Rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai dan pesisir (studi kasus das dan pesisir Citarum Jawa Barat)
DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT)
EDWARSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Sistem Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir (Studi Kasus: DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
Edwarsyah
(3)
(Case Study on Citarum’s watershed and its estuary West Java). Under supervition of TRIDOYO KUSUMASTANTO, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and ARIO DAMAR
The objective of this research is to formulate a specific model of Citarum’s watershed and its Coastal Management Policy. The method applied in the research is the descriptive method or retrospective through a study case with an approach system. The multidimensional systematic approach is applied to formulate policies, to develop scenario strategies involving several stakeholders and experts on coastal areas and regional and inter sectors. The Index Value of a Sustainable Watershed and Coastal Management System (IkB-SIPDASPIR) applied in the study area according to a multidimensional Rap-SIPDASPIR method for upland, center and downstream area of the Citarum’s Watershed are 38.23; 38.27; and 33.59 respectively in a sustainability scale of 0-100. Showing a non-sustainable status. The analysis result for every dimension of development management indicates that the economical dimension for the upland, central and coastal part of the Citarum Watershed contains the highest index rate, which amounts up to 88.29. The index value is categorized ”good” or sustainable with the lowest value in ecology. The results of the statistics indicates that the Rap-SIPPDAS method is effective for application as a method to evaluate the Watershed and Coastal Management System in a specific river stream or a rapid appraisal area. The water quality condition of the upper stream, lower stream and the estuary of the Citarum Watershed is based on the index pollutant value (PI) in 12 stations which are considered highly and minor polluted with an index score of 1.30 to 6.90.The analysis results of the interest level between the factor in the first and second phase is 35 key factors/indicators the thefore the key factor/joint indicators is 16 factors. The analysis at the interest level between the factors as calculated indicates 3 keys factors that has a strong effect to the system performance and the low interdependence factor, which are: 1) the one watershed and the integrated coastal management; 2) the ecoregion
approach and 3) the institution coordination forum of Citarum’s integrated and
coastal watershed. The results of the research determine that the economical value relating with the aspects of pollution which in general involves replacement costs indicate impacts of pollution from public activities in the coastal stream for total cost of Rp 31 billion/year. The main problem, that is erosion area that at Citarum’s upland Watershed is 38.50 ton/ha/year, Center Stream of the Watershed is 306.13 ton/ha/year, with an average 164.15 ton/ha/year. The prospective design on policy suggests that watershed should be in one coordination which the management of coastal perspective. The importante factor to support the policy includes 1) integrated watershed management; 2) ecoregion approach; 3) importance of watershed characteristic; 4) socialization to stakeholders; 5) political commitment to support coordination on watershed management institutions and 6) 45% of protected area sould be kept; and 7) prevent, restore and rehabilition of the ecosystem from the destruction. Three proposed strategic scenarios for the Western Java’s Northern Coast Citarum Watershed and Coastal Areas Management Policy System: (1) a pessimistic-conservative scenario;(2) an optimistic-moderate scenario; and (3) an optimistic progressive scenario. The selected ideal design of the three scenarios for the Watershed Management Policy and West Java’s Citarum Coastal Area is the progressive-optimistic and optimistic-moderate scenario stressing the possible future condition to receive maximum support or in other words the scenario is based on the scientific way of thinking and being optimistic about
the future. The scenario design of the Citarum’s Watershed management policy
strategy is one watershed management and the integrated coastal from the progressive-optimistic scenario option, the ecoregion approach from the progressive-optimistic scenario option and an institution coordination forum of Citarum‘s Integrated Watershed from a progressive-optimistic scenario.
(4)
RINGKASAN
EDWARSYAH. Rancang Bangun Sistem Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir (Studi Kasus: DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO dan ARIO DAMAR
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan pesisir Citarum Jawa Barat yang berkelanjutan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian dengan pendekatan metode survey dan studi kasus (case study (Nazir 1999).
Pendekatan sistem digunakan untuk merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan sistem kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan pesisir yang bersifat multidimensi, melibatkan berbagai stakeholders dan pakar dibidang DAS dan pesisir lintas sektor dan wilayah.
Data kualitas air dipadukan dengan baku mutu PP RI No.82/2001 dan metode indeks pencemaran (IP) Kep Men LH No.115/2003 serta hasil analisis persepsi stakeholders, yang selanjutnya digunakan sebagai faktor untuk mengevaluasi kinerja kebijakan yang ada saat ini. Kajian pengembangan kebijakan dilakukan dengan cara mengkaji ulang kebijakan (retrospective analysis) terhadap keputusan pemerintah saat ini. Kajian tersebut dilakukan untuk mempertahankan kualitas DAS dengan menggunakan pendekatan bukan pasar yaitu command and control (CAC) yaitu administrasi dan perundang-undangan (Turner et al.1994; Fauzi 2004).
Nilai indeks keberlanjutan sistem pengelolaan DAS dan pesisir (IkB-SIPDASPIR) di DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat secara multidimensi yang dianalisis dengan metode modifikasi The Rapid Appraissal of the Status of Fisheries (Rapfish), (Kavanagh dan Pitcher 2004). Rap-SIPDASPIR menggunakan
multidimension scaling (MDS) DAS Citarum di bagian hulu, tengah hingga hilir berturut-turut adalah sebesar 38.23; 38.27; dan 33.59 pada skala sustainabilitas 0-100. Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Indeks keberlanjutan dari lima dimensi ekologi, ekonomi, sosial - budaya, teknologi dan hukum- kelembagaan pada sistem pengelolaan DAS dan pesisir bagian hulu, tengah dan hilir Citarum Jawa Barat yang dominan adalah dimensi ekonomi dengan nilai tertinggi sebesar 88.29. Hal ini disebabkan tidak adanya pengelolaan yang seimbang antara ke lima dimensi tersebut. Pengelolaan lebih cenderung terhadap pembangunan ekonomi. Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam status kategori “Baik” atau berkelanjutan dan yang paling rendah adalah dimensi ekologi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode Rap-SIPDASPIR baik untuk dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mengevaluasi sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir di suatu kawasan atau wilayah secara cepat (rapid appraissal).
Hasil analisis status kualitas air di DAS bagian hulu, hilir dan muara Citarum berdasarkan nilai indeks pencemaran (IP) pada 12 stasiun tergolong dalam kriteria cemar sedang sampai cemar ringan dengan indeks skor sebesar 1.30 sampai dengan 6.90.
Hasil model ekonomi dampak pencemaran untuk menduga nilai ekonomi pencemaran DAS Citarum dilakukan berdasakan beban pencemaran yang diindikasi oleh beban COD. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa pada bagian hulu, jumlah polutan berjumlah 7.236 ton COD per tahun (total polutan diwakili oleh parameter COD) dengan nilai ekonomi sebesar Rp 979.309.621.170 ( Rp 979.3 milyar/th). Di bagian tengah jumlah polutan sebesar 99.515 kg COD dengan nilai ekonomi Rp 13.466.974.281.750 (Rp 13.4 triliun/th). Sedangkan di bagian hilir jumlah polutan sebesar 236.072 kg COD dengan nilai ekonomi
(5)
bahwa nilai total dampak pencemaran oleh aktivitas industri dan domestik di bagian hulu- hilir adalah sebesar Rp 31 triliun.
Hasil analisis sistem dinamik erosi yang terjadi pada DAS Citarum hulu, tengah dan hilir rata-rata berkisar dari 38.50 ton/ha/th sampai 306.13 ton//ha/th 164.15 ton/ha/th. Erosi tertinggi terjadi pada bagian tengah DAS Citarum kemudian bagian hulu dan hilir.
Ada tiga skenario strategi sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat, yaitu: (1) skenario konservatif-pesimistik; (2) skenario moderat-optimistik; dan (3) skenario progresif-optimistik (Bourgeois, 2004 dan Hartrisari, 2002).
Analisis prospektif mampu mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Dua tahap analisis yang telah dilakukan yaitu existing condition dan need analysis memberikan gambaran tentang keadaan (existing condition) sistem pengelolaan DAS, pesisir dan laut di wilayah studi saat ini. Analisis prospektif bertujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berperan penting terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Hasil identifikasi faktor kunci/penentu berdasarkan hasil need analysis dari para pemangku kepentingan utama didapatkan sebanyak 42 faktor kunci/penentu untuk mewujudkan sistem yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor dari ke 42 faktor yang teridentifikasi didapatkan sebanyak sepuluh faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tersebut juga kuat. Analisis tingkat kepentingan antar faktor menunjukkan bahwa terdapat dua faktor penentu/kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: (1) forum koordinasi kelembagaanDAS Citarum terpadu, (2) pendekatan ecoregion, serta empat faktor yang mempunyai pengaruh besar walaupun ketergantungan antar faktor tinggi, yaitu: (1) political commitment (2) penegakkan hukum lingkungan, (3) kawasan lindung 45% dan (4) cegah dan perbaiki pencemaran dan kerusakan. Dengan demikian keenam faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa depan agar terwujud sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat.
Analisis tingkat kepentingan antar faktor pada DAS hulu Citarum memiliki tiga faktor penentu/kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: (1) pendekatan ecoregion; (2), satu manajemen DAS dan (3) karakteristik DAS. Ketiga faktor tersebut yang berpengaruh sangat kuat sebagai faktor penentu yaitu satu manajemen DAS dan pesisir terpadu. Faktor satu manajemen DAS dan pesisir terpadu perlu dikelola dengan baik dan dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa depan agar terwujud sistem kebijakan pengelolaan DAS, dan Pesisir Citarum bagian hulu Jawa Barat.
Analisis tingkat kepentingan antar faktor pada DAS tengah Citarum memiliki dua faktor penentu/kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: (1) sosialisasi dan implementasi kajian naskah akademik; (2) pendekatan ecoregion. Dari kedua faktor penentu tersebut yang berpengaruh sangat kuat sebagai faktor penentu yaitu sosialisasi dan implementasi kajian naskah akademik. Artinya, faktor pendekatan sosialisasi dan implementasi kajian naskah akademik perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa depan agar terwujud sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum bagian tengah Jawa Barat.
