Inisiatif terhadap perbaikan kinerja diawali pada masa revolusi industri. Seiring dengan perubahan lingkungan organisasi, meningkatnya persaingan,
perubahan kebutuhan internal dan eksternal organisasi dan perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan dalam setiap aspek manajemen dan
organisasi maka pendekatan dan metodologi dalam perbaikan kinerja juga terus berkembang.
Metoda perbaikan kinerja pada umumnya diawali dengan melakukan pemetaan terhadap aliran proses. Pendekatan ini dapat membantu dalam
mengidentifikasi area potensial untuk diperbaiki. LaBonte 2001 mendefinisikan perbaikan kinerja sebagai proses yang digunakan secara sistematis untuk
mengidentifikasi gap kinerja, meneliti sebab utama, memilih dan merancang tindakan, mengukur hasil, dan memperbaiki kinerja secara berkesinambungan.
Usaha yang dilakukan organisasi untuk memperbaiki kinerjanya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pada umumnya, terdapat lima tahap yang harus
dilakukan dalam model perbaikan kinerja Swanson 1996 yaitu : 1 tahap analisis; 2 tahap desain; 3 tahap pengembangan; 4 tahap implementasi; dan 5
tahap evaluasi. Tahap yang paling kritis adalah tahap analisis. Tujuan dari tahap analisis adalah untuk menentukan kinerja, menentukan target kinerja yang
diinginkan, dan untuk menentukan prioritas perbaikan.
2.3 Pengukuran Kinerja
Untuk menentukan kinerja perlu dilakukan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja merupakan sub sistem dari manajemen kinerja Cokins 2004;
Halachmi 2005; Stiffler 2006; Baxter dan MacLeod 2008. Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai proses untuk mengkuantifikasi efisiensi dan efektivitas dari
suatu tindakan Tangen 2004; Olsen et al. 2007; Cocca dan Alberti 2010. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan masa lalu Cocca dan Alberti 2010.
Pengukuran kinerja adalah bagian dari analisa atau diagnosa terhadap proses untuk mengidentifikasi aktivitas mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki.
Menurut pandangan tradisional, pengukuran kinerja adalah untuk memonitor kinerja bisnis dan mendiagnosa penyebab dari masalah. Amaratunga
dan David 2002 menyatakan bahwa fungsi utama dari sistem pengukuran kinerja
adalah untuk mengontrol operasi dalam organisasi. Dalam model umpan balik tradisional, para manajer mengatur kinerja dengan monitoring output dan
kemudian menyesuaikan input untuk mencapai suatu target dibanding mengendalikan suatu tugas dengan mempertimbangkan semua elemen data yang
diperlukan untuk menguraikan status dari sistem Bond 1999. Dikaitkan dengan manajemen operasional, Radnor dan Barnes 2007
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai proses mengkuantifikasi input, output, dan tingkat aktivitas dari suatu proses. Wibisono 1999 menyebutkan bahwa
pengukuran kinerja di perusahaan manufaktur pada level manajemen operasi dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu 1 pengukuran kinerja taktis competitive
priorities, 2 pengukuran kinerja operasional manufacturing task, dan 3 pengukuran kinerja strategis resource availability.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Craig dan Grant 2002 bahwa keunggulan bersaing suatu
organisasi didukung oleh kemampuan sumber daya dan rutinitas organisasi. Karim 2008 dalam Karim 2009 menyebutkan bahwa penentuan
prioritas kompetisi merupakan elemen kunci dalam strategi manufaktur. Prioritas kompetisi menunjukkan keunggulan kompetitif dan mewakili tujuan yang
seharusnya dicapai Rusjan 2005. Untuk menentukan prioritas kompetisi perusahaan manufaktur Leachman et al. 2006 mengusulkan ukuran kinerja
berdasarkan pada kualitas dan volume output. Berdasarkan pengalaman implementasi pada beberapa perusahaan di
Indonesia ditinjau dari aspek kepraktisan dan nilai tambah yang diberikan, Wibisono 2006 menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia dalam menentukan variabel kinerja yang akan diukur adalah dengan melakukan identifikasi variabel kinerja dari 3 perspektif yaitu 1 keluaran
organisasi business results, 2 proses internal internal business processes, dan 3 kemampuan atau ketersediaan sumber daya resources availability.
Terdapat tiga aspek formal dari pengukuran kinerja Spitzer 2007 yaitu 1 ukuran-ukuran variabel yang diukur, 2 proses pengukuran tahapan yang
menunjukkan bagaimana cara melakukan pengukuran, dan 3 infrastruktur teknis berupa hardware dan software komputer yang digunakan untuk mendukung
proses pengukuran. Tiga kriteria yang dapat digunakan untuk menilai keefektifan
dari sistem pengukuran kinerja Olsen et al. 2007 yaitu 1 keterkaitan, 2 perbaikan terus-menerus, dan 3 pengawasan proses.
