kali ket iga, Sapon melihat mat a Lasi t erpej am. Jiwa yang let ih set elah diguncang keras oleh kesont ol oyoan suami, perut yang t erisi penuh, sert a ayunan pegas j ok yang didudukinya membuat Lasi cepat ngant uk. Lasi benar-benar t ert idur, kepalanya mulai t erkulai ke kiri dan menindih pundak Sapon. Napasnya t erdengar lembut dan t erat ur.
"Mas Pardi, " kat a Sapon pelan.
"Apa?"
"Lasi t idur. "
"Biarlah dia t idur. Apa aku harus berhent i?"
"Bukan begit u. Aku kasihan. "
"Bukan hanya kamu. Aku j uga. Malah aku masih bingung, apa sebenarnya yang ingin dilakukan Lasi. Minggat dan t ak balik lagi ke Karangsoga at au bagaimana? At au besok Lasi ikut pulang bersama kit a?"
"Kukira begit u. "
"Bila t ernyat a t idak?"
"Aku t idak berpikir apakah Lasi akan kembali at au t idak. "
"Lalu?"
"Yang kupikir, dalam t ruk ini sekarang ada perempuan cant ik, lebih cant ik dari sennua pacarmu, Mas Pardi. Apa kamu t idak. . . "
"Hus! Monyet , kamu. Jangan macam-macam. Kami para sopir memang rat a- rat a baj ingan. Tet api kami punya at uran. Kami pant ang main-main dengan perempuan bersuami. It u pemali, t abu besar j ika kami t idak ingin mampus dalam perj alanan. "
"Ya, Mas. Namun aku j uga sedang berpikir bagaimana nant i bila Lasi benar- benar j adi j anda. Karangsoga bakal ramai. "
"Lasi t idak akan mau karena dia t ahu kamu sudah punya ist ri dan pacarmu sepanj ang j alan. Dia akan memi lih aku yang masih perj aka. "
"Monyet kamu. Demi Lasi aku mau kehilangan apa saj a. Tahu?"
Tawa hampir pecah apabila Sapon dan Pardi t idak ingat di dekat mereka Lasi sedang nyenyak t idur. Namun demikian t ak urung Lasi t erusik. Ia menggeliat sej enak dan kepalanya lebih menyandar ke bahu Sapon, lalu pulas lagi.
Jam sebel as malam t ruk pengangkut gula it u masuk Tegal dan berhent i mengisi bahan bakar. Pardi menyuruh Sapon naik ke bak t ruk dan t idur di bawah t erpal karena sopir it u ingin memberikan t empat yang lebih l onggar kepada Lasi. Dengan melipat kedua kakinya Lasi dapat t idur lebih nyenyak karena bisa merebahkan diri di samping Pardi. Lasi lelap sepanj ang j alan. Dia t idak t ahu bahwa t ruk yang dit umpanginya berhent i lagi di Indramayu dan Pamanukan. Di Indramayu Pardi bahkan t idur dua j am dal am kamar sebuah warung makan. Sapon haf al di warung ini pun Pardi punya pacar.
Menj elang f aj ar t ruk sampai ke pinggiran kot a Jakart a. Pardi menghent ikan kendaraannya, lagi-lagi di sebuah war ung makan yang masih benderang ol eh dua lampu pompa. Pardi membangunkan Sapon unt uk berj aga karena dia sendiri akan berist irahat sampai j am delapan pagi saat t auke siap menerima gula yang dibawanya. Segelas kopi dihi dangkan oleh seorang perempuan dengan rokok di t angan. Dandanannya yang warna-warni sepert i melawan suasana serba lembut ket ika hari hampir pagi. Lasi masih lelap dalam kabin t ruk, dan Pardi merebahkan diri di at as dipan kayu di emper warung. Nyenyak, meski segelas kopi panas t erlet ak hanya beberapa j ari dari kepalanya.