(6)
Analisis tingkat kepentingan antara faktor pada DAS hilir Citarum terdapat dua faktor penentu/kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang rendah yaitu: (1) forum koordinasi kelembagaan DAS Citarum terpadu dan (2) Insentif. Kedua faktor tersebut yang berpengaruh sangat kuat sebagai faktor penentu adalah forum koordinasi kelembagaan DAS Citarum terpadu. Faktor forum koordinasi kelembagaan DAS Citarum terpadu perlu penguatan lembaga sebagai arah pencapaian visi dan dibuat berbagai keadaan (state) yang akan terjadi di masa depan agar terwujud sistem kebijakan pengelolaan DAS, pesisir dan laut di bagian DAS hilir Citarum Jawa Barat.
Rancang bangun dampak skenario dan implementasi kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat bagian hulu, tengah dan hilir berturut-turut adalah satu manajemen DAS dan pesisir terpadu, sosialisasi dan implementasi kajian naskah akademik dan forum koordinasi kelembagaan DAS Citarum terpadu dari skenario progresif-optimistik. Kebijakan strategi tersebut diperlukan oleh kemampuan dari stakeholders yang mengimplementasikan dan urgensi permasalahan.
(7)
DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT)
EDWARSYAH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
(8)
Judul Disertasi : Rancang Bangun Sistem Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir (Studi Kasus: DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat)
Nama : Edwarsyah NIM : C 226014021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS.
Ketua
Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
(9)
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(10)
PRAKATA
Hasbiyallahu wa ni’mal wakil. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilakukan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan perairan pesisir Citarum Jawa Barat, merupakan DAS terpanjang di Jawa Barat yang sangat strategis, dimana di dalamnya terdapat tiga bangunan vital (Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur) yang berperan dalam suplai air bagi masyarakat sekitar dan listrik bagi masyarakat Jawa dan Bali serta dua bangunan di hilir (Bendung Curug dan Walahar).
Kebijakan yang berjalan saat ini belum kondusif dan sangat keritis bagi keberlangsungan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan DAS, yaitu keberlanjutan fungsi waduk, kelestarian ekosistem wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan kelembagaan bersifat koordinatif dan terpola secara utuh dalam pengelolaan DAS Citarum, hulu, tengah hingga hilir dengan konsep satu kebijakan untuk satu menajemen DAS, pesisir, dan lautan terpadu, dalam satu wadah sebagai central gravity atau katalisator. Kelembagaan tersebut dapat dibentuk dengan inisiatif sebuah forum DAS, pesisir, dan lautan dengan sebutan Forum IRCOM Citarum. Forum tersebut akan berjalan yaitu harus adanya payung hukum atau mandat untuk diimplementasi dan disosialisasikan terus-menerus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan DAS, pesisir dan laut terpadu.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Alm. Bapak Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA, Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA dan Bapak Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, petunjuk dan saran. Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA selaku penguji luar Komisi pada Ujian Sidang Tertutup juga penghargaan serta ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Asep Karsidi, M.Sc. (Deputi Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat Bidang Kerawanan Sosial) dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, Dekan FPIK IPB, Bapak Dr. Ir. Indra Jaya ,M.Sc, Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, Ketua PS SPL-SPs-IPB dan Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku tim penguji pada ujian disertasi tertutup dan terbuka sebagai anggota yang telah bersedia dan memberikan kontribusi dalam penyempunaan disertasi, Pemkab Aceh Barat, UTU Meulaboh, BPPT, PKSPL-IPB, BIOTROP, BP DAS Citarum-Ciliwung, Bappeda dan BPLHD Jawa Barat yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga kakanda Haji Said Zulkarnain, SE, Dr. Luky Adrinto, Dr. Wonny, Dr. Wangsaatmaja S, Dr. Sofyan, Dr. Abu Bakar, Dr. Asbar, Dr. Indra, Dr. Nikki, Cecep Sudirman, Kang Hary, Aan, Dedy, Deny, Tasiran, Ina, Hairul, Muis, Subhan, Suhana, Dek Mun rekan mahasiswa PS SPL –SPs-IPB, Dept. MSP, beserta staf PS SPL–SPs-IPB, rasa hormat yang sangat mendalam kepada ayahanda tercinta Alm Idris bin Ishak, Ibunda Nurhayati binti Yunan dan ayahanda mertua Alm Haji Said Abbas bin Said Saleh Alyidrus, ibunda mertua Alm Syarifah Habibah binti Said Abdul Latif, Istri, anak-anak dan saudara-saudara penulis, pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.
Penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat dalam pengelolaan DAS, Pesisir secara terpadu.
Bogor, Januari 2008
(11)
Disertasi ini khusus Penulis hadiahkan Kepada yang amat sangat kucintai (Alm) IDRIS ISHAK, Ayah yang telah membesarkanku dengan segala Keikhlasannya sehingga saya seperti ini !!!
(12)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Banda Aceh, 11 Pebruari 1969 dari Almarhum ayahanda Idris bin Ishak dan Ibu Nurhayati binti Yunan. Penulis merupakan anak ke tiga dari delapan bersaudara.
Suami dari Syarifah Wirdah, S.Pd., M.Si dan dikaruniai 2 orang anak yaitu Farras Arkansyah (Meulaboh, 8 Mei 2002) dan Fayyadh Atthasyah (Kota Bogor, 19 Agustus 2004). Pada tahun 1983, penulis lulus SD Negeri 36, 1986 lulus SMP Negeri 7 dan tahun 1989 lulus SMA Negeri 2, semua pendidikan tersebut diselesaikan di Kota Banda Aceh. Selanjutnya penulis menyelesaikan S1 Fakultas Pertanian Unsyiah Banda Aceh, Jurusan Sosial Ekonomi tahun 1995. Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai PNS pada Pemda Kabupaten Aceh Barat. Pada tahun 1999 penulis diberikan kesempatan sebagai PNS mahasiswa tugas belajar dari Pemda Kabupaten Aceh Barat pada program S2 Konservasi Sumberdaya Lahan Program Pascasarjana Unsyiah Banda Aceh dan lulus tahun 2001. Selanjutnya 2002 penulis kembali mendapat kesempatan sebagai mahasiswa tugas belajar dari Pemda yang sama pada pendidikan program S3, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SPs-IPB Bogor.
Pada 17 Agustus 1996 penulis terpilih sebagai Awak Kenderaan Umum Teladan Nasional (AKUT TELADAN) di Istana Presiden Jakarta. Penulis pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Penyusunan Program di Dinas Kelautan dan Perikanan 2002 dan Pj.Kepala Seksi Penyuluhan Dinas Perikanan Kabupaten Aceh Barat, 1999. Penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai Ketua Umum OSIS, SMA Negeri 2 Banda Aceh tahun 1988-1989, Ketua Umum Senat Mahasiswa, Fakultas Pertanian Unsyiah Banda Aceh tahun1992-1993, Pengurus Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) 1993, Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana-Unsyiah) tahun 2001-2002, Sekretaris III Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana-IPB) 2002-2003 dan Koordinator Bidang Riset dan Alumni Forum Mahasiswa Pascasarjana Pesisir dan Lautan IPB tahun 2002-2003.
Penulis juga sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar Meulaboh Aceh Barat Nanggroe Aceh Darussalam dan saat ini sebagai Wakil Rektor IV Universitas Teuku Umar Meulaboh Aceh Barat.
Selama mengikuti pendidikan program S3, penulis menjadi anggota Masyarakat Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia (MSKPI). Karya Ilmiah berjudul Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan DAS dan Pesisir telah disajikan pada Konferensi Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia di Kampus FPIK-IPB Bogor pada tanggal 17-18 Juli 2007 dan akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Sebuah naskah artikel dengan judul Rancang Bangun Sistem Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir (Studi Kasus: DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat) sedang menunggu penerbitan di jurnal Forum Pascasarjana. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
(13)
i
Halaman
DAFTAR TABEL……….. iv
DAFTAR GAMBAR………..… vii
DAFTAR LAMPIRAN……….…. xii
PENDAHULUAN……….…. 1 1 5 6 6 Latar Belakang………..… Perumusan Masalah……….... Tujuan Penelitian……….. Manfaat Penelitian……… Ruang Lingkup Penelitian……… 7
TINJAUAN PUSTAKA………. 9
Daerah Aliran Sungai (DAS)……….. 9
Proses Erosi di Hulu Sungai... 12
Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Erosi dan Sedimentasi……… 12
Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Kualitas Air Sungai…………. 13
Batas Kawasan Pesisir……… 16
Kaidah Holistik dan Keberlanjutan dalam Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir……….. 19
Ekosistem Mangrove……….…………. 25
Integrated River Basin Coastal and Ocean Management (IRCOM) … 26 Pentingnya Kawasan Pengelolaan DAS di Daerah Pesisir dan Laut secara Terpadu (IRCOM)……….. 31
Peran DAS dalam Keterkaitan Ekologis Hulu-Hilir………. 32
Kaitan antara DAS, Pesisir dan Laut…...……….. 33
Mengelola Pantai dan Sungai……… 34
Memperluas Domain Pengelolaan……… 35
Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure)………...… 37
Kebijakan………...…. 37
Pendekatan Sistem………..… 41
Sistem dan Jenis Sistem………. 42
Sistem... 42
Jenis Sistem……….. 42
Model………..… 43
METODOLOGI PENELITIAN………. 46
Kerangka Pemikiran………. 46
51 52 53 57 59 60 61 61 Lokasi dan Waktu Penelitian………... Metode Penelitian………. Data Yang Dikumpulkan... Teknik Pengambilan Contoh.………. Metode Analisis Data……… Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Indeks Pencemaran... Analisis Sistem dan Informasi Geografi dan Remote Sensing... Analisis Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran Metode Biaya Pemulihan……… Analisis Keberlanjutan Sistem Pengelolaan DAS dan Pesisir... 64
(14)
ii 68 71 72 75 Prakiraan Erosi Metoda Universal Soil Loss Equation (USLE)……….
