ahmad tohari berkisar merah
BAGIAN PERTAMA
Dari balik t irai huj an sore hari pohon-pohon kelapa di seberang l embah it u sepert i perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah- pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang t ergerai dan j at uh di belahan punggung. Bat ang-bat ang yang ramping dan meliuk-liuk oleh embusan angin sepert i t ubuh semampai yang melenggang t enang dan penuh pesona. Ket ika angin t iba-t iba bert iup lebih kencang pelepah-pelepah it u serempak t erj ulur sej aj ar sat u arah, sepert i t angan-t angan penari yang mengikut i irama huj an, sepert i gadis-gadis t anggung berbanj ar dan bergurau di bawah curah pancuran.
Pohon-pohon kelapa it u t umbuh di t anah lereng di ant ara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah it u sepert i lukisan alam gaya klasik Bali yang t erpapar di dinding l angit . Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut , bat ang sengon yang l urus dan langsing menj adi garis-garis t egak berwarna put ih dan kuat . Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mul ai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon j engkol yang berwarna cokl at kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekat an dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan bat ang-bat ang j ambe rowe, sej enis pinang dengan buahnya yang bulat dan l ebih besar, memberi kesan purba pada l ukisan yang t erpaj ang di sana.
Dalam sapuan huj an panorama di seberang lembah it u t erlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihat lah, sement ara huj an t et ap t urun dan angin makin kencang bert iup t iba-t iba awan t ersibak dan sinar mat ahari langsung menerpa dari barat . Lukisan besar di seberang l embah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menj adikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul l ebih t erang, mat ra ket iganya makin j elas. Muncul pernik-pernik mut iara yang berasal dari pant ulan sempurna cahaya mat ahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit , di langit t imur yang biru-kelabu, muncul l engkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni.
huj an pun berubah deras menyusul ledakan gunt ur yang bergema di dinding- dinding lembah. Angin kembali bert iup kencang sehingga pohon-pohon kel apa it u seakan hendak rebah ke t anah. Ket ika it ulah dada Darsa t erasa berdenyut . Darsa yang sej ak lama memandangi pohon-pohon kel apanya di seberang lembah it u, hampir put us harapan. Bila huj an dan angin t ak kunj ung berhent i Darsa t ak mungkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa t urun-naik belasan pohon dalam huj an unt uk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun huj an kali ini disert ai angin dan gunt ur. Penderes mana pun t ak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibat nya; nira akan masam karena pongkor t erlambat diangkat . Nira demikian t idak bisa diolah menj adi gula merah. Kal aupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula past a yang harga j ual nya sangat rendah. Padahal, sekal i seorang penyadap gagal mengol ah nira, maka t erput uslah daur penghasilannya yang t ak seberapa. Pada saat sepert i it u yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diut ang dari warung.
Dari emper rumah bambunya Darsa kembali menat ap ke t imur, menat ap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur huj an nun di seberang lembah. Darsa gelisah. Kesej at ian seorang penyadap serasa t ert ant ang. Bagi Darsa, bagi set iap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapa adalah harapan dan t ant angan, adalah t eras kehidupan yang memberi semangat dan gairah hidup. Tet api karena huj an dan angin yang bel um j uga mereda, Darsa t ak berdaya mendekat i pohon-pohon kelapa yang t erasa t erus mel ambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.
Gunt ur kembali bergema dan huj an menderas lebih hebat lagi. Hat i Darsa makin kecut . Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranya berubah menj adi cairan asam karena t idak t erangkat pada wakt unya. Darsa hampir put us asa. Tet api pongkor, seruas bambu penadah nira yang bergant ungan pada manggar- manggar kelapa, t erus memanggil dan mengusik hat inya mint a diangkat . Manakala huj an agik surut , harapannya muncul. Namun bila huj an kembali deras dan gunt ur mel edak-ledak, harapan it u lenyap. Sement ara suara beduk dari surau Eyang Mus sudah t erdengar, sayup menyelinap ke huj an. Asar sudah lewat dan senj a hampir t iba. Makin kecil saj a kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini, karena belum j uga t ampak t anda-t anda cuaca akan berubah.
Sambil menj at uhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa Sambil menj at uhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa
Di mat a Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa det ik lalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke t ubuh Lasi. Sama sepert i pohon-pohon kelapa yang selalu menant ang unt uk disadap, pada diri Lasi ada j anj i dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi t erasa ada wadah pengej awant ahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri ist rinya j uga Darsa merasa ada lembaga t empat keset iaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang t ak put us menet eskan nira, Lasi yang sudah t iga t ahun menj adi ist rinya, meski belum memberinya ket urunan, adalah harga dan cit a-cit a hidup Darsa sendiri.
Lasi selesai mengisis kain basahan. Ket ika hendak masuk ke dalam mat anya bersit at ap dengan suaminya. Ent ah mengapa Lasi t erkej ut meski ia t idak merasa asing dengan cara Darsa menat ap dirinya. Ia pun kadang-kadang mencuri pandang, memperhat ikan t ubuh suaminya dari belakang; sebent uk t ubuh muda dengan perot ot an yang kuat dan seimbang, khas t ubuh seorang penyadap yang t iap hari dua kali naik-t urun belasan at au bahkan puluhan pohon kelapa. Dal am gerakan naik-t urun pada t at ar-t at ar bat ang kelapa, seluruh perot ot an seorang penyadap digiat kan, t erut ama ot ot -ot ot t ungkai, t angan, dan punggung. Hasilnya adalah sebent uk t ubuh ramping dengan ot ot liat dan seimbang. Bila harus dicat at kekurangan pada bent uk t ubuh seorang penyadap, it u adalah pundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selal u memeluk bat ang kelapa ket ika memanj at maupun t urun.
Lasi dan Darsa sama-sama t ersenyum. Di l uar, huj an masih deras. Rumah bambu yang kecil it u t erasa sepi dan dingin. Hanya t erdengar suara huj an dan t iupan angin pada rumpun bambu di bel akang rumah kecil it u. At au suara induk
Darsa kembali berpandangan dan kembali sama-sama t ersenyum.
"Las, apa aku harus t idak berangkat ?"
"Kan masih huj an. "
"Bagaimana bila aku berangkat j uga?"
"Terserah, Kang. Tet api kurang pant as, dal am cuaca sepert i ini kamu bekerj a j uga. "
"Berasmu masih ada?"
"Masih, Kang. Uang j uga masih ada sedikit . Kit a besok masih bisa makan andaikat a nira sore ini t erpaksa t idak diolah. "
"Tapi sayang sekali bila pongkor-pongkor dibiarkan t et ap bergant ungan dan niranya masam. Manggar bisa busuk. "
"Ya. Soalnya, huj an masih lebat , Kang. "
"Huj an masih lebat ya, Las?"