Lasi t erbangun oleh deru lalu lint as yang makin ramai. Ket ika bangkit dan menengok ke luar Lasi t erkej ut karena mat ahari sudah muncul. Linglung. Lasi t ak t ahu di mana dia berada sekarang. Dan mana Pardi sert a Sapon? Dalam kebimbangannya, unt ung, Lasi dapat menemukan Pardi masih t ergelet ak di
"Sudah bangun, Las?" Sapon t iba-t iba muncul dari samping t ruk.
"Di mana kit a sekarang berada, Pon?"
"Ya ini, Jakart a. "
Lasi t erpana sej enak dan t urun set elah Sapon membukakan pint u.
"Aku ingin ke belakang. Kamu t ahu ada sumur?"
"Mari kuant ar. "
Sapon membawa Lasi masuk ke warung makan yang cukup besar it u dan langsung ke bagian belakang. Lampu pompa bel um dipadamkan, padahal hari sudah benderang. Lasi melihat t iga perempuan t idur berdempet an di sebuah bangku panj ang. Sisa rias mereka masih t ampak j elas. Warna pakaian mereka mencolok. Dua perempuan lain sedang duduk bercakap-cakap sambil merokok. Keduanya mengangkat muka ket ika melihat Lasi dan Sapon masuk. Dan seorang di ant aranya menyambar t angan Sapon set elah Lasi menghilang di balik pint u kamar mandi.
"Baru?" t anya perempuan yang berant ing besar.
"Bawaan Pardi, ya? Pardi membawa barang baru?" susul yang berbet is kering.
"Kalian t anya apa, sih?" dengus Sapon.
"Hus, aku cuma mau t anya, kalian bawa barang baru?"
"Jangan seenaknya. Dia t et anggaku di kampung, perempuan baik-baik dan punya suami. "
"Aku t idak t anya dia bersuami at au t idak, " uj ar si Ant ing Besar. "Ini, t eman kit a ini, j uga punya suami, " lanj ut nya sambil menuding si Bet is Kering. "Yang kut anyakan, dia barang baru?"
"Bukan! "
"Kalau bukan, mengapa ikut kalian?" Si Ant ing Bcsar dan si Bet is Kering t ert awa bersama.
Sapon t ak berniat berbicara lagi. Lasi keluar dan t erus bergabung dengan Pardi yang sudah bangun dan sedang bercakap-cakap dengan Bu Koneng, pemilik warung. Perempuan bersanggul besar ini menat ap Lasi lekat -lekat , menyelidik sepert i pedagang t ernak mengamat i seekor sapi yang mont ok.
"Duduklah, Las, " uj ar Pardi set el ah memperkenalkan Lasi kepada Bu Koneng. "Sebent ar l agi aku dan Sapon berangkat unt uk membongkar muat an. Kamu t inggal di sini dul u bersama Bu Koneng. Mandi dan berist irahat lah. Siang at au sore nant i kami kembali. "
Waj ah Lasi menyirat kan kebimbangan. Namun akhirnya Lasi mengangguk pelan.
"Ya, t ak pant as seorang perempuan ikut mengant ar barang sampai ke gudang, " sambung Bu Koneng ramah. "Tinggallah sebent ar bersama saya. Di sini banyak t eman, kok. Ah, nant i dulu, siapa namamu t adi?"
"Lasi, Bu. "
"Lasiyah, " sela Pardi.
Bu Koneng mengangguk. Dan kembali menat ap Lasi.
"Maaf , ya. Aku mau t anya, apakah ayah at au ibumu Cina?"
Lasi t ert unduk malu. Dia menol eh ke Pardi. Sopir it u mengert i. Maka dialah yang kemudian menj awab pert anyaan Bu Koneng dengan ket erangan yang agak panj ang. Dikat akannya j uga Lasi sedang punya masalah sehingga perlu menghibur diri barang sebent ar ke kot a.
