2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Gula
Gula merupakan salah satu sumber energi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan input penting dalam industri makanan dan
minuman yang berperan sebagai bahan pemanis maupun bahan pengawet untuk sebagian pangan olahan. Klasifikasi pemanis menurut bentuk dan sumber bahan
dapat di lihat pada Gambar 5 berikut ini :
Gambar 5 Klasifikasi Pemanis Berdasarkan Bentuk dan Sumbernya Sumaryanto 2003 dalam Sabil 2005
Secara fisik terdapat tiga jenis gula yaitu : 1 gula kristal, 2 gula bukan kristal, dan 3 gula cair. Menurut SK No. 527MPPKep92004 tentang Tata Niaga
Impor Gula antara lain mengkategorikan gula kristal sebagai gula kristal mentahgula kasar raw sugar, gula kristal rafinasi refined sugar, dan gula
kristal putih plantation white sugar. Gula yang dikenal dalam masyarakat luas adalah sakarosa atau sukrosa
yang merupakan disakarida yang pada hidrolisa menghasilkan glukosa dan fruktosa. Produk gula dalam negeri termasuk dalam kualifikasi yang dikenal
dengan nama SHS Superieure Hoofd Suiker.
Pemanis Gula
Non Gula Gula Kristal
Gula Cair Dari bahan
tanaman
Dari bahan kimia Gula bukan
kristal
Gula kristal terdiri dari gula pasir yang dihasilkan dari tebu dan gula yang dihasilkan dari bit. Namun, menurut Prihandana 2005 biaya produksi gula
berbahan baku tebu lebih murah 70 dibandingkan dengan biaya produksi gula berbahan baku bit. Oleh karena itu, bahan baku industri gula yang banyak
digunakan adalah tebu Saccharum officinarum yang merupakan tanaman perkebunan.
Di dalam batang tebu terkandung 20 cairan gula. Effendi 2009 menyebutkan bahwa cairan dalam tebu terdiri dari tiga macam yaitu : 1 Nira
Tebu, 2 Air tanah atau air tebu bebas brix, dan 3 Protoplasma. Nira tebu tersimpan dalam sel-sel parenchim. Air tebu bebas brix merupakan air yang
secara chemis bersatu dengan serat dan tidak dapat dipisahkan secara mekanis. Protoplasma berbentuk semi cairan tetapi tidak mengandung gula.
Sisa pengolahan batang tebu adalah 1 tetes tebu molases yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula antara
50 sampai dengan 60, asam amino dan mineral. Pemanfaatan tetes tebu sampai saat ini adalah sebagai bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan
arak; 2 Pucuk daun tebu, yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dalam bentuk silase, pellet , dan wafer diperoleh pada tahap penebangan tebu; 3
ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle board
dan media untuk budidaya jamur, atau dikomposkan untuk pupuk; 4 Blotong yang merupakan hasil samping proses penjernihan dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk tanaman tebu. Adapun pohon industri untuk industri berbasis tebu dapat dilihat pada Lampiran 1.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005, tipe pengusahaan tanaman tebu terbagi dalam dua tipe yaitu : 1 kebun tebu dikelola
dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana pabrik gula PG sekaligus memiliki lahan HGU untuk pertanaman tebunya, dan 2 tanaman
tebu dikelola oleh rakyat. Pada umumnya, petani merupakan pemasok bahan baku tebu sedangkan PG lebih berkonsentrasi pada pengolahan. Sistem bagi
hasil yang diterapkan adalah sekitar 66 dari produksi gula untuk petani dan 34 untuk PG.