"Ya. . . "
Lasi t ak meneruskan kat a-kat anya karena t iba-t iba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mat a berkilat . Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menat ap bol a mat a ist rinya yang hit am pekat . Sepert i kulit nya, mat a Lasi j uga khas; berkelopak t ebal, t anpa garis lipat an. Orang sekampung mengat akan mat a Lasi kaput . Al isnya kuat dan agak naik pada kedua uj ungnya. Sepert i Cina. Mungkin Darsa ingin berkat a sesuat u. Tet api Lasi yang merasa dingin masuk ke bilik t idur hendak mengambil kebaya. Dan Darsa mengikut inya, lalu mengunci pint u dari dalam. Keduanya t ak keluar lagi. Ada seekor kat ak j ant an menyusup ke sela dinding bambu, keluar melompat -lompat menempuh huj an dan bergabung dengan bet ina di kubangan yang menggenang. Pasangan-pasangan kodok bert unggangan dan kawin dalam air sambil t erus mengeluarkan suaranya yang serak dan berat . Induk ayam di emper belakang merangkul semua anaknya ke bal ik sayap-sayapnya yang hangat . Udara memang sangat dingin.
Darsa hampir t erlelap di samping ist rinya ket ika suasana di luar t iba-t iba berubah. Huj an benar-benar berhent i, bahkan mat ahari yang kemerahan muncul dari balik awan hit am. Semangat penyadap sej at i membangunkan Darsa. Ia segera bangkit dan kel uar dari bil ik t idur. Lasi pun mengert i, suaminya t erpanggil oleh pekerj aannya, ol eh semangat hidupnya. Penderes mana saj a akan segera pergi mengangkat pongkor pada kesempat an pert ama. Sement ara Darsa pergi ke sumur unt uk mengguyur seluruh t ubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor dan pikulannya, sert a caping bambu. Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, j uga unt uk mengguyur seluruh t ubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambut nya belum sempat kering.
Tanpa kat a sepat ah pun Lasi melepas Darsa berangkat . Terdengar kelent ang- kelent ung suara t abung-t abung bambu saling beradu ket ika sepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap muda melangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di at as t anah basah yang di sana-sini masih t ergenang air huj an. Darsa t erus melangkah menuj u t anah lereng di seberang lembah. Sisa air huj an menet es dari dedaunan, beberapa t et es j at uh menimpa caping bambu yang menut up kepalanya. Gemercik air dalam parit yang t ert ut up berbagai j enis pakis-pakisan yang basah dan hij au segar. Darsa melint as t it ian dua bat ang bambu. Ket ika t epat berada di t engahnya ia melihat set angkai pelepah pinang kuning t iba-t iba runduk lalu lepas dari bat ang dan melayang j at uh ke t anah. Pelepah it u t erpuruk menimpa rumpun nanas l iar. Di at as sana pelepah pinang it u meninggalkan mayang put ih bersih dan masih set engah t erbungkus Tanpa kat a sepat ah pun Lasi melepas Darsa berangkat . Terdengar kelent ang- kelent ung suara t abung-t abung bambu saling beradu ket ika sepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap muda melangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di at as t anah basah yang di sana-sini masih t ergenang air huj an. Darsa t erus melangkah menuj u t anah lereng di seberang lembah. Sisa air huj an menet es dari dedaunan, beberapa t et es j at uh menimpa caping bambu yang menut up kepalanya. Gemercik air dalam parit yang t ert ut up berbagai j enis pakis-pakisan yang basah dan hij au segar. Darsa melint as t it ian dua bat ang bambu. Ket ika t epat berada di t engahnya ia melihat set angkai pelepah pinang kuning t iba-t iba runduk lalu lepas dari bat ang dan melayang j at uh ke t anah. Pelepah it u t erpuruk menimpa rumpun nanas l iar. Di at as sana pelepah pinang it u meninggalkan mayang put ih bersih dan masih set engah t erbungkus
Lepas dari t it ian bambu Darsa menelusur j alan set apak yang naik bert at ar yang dipahat pada lereng cadas. Turun lagi, melint as t it ian kedua, dan di hadapan Darsa t erhampar sawah yang menj adi dasar lembah. Di uj ung lembah adalah t anah lereng. Di sanalah pekarangan Darsa dan di sana pula pohon-pohon kelapanya t umbuh.
Darsa menurunkan pikulan dari pundaknya, mengambil dua pongkor. Sisa air huj an masih meluncur sepanj ang bat ang kel apa yang hendak dipanj at nya. Sambil naik ke t at ar pert ama, Darsa mengikat kan uj ung t ali kedua pongkor pada kait l ogam yang t erdapat pada sabuk bagian punggung. Maka ket ika memanj at t at ar demi t at ar kedua pongkor it u sepert i ekor yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Arit penyadap t erselip di pinggang. Tet es air berj at uhan ket ika pohon kelapa bergoyang oleh gerakan t ubuh Darsa yang mulai naik. Darsa t erus memanj at dengan semangat yang hanya ada pada seorang penyadap.
Selalu eling dan nyebut , adalah peringat an yang t ak bosan disampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerj a di ket inggian pohon kelapa. Darsa pun t ak pernah melupakan azimat ini. Sepert i semua penyadap, Darsa t ahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalam pekerj aannya. Terj at uh dari ket inggian pohon kelapa adalah derit a yang sangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yang bisa bert ahan hidup. Maka Darsa t ahu bahwa ia harus t et ap berada dalam kesadaran t inggi t ent ang di mana ia sedang berada dan apa yang sedang dilakukannya sert a keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia harus eling. Unt uk mengundang dan menj aga t araf kesadaran sepert i it u diaj arkan t urun-t emurun kepada para penyadap: nyebut , ucapkan dengan lidah dan hat i bahwa pekerj aanmu dilakukan at as nama Yang Mahaselamat .
Tet api ket ika duduk ngangkang di at as pel epah sambil mengiris manggar kesadaran Darsa t idak t erpusat penuh pada pekerj aan yang sedang dilakukannya. Saat it u Darsa merasa sangat sulit melupakan keberunt ungan yang baru dikenyamnya beberapa saat lalu di rumah. Anehnya, sulit j uga bagi Darsa meyakinkan diri bahwa sumber keberunt ungan it u, Lasi, adalah ist rinya
Darsa dat ang karena banyak cel ot eh mengat akan bahwa Lasi yang berkulit put ih dengan mat a dan lekuk pipi yang khas it u sesungguhnya lebih pant as menj adi ist ri lurah daripada menj adi ist ri seorang penyadap. Darsa j uga pernah mendengar selent ingan yang mengat akan bahwa rumah bambunya yang kecil adalah kandang bobrok yang t ak layak dit empat i seorang perempuan secant ik Lasi. Lal u, Darsa sendiri sering melihat bagaimana mat a para lelaki t iba-t iba menyala bila mereka memandang Lasi.