Analisis pendekatan sistem... Analisis Kebutuhan... Formulasi Permasalahan...
Analisis Prospektif... 80
PROFIL DAERAH STUDI……….. 84
Letak Geografis dan Luas ...……….. 84
Kondisi Fisik Dasar……… 86
Klimatologi……….. 86
Penggunaan dan Penutupan Lahan……….. 86
Lahan Kritis dan Tingkat Bahaya Erosi... 90
Kemiringan Lereng... 90
Geologi... 91
Hidrologi dan Sumber Daya Air ... 92
Morfologi... 94
Hidro-Oseanografi……… 94
Kependudukan... 101
Jumlah dan Perkembangan Penduduk……….. 101
Persepsi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam di DAS Citarum… 104 Perekonomian……… 105
Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove……….. 105
ISU DAN PERMASALAHAN………. 107
Isu dan Permasalahan……… 107
Status Mutu Perairan...……...……….. 107
Indeks Pencemaran...…...……..………… 110
Aspek Sosial Ekonomi……….. 115
Estimasi Kekeruhan dengan Citra Satelit Landsat ETM +7…... 115
Waduk Saguling……… 116
Waduk Cirata……….……… 118
Waduk Jatiluhur….……… 119
Muara dan Pesisir Citarum………. 121
Kualitas Perairan Pesisir dan Laut………. 123
Kondisi Ekosistem Pesisir……… 125
Ekosistem Mangrove……… 125
Aspek Sosial………...……….. 128
Kebijakan Saat Ini………. 128
Aspek Kebijakan……… 129
Aspek Kelembagaan………. 132
Unsur Pemerintah………. 132
Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (TRP)……….. 133
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (PSDA)……….. 134
Dinas Kehutanan………. 135
Dinas Perindustrian………. 136
Dinas Perikanan ………. 136
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)…... 137
Badan Pengendalian Lingkungan Daerah (BPLHD)……….. 137
Unsur Lembaga Swadaya Masyarakat………. 140
Unsur Perguruan Tinggi……….. 140
(15)
iii
DAS dan Pesisir ……… 142
IDENTIFIKASI RANCANG BANGUN MODEL PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT... ………… 172
Analisis Prospektif………. 172
Pemodelan Sistem Pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat………..………… 176
Model Ekonomi Dampak Pencemaran………. 179
Beban Pencemaran DAS Citarum………. 180
Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran………... 183
Biaya Pokok Pengendalian Limbah (BPPL) 183 Nilai Ekonomi Dampak Pencemaran oleh Industri………. 185
Model Erosi DAS Citarum……….. 187
Pendugaan Faktor Erosivitas Hujan (R)... 187
Pendugaan Faktor Erodibilitas (K)... 189
Pendugaan Faktor Lereng (LS)... 190
Pendugaan Faktor Tanaman/Vegetasi (C)... 190
Pendugaan Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P)... 190
Sub Model Erosi Sub DAS Ciwidey..………... 190
Sub Model Erosi Sub DAS Citarum Hulu………... 192
Sub Model Erosi Sub DAS Citarum Tengah………... 194
Sub Model Erosi Sub DAS Citarum Hilir………... 195
Sub Model Erosi Citarum………. 196
Pendugaan Faktor Tanaman/Vegetasi (C)... 197
Pendugaan Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P)... 197
Erosi yang masih dapat Dibiarkan (ET)………. 199
Penetapan Laju Pembentukan/Penambahan Tanah……….. 200
SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT………. 201
Skenario Strategi Pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Hulu……… 202
Skenario Strategi Pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Tengah….. 205
Skenario Strategi Pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Hilir…...….. 207
Implikasi Kebijakan Pendekatan Ecoregion………. 211
RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT……….………. 213
Kelembagaan Sebagai Aturan Main……….. 213
Rancangan Kelembagaan Pengelola DAS Citarum... 213
Dampak Skenario dan Rancangan Implementasi DAS dan Pesisir Citarum Hulu... 228
Dampak Skenario dan Rancangan Implementasi DAS dan Pesisir Citarum Tengah... 232
Dampak Skenario dan Rancangan Implementasi DAS dan Pesisir Citarum Hilir... 234
KESIMPULAN DAN SARAN………. 236
Kesimpulan………. 236
Saran……… 237
DAFTAR PUSTAKA……… 238
(16)
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Sumber pencemar wilayah pesisir dan lautan……….. 17 2 Praktek penentuan batasan kawasan pesisir di beberapa negara…… 20 3 Jenis informasi dan bentuk kebijakan……… 41 4 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian………. 56 5 Pengambilan contoh parameter fisik-kimia, alat dan metode
kualitas air ……….. 57 6 Posisi stasiun pengamatan kualitas air di lokasi DAS hulu,
Hilir dan muara Citarum Jawa Barat……….. 58 7 Penentuan status mutu air berdasrkan indeks pencemaran …………. 63 8 Komponen biaya pengolahan limbah ……… 65 9 BPPL industri yang disurvei………. 65 10 Kategori status keberlanjutan sistem pengelolaan
DAS dan pesisir………. 69 11 Kelas struktur tanah……….. 71 12 Kelas permeabilitas profil tanah……… 71 13 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders)
yang terlibat dalam pengelolaan DAS dan pesisir……… 76 14 Matrik pengaruh dan ketergantungan faktor dalam
sistem pengelolaan DAS dan pesisir……….. 84 15 Pedoman penilaian analisis prospektif……… 84 16 Luas per Sub DAS pada DAS Citarum Jawa Barat………. 87 17 Luas penggunaan lahan di DAS dan pesisir Citarum hulu
Tengah dan hilir Jawa Barat……… 87 18 Data klimatologi rata-rata bulan di wilayah studi tahun 2000…………. 88 19 Penggunaan lahan per Sub DAS di kawasan DAS Citarum ………… 91 20 Prosentase Luas DAS Citarum Berdasarkan Kemiringan Lahan…….. 93 21 Wilayah Administratif DAS Citarum dan Wilayah yang Dipengaruhinya……….
99 22 Jumlah penduduk kawasan DAS Citarum Tahun (1996-2000)……….. 102 23 Jumlah responden kawasan DAS Citarum berdasarkan
Pendapatan... 104 24 Indeks Pencemaran (IP) menurut golongan pada stasiun 113 25 Hasil analisis Rap-SIPDASPIR Citarum hulu untuk
Beberapa parameter statistik………... 174 26 Hasil analisis Rap-SIPDASPIR Citarum tengah untuk
Beberapa parameter statistik………... 174 27 Hasil analisis Rap-SIPPDAS Citarum hilir untuk
Beberapa parameter statistik………... 174 28 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai iKB-SIPDASPIR
dan masing-masing dimensi sistem dengan selang kepercayaan
95% di DAS bagian hulu DAS Citarum………... 176 29 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai iKB-SIPDASPIR
dan masing-masing dimensi sistem dengan selang kepercayaan
95% di DAS bagian tengah DAS itarum………... 176 30 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai iKB-SIPDASPIR
(17)
v
condition dan need analysis……….. 179
32 Jumlah COD di bagian hulu, tengah dan hilir DAS Citarum ………… 186 33 Laju debit air di bagian hulu, tengah dan hilir DAS Citarum………….. 186 34 Volume air di bagian hulu, tengah dan hilir DAS Citarum………. 186 35 Jumlah COD dibagian hulu, tengah dan hilir DAS Citarum………….. 187 36 Perubahan jumlah COD selama 10 tahun pada DAS Citarum………. 188 37 Industri yang disurvei untuk menganalisis BPPL………. 188 38 Biaya rata-rata pengolahan limbah pada berbagai industri………….. 189 39 Struktur biaya pengeloahan limbah pada berbagai Industri………….. 189 40 Jumlah limbah yang dapat diolah oleh IPAL dan BPPL………. 190 41 Valuasi ekonomi dampak pencemaran oleh aktivitas
Masyarakat Sub DAS Citarum………. 191 42 Hasil simulasi model nilai ekonomi dampak pencemaran
di DAS bagian hulu, tengah dan hilir DAS Citarum ……… 191 43 Faktor erosivitas hujan (R) daerah sungai Citarum... 193 44 Curah hujan rerata bulanan di DAS Citarum Tahun 1993 s/d
2002 (dalam mm)... 196 45 Curah hujan maksimum selama 24 jam rerata bulanan di daerah
hulu sungai Citarum tahun 1993 s/d 2002 (dalam mm)... 194 46 Hari hujan rerata bulanan di Daerah sungai Citarum tahun
1993-2002... 194 47 Kehilangan tanah rerata tahunan (A) di i Sub DAS
di DAS Citarum……….. 203 48 Kelas bahaya erosi……….. 204 49 Pedoman penetapan nilai ET untuk tanah di Indonesia……… 204 50 Prospektif faktor kunci/penentu sistem kebijakan
Pengelolaan DAS dan pesisir Citarum bagian hulu ……… 207 51 skenario strategi pengembangan sistem kebijakan
Pengelolaan DAS hulu Citarum……….. 208 52 Prospektif faktor kunci/penentu sistem kebijakan
Pengelolaan DAS dan pesisir Citarum bagian tengah……….. 210 53 skenario strategi pengembangan sistem kebijakan
Pengelolaan DAS tengah Citarum……….. 211 54 Prospektif faktor-faktor kunci/penentu sistem kebijakan
Pengelolaan DAS dan pesisir Citarum bagian hilir ……… 213 55 skenario strategi pengembangan sistem kebijakan
Pengelolaan DAS hilir Citarum……….. 218 56 Dampak Skenario dan Implementasi Pengelolaan DAS dan Pesisir
Citarum Hulu... 233 57 Dampak Skenario dan Implementasi Pengelolaan DAS dan Pesisir
Citarum Tengah... 237 58 Dampak Skenario dan Implementasi Pengelolaan DAS danPesisir
(18)
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta Citra Satelit Landsat ETM +7 batas wilayah studi………. 8
2 Interaksi kegiatan manusia dan dampaknya terhadap Kualitas lingkungan………. 16
3 Komponen spatial dari IRCOM ……….. 35
4 Pengelolaan DAS, pesisir dan lautan terpadu 35 5 Penetapan kebijakan yang ideal dan proses Implementasi………….. 39
6 Kerangka pemikiran pembentukan rancang bangun sistem Kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum ……..……….……… 51
7 Peta lokasi wilayah penelitian pengelolaan daerah aliran Sungai dan pesisir Citarum Jawa Barat………. 52
8 Ilustrasi indeks keberlanjutan sistem pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat………. 65
9 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi sistem pengelolaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat……… 65 10 Tahapan Proses analisis Rap-SIPDASPIR menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish………. 67
11 Diagram lingkar sebab akibat (cousal-loop) sistem kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat……… 76
12 Diagram input-output sistem kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat………. 80
13 Tingkat pengaruh dan ketinggian antar faktor dalam sistem………… 83
14 Peta geologi kawasan Daerah Jawa Barat………. 92
15 Grafik persepsi terhadap sumberdaya alam di kawasan DAS Citarum Jawa Barat………. 105
16 Profil sebaran TSS setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara... 108
17 Profil sebaran COD setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara... 108
18 Profil sebaran BOD setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara... 109
19 Profil sebaran NO3-N setiap stasiun di DAS hulu, hilir dan muara... 110
20 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan I di DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran……….. 112
21 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan II di DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran……….. 112
22 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan III di DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran……….. 113
23 Grafik tingkat status kualitas air menurut baku mutu golongan IV di DAS Citarum Jawa Barat dengan Indeks Pencemaran………. 114
24 Peta kekeruhan Waduk Saguling DAS Citarum……….. 117
25 Model 3 dimensi kedalaman perairan Waduk Saguling DAS Citarum………... 117 26 Peta kekeruhan Waduk Cirata DAS Citarum ………... 118
27 Kedalaman perairan Waduk Cirata DAS Citarum dalam model 3 dimensi………..….. 119
28 Peta kekeruhan Waduk Jatiluhur DAS Citarum……….. 120
29 Kedalaman perairan Waduk Jatiluhur DAS Citarum dalam model….. 3 dimensi……… 121
(19)
vii dimensi ...……...……….…… 123 32 Peta tingkat kekeruhan pada Sub DAS Citarum hilir………. 124 33 Peta perubahan luasan mangrove Sub DAS Citarum Hilir…….…….. 126 34 Peta ekosistem luasan mangrove tidak berubah Sub DAS Citarum Hilir……….