Terdapat dua sistem penebangan tebu yaitu 1 tebu bakar, sebelum dilakukan penebangan tebu dibakar terlebih dahulu; dan 2 tebu hijau, tebu
langsung ditebang jika batang sudah masak. Tebu bakar akan mempercepat turunnya kadar sukrosa dan kerusakannya lebih cepat karena mudah
terkontaminasi oleh mikroba Leouconostoc mesenteroides. Berdasarkan peralatan yang digunakan pada saat penebangan dan
pengangkutan sistem pemasokan dapat dibedakan tiga jenis, yaitu 1 penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual kemudian batang tebu diikat
dan diangkut menggunakan truk atau trailer system bundled cane; 2 penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual tetapi pada saat pemuatan
menggunakan bantuan alat mekanis karena tebu tidak diikat system loosed cane; 3 penebangan dan pemuatan dilakukan oleh alat mekanis yang disebut
harvester, dimana tebu dipotong secara otomatis dan langsung ditampung dalam bak truk system chopped cane.
Tebu yang telah dipanen dari areal budidaya tebu diangkut dan ditempatkan dalam areal penampungan cane yard. Untuk menghindari
menurunnya rendemen, maka tenggang waktu yang ditolerir antara waktu tebang dan giling adalah 24 jam Moerdokusumo 1993; Effendi 2009. Makin lama
tenggang waktu antara tebang dan giling akan menyebabkan semakin rendah kandungan sukrosa yang mudah larut dalam air dan dapat terhidrolisis oleh
adanya ion hidrogen atau akibat aktifitas mikroba tertentu. Gula atau sukrosa dapat terdekomposisi oleh bakteri, khamir dan jamur yang aktifitasnya
tergantung pada kadar sukrosa, suhu dan aktivitas air. Sebelum proses produksi gula dilakukan, diperlukan pra-pengolahan.
Pada tahap ini, tebu masuk ke dalam cane preparation menggunakan sistem elevator yang berjalan melewati cane cutter 1 yaitu suatu alat yang akan
memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil. Setelah itu tebu akan melewati cane cutter 2 yang berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian yang lebih
kecil lagi karena pisau yang digunakan mempunyai jarak yang lebih rapat. Tebu yang telah dipotong-potong tersebut akan dihancurkan oleh alat yang disebut
shredder sehingga tebu menjadi serpihan halus berbentuk ampas yang kemudian akan dikirim pada mill station untuk diperah.
Proses produksi gula dari tebu terdiri dari lima tahap, yaitu : 1 proses pemerahan atau penggilingan yang bertujuan untuk menghasilkan nira, pada
proses ini ditambahkan air imbibisi yang digunakan untuk melarutkan kandungan sukrosa dan membunuh mikroba Leuconostoc mesenteroides; 2
proses pemurnian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran atau zat-zat non- gula; 3 proses penguapan yang bertujuan untuk menguapkan air sebanyak-
banyaknya sehingga dihasilkan nira kental; 4 proses kristalisasi metoda spontan, pancingan, penambahan slurry atau seed yang bertujuan untuk
memisahkan gula dari nira kental; dan 5 proses pemutaran sentrifuse yang bertujuan untuk memisahkan sukrosa dan molases. Adapun skema proses
pembuatan gula kristal putih diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Proses Pembuatan Gula Kristal Putih Effendi 2009
Industri gula merupakan salah satu industri pengolahan yang berkembang pertama kali di Indonesia. Ditinjau dari potensi yang dimiliki
iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya sumber daya genetik tebu serta kapasitas produksi industri gula nasional yang
Nira Kotor Batang tebu
Ekstraksi Nira
Penjernihan Penyaringan
Blotong Muddy juice
Nira jernih Evaporasi
Air Bagasse
GULA Kristalisasi
Sentrifuse
masih terpakai 72, maka para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula Khudori 2004.
Pada awal abad ke-16 industri gula telah diusahakan oleh penduduk Cina perantauan di sekitar Jakarta, dan selanjutnya dikembangkan secara
besar-besaran oleh VOC pengusaha Belanda di seluruh Jawa pada abad ke- 19. Jawa menjadi sentra industri gula yang memberikan kontribusi utama bagi
pemerintah kolonial Belanda pada abad-20. Pada tahun 1930, Jawa menjadi eksportir terbesar ke dua di dunia setelah Kuba. Pada jaman kolonial, integrasi
sistem agribisnis gula dijamin melalui organisasi dari pemerintah yang mempunyai kekuatan untuk memaksa. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial
menanam tebu sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam, dan jadwal panen yang ditetapkan oleh pabrik. Dengan demikian, pabrik gula dapat
memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling, sehingga industri gula di Jawa sangat efisien.
Industri gula ditinjau dari aktivitas ekonomi merupakan industri yang memberikan dampak ganda cukup signifikan secara nasional terhadap penciptaan
output, pendapatan, nilai tambah dan tenaga kerja mengingat gula merupakan suatu komoditi pangan yang penggunaannya sangat luas. Selain dikonsumsi
secara langsung konsumsi akhir, gula juga merupakan bahan baku bagi banyak industri input antara. Struktur Industri gula Ismail 2005 berdasarkan analisis
keterkaitan antara industri melalui analisis input-output menunjukkan bahwa secara nasional industri gula memiliki keterkaitan langsung dengan sektor-sektor
dibelakangnya sebanyak 53 sektor dari 172 sektor dan keterkaitan langsung ke depan dengan 30 sektor. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula selain untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi akhir saat ini , juga diperlukan untuk mendorong peningkatan produksi industri-industri yang menggunakan gula sebagai bahan
bakunya. Permasalahan yang dihadapi industri gula nasional ditandai dengan
ketidakmampuan industri gula nasional mencukupi kebutuhan gula setiap tahun untuk konsumsi dan input bagi industri di dalam negeri. Kondisi industri gula
nasional dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan produksi gula nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan gula yang semakin meningkat.
Mengingat gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sehari-hari, pemerintah mengemban tanggungjawab untuk senantiasa
menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang layak sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat. Untuk memenuhi
kebutuhan gula dari tahun ke tahun, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk melakukan impor gula.
Dibukanya impor gula secara bebas sejak awal tahun 1998, telah mengubah situasi pasar gula di dalam negeri menjadi sangat dipengaruhi oleh
pasar gula dunia. Perubahan terhadap kebijakan gula nasional secara mendasar pada industri gula yang sebelumnya dikenal sebagai the most regulated
commodity untuk melindungi produsen diubah menjadi komoditas yang diperlakukan dengan free trade policy berupa bebas impor dengan tarif bea
masuk yang rendah. Kebijakan free trade tersebut telah menyebabkan gula impor dengan volume yang kurang terkontrol oleh pemerintah, hal ini menyebabkan
excess supply yang berlebihan dipasar gula nasional. Hal tersebut berakibat pada harga gula dalam negeri hingga mencapai tingkat yang dapat menyebabkan
kebangkrutan total industri gula nasional. Pada umumnya, kebijakan free trade dengan tarif bea masuk yang rendah
tidak dilakukan oleh negara produsen gula yang termasuk dalam kategori paling efisien, apalagi di negara produsen yang masih tergantung pada gula impor seperti
Indonesia. Jika industri gula nasional tidak mampu meningkatkan produksi, maka impor gula akan semakin besar.
Husodo 2000 menyebutkan bahwa secara umum kondisi pergulaan nasional memiliki tiga persoalan utama. Pertama, rendahnya harga gula dipasaran
dunia. Kedua, produktivitas pabrik gula rendah dan banyak yang tidak efisien. Ketiga, perkembangan industri gula nasional terus merosot. Selanjutnya, Husodo
2000 juga menyatakan bahwa persoalan makro pergulaan nasional adalah 1 dalam jangka pendek : bagaimana mengatur stok gula hingga mencapai harga
yang wajar bagi produsen tanpa memberatkan konsumen, dan 2 dalam jangka panjang : bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktivitas pergulaan nasional,
dan mengarah pada swasembada dan ekspor.
Permasalahan industri gula nasional, pada dasarnya dapat didiagnosa dengan mengkaji permasalahan yang terdapat pada faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan industri gula nasional. Salah satu dari faktor- faktor yang berpengaruh adalah pabrik gula. Pada umumnya, pabrik gula PG
di Indonesia didirikan sejak jaman Belanda. Pada tahun 1930 tercatat ada 179 PG, dan pada tahun-tahun berikutnya terjadi fluktuasi dalam hal jumlah PG.
Effendi 2009 menyebutkan bahwa pada tahun 2000 jumlah PG di Indonesia mencapai 71 unit. Namun pada tahun 2008 hanya 58 unit yang beroperasi di
tambah empat unit PG rafinasi. Lokasi PG menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2005 tersebar di 8 propinsi. Di Jawa, sebagai sentra utama adalah Jawa Timur 31 PG, sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki
delapan dan lima PG. Di luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama dengan lima PG, diikuti oleh Sulawesi Selatan 3 PG, Sumatera Utara 2 PG,
Sumatera Selatan 1 PG, dan Gorontalo 1. Adapun daftar pabrik gula beserta kapasitas gilingnya dapat di lihat pada Lampiran 2.
Kinerja industri gula yang mencerminkan daya saing industri gula,
merupakan hasil dari interaksi antar sub sistem dalam agribisnis gula, yang terdiri dari empat sub sistem, yaitu : 1 sub sistem penyediaan input, 2 sub sistem
usahatani tebu, 3 sub sistem pengolahan gula pabrik, dan 4 sub sistem pemasaran. Selain itu, Disbun Jatim 2010 juga menyebutkan bahwa selain
dipengaruhi oleh interaksi dari empat sub sistem dalam agribisnis, kinerja industri gula juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang pergulaan, perubahan
keunggulan komparatif dalam penggunaan input, perubahan manajemen dan kelembagaan, serta kemajuan penemuan, inovasi dan adopsi teknologi pada
industri gula dan industri lain yang berkompetisi, bersubstitusi dan berkomplemen.
Upaya yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing, menjaga eksistensi dan sustainability industri gula serta efisiensi yang mengarah pada penurunan
biaya produksi yaitu revitalisasi industri gula. Revitalisasi industri gula pada dasarnya mencakup usaha-usaha peningkatan produktivitas dan efisiensi pada
sektor on farm usaha tani dan off farm pabrik gula, yang didukung oleh
kebijakan yang kondusif bagi terciptanya kondisi ke arah perbaikan kedua sektor tersebut. Selain itu, revitalisasi industri gula juga berkaitan erat dengan
restrukturisasi industri gula terutama dalam aspek kelembagaan dan kepemilikan perusahaan gula, serta pemberdayaan lembaga usaha tani koperasi dan lembaga
penelitian Disbun Jatim 2010. Kinerja PG dapat di kategorikan ke dalam dua aspek, yaitu : kinerja
ekonomis dan kinerja teknis. Kinerja teknis pabrik gula merupakan gabungan dari 1 kinerja unit penggilingan yang ditunjukkan oleh persen HPB hasil bagi
perahan briks dan persen pol dalam ampas; 2 kinerja unit pengolahan yang ditunjukkan oleh persen HK Harkat Kemurnian dan pol nira mentah; dan 3
Ketel boiler sebagai komponen utama dalam proses produksi yang ditunjukkan oleh persen efisiensi ketel dan pemakaian uap kwton tebu. Standar yang
digunakan sebagai pembanding Moerdokusumo 1993 dan LPPM IPB 2002 yaitu 1 90 untuk persen HPB; 2 2 untuk persen pol dalam ampas; 3
96 untuk Harkat Kemurnian; 4 90 pol nira mentah dan 5 78 untuk efisiensi ketel; serta 6 60 kwton tebu untuk pemakaian uap.
Woerjanto 2000 menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja PG agar lebih efisien yaitu : 1 pemeliharaan mesin
dan peralatan pabrik yang lebih baik untuk menekan terjadinya jam henti giling pada saat musim giling, 2 penggantian mesin, peralatan, dan suku cadang
dilakukan dengan benar, dalam arti mutu sesuai spesifikasi teknis yang diinginkan dan harga yang wajar serta tepat waktu, 3 perlakuan preventive maintenance
program dalam masa giling, yaitu pemeliharaan mesin dan perawatan semua mesin serta peralatan di saat sedang operasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan
atau gangguan yang tidak diinginkan, 4 Pengoperasian semua mesin dan peralatan sesuai standart operating procedure SOP untuk mencegah terjadinya
kesalahan operasi, 5 Proses pabrikasi dilakukan secara benar dengan sasaran mencegah terjadinya kehilangan gula dalam proses, sehingga dapat dicapai
efisiensi pengolahan yang baik dengan kualitas produk yang prima, dan 6 penghematan pemakaian bahan pembantu pengolahan. Selain itu, untuk lebih
meningkatkan efisiensi pabrik gula, perlu dilakukan rehabilitasi mesin dan peralatan yang sudah tidak efisien.
Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menunjang industri gula nasional. Di lihat dari jumlah PG secara nasional, sekitar 80 PG berada di Pulau
Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60 dihasilkan di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula sekitar 80 dihasilkan oleh petani
tebu. Petani tebu sebagian mengusahakan tanaman tebu di lahan sawah dan sebagian di lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak
mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi. PG yang ada di Pulau Jawa, pada umumnya telah tua sebagian didirikan
pada tahun 1800-an. Namun, sebagian besar PG di Jawa sudah direhabilitasi dan ditingkatkan kapasitasnya. Kapasitas giling ditingkatkan dengan sasaran
peningkatan efisiensi , bahkan di beberapa pabrik mencapai 3 – 4 kali kapasitas
semula. Otomatisasi dan komputerisasi beberapa peralatan pabrik telah dilakukan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya kesalahan operasional. Upaya
tersebut menjadikan proses pengolahan gula lebih efisien. Namun masih ada yang menggunakan mesin dan peralatan lama yang tingkat efisiensinya relatif rendah.
Dari sisi kapasitas terpasang yang dimiliki PG di Pulau Jawa, menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan 2004 53 PG memiliki kapasitas giling
kecil 3.000 TTH, 44 berkapasitas giling menengah antara 3.000 – 6.000
TTH, dan hanya 3 yang berkapasitas giling besar 6.000 TTH. Industri gula di Pulau Jawa menurut Woerjanto 2000 menghadapi tiga
permasalahan struktural yaitu 1 rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula, 2 rendahnya daya saing tanaman tebu dibandingkan komoditas agribisnis
lainnya, dan 3 industri gula termasuk dalam klasifikasi padat karya. Padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa dan konversi lahan sawah menyebabkan luas
areal lahan tebu, baik pada lahan sawah maupun lahan kering menurun dari tahun ke tahun. Dengan banyaknya jumlah pabrik gula yang sampai saat ini beroperasi,
luas lahan yang tersedia menjadi tidak memadai untuk mendukung kelancaran produksi. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberlanjutan pabrik gula yang
sangat tergantung pada kecukupan, kontinuitas, serta mutu bahan baku tebu yang diperolehnya.
Industri gula di Pulau Jawa dengan segala permasalahan yang dihadapi, merupakan kegiatan ekonomi yang secara langsung terkait dalam pemanfaatan
potensi keunggulan kompetitif sumber daya lokal. Oleh karena itu, industri gula di Pulau Jawa akan tetap menjadi existing assets yang memiliki prospek di masa
mendatang. Jawa Timur selama ini merupakan propinsi penghasil gula terbesar di
Indonesia, yang dihasilkan dari 30 PG milik BUMN PTPN X, PTPN XI, dan RNI serta satu pabrik gula swasta PG Kebon Agung. Produktivitas gula yang
masih rendah di Jawa Timur, terutama disebabkan oleh kualitas bahan baku tebu dan kinerja pengolahan Disbun Jatim 2010.
Di sisi on-farm, Jawa Timur menghadapi dua permasalahan penting Disbun Jatim 2010 yaitu : Pertama, pergeseran budidaya tebu ke lahan tegalan
akibat persaingan yang ketat dengan padi dan alih fungsi sawah menjadi area non- pertanian seperti pemukiman dan industri. Perubahan budidaya tebu ke lahan
tegalan harus diikuti dengan perubahan paradigma budidaya tebu, mengingat pola reynoso yang memerlukan tenaga kerja sangat intensif dan biasa dilakukan di
lahan sawah tidak dapat dilakukan lagi pada lahan tegalan. Inovasi teknologi varietas tebu yang sesuai, pengolahan tanah yang tepat, dan pemupukan yang
efektif yang menunjang optimalisasi budidaya tebu di lahan tegalan perlu terus dikembangkan. Kedua, proporsi tebu keprasan yang relatif tinggi dibanding
tanaman tebu pertama Plant Cane. Produktivitas gula menjadi sulit ditingkatkan pada kondisi tanaman ratoon yang dikepras lebih dari empat kali. Dampak dari
tanaman ratoon yang dikepras secara berulang-ulang tidak terkendali akan mengakibatkan kualitas tanaman tebu menurun tajam akibat terjadinya penurunan
degradasi inheren genetik dari varietas tebu, peka terhadap serangan penyakit tertentu seperti penyakit Ratoon Stunsting Disease RSD dan menimbulkan ekses
campuran varietas apabila dilakukan tambal sulam bibit secara tidak terkendali. Di sisi Off-farm Jawa Timur perlu merevitalisasi dua aspek penting
Disbun Jatim 2010 yaitu : peningkatan kapasitas giling dan rehabilitasi PG dalam rangka meningkatkan efisiensi. Meskipun rerata produktivitas tebu yang
dihasilkan di lahan tegalan lebih rendah dibanding lahan sawah, upaya peningkatan produksi gula di masa mendatang salah satunya ditempuh dengan
pengembangan areal tegalan. Jawa Timur memiliki potensi areal pengembangan tebu yang cukup luas yang tersebar di beberapa kabupaten atau kota. Mengingat
jumlah tebu yang dihasilkan akan meningkat, maka kemampuan PG dalam menggiling tebu juga harus ditingkatkan. Oleh karena itu, kelebihan pasokan tebu
harus diantisipasi dengan peningkatan kapasitas giling PG. Selanjutnya, Disbun Jatim 2010 juga menyatakan cara lain untuk
mengimbangi lonjakan jumlah tebu giling di tahun-tahun yang akan datang, yaitu dengan : meningkatkan kinerja PG serta melakukan audit PG. Kinerja PG
diperbaiki dengan cara mengurangi idle capacity dan meningkatkan efisiensi melalui rehabilitasi mesin-mesin atau alat-alat yang tua dan berkinerja rendah.
Kapasitas giling efektif PG diusahakan bisa mendekati atau sama dengan kapasitas terpasangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan jam henti giling.
Peningkatan pemanfaatan kapasitas giling PG dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi gilingan, pengolahan, dan penggunaan energi. Audit PG
dimaksudkan untuk menilai kinerja PG secara keseluruhan sehingga bisa dihasilkan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja PG tersebut. Proses audit
dilakukan dengan menelusuri perjalanan tebu menjadi gula didalam PG. Melalui proses tersebut maka berbagai hal yang menyebabkan ketidak efisienan atau
kinerja PG menurun bisa ditelusuri, sehingga bisa dibuat rekomendasi untuk perbaikan. Selain itu, audit PG juga digunakan sebagai kontrol atas pelaksanaan
best management practices di PG. Luthfie 2010 menyatakan bahwa sisi pengolahan pada industri pergulaan
di Jawa Timur dinilai sebagai titik lemah yang menjadi pangkal rendahnya produktivitas pabrik gula. Selanjutnya, Luthfie 2010 membandingkan kinerja
pabrik gula di Jawa Timur dengan pabrik gula di Propinsi Lampung dengan hasil perbandingan sebagai berikut : 1 kapasitas produksi : di propinsi Lampung
mencapai 8,91 ton per hektare sedangkan provinsi Jawa Timur hanya mencapai 5,975 ton per hektare , 2 rendemen : enam pabrik gula di Lampung memiliki
rerata rendemen sebesar 9 sedangkan 31 pabrik gula di Jawa Timur hanya memiliki rerata rendemen sebesar 7,8, dan 3 penghasilan petani lahan tegalan :
rerata petani tebu di provinsi Lampung meraih penghasilan sebesar Rp. 13 juta –
Rp. 15 Juta per hektare sedangkan petani di Jawa Timur hanya meraih penghasilan sebesar Rp. 9 juta
– Rp. 11 Juta per hektare.
Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan
industri gula Indonesia, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan mempunyai
dimensi yang cukup luas, yaitu mencakup input, produksi, distribusi, dan harga perdagangan. Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan
jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005 menyatakan bahwa secara garis
besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama, yaitu 1 Era Isolasi 1980 - 1997, 2 Era Perdagangan
Bebas 1997 - 1999, 3 Era Transisi 1999 - 2002, dan 4 Era Proteksi dan Promosi 2003 - sekarang.
Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan respon pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi industri gula nasional, yang
dikeluarkan secara reaktif dan cenderung bersifat ad-hoc. Kebijakan yang hanya menekankan pada hambatan perdagangan dan pembatasan impor saja tidak akan
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
2009 merumuskan visi, misi dan indikator pencapaian untuk industri gula nasional sebagai berikut :
VISI : Mewujudkan industri gula nasional yang mandiri, berdaya saing, dan
mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor MISI :
1. Memperkuat struktur industri gula 2. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi
3. Mendorong investasi PG-PG keluar P. Jawa 4. Terpenuhinya kebutuhan gula konsumsi dan industri oleh industri gula
dalam negeri
Indikator Pencapaian : tercapainya swasembada gula nasional pada tahun 2014
Tabel 1 Instrumen kebijakan untuk Industri Gula Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005
Nomor SKKeppresKepmen Perihal
Tujuan
Keppres No. 431971, 14 Juli 1971
Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula
Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok
Surat Mensekneg No. B.136abn sekneg374,
27 Maret 1974 Kepmen Perdagangan dan
Koperasi No. 122KpIII81, 12 Maret 1981
Kepmenkeu No. 342KMK.0111987
Intensifikasi Tebu Rak-yat TRI
Tataniaga gula pasir dalam negeri
Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri
Penjelasan mengenai Keppres No. 431971 yang meliputi gula PNP
Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu
Menjamin stabilitas harga,
devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik
UU No. 121992 Inpres No. 51997,
29 Desember 1997 Inpres No. 51998 ,
5 Januari 1998 Kepmenperindag No.
25MPPKep11998 Kepmenhutbun No.282Kpts-
IX1999, 7 Mei 1999
Kepmenperindag No. 363MPPKep81999,
5 Agustus 1999 Kepmenperindag No.
230MPPKep62000, 5 Juni 2000
Kepmenkeu No. 324KMK.012002
Kepmenperindag No. 643MPPKep92002,
23 September 2002 SK 522MPPKep92004
Budidaya tanaman Program Pemgembangan Tebu
Rakyat Penghentian pelaksanaan
Inpres No. 51997 Komoditas
yang diatur
tataniaga impornya Ppenetapan harga provenue
gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula
Mencabut Kepmenperindag No. 363MPPKep81999
Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula
Tentang ketentuan impor gula Memberikan kebebasan pada petani
untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar
Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan
bebas Memberikan kebebasan pada petani
untuk menanam komoditas sesuai dengan UU No. 121992
Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang
Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi
Pengurangan
beban anggaran
pemerintah melalui impor gula oleh produsen
Pembebasan taris impor gula untuk melindungi industri dalam negeri
Peningkatan efektivitas bea masuk Pembatasan pelaku impor gula untuk
meningkatkan pendapatan petani atau produsen
Revisi dan mempertegas esensi Kepmenperindag No.
643MPPKep92002
Adapun roadmap sasaran pengembangan industri gula adalah sebagai berikut :
Gambar 7 Roadmap Sasaran Pengembangan Industri Gula 2010 – 2025 Dirjen
Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian 2009
2.2 Perbaikan Kinerja