Turun dari pohon kcl apa pert ama, kedua pongkor yang bergdant ungan pada sabuk Darsa sudah bert ukar. Kini kedua t abung bambu it u berisi nira. Sebel um sampai ke t at ar t erendah, Darsa mencabut t ali pongkor dari kait nya lalu melet akkan keduanya dengan hat i-hat i di t anah. Diambilnya dua pongkor baru dan Darsa siap memanj at pohon kelapa berikut . Ent ah mengapa Darsa sangat senang menyadap pohon kedua ini. Barangkali karena dari at as pohon ini pemandangan ke barat lebih bebas. Dari ket inggian Darsa dapat melihat rumahnya. Bahkan Darsa dapat j uga melihat ist rinya, meski samar, apabila Lasi kebet ulan keluar. At au karena kelapa ini t umbuh sangat dekat dengan sebat ang pohon pinang. Pucuk pohon pinang it u berada di bawah mat a ket ika Darsa duduk di ant ira pelepah-pelepah kelapanya. Dan di sel a-sela ket iak pelepah pinang it u ada sarang burung j alak. Anak-anak burung yang masih t erpicing mat a it u selalu menciap mint a makan bila ada gerakan di dekat nya. Mulut mereka merah. Mereka kelihat an sangat lemah, t et api menawan. Darsa biasa berlama-lama menat ap anak-anak burung it u. Ia j uga senang memperhat ikan bet apa sibuk induk j alak pergi-pulang unt uk mencari makanan bagi anak- anaknya. Tet api karena anak-anak burung it u Darsa j adi sering berkhayal, kapan Lasi punya bayi? Bila ada keindahan t ercipt a ket ika seekor induk j alak menyuapi anaknya, bet apa pula keindahan yang akan menj elma ket ika t erlihat seorang ibu sedang menet eki bayinya, apal agi bila si ibu it u adal ah Lasi?
Tiga t ahun usia perkawinan t anpa anak sering menj adi pert anyaan berat bagi Darsa. Ada t eman, meski hanya dalam gurauan, mengat akan Darsa t idak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum j uga hamil. Gurauan ini saj a sudah sangat menyakit kan hat inya. Apalagi ket ika ia menyadari sesuat u yang lebih gawat dan j ust ru khih mendasar; anak adal ah bukt i pengej awant ahan diri yang amat pent ing sekaligus menj adi bubul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukt i perkawinan, surat nikah boleh disimpan di bawah t ikar. Tapi anak? Bil a Lasi sudah membopong bayi, Darsa boleh berharap segala celot eh segera hilang. Kukuh sudah kedaulat annya at as Lasi. Orang t ak usah lagi berkat a bahwa sesungguhnya Lasi lebih pant as menj adi ist ri lurah karena dia adalah ibu yang sudah melahirkan anak Darsa.
Pasangan induk j alak dat ang. Keduanya membawa bel alang pada paruh masing-masing. Tet api mereka t ak berani mendekat sarang selama Darsa masih bert engger di at as pel epah kelapa. Anak-anak j alak menciap karena mendengar suara induk mereka. Darsa menghent ikan kegiat an dan mengarahkan pandang ke pucuk pinang di sebelahnya. Anak-anak burung it u membuka mulut nya yang merah segar. Namun dalam pandangan Darsa, anak-anak burung it u adalah seorang bayi yang t ergolek dan berger ak-gerak menawan dalam buaian. Darsa menarik napas panj ang.
Di rumah, Lasi menyiapkan t ungku dan kawah unt uk mengolah nira yang sedang diambil suaminya. Senj a mulai meremang. Set umpuk kayu bakar diambilnya dari t empat penyimpanan di bel akang t ungku. Sebuah ayakan bambu disiapkan unt uk menyaring nira. Pada musim huj an Lasi sering mengel uh karena j arang t ersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu set engah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila t ak unt ung, gula t ak bisa dicet ak karena pengolahan yang t ak sempurna.
Pernah, karena ket iadaan kayu kering dan kebut uhan sangat t anggung, Lasi harus merelakan pelupuh t empat t idurnya masuk t ungku. Tanggung, karena sedikit wakt u lagi nira akan mengent al j adi t engguli. Dalam t ahapan ini pengapian t idak boleh t erhent i dan pelupuh t empat t idur adalah kemungkinan yang paling dekat unt uk menolong keadaan. Meskipun begit u t ak urung Lasi ket akut an, khawat ir akan kena marah suaminya karena t elah merusak t empat t idur mereka sat u-sat unya. Unt ung, unt uk kesulit an semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang j it u: segeralah mandi, menyisir rambut , dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih. Kenakan kain kebaya yang t erbaik l alu sambut lah suami di pint u dengan senyum. Nasihat it u memang manj ur. Darsa sama sekali t idak marah ket ika diberit ahu bahwa t empat t idur sat u-sat unya t ak lagi berpel upuh. Daripada melihat t empat t idur yang sudah berant akan, Darsa lebih t ert arik kepada ist rinya yang sudah berdandan. Malam it u l ampu di rumah Darsa padam lebih awal meski mereka harus t idur dengan menggelar t ikar di alas lant ai t anah.
Beduk kembali t erdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saat sepert i it u selalu ada yang dit unggu oleh Lasi; suara "hung", yait u bunyi pongkor kosong yang dit iup suaminya dari ket inggian pohon kelapa. Unt uk memberi aba-aba bahwa dia hampir pul ang. Darsa biasa mendekat kan mulut pongkor kosong ke Beduk kembali t erdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saat sepert i it u selalu ada yang dit unggu oleh Lasi; suara "hung", yait u bunyi pongkor kosong yang dit iup suaminya dari ket inggian pohon kelapa. Unt uk memberi aba-aba bahwa dia hampir pul ang. Darsa biasa mendekat kan mulut pongkor kosong ke
Api di t ungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api t idak kembali padam. Pipi Lasi yang put ih j adi merona karena panas dari t ungku. Ada t it ik pij ar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ket ika t erdengar suara "hung". Waj ahnya yang semula t egang, mencair. Tet api hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan "hung" suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya sepert i ia mengakrabi semua perkakas pengol ah nira.
Lasi kembali j ongkok di depan t ungku. Wah, kawah yang masih kosong sudah panas, sudah saat nya nira dit uangkan. Tet api Darsa belum j uga muncul. Di luar sudah gelap. Lasi bangkit ingin berbuat sesuat u.
Ket ika yang pert ama t erlihat adalah lampu minyak t ercant el pada t iang, Lasi sadar bahwa yang harus dilakukannya adalah menyalakan lampu it u. Malam memang sudah t iba. Diraihnya lampu minyak it u, dibawanya ke dekat t ungku unt uk dinyalakan. Cahaya remang segera t erpancar memenuhi ruang sekeliling. Lasi mengembalikan l ampu ke t empat semula. Dan pada saat it u ia mendengar suara langkah berat mendekat ; langkah lelaki yang membawa beban berat dan berj alan di t anah basah. Apa yang biasa dil akukan Lasi pada saat sepert i it u adalah menyongsong suaminya, membant unya menurunkan pikulan, kemudian segera menuangkan nira dari pongkor-pongkor ke dalam kawah yang sudah panas.
