Interpretasi Data Penelitian 1. Profil Informan

PNS ataupun swasta sebanyak 22 jiwa atau 4,28 penduduk Desa Penen menggelutinya diikuti dengan adanya penduduk yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 10 jiwa. 4.2. Interpretasi Data Penelitian 4.2.1. Profil Informan

4.2.1.1. Informan Kunci

Informan I Universitas Sumatera Utara Ibu M.Beru Barus, lahir di Nagri Suah pada tanggal 13 Desember 1936, saat ini tinggal bersama seorang anak lelaki bungsunya yang sudah berkeluarga, dengan 3 orang cucunya. Selain bertani, keluarga ini juga membuka sebuah warung kedai kopi di depan rumahnya. Meskipun sudah tua, ibu 72 tahun ini masih tetap pergi ke ladang cokelatnya untuk mengambil buahnya, kemudian mengambil bijinya dan menjemur cokelat, namun Ibu M.Beru Barus sudah tidak sekuat dulu lagi, jadi tidak terlalu sering pergi ke ladang, karena kondisi fisiknya, yang sudah renta. Setelah tamat Sekolah Rakyat, ibu ini menikah 56 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1951, karena Ibu M.Beru Barus tidak dapat lagi mengingat waktu yang lebih spesifik. Sewaktu berumur 16 tahun ia menikahi suaminya yang masih berumur 12 tahun empat tahun lebih muda, karena dijodohkan. Ibu M.Beru Barus menikah sebagai istri pertama dan satu-satunya, dan mempunyai 9 orang anak, tetapi 4 orang meninggal, jadi yang masih hidup dan sudah menikah semua ada 3 orang anak laki- laki, 2 orang anak perempuan. Ibu M.Beru Barus bercerita, delapan tahun pertama pernikahannya diwarnai dengan pertengkaran yang sangat sering, bahkan kekerasan pun dialami Ibu ini dari suaminya, seperti dipukul dan dijambak rambutnya. Dikatakan Ibu M.Beru Barus bahwa suaminya dahulu masih suka pacaran dengan wanita lain, ketika istri susah mencari makan justru si suami yang sibuk jalan-jalan, layaknya seperti masih lajang saja. Sehingga membuat Ibu ini berfikir untuk bercerai saja. Tapi sampai suaminya meninggal, perceraian tersebut tidak pernah terjadi. Suami Ibu M.Beru Barus meninggal tahun 2001 karena sakit. Sampai saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Dituturkan Ibu Universitas Sumatera Utara ini bahwa ketika Ibu sakit, keluarga suami masih mengunjungi, dan kalau ada pesta keluarga suami masih ingat untuk mengundang. Informan II Ibu K Beru. Ginting, usia 69 tahun, menikah pada tahun 1959 di usia 21 tahun. Di usianya yang 69 ibu ini masih terlihat cantik, kulitnya putih bersih, dan rambut ikalnya yang terikat rapi. Sepertinya ibu K.Beru Ginting ini tidak mengunyah tembakau di kegiatan sehari-harinya, karena giginya putih bersih. Ibu ini tinggal di rumah yang sangat layak huni, dengan lantai rumah yang dikeramik, dinding yang dicat putih. Di bagian depan rumah ibu ini terdapat satu tempat tidur, yang dialasi kain sprei putih bersih, yang agak terhalang karena tertutup tirai putih. Dan diseberang tempat tidur ini ada sebuah meja kantor dan kursi di belakangnya. Ruang tersebut adalah ruang periksa pasien. Usia pernikahanya sudah 41 tahun namun tahun 2000 yang lalu, Ibu kelahiran laja 7 juli 1938 sudah menjadi janda. Ibu dengan pendidikan terakhir Sekolah Rakyat ini juga menikah sebagai istri satu-satunya dari mendiang suami, yang dikaruniai empat anak laki-laki dan 1 anak perempuan, semua anaknya sudah menikah. Ibu yang masih punya hubungan baik dengan keluarga mendiang suaminya ini, sekarang tinggal bersama anak perempuan bungsunya yang sudah berkeluarga, yang berprofesi sebagai seorang bidan desa, dan membuka praktek di rumahnya sendiri, yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal. Namun ketika kami berkunjung, anak Ibu K.Beru Ginting sedang tidak berada di rumah. Yang kami temui adalah anak perempuan dari saudara mendiang suaminya, yang sengaja dimintakan untuk tinggal bersama ibu ini, agar dapat membantu Universitas Sumatera Utara kegiatan sehari-harinya. Ibu sendiri untuk bertahan hidup sehari-harinya pergi ke ladang untuk mengambil cokelat. Dan tidak ada rencana untuk menikah lagi. Profil Informan III Pagi itu di Dusun I Desa Penen kami mendatangi sebuah rumah yang sangat sederhana dengan rumah yang terbuat dari papan, dan beratapkan seng. Rumah yang tidak begitu tinggi atapnya memberi kesan rumah tersebut sangat kecil, dan tua. Ketika kami menginjakkan kaki pada semen rumah kecil itu,di ruang tamu banyak terlihat goni yang ditebar dan buah cokelat yang sedang dijemur, juga kita bisa melihat tempat tidur tua tanpa kasur, hanya beralaskan tikar pandan. Ketika peneliti berkunjung, Ibu R Beru.Tarigan sedang membaca Alkitab Berbahasa Karo. Awalny Ibu R Beru.Tarigan agak terkejut, namun akhirnya ibu yang menemani peneliti, menjelaskan dalam bahasa Karo, bahwa peneliti sedang mengerjakan tugas untuk sekolah dan membutuhkan kerjasama dari para janda Karo yang ada di Desa Penen, sambil menginformasikan bahwa sudah ada juga beberapa janda yang telah diwawancara sebelumnya. Dengan suara yang sangat lembut sekali, Ibu kelahiran Nagri Suah 25 september 1947 menjawab setiap, pertanyaan, dan Ibu agak mengerti Bahasa Indonesia, meskipun beberapa kali peneliti harus mengulang pertanyaan dan membutuhkan