Selama mendengarkan penj elasan Pardi, Bu Koneng t erus menat ap Lasi dengan mat a berkilat dan penuh minat .
"Oh, j adi begit u?" t anya Bu Koneng kepada Lasi.
Lasi mengangguk lagi dan t ersenyum t awar. Dan t iba-t iba hat inya t erasa bunt u karena Lasi sadar bahwa dirinya sudah keluar j auh dari Karangsoga dan di t angannya t ak ada uang sedikit pun. Bahkan ia j uga t idak membawa pakaian penggant i barang sel embar. Lasi bahkan baru sepenuhnya sadar bahwa dia t ak punya j awaban unt uk dirinya sendiri, "Mau apa sebenarnya aku berada di
Sebelum naik ke belakang kemudi Pardi mendekat i Lasi dan mengulurkan t angan dengan beberapa lembar uang. Tet api Lasi t erpaku. Lasi belum pernah menerima uang kecuali dari suami at au dari penj ual an gula. Bagi Lasi, berat menerima uang dari orang lain karena di a t ahu uang t ak pernah punya art i lain kecuali alat t ukar-menukar. Siapa menerima uang harus mau kehilangan sesuat u sebagai penukarnya.
"Unt uk sekadar pegangan, Las. Barangkali kamu membut uhkannya unt uk bel i minuman selama aku pergi, " kat a Pardi.
"Terima kasih, Mas Pardi. Aku memang t idak memegang uang. Dan uang ini kut erima sebagai pinj aman. Kapan-kapan aku akan mengembalikannya kepadamu. "
"Jangan begit u, Las. Kit a sama-sama di rant au, j auh dari kampung. Kit a harus saling t olong. "
"Kamu bet ul, Mas Pardi. Tet api aku t ak ingin menj adi beban. Jadi uang ini t et ap kuanggap sebagai pinj aman. "
"Terserahlah, kalau kamu ngot ot . Yang past i aku t idak merasa punya urusan ut ang-piut ang dengan kamu. "
Truk dari Karangsoga bergerak l agi set elah berhent i selama lima j am di depan warung Bu Koneng. Lasi memandang kepergian t ruk yang t elah membawanya kabur sangat j auh dari rumah. Ket erasingan t iba-t iba menggigit dirinya set elah t ruk bersama sopir dan kernet nya lenyap dari pandangan mat a. Kosong dan bunt u. Lasi berbalik dan ingin duduk di at as dipan kayu di emper warung. Bu Koneng masih di sana.
"Pardi bilang kamu t ak membawa pakaian penggant i?"
Lasi mengangguk dan t ersipu.
"Kalau begit u pakailah ini. Tak apa-apa buat sement ara. Tet api apa t idak baik kamu mandi dul u?"
Lasi mengangguk lagi. Bu Koneng memanggil seseorang unt uk membawakan handuk. Muncul si Bet is Kering dengan barang yang dimint a induk semangnya dan memberikannya kepada Lasi dengan keramahan yang kelihat an dipaksakan.
Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru t erang. Kesan lusuh berubah menj adi segar. Kulit nya menj adi lebih t erang karena warna baj u yang dipakainya. Rambut disisir dan dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengaj aknya makan pagi, bukan di ruang warung melainkan di ruang dal am. Lasi t ak enak karena merasa t erlalu diperhat ikan, t et api t ak mampu menampik kebaikan Bu Koneng. Si Bet is Kering dan si Ant ing Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga perempuan muda yang t ergol ek berimpit an pun sudah lama t erbangun. Mereka j uga selalu menat ap Lasi dengan pandangan mat a seorang pesaing.
Lasi dapat mengira-ngira siapa si Ant ing Besar, si Bet is Kering, sert a ket iga t emannya; t ent u perempuan j aj anan semacam pacar Pardi yang ada pada set iap warung yang disinggahinya. Sepanj ang penget ahuannya perempuan sepert i it u t ak ada di Karangsoga. Tet api Lasi sering mendengar cerit anya dan kini Lasi melihat sendiri sosok mereka, bahkan berada di ant ara mereka. "Dan, apakah Bu
Koneng sepert i sering dibilang orang, adal ah mucikari dan menyamar sebagai pengusaba warung makan?"