127 35 Kondisi kerapatan mangrove DAS dan pesisir Citarum……….. 128 36 Kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dikoordinasikan Oleh
Departemen Pekerjaan Umum dan hubungannya dengan Pemda
dalam pengelolaan DAS dan Pesisir dan Kabupaten Karawang…….. 130 37 Struktur Kelembagaan Pemda Provinsi Jawa Barat……… 133 38 Analisis Rap-SIPDASPIR yang menunjukkan nilai IkB- SIPDASPIR
di DAS Citarum hulu Jawa Barat……… 143 39 Analisis Rap-SIPDASPIR yang menunjukkan nilai IkB-SIPDASPIR
di DAS Citarum tengah Jawa Barat……… 143 40 Analisis Rap-SIPDASPIR yang menunjukkan nilai IkB-SIPDASPIR
di DAS Citarum hilir Jawa Barat……… 144 41 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks
sustainabilitas dimensi ekologi……… 144 42 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian hulu…. ………. 145 43 Analisis Rap- SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai
indeks sustainabilitas dimensi ekologi……… 148 44 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian tengah ………. 149 45 Analisis Rap- SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks
sustainabilitas dimensi ekologi……… 150 46 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian hilir…... …………. 151 47 Analisis Rap-SIPDAS bagian tengah yang menunjukkan nilai indeks
sustainabilitas dimensi ekonomi……… 152 48 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian tengah. ……… 153 49 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian hulu. ………. 154 50 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks
sustainabilitas dimensi sosial-budaya……… 155 51 Peran masing-masing atribut sosial-budaya yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMSIkB-SIPDASPIR bagian tengah ………. 156 52 Analisis Rap- SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks
sustainabilitas dimensi sosial-budaya……… 157 53 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks
sustainabilitas dimensi teknologi……… 158 54 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah...…………. 159 55 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai
Indeks sustainabilitas dimensi teknologi……… 160 56 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam
(20)
viii
bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian tengah ………. 161
57 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi teknologi……… 161
58 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB-SIPDASPIR bagian hilir….. ………. 162
59 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hulu yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan……… 163
60 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian hilir……… 164
61 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian tengah yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan……… 165
62 Analisis Rap-SIPDASPIR bagian hilir yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan……… 166
63 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS IkB- SIPDASPIR bagian hilir……...……… 167
64 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir Citarum hulu, Tengah dan Hilir……… 168
65 Tingkat kepentingan faktor-faktor existing condition yang Berpengaruh pada sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir…. 173 66 Tingkat kepentingan faktor-faktor need analysis yang Berpengaruh pada sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir…. 173 67 Tingkat kepentingan faktor-faktor gabungan existing condition dan need analysis berpengaruh pada sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir bagian hulu……… 174
68 Tingkat kepentingan faktor-faktor gabungan existing condition dan need analysis berpengaruh pada sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir bagian tengah……… 175
69 Tingkat kepentingan faktor-faktor gabungan existing condition dan need analysis berpengaruh pada sistem kebijakan pengelolaan DAS dan pesisir bagian hilir……… 176
70 Struktur model konseptual ekonomi dampak pencemaran pada DAS Citarum…... 178
71 Struktur model erosi Sub DAS Ciwidey DAS Citarum …... 191
72 Struktur model erosi Sub DAS Citarik DAS Citarum …... 192
73 Struktur konseptual model erosi DAS Citarum Hulu... 193
74 Struktur model erosi DAS Citarum tengah………... 194
75 Struktur model erosi DAS Citarum hilir ………... 195
76 Struktur model erosi DAS Citarum Jawa Barat... 196
77 Grafik perubahan ketebalan tanah DAS Citarum……… 200
78 Skema kelembagaan pengelola DAS dan Pesisir Citarum... 213
79 Struktur Organisasi Forum DAS dan Pesisir Citarum………. 215
80 Kebijakan dinamis satu manajemen DAS dan pesisir terpadu………. 217
81 Forum kelembagaan terkoordinasi dan terpadu dalam pengelolaan DAS dan pesisir Citarum……….. 219
82 Rancang bangun Kebijakan Model Koordinasi ……….. Kelembagaan DAS dan pesisir Citarum Jawa Barat………. 223
(21)
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Nilai rata-rata pengamatan kualitas air parameter fisika dan kimia…. 247
2 Biaya pokok pengelolaan limbah rata-rata (BPPL rata-rata)………….. 248
3 Atribut-atribut penting dan skor keberlanjutan sistem pengelolaan Pesisir dan DAS Citarum Jawa Barat... 249
4 Nilai faktor C pada beberapa jenis tanaman di Indonesia... 253
5 Peta penyebaran pembagian Sub DAS Citarum... 254
6 Peta curah hujan DAS Citarum Jawa Barat... 255
7 Peta penutupan lahan DAS Citarum Jawa Barat... 256
8 Peta tingkat bahaya erosi DAS Citarum Jawa Barat... 257
9 Peta tanah DAS Citarum Jawa Barat... 258
10 Peta lereng DAS Citarum Jawa Barat... 259
11 Formulasi model persamaan nilai ekonomi pencemaran pada DAS Citarum... 260
12 Formulasi model persamaan laju COD hulu, tengah dan hilir... 263
13 Faktor Erodibilitas Tanah (K) DAS Citarum... 264
14 Faktor Lereng (LS) DAS Citarum... 266
15 Faktor Tanaman/Vegetasi (C) DAS Citarum... 268
16 Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P) DAS Citarum... 270
17 Formulasi model persamaan erosi DAS Citarum hulu, tengah, hilir.... 272
(22)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 terdapat aturan mengenai kewenangan daerah provinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan dan pemerintah Kabupaten/Kota berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut seperti tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat 2 dan 3. Sedangkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 mengandung aturan tentang pembagian alokasi pendapatan antar pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan laut (Pasal 6 ayat 5). Selain itu, pada Pasal 13 Ayat 3 dan Pasal 14 (h) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, wilayah sungai strategis nasional menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan bukan menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kondisi ini menyebabkan lembaga-lembaga terkait yang menangani wilayah DAS Citarum bagian hulu, tengah, hilir dan pesisir hingga lautan ditingkat pemerintah daerah kurang berfungsi dan berperan untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan bagi efektivitas sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih, dengan konsekuensi masing-masing sektor dan daerah berjalan sendiri-sendiri, sehingga keterpaduan belum dapat terealisir dengan baik.
Lahirnya ketiga peraturan tersebut menunjukkan adanya pergeseran paradigma pembangunan dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam DAS, pesisir dan lautan (IRCOM) berserta ekosistemnya yakni rezim yang sentralistik ke desentralistik. Undang-Undang No. 32/2004 dengan Undang-Undang No.7/2004 telah terjadi paradoks dan kontradiktif dimana Undang-Undang No. 32/2004 menyebutkan peran Kabupaten/Kota lebih dominan dan Provinsi akan lebih berperan sebagai fasilitator, terutama atas berbagai kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota. DAS Citarum meskipun bersifat lintas Kabupaten/Kota, namun tetap disadari bahwa 10 Kabupaten/Kota di DAS
(23)
Citarum yang berkepentingan dan sangat berpengaruh terhadap keberadaan sungai Citarum Jawa Barat.