Tet api pada senj a yang mulai gelap it u Lasi malah t ert egun t epat di ambang pint u. Samar-samar ia melihat sosok lelaki yang mendekat dengan langkah amat t ergesa. Lelaki it u dat ang bukan dengan beban di pundak melainkan di gendongannya. Beban it u bukan sepikul pongkor melainkan sesosok t ubuh yang t ak berdaya. Set elah mereka t ert angkap cahaya lampu minyak segalanya j adi j elas; lelaki yang membawa beban it u bukan Darsa melainkan Mukri. Dan Darsa t erkulai di punggung l elaki sesama penyadap it u. Ada rint ihan keluar dari mulut yang mengalirkan darah.
Kesadarannya melayang dan j ungkir balik.
"Kat akan, ada kodok lompat ! " uj ar Mukri dalam napas megap-megap karena ada beban berat di gendongannya. "Jangan bilang apa pun kecual i ada kodok lompat , " ul angnya.
Lasi t ernganga t anpa sepot ong suara pun keluar dari mulut nya. Bahkan Lasi hanya memut ar t ubuh dengan mulut t et ap t ernganga ket ika Mukri menyerobot masuk dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di ruang t engah. Darsa langsung rebah t erkulai dan mengerang panj ang. Dan t iba-t iba Lasi t ersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak menubruk suaminya t et api Mukri menangkap pundaknya.
"Tenang, Las. Dan awas, j angan bilang apa-apa kecuali, ada kodok lompat ! "
Waj ah Lasi t erget ar menj adi panggung t empat segal a rasa naik pent as. Kedua bibirnya berget ar. Air mat a cepat keluar. Cuping hidungnya bergerak-gerak cepat . Kedua t angannya mengayun ke sana kemari t anpa kendali. Tenggorokan rasa t ersekat sehingga Lasi bel um bisa berkat a apa pun. Dan ket ika Lasi benar- benar sadar akan apa yang t erj adi, t angisnya pecah.
"Innalillahi. . . ada-kodok-lompat ?"
"Ya! Bukan apa-apa, sekadar kodok lompat , " j awab Mukri dengan pembawaan t enang. Tet api Lasi menj erit dan t erkulai pingsan. Separuh badannya t ersampir di balai-bal ai dan separuh lagi sel onj or di t anah. Darsa kembali mengerang panj ang.
Wiryaj i dan ist rinya segera dat ang karena mendengar j erit Lasi. Wiryaj i adalah ayah t iri Lasi dan j uga paman Darsa. Menyusul kemudian t et angga-t et angga Wiryaj i dan ist rinya segera dat ang karena mendengar j erit Lasi. Wiryaj i adalah ayah t iri Lasi dan j uga paman Darsa. Menyusul kemudian t et angga-t et angga
Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendek Darsa yang basah dil epas dengan hat i-hat i. Ada yang memaksa Darsa menenggak t elur ayam ment ah. Mereka lega set el ah menemukan t ubuh Darsa nyaris t anpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada t angan dan punggung. Tet api bau kencing t erasa sangat menyengat . Lasi pun siuman set elah seorang perempuan meniup-niup t elinganya. Selembar kain bat ik kemudian menut upi t ubuh Darsa dari kaki hingga lehernya. Lasi menangis dan menelungkup dekat kaki Darsa yang t ampak sangat pucat . Namun seseorang kemudian menyuruhnya berbuat sesuat u: menyeduh t eh panas unt uk menghangat kan t ubuh suaminya.
Tergelet ak t anpa daya, Darsa sesekali mengerang. Tet api Mukri t erus bercerit a kepada semua orang ihwal t emannya yang naas it u. Dikat akan, ia sedang sama- sama menyadap kelapa yang berdekat an ket ika musibah it u t erj adi.
"Aku t idak lupa apa yang semest inya kulakukan. Melihat ada kodok lompat , aku segera t urun. Aku t ak berkat a apa-apa. Aku kemudian melepas celana yang kupakai sampai t elanj ang bulat . Aku menari menirukan monyet sambil mengelilingi kodok yang lompat it u. "
"Bau kencing it u?" t anya ent ah siapa.
"Ya. Tubuh Darsa memang kukencingi sampai kuyup. "
"Mukri bet ul, " uj ar Wiryaj i. "It ulah srana yang harus kal ian lakukan ket ika menolong kodok lompat . Dan want i-want i j angan seorang penyadap pun boleh melupakannya. "
Wiryaj i t erus mengangguk-angguk unt uk memberi t ekanan pada nasihat nya. "Unt unglah kamu yang ada di dekat nya wakt u it u. Bila orang lain yang ada di sana, mungkin ia bert eriak-t eriak dan mengambil langkah yang keliru. Mukri, t erima kasih at as pert olonganmu yang j it u. "
"Ya. Tet api aku harus pergi dulu. Pekerj aanku belum selesai. "
"Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerj aanmu?"
Pert anyaan it u berlal u t anpa j awab. Mukri lenyap dalam kegelapan meski langkahnya masih t erdengar unt uk beberapa saat . Kini perhat ian semua orang sepenuhnya t ert uj u kepada Darsa. Lasi t ak put us menangis. Orang-orang t ak hent i menyuruh Darsa nyebut , menyerukan nama Sang Mahasant un.
Dari cerit a Mukri orang t ahu bahwa Darsa j at uh dari pohon kelapa yang t inggi. Bahwa dia t idak cedera parah, arit penyadap t idak mel ukai t ubuhnya, bahkan kat a Mukri sej ak semula Darsa t idak pingsan, banyak dugaan direka orang. Bagi Wiryaj i, kemenakan dan sekaligus menant u t irinya it u past i habis riwayat nya apabila Mukri salah menanganinya. Tet api semuanya menj adi l ain karena Mukri t idak menyimpang sedikit pun dari kepercayaan kaum penyadap ket ika menolong Darsa. At au, lebih kena adalah perkiraan l ain; ket ika melayang j at uh t ubuh Darsa t ersangga lebih dul u ol eh bat ang-bat ang bambu yang t umbuh condong sehingga kekuat an bant ingan ke t anah sudah j auh berkurang. Dan hanya Eyang Mus yang berkat a penuh yaki n bahwa t angan Tuhan sendiri yang mampu menyelamat kan Darsa. Bila t idak, Darsa akan sepert i semua penderes yang t ert impa pet aka j at uh dari ket inggian pohon kelapa; meninggal at au paling t idak cedera berat .
Pada malam yang dingin dan basah it u rumah Lasi penuh orang. Sement ara Darsa diurus oleh seorang perempuan t ua, Wiryaj i mint a saran para t et angga bagaimana menangani Darsa selanj ut nya. Ada yang bil ang, karena Darsa t idak cedera berat , perawat annya cukup dilakukan di rumah. Yang lain bilang, sebaiknya Darsa segera dibawa ke rumah sakit . Orang ini bilang, sering t erj adi
"Wiryaj i, " kat a Eyang Mus. "Keput usan berada di t anganmu. Namun aku set uj u Darsa dibawa ke rumah sakit . Bet apapun kit a harus berikht iar sebisa-bisa kit a. "
Semua orang t erdiam, j uga Wiryaj i. Lasi yang dimint a ket egasannya malah menangis. Dan Darsa kembali mengerang.