ibu yang menemani peneliti untuk menterjemahkannya dalam bahasa Karo. Ibu menikah pada tahun 1984 di Jakarta. Di usia ke 39 Ibu menikah sebagai isteri yang Ke-empat dari lima istri yang dimiliki mendiang suami. Ibu sendiri hanya merasakan indahnya berumahtangga selama satu tahun, karena mendiang suami Universitas Sumatera Utara meninggal di tahun berikutnya, yaitu 1985, ketika usia anak perempuannya baru berusia dua bulan. Dengan keinginan berbagi, Ibu berusia 60 tahun ini bercerita bahwa dahulu, mendiang suaminya menggunakan pelet untuk menggaet Ibu. Pada akhirnya juga, mendiang suaminya dipelet oleh perempuan lain, kemudian menikah dan meninggal karena sakit. Kini Ibu tamatan Sekolah Menengah Pertama SMP ini hidup dengan menempati rumah yang dipinjamkan oleh saudara laki-lakinya yang lebih tua abangnya dan ia bertahan hidup sehari-hari dengan mengerjakan milik abangnya, dengan perjanjian sebagian hasil diberikan kepada abangnya itu. Ibu memiliki satu anak perempuan, Nina. Sekarang berkerja sambil kuliah di Palembang, tinggal bersama bapak tengahnya. Hingga sekarang dia tidak kenal bapaknya. Hanya melalui foto saja. Hingga saat ini, keluarga mendiang suami pun tidak pernah mengenal Nina, apalagi melihat Nina. Mereka tidak memperhatikan keluarga kami. Keluarga mendiang suami tidak pernah datang menjenguk atau mengundang. Sehingga tali kekeluargaan terputus begitu saja, sehingga membuat Ibu tidak pernah mau berharap banyak dari keluarga mendiang suaminya. Profil Informan IV Peneliti berkunjung pada malam hari, sekitar pukul 20.15. beruntung,karena malam itu tidak turun hujan, seperti malam sebelumnya. Ibu yang menemani peneliti memilih berkunjung pada malam hari, karena memang pada saat itulah seluruh warga baru ada di rumah. Sedangkan pada pagi-sore hari, warga bekerja di mereka masing- Universitas Sumatera Utara masing. Nama-nama Ibu yang akan menjadi informan sudah ada pada peneliti yang diperoleh dari Kepala Desa, dengan bantuan sebagian warga Penen, peneliti bertanya dan mencaritahu dimana tempat tinggal Ibu yang dimaksud. Tinggal di rumah yang sangat baik kondisinya, dan rumah yang ditempati sudah permanen. Ketika berkunjung, Ibu Ru Beru.Tarigan sudah akan tidur. Raut wajah yang kelelahan terlihat pada wajah Ibu kelahiran Penen, 1945 yang duduk di tikar bersama kami. Kesulitan dialami peneliti,karena Ibu usia 62 tahun ini sulit mengerti Bahasa Indonesia, sehingga pertanyaan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Karo, dibantu oleh teman peneliti. Ibu Ru. Beru.Tarigan menikah di usia 20 tahun, tepatnya pada tahun 1965 dan menjadi janda pada tahun 2000. Ibu Ru. Beru.Tarigan menikah sebagai istri pertama dan satu-satunya. Ibu Ru. Beru.Tarigan pada saat ini tinggal bersama anak laki-lakinya yang paling bungsu, sudah menikah dan dikaruniai satu orang puteri. Ibu Ru. Beru.Tarigan berpendidikan Sekolah Menengah Pertama SMP ini sendiri mempunyai empat orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Semua anaknya sudah berumah tangga. Hingga saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Meskipun sudah tua, Ibu Ru. Beru.Tarigan masih tetap pergi ke sawah yang ditanaminya padi, untuk bertahan hidup sehari-hari. Profil Informan V Hari Minggu pagi sekitar pukul 08.10 peneliti sudah ada di rumah Ibu M Beru.Tarigan ketika berkunjung. Informan mengatakan bahwa ia sudah menunggu kami Universitas Sumatera Utara berkunjung sedari tadi. Karena tadi malam ketika peneliti berkunjung, ibu M.Beru Tarigan tidak berada di rumah karena mengikuti kegitan ibadah, sehingga kami terpaksa datang kembali pagi ini sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati bersama ,semalam. Ibu M.Beru Tarigan ini sangat periang, sesekali ia sengaja bercanda dan membuat kami yang berkunjung tertawa, dan semakin merasa akrab dengan ibu ini. Tinggal di rumah yang sangat sederhana, dengan lantai yang hanya disemen, dan dinding rumahnya yang di cat putih, Ibu kelahiran Bekuah, 1936 ini menerima kedatangan kami dengan sangat ramah dan menawarkan kami untuk minum. Pada saat ini Ibu 71 tahun ini tinggal bersama seorang anak perempuannya yang juga sudah menjanda juga, beserta ketiga cucunya. Ketiga cucunya laki-laki, dan ada yang kembar. Si kembar baru saja Tamat SMA, sedangkan seorang lagi masih bersekolah. Sembari bercerita, ibu ini juga berpesan agar peneliti menolong cucunya tersebut dalam mencari pekerjaan, dengan memberi informasi yang diketahui peneliti. Karena ia sangat prihatin melihat cucunya yang sehari-harinya hanya ke ladang. Jikalau cucunya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, ibu ini mengaku tidak begitu punya uang untuk biaya kehidupan sehari-harinya nanti disana. 