"Las, Pardi bilang kamu sedang punya masalah?" t anya Bu Koneng t anpa
"Kat akan, soal uang, soal mert ua, at au soal suami?"
"Suami, Bu, " j awab Lasi lirih.
"Kat akan l agi, suami pelit , suami kelewat doyan, at au suami menyeleweng?"
"Nyeleweng. "
Bu Koneng mengangguk-angguk dan t erlihat t ak ada kej ut an t ersirat pada waj ahnya.
"Ya. It u biasa. Tet api suami semacam it u panus diberi pelaj aran. Dia akan t ahu rasa apabil a kamu membalasnya dengan cara menyeleweng pula. "
Lasi mengangkat muka dan membelalakkan mat a.
"Oh, t idak. Maksudku, banyak ist ri membal as perlakuan suami dengan perbuat an yang sama. Kamu t idak begit u, bukan?"
"Bu Koneng, saya hanya seorang perempuan dusun. Melihat suami bert indak begit u, pal ing saya bisa purik sepert i ini. "
"Hanya purik? Tidak mint a cerai sekalian?"
"Ent ahlah, Bu. Tet api di kampungku sebut an j anda t ak enak disandang. Terl alu banyak mat a menyorot , t erlalu banyak t elinga nguping. Berj alan selangkah at au berucap sepat ah serba dinilai orang. "
"Ya, bet ul. Tent ang urusan sepert i it u aku l ebih berpengalaman. Tet api lal u apa rencanamu berikut ?"
"Saya t idak t ahu. " j awab Lasi sambil menggeleng.
"Tet api aku t ahu. "
Lasi mengangkat muka, ingin mengert i apa yang dimaksud Bu Koneng.
"Tinggallah bersamaku di sini barang sat u at au dua minggu sampai hat imu dingin. Kemudian kamu lihat nant i apa yang sebaiknya kamu lakukan. "
"Merepot kan Bu Koneng?" kat a Lasi set elah agak lama t erdiam.
"Tak apa-apa, kok. Aku sering disinggahi ist ri-ist ri sopir dan mereka biasa menginap di sini. "
"Ist ri-ist ri sopir?"
"Ya. Ist ri sebenarnya at au pacar, maksudku. Dan kamu lihat sendiri di warungku ini banyak perempuan. "
Lasi mengerut kan kening. Hat inya risi. Mengapa Bu Koneng menyebut -nyebut perempuan yang dit ampungnya. "Ingin menyamakan aku dengan si Ant ing Besar at au si Bet is Kering?" Lasi menelan ludah. Bu Koneng menangkap perasaan Lasi yang t ersinggung.
"Di warungku memang banyak perempuan. Yah, kamu mengert i apa yang kira- kira mereka lakukan. Dan kamu, Las, t ak perlu ikut -ikut mereka. Aku t ahu kamu bersih dan t idak sepert i mereka. Kamu bisa menj adi penj aga warung. At au kalau mau, mengurus pekerj aan dapur. "
"Ent ahlah, Bu. Saya masih bimbang. Yang j elas saya malu bila harus menj aga warung. Tet api pekerj aan dapur, barangkali saya bisa membant u ibu. "
Bu Koneng t ersenyum.
"Andaikan kamu mau bekerj a di dapur, Las, bukan maksudku menj adikan kamu pembant u di sini. Sekadar memberi kamu peluang unt uk melupakan sakit hat imu. Aku sangat kasihan kepadamu. Kamu mengert i?"
Lasi mengangguk.