"Eyang Mus, kami t ak punya biaya, " kat a Wiryaj i set elah sekian l ama t ak bersuara. Semua orang kembali t erdiam. Eyang Mus menyandar ke belakang sehingga lincak yang didudukinya berderit . Suasana pun cepat berubah dari kecemasan menghadapi seorang kerabat yang kena musibah menj adi kebimbangan karena t iadanya biaya unt uk berobat . Dan bagi para penyadap, hal sepert i it u bukan pengalaman aneh at au baru sekali mereka hadapi.
"Las, " kat a Wiryaj i dengan suara rendah. "Kamu punya sesuat u yang bisa dij ual ?"
Semua mat a t ert uj u kepada Lasi. Dan j awaban Lasi hanya gelengan kepala dan air mat a yang t iba-t iba kembali mengambang.
"Bagaimana j ika pohon-pohon kelapa kalian digadaikan?"
"Jangan, " pot ong Eyang Mus. "Nant i apa yang bisa mereka makan?"
Mbok Wiryaj i, emak Lasi, berj alan hilir-mudik di ruang yang sempit it u.
Semua yang hadir diam. Mereka membenarkan Mbok Wiryaj i t et api mereka j uga t ahu apa art inya bila Lasi meminj am uang kepada Pak Wir. Nant i Lasi t ak boleh lagi menj ual gulanya kepada pcdagang lain dan harga yang dit erimanya selalu lebih rendah. Malangnya bagi ist r i seorang penyadap kepahit an ini masih lebih manis daripada membiarkan suami t ak berdaya dan t erus mengerang.
Wiryaj i, at as nama Lasi, pergi ke rumah Pak Tir. Meski t ahu Pak Tir biasa menolak meminj amkan uang pada malam hari, Wiryaj i berangkat j uga dengan keyakinan apa yang sedang menimpa Darsa bukan hal biasa. Sement ara Wiryaj i pergi, orang-orang sibuk mengurus Darsa. Ada yang menyeka t ubuhnya dengan air hangat agar lumpur sert a bau kencing Mukri yang membasahi t ubuhnya hilang. Darsa mengerang lebih keras ket ika luka-luka di kulit nya t erkena air. Beberapa l elaki mempersiapkan usungan darurat . Dua-t iga obor j uga dibuat dari pot ongan hambu.
Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Sisa-sisa kegiat an gunung api masih t ampak pada ciri desa it u berupa bukit -bukit berlereng curam, lembah-lembah at au j urang-j urang dalam yang t ert ut up berbagai j enis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hit am dan berhumus t ebal mampu menyimpan air sehingga sungai-sungai kecil yang berbat u-bat u dan parit -parit alam gemercik sepanj ang t ahun. Karena banyaknya parit alam yang selalu mengalirkan air, banyak sekali t it ian yang menyambungkan j alan set apak di Karangsoga. Pipa-pipa bambu dibuat orang unt uk menyalurkan air dari t empat t inggi ke kolam-kolam ikan, pancuran, at au sawah-sawah yang t anahnya t ak pernah masam karena air selalu mengalir dan mudah dikeringkan. Bila huj an t urun, air cepat t erserap ke dal am t anah sehingga t ak ada genangan dan sungai-sungai t et ap j ernih.
Kecuali di sawah dan t egalan yang merupakan bagian sempit desa Karangsoga,
Pekarangan-pekarangan yang sej uk kebanyakan berbat as deret an rumpun sal ak. Anehnya, pohon kelapa t idak t umbuh dengan baik. Ada orang bil ang Karangsoga t erlalu t inggi dari permukaan laut sehingga udaranya agak dingin, kurang cocok unt uk t anaman dari keluarga pal ma it u. Tet api ada pul a yang bilang, Karangsoga t erlalu subur unt uk t anaman selain kelapa sehingga yang t erakhir it u t ak berpeluang mengembangkan pelepah-pelepahnya. Di Karangsoga, pohon kelapa t umbuh dengan pelepah agak kuncup, karena t ak sempat mengembang dalam bulat an penuh sehingga t ak bisa menghasilkan buah yang banyak. Bol eh j adi karena keadaan it u orang Karangsoga pada generasi t erdahul u memilih menyadap pohon-pohon kelapa mereka daripada menunggu hasil buahnya yang t ak pernah memuaskan. Apalagi t upai yang berkembang biak dalam rumpun- rumpun bambu yang t umbuh sangat rapat menj adi hama kelapa yang t ak mudah diberant as.
Dahulu, sebelum mengenal pembuat an gul a kelapa, orang Karangsoga menyadap pohon aren. Nira aren adalah bahan pembuat t uak yang sudah sangat lama dikenal orang. Namun sej ak dianj urkan t idak minum t uak, orang Karangsoga mengolah nira aren menj adi gula unt uk kebut uhan sendiri. Ket ika gula aren mulai berubah menj adi baban perdagangan, orang mulai berpikir t ent ang kemungkinan pembuat an gula dari nira kelapa. Di Karangsoga penyadapan pohon kelapa berkembang sangat cepat karena, meski subur dan t ak pernah kurang air, t anah dat ar yang bisa digarap unt uk sawah dan t egalan t erlalu sempit unt uk j umlah penduduk yang t erus meningkat .
Malam it u ada usungan dipikul dua orang keluar dari salah sat u sudut Karangsoga. Iring-iringan kecil it u dipandu ol eh sebuah obor minyak, diikut i oleh seorang lelaki dan dua perempuan. Sat u obor lagi berada di ekor iring- iringan. Barisan it u menyusur j al an set apak, naik t at aran yang dipahat kan pada bukit cadas, t urun, menyeberang t it ian bat ang pinang, lalu hilang di balik kelebat an pepohonan. Muncul lagi di j alan kecil yang berdinding t ebing bukit , melint as t it ian kedua, kemudian masuk membelah pekarangan yang penuh pohon salak. Asap obor mereka menggel ombang warna kelabu, ekornya t erburai, dan makin j auh makin samar t ert elan gelap malam. Seekor kelelawar t erbang mendekat dan t ert angkap cahaya obor, berbalik dengan gerakan t ak t erduga dan lenyap. Tet api seekor belalang hij au meluncur langsung menabrak nyala obor. Sayap arinya yang t ipis t erbakar dalam sekej ap dan serangga malang it u j at uh ke t anah. Pepohonan bergoyang oleh t iupan angin dan sisa huj an t adi siang berj at uhan sepert i gerimis.
t erdengar suara erangan Darsa yang t ergelet ak dalam usungan darurat yang dit ut up kain. At au sesekali isak Lasi yang berj alan t epat di belakang usungan. Senyap. Hanya suara l angkah. Hanya suar a berbagai serangga at au bunyi kat ak hij au dari balik semak di lereng j urang. Dan desau api obor yang t erayun-ayun seirama dengan langkah orang yang membawanya.