52 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1955. Ibu berpendidikan Sekolah Rakyat SR ini menikah diusianya yang ke-19 tahun. Ibu M Beru.Tarigan menpunyai seorang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan, dan semuanya sudah berumahtangga. Tahun 1988 suami Ibu ini meninggal dunia karena sakit. Ibu M Beru.Tarigan merupakan istri pertama dan satu-satunya. Selama 19 tahun menjanda, Ibu ini masih merasakan hubungan yang baik yang terjalin dari keluarga mendiang suaminya. Karena apabila ada pesta adat, mereka masih mengundang Ibu M Beru.Tarigan dan anak-anaknya untuk Universitas Sumatera Utara datang. Apabila keluarga dari informan ada yang sakit pun, keluarga dari mendiang suami juga datang membesuk. Untuk bertahan hidup sehari-harinya, Ibu M Beru.Tarigan pergi ke ladang untuk membantu anak-anaknya yang juga bekerja di ladang. Meskipun Ibu mengaku tidak sanggup lagi untuk bekerja berat, namun Ibu ini tidak betah apabila hanya diam-diam saja di rumah. Profil Informan VI Ketika kami sedang berkunjung ke rumah ibu M.Beru Tarigan, ibu M Beru.Keliat kebetulan datang dan akhirnya ikut bercerita dengan kami. Ketika peneliti bertanya apakah ia juga mau menjadi informan, ibu M Beru.Keliat menjawab kalau ia setuju. Selesai bercakap-cakap dengan ibu M.Beru Tarigan, kami permisi dan mengunjungi rumah Ibu M Beru.Keliat yang bersedia menjadi informan ini. Terlihat rumah yang dikunjungi peneliti adalah sebuah rumah yang sudah lama. Dengan lantai semen, dan beratap seng, rumah tersebut terasa sepi ditambah lagi Ibu M Beru.Keliat tidak meletakkan perabot yang cukup banyak di ruangan 4x3 tersebut. Ibu ini merupakan tetangga sebelah dan satu dinding dengan ibu M.Beru.Tarigan. model rumah mereka pun sama, dengan mempersilahkan duduk di tikar, Ibu berusia 70 tahun ini menyambut kami dengan baik sambil mengikat rambutnya yang panjang. Ibu menikah pada tahun 1958. Dari perkawinannya Ibu berpendidikan Sekolah Rakyat SR ini dikaruniai tiga orang anak perempuan. ketika kami berkunjung, Ibu ini baru selesai mandi dan ketika bertemu, ia sedang bersisir di kaca yang digantungnya di dekat pintu rumahnya. Ia menikah sebagai satu-satunya istri dari mendiang suaminya, dan sudah menjanda selama 11 tahun, tepatnya mendiang suami meninggal pada tahun Universitas Sumatera Utara 1996. seluruh anak Ibu M Beru.Keliat sudah menikah, dan hingga saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Ibu kelahiran Bekuah, 20 mei, 1938 ini yang tidak berencana untuk menikah lagi ini, bertahan hidup sehari harinya dengan bertani cokelat. Informan pada saat ini hidup sendiri tanpa ditemani anak- anaknya, pekerjaan rumah memasak, membersihkan rumah ia kerjakan sendiri, sehari- harinya dan ke ladang sendiri juga ia lakukan. Profil Informan VII Hari Minggu pagi, peneliti mendatangi sebuah rumah yang berdiri di pinggir jalan Desa Penen. Rumah yang lebih tinngi tanahnya dari rumah yang ada di sekitarnya. Dulu rumah ini pernah dijadikan sebagai warung kopi, tapi sekarang sudah tidak lagi. Di sebuah bangku panjang di teras rumah ini, terlihat seorang wanita dengan rambutnya yang sudah memutih, memakai kaos putih dan sarung yang tidak terlihat baru lagi, sedang duduk sendiri sambil melihat-lihat ke arah jalan raya di di depannya. Ia adalah ibu P.Beru Barus. Ketika bertemu dengan peneliti, dia sudah bersiap-siap dan menunggu kedatangan kami, karena ibu yang membantu peneliti sudah menceritakan tentang keperluan peneliti untuk mencari data. Pada tahun 1960, di usianya yang ke 18 Ibu P Beru.Barus menikah dan hingga sekarang tidak memiliki seorang anak pun. Menikah sebagai istri pertama dan satu- satunya hingga kematian mendiang suami pada tahun 1991, Ibu berusia 63 tahun ini tidak Universitas Sumatera Utara ada rencana untuk menikah lagi. Hingga saat ini hubungan Ibu P Beru.Barus dengan keluarga mendiang suami masih terjalin dengan baik. Dengan alasan meskipun Ia sudah menjanda, tetapi masih tetap menjadi tanggungjawab keluarga suami. Ibu P Beru.Barus dalam kesehariannya bertahan hidup dengan bertani cokelat. Ibu P.Beru Barus semasa hidupnya tidak menganut agama apapun. Ia masih menganut kepercayaan lama, yang masih percaya kepada roh nenek moyang. Namun peneliti merasa kurang pantas untuk bertanya lebih jauh tentang hal tersebut. Ibu P.Beru Barus pada saat ini tinggal bersama anak perempuan dari saudara laki-laki dari mendiang suaminya, yang memang dimintakan untuk tinggal bersamanya, untuk membantu kegiatan ibu ini sehari-harinya. Dia sudah dianggap sebagai anaknya sendiri oleh ibu P.Beru Barus, dan punya dua orang cucu perempuan yang keduanya masih balita. Kelak, anak perempuan dari saudara laki-laki mendiang suaminya inilah yang akan mendapatkan semua warisan ibu P.Beru Barus apabila ia meninggal nantinya. Informan VIII Menjelang siang hari di Desa penen, kami sudah dua kali bolak-balik berkunjung ke rumah ini, tetapi kami belum bertemu dengan orang yang kami cari. Tadi pagi juga kami sudah berkunjung ke rumah ini, bertemu dengan ibu M.Beru Tarigan. Di rumah ini ada dua orang informan, ibu M.Beru Tarigan dan anaknya ibu Rk.Beru Barus. Tetapi tadi pagi ibu Rk.Beru Barus sedang pergi ke Gereja dan diinformasikan oleh ibu M.Beru Tarigan, anak perempuannya hari ini akan pulang lebih lama dari biasanya, karena di Gereja sedang diadakan bazaar makanan untuk pengumpulan danan untuk keperluan Gereja. Universitas Sumatera Utara Kunjungan terakhir yang kami lakukan, kami bertemu dengan informan yang dimaksud. Ibu