Terkait dengan ukuran-ukuran variabel yang diukur, Medori dan Steeple 2000 menyatakan bahwa pada semua framework pengukuran kinerja yang telah
dihasilkan, pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal memberikan panduan terhadap pemilihan variabel kinerja yang akan diukur. Denton 2005 menyatakan
bahwa meskipun banyak hal yang dapat diukur tetapi lebih penting untuk mengukur hal yang spesifik dan relevan.
Parmenter 2010 mengkategorikan ukuran kinerja dalam tiga kategori yaitu 1 KRI Key Result Indikator, 2 KPI Key Performance Indicator, dan 3
PI Performance Indicator. Shahin dan Mahbod 2007 menyebutkan bahwa KPI dapat dirumuskan berdasarkan tujuan dari organisasi. Saunders et al. 2007
menegaskan pentingnya penguraian strategi organisasi ke dalam tindakan. Kaplan dan Norton dalam Parmenter 2010 merekomendasikan agar dalam pengukuran
kinerja tidak menggunakan lebih dari 20 ukuran kinerja. Selain itu, Hope dan Fraser dalam Parmenter 2010 menyarankan penggunaan ukuran kinerja kurang
dari 10. Radnor dan Barnes 2007 menyebutkan bahwa terdapat tiga
kecenderungan umum dalam pengukuran kinerja yaitu 1 keluasan dari unit analisis level individu, stasiun kerja, lini produksi, unit bisnis, perusahaan, 2
kedalaman ukuran kinerja keterkaitan variabel kinerja, 3 peningkatan range ukuran kinerja misalnya dari efisiensi menjadi efisiensi dan efektivitas
.
Dalam hal range ukuran kinerja, beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya
keterbatasan dalam model pengukuran kinerja pabrik gula karena hanya dilakukan dengan menggunakan range ukuran kinerja yang sempit yaitu 1 produktivitas
Yusnitati 1994 dan Manalu 2009 terkait dengan kinerja output per input, 2 efisiensi produksi Siagian 1999 terkait dengan kinerja proses , dan 3 efisiensi
teknis LPPM IPB 2002 terkait dengan kinerja proses. Berdasarkan kedalaman ukuran kinerja, pada penelitian terdahulu tidak
memperhatikan keterkaitan ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan.
Selain itu, jika merujuk pada pernyataan Olsen et al. 2007 dapat menyebabkan berkurangnya keefektifan sistem pengukuran kinerja.
Berbagai ukuran kinerja telah diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan. Heizer dan Render 2008 menyebutkan bahwa faktor-faktor penentu
produktivitas yaitu 1 tenaga kerja, 2 modal, dan 3 manajemen. Namun, dalam pengukuran produktivitas dapat digunakan satu single atau lebih dari satu multi
faktor. Gleich et al. 2008 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kinerja dapat digunakan indikator non finansial berupa volume, waktu siklus, dan
kapasitas yang dimiliki. Martin 2008 mengidentifikasi ukuran-ukuran kinerja untuk menentukan efisiensi proses yaitu kualitas produk atau jasa, kapasitas atau
kuantitas output, kuantitas dari produk cacat, kuantitas dari waste, waktu siklus, waktu produksi, kepuasan pelanggan, dan kepuasan karyawan.
Kerangka kerja proses pengukuran kinerja perlu diperbaiki secara kontinu dengan mempertimbangkan berbagai model pengukuran kinerja yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Nenadal 2008. Beheshti dan Lollar 2008 menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan keputusan penting
yang sering menggunakan informasi subyektif. Oleh karena itu model keputusan yang memanfaatkan logika fuzzy dapat memberikan solusi yang logis. Chan et al.
2002 mengusulkan penggunaan logika fuzzy dalam evaluasi kinerja. Terkait dengan infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja,
Santos et al. 2007 menunjukkan adanya variasi infrastruktur yaitu secara manual dan pemanfaatan sistem informasi. Raymond dan Marchand 2008 menunjukkan
pergeseran dalam pemanfaatan sistem informasi untuk pengukuran kinerja, yaitu dari sistem informasi eksekutif 1980
– 1999 ke Sistem Intelijen 2000 – saat ini. Selain itu, Denton 2010 menyebutkan bahwa intranet dan internet dapat
digunakan untuk meningkatkan pengelolaan dan pengukuran kinerja. Rancangbangun SPK pernah dilakukan antara lain oleh Lau et al. 2001
berupa Intelligent DSS for benchmarking of business partners, Marimin et al. 2005 berupa Sistem Intelijen Penilaian Kinerja Perusahaan, dan Unahabhokha
et al. 2007 berupa Predictive performance measurement system : A fuzzy expert system approach.
2.4 Benchmarking