Seorang t eman yang mau mengert i dan bisa menj adi bej ana t empat menuangkan perasaan t elah dit emukan Lasi. Dengan anggukan kepala dan senyum penuh pengert ian Bu Koneng, dengan cara yang sangat diperhit ungkan, menj adikan dirinya sandaran bagi hat i Lasi yang sedang kena badai. Lasi mendapat seorang sahabat ket ika dirinya merasa t ercabut dari bumi dan t erpencil dari dunianya. Ket ika harus mengembara di t engah padang keront ang yang sangat t erik, seseorang memberinya payung dan segayung air sej uk. Hat i Lasi t ert ambat .
berbeda dengan l orong-lorong kampung yang lengang di Karangsoga. Bu Koneng mengert i Lasi gagap karena t ak biasa dengan keadaan seramai it u t et api Bu Koneng pura-pura t idak t ahu. Turun dari becak Bu Koneng membimbing Lasi menyeberang j alan. Lasi gagap l agi, kali ini oleh keadaan pasar yang kumuh, sumpek, dan luar biasa becek. Lasi yang t ak asing dengan lumpur sawah, ent ah mengapa, merasa j ij ik dengan l umpur pasar. Hanya karena t ak ingin menyinggung hat i Bu Koneng, Lasi ikut ke mana saj a induk semangnya yang baru it u pergi. Dengan keranj ang besar Lasi menampung sayuran, t ahu, ikan, at au t el ur yang sudah dibayar Bu Koneng.
Jam dua siang ket ika Lasi sedang bercakap-cakap dengan Bu Koneng di emper depan, Sapon dat ang seorang diri. Ada muat an unt uk dibawa sampai ke Tegal dan Pardi sedang mengat urnya, j awab Sapon ket ika Lasi bert anya.
"Las, aku disuruh Mas Pardi memberit ahu kamu agar segera bersiap. Sebent ar lagi Mas Pardi dat ang dan kit a langsung berangkat . "
"Berangkat ke mana?" pot ong Bu Koneng.
"Ke mana? Ke mana l agi kalau bukan pulang ke rumah. "
"Ya, aku t ahu. Tet api Lasi t idak ikut kalian. Lasi akan t inggal di sini sampai hat inya t enang. Bila t ak percaya, t anyalah sendiri. "
Lasi t ernganga. Pandangannya berpindah-pindah dari mat a Sapon ke mat a Bu Koneng. Kelihat an mul ut nya hendak mengat akan sesuat u, t et api suaranya t ak kunj ung t erdengar.
"Jangan, Las. Kamu j angan merepot kan kami. Kamu harus pulang. Bila t idak, aku dan Mas Pardi bisa mendapat kesulit an. Kami bisa menj adi sasaran segal a
"Pon, kamu j angan menekan Lasi yang sedang sakit hat i. Biarlah dia pada pilihannya, t inggal bersama kami sampai hat inya kembali t enang. "
"Sungguh, Las! " kat a Sapon t ak peduli. "Kamu harus pulang. Soal nant i kamu kembali kemari, it u urusanmu. Tet api kali ini, karena kamu berangkat bersama kami, kamu harus pul ang bersama kami pula. Kamu bisa marah kepada suami; t et api emak? Dan kamu pergi t anpa memberit ahu siapa pun, bukan?"
Lasi t ergagap. Dalam kebimbangannya sekilas Lasi melihat rumahnya, mel ihat t iap j engkal bagian rumah kecil yang sudah t iga t ahun dihuninya. Dadanya berget ar ket ika di mat anya muncul bilik t idur dengan balai-balai bambu beralas t ikar pandan yang sudah mengkil at . Lasi j uga t eringat set iap pot ong j alan set apak yang selalu dilewat inya bila ia pergi menj ual gula ke rumah Pak Tir. Tit ian pinang sebat ang. Suara pongkor saling beradu. Bunyi let upan t engguli panas yang sedang diaduk. Dan malam hari yang lengang dengan suara gambang yang dit abuh Eyang Mus. Juga emaknya. Lasi sadar dirinya adalah anak t unggal. Emak past i merasa sangat kehilangan dirinya.