Rk.Beru Barus sedang makan siang. Ibu ini bertubuh agak besar, kulit sawo matang, dan ketika bertemu, ibu ini memakai celana ponggol dan baju kaos hitam, tanpa lengan. Ibu ini juga sama ramahnya dengan ibunya, sambil menawarkan untuk makan bersama, ibu ini juga meminta maaf sudah membuat kami bolak-balik kerumah ini mencarinya. Ibu Rk.Beru Barus merupakan informan termuda. Ibu ini aktiv dalam pelayanan di gerejanya. Ibu Rk. Beru.Barus merupakan salah satu anak perempun dari M. Beru.Tarigan, dan tinggal bersama ketiga anak laki-lakinya dan ibunya sendiri. Pada tahun 1986 Ibu Rk. Beru.Barus menikah dan menjadi janda pada tahun 2001. menikah sebagai satu-satunya istri hingga pada saat ini Ibu berusia 43 tahun ini menjawab tidak menutup kemungkinan di hari depan nanti untuk menikah lagi. Anak Ibu kelahiran Penen, 18 feBeruuari 1967, belum ada yang menikah yang paling tua, si kembar baru tamat SMA, sedangkan adiknya masih duduk di bangku SMP kelas III. Perlakuan keluarga mendiang suami dikatakan baik oleh Ibu, karena keluarga masih ingat untuk mengundang jikalau ada acara pesta adat. Informan IX Rumah yang kami kunjungi ini, tidak begitu besar bangunannya. Dijadikan sekaligus sebagai kegiatan ekonomi, di bagian depan rumah ini dijadikan sebagai warung yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Pemiliknya warung kecil ini adalah Ibu DI.Beru Sitepu. Ketika kami temui, ia sedang menunggu pembeli di warungnya, sambil menonton televisi yang berada di ruang tengahnya. Televisi yang berukuran 14”inci dan Universitas Sumatera Utara sudah tidak berwarna lagi. Ibu ini juga menyambut kami dengan ramah, serta mempersilahkan kami duduk di tikar, ruang tengahnya. Ibu DI Beru. Sitepu menikah tahun 1983 dan menetap di Medan, tahun 1998 pindah ke Desa Penen dan suami meninggal pada tahun 2003. Menikah sebagai satu- satunya isteri, Ibu 47 tahun ini dikaruniai tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki yang paling kecil berumur 7 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan yang paling tua perempuan sudah menikah. Ibu kelahiran Penen, 20 feBeruuari 1960 ini pada saat ini tinggal bersama ketiga anaknya yang belum menikah. Ketika berkunjung, kami tidak melihat seorangpun dari anaknya. Sesekali sambil meminta maaf, ibu ini permisi untuk melayani pembeli yang hendak membeli kebutuhannya. Ibu DI Beru.Sitepu sedang sendirian di rumah karena anaknya sedang pergi. Tetapi biasanya dua anak perempuannya membantu menjaga warung bergantian, sehingga ibu ini bisa pergi ke ladang juga. Diakui oleh ibu DI Beru.Sitepu, hubungan dengan keluarga mendiang suami masih terjalin baik, karena sewaktu mengadakan pesta anaknya pada tahun 2005 yang lalu, semua keluarga mendiang suami diundang, dan datang semua. Ibu DI Beru.sitepu bertahan hidup sehari-hari dengan berladang dan membuka warung di rumah yang dijaga oleh anak kedua perempuannya yang baru tamat SMA. Ibu DI Beru. sitepu di hari ke depannya masih membuka diri seandainya masih diizinkan menikah apabila menemukan jodoh yang dianggap baik untuk memenuhi kriteria seorang bapak untuk anak-anaknya. Informan X Universitas Sumatera Utara Kami berjalan dari belakang rumah-rumah yang terletak di Dusun Satu Desa Penen. Jalanan tidak terlihat begitu jelas, karena hari sudah gelap. Dan kami harus hati- hati berjalan, karena tadi sore hujan turun deras menyebabkan banyak genangan air. Letak rumah-rumah di Desa Penen ini tidak begitu beraturan. Semula peneliti tidak menyangka jikalau di belakang rumah-rumah yang di pinggir jalan yang tidak begitu lebar, ada banyak rumah juga yang bahkan arah depan dan arah belakang rumah-rumah di tempat ini tidak lah searah. Kami sudah mendapatkan nama-nama informan, dan dengan bantuan masyarakat juga yang kami tanya, mereka menginformasikan letak rumah informan yang kami cari. Ketika sampai, terlihat rumah yang masih terbuka pintunya, dan di dalam ada dua orang ibu yang sedang bercerita, duduk dialasi tikar. Hampir sama dengan informan yang lainnya, rumah ibu ini juga tidak begitu besar kira-kira berukuran 5x10 meter. Karena kami dapat melihat pintu dapur, lalu pintu keluar yang ada di belakang. Rumah yang sederhana dengan dua kamar, dinding cat putih, lantai yang terbuat dari semen, dan tidak begitu banyak perabotan. Hanya ada sebuah lemari, sebuah televisi 21”inci dan beberapa foto keluarga yang digantung di dinding. Namanya Ibu Rk Beru.Tarigan. Menikah di tahun 1976 di Desa Penen, dan suami meninggal pada tahun 1981, karena sakit. Menikah sebagai satu-satunya istri, Ibu Rk Beru.Tarigan dikaruniai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. anak laki-laki tertua dan anak perempuan tertua sudah menikah. Sambil mempersilahkan kami minum the manis panas yang disediakan oleh anak perempuannya, ia bercerita saat ini Ibu lulusan SMA ini tinggal bersama anak laki-laki tertua yang menikah dan dua orang anaknya yang belum menikah. Hingga saat ini Ibu Rk Beru.Tarigan menyatakan masih mempunyai Universitas Sumatera Utara hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Dan tidak berencana untuk menikah lagi.