Kusumastanto (2003) ocean policy sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan komunitas negara maju di dunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada objektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan atas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar. Ocean policy selanjutnya didukung oleh instrumen pembangunan ekonomi dengan visi Ocean Economics
(OCEANOMICS) yang mampu mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan didukung oleh pilar-pilar ekonomi sumberdaya daratan (land based resource) yang tangguh dan mampu bersaing dalam kancah kompetisi global antar bangsa. Visi ini sangat penting karena didukung fakta bahwa dalam tahun 1998 kontribusi PDB menurut lapangan usaha adalah pertanian 12.62% pertambagan dan penggalian 4.21% industri manufaktur 19.92%, jasa-jasa 41.12% dan kelautan 20.06% (Kusumastanto 2001).
Konsep di atas perlu untuk dipertimbangkan untuk membangun sinergisitas dan dikolaborasikan menjadi sebuah konsep “Integrated River Basin Coastal and Ocean Management” (IRCOM) sebagai landasan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan sumberdaya air di DAS pesisir dan lautan secara terpadu (UNEP, 1996 dan Kusumastanto, 2006).
Sungai sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, karena fungsinya untuk transportasi, sumber air bagi masyarakat perikanan, pemeliharaan idelologi, rawa dan lahan basah. Sebagai alat angkut sungai membawa sedimen (lumpur, pasir), sampah, limbah dan zat hara melalui berbagai macam kawasan lalu akhirnya ke laut. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilaluinya harus memandang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu sistem terintegrasi. Artinya tanggung jawab perilaku terhadap sungai tidak dapat hanya dibebankan kepada kabupaten yang mempunyai hulu sungai, namun merupakan tanggung jawab bersama (Sulasdi, 2000).
Secara spasial, buruknya kondisi satuan wilayah sungai (SWS) DAS Citarum ini merupakan konsekuensi diabaikannya prinsip dasar penataan ruang yakni keharmonisan fungsi ruang untuk kawasan lindung, konservasi, budidaya dan non-budidaya. Pesatnya kegiatan pembangunan di Pulau Jawa dewasa ini
(24)
3
telah mendorong terjadinya alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan pemanfaatan. Berdasarkan data periode 1992-1999 telah terjadi kerusakan kawasan hutan lindung (non convertible forest) seluas 132.000 ha atau dengan laju kerusakan sekitar 19.000 ha/tahun. Dengan kondisi ini pada Tahun 1999, luasan hutan lindung tersebut telah mencapai 24.3 % dari seluruh wilayah Pulau Jawa kurang dari ketentuan minimal 30% (Depkimpraswil, 2002).
Disamping itu, alih fungsi yang juga turut memperparah adalah terjadinya konversi lahan sawah menjadi kawasan-kawasan industri dalam pemukiman. Data selama 20 tahun terakhir (1979-1999) menunjukkan bahwa konversi lahan sawah menjadi fungsi-fungsi lahan (terutama perkotaan dan industri) di Jawa mencapai sebesar 1.002.005 ha atau sebesar 50.100 ha/tahun. Kondisi ini pada gilirannya memberikan tekanan yang serius pada daya dukung lingkungan seperti fungsi hidrologis dan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna (Syafaat, 2002).
Menurut Karsidi (2003) secara spasial pada DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat telah terjadi perubahan jenis tutupan lahan yaitu tubuh air mencapai 900%, daerah terbuka 241%, daerah pemukiman 148%. Sebaliknya yang mengalami pengurangan adalah daerah tegakkan hutan yakni mengalami pengurangan 21% dan areal pertanian 44%. Sungai Citarum yang mengaliri tiga waduk yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur tercemar karena meningkatnya limpasan (run-off) bahan-bahan kimia ke perairan Sungai Citarum hulu, tengah dan hilir. Zat pencemar tersebut berasal dari kegiatan sektor pertanian, seperti penggunaan pupuk nitrogen (N), fosfor (P), dan Kalium (P) serta pestisida yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan.
Di samping itu kegiatan industri juga menjadi penyebab pencemaran logam berat, seperti kromium (Cr) dan selenium (Se). Kurniasih (2002) menyebutkan bahwa terdapat 542 industri di DAS Citarum hulu dan 73% industri tersebut adalah industri tekstil.
Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Jawa Barat dan ITB Bandung (2002) menyebutkan bahwa proyeksi peningkatan jumlah penduduk akan terjadi di DAS Citarum yaitu 30% selama kurun waktu 10 tahun dengan rincian sebanyak 5.662.746 orang pada Tahun 2001 menjadi 7.371.273 orang pada Tahun 2010. Peningkatan jumlah penduduk sangat berpotensi untuk meningkatnya limbah rumah tangga dan dapat memberikan dampak terhadap kualitas air Sungai Citarum yang bermuara pada pantai pesisir utara jawa. Pencemaran air dari
(25)
sektor pemukiman tersebut dapat meningkatkan nilai biological oxygen demand
(BOD5) dalam badan air.
Berdasarkan studi Kementerian Lingkungan Hidup dan PKSPL-IPB (2004) menunjukkan bahwa bagian hulu DAS Citarum, beban pencemaran berjumlah 15.618 ton COD per tahun (total polutan diwakili oleh parameter COD) dengan nilai kerugian ekonomi sebesar Rp 2.113. 537.278.000 (Rp 2.1 triliun) per tahun. Sedangkan di bagian hilir DAS Citarum jumlah polutan sebesar 65.746 kg COD dengan nilai Rp 8.897.235.708.000 (Rp 8.9 triliun) per tahun. Dampak pencemaran oleh aktivitas di bagian hilir adalah selisih antara bagian hulu dan hilir sebesar 50.128 ton COD dengan Nilai Ekonomi Rp 6.783.698.430.000 (Rp 6.8 triliun), Secara umum dapat dinyatakan bahwa nilai dampak pencemaran oleh aktivitas masyarakat di bagian hilir secara de facto adalah sebesar Rp 6.8 triliun. Penggunaan Replacement Method telah menghasilkan nilai ekonomi melalui pendekatan pasar, sehingga lebih menggambarkan nilai ekonomi dampak pencemaran secara ril. Oleh karena itu metode ini akan lebih berguna dalam perencanaan pembangunan secara agregat, sebagai faktor koreksi dari pendapatan nasional atau regional, menuju perhitungan Green PDB.
Menurut Adibroto (1999) komponen-komponen penting dalam penataan wilayah ekologis Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu ada 2 pendekatan yaitu, 1 integrasi/keterpaduan (horizontal: sektoral; vertikal; lokal; regional dan nasional; darat dan laut, pemberdayaan masyarakat dan 2 perhitungan cermat melalui perwujudan keharmonisan spasial, pemanfaatan sumberdaya alam optimal dan berkelanjutan dan pembuangan limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, komponen-komponen penting rancang bangun sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir terintegrasi dan berkelanjutan.
Pesatnya perkembangan penduduk dan kegiatan di kawasan hulu DAS Citarum memicu terjadinya berbagai penyimpangan pemanfaatan ruang yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan di kawasan DAS Citarum bagian hulu, tengah, dan hilirnya. Perkembangan kegiatan dan eksploitasi sumberdaya (diekstrak secara berlebihan) yang terjadi mengakibatkan terganggunya fungsi lindung kawasan DAS Citarum hulu yaitu fungsi perlindungan setempat maupun memberikan perlindungan pada kawasan hilir (Pesisir). Hasil kajian Wangsaatmaja (2004) menyebutkan bahwa menurunnya kualitas air Sungai Citarum hulu disebabkan oleh sumber-sumber pencemar yang berasal dari industri, domestik, pertanian dan peternakan.
(26)
5
Fenomena tersebut disebabkan pola pembangunan di masa lalu yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan faktor ekologi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan-hukum. Pertimbangan pada faktor-faktor tersebut merupakan suatu paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan yang disepakati di Johanesburg Afrika Selatan, September 2002 yang dikenal dengan KTT Pembangunan Berkelanjutan.
Melihat kenyataan tersebut di atas, penelitian tentang rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Citarum Jawa Barat sangat penting untuk dilakukan guna mencapai kelestarian ekosistem di wilayah DAS dan Pesisir Citarum.
Perumusan Masalah
Berbagai permasalahan dan kebijakan saat ini adalah memiliki kepadatan penduduk tinggi, meningkatnya aktivitas konversi lahan sawah menjadi daerah industri dan permukiman, rasio ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Citarum yang kritis (kelangkaan), terjadinya proses sedimentasi dan erosi, belum kondusifnya kebijakan dan kelembagaan yang ada dalam mengeliminir kerusakan lingkungan dan berbagai permasalahan lainnya maka rumusan permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah, saat ini rancang bangun kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat belum sempurna sehingga banyak permasalahan yang harus dilakukan seperti permasalahan ekologi (kualitas air, tanah dan tutupan lahan), ekonomi (pendapatan), sosial (kesejahteraan) dan kelembagaan (Institusi) sehingga belum adanya rancang bangun pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum yang baru.
Untuk membantu terbentuknya rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir, maka diperlukan suatu model dan simulasi yang didukung oleh pendekatan sistem kebijakan sebagai landasan untuk memberikan gambaran pada pengambil kebijakan mengenai kondisi pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat. Rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir adalah suatu pendekatan yang mencoba menggambarkan kebijakan pengelolaan DAS dan Pesisir dalam bentuk konseptual prospektif yaitu berupa skenario, program, dampak dan rancangan implementasi pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat.
(27)
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah untuk menghasilkan rancang bangun kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang berkelanjutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi isu dan permasalahan Kawasan DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat.