Melewat i t it ian ket iga mereka menempuh t anj akan t erakhir sebelum masuk ke lorong yang lebih lebar dan berbat u-bat u. Dari rumah-rumah di t epi lorong it u muncul penghuni yang kebanyakan sudah mendengar t ent ang musibah yang menimpa Darsa. Mereka melipat t angan di dada, komat -kamit membaca doa bagi keselamat an kerabat yang sedang menanggung musibah. Mereka sadar bahwa nasib serupa bisa j uga menimpa suami, anak lelaki, at au saudara mereka.
Malam makin dingin ket ika usungan dan pengant arnya it u memasuki j alan besar. Dari t it ik masuk it u mereka berbelok ke barat dan akan berj alan lima kilomet er menuj u pol iklinik di sebuah kot a kewedanan. Mereka mempercepat langkah karena ada pert anda huj an akan kembali t urun. Kilat makin sering t ampak membelah langit . Ket ika langit sedet ik benderang t erlihat awan hit am mulai menggant ung. Lasi mengisak karena mendengar dari j auh suara burung hant u. Orang Karangsoga sering menghubungkan suara burung it u dengan kemat ian. Unt ung, pada saat yang sama t erdengar Darsa mengerang. Jadi bagaimana j uga keadaannya Darsa masih hidup. Dan Lasi melangkah lebih cepat mengikut i iring-iringan yang sedang berkej aran dengan t urunnya huj an, berkej aran dengan keselamat an Darsa.
Bagi siapa saj a di Karangsoga berit a t ent ang orang dirawat karena j at uh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhan penderes mengalami nasib yang j auh lebih buruk daripada musibah yang menimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si It u pat ah leher ket ika j at uh dan arit yang t ersel ip di pinggang langsung membelah perut . Si Ini j at uh t erduduk dan menghunj am t epat pada t onggak bambu sehingga diperlukan t enaga beberapa Bagi siapa saj a di Karangsoga berit a t ent ang orang dirawat karena j at uh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhan penderes mengalami nasib yang j auh lebih buruk daripada musibah yang menimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si It u pat ah leher ket ika j at uh dan arit yang t ersel ip di pinggang langsung membelah perut . Si Ini j at uh t erduduk dan menghunj am t epat pada t onggak bambu sehingga diperlukan t enaga beberapa
Namun t idak demikian halnya ket ika mereka mendengar malapet aka semacam menimpa Darsa. Orang-orang Karangsoga membicarakannya di mana-mana dengan penuh minat , penuh rasa ingin t ahu. Dan hal ini t erj adi past i bukan karena Darsa t erlalu pent ing bagi mereka melainkan karena ist rinya, Lasi! Lasi akan menj adi j anda apabila Darsa meninggal. Orang banyak mengat akan, Karangsoga akan hangat kembali oleh bisik-bisik, celot eh, dan gunj ingan t ent ang Lasi sepert i ket ika dia masih gadis. Lasi akan kembali menj adi bahan perbincangan, baik ol eh lelaki maupun perempuan. Bahkan orang j uga menduga cerit a t ent ang asal-usul Lasi dan perkosaan yang pernah dialami emaknya akan merebak lagi. At au t ent ang ayah Lasi yang menyebabkan ist ri Darsa it u memiliki penampilan sangat spesif ik, t ak ada duanya di Karangsoga.
Karangsoga, 1961, j am sat u siang. Bel di sekolah desa it u berdering. Terdengar ramai para murid memberi salam bersama kepada guru. Sepuluhan anak l elaki dan perempuan keluar dari ruang kelas enam. Lepas dari pint u kelas mereka bersicepat menghambur ke halaman dan langsung dit erpa t erik mat ahari. Anak- anak lelaki t erus berl ari meninggalkan sekolah, melesat sepert i anak-anak kambing dibukakan kandang. Tet api t iga murid perempuan berj alan biasa sambil bersenda gurau. Ket iganya berambut ekor kuda dan bert el anj ang kaki. Buku t ulis dan kayu penggaris ada pada t angan masing-masing.
Keluar dari halaman sekolah mereka melangkah menyusur j alan kampung yang berbat u-bat u, menaiki t anj akan t erj al, t urun lagi, lalu masuk lorong di bawah rimbun pepohonan dan rumpun bambu. Pada sebuah simpang t iga, seorang di ant ara ket iga gadis kecil it u memisahkan diri. Lasi dan seorang t emannya meneruskan perj alanan. Namun t ak j auh dari simpang t iga it u t eman Lasi yang t erakhir membelok ke halaman rumahnya. Sebelum berpisah, t eman ini mencubit pipi Lasi dengan nakal . "Pant as, Pak Guru suka sama kamu, karena kamu cant ik! " Teman it u kemudian lari. Lasi hanya meringis dan mengemyit kan alis. "Bet ul ? Aku cant ik?"
Kini Lasi t ak bert eman. Berj alan seorang diri, Lasi mempercepat langkah Kini Lasi t ak bert eman. Berj alan seorang diri, Lasi mempercepat langkah
Lasi menj at uhkan sebut ir t anah. Sepert i yang ia harapkan, serempak muncul empat at au lima kepit ing besar dan kecil. Dan Lasi sangat senang kepada salah sat u di ant ara binat ang air it u. Kepit ing kesukaan Lasi bukan yang paling besar, t et api ia punya t angan penj epit sangat kukuh dan hampir sama besar dengan ukuran t ubuh binat ang it u. Semua kepit ing bergerak menuj u benda yang dij at uhkan Lasi namun dengan gerak yang perkasa Si Jepit Kukuh mengusir yang lain. Lasi meremas-remaskan j arinya dan t anpa disadari mulut nya bergumam, "Tangkap dan j epit sampai remuk! "
Tak ada yang t ert angkap, t ak ada j uga yang t erj epit sampai remuk. Tet api Lasi puas dan kepit ing-kepit ing it u kembali bersembunyi. Lasi ingin mengulang pert unj ukan yang sama. Tet api ia mengangkat muka karena mendengar suara langkah dari seberang t it ian. Empat anak lelaki sebaya cengar-cengir, bersipongah. Tiga di ant ara mereka adalah t eman sekel as Lasi sendiri dan yang paling kecil dan kelihat an sebagai anak bawang adalah Kanj at , anak Pak Tir. Ket iga t eman sekelas it u biasa menggoda Lasi, baik di dalam kelas apalagi di luarnya. Kini ket iganya cengir-cengir lagi dan Lasi menat ap mereka dengan mat a membulat penuh. Pipinya sert a-mert a merona. Ada ket egangan merent ang t it ian pinang sebat ang. Kanj at yang kelihat an hanya ikut -ikut an, memandang silih bergant i dengan waj ah cemas. Tet api ket iga t emannya t erus cengar-cengir dan mul ai mengulang kebiasaan mereka menggoda Lasi.