Lasi hampir mengiyakan aj akan Sapon. Tet api urung karena t iba-t iba di mat anya muncul Bunek, Sipah, lalu Darsa, lalu semua orang Karangsoga yang ramai-ramai mencibirinya. Telinganya berdenging karena Lasi mendengar orang sekampung menggunj ingkannya. Lasi malah mendengar t angis bayi yang masih berada dal am perut Sipah. Ada kembang api pecah dal am kelopak mat anya. Ada suara dent ing yang kering dan menusuk t elinga. Lasi megap-megap. Beberapa kali ia mencoba menelan ludah yang t erasa amat pekat .
"Las, kamu j angan linglung, " uj ar Sapon memecah kebisuan. "Kamu mau pulang, bukan?"
Lasi t erperanj at . Ent ah sadar at au t idak Lasi menoleh kepada Bu Koneng. Yang dit oleh t ersenyum dan berusaha menampil kan waj ah yang t eduh.
"Begini, " kat a Bu Koneng t enang. Kamu biasa mengangkut gula kemari seminggu sekali, bukan?"
Sapon mengangguk.
"Kali ini t inggalkan Lasi bersamaku di sini. Minggu depan kamu boleh membawa Lasi pulang. It u pun kalau Lasi mau. Kalau t idak, ya j angan memaksa. Begit u, Las?"
"Ya, " kat a Lasi dengan suara serak. "Sekarang aku ingat , minggu depan kalian akan mengangkut gul a lagi. Jadi aku bisa pulang seminggu lagi bila aku mau. "
Sapon diam dan t ert unduk. Bimbang, t ak ada lagi yang bisa dikat akannya unt uk mendesak Lasi pulang.
"Percayakan Lasi kepadaku, " uj ar Bu Koneng.
Sapon menat ap Bu Koneng dengan alis berkerut .
"Ya! Aku mengert i apa yang kamu khawat irkan akan t erj adi t erhadap Lasi. Tidak. Kalian j angan cemas. Aku menyadari Lasi t idak sama dengan perempuan-perempuan yang kut ampung di sini. Jadi aku t idak akan menyamakannya dengan mereka. "
Terdengar klakson dit ekan berulang-ulang. Sipon berl ari ke j alan unt uk menemui Pardi yang enggan t urun dari t ruknya. Sopir dan kernet berbicara serius. Karena merasa kurang puas, Pardi t urun dan berj alan mendekat i Lasi yang masih berdiri bersama Bu Koneng. Sepert i Sapon, Pardi pun membuj uk Terdengar klakson dit ekan berulang-ulang. Sipon berl ari ke j alan unt uk menemui Pardi yang enggan t urun dari t ruknya. Sopir dan kernet berbicara serius. Karena merasa kurang puas, Pardi t urun dan berj alan mendekat i Lasi yang masih berdiri bersama Bu Koneng. Sepert i Sapon, Pardi pun membuj uk
"Kami percayakan Lasi kepadamu, Bu Koneng, " uj ar Pardi t anda menyerah. At au t anda mint a j aminan.
"Baik. Aku t idak akan menyia-nyiakan kepercayaan orang yang sudah lama kukenal. Percayalah, Lasi akan aman bersamaku di sini. "
Pardi dan Sapon berj alan lesu menuj u t ruk mereka. Beberapa kali keduanya menggelengkan kepal a pert anda kecewa. Ket ika roda-roda kembali bergulir mereka melambaikan t angan. Lasi, t ak urung, merasa ada yang menj auh dari hat inya. Ada yang menusuk dada, ada yang menikam j iwa. Mat a Lasi basah. Truk milik Pak Tir it u t ampak makin baur dalam pandangannya, l ama-kelamaan kabur dan hilang dalam iring-iringan kendarann yang melaj u ke t imur.