2. Menilai keberlanjutan sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir Citarum Jawa Barat, melalui penyusunan indeks dan status atau kategori berkelanjutan sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir berdasarkan kriteria pembangunan berkelanjutan. Indeks ini selanjutnya disimpulkan sebagai IkB-SIPDASPIR, yang merupakan singkatan dari “Indeks keBerlanjutan Sistem Pengelolaan DAS dan Pesisir”. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan dalam pengembangan
pengelolaan DAS dan Pesisir yang berkelanjutan untuk mengurangi kerusakan dan pencemaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu, tengah dan hilir.
4. Merancang skenario strategi kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang berkelanjutan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat memberikan prospektif baru yang bermanfaat bagi pengetahuan dalam mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang berkelanjutan.
2. Adanya kontribusi positif bagi para stakeholders yang berkaitan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir.
3. Meningkatkan kemampuan peneliti bagi perkembangan sains dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Pesisir dan Lautan dalam memahami pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mencakup sistem kebijakan pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara berkelanjutan di DAS Citarum Jawa Barat, yang meliputi lima dimensi utama yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum-kelembagaan. Batasan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam penelitian mencakup kawasan
(28)
7
DAS Citarum bagian hulu, Citarum bagian tengah dan Citarum bagian hilir yang berada dalam 12 sub DAS dan melewati 10 wilayah administrasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dengan batas wilayah penelitian mengikuti Catchment Area Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum serta batas kawasan Pesisir Citarum Muara Gembong dan Tanjung Pakisjaya yang terdiri dari lingkup kawasan dan lingkup materi penelitian. Peta batas wilayah studi disajikan pada Gambar 1.
Sedangkan ruang lingkup materi penelitian dibatasi pada pembahasan rancang bangun sistem kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir yang didasarkan pada kebutuhan para stakeholders dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan dan hukum. Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan serangkaian materi kegiatan penelitian yaitu:
1. Analisis prediksi pencemaran
2. Indeks pencemaran kualitas perairan menurut baku mutu 3. Estimasi Citra Satelit Landsat ETM +7
4. Indeks dan status keberlanjutan sistem pengelolaan DAS dan Pesisir 5. Model prediksi erosi Universal Loss Equation (USLE)
6. Model kerugian nilai ekonomi pencemaran 7. Analisis Prospektif
8. Dampak skenario dan rancangan implementasi pengelolaan DAS dan Pesisir Citarum hulu, tengah dan hilir
(29)
Gambar 1 Peta batas wilayah studi DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat Sumber: Citra Satelit Landsat ETM +7, Path/Row 122/64 dan 122/65
(30)
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Menurut (Lablink, 2001) Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian dari sistem hidrologis yang bermula dari saat terjadinya presipitasi dan berakhir pada saat air masuk ke lautan dan masuk ke udara bebas. Siklus hidrologi yang menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian menjadi air larian dan air infiltrasi, yang kemudian mengalir ke sungai dan laut sebagai debit aliran. Air tersebut kembali mengalir ke udara melalui transpirasi dan evaporasi. Berkaitan dengan DAS, menurut kamus Webster (1996), DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, menyimpan dan mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama yang diteruskan ke laut atau danau. Dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang didalamnya terjadi suatu proses antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain (Supirin 2002). Oleh karena itu, hubungan DAS hulu dan DAS hilir mempunyai keterkaitan biofisik satu sama lain melalui daur hidrologi.
Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumberdaya alam. Setiap masukan ke dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung di dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan dan bahan terlarut kimia dan erosi, sedangkan keluaran adalah debit air, muatan sedimen dan limbah cair lainnya. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah, dan saluran air atau sungai, dalam hal ini bertindak sebagai prosesor.
Pengelolaan DAS dalam menjaga fungsi hidrologi berarti pengelolaan sumberdaya alam yang dapat pulih kembali dalam suatu DAS, seperti vegetasi, tanah dan air. Manan (1986) menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan tersebut adalah untuk menghasilkan produk air atau tata air yang baik bagi kepentingan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat, seperti kepentingan air minum, irigasi, industri, tenaga listrik, dan
(31)
pariwisata. Untuk itu, pengelolaan DAS bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air yang berkualitas.
Menurut Asdak (1995) dan Arsyad (2000), ada lima indikator yang dapat digunakan dalam menilai interaksi dan keterpaduan tata air yang berkualitas di dalam DAS, yaitu:
1. Kuantitas air: Kondisi kuantitas air sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan, maka dapat dikatakan perubahan kuantitas air akan terjadi. Untuk itu, kegiatan yang menimbulkan pengurangan tutupan lahan pada suatu tempat selayaknya dapat dilakukan dengan iringan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai;
2. Kualitas air: Disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan, dipengaruhi juga oleh limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian dan perkebunan, serta pola tanam (pencemaran dan erosi). Pengaruh tersebut dapat dilihat dari kondisi kualitas air dan limpasan serta air sungai ataupun air sumur;
3. Perbandingan debit maksimum dan minimum: Perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama (dititik outlet
DAS), berarti kemampuan lahan untuk menyimpan air. Bila kemampuan lahan menyimpan air masih baik, maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan musim kemarau adalah kecil. Oleh karena itu, kemampuan lahan menyimpan air tergantung pada kondisi permukaan lahan, seperti kondisi vegetasi dan tanah;
4. Curah hujan: Curah hujan dikatakan besar atau kecil tergantung kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi dipengaruhi tutupan lahan ataupun aktivitas lainnya. Oleh karena itu, terjadinya perubahan besar pada tutupan lahan akan berpengaruh terhadap klimatologi dan juga curah hujan;
5. Tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim. Hal ini tergantung pada besarnya air masuk dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Hal ini juga dipengaruhi oleh vegetasi, kelerengan, dan kondisi tanah itu sendiri.
Pengelolaan DAS secara terpadu harus bertujuan jelas dan tepat serta konsisten pelaksanaannya di lapangan, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan DAS tersebut dapat dikembangkan.
(32)
11
Alikodra (2000) berpendapat bahwa ada beberapa tujuan pembangunan DAS terpadu, yaitu:
1. Mempersiapkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah;
2. Mendorong dan membantu daerah dalam mempersiapkan kebijakan, strategi, dan merencanakan program penataan ruang, database dan sistem informasi, pengembangan institusi dan SDM serta koordinasi dengan berbagai stakeholders yang terkait;
3. Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memperhatikan kualitas hidup manusia, baik generasi kini maupun mendatang;
4. Melindungi air dari berbagai pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai dengan daya dukung secara optimal;
5. Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai;
6. Meningkatkan kesadaran para pengusaha untuk menerapkan pola produksi bersih;
7. Mempertahankan kawasan-kawasan lindung yang penting fungsinya sebagai daerah resapan air.
Sinkronisasi dan kesinambungan sulit tercapai di dalam pengelolaan ekosistem DAS, apabila terjadi ketidak terpaduan kegiatan, baik antar sektor, antar wilayah maupun antar lembaga. Keterpaduan penting dilakukan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Apabila ketidak terpaduan pengelolaan DAS tidak dapat tercipta, maka akan menimbulkan akibat buruk terhadap ekosistem alami, yakni akan terjadi kerusakan. Kerusakan tersebut sangat dipengaruhi oleh gerak langkah dari tindakan utama manusia yang menghuni dan gerak langkah yang terlibat dalam kegiatan kehidupan ekosistem DAS. Oleh karena itu, pengelolaan DAS terpadu sudah sangat mendesak untuk dilakukan agar dapat diformulasikan ke dalam pengembangan kebijakan ke depan.
Pesisir Citarum
Wilayah pesisir Citarum Jawa Barat memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda dengan wilayah pesisir selatan Jawa Barat baik ditinjau dari sudut perkembangan pembangunan maupun dari kondisi alam dan ekologi. Pembangunan di wilayah pesisir selatan Jawa Barat lebih terfokus pada pengembangan pertanian dan wisata pantai, sedangkan pengembangan wilayah
(33)
pesisir Citarum Jawa Barat lebih dominan pada sektor industri dan budidaya. Begitu pula bila ditinjau dari jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk wilayah pesisir Citarum relatif lebih banyak daripada wilayah pesisir selatan. Perkembangan industri di pesisir utara relatif lebih cepat dengan telah tersedianya infrastruktur jalan pantai udara sejak dulu. Kompleksitas jenis industri yang berdiri dan berkembang di pesisir Citarum juga cukup tinggi dan industri kimia. Oleh karena itu, peningkatan taraf hidup perekonomiannya salah satu tergantung kepada jumlah ikan/ udang/ kepiting yang dapat tertangkap/ dipanen. Padahal sebagaimana diketahui kehidupan ikan/ udang/ kepiting sangat tergantung kepada ekosistem kehidupannya dan keberadaan ekosistem ini akan sangat tergantung kepada kualitas air laut yang menjadi sumber kehidupannya (PKSPL-IPB 2006).
Proses Erosi di Daerah Hulu Sungai
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Suhara, 1991). Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada tempat lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air atau angin (Arsyad, 2000). Di daerah tropika basah erosi yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh air daripada yang disebabkan oleh angin. Jadi pengertian erosi dalam uraian selanjutnya adalah erosi oleh air hujan dan alirannya di atas permukaan tanah.
Berdasarkan kejadiannya ada dua macam erosi yaitu : erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal juga disebut erosi geologi atau erosi alami, erosi tersebut merupakan proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses erosi geologi menyebabkan terjadinya sebagian bentuk permukaan bumi yang terdapat di alam. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah (Arsyad,2000).
Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Erosi dan Sedimentasi
Pola pemanfaatan lahan yang berbeda, diusahakan secara terencana atau tanpa rencana, akan menimbulkan dampak yang berbeda pula. Pada
(34)
13
dasarnya permasalahan pengembangan DAS erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi, pengembangan wilayah, penggunaan lahan dan kebutuhan air. Sandi (1982), mengungkapkan bahwa pemanfaatan lahan yang direncanakan akan membentuk pola pemanfaatan optimal yang mengakibatkan: a) pengurangan frekuensi debit b) pengurangan erosi tanah c) pengurangan kandungan lumpur sungai d) kelestarian dan pengoptimalan produktivitas lahan dan e) peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Proses sedimentasi, menyebabkan pendangkalan pada sungai, saluran, waduk dan pinggiran laut, merupakan ciri yang paling menonjol dari tidak berfungsinya DAS dengan baik. Dampak negatif sedimentasi terhadap biota perairan pesisir secara garis besar dapat diketahui melalui mekanisme tertentu.