"Lasi-pang, si Lasi anak Jepang, " uj ar yang sat u sambil memonyongkan mul ut dan menuding waj ah Lasi. Seorang lagi menj ulurkan l idah.
"Emakmu diperkosa orang Jepang. Maka pant as, mat amu kaput sepert i Jepang, " ej ek yang kedua.
"Alismu sepert i Cina. Ya, kamu set engah Cina. "
"Aku Lasiyah, bukan Lasi-pang, " t eriak Lasi membela diri.
"Lasi-pang. "
"Lasiyah! "
"Lasi-pang! Lasi-pang! Lasi-pang! Si Lasi anak Jepang! "
"Emakmu diperkosa Jepang. Emakmu diperkosa! "
Dan Lasi mencabut kayu penggaris dari ket iaknya, lari menyeberang t it ian dan siap melampiaskan kemarahan kepada para penggoda. Di bawah kesadarannya Lasi merasa j adi kepit ing bat u j ant an dengan t angan penj epit kukuh perkasa. Ia t akkan segan menggunt ing hingga put us leher ket iga anik lelaki it u. Tet api yang ada bukan t angan penj epit mel ainkan kayu penggaris. Dua penggoda lari dan seorang lagi t et ap t inggal, bahkan membiarkan punggungnya dipukul Lasi dengan kayu penggaris. Dia hanya meringis sambil t ert awa. Malah Lasi yang menangis.
Puas karena yang mereka goda sudah menangis, ket iga anak lelaki it u lari menghilang. Tet api Kanj at t ak bergerak dari t empat nya. Mat anya yang bul at dan j ernih t erus memandang Lasi yang masih berurai air mat a. Lama-lama mat a Kanj at ikut basah.
"Las, aku t idak ikut nakal, " uj ar Kanj at yang t ubuhnya lebih kecil karena usianya dua t ahun lebih muda. "Kamu t idak marah padaku, bukan?"
Lasi mengangguk dan berusaha t ersenyum. Tanpa ucapan apa pun Lasi sudah mengert i Kanj at t idak ikut nakal . Bahkan di mat a Lasi, Kanj at adalah anak kecil sangat l ucu; mat anya bulat dan t aj am, t ubuhnya gemuk dan bersih. Baj u dan celananya bagus, paling bagus di ant ara pakaain yang dikenakan ol eh semua anak Karangsoga. Pak Tir, orangt ua Kanj at , adalah pedagang pengumpul gula kelapa dan dialah orang t erkaya di Karangsoga.
Masih dengan mat a basah, Lasi meneruskan perj alanan. Kanj at mengikut inya dari belakang dan baru mengambil j alan simpang set elah Lasi sekali lagi mencoba t ersenyum kepadanya. Lasi berj al an menunduk. Langkahnya menimbulkan bunyi sampah daun bambu yang t erinj ak. Bayang-bayang rant ing bambu sepert i berj al an dan menyapu t ubuhnya. Menyeberang t it ian t erakhir, naik t at ar yang dipahat pada t anj akan bat u cadas, lalu simpailah Lasi ke sebuah rumah bambu dengan pekarangan bert epi rumpun-rumpun salak. Lasi langsung masuk kamar dan t idak keluar lagi. Panggil an Mbok Wiryaj i, emaknya, yang menyuruh Lasi makan, j uga diabaikan.
Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mat a kosong. Lasi masih t ercekam oleh pengal aman digoda anak-anak sebaya. Meskipun godaan anak- anak nakal hampir t erj adi set iap hari, Lasi t ak pernah mudah mel upakannya. Bahkan ada pert anyaan yang t erus mengembang dalam hat i; mengapa anak- anak perempuan lain t idak mengalami hal yang sama? Mengapa namanya selalu dilencengkan menj adi Lasi-pang? Dan apa it u orang Jepang? It u yang paling membingungkan Lasi; apa sebenarnya art i diperkosa? Emaknya diperkosa? Juga, mengapa banyak orang melihat dengan t at apan mat a yang aneh seakan pada dirinya ada kelainan? Apa karena dia anak seorang perempuan yang pernah diperkosa?
Pert anyaan panj ang it u membaur dan berkembang sej ak Lasi masih bocah. Selent ingan lain yang samar-samar pernah didengarnya j uga t ak kurang meresahkannya; bahwa Wiryaj i adalah ayah t iri bagi Lasi. Bahwa ayah kandungnya adalah orang Jepang yang hilang sej ak lama, sej ak Lasi masih dalam kandungan. Selent ingan l ain lagi menyebut t ent ang perkosaan at as diri emaknya dan dirinya adalah anak haram buah perkosaan it u. Tet api apa it u perkosaan? Dan hasrat sangat kuat unt uk menget ahui cerit a mana yang benar selalu membuat hat i Lasi panas. Dalam keadaan demikian hanya sat u keinginan Lasi; menj adi kepit ing j ant an dengan j epit an perkasa unt uk menggunt ing leher
Pint u kamar t iba-t iba t erbuka dan Mbok Wiryaj i masuk. Waj ah perempuan it u langsung suram ket ika melihat Lasi duduk t ermenung dengan waj ah t egang dan mat a berkaca-kaca. Bukan baru sekali Mbok Wiryaj i mendapat i anaknya dalam keadaan sepert i it u. Namun mendung di waj ah Lasi kali ini sungguh gelap. Emak dan anak saling t at ap dan Mbok Wiryaj i melihat sinar kemarahan dan kekecewaan t erpancar dari mat a Lasi. Mbok Wiryaj i t ert egun. Ingin dikat akannva sesuat u kepada Lasi namun ucapan yang hendak kel uar t eredam di t enggorokan. Ia hanya menelan ludah dan berbalik hendak kel uar. Tet api t anpa disangka Lasi memanggil nya. Anak dan emak kembali bersit at ap.
Mbok Wiryaj i menunggu apa yang hendak dikat akan anaknya. Namun Lasi hanya menat ap lalu menunduk dan mulai t erisak. Napas yang pendek-pendek menandakan ada gej ol ak yang t ert ahan dalam dada Lasi.
"Anak-anak mengganggumu lagi?"
"Selalu! " j awab Lasi t aj am. Sinar kemarahan masih t erpancar dari mat anya. Terasa ada t unt ut an yang runcing dan menusuk diaj ukan oleh Lasi; mengapa dia harus menghadapi ej ekan dan celot eh orang set iap hari. Dan Mbok Wiryaj i seakan mendengar anaknya bert eriak, "Kal au bukan karena engkau, t akkan aku mengalami semua kesusahan ini! "
Mbok Wiryaj i mendesah dan mel ipat t angan di dadanya. Perempuan it u paham dan menghayat i sepenuhnya kesusahan yang selalu mengusik hat i Lasi. Mbok Wiryaj i j uga sadar, amat sadar, kesusahan Lasi adalah perpanj angan kesusahan Mbok Wiryaj i sendiri; kesusahan yang sudah puluhan t ahun mengeram dalam j iwanya.