4.2.1.2. Informan Biasa

Informan I Bpk.JW Sitepu bertempat tinggal di Dusun I Desa Penen bersama isteri dan seorang anaknya yang baru saja lahir, dan ibunya yang sudah menjadi janda, yang merupakan salah satu informan kunci dalam penelitian ini. Sehari-harinya Bpk.JW Sitepu bekerja sebagai petani cokelat, bersama dengan istrinya. Informan II Ibu N.Beru Ginting, seorang ibu rumah tangga yang pada saat ini tinggal di Dusun I Desa Penen, dengan suaminya, yang dikaruniai tiga orang putri dan seorang putera. Pendidikan terakhir Ibu N.Beru Ginting, yaitu lulusan SMA. Sehari-harinya ia bekerja sebagai petani bersama suaminya. Informan III Ibu.C Beru.tarigan, usia 50 tahun, tinggal di Dusun I Desa Penen, pendidikan terakhir adalah Sekolah Menengah Atas. Menikah dan dikarunia dua orang putra dan dua orang putri. Tinggal dengan seorang suami dan seorang anak laki-lakinya yang belum menikah, Universitas Sumatera Utara sehari-harinya Ibu.C Beru.tarigan dan suaminya bekerja sebagai pedagang, mereka berjualan di depan rumah yang dijadikan tempat usaha untuk berdagang.

4.2.2. Persepsi Dan Pengalaman Informan Terhadap Hak Waris Janda

4.2.2.1. Informan Kunci

Informan I Mengenai harta warisan, keluarga ini mempunyai keputusan, bahwa sebelum meninggal sudah dibicarakan dengan anak beru tentang pembagian harta warisan. Dan dalam rapat musyawarah keluarga tersebut juga ditanyakan apakah mereka setuju dengan pembagian harta warisan tersebut. Ibu M.Beru Barus berpendapat bahwa janda pada dasarnya secara adat karo bukan merupakan ahli waris, tetapi bisa ikut menikmati warisan yang ditinggalkan mendiang suaminya, sebelum Ibu ini meninggal, kemudian diwariskan pada anak-anaknya. Dan Ibu M.Beru Barus juga berpandangan memang seharusnya seorang janda, dapat menikmati warisan. Dari mendiang suaminya, Ibu M.Beru Barus mendapatkan warisan dalam bentuk sawah warisan dari mertua, dan rumah harta suami-isteri. Dimana warisan tersebut juga merupakan hasil proses dari rapat keluarga, dan dengan anak beru. Yang ikut bertanggung jawab terhadap pembahagian tersebut adalah anak beru senina gamet 1 , - 1 Gamet : perantara istri mendiang untuk menyampaikan maksud hati kepada keluarga mendiang suami, yang diwakilkan kepada saudara terdekat, dan tidak harus saudara kandung sendiri. Universitas Sumatera Utara keluarga, dan anak beru. Peran dari rakut si telu yaitu, mereka harus diberitahu dipanggil untuk mendengarkan dahulu pembicaraan dari gamet sebagai perpanjangan mulut dari isteri mendiang. setelah mendengar permintaan istri mendiang, rakut si telu akan memikirkan apakah harta itu pantas diberikan kepada yang meminta, kemudian mereka juga akan melihat langsung harta warisan yang dimaksud. Rakut si telu senina, anak beru, kalimbubu juga berperan sebagai penengah apabila terjadi perselisihan dalam pembagian warisan. Harta warisan berupa rumah dan sawah yang ada pada Ibu M.Beru Barus hingga saat ini belum dibagikan, karena masih dipercayakan kepada Ibu M.Beru Barus dan setelah Ibu ini meninggal baru akan dibagi kepada anak-anaknya. Namun sawah ini sekarang di kerjakan digarap oleh anak laki-laki bungsunya. Ibu M.Beru Barus sangat setuju dengan hasil keputusan terhadap harta warisan tersebut dan ia juga setuju apabila anak perempuan mendapatkan warisan. Namun apabila Ibu M.Beru Barus meninggal kelak, beliau akan memeberikan kuasa kepada anak laki- lakinya untuk membagikan harta warisan tersebut tergantung dari rasa keadilan yang dari anak laki-laki terserah apakah mau membagi secara adil, atau tidak sama sekali.red. Ibu M.Beru Barus juga tidak pernah tahu tentang keputusan Mahkamah Agung tentang kesamaan hak anak laki-laki dan perempuan terhadap warisan. Ia menganggap bahwa memang ada terjadi perubahan dalam hal pembagian warisan yaitu, dari perubahan jenis harta yang diberikan. Dikatakannya kalau dulu yang mau dibagikan ke anak perempuan adalah emas, tapi sekarang tanah, rumah, atau uang pun sudah diberikan kepada anak perempuan, tergantung harta warisan yang ada yang akan dibagikan menurut Universitas Sumatera Utara ia juga perubahan ini terjadi karena pertimbangan kelangsungan hidup, dengan alasan bahwa tidak ada orangtua yang ingin melihat hidup anaknya susah. Informan II Yang diketahui Ibu K Beru. Ginting tentang hak waris seorang janda adalah, ia bukan menjadi seorang ahli waris secara adat, tetapi dapat menikmati harta dari mendiang suaminya. Tetapi warisan dari mendiang suami Ibu ini sendiri sudah dibagikan kepada anak-anaknya, meskipun Ibu K Beru. Ginting belum meninggal dunia. Dan ia sendiri, setuju akan hal tersebut. Mengenai perlakuan adat terhadap janda, yang diharapkan oleh Ibu, K Beru. Ginting agar janda tetap dihargai ditengah adat, selaku wanita yang tidak punya suami lagi. Ibu K Beru. Ginting ini dapat dikatakan