Sistem Penunjang Keputusan untuk Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit

(1)

1 BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Agroindustri kelapa sawit di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati di dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Dirjen Perkebunan (2008) mencatat bahwa hingga akhir tahun 2007, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai lebih dari enam juta hektar yang tersebar di 22 propinsi. Pada Tabel 1.1 disajikan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut propinsi pada tahun 2003 hingga tahun 2007. Peningkatan luas lahan perkebunan ini akan meningkatkan kapasitas olah tandan buah segar (TBS) di pabrik kelapa sawit (PKS) sehingga kuantitas minyak kelapa sawit dan inti sawit sebagai produk olahan TBS akan mengalami peningkatan. Namun di sisi lain, peningkatan kapasitas olah TBS tersebut juga akan meningkatkan kuantitas limbah PKS yang dihasilkan. Limbah PKS harus dapat ditangani dengan benar dan tepat agar dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Apalagi dengan peningkatan kuantitas limbah PKS seperti saat ini, maka bobot limbah PKS yang harus dibuang ke lingkungan sebagai badan penerima semakin bertambah sehingga resiko pencemaran lingkungan juga semakin meningkat.

Limbah PKS terdiri dari limbah gas, cair dan padat. Limbah gas umumnya telah ditangani secara langsung di areal PKS untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan. Sementara itu, penanganan limbah cair dan limbah padat dilakukan di luar areal PKS hingga dapat dibuang ke lingkungan. Penanganan limbah cair PKS yang dilakukan berupa pengolahan limbah yang diikuti atau tanpa diikuti dengan pemanfaatan limbah cair tersebut. Sebelum dimanfaatkan atau dibuang ke lingkungan, limbah cair PKS harus diolah terlebih dahulu di instalasi pengolahan air limbah (IPAL) agar limbah cair tersebut memenuhi baku mutu air limbah yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah setempat. Limbah padat PKS terdiri dari tandan kosong, cangkang dan serabut kelapa sawit. Limbah padat tersebut umumnya dapat langsung dibuang ke lingkungan atau


(2)

2 dimanfaatkan tanpa harus diolah terlebih dahulu (Ditjen PPHP Departemen Pertanian, 2006).

Tabel 1.1 Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut propinsi pada tahun 2003 – 2007

No. Propinsi

Tahun Pertumbuhan 2007 setelah

2006 (%) 2003 2004 2005 2006 2007

1 NAD 262.151 249.011 254.261 308.560 311.831 1,06 2 Sumatera

Utara

919.680 844.882 894.911 979.541 970.653 - 0,91

3 Sumatera Barat

306.496 279.798 282.518 315.618 316.540 0,29

4 Riau 1.319.659 1.340.036 1.277.703 1.547.942 1.547.972 0,07

5 Kep. Riau - 6.849 13.698 6.933 6.933 0,00

6 Jambi 456.327 372.804 403.477 568.751 574.614 1,03 7 Sumatera

Selatan

502.481 497.933 548.687 630.214 630.214 0,00

8 Babel 94.886 119.635 130.037 133.284 133.284 0,00 9 Bengkulu 80.218 126.252 147.125 165.121 165.271 0,03 10 Lampung 137.721 145.542 148.535 157.229 157.763 0,34 11 Jawa Barat 6.242 8.070 8.744 9.381 9.381 0,00 12 Banten 19.200 12.614 14.076 14.077 14.077 0,00 13 Kalimantan

Barat

416.807 358.175 381.791 492.112 492.241 0,03

14 Kalimantan Tengah

241.615 401.663 434.481 571.874 573.359 0,26

15 Kalimantan Selatan

141.638 172.650 134.621 243.451 244.806 0,56

16 Kalimantan Timur

201.871 171.581 201.236 237.765 253.877 6,78

17 Sulawesi Tengah

43.743 48.236 48.334 48.431 42.367 -12,52

18 Sulawesi Selatan

78.932 13.925 16.018 24.490 24.571 0,33

19 Sulawesi Barat

- 52.476 57.476 75.154 75.754 0,80

20 Sulawesi Tenggara

4.078 - 466 2.966 2.966 0,00

21 Papua 49.812 51.051 39.090 29.736 29.936 0,67 22 Papua

Barat

- 11.540 16.540 31.734 31.734 0,00

Indonesia 5.283.557 5.284.723 5.453.816 6.594.914 6.611.614 0,25 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)

Dewasa ini telah banyak dikembangkan berbagai metode pengolahan dan pemanfaatan limbah cair dan limbah padat PKS. Pengembangan berbagai metode ini didasarkan pada potensi pemanfaatan dari limbah PKS yang sangat besar. Selain itu, peningkatan kuantitas limbah PKS yang terjadi saat ini semakin memperbesar potensi dan peluang pengembangan berbagai metode pemanfaatan limbah PKS


(3)

3 tersebut. Pada Tabel 1.2 disajikan mengenai jenis, potensi dan pemanfaatan limbah PKS. Berbagai metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang telah dikembangkan diharapkan dapat membantu pihak industri kelapa sawit dalam menangani limbah PKS yang dihasilkan.

Tabel 1.2. Jenis, potensi dan pemanfaatan limbah PKS

Jenis limbah Potensi per ton TBS (%) Manfaat

Tandan kosong 21,5 – 23 Pupuk kompos, pulp kertas,

papan partikel, energi

Wet decanter solid 4,0 Pupuk kompos, makanan ternak

Cangkang 6,5 Aran aktif, papan partikel

Serabut 13,0 Energi, pulp kertas, papan

partikel

Limbah cair 50 – 60 Pupuk, air irigasi, sumber

energi

Air kondensat - Air umpan boiler

Sumber : Ditjen PPHP Departemen Pertanian (2006)

Banyaknya alternatif metode pengolahan dan pemanfaatan yang tersedia membuat pihak industri kelapa sawit perlu untuk mempertimbangkan berbagai faktor agar metode yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan kondisi perusahaan dan tujuan penanganan limbah PKS yang ingin dicapai. Pada akhirnya diharapkan terpilihnya metode pengolahan dan pemanfatan limbah PKS yang dapat diterapkan secara tepat dan optimal. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti mencoba untuk mengembangkan suatu sistem guna membantu pihak industri kelapa sawit dalam mempertimbangkan dan menentukan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang akan diterapkan. Sistem yang dikembangkan yaitu berupa sistem penunjang keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan limbah PKS. Sistem ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan pertimbangan kepada pihak industri kelapa sawit dalam memilih dan menerapkan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang tepat dengan kapasitas yang optimal sehingga dapat memberikan keuntungan secara finansial serta menjaga kelestarian lingkungan.

Metode analisis optimasi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

goal programming. Menurut Bertolini dan Bevilacqua (2005), goal programming

dapat digunakan sebagai sebuah pendekatan yang efektif untuk suatu proses pengambilan keputusan yang memiliki banyak tujuan dengan sifat yang saling bertentangan. Selain itu, fungsi tujuan dari model goal programming dapat terdiri


(4)

4 dari unit-unit (satuan) ukuran yang tidak homogen. Metode goal programming yang digunakan akan dikombinasikan dengan metode Analytical Hierarchy Process

(AHP). Metode AHP berfungsi sebagai pemberi nilai prioritas pencapaian terhadap tujuan optimalisasi pemanfaatan limbah PKS yang dirumuskan pada penelitian ini.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model Sistem Penunjang Keputusan optimalisasi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit. Model yang dikembangkan terdiri dari :

1. Model penentuan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah cair dan limbah padat PKS yang akan diterapkan. Model ini menggunakan metode analisis goal programming yang dikombinasikan dengan metode analytical hierarchy process. 2. Model analisis biaya untuk pengoperasian berbagai metode pengolahan dan

pemanfaatan limbah cair dan limbah padat PKS. Model ini menggunakan metode heuristik dalam tahapan analisis biaya.

3. Informasi mengenai metode pengolahan dan pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit yang direkomendasikan oleh pihak-pihak yang berkecimpung (pakar) dalam sistem penanganan limbah PKS.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini mencakup pemodelan optimalisasi pemanfaatan limbah PKS yang kemudian dikembangkan dalam suatu model Sistem Penunjang Keputusan yang terkomputerisasi. Sistem yang dikaji mencakup kriteria dan alternatif metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS, penentuan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang tepat dengan kapasitas pemanfaatan yang optimal serta menghitung analisis biaya dari pengolahan dan pemanfaatan limbah tersebut. Sistem ini diharapkan mampu memberikan alternatif keputusan untuk menunjang proses pemilihan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang lebih bermanfaat, menguntungkan dan ramah lingkungan.

Penelitian ini difokuskan pada metode pengolahan limbah PKS yang pemanfaatan hasil olahan limbahnya dilakukan oleh pihak industri kelapa sawit (dalam hal ini pihak pabrik kelapa sawit). Oleh karena itu, jenis limbah PKS yang akan dikaji adalah limbah cair PKS dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Jenis


(5)

5 metode pengolahan dan pemanfaatan yang dikaji pada penelitian ini merupakan rekomendasi dari pihak Ditjen PPHP Departemen Pertanian. Berikut rincian metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang dikaji :

1. Limbah cair PKS

Metode pengolahan yang dikaji yaitu :

a) metode kolam stabilisasi, informasinya diperoleh dari literatur yang dikeluarkan oleh Ditjen PPHP Deptan (2006) yang menyajikan bahasan mengenai instalasi kolam stabilisasi pada PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam,

b) metode tangki anaerobik-aerasi lanjut, informasinya diperoleh dari literatur yang dikeluarkan oleh Ditjen PPHP Deptan (2006) yang menyajikan bahasan mengenai instalasi tangki anaerobik-aerasi lanjut pada PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam,

c) metode reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT), informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Buana, dkk (2000) yang menyajikan bahasan mengenai analisis finansial penerapan metode RANUT pada PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam.

Metode pemanfaatan yang dikaji :

a) pemanfaatan limbah cair terolah untuk irigasi dan pemupukan (teknik aplikasi :

flatbed, traktor tangki dan longbed), informasinya diperoleh dari PT. Condong, Garut (Putri, 2009) yang telah menerapkan teknik aplikasi lahan yang dikaji, b) pemanfaatan biogas sebagai sumber energi, informasinya diperoleh dari

literatur yang dikeluarkan oleh Ditjen PPHP Deptan (2006),

c) pemanfaatan limbah cair terolah sebagai penambah nutrisi kompos TKKS , informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Wulfert, dkk (2000). 2. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

Metode pengolahan yang dikaji adalah metode teknologi kompos TKKS, informasinya diperoleh dari PT. Surya Faster Growing (2004) yang telah menerapkan metode teknologi kompos TKKS.


(6)

6 a) pemanfaatan TKKS sebagai mulsa dan pemanfaatan kompos TKKS di lahan perkebunan, informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Pahan (2008) dan Taniwiryono (2009),

b) penjualan/pemasaran kompos TKKS, informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Buana, dkk (2000).

Informasi dan data mengenai penerapan berbagai metode sebagian diperoleh dari berbagai perusahaan kelapa sawit yang memiliki pabrik kelapa sawit dengan kapasitas olah yang sama (30 ton TBS/jam) dan telah menerapkan salah satu metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang dikaji. Sementara itu, informasi dan data yang diperoleh dari studi literatur serta wawancara dilakukan karena sebagian metode penanganan limbah yang dikaji belum banyak diterapkan oleh pabrik kelapa sawit sehingga sulit memperoleh data dan informasi penerapannya. Informasi dan data yang diperoleh akan digunakan pada tahapan verifikasi terhadap model yang telah dikembangkan. Oleh karena data dan informasi diperoleh dari tahun penulisan yang berbeda, maka untuk penyetaraan nilai biaya digunakanlah nilai persentase inflasi yang terjadi di Indonesia (antara tahun 2001 – 2009) sebagai asumsi.

D. OUTPUT PENELITIAN

Penelitian ini menghasilkan output berupa perangkat lunak sistem penunjang keputusan optimalisasi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) yang bernama PW (Palm Oil Mill Waste) Optima 1.0. Model sistem ini memiliki empat submodel, yaitu model analisis biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah cair PKS, model analisis biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah TKKS, model optimalisasi pemanfaatan limbah cair PKS, serta model optimalisasi pemanfaatan TKKS. Hasil analisis model ini yaitu meliputi :

1. kapasitas optimal dari pengolahan dan pemanfaatan limbah cair PKS serta TKKS, 2. penggunaan biaya yang optimal dari pengolahan dan pemanfaatan limbah cair

PKS serta TKKS,

3. nilai keuntungan optimal yang diperoleh pihak industri kelapa sawit,

4. tingkat ketercapaian dari tujuan optimalisasi pengolahan dan pemanfaatan limbah cair PKS dan TKKS.


(7)

7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KELAPA SAWIT DAN PENGOLAHANNYA

1. Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tumbuhan tropis yang tergolong dalam famili Palmae dan berasal dari Afrika Barat. Meskipun demikian, kelapa sawit dapat tumbuh di luar daerah asalnya, termasuk Indonesia. Hingga kini, tanaman ini telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit (Fauzi et al, 2006).

Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut (Pahan, 2008) : Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae) Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : E. guineensis Jacq., E. oleifera (H.B.K) Cortes, E odora

Lebih lanjut, Fauzi et al (2006) menjelaskan bahwa kelapa sawit tergolong tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20 – 75 cm. Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15 – 18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m. Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah sebanyak 20 – 22 tandan/tahun.

2. Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

Pabrik kelapa sawit adalah industri pengolahan tandan buah segar (TBS) dari tanaman kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak inti sawit (palm kernel oil). Proses pengolahan TBS menjadi crude palm oil (CPO) dan

palm kernel (PK) dapat dilihat pada Gambar 2.1. Berikut penjelasan mengenai proses pengolahan TBS menjadi CPO dan PK menurut Pahan (2008).


(8)

8 a. Stasiun penerimaan buah

Stasiun penerimaan buah merupakan tempat penerimaan pertama bagi TBS yang berasal dari kebun sebelum diolah dalam PKS. Di stasiun ini, TBS akan ditimbang di jembatan timbang (weight bridge) dan ditampung sementara di penampungan buah (loading ramp).

b. Stasiun rebusan (sterilizer)

Stasiun rebusan merupakan stasiun yang melakukan proses perebusan TBS. Proses perebusan sangat menentukan kualitas hasil pengolahan TBS di PKS. Tujuan dari proses perebusan TBS yaitu menghentikan perkembangan asam lemak bebas (ALB), memudahkan proses pemipilan, mengurangi kadar air di dalam buah sehingga mempermudah proses pengempaan dan pemisahan minyak dari zat nonlemak serta penyempurnaan dalam proses pengolahan inti sawit. Proses perebusan TBS dilakukan dengan menggunakan tekanan uap sebagai media panasnya.

c. Stasiun pemipilan (stripper)

TBS yang telah direbus dikirim ke stasiun pemipilan dan dituangkan ke alat pemipil (thresher) dengan bantuan hoisting crane. Pada stasiun pemipilan dilakukan proses pemipilan untuk melepaskan brondolan dari tandannya. Proses pemipilan ini terjadi akibat tromol berputar pada sumbu mendatar yang membawa TBS ikut berputar sehingga membanting-banting TBS dan menyebabkan brondolan terlepas dari tandannya. Brondolan dibawa ke stasiun pencacahan (digesting) dan pengempaan (pressing). Sementara itu, tandan yang telah dilepaskan brondolannya atau tandan kosong keluar melalui ujung tromol dan dibawa oleh empty bunch conveyor menuju tempat penampungan tandan kosong. d. Stasiun pencacahan (digester) dan pengempaan (presser)

Proses pencacahan brondolan bertujuan mempersiapkan daging buah untuk proses pengempaan sehingga minyak dengan mudah dapat dipisahkan dari daging buah dengan kerugian berupa kehilangan minyak yang sekecil-kecilnya. Hasil cacahan langsung masuk ke alat pengempaan yang berada persis di bawah alat pencacah. Proses pengempaan bertujuan untuk memisahkan minyakdari daging buah. Alat pengempaan yang digunakan adalah screw press. Minyak kasar hasil pengempaan dialirkan menuju sand trap tank, sedangkan ampas kering dan


(9)

9 Gambar 2.1 Diagram alir proses pengolahan TBS (Pahan, 2008)

Minyak + Sludge Crude Oil Tank

Minyak k Oil Tank

Clarifier Tank

Sludge Tank

Oil Purifier Buffer Sludge Tank

Sludge Separator Brush Strainer Minyak

Minyak

Vacuum Dryer

Reclaimed Oil Tank Transfer Oil Tank

CPO (MKS)

C Sludge

Uap ke proses pengolahan

Fat Pit D

Stasiun Pengolahan Limbah

Sebagian minyak dikutip dan dimurnikan kembali Kernel

Kernel Silo Clay bath LTDS Cangkang Kernel Polishing Drum Nut Silo King Cracker

Kernel (IKS)

Nut Grading Drum

Kernel Cangkang Vibrating Screen Fiber Ampas Press Depericarper Minyak Janjangan Kosong

Ke areal kebun

TBS Jembatan Timbang D Screw Press Digester Thresser Sterilizer Loading Ramp Kondensat Loose fruit Uap Boiler

B. P. Vessel Power House Steam


(10)

10 biji dibawa oleh cake breaker conveyor (CBC) menuju stasiun pemisahan biji dan inti.

Di dalam sand trap tank terjadi proses pengendapan sebagian kotoran berupa lumpur (sludge) maupun pasir, sedangkan minyak serta sebagian kotoran yang tidak mengendap berada di bagian atas dan dialirkan menuju saringan getar (vibrating screen). Kotoran yang mengendap tersebut dialirkan menuju fat pit. Pada saringan getar, minyak kasar disaring untuk memisahkan minyak kasar dari kotoran berupa serabut kasar. Minyak kasar yang telah disaring dialirkan menuju tangki minyak kasar (crude oil tank atau COT)), sedangkan kotoran berupa serabut kasar dibawa ke stasiun pengempaan untuk diproses kembali. Hal ini bertujuan untuk mengutip minyak yang masih terdapat pada serabut kasar sehingga minyak yang terbuang dapat dikurangi.

e. Stasiun pemurnian (Clarifier)

Pada stasiun pemurnian, minyak kasar yang diperoleh dari hasil pengempaan akan dibersihkan dari kotoran (padatan, lumpur, maupun air) agar diperoleh CPO dengan kualitas sebaik mungkin dan dapat dipasarkan dengan harga layak. Proses pemurnian mulai dilakukan pada COT. Pada COT, minyak kasar dijaga pada temperatur 90 OC untuk memperbesar perbedaan berat jenis antara minyak, air, dan kotoran sehingga dapat mempermudah proses pengendapan. Selanjutnya, minyak dari COT dikirim ke tangki pengendap (vertical clarifier tank

atau VCT), sedangkan sebagian kotoran yang mengendap (sludge) akan dibuang melalui saluran pembuangan yang dibuka tiap satu jam. Sludge tersebut dialirkan ke

fat pit.

Di dalam VCT, temperatur dijaga pada kisaran 90 - 95 OC untuk mempermudah proses pengendapan kotoran sehingga terpisah dari minyak kasar dan dilakukan pengadukan dengan menggunakan pengaduk (stirer agitator). Minyak dari VCT selanjutnya dikirim ke oil tank, sedangkan sludge dikirim ke

sludge tank. Sludge merupakan fasa campuran yang masih mengandung minyak dan akan diolah kembali untuk mengutip minyak yang masih terkandung di dalamnya. Temperatur di dalam oil tank dijaga pada kisaran 90 - 95 OC untuk mempermudah proses pengendapan tersebut. Minyak pada oil tank selanjutnya dialirkan menuju oil purifier. Pada oil purifier, minyak dipisahkan dari air dan


(11)

11 kotoran-kotoran ringan yang terkandung di dalamnya. Proses pemisahan dalam oil purifier ini menggunakan metode pemusingan dengan putaran tinggi untuk memisahkan cairan-cairan yang tidak saling bersenyawa (tidak saling melarutkan), mempunyai berat jenis yang berbeda, dan benda padat yang terkandung di dalamnya. Fase yang lebih berat, dalam hal ini air dan kotoran (sludge), akan mendapat gaya sentrifugal yang lebih besar sehingga akan terlempar lebih jauh ke bagian luar dari sumbu putar. Minyak yang telah dimurnikan di dalam oil purifier diharapkan memiliki kadar kotoran sebesar 0,01 – 0,02% dan kadar air ± 5%.

Selanjutnya, minyak dipompa menuju vacuum dryer. Di dalam vacuum dryer terjadi proses pengurangan kadar air pada minyak dengan proses pengeringan yang menggunakan tekanan rendah (vakum) antara 0,650 sampai -700 mmHg dengan temperatur berkisar antara 90 – 95 OC. Pemberian tekanan dan temperatur pada vacuum dryer dilakukan menggunakan steam ejector. Minyak yang telah melalui proses pengeringan ini diharapkan memiliki kadar air berkisar antara 0,01 – 0,02%. Kemudian, minyak dialirkan menuju oil transfer tank

sebagai tempat penampungan sementara minyak yang telah dimurnikan sebelum dialirkan dan disimpan di dalam tangki timbun.

f. Stasiun pemisahan biji dan inti (kernel)

Proses pemisahan biji dan inti meliputi dua metode, yaitu metode pemisahan biji dan serabut serta metode pengolahan dan pemisahan inti sawit.

Metode pemisahan biji dan serabut

Cara yang digunakan untuk memisahkan biji dari serabut kelapa sawit yaitu dengan menggunakan tarikan atau hisapan udara pada sebuah kolom pemisah (separating column) yang terdapat pada depericarper. Kemudian biji masuk ke tromol pembersih biji (nut polishing drum) untuk membersihkan sisa-sisa serabut yang masih menempel pada biji. Biji yang telah bersih akan terdorong oleh beater arm ke ujung nut polishing drum dan selanjutnya dibawa oleh

elevator menuju nut grading drum untuk dipisahkan berdasarkan ukurannya. Metode pengolahan dan pemisahan inti kelapa sawit (IKS)

Proses pengolahan dan pemisahan IKS meliputi pemisahan biji, pengeringan biji, pemecahan biji, pemisahan inti dan cangkang serta pengeringan inti.


(12)

12 Sebelum ditampung di dalam nut silo, biji bersih akan memasuki tromol pemisah biji (nut gradingdrum) untuk memisahkan antara biji berukuran kecil dengan biji berukuran besar. Tujuan pemisahan biji adalah untuk memperoleh efisiensi pemecahan biji yang optimal karena alat pemecah biji telah diset untuk memecahkan biji dengan ukuran tertentu. Pengeringan biji dilakukan di dalam

nut silo dan bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat di dalam biji sehingga daya lekat inti dan cangkang semakin renggang. Biji yang telah dikeringkan di dalam nut silo selanjutnya diumpankan ke alat pemecah biji, yaitu king cracker. Biji-biji tersebut akan terpecah sehingga mengeluarkan inti sawit (palm kernel) yang ada di dalamnya. Hasil pemecahan dari king cracker berupa campuran kernel, cangkang dan kotoran halus selanjutnya dibawa oleh conveyor dan elevator menuju ke bagian pemisahan.

Ada dua metode pemisahan kernel dan cangkang, yaitu sistem pemisahan kering dan pemisahan basah. Pemisahan kering dilakukan dalam suatu kolom vertikal (LTDS atau Light Tenera Dust Separator) dengan bantuan hisapan udara dari blower, dimana fraksi yang lebih ringan akan terhisap ke bagian atas, sedangkan fraksi yang lebih berat akan jatuh ke bawah. Proses pemisahan dilakukan pada dua kolom pemisah, yaitu LTDS 1 dan LTDS 2. Pemisahan basah dilakukan dengan menggunakan claybath dengan prinsip pemisahan berdasarkan perbedaan berat jenis antara inti dan cangkang menggunakan larutan kaolin. Inti yang sudah terpisah dari cangkang dimasukkan ke silo inti untuk diturunkan kadar airnya. Pengeringan ini bertujuan untuk menonaktifkan kegiatan mikroorganisme sehingga pembentukan jamur atau kenaikan asam dapat dibatasi pada saat inti disimpan. Selanjutnya, inti tersebut dibawa oleh

vanbelt conveyor menuju silo penyimpanan inti (bulk kernel silo). 3. Limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif. Pengertian mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena penanganan limbah memerlukan biaya yang cukup besar disamping juga dapat mencemari lingkungan (Sa’id, 1994).


(13)

13 Aktivitas produksi pabrik kelapa sawit (PKS) menghasilkan limbah dalam volume yang sangat besar. Hal ini dapat terlihat pada neraca massa pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) yang disajikan pada Gambar 2.2. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan limbah cair.

Gambar 2.2. Neraca massa pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan, 2006)

Limbah padat dapat dibuang secara langsung ke lingkungan tanpa harus diolah terlebih dahulu. Sementara untuk limbah cair, sebelum dibuang ke lingkungan, harus

Air (6,2%) Pemisahan dengan Depericarper 2 Air (3%) Limbah cair (39,4%) Limbah padat (2,4%) Air (14,4%) Air hidro siklon (3%) Air kondensat (11,1%) Pengepresan Pemecahan Pemisahan dengan angin Pengeringan Penyimpanan Kernel Pemisahan dengan air Pemisahan dengan Depericarper 1 23,5% Cangkang Serabut (12,9%) 10,6% 4,2% 2,2%

4,2% 1,2%

5,0% TBS

(100%)

Tandan rebus (88,5%) Perebusan

Perontokan

Penguapan (0,4%)

Tandan kosong

(21,5%) Pengadukan

Buah (67%) Minyak (0,2%) Penyaringan Pemisahan dengan Purifier Air (6,7%) Klarifikasi Minyak (21,3%) Pemisahan dengan Decanter CPO 22,5% Vacuum Dryer tangki timbun CPO IPAL

pengumpulan limbah cair di kolam/tangki Sludge

(22,2%)

Minyak

(1,0%) 26%

Limbah cair (6,7%)


(14)

14 diolah terlebih dahulu sampai dapat memenuhi baku mutu limbah cair yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah padat dan limbah cair PKS juga dapat dimanfaatkan oleh PKS setelah limbah tersebut diolah dengan metode pengolahan tertentu. Pemanfaatan limbah PKS tersebut juga harus didasarkan pada peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

a. Limbah cair pabrik kelapa sawit

1) Karakteristik limbah cair pabrik kelapa sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit mengandung bahan organik yang dapat mengalami degradasi. Pada Tabel 2.1 disajikan komposisi jumlah air limbah dari 1 ton CPO yang diproduksi. Pada Tabel 2.2 disajikan kualitas limbah cair yang dihasilkan oleh PKS berdasarkan parameter lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Tabel 2.1 Komposisi jumlah air limbah dari satu ton CPO

No. Uraian Kapasitas

1 Air 2,35 ton

2 NOS (Non Oil Solid) 0,13 ton

3 Minyak 0,02 ton

Jumlah 2,50 ton

Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan (2006) Tabel 2.2 Kualitas limbah cair yang dihasilkan oleh PKS secara umum

No. Parameter

Lingkungan Satuan

Limbah Cair

Kisaran Rata-rata

1 BOD mg/l 8.200 – 35.000 21.280

2 COD mg/l 15.103 – 65.100 34.720

3 TSS mg/l 1.330 – 50.700 31.170

4 Nitrogen Total mg/l 12 – 126 41

5 Minyak dan Lemak mg/l 190 – 14.720 3.075

6 pH - 3,3 – 4,6 4

Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan (2006)

Penjelasan mengenai parameter lingkungan yang menjadi parameter kualitas limbah cair PKS yaitu sebagai berikut :


(15)

15 BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD adalah banyaknya oksigen yang terlarut dalam ppm atau milligram per liter (mg/l) yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan organik di dalam air (Fardiaz, 1992).

COD (Chemical Oxygen Demand)

COD adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram per liter (mg/l) yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi (Sugiharto, 1987).

TSS (Total Suspended Solid)

TSS adalah jumlah total bobot bahan (padatan) yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu, biasanya dinyatakan dalam miligram per liter (mg/l) atau ppm. TSS menggambarkan padatan melayang dalam cairan limbah. Pengaruh TSS lebih nyata pada kehidupan biota dibandingkan dengan total solid. Semakin tinggi TSS, maka bahan organik membutuhkan oksigen untuk perombakan yang lebih tinggi (Kristanto, 2004).

Nitrogen total

Nitrogen total merupakan penjumlahan dari kandungan nitrogen organik, total amoniak, NO3-N dan NO2-N di dalam air limbah. Semakin tinggi kandungan total nitrogen dalam cairan limbah, maka akan menyebabkan keracunan pada biota (Suprihatin dan Ismayana, 2000).

Minyak dan lemak

Kandungan minyak dan lemak di dalam air limbah dapat mempengaruhi aktifitas mikroba dan merupakan pelapis permukaan cairan limbah sehingga menghambat proses oksidasi pada saat kondisi aerobik. (Fardiaz, 1992).

pH

pH atau konsentrasi ion hidrogen adalah ukuran kualitas dari air maupun air limbah. Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral (pH 6 – 8). Perubahan keasaman pada air limbah akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya. Air limbah dengan pH yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya (Kristanto, 2004).


(16)

16 2) Peraturan mengenai penanganan limbah cair PKS

Limbah cair PKS harus diolah terlebih dahulu hingga memenuhi baku mutu air limbah sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 1995. Daftar baku mutu limbah cair industri kelapa sawit diberikan pada lampiran B.IV di dalam Keputusan Menteri tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 2.3. Setelah memenuhi baku mutu air limbah tersebut, barulah limbah cair dapat dibuang ke badan air seperti sungai atau danau.

Tabel 2.3 Baku mutu limbah cair untuk industri kelapa sawit

Parameter Kadar Maksimum

(mg/l)

Beban Pencemaran Maksimum (mg/l)

BOD5 100 0,25

COD 350 0,88

TSS 250 0,63

Minyak dan Lemak 25 0,063

Nitrogen Total (sebagai N) 50,0 0,125

pH 6,0 – 9,0

Debit Limbah Maksimum 2,5 m3 per ton produksi minyak sawit Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 1995

Selain itu, dalam proses penanganan limbah cair juga diwajibkan kepada pihak industri kelapa sawit untuk memiliki izin pembuangan air limbah hasil pengolahan limbah cair PKS yang diatur atau dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat yang penetapannya berdasarkan pada :

Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 111 tahun 2003 tentang pedoman mengenai syarat dan tata cara perizinan serta pedoman kajian pembuangan air limbah ke air atau sumber air.

3) Metode pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit

Menurut Kristanto (2004), secara umum pengolahan air limbah terbagi menjadi tiga teknik pengolahan, yaitu :


(17)

17 a) Pengolahan secara fisika, dilakukan sebelum pengolahan lanjutan air limbah yang bertujuan untuk menyisihkan bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan mudah menguap atau bahan-bahan yang terapung.

b) Pengolahan secara kimia, dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun, dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan.

c) Pengolahan secara biologi, dilakukan karena semua air limbah mengandung bahan organik yang dapat diolah secara biologi.