Sesungguhnya Mbok Wiryaj i sudah bert ekad menanggung sendiri kesusahan it u. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderit a. Namun orang Karangsoga gemar bersigunj ing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin Sesungguhnya Mbok Wiryaj i sudah bert ekad menanggung sendiri kesusahan it u. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderit a. Namun orang Karangsoga gemar bersigunj ing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin
Mbok Wiryaj i bergerak perlahan dan duduk di sebelah Lasi. Dengan mat a sayu dipandangnya anaknya yang t et ap membisu. Dalam hat i Mbok Wiryaj i bangga akan anaknya; kulit nya bersih dengan rambut hit am lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar daripada anak-anak sebayanya. Tungkainya lurus dan berisi. Dan siapa saj a akan percaya kelak Lasi akan t umbuh j adi gadis cant ik. "Lalu mengapa anakku harus menj adi bahan olokan orang set iap hari?"
Ket ika Lasi melirik, Mbok Wiryaj i t ersent ak, karena merasa ada t usukan ke arah j ant ungnya. Ya. Mbok Wiryaj i t ahu dengan cara it u anaknya mint a penj elasan banyak hal yang menyebabkan anak-anak dan j uga orang-orang dewasa sering mengej eknya. Ya. Dan Mbok Wiryaj i merasa t ak perlu lagi merahasiakan sesuat u. Ia ingin membuka semuanya. Mbok Wiryaj i siap membuka mulut t et api t iba-t iba ada yang mengganj al niat nya. Bukankah Lasi baru t iga belas t ahun? Pant askah anak seusia it u mendengar pengakuan t ent ang sesuat u yang memalukan sepert i t indak rudapaksa berahi? Mbok Wiryaj i surut . Ada pikiran baru yang mencegahnya bert erus t erang karena ia merasa saat nya belum t iba. Mungkin kelak, bila Lasi sudah berumah t angga, semua bisa dibuka unt uknya.
Mungkin karena lama dit unggu emaknya t ak berkat a sepat ah pun, Lasi j adi gelisah. Dan t anpa mengubah arah waj ahnya, sebuah pert anyaan meluncur dari mulut nya.
"Apa bet ul Wiryaj i bukan ayah saya?"
Mbok Wiryaj i t erkej ut dan mendadak meluruskan punggung.
"Ya, Las. Dia bukan ayah kandungmu, " j awab Mbok Wiryaj i agak t erbat a.
"Jadi siapa ayah saya yang sebenarnya? Orang Jepang?"
"Ya. "
Mbok Wiryaj i menelan ludah.
"Kok bisa begit u?"
"Dulu di sini banyak orang Jepang. Mereka t ent ara. "
"Kat a orang, Emak diperkosa orang Jepang. Diperkosa it u bagaimana?"
Mbok Wiryaj i menelan ludah lagi. Dan gugup, sangat gugup. Bibirnya gemet ar. Tangannya bergerak t ak menent u. Air mat a mulai mel eleh dari mat a dan hidungnya. Dan Mbok Wiryaj i kembali t erkej ut ket ika Lasi dengan suara mant ap mengulangi pert anyaannya.
"Diperkosa, art inya dipaksa, " uj ar Mbok Wiryaj i masih dalam kegagapan.
"Dipaksa bagaimana?" kej ar Lasi.
"Oalah, Las, emakmu dipaksa cabul. Mengert i?"
Mat a Lasi t erbelalak. Meski t idak j elas benar, Lasi mengert i apa yang dimaksud emaknya. Rona amarah muncul sangat j elas pada waj ahnya yang put ih. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuat u t et api Lasi hanya t ergagap. Ket ika akhirnya meluncur sebuah pert anyaan dari mul ut nya, giliran Mbok Wiryaj i yang t ergagap.
"Karena diperkosa it u kemudian Emak mengandung saya?"
"Oh, t idak, Nak! Tidak. "
"Emak bohong?"
"Oalah, Las, Emak t idak bohong. Dengarlah. Kamu lahir t iga t ahun sesudah perist iwa cabul yang amat kubenci it u. Ent ah bagaimana set elah t iga t ahun menghilang orang Jepang it u muncul lagi di Karangsoga. Kedat angannya yang kedua t idak lagi bersama bala t ent ara Jepang melainkan bersama para pemuda gerilya. Tampaknya ayahmu menj adi pelat ih para pemuda. Dan mereka, para pemuda it u, j uga Eyang Mus mint a aku memaaf kan ayahmu, bahkan aku dimint a j uga menerima lamarannya. "
"Emak mau?"
"Mula-mul a, Las, karena aku t ak bisa menolak permint aan dari pemuda dan Eyang Mus. Tet api aku akhirnya t ahu, ayahmu baik, kok. "
Sej enak Lasi t erdiam. Alisnya berkerut .
kembali, padahal kamu sudah l ima bulan dalam kandunganku. Kabarnya ayahmu meninggal dalam t awanan t ent ara Belanda. "
Lasi mengerut kan kening. Waj ahnya t et ap beku namun ket egangannya lambat laun mereda.
"Oh ya, Las, " sambung Mbok Wiryaj i, "ayahmu sepert i Cina dan agak lucu apabila pakai kain sarung dan kopiah. Kat a orang, sebenarnya ayahmu bernama Miyaki at au Misaki barangkali. Ent ahlah, namun Eyang Mus kemudian memberinya nama baru, Marj uki. "
"Marj uki? Jadi ayah saya Marj uki?"
"Ya. Dan mirip Cina. "
"Mirip Cina?"
"Bet ul. Orang Jepang memang mirip Cina. "
"Mak?"
"Apa?"
"Tet api mengapa mereka selalu bilang saya haram j adah?"
"Las, mereka t ahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tet api aku t ak t ahu mengapa mereka lebih suka cerit a palsu, barangkali unt uk menyakit i aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Ki t a sebaiknya nrima saj a. Kat a orang, nrima ngal ah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormat i pada akhirnya. "
Kamar it u mendadak senyap. Hanya suara napas Mbok Wiryaj i yang mendesah panj ang. Perempuan it u merasa t elah menurunkan sebagian besar beban yang sudah bert ahun-t ahun menindih pundaknya. Dan kini ia menat ap Lasi karena ingin membaca t anggapan at as pengakuannya. Tet api Lasi t ak bergeming. Gadis t anggung it u menat ap t anah. Jarinya mengut ik-ut ik sudut t ikar pandan. Lalu, t anpa menoleh ke emaknya, Lasi bangkit dan keluar dari kamar. Mbok Wiryaj i mengikut i dengan pandangan mat anya. Dan ia lega ket ika melihat Lasi membuka t udung saj i di at as mej a. Mbok Wiryaj i percaya, hanya hat i yang damai bisa diaj ak makan.