Pertama, penutupan tubuh biota laut, terutama yang hidup di dasar perairan
(benthic organisme) seperti hewan karang, padang lamun dan rumput laut, oleh bahan sedimen.
Menurut Arsyad (2000) terdapat banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan mengusahakan tanahnya secara bijaksana, sehingga tidak menimbulkan kerusakan tanah dan peningkatan laju erosi tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain: sistem penguasaan tanah, luas tanah yang diusahakan, status penguasaan tanah, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi dan infrastruktur serta fasilitas kesejahteraan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sedimentasi dapat terjadi secara alamiah tapi juga akibat kegiatan manusia. Sedimentasi secara alamiah tersebut diperburuk oleh ulah manusia dalam membentuk pola pemanfaatan lahan yang tidak dalam batas-batas daya dukung lingkungan.
Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Kualitas Air Sungai
Kualitas sungai merupakan indikator kondisi sungai dalam keadaan baik atau tercemar. Pencemaran sungai didefinisikan sebagai perubahan kualitas suatu perairan akibat kegiatan manusia, yang pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia itu sendiri ataupun mahluk hidup lainnya (Kupchella dan Hyland, 1993). Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh senyawa yang masuk ke aliran sungai yang bergerak ke hilir bersama aliran air atau tersimpan di dasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat juga terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut (utamanya yang beracun) berakumulasi dan menjadi suatu konsentrasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan (Haslam, 1992).
(35)
Menurut Miller (1991) terdapat 2 bentuk sumber pencemar, yaitu:
a. Point sources; merupakan sumber pencemar yang membuang efluen (limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak seluruh zat pencemar), tempat-tempat penambangan yang aktif dan lain-lain. Karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif lebih mudah diidentifikasi, dimonitor dan dikenakan peraturan-peraturan.
b. Non-point sources; terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang membuang efluen, baik ke badan air maupun air tanah pada suatu daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang pertanian, peternakan, lokasi pembangunan, tempat parkir dan jalan raya. Pengendalian sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengindentifikasi dan mengendalikan sumber-sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan pencemaran. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui penataan ruang yang baik (Miller, 1991: 249).
Beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain (Haslam, 1992):
1. Kegiatan domestik; termasuk di dalamnya kegiatan kesehatan (rumah sakit) dan food additives (seperti bahan pengawet makanan) serta kegiatan-kegiatan yang berasal dari lingkungan permukiman baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Efluen yang dibuang biasanya berupa pencemar organik, tapi ada juga berupa senyawa anorganik, logam, garam-garaman (seperti deterjen) yang cukup berbahaya karena bersifat patogen.
2. Kegiatan industri; mempunyai banyak sekali variasi; bisa berupa efluent
organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri minyak dan petrokimia). Sedangkan efluen inorganik dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja, mobil atau industri berat lainnya; partikel dan debu dapat dihasilkan oleh kegiatan industri pertambangan. Bisa juga berupa pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik.
3. Kegiatan pertanian; terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, di mana senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu, sedimen termasuk pencemaran yang
(36)
15
cukup besar ketika terjadi penebangan pohon-pohonan, pembuatan parit-parit, perambahan hutan dan lain-lain. Belum lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup serius.
Menurut Haslam (1992) dan Hayward (1992), zat pencemar sungai dapat dibagi dalam 8 jenis utama, yaitu :
1. Organisme patogen (bakteri, virus dan protozoa)
2. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri).
3. Bahan anorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat dan senyawa-senyawanya, anion seperti sulfida, sulfit dan sianida).
4. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik seperti limbah cair atau pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi.
5. Bahan-hahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (< 1 ppm).
6. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya, rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel diantara 1 μm dan 1 ηm tetap dapat "melayang" dalam air, yang disebut colloidal solid dan air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna.
7. Zat-zat / bahan-bahan radioaktif
8. Pencemaran termal; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen. Untuk lebih jelasnya, sumber pencemaran dapat dilihat pada Tabel 1.
(37)
Tabel 1 Sumber Pencemar
Sumber Pencemar
(Pollutant) Pertanian Limbah Cair
Limbah Cair Perkotaan
Pertam-bangan
Budidaya
perikanan Industri Pelayaran
Sedimen ••• •• ••• ••• • •
Nutrien ••• ••• •• •• •
Logam
beracun • • • ••• ••• •
Zat kimia
beracun • •• • • • •• •
Pestisida ••• • • •
Organisme
exotic • ••
Organisme
patogen ••• • •
Sampah • • ••• • ••
Bahan-bahan penyebab turunnya oksigen terlarut
• ••• •• •• •
Jumlah Sumber terbesar
13 16 14 7 9 8 8
Sumber: Brodie (1995) dalam Dahuri (1996) Keterangan:
••• : Sumber terbesar
•• : Sumber moderat
• : Sumber terkecil
Gambar 2 Interaksi kegiatan manusia dan dampaknya terhadap kualitas lingkungan (Adibroto, 1999).
Batasan Kawasan Pesisir
Menurut Clark (1992), kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang saling berinteraksi. Oleh karena itu setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air.
(38)
17
Hubungan tersebut terjadi melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan ( run-off), aliran air tanah (ground water), air tawar beserta segenap isinya (seperti unsur nutrien, bahan pencemar dan sedimen) yang berasal dari ekosistem daratan dan akhirnya akan bermuara di perairan pesisir. Unsur dan senyawa kimiawi, termasuk bahan pencemar, juga dapat diangkut dari ekosistem daratan atau udara dan ditumpahkan ke ekosistem pesisir melalui air hujan. Pola sedimentasi dan abrasi pantai juga ditentukan oleh pergerakan massa air. Pergerakan massa air mempengaruhi perpindahan biota perairan (plankton, ikan dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Beatley et. al. (1994), mengemukakan bahwa berdasarkan kesepakatan internasional kawasan pesisir didefinisikan sebagai kawasan peralihan antara laut dan daratan. Kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf).
Menurut Kay dan Alder (1999), batasan pesisir dapat ditentukan berdasarkan pendekatan ilmiah (scientific definition) dan pendekatan kebijakan (policy oriented definition). Secara ilmiah, Ketchum, 1972 dalam Kay dan Alder 1999, mendefinisikan bahwa kawasan pesisir merupakan pertemuan antara daratan dan lautan dengan batasan ke daratan dan lautan ditentukan oleh pengaruh daratan ke lautan dan pengaruh lautan ke daratan. Berdasarkan kebijakan, pada umumnya batasan kawasan pesisir merupakan wilayah administratif, baik ke darat maupun ke laut, ataupun batasan yang ditentukan secara politis (Hilldebrand dan Norrena, 1992; Jones dan Westmacott, 1993). Menurut Dahuri (2000), untuk kepentingan pengelolaan, batasan ke arah darat suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan menjadi 2 jenis, yaitu batasan untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management). Apabila terdapat kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu). Oleh karena itu, untuk kepentingan perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat dapat ditetapkan sangat jauh ke arah hulu, misalnya kota Bandung untuk kawasan pesisir DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan.