beruntung, karena mendiang suaminya merupakan anak satu-satunya laki-laki dari keluarganya, sehingga seluruh harta dari keluarga suami, diberikan semuanya. Dan ketika suaminya meninggal, warisan tersebut tentunya berpindah menjadi kuasa istri. Warisan tersebut berupa sawah tanah basah.red, rumah tanah kering.red, dikarenakan suami Ibu K Beru. Ginting merupakan satu- satunya anak laki-laki di keluarganya, sehingga menjadi ahli waris yang mendapat warisan paling banyak. Proses pembagian harta itu sendiri, tidak mengundang rakut si telu karena tidak ada permasalahan dalam pembagiannya hanya keluarga saja yang bagi. Dan pembagian harta tersebut diketahui oleh dua saudari perempuan dari suami Ibu ini. Jadi yang bertanggung jawab terhadap pembagian warisan itu adalah keluarga. Universitas Sumatera Utara Yang mendapat warisan dari keluarga mendiang suami adalah mendiang suami dan saudara perempuannya. Tetapi mendiang suami mendapat harta yang lebih banyak dari saudaranya. Ibu K Beru. Ginting sendiri setuju dengan warisan yang diperolehnya. Ia juga berpendapat setuju jikalau anak perempuan juga mendapatkan warisan dengan alasan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama anak juga, jadi jangan ada perbedaan. Meskipun sudah menjadi janda, sampai saat ini Ibu K Beru.Ginting masih merasa diperhatikan oleh keluarga mendiang suaminya. Dengan alasan jikalau ada pesta masih diundang keluarga dari mendiang suami. Pembagian warisan terhadap anak laki-laki dan perempuan. Ia menyatakan ia akan memberikannya secara adil, dalam artian jumlah yang sama banyaknya. Dan ia juga tahu tentang keputusan Mahkamah Agung mengenai pembagian warisan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perubahan yang terjadi dalam warisan menurut Ibu K Beru. Ginting dimana anak perempuan sudah mendapatkan warisan dan menurutnya perubahan ini terjadi karena adanya pengaruh gereja agama.red dimana diajarkan untuk memiliki kasih, sehingga mau berbagi warisan. Ditambah lagi karena adanya kesadaran sendiri. Apa-apa saja yang berubah dalam pembahian warisan? Ibu K Beru. Ginting menjawab bahwa dulu anak perempuan tidak dapat warisan, sekarang sudah dapat. Namun terhadap Ia sendiri, seperti pengakuannya bahwa ia tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya sendiri. Ia hanya dua orang bersaudara. Ia dan seorang saudara laki- lakinya. Dimana warisan orangtua Ibu K Beru. Ginting diberikan kepada saudara laki- laki tertuanya semua. Ia tidak mendapat warisan, dan Ia sendiri tidak menuntut hal tersebut, meskipun sebenarnya ia tidak setuju. Universitas Sumatera Utara Informan III Ibu R.Beru.Tarigan bertahan hidup sehari-hari.dengan bertani cokelat. Hidup dengan ekonomi seadanya, Ibu R.Beru.Tarigan juga tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suaminya. Begitu juga dengan warisan dari kedua orangtuanya. Yang diketahuinya tentang hak waris janda Karo, Ibu R.Beru.Tarigan menjawab warisan dari suami diberikan kepada istri, yang kemudian akan dibagikan kepada anak- anak. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada Ibu R.Beru.Tarigan, karena Ia tidak mendapatkan warisan. Meskipun tidak setuju dengan hal tersebut, namun Ia tidak menuntut, dikarenakan harta orangtuanya juga tidak banyak. Setelah menjadi janda, Ibu R.Beru.Tarigan sudah tidak punya kedua orangtua lagi, dan keluarga dari mendiang suaminya memang tidak pernah memperdulikannya, sedangkan hidupnya masih membutuhkan bantuan, jadi Ibu R.Beru.Tarigan kembali ke keluarganya sendiri, yaitu kepada sudara laki-lakinya yang paling tua. Hasil musyawarah, memutuskan bahwa Ibu R.Beru.Tarigan tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya. Dan yang bertanggungjawab terhadap pembagian harta tersebut adalah anak beru, kalimbubu, dan senina. Karena ketika musyawarah, terjadi perselisihan, saudara laki-laki dari Ibu R.Beru.Tarigan tidak mau berbagi warisan dengannya, sehingga membutuhkan rakut si telu sebagai penengah. Jadi yang menjadi ahli waris dari warisan tersebut hanyalah saudara laki-laki Ibu R.Beru.Tarigan. Sedangkan Ia hanya diberikan uang tunai sebanyak Rp.1juta. Universitas Sumatera Utara Meskipun Ia tidak setuju dengan hasil pembagian warisan tersebut, karena menurutnya seharusnya anak laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Dalam pemikiran Ibu R.Beru.Tarigan , bahwa anak perempuan pun seharusnya mendapatkan warisan dari orangtua, hal itu demi kelangsungan hidup, tambahnya. Meskipun jumlah yang didapat perempuan lebih sedikit dari anak laki-laki, dan jumlah untuk anak perempuan ditentukan oleh anak laki-laki itu sendiri. Ibu R.Beru.Tarigan sudah pernah mendengar hasil keputusan Mahkamah Agung tentang persamaan hak waris, dan menurutnya memang ada perubahan yang terjadi dalam hal warisan. Meskipun dari keberadaan