Dalam penanganan limbah cair PKS, teknik pengolahan yang digunakan lebih mengarah ke pengolahan secara fisika dan biologi. Tahapan pengolahan limbah cair PKS dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pengolahan pendahuluan (pre treatment), pengolahan utama (primary treatment) dan pengolahan akhir (post treatment), seperti yang disajikan pada Gambar 2.3. Pada tiap tahapan akan dilakukan proses pengolahan limbah cair PKS dengan metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Subdit Pengelolaan Lingkungan Ditjen PPHP Departemen Pertanian. Berikut penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut :

a) Tahap pengolahan pendahuluan (pre treatment)

Rangkaian proses pengolahan limbah cair PKS yang dilakukan pada tahap pendahuluan pengolahan pendahuluan yaitu :

i. Proses segregasi aliran

Proses segregasi (pemisahan) aliran limbah cair PKS berdasarkan sumbernya, yaitu limbah cair yang berasal dari air rebusan TBS, stasiun klarifikasi dan air hidrosiklon.

ii. Proses pengurangan minyak dan lemak

Proses pengurangan kandungan minyak dan lemak dalam limbah cair PKS dilakukan di kolam pengutipan minyak (fat-pit) dengan menerapkan prinsip pengendapan. Minyak yang mengapung di bagian atas (berat jenis yang lebih kecil dari bahan lain), akan dialirkan menuju stasiun pemurnian untuk diolah kembali. Proses ini bertujuan untuk meminimalkan hilangnya kuantitas CPO akibat terbawa limbah cair PKS, mengurangi kandungan minyak dalam limbah cair PKS untuk memenuhi baku mutu agar dapat dibuang ke lingkungan dan


(18)

18 mengurangi kemungkinan terbentuknya buih yang dapat mengganggu proses pengolahan pada tahap pengolahan utama.

Gambar 2.3 Tahap pengolahan limbah cair PKS

Menurut Hassan, et al (2004), pemisahan minyak dan lemak dari limbah cair PKS dapat dilakukan dengan oil skimmer yaitu pemisahan dengan bantuan uap panas yang dimasukkan ke dalam limbah cair PKS untuk membantu mempercepat pemisahan antara minyak dan cairan lumpur.

iii. Proses penurunan suhu limbah cair PKS

Suhu limbah cair PKS diturunkan dari suhu 70 – 80 OC menjadi 40 – 45 OC dan dilakukan di menara atau bak pendingin. Proses ini dilakukan selama 1 sampai 2 hari. Tujuan dari proses ini yaitu untuk menurunkan suhu limbah cair PKS agar

dibuang ke badan air Kolam aerobik-aerasi

Kolam pengendapan

Pengolahan akhir Secara aerobik

Limbah cair PKS

1. Segregasi aliran 2. Pengutipan minyak 3. Penurunan suhu

RANUT

Kolam anaerobik Tangki anaerobik

Pengolahan pendahuluan

Pengolahan utama


(19)

19 sesuai dengan kondisi suhu yang ideal untuk mikroorganisme yang akan digunakan pada tahapan pengolahan utama.

b) Tahap pengolahan utama (primary treatment)

Tahap pengolahan utama terdiri dari 2 tahap proses pengolahan, yaitu proses pengolahan limbah cair secara anaerobik dan secara aerobik.

i. Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik (tanpa oksigen)

Rantai reaksi anaerobik ditunjukkan pada Gambar 2.4. Pada tahap pertama, bahan-bahan organik dikonversi oleh bakteri menjadi bahan-bahan organik yang terlarut. Pada tahap kedua, bahan-bahan organik terlarut tersebut dikonversi oleh bakteri asidifikasi menjadi asam organik, alkohol, aldehid dan sebagainya sehingga air limbah yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Tahap kedua juga menghasilkan hidrogen dan karbondioksida. Tahap selanjutnya adalah dua tahap pembentukan asam asetat dan metana serta karbondioksida. Bersamaan dengan dua tahap terakhir, terjadi pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri pemakan sulfat. Jika kandungan sulfur dalam air limbah tinggi, hidrogen sulfida yang terkandung di dalam gas akan menimbulkan masalah bau dan korosi (Siregar, 2005).


(20)

20 Pada proses pengolahan limbah cair PKS secara anaerobik, terdapat tiga metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Subdit Pengelolaan Lingkungan Ditjen PPHP Departemen Pertanian, yaitu metode kolam anaerobik, tangki anaerobik dan reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT).

i. Kolam anaerobik (kolam stabilisasi)

Kolam anaerobik merupakan metode pengolahan limbah cair PKS dengan menggunakan kolam-kolam sebagai tempat berlangsungnya proses pengolahan limbah cair PKS secara anaerobik. Pada Gambar 2.5 disajikan dasar perancangan untuk sistem kolam anaerobik aerasi. Proses anaerobik dilakukan di dalam kolam-kolam anaerobik yang terdiri dari kolam asidifikasi (pengasaman), kolam anaerobik primer dan anaerobik sekunder.

Pada kolam asidifikasi, bahan-bahan organik yang telah dikonversi menjadi bahan terlarut akan dikonversi menjadi asam organik, alkohol, aldehid dan sebagainya. Pada kolam anaerobik primer, akan terjadi proses asetogenesis dan fermentasi metana terhadap air limbah hingga tercapai baku mutu air limbah untuk aplikasi lahan. Sementara kolam anaerobik sekunder dimanfaatkan untuk melanjutkan proses di kolam anaerobik primer dan diperuntukkan terhadap limbah cair yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan. Secara prinsip, proses kerja yang terjadi di kolam anaerobik sekunder sama dengan kolam anaerobik primer. Pada Tabel 2.4 disajikan kisaran komponen kimia limbah cair PKS sebelum dan setelah penanganan dengan metode kolam anaerobik (kolam stabilisasi).

ii. Tangki anaerobik

Pada metode tangki anaerobik, akan dilakukan proses biologis dalam kondisi anaerobik, dimana bahan organik yang terkandung dalam limbah cair PKS akan terurai menjadi gas metan dan karbondioksida yang kemudian disebut biogas. Pada proses biologis tangki anaerobik, biogas yang terbentuk akan ditampung dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pada Gambar 2.6 disajikan rancang bangun sistem tangki anaerobik tertutup yang dilanjtkan dengan proses aerobik-aerasi.


(21)

21 Tabel 2.4 Kisaran komponen kimia limbah cair PKS sebelum dan setelah

penanganan dengan metode kolam stabilisasi. Uraian WPH

(hari)

BOD (mg/l)

P (mg/l) N (mg/l) K (mg/l) Mg (mg/l) Limbah (fat

pit) - 25.000 500-900 90-140 1000-1975 250-340 Kolam

pengasaman 5 25.000 500-900 90-140 1000-1975 250-340 Kolam

anaerob primer

75 3500-5000 675 90-110 1000-1850 250-320

Kolam anaerob sekunder

35 2000-3500 450 62-85 875-1250 160-215

Kolam

aerobik 15 – 21 100-200 80 5-15 420-670 25-55 Kolam

pengendapan 2 100-150 40-70 3-15 330-650 17-40 Sumber : Pamin, Siahaan dan Tobing (1996)

Proses anaerobik, yang dilakukan dalam dua tahapan proses anaerobik, yaitu :

 Proses anaerobik yang dilakukan di tangki anaerobik tertutup, dengan alur proses pengolahan sama dengan proses pengolahan yang terjadi di kolam anaerobik pada metode kolam stabilisasi. Gas metan (biogas) yang dihasilkan dari proses pengolahan air limbah secara anaerobik akan ditampung dan kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Limbah cair yang telah mengalami biodegradasi di dalam tangki memiliki BOD < 2000 mg/l sehingga dapat diaplikasikan di lahan perkebunan. Fraksi lumpur yang dihasilkan akan mengendap pada dasar tangki dan dialirkan menuju bak pengeringan lumpur.

 Proses anaerobik pada kolam pengendapan anaerob, yang dilakukan untuk mengolah lebih lanjut limbah cair hasil biodegradasi di dalam tangki anaerobik (yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan). Pada kolam pengendapan ini akan terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme (biosolid) dari air limbah setelah proses anaerobik di tangki anaerobik. Biosolid yang mengendap pada dasar kolam akan diambil dan dialirkan ke sand bed.

iii. Metode reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT)

Metode RANUT menggunakan tangki berupa bioreaktor tempat berlangsungnya proses pengolahan secara anaerobik. Tetapi sebelum metode RANUT dilakukan, terdapat perbedaan proses pada tahapan pre treatment


(22)

22 Gambar 2.5 Dasar perancangan sistem kolam anaerobik aerasi dengan kapasitas olah PKS 30 ton TBS /jam (Subdit Pengelolaan


(23)

23 Gambar 2.6 Rancang bangun sistem tangki anaerobik tertutup (resirkulasi gas)/aerasi-aerobik. Dirancang untuk kapasitas olah PKS 30


(24)

24 dibandingkan kedua metode sebelumnya, yaitu setelah proses segregasi air limbah dilakukan proses pemisahan lumpur dan padatan tersuspensi. Proses pemisahan lumpur dan padatan tersuspensi dari limbah cair bertujuan untuk mengurangi kandungan COD, BOD, nitrogen dan pasir serta mengurangi masalah pada proses pengolahan berikutnya, seperti foaming, sedimentasi dan penyumbatan pipa outlet reaktor karena adanya lumpur. Pada dasarnya, padatan tersuspensi dalam limbah cair PKS dapat dipisahkan dengan continous separator atau decanter. Kedua alat ini ternyata cukup mahal serta memerlukan pemeliharaan dan energi yang tinggi. Teknologi pengapungan dengan prinsip kerja dissolved air floatation (pengapungan dengan udara terlarut atau pengapungan dengan tekanan) dapat menjadi alternatif proses. Teknologi RANUT dikembangkan melalui peningkatan populasi mikroba perombak bahan organik yang terdapat dalam limbah cair PKS. Rasio populasi mikroba dengan bahan organik ditingkatkan dengan cara menambahkan bahan pendukung (support material) yang terbuat dari plastik. Bahan ini berfungsi sebagai tempat menempelnya mikroba anaerobik. Mikroba tersebut selanjutnya akan membentuk bio-film di permukaan bahan pendukung dan menjadi tempat berkembang biak. Di dalam reaktor anaerobik, mikroba tersebut akan melakukan perombakan bahan organik yang terdapat pada air limbah secara anaerobik dalam waktu singkat dengan kinerja yang tinggi. Gambar 2.7 menyajikan proses pengolahan air limbah secara anaerobik RANUT. Berdasarkan pada Gambar 2.7, tangki penyimpanan S1 dan S2 diisi dengan limbah segar dimana akan terjadi pendinginan limbah sampai mencapai suhu kamar. Sisa minyak akan mengapung dan diambil secara manual. Limbah dari S2 dipompakan ke digester D1 dari bagian bawah (upflow). Limbah akan mengalir ke atas melewati unggun tetap (yang berisi matriks) dan keluar dari bagian atas. Sebagian limbah dipompakan kembali ke digester D1 oleh pompa sirkulasi P2 untuk pengenceran, menaikkan pH serta untuk distribusi substrat di dalam digester D1. Kelebihan limbah akan mengalir ke digester D2 agar digester ini tetap aktif. Limbah akan melewati unggun tetap secara downflow dan akhirnya keluar dari digester D2. Pengaturan laju alir pompa dilakukan dengan sebuah timer yang dapat mengatur variasi jumlah umpan yang masuk ke


(25)

25 Gambar 2.7. Proses pengolahan air limbah secara anaerobik pada reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT) (Subdit Pengelolaan


(26)

26

digester. Biogas yang dihasilkan diukur dengan alat pengukur gas. Pengoperasian reaktor dilakukan pada suhu kamar (26 – 28 OC).

Proses anaerobik pada kolam pengendapan anaerobik dilakukan untuk mengolah lebih lanjut limbah cair hasil biodegradasi di dalam RANUT (yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan). Pada kolam pengendapan ini akan terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme (biosolid) dari air limbah setelah proses anaerobik di RANUT. Biosolid yang mengendap pada dasar kolam akan diambil dan dialirkan ke sand bed.

Proses pengolahan limbah cair secara aerobik

Air limbah yang keluar dari proses pengolahan secara anaerobik masih mengandung bahan organik, misalnya substrat, seperti hidrogen, karbon, oksigen dan nitrogen, sehingga perombakan harus dilanjutkan dengan perombakan secara aerobik yang dilakukan di kolam aerobik-aerasi. Perombakan secara aerobik membutuhkan oksigen sehingga dilakukan proses aerasi atau pemberian oksigen ke dalam proses perombakan. Oksigen akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme aerobik yang terdapat di dalam air limbah untuk merombak bahan-bahan organik di dalam air limbah.

Rantai reaksi aerobik ditunjukkan pada Gambar 2.8. Pada tahap pertama, senyawa-senyawa organik diambil oleh bakteri, kemudian senyawa-senyawa organik yang terlarut dikonversikan ke dalam massa bakteri sehingga menghasilkan air, karbondioksida dan amonia. Pada tahap kedua, biomassa yang dihasilkan pada tahap pertama dikurangi oleh mikroorganisme lain, misalnya oleh Ciliata. Tahap ini juga menghasilkan air, karbondioksida dan amonia. Pada tahap yang lebih lanjut, amonia dapat dikonversikan oleh bakteri, yaitu dinitrifikasi menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) (Siregar, 2005).

c) Tahap pengolahan akhir (post treatment)

Tahap pengolahan akhir yang dilakukan adalah proses pengendapan yang dilakukan di kolam pengendapan (sedimentasi). Pada kolam sedimentasi akan terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme (biosolid) dari air limbah setelah proses aerobik aerasi. Setelah proses pengendapan ini, diharapkan air limbah telah memenuhi baku mutu air limbah untuk dibuang ke badan air (sungai) seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.


(27)

27 Gambar 2.8 Rantai reaksi aerobik (Siregar, 2005)

4) Metode Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Terolah

Terdapat beberapa metode pemanfaatan limbah cair PKS hasil pengolahan di IPAL, yaitu :

a) Aplikasi lahan

Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk di lahan perkebunan kelapa sawit sangat dimungkinkan atas dasar kandungan hara dalam limbah tersebut seperti disajikan pada Tabel 2.4. Pemanfaatan limbah ini, disamping sebagai pupuk, juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah, biaya tersebut diperkirakan dapat diturunkan sebesar 50 – 60% (Pamin, Siahaan dan Tobing, 1996). Hal tersebut dikarenakan pemanfaatan limbah cair untuk aplikasi lahan ini menggunakan limbah cair dari kolam anaerobik primer, sehingga jumlah (kapasitas) limbah cair yang akan diolah di kolam pengolahan berikutnya pada IPAL akan berkurang. limbah cair dari kolam anaerobik primer (setelah diolah secara anaerobik) dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lahan karena limbah cair tersebut telah memiliki nilai BOD antara 3500 – 5000 mg/l yang masih memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Pertanian No. KB. 310/453/MENTAN/XII/95 tentang standarisasi pengolahan limbah cair PKS terutama untuk aplikasi lahan sebagai sumber air dan pupuk, seperti disajikan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Baku mutu limbah cair PKS untuk aplikasi lahan

No. Uraian Batasan kepekatan

1 BOD (mg/l) < 3500

2 Minyak dan lemak (mg/l) < 3000

3 pH 6,0


(28)

28 Aplikasi lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Pemilihan teknik aplikasi yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit sangat tergantung kepada kondisi dan luas areal yang tersedia maupun faktor berikut, yaitu jenis dan volume limbah cair, topografi lahan yang akan dialiri, jenis tanah dan kedalaman permukaan air tanah, umur tanaman kelapa sawit, luas lahan yang tersedia dan jaraknya dengan pabrik, serta dekat tidaknya dengan air sungai atau pemukiman penduduk (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Departemen Pertanian, 2006).

Beberapa cara aplikasi limbah cair yang dikenal antara lain teknik flatbed, traktor-tangki dan longbed (Wulfert, dkk, 2000).

Teknik flatbed

Teknik ini digunakan pada lahan berombak-bergelombang dengan membuat konstruksi diantara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit yang dapat mengalirkan limbah dari atas ke bawah dengan kemiringan tertentu. Teknik ini dibangun mengikuti kemiringan tanah. Proses pada teknik ini yaitu mengalirkan limbah dari kolam limbah melalui pipa menuju bak-bak distribusi yang berukuran 4m x 4m x 1m, kemudian limbah dialirkan ke parit sekunder (flatbed) yang berukuran 2,5m x 1,5m x 0,25m, yang dibuat pada tiap 2 baris tanaman. Dengan teknik pengaliran ini, secara periodik lumpur yang tertinggal pada flatbed dikuras agar tidak tertutup lumpur.

Teknik traktor-tangki

Pelaksanaan teknik ini yaitu dengan mengangkut limbah cair dari IPAL ke areal tanaman dengan menggunakan traktor yang menarik tangki serta digunakan pompa sentrifugal yang dihubungkan dengan lubang (chasis) ke tangki untuk mengeluarkan air limbah ke lahan aplikasi. Untuk mengurangi biaya transportasi aplikasi limbah dengan teknik ini, areal tanaman untuk aplikasi sebaiknya berdekatan dengan IPAL. Traktor berjalan pada jalan pikul dan limbah disemprotkan sepanjang baris pohon tempat tumpukan pelepah yang dipangkas.

Teknik parit atau alur (longbed)

Pada teknik ini, terdapat dua pola yang digunakan untuk distribusi limbah yaitu dengan parit yang lurus dan berliku-liku. Parit berliku-liku digunakan


(29)

29 untuk lahan yang curam atau berbukit. Limbah sepanjang parit dialirkan perlahan-lahan untuk mengurangi erosi dan banjir. Parit yang lurus memanjang dibangun di lahan yang sedikit miring dan limbah dialirkan hingga ujung parit. Seperti aplikasi flatbed, limbah cair dipompakan melalui pipa ke tempat yang relatif tinggi dan didistribusikan ke parit primer. Jumlah parit tergantung pada topografi. Kecepatan aliran diatur perlahan-lahan untuk memungkinkan perkolasi dan juga mencegah erosi. Biaya aplikasi limbah cair dengan teknik ini relatif murah, tetapi masalah yang sering timbul adalah distribusi aliran yang tidak merata dan parit tertimbun lumpur. Pembangunan parit tidak terlalu dalam, sekitar 20 cm atau 30 cm dengan lebar sekitar 30 cm. Parit ini dapat dibangun secara manual atau mekanis di sepanjang baris tanaman, namun tidak mengganggu jalan pemanen dan transportasi TBS. Hasil percobaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menunjukkan bahwa kombinasi pemberian limbah cair dengan dosis 12,66 mm ECH (Ekuivalen Curah Hujan) per bulan atau setara dengan 126.000 liter limbah cair PKS terolah per hektar dengan pupuk anorganik sebanyak 50% dari dosis standar kebun, dapat meningkatkan produksi TBS sebesar 36% dibanding perlakuan tanpa aplikasi limbah cair dan aplikasi pupuk standar kebun 100% (Wulfert, dkk, 2000).

b) Biogas

Biogas merupakan gas metan dan karbondioksida hasil penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah cair PKS serta penguraian tersebut dilakukan oleh mikroba pada proses biologis kondisi anaerobik. Komposisi gas yang dihasilkan rata-ratanya adalah 60-70 % gas metan, 20-40 % gas karbondioksida, 0,2-0,3 % hidrogen sulfida dan gas lainnya. Proses produksi gasbio secara mikrobiologis dikenal dengan istilah fermentasi metan. Bakteri yang berperan dalam proses tersebut adalah bakteri metan, terutama

Methanobacillus omelianskii, Methanobacterium formicum, Methanosarcina methanica dan Methanococcusmazeki.

Biogas yang dihasilkan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi PKS. Metode tangki anaerobik dapat menghasilkan 27,78 m3 biogas dari tiap ton limbah cair PKS yang diolah, sementara metode RANUT dapat


(30)

30 menghasilkan 36,46 m3 biogas dari tiap ton limbah cair PKS yang diolah. Hasil penelitian Wulfert dkk (2000) menyebutkan bahwa jika biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel genset, maka dapat dihasilkan tenaga listrik sebesar 26 kWh per ton TBS, sedangkan kebutuhan spesifik tenaga listrik per ton TBS diperkirakan sekitar 15 – 17 kWh.

c) Pakan ternak

Bagian limbah cair yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan ternak adalah lumpur yang berasal dari hasil pengendapan pada kolam pengendapan dan tangki atau reaktor anaerobik yang disebut lumpur sawit. Lumpur sawit ini kemudian dipisahkan cairannya (dikeringkan) sehingga menghasilkan solid. Solid inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Cara untuk mengawetkan solid adalah dengan dibuat pakan blok (dikeringkan). Dengan cara ini, selain daya simpan solid lebih lama, juga kandungan nutrisinya lebih lengkap karena adanya beberapa bahan pakan lain yang ditambahkan. Pakan solid dalam bentuk blok bisa diberikan baik untuk ternak ruminansia besar maupun kecil. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et al. 1999).

Beberapa penelitian mengenai aplikasi solid sebagai pakan ternak telah banyak dilakukan, yaitu sebagai berikut :

Pemberian solid pada domba bentuk segar atau complete feed block (CFB), baik yang difermentasi dengan effective microorganism (EM4) maupun tanpa difermentasi (Widjaja et al. 2000a).

Pemberian solid pada sapi dapat dalam bentuk segar atau dicampur dengan air (Widjaja et al. 2000b).

Penggunaan solid dalam bentuk lumpur (palm oil sludge) untuk pakan kambing pemberiannya dikombinasikan dengan bungkil inti sawit dan serat perasan buah. Pada pakan tersebut, lumpur sawit dapat digunakan hingga 8% (Kamaruddin, 1997).


(31)

31 Pemberian lumpur sawit yang belum dan telah difermentasi pada unggas (Sinurat et al. 1998).

d) Bahan penambah nutrisi kompos

Limbah cair terolah hasil pengolahan di IPAL dan fraksi lumpur hasil pengendapan dapat dimanfaatkan sebagai bahan penambah nutrisi pada proses pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Menurut Schuchardt dkk (2000), penambahan limbah cair ini juga berguna untuk memenuhi kebutuhan air untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang digunakan sebagai inokulum pada proses pengomposan TKKS. Penambahan limbah cair ini dilakukan selama 9 minggu masa pengomposan dengan volume 5 m3 per ton TKKS yang diolah menjadi kompos. Pada tabel 2.6 disajikan kalkulasi kandungan nutrien pada bahan kering kompos akhir dengan penambahan limbah cair sebanyak 5 m3 per ton TKKS.

Tabel 2.6 Kalkulasi kandungan nutrien pada bahan kering kompos akhir dengan penambahan limbah cair sebanyak 5 m3 per ton TKKS Nutrien Satuan Kompos Limbah cair Kompos dengan

limbah cair N

(kg/ton kompos b.k)

29 13,15 42,15

P 1,87 2,41 4,28

K 37,8 32,88 70,68

Ca 5,3 6,58 11,88

Mg 3,4 6,14 9,54

Sumber : Schuchard, dkk (2000) b. Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit

1) Pemanfaatan limbah padat pabrik kelapa sawit a) Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

Tandan kosong merupakan limbah padat yang dihasilkan dari pemipilan TBS di stasiun pemipilan pada pabrik kelapa sawit. Terdapat beberapa metode pengolahan TKKS dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak industri kelapa sawit, yaitu :

Mulsa

Teknik pemanfaatan TKKS yang umum diterapkan oleh berbagai industri kelapa sawit di Indonesia adalah dengan memanfaatkan TKKS sebagai mulsa. Menurut Pahan (2008), aplikasi TKKS sangat efektif sebagai mulsa karena dapat


(32)

32 menurunkan temperatur tanah, mempertahankan kelembapan tanah dan membantu mengurangi dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman serta produksi pada saat kemarau. Untuk areal yang curah hujannya tinggi, TKKS secara signifikan dapat mengurangi kerugian nutrisi melalui proses pencucian dan aliran permukaan atau menjaga terjadinya erosi tanah. Selain itu, mulsa TKKS juga dapat menjadi pemasok tambahan unsur hara tanah. Pada Tabel 2.7 disajikan persentase unsur hara dalam TKKS.

 Metode aplikasi mulsa

Terdapat dua metode aplikasi TKKS sebagai mulsa di areal kebun, yaitu secara

mulching dan disposal. Pada aplikasi secara mulching, TKKS diaplikasikan pada suatu areal tertentu berdasarkan sifat tanah dan hara yang dibutuhkan tanaman kelapa sawit. Sementara, pada aplikasi secara disposal, TKKS diaplikasikan di sisi jalan serta tidak didasari oleh sifat tanah dan hara yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit. TKKS yang diaplikasikan secara

disposal tidak diperbolehkan karena secara prinsip akan merugikan, mengingat pemanfaatan hara oleh tanaman kelapa sawit tidak optimal dan menjadi penyebab penyebaran hama Oryctes (Pahan, 2008).

Tabel 2.7 Persentase unsur hara dalam TKKS Hara utama

Persentase unsur hara dalam TKKS

Sebanding dengan pupuk anorganik per

ton TKKS Kisaran Rata-rata

Nitrogen (N) 0,32 – 0,43 0,37 8,00 kg urea

Fosfor (P) 0,03 – 0,05 0,04 2,90 kg RP

Potassium (K) 0,89 – 0,95 0,91 18,30 kg MOP Magnesium (Mg) 0,07 – 0,10 0,08 5,00 kg Kieserit Sumber : Pahan (2008)

 Aplikasi mulsa pada TBM

Dosis aplikasi TKKS yang direkomendasikan untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) 1 dan 2 yaitu 180 kg/pokok atau setara dengan 25 ton TKKS/ha (populasi sekitar 136 pokok/ha). TKKS hanya diaplikasi satu kali per tahun pada areal yang sama.


(33)

33 Aplikasi TKKS pada tahun pertama dilaksanakan dekat pangkal pokok (10 cm) dengan cara disebar satu lapis mengelilingi pokok. Aplikasi TKKS harus segera dimulai setelah bibit ditanam di lapangan. Aplikasi TKKS menjamin ketersediaan unsur hara bagi tanaman, memelihara kelembapan tanah, menurunkan suhu tanah dan menekan pertumbuhan gulma di piringan. Oleh sebab proses dekomposisi dan penguraian unsur hara dari TKKS berjalan lambat, pupuk anorganik harus diaplikasi penuh (100 %) pada tahun pertama penanaman.

Aplikasi kedua dilaksanakan sekitar 12 bulan setelah aplikasi pertama. TKKS diaplikasikan 0,5 m dari pangkal pokok dengan cara disebar satu lapis mengelilingi pokok. TKKS yang diaplikasi lebih dari satu lapisan akan mendorong berkembangnya kumbang Oryctes pada tumpukan TKKS tersebut. Mulsa TKKS harus dikontrol secara berkala untuk memastikan ada tidaknya kumbang Oryctes yang berkembang biak pada TKKS tersebut. Apabila hal ini terjadi, segera lakukan tindakan penanggulangan. Pada tahun kedua ini, TKKS dan pupuk anorganik diaplikasi, tetapi pupuk anorganik dapat dikurangi menjadi 50 % terhadap rekomendasi.

Semua pupuk anorganik harus disebar merata di atas TKKS. Selanjutnya pupuk tersebut secara perlahan tercuci oleh air hujan dan diserap oleh pokok sawit. TKKS tidak mempengaruhi penyerapan unsur hara oleh tanaman, tetapi aplikasi TKKS dapat membantu mengurangi kehilangan pupuk yang diakibatkan pencucian, aliran permukaan dan erosi tanah (Pahan, 2008).

 Aplikasi mulsa pada TM

Dasar aplikasi tergantung dari jenis tanah, status unsur hara tanah, pertumbuhan dan umur tanaman kelapa sawit yang akan dimulsa. Rekomendasi aktual dan areal yang akan diaplikasi TKKS pada tanaman mineral normal yaitu 250 kg/pokok atau 35 ton/ha. Sementara pada tanah sangat berpasir dapat ditingkatkan menjadi 360 kg/pokok atau 50 ton/ha. TKKS hanya diaplikasi satu kali dalam setahun dan harus terus diaplikasi kembali 12 bulan kemudian.

TKKS yang telah ditumpahkan harus disebar satu lapis secara manual di antara dua pokok, tetapi di luar piringan. TKKS tidak boleh diaplikasi di


(34)

34 gawangan mati, karena digunakan sebagai tempat pelepah yang ditunas nantinya. Aplikasi TKKS dua lapis atau lebih tidak diperbolehkan karena dapat mempercepat pembiakan kumbang Oryctes tumpukan. Mulsa TKKS harus dikontrol secara berkala terhadap serangan Oryctes. Apabila hal itu terjadi, segera lakukan tindakan penanggulangan yang tepat (Pahan, 2008). Kompos (pupuk organik)

Kompos merupakan limbah padat yang mengandung bahan organik yang telah mengalami pelapukan, dan jika pelapukannya berlangsung dengan baik disebut pupuk organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia telah mengembangkan dua macam teknik pengomposan TKKS, yaitu pengomposan dengan pembalikan dan tanpa pembalikan (Taniwiryono, 2009).

 Pengomposan dengan pembalikan

Teknik ini dilakukan dengan melakukan pembalikan 2-3 hari sekali dan menggunakan limbah cair PKS sebagai pengkaya dan sumber mikroba pengompos yang didominasi oleh jenis bakteri. Pembalikan dilakukan dengan menggunakan mesin. TKKS yang akan dikomposkan harus dicacah terlebih dahulu sebelum ditumpuk memanjang seperti terlihat pada Gambar 2.9. Pencacahan TKKS diperlukan guna meningkatkan luas permukaan bahan organik. Oleh karena tidak dilakukan penutupan, turun-naiknya suhu dan kelembaban sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat. Pada kondisi terbuka, penguapan air bisa mudah terjadi di siang hari yang terik, namun di lain hal pembasahan dengan air berlebih mudah terjadi di saat hari-hari hujan. Pembalikan bahan dalam waktu 2-3 hari sekali memang diperlukan karena siklus biologis kebanyakan bakteri memang sekitar 48 jam. Jika tidak dibalik maka bakteri akan mati. Bakteri yang digunakan pada proses pengomposan dengan sistem ini mengandalkan yang terdapat di limbah cair PKS. Jenis dan jumlahnya tentu berbeda antara daerah yang satu dengan lainnya. Untuk meningkatkan efisiensi pelapukan lignin dan selulase perlu dieksplorasi bakteri dengan kemampuan mendegradasi lignin dan selulosa yang tinggi. Salah satu keunggulan teknik ini adalah pengkayaan nutrisi dari limbah cair dapat dilakukan secara optimum. Warna hitam


(35)

35 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9, sebagian diakibatkan oleh pewarnaan yang dilakukan oleh limbah cair.

Gambar 2.9 Penumpukan pada pengomposan TKKS dengan pembalikan

 Pengomposan tanpa pembalikan

Teknik ini dilakukan dengan bantuan mikroba terseleksi dari golongan jamur. Selama proses pengomposan tidak dilakukan pembalikan sehingga hemat bahan bakar (energi) dan tenaga kerja. Tanpa pembalikan yang dimaksud di sini adalah tanpa pembalikan selama proses biologis berlangsung, yaitu selama 2 minggu sekali. Pada kondisi demikian, penggunaan mesin pembalik tidak diperlukan. Penggunaan mikroba dari golongan jamur didasarkan kepada kenyataan bahwa perombak lignin dan selolosa yang paling efisien adalah dari golongan jamur atau cendawan. Kebanyakan limbah padat perkebunan memiliki kandungan lignin dan selulosa yang tinggi. Fakta menunjukkan bahwa di lapangan tidak pernah dijumpai tanaman berkayu yang batangnya dilapukkan oleh bakteri, tetapi selalu oleh jamur atau cendawan.

Selama proses pengomposan dilakukan penutupan dengan menggunakan terpal plastik tahan UV seperti yang terlihat pada Gambar 2.10. Penutupan dilakukan agar kelembaban dan suhu bisa lebih kendalikan sehingga aktifitas mikroba pelapuk lignin dan selulosa dalam menghasilkan enzim lignoselulase tetap tinggi. Penutupan dengan terpal plastik tidak berarti prosesnya menjadi aerob, buktinya mikroba aerob yang digunakan sebagai bioaktivator berkembang biak dan beraktifitas dengan sempurna. Untuk tujuan efisiensi, jamur pelapuk yang digunakan sekaligus dipilih yang mampu mengendalikan Ganoderma dan Oryctes atau manfaat lainnya.


(36)

36 Dengan cara demikian, dua hal dilakukan sekaligus yaitu pengomposan dan perbanyakan biopestisida.

b) Serabut kelapa sawit

Serabut kelapa sawit merupakan limbah padat kelapa sawit hasil proses pencacahan dan pengempaan brondolan kelapa sawit. Metode pemanfaatan serabut yang dilakukan oleh PKS adalah sebagai bahan bakar boiler untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkit listrik. Nilai kalor yang dihasilkan dari pembakaran serabut kelapa sawit yaitu 2637 - 4554 kkal/kg. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas olah 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 12 ribu ton serabut kelapa sawit. Apabila efisiensi pembangkitan sebesar 25%, maka tiap tahunnya akan dihasilkan energi listrik sebesar 9,2 – 15,9 GW tiap tahunnya (Budiarto dan Agung, 2008).

Gambar 2.10 Penumpukan pada pengomposan TKKS tanpa pembalikan c) Cangkang kelapa sawit

Cangkang kelapa sawit merupakan limbah padat kelapa sawit hasil proses pemecahan biji kelapa sawit untuk mengambil inti kelapa sawit di dalam biji tersebut. Metode pemanfaatan cangkang yang dilakukan oleh PKS adalah sebagai bahan bakar boiler untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkitan listrik. Nilai kalor yang dihasilkan dari pembakaran serabut kelapa sawit yaitu 4105 - 4802 kkal/kg. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas olah 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang kelapa sawit. Apabila efisiensi pembangkitan sebesar 25%, maka tiap tahunnya akan dihasilkan energi listrik sebesar 7,2 – 8,4 GW tiap tahunnya (Budiarto dan Agung, 2008).


(37)

37

B. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN

Dalam suatu proses pengambilan keputusan, perusahaan akan menghadapi kesulitan dengan adanya berbagai alternatif pilihan dalam suatu tahapan proses yang akan dilaksanakan. Kondisi tersebut menuntut perusahaan untuk mengetahui dan mengerti tentang masalah yang dihadapi, alternatif-alternatif yang ada dan kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif guna mendapatkan alternatif yang terbaik untuk dipilih. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merancang suatu model sistem yang dapat menggambarkan masalah tersebut secara menyeluruh agar tahapan pengambilan keputusan dapat dilaksanakan lebih sederhana dan optimal. Model sistem yang dirancang dikenal dengan sistem penunjang keputusan.

Sistem penunjang keputusan adalah pendekatan secara sistem dalam mengambil keputusan, yang merupakan konsep spesifik yang menghubungkan sistem informasi terkomputerisasi dengan para pengambil keputusan seperti manajer dan investor. Turban dan Aronson (2001) dalam Marimin (2004) mendefinisikan sistem penunjang keputusan sebagai suatu sistem interaktif berbasis komputer yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model untuk memecahkan persoalan yang bersifat tidak terstruktur.

Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa landasan utama dalam pengembangan sistem penunjang keputusan (SPK) adalah konsepsi model. Konsepsi model ini menggambarkan hubungan abstrak antara tiga komponen utama dalam penunjang keputusan, yaitu pengambil keputusan atau pengguna, model dan data. Masing-masing komponen tersebut dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Menurut Marimin (2004), struktur SPK terdiri dari data yang tersusun dalam sistem manajemen basis data (SMBD), kumpulan sistem yang tersusun dalam sistem manajemen basis model (SMBM), sistem pengolahan problematik, sistem manajemen dialog dan pengguna.

Sistem manajemen basis data melakukan tiga fungsi dasar. Fungsi pertama adalah sebagai penyimpanan data dalam basis data. Fungsi kedua adalah menerima data dari basis data. Fungsi ketiga adalah sebagai pengendali basis data. Sistem basis data harus bersifat interaktif dan luwes dalam artian mudah dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi dan struktur elemen-elemen data. Sistem manajemen basis


(38)

38 model merupakan sistem perangkat lunak yang mempunyai empat fungsi pokok, yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model, untuk memperbarui dan mengubah model serta memanipulasi data. Pada intinya, sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengolahan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam pemodelan SPK. Sistem manajemen dialog merupakan subsistem untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen dialog adalah menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna. Sedangkan sistem pengolah problematik adalah subsistem yang bertugas sebagai koordinator dan pengendali dari operasi sistem secara keseluruhan. Sistem ini menerima input dari ketiga sistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan output ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Sistem ini berfungsi sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antar subsistem (Marimin, 2004). C. PROSES HIERARKI ANALITIK

Proses hierarki analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini dapat digunakan dalam memodelkan permasalahan dan pendapat-pendapat, dimana permasalahan yang ada telah dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty, 1993).

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian, tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk mendapatkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi sistem tersebut (Marimin, 2004).

D. GOAL PROGRAMMING

Goal Programming merupakan modifikasi atau variasi khusus dari program linier yang sudah kita kenal. Analisis goal programming bertujuan untuk meminimumkan jarak antara atau deviasi terhadap tujuan, target atau sasaran yang


(39)

39 telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan syarat-ikatan yang ada, yang membatasinya berupa sumber daya yang tersedia, teknologi yang ada, kendala tujuan dan sebagainya (Nasendi dan Anwar, 1985).

Di dalam model goalprogramming terdapat sepasang variabel yang dinamakan variabel deviasional yang berfungsi untuk menampung nilai penyimpangan atau deviasi yang akan terjadi pada nilai ruas kiri suatu persamaan kendala terhadap nilai ruas kanannya. Agar deviasi itu minimum, artinya nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sedapat mungkin mendekati nilai ruas kanannya maka variabel deviasional itu harus diminimumkan di dalam fungsi tujuan (Siswanto, 2007).

Bila pada model program linear, kendala-kendala fungsional menjadi pembatas bagi usaha pemaksimuman atau peminimuman fungsi tujuan, maka pada model goal programming kendala-kendala itu merupakan sarana untuk mewujudkan sasaran yang hendak dicapai. Mewujudkan suatu sasaran, berarti mengusahakan agar nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sama dengan nilai ruas kanannya. Itulah sebabnya, kendala-kendala di dalam model goal programming selalu berupa persamaan dan dinamakan kendala sasaran. Keberadaan sebuah kendala sasaran selalu ditandai oleh kehadiran variabel deviasional sehingga setiap kendala sasaran pasti memiliki variabel deviasional. Ciri khas lain yang menandai model goal programming adalah kehadiran variabel deviasional di dalam fungsi tujuan yang harus diminimumkan (Siswanto, 2007).

Dalam penyelesaian model goal programming, urutan peminimuman variabel deviasional akan menentukan urutan sasaran yang dicapai. Oleh karena itu, pengaturan prioritas sasaran yang hendak dicapai dapat dilakukan dengan mengendalikan urutan pemilihan variabel deviasional yang harus diminimumkan. Ada tiga macam sasaran di dalam model goal programming, yaitu sasaran-sasaran dengan prioritas yang sama, sasaran-sasaran dengan prioritas yang berbeda, serta sasaran-sasaran dengan prioritas dan bobot yang berbeda (Siswanto, 2007).

Dalam hal penyelesaian kasus goal programming dengan menggunakan perangkat lunak pada komputer, perbedaan prioritas harus dibuat dalam bentuk koefisien variabel deviasional (pada fungsi tujuan) yang berbeda. Oleh karena itu, pada penyelesaiannya diterapkan jenis sasaran yang ketiga, yaitu dibuat sasaran


(40)

40 dengan prioritas dan bobot yang berbeda. Semakin besar nilai koefisien sebuah variabel deviasional dari suatu kendala sasaran, maka semakin tinggi prioritasnya untuk dicapai. Pembagian prioritas tersebut dikatakan sebagai pengutamaan (preemptive), yaitu mendahulukan tercapainya kepuasan pada suatu tujuan (sasaran) yang telah diberikan prioritas utama sebelum menuju kepada tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas berikutnya. Namun, pembedaan ini tidak bersifat absolut. Nilai koefisien yang semakin tinggi belum tentu membuat sebuah kendala sasaran pasti terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, analisis sensitivitas koefisien fungsi tujuan akan menentukan batas-batas dimana penambahan atau pengurangan nilai prioritas sasaran yang tercermin pada koefisien variabel deviasional akan mengubah penyelesaian optimal yang telah diperoleh atau tidak (Siswanto, 2007).

Model umum suatu persoalan goal programming yang memiliki struktur timbangan pengutamaan (preemptive weights) dengan urutan ordinal (ordinal rangking) dapat dirumuskan sebagai berikut (Siswanto, 2007) :

Minimumkan

Syarat ikatan :

Pembatas fungsional :

dan Xj, di-, di+≥ 0 di-, di+ = 0 Keterangan :

Xj = Peubah (variabel) pengambil keputusan atau kegiatan yang kini dinamakan sebagai sub tujuan

Ck = Jumlah sumber daya k yang tersedia

Aij = Koefisien teknologi fungsi kendala tujuan, yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xi)


(1)

202 b = Rp. 18506 /ton TKKS

Keuntungan yang diperoleh dengan mengaplikasikan TKKS sebagai mulsa pada tiap ha lahan yang ditanami TM dengan sifat tanah mineral normal (c) adalah :

c = Rp. 26437 /ton TKKS

b. Pengolahan TKKS menjadi kompos TKKS dan dimanfaatkan di lahan

perkebunan

Perhitungan dilakukan berdasarkan tiap umur tanaman kelapa sawit yang dipupuk dengan kompos TKKS.

1) Tanaman belum menghasilkan (TBM) 1 Data yang dipergunakan :

Biaya penyediaan pupuk anorganik untuk 1 ha lahan = Rp. 918.284

Pengurangan jumlah penggunaan pupuk anorganik setelah menggunakan kompos adalah 50 % dari penggunaan normal

Kebutuhan kompos untuk 1 ha lahan yang ditanami TBM 1 = 6,12 ton/ha Maka perhitungannya :

Biaya penyediaan pupuk anorganik berkurang sebesar : 50% x Rp. 918.284 = Rp. 459.142 /ha

Keuntungan yang diperoleh dari mengaplikasikan kompos TKKS tersebut pada tiap ha lahan yang ditanami TBM 1 (d) adalah :

d = Rp. 75.023 /ton TKKS 2) Tanaman belum menghasilkan (TBM) 2

Data yang dipergunakan :

Biaya penyediaan pupuk anorganik untuk 1 ha lahan = Rp. 1.559.041

Pengurangan jumlah penggunaan pupuk anorganik setelah menggunakan kompos adalah 50 % dari penggunaan normal

Kebutuhan kompos untuk 1 ha lahan yang ditanami TBM 2 = 9,93 ton/ha Maka perhitungannya :

Biaya penyediaan pupuk anorganik berkurang sebesar : 50% x Rp. 1.559.041 = Rp. 779.520,5 /ha


(2)

203 Keuntungan yang diperoleh dari mengaplikasikan kompos TKKS tersebut pada tiap ha lahan yang ditanami TBM 2 (e) adalah :

e = Rp. 78.501 /ton kompos TKKS 3) Tanaman menghasilkan (TM)

Data yang dipergunakan :

Biaya penyediaan pupuk anorganik untuk 1 ha lahan = Rp. 1.668.073

Pengurangan jumlah penggunaan pupuk anorganik setelah menggunakan kompos adalah 50 % dari penggunaan normal

Kebutuhan kompos untuk 1 ha lahan yang ditanami TM = 11,97 ton/ha Maka perhitungannya :

Biaya penyediaan pupuk anorganik berkurang sebesar : 50% x Rp. 1.668.073 = Rp. 834.036,5 /ha

Keuntungan yang diperoleh dari mengaplikasikan kompos TKKS tersebut pada tiap ha lahan yang ditanami TM (f) adalah :

f = Rp. 69.677 /ton kompos TKKS

c. Pengolahan TKKS menjadi kompos TKKS dan dijual ke pihak lain

Data yang dipergunakan :

Biaya pengolahan TKKS menjadi kompos TKKS = Rp. 220.499 /ton kompos Biaya pemasaran/penjualan kompos TKKS = Rp. 27000 /ton kompos

Harga jual kompos TKKS = Rp. 450.000 /ton kompos

Konversi : 0,5 ton kompos TKKS diperoleh dengan mengolah 1 ton TKKS Maka perhitungannya :

Keuntungan yang diperoleh dengan mengolah TKKS menjadi kompos TKKS dan menjual kompos TKKS tersebut ke pihak lain (g) adalah :

g = ( Rp. 450.000 - Rp. 220.499 - Rp. 27000 ) /ton kompos g = Rp. 202.501 /ton kompos

, atau apabila dihitung berdasarkan TKKS yang diolah menjadi kompos maka :


(3)

Deva Chandra Fibrian. F34051129. Sistem Penunjang Keputusan untuk Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Di bawah bimbingan Marimin. 2010.

RINGKASAN

Industri kelapa sawit di Indonesia terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Kuantitas limbah PKS akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan industri kelapa sawit yang sedang terjadi. Saat ini, berbagai metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS telah banyak dikembangkan. Limbah PKS memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar sehingga dapat mendatangkan keuntungan secara finansial. Namun pada kenyataannya, kebanyakan pihak industri kelapa sawit di Indonesia tidak terlalu tertarik dengan metode-metode pengolahan dan pemanfaatan yang telah dikembangkan karena dinilai membutuhkan biaya penerapan yang relatif sangat mahal dibandingkan dengan metode konvensional yang telah mereka terapkan sebelumnya. Di lain hal, cukup banyaknya metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang tersedia saat ini membuat pihak industri kelapa sawit perlu untuk mempertimbangkan berbagai faktor dalam memilih metode yang akan diterapkan agar dapat diterapkan secara tepat dan optimal.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan suatu model sistem untuk membantu pihak industri kelapa sawit dalam proses pemilihan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS. Selain itu, disajikan juga informasi mengenai nilai-nilai pemanfaatan dari limbah PKS sehingga diharapkan nilai-nilai penerapan suatu metode penanganan limbah PKS tidak hanya dilihat dari biaya penerapannya saja tetapi juga dapat dilihat dari nilai manfaat yang akan diperoleh nantinya. Penelitian ini difokuskan pada optimalisasi pemanfaatan limbah cair dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam proses pemilihan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yaitu biaya penanganan limbah PKS yang dibutuhkan, kapasitas limbah PKS yang dihasilkan, kapasitas pemanfaatan hasil olahan limbah PKS, serta nilai keuntungan yang dapat diperoleh pihak PKS dari pemanfaatan tersebut. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula tingkat ketercapaian tujuan optimalisasi pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS, yaitu diterapkannya metode penanganan limbah PKS dengan biaya yang minimum, dapat meminimumkan tingkat pencemaran lingkungan dan memaksimumkan keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan limbah.

Model yang dikembangkan merupakan model sistem penunjang keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan limbah PKS. Model ini diimplementasikan menjadi model sistem terkomputerisasi yang diberi nama PW Optima 1.0. Paket program PW Optima 1.0 memiliki sistem manajemen basis model, yang terdiri dari model analisis biaya penanganan limbah dan model optimalisasi pemanfaatan limbah. Model analisis biaya penanganan limbah menggunakan metode heuristik untuk menentukan nilai biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya operasional dan biaya pokok dari penerapan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS. Model optimalisasi pemanfaatan limbah berfungsi menghasilkan rekomendasi berupa metode pengolahan dan pemanfaatan limbah yang akan diterapkan. Pada model ini akan diformulasikan fungsi tujuan dan fungsi kendala menggunakan metode goal programming (GP) yang dikombinasikan dengan metode analytical hierarchy process (AHP). Kemudian, nilai optimal yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui metode


(4)

2 pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang direkomendasikan untuk diterapkan, kapasitas optimal pengolahan dan pemanfaatannya, biaya penerapan yang diperlukan, keuntungan yang diperoleh serta ketercapaian tujuan optimalisasi pemanfaatan limbah PKS.

Hasil verifikasi program PW Optima 1.0 menunjukkan bahwa tahapan dan hasil analisis dari program tersebut telah sesuai dengan tujuan pemodelan. Validasi terhadap model PW Optima 1.0 dilakukan dengan teknik face validity. Hasil validasi menunjukkan bahwa konsep logika dari model yang dirancang sudah cukup mewakili permasalahan yang dikaji serta hubungan input dan output yang digunakan sudah cukup tepat dan rasional. Hasil verifikasi dan validasi tersebut juga menunjukkan bahwa aplikasi dari metode GP dan yang dikombinasikan dengan metode AHP terbukti dapat dijadikan sebagai alat bantu pada proses pengambilan keputusan untuk mengoptimalkan alokasi sumberdaya yang digunakan dalam usaha optimalisasi pemanfaatan limbah PKS. Untuk penerapan model ini, masih diperlukan penyesuaian dan diskusi lebih lanjut dengan pihak industri kelapa sawit, khususnya pada tahapan validasi model.

Kata kunci : Sistem Penunjang Keputusan, Optimalisasi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit, Goal Programming, Analytical Hierarchy Process.


(5)

Deva Chandra Fibrian. F34051129. Decision Support System for Optimization of Waste Utilization of Palm Oil Mill Waste. Supervised by Marimin. 2010.

SUMMARY

Indonesian palm oil industry continues to experience a significant growth from year to year. The quantity of palm oil mill waste will be increased along with the development of the palm oil industry. Currently, various methods of processing and utilization of palm oil mill waste have been developed. Palm oil mill wastes have very large potential utilization so it can be financially profitable. However, in reality, most of the oil palm industry in Indonesia was not too interested with the methods of processing and utilization that have been developed because the implementation costs are relatively very expensive compared with conventional methods that they employ. On the other hand, quite many methods of waste processing and utilization of oil mills available today make the palm oil industry side needs to consider various factors in choosing the method will be applied to a selected method that can be applied appropriately and optimally.

The purpose of this research is to develop a model system to help the oil palm industry side in the process of choosing a method of processing and utilization of palm oil mill waste. In addition, also presented information about the values of the utilization of palm oil mill waste so that expected value of applying a method of palm oil mill waste treatment is not only seen from the cost of implementation but also can be seen from the value of benefits to be obtained later. This research focused on optimizing utilization of palm oil mill effluent (POME) and empty fruit bunch (EFB). Several factors are considered in the selection process of treatment and the utilization method of palm oil mill waste. They are cost of processing and utilization of palm oil mill waste, the capacity of waste, capacity of processed waste products that can be utilized by the oil mills, and the value of benefits that can be obtained from that utilization. In addition, the level of achievement for purposes of processing and optimizing the utilization of palm oil mill waste should be considered too, they are implementing the handing method of palm oil mill waste with minimum cost, could minimize environmental pollution level, and could maximize profit that was obtained from waste utilization.

The developed model is a decision support system model for optimization of waste utilization of palm oil mill waste. This model was implemented in computerized model system that is named PW Optima 1.0. PW Optima 1.0 program package has a model base management system, which consists of the analysis of the cost of handling waste model and optimization of waste utilization model. Analysis of the cost of handling waste model using a heuristic method to determine the value of fixed costs, non-fixed costs, operating costs and cost of goods from the application of processing and utilization methods of palm oil mill waste. Optimization of waste utilization model serve to produce recommendations in the form of waste processing and utilization methods that will applied. Objective function and constraint functions were formulated by using goal programming (GP) method combined with analytical hierarchy process (AHP) method. Then, the optimal value was analyzed to determine the method of processing and utilization of palm oil mill waste which is recommended to be applied, the optimal capacity of processing and utilization,


(6)

2 implementation of the necessary costs, benefits and target achievement for optimizing the utilization of palm oil mill waste.

Results of PW Optima 1.0 program package verification showed that the step and the analysis of the program has been consistent with the objectives of modeling. Validation of PW Optima 1.0 model was done by using face validity technique. The tests show that the concept of logic of the model designed is sufficient to represent the problems that were examined and the relationship between input and output that is used is quite appropriate and rational. Verification and validation results also indicate that the application of the GP method combined with the AHP method can be proven as a tool in decision making processes to optimize resource allocation that is used in an attempt to optimize the utilization of palm oil mill waste. To implement this model, is still necessary adjustments and further discussion with the palm oil industry side, especially at the stage of model validation.

Keywords: Decision Support System, Optimization of Palm oil mill waste utilization, Goal Programming, Analytical Hierarchy Process