(1)
Lanjutan
C_Sub_DAS_Ciminyak = 0.15 C_Sub_DAS_Cirasea = 0.25 C_Sub_DAS_Cisangkuy = 0.30 C_Sub_DAS_Cisokan = 0.13 C_Sub_DAS_Citarik = 0.26 C_Sub_DAS_Citarum = 0.23 C_Sub_DAS_Citarum_Hilir = 0.36 C_Sub_DAS_Ciwidey = 0.19 ET_Sub_DAS_Cibeet = 2 ET_Sub_DAS_Cikapundung = 2 ET_Sub_DAS_Cikaso = 2 ET_Sub_DAS_Cikundul = 2 ET_Sub_DAS_Cimeta = 2 ET_Sub_DAS_Ciminyak_ = 2 ET_Sub_DAS_Cirasea = 2 ET_Sub_DAS_Cisangkuy = 2 ET_Sub_DAS_Cisokan = 2 ET_Sub_DAS_Citarik = 2 ET_Sub_DAS_Citarum = 2 ET_Sub_DAS_Citarum_Hilir = 2 ET_Sub_DAS_Ciwidey = 2
KT_DAS_Citarum = (KT__DAS_Hilir+KT__DAS_Hulu+KT__DAS_Tengah)/3 KT__DAS_Hilir = (K_T_Sub_DAS_Citarum+K_T_Sub_DAS_Citarum_Hilir)/2 KT__DAS_Hulu =
(K_T_Sub_DAS_Cikapundung+K_T_Sub_DAS_Cikundul+K_T_Sub_DAS_Cimeta+K _T_Sub_DAS_Ciminyak+K_T_Sub_DAS_Cirasea+K_T_Sub_DAS_Cisangkuy+K_T_ Sub_DAS_Cisokan+K_T_Sub_DAS_Citarik+K_T_Sub_DAS_Ciwidey)/9
KT__DAS_Tengah = (K_T_Sub_DAS_Cibeet+K_T_Sub_DAS_Cikaso)/2 K_Sub_DAS_Ciatrik = 0.25
K_Sub_DAS_Cibeet = 0.28 K_Sub_DAS_Cikapundung = 0.28 K_Sub_DAS_Cikaso = 0.3
K_Sub_DAS_Cikundul = 0.28 K_Sub_DAS_Cimeta = 0.28 K_Sub_DAS_Ciminyak = 0.27 K_Sub_DAS_Cirasea = 0.22 K_Sub_DAS_Cisangkuy = 0.24 K_Sub_DAS_Cisokan = 0.29 K_Sub_DAS_Citarum = 0.30 K_Sub_DAS_Citarum_Hilir = 0.28 K_Sub_DAS_Ciwidey = 0.25
(2)
LS_Sub_DAS_Cikapundung = L_Sub_DAS_Cikapundung*S_Sub_DAS_Cikapundung LS_Sub_DAS_Cikaso = L_Sub_DAS_Cikaso*S_Sub_DAS_Cikaso
LS_Sub_DAS_Cikundul = L_Sub_DAS_Cikundul*S_Sub_DAS_Cikundul LS_Sub_DAS_Cimeta = L_Sub_DAS_Cimeta*S_Sub_DAS_Cimeta
LS_Sub_DAS_Ciminyak = L_Sub_DAS_Ciminyak*S_Sub_DAS_Ciminyak LS_Sub_DAS_Cirasea = L_Sub_DAS_Cirasea*S_Sub_DAS_Cirasea LS_Sub_DAS_Cisabgkuy = L_Sub_DAS_Cibeet*S_Sub_DAS_Cibeet
LS_Sub_DAS_Cisangkuy = L_Sub_DAS_Cisangkuy*S_Sub_DAS_Cisangkuy LS_Sub_Das_Cisokan = L_Sub_DAS_Cisokan*S_Sub_DAS_Cisokan
LS_Sub_DAS_Citarik = L_Sub_DAS_Citarik*S_Sub_DAS_Citarik LS_Sub_DAS_Citarum = L_Sub_DAS_Citarum*S_Sub_DAS_Citarum LS_Sub_DAS_Citarum_Hilir =
L_Sub_DAS_Citarum_Hilir*S_Sub_DAS_Citarum_Hilir
LS_Sub_DAS_Ciwidey = L_Sub_DAS_Ciwidey*S_Sub_DAS_Ciwidey L_COD_DASTeng = 63.75
Penambahan_DAS_Citarum =
(Penambahan__DAS_Hilir+Penambahan__DAS_Hulu+Penambahan__DAS_Tengah)/3 Penambahan__DAS_Hilir =
(Penambahan_Sub_DAS_Citarum+Penambahan_Sub_DAS_Citarum_Hilir)/2 Penambahan__DAS_Hulu =
(Penambahan_Sub_DAS_Cikundul+Penambahan_Sub_DAS_Cikapundung+Penambah an_Sub_DAS_Cimeta+Penambahan_Sub_DAS_Ciminyak+Penambahan_Sub_DAS_Ci rasea+Penambahan_Sub_DAS_Cisangkuy+Penambahan_Sub_DAS_Cisokan+Penamba han_Sub_DAS_Citarik+Penambahan_Sub_DAS_Ciwidey)/9
Penambahan__DAS_Tengah =
(Penambahan_Sub_DAS_Cibeet+Penambahan_Sub_DAS_Cikaso)/2 Penipisan_DAS_Citarum =
(Penipisan_DAS_Hilir+Penipisan__DAS_Hulu+Penipisan__DAS_Tengah) Penipisan_DAS_Hilir =
(Penipisan_Sub_DAS_Citarum+Penipisan_Sub_DAS_Citarum_Hilir)/2 Penipisan__DAS_Hulu =
(Penipisan_Sub_DAS_Cibeet+Penipisan_Sub_DAS_Cikapundung+Penipisan_Sub_DA S_Cimeta+Penipisan_Sub_DAS_Ciminyak+Penipisan_Sub_DAS_Cirasea+Penipisan_S ub_DAS_Cisangkuy+Penipisan_Sub_DAS_Cisokan+Penipisan_Sub_DAS_Citarik+Pen ipisan_Sub_DAS_Ciwidey)/9
Penipisan__DAS_Tengah =
(Penipisan_Sub_DAS_Cibeet+Penipisan_Sub_DAS_Cikaso)/2 P_Sub_DAS_Cibeet_ = 0.3
P_Sub_DAS_Cikapundung = 0.3 P_Sub_DAS_Cikaso = 0.33 P_Sub_DAS_Cikundul = 0.26
(3)
Lanjutan
P_Sub_DAS_Cimeta = 0.27 P_Sub_DAS_Ciminyak = 0.22 P_Sub_DAS_Cirasea = 0.25 P_Sub_DAS_Cisangkuy = 0.29 P_Sub_DAS_Cisokan = 0.19 P_Sub_DAS_Citarik = 0.26 P_Sub_DAS_Citarum = 0.24 P_Sub_DAS_Citarum_Hilir = 0.33 P_Sub_DAS_Ciwidey = 0.21 R_Sub_DAS_Cibeet__ = 820.40 R_Sub_DAS_Cikapundung = 791.12 R_Sub_DAS_Cikaso = 758.41 R_Sub_DAS_Cikundul = 725.05 R_Sub_DAS_Cimeta = 761.89 R_Sub_DAS_Ciminyak = 972.72 R_Sub_DAS_Cirasea__ = 809.16 R_Sub_DAS_Cisangkuy__4 = 797.72 R_Sub_DAS_Cisokan = 777.38 R_Sub_DAS_Citarik = 744.24 R_Sub_DAS_Citarum = 805.38 R_Sub_DAS_Citarum_Hilir = 988.96 R_Sub_DAS_Ciwidey = 918.01 S_Sub_DAS_Cibeet = 5
S_Sub_DAS_Cikapundung = 5 S_Sub_DAS_Cikaso = 6.68 S_Sub_DAS_Cikundul = 8.13 S_Sub_DAS_Cimeta = 6.68 S_Sub_DAS_Ciminyak = 9.92 S_Sub_DAS_Cirasea = 6.98 S_Sub_DAS_Cisangkuy = 6.60 S_Sub_DAS_Cisokan = 3.22 S_Sub_DAS_Citarik = 7.50 S_Sub_DAS_Citarum = 4.58 S_Sub_DAS_Citarum_Hilir = 0.64 S_Sub_DAS_Ciwidey = 7.86 VADASHil = 78.41*60*60*24*365
DOCUMENT: Volume Air Hulu adalah Volume air DAS Citarum bagian hilir per tahun yang merupakan hasil kali dari debit sungai dan waktu (tahun)
VADASTeng = 49.5*60*60*24*365
DOCUMENT: Laju COD Hulu adalah Laju pertambahan COD yang berada pada DAS Citarum bagian tengah setiap tahun
VADAS_Hu = 13.7*60*60*24*365
DOCUMENT: Volume Air Hulu adalah Volume air DAS Citarum bagian hulu per tahun yang merupakan hasil kali dari debit sungai dan waktu (tahun)
(4)
No. unit lahan Penggunaan lahan Kedalaman tanah Kondisi substrata Permeabilitas tanah (subsoil) Erosi yang masih dapat dibiarkan (mm) Berat volume tanah Erosi yang masih dapat dibiarkan (ton/ha/th)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Hutan pinus > 90 cm melapuk Lambat 1.6 1.14 18.24 2 Perkeb. Kina > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 3 Hutan alam > 90 cm melapuk Lambat 1.6 1.13 18.08 4 Perkeb. Kina > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.14 22.80
5 Pemukiman > 90 cm melapuk Sedang
6 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.13 22.60 7 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.13 22.60 8 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.17 23.40
9 Pemukiman > 90 cm melapuk Sedang
10 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.14 22.80 11 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.13 22.60 12 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 13 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 14 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.16 23.20 15 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60
16 Pemukiman > 90 cm melapuk Sedang
17 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60 18 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.16 23.20
19 Pemukiman > 90 cm melapuk Lambat
20 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.17 23.40
21 Pemukiman > 90 cm melapuk Lambat
22 Hutan pinus > 90 cm meiapuk Sedang 2.0 1.14 22.80 23 Sawah > 90 cm melapuk Lambat 1.6 1.21 19.36 24 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.13 22.60 25 Hutan pinus > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 26 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.17 23.40
27 Pemukiman > 90 cm melapuk Lambat
28 Tegatan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60 29 Sawah > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.20 24.00 30 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.16 23.20 31 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60 32 Tegalan > 90 cm melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80 33 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.14 22.30 34 Tegalan > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.17 18.72 35 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.21 19.36 36 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.20 19.20 37 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.19 19.04 38 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.20 19.20 39 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.18 18.88
40 Pemukiman > 90 cm Melapuk Sedang
41 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80 42 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80
43 Pemukiman > 90 cm Melapuk Sedang
(5)
Lanjutan
No. unit lahan
Penggunaan lahan
Kedalaman tanah
Kondisi substrata
Permeabilitas tanah (subsoil)
Erosi yang masih dapat dibiarkan
(mm)
Berat volume
tanah
Erosi yang masih
dapat dibiarkan (ton/ha/th) 45 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 46 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60 47 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.17 23.40
48 Pemukiman > 90 cm Melapuk Sedang
49 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60 50 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.13 22.60 51 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.14 22.80 52 Hutan alam > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 53 Hutan alam > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.14 22.80 54 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.13 22.60 55 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.14 22.80 56 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 57 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80 58 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80 59 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.18 23,60
60 Pemukiman > 90 cm Melapuk Sedang
61 Tegaian > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.17 23,40 62 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.21 19,36 63 Sawah > 90 cm Melapuk Lambat 1.6 1.19 19,04
64 Pemukiman > 90 cm Melapuk Sedang
65 Rumput > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.16 23,20 66 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.17 23,40 67 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.18 23,60 68 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.18 23.60 69 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 70 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.16 23.20 71 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 72 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.,0 1.16 23.20 73 Hutan pinus > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.15 23.00 74 Tegalan > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80
75 Pemukiman > 90 cm Melapuk Sedang
76 Tegaian > 90 cm Melapuk Sedang 2.0 1.19 23.80 Sumber: Darsiharjo, 2004 diolah dengan persamaan Arsyad (2000)
(6)