Ibu R.Beru.Tarigan hal itu sendiri tidak terjadi. Faktor perubahan itu menurutnya dikarenakan adanya perjuangn wanita untuk menuntut kesamaan haknya dan adanya pengaruh dari agama. Perubahan yang dimaksudkan Ibu R.Beru.Tarigan yaitu, kalau dahulu anak perempuan tidak mendapatkan warisan, sekarang sudah dapat warisan. Informan IV Warisan dari mendiang suami, dapat dinikmati oleh istri dan terserah apakah warisan tersebut mau langsung dibagi atau tidak kepada anak-anak. Itulah yang diketahui Ibu Ru.Beru.Tarigan tentang warisan janda secara adat dan ia setuju dengan aturan tersebut. Ibu Ru.Beru.Tarigan sendiri juga mempunyai pandangan, bagaimana seharusnya seorang janda diperlakukan dalam adat, yaitu ingin lebih dihargai. Karena seluruh anak Ibu Ru.Beru.Tarigan sudah menikah, salah satu penghargaan yang diberikan kepada Universitas Sumatera Utara janda, yaitu i usei. 2 Sering juga disebut dengan istilah mereken tudung 3 . Namun pesta adat atau acara adat ini tidak menjadi suatu keharusan pada masyarakat Karo, hanya bagi mereka yang mampu saja. Tapi hanya boleh dilaksanakan ketika semua anak di dalam sebuah keluarga sudah menikah. Ibu Ru.Beru.Tarigan mendapatkan harta warisan dari mendiang suaminya, berupa sawah, rumah, dan uang. Mengenai jumlah bagian yang adil tentang warisan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan, Ibu Ru.Beru.Tarigan menjawab 2:1 laki-laki lebih banyak dari perempuan. dengan pertimbangan apabila nanti anak perempuan sudah menikah akan mendapat warisan dari suaminya juga.s Ibu Ru.Beru.Tarigan tidak pernah mendengar keputusan MA tentang kesamaan hak waris laki-laki dan perempuan, namun ia mengatakan bahwa memang ada terjadi perubahan dalam masalah warisan. Walaupun perubahan tersebut tidak secara Negara, tetapi secara adat, katanya. Dengan perubahan, kalau dulu perempuan tidak mendapat warisan, sekarang sudah dapat. Menurut Ibu Ru.Beru.Tarigan beragama Protestan ini sjuga, perubahan yang terjadi tersebut dikarenakan masalah perubahan dari agama, dan lebih mengutamakan keadilan. Informan V Secara adat, Ibu M Beru.Tarigan tahu bahwa warisan dari suami, sebelum dibagikan kelak kepada anak-anak, dapat dinikmati oleh isteri. Demikian halnya yang 2 I usei sebuah pesta yang dibuat oleh anak-anak yang sudah menikah, untuk ibu mereka yang sudah janda. Dimana akan dibuat pesta besar di jambur, dan banyak sanak famili yang datang kemudian dalam acara tersebut akan diberikan tudung kepada ibunda tercinta 2 3 mereken tudung memberi tudung. Tudung adalah salah satu pelengkap pakaian adat karo, yaitu sebuah kain tertentu yang dibentuk sedemikian rupa, kemudian di pasang di kepala wanita. Universitas Sumatera Utara dialami Ibu M Beru.Tarigan, meskipun Ia menyatakan bahwa Ia hanya mendapatkan sedikit warisan dari suaminya, berupa uang dan tanah. Proses pembagian harta tersebut pun hanya dihadiri oleh keluarga saja. Jadi yang bertanggung jawab terhadap harta warisan tersebut hanyalah Ibu M Beru.Tarigan beserta anak-anaknya. Sedangkan peran rakut si telu dalam musyawarah keluarga terhadap pembagian warisan tersebut, tidak ada. Hingga pada saat ini yang menjadi hak waris dari warisan mendiang sumi Ibu M Beru.Tarigan, hanya Ia sendiri, dan Ia setuju dengan warisan yang di dapatkannya. Jikalau warisan nanti kelak dibagikan kepada anaknya, Ia juga akan memberikan warisan tersebut kepada anak perempuannya, dengan alasan bahwa ia menganggap sama saja anak laki-laki dan perempuan dan semua adalah anak kandungnya sendiri dengan rasa sayang yang sama. Dengan bagian, rumah akan diberikan Ibu M Beru.Tarigan kepada anaknya yang laki-laki, kemudian tanah seluas 2 ha akan dibagi lagi, 1,5 ha menjadi hak milik anak laki-laki, dan sisanya 0,5 ha akan dibagikan kepada anak yang perempuan. terlihat jelas meskipun anak perempuan dapat warisan, namun tetap lebih sedikit dari anak yang laki-laki. Meskipun Ibu M Beru.Tarigan belum pernah mendengar keputusan MA tentang persamaan hak waris laki-laki dan perempuan, Ia merasa memang ada perubahan yang terjadi dalam hak waris, yaitu anak perempuan sudah mendapatkan warisan pada saat ini meskipun jumlahnya lebih sedikit. Ibu beragama Kristen Katolik ini menambahkan bahwa perubahan ini terjadi karena adanya pengaruh agama yang menumbuhkan kasih untuk membagikan warisan kepada anak perempuan. dan hal ini tidak mempengaruhi sistem persaudaraan dan sistem adat budaya Karo. Universitas Sumatera Utara Informan VI Ketika ditanya apa yang Ibu ketahui tentang hak waris janda secara adat Karo? Ibu menjawab bahwa harta akan diberikan kepada istri, kemudian setelah meninggal akan dibagikan kepada anak, atau tergantung dari kesepakatan keluarga, apakah sudah ditentukan bagian-bagiannya. Ibu setuju dengan hal tersebut dengan alasan karena mereka adalah suami-istri, sudah selayaknya istri juga dapat menikmati harta warisan tersebut. Ibu mendapat warisan dari mendiang suami berupa uang Rp.600.000. pembagian warisan tersebut hanya dihadiri keluarga istri dan keluarga mendiang suami. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap warisan tersebut hanyalah keluarga, tanpa adanya peran dari rakut si telu. Ibu, sebagai pewaris satu-satunya setuju dengan pembagian warisan tersebut dengan alasan bahwa memang tidak ada lagi harta lain yang mau dibagi. Mengenai anak perempuan memperoleh warisan, Ibu juga sangat setuju. Dalam arti setiap anak akan mendapatkan bagian yang sama banyak. Meskipun Ibu tidak begitu merasakan adanya perubahan dalam pembagian warisan, dan tidak pernah mendengar tentang keputusan MA, namun Ibu penganut agama Kristen Protestan ini beranggapan bahwa memang ada perubahan yang terjadi mengenai pembagian warisan, yaitu dengan mengakui hak anak perempuan untuk mendapatkan warisan. Informan VII Universitas Sumatera Utara Yang diketahui Ibu kelahiran Penen, 1942 ini bahwa harta warisan akan diberikan kepada istri apabila, suaminya meninggal. Ibu P Beru.Barus setuju dengan aturan tersebut, dan hal ini dialami oleh Ibu P Beru.Barus sendiri. Dari mendiang suaminya, Ia mendapatkan warisan berupa sawah dan ladang. Sedangkan pada saat ini Ia tinggal di sebuah rumah yang menjadi peninggalan dari harta warisan orangtuanya sendiri. Ketika kedua mertua Ibu P Beru.Barus meninggal, sebagian warisan diberikan kepada suaminya sendiri, selaku anak. Dan ketika mendiang suaminya meninggal, otomatis harta akan berpindah kepada Ibu P Beru.Barus sendiri, dan hal tersebut merupakan hasil keputusan dari musyawarah keluarga mendiang suami. Dikarenakan Ibu P Beru.Barus berpisah karena ditinggal mati suaminya, Ia masih dikatakan keluarga, sampai jikalau Ia sendiri akan mengatakan ingin menikah lagi. Yang bertanggungjawab atas warisan tersebut hanyalah keluarga mendiang suami dan Ibu P Beru.Barus sendiri. Dan Ia setuju dengan pembagian warisan tersebut karena Ia menganggap bahwa sebenarnya warisan tersebut adalah milik dari keluarga suami. Dengan membela haknya sebagai perempuan, Ibu berpendidikan Sekolah Rakyat SR ini juga setuju dengan diputuskannya anak perempuan sebagai hak waris. Bahkan untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, Ibu P Beru.Barus mengatakan, hal tersebut bukan hanya menjadi hak kaum laki-laki saja. Ibu P Beru.Barus belum tahu tentang keputusan MA, namun perubahan yang dijawab olehnya tentang hak waris adalah, dengan mengakui wanita sebagai hak waris. Faktor yang menyebabkan perubahan dikatakan Ibu P Beru.Barus adalah faktor pendidikan .Pada saat ini juga Ibu penganut agama Pemena masih menganut kepercayaan pertama nenek moyang, yang belum mengenal Tuhan tinggal bersama Universitas Sumatera Utara anak perempuan dari abang iparnya, yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Kepadanya lah kelak, harta warisan akan diberikan, karena ibu inilah yang merawat Ibu, dan Ibu sendiri sudah menganggapnya sebagai anak. Informan VIII Ibu Rk.Beru Barus berpendidikan lulus SMA, mendapatkan warisan dari mendiang suami berupa uang. Masih ada yang belum diberikan yaitu ladang, yang masih dikelola abang dari mendiang suami Ibu ini sendiri. Karena belum ada yang meminta ladang tersebut. Yang berhak untuk meminta nantinya, anak laki-laki dari Ibu. Sisa harta tersebut akan menjadi kewajiban abang tua dari mendiang suami Ibu untuk membaginya. Dikatakan Ibu Rk. Beru.Barus juga bahwa rakut si telu akan berperan pada proses pembagiannya nanti, sebagai penengah meskipun tidak ada masalah dalam pembagiannya. Yang menjadi hak waris dari warisan tersebut adalah ketiga anak laki-lakinya, tetapi warisan tersebut akan dipegang oleh Ibu Rk. Beru.Barus sendiri sampai dirasa anak laki-lakinya sudah boleh menerima warisan tersebut. Dan Ibu Rk.Beru.Barus setuju dengan warisan tersebut. Tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan, Ibu lulusan SMA ini juga setuju untuk menjadikan anak perempuan turut serta sebagai pewaris. Dengan artian warisan dalam jumlah yang sama besar bagiannya. Dikatakan Ibu Rk. Beru.Barus juga dengan anak perempuan mendapatkan bagian yang sama, hal tersebut merupakan suatu perubahan dimana dahulu perempuan hanya mendapat 15 bagian dari anak laki-laki. Apabila ada tiga orang anak perempuan, 15 bagian tersebut akan dibagi tiga untuk anak Universitas Sumatera Utara perempuan tersebut. Jumlah bagian yang sama tersebut dikatakan, tidak semua keluarga yang melaksanakannya, tetapi sudah ada yang melakukan. Faktor yang mendukung perubahan tersebut adalah faktor pengaruh agama, yang mengajarkan untuk saling mengasihi. Perubahan tersebut dikatakan Ibu tidak berpengaruh terhadap sistem kekeluargaan dan sistem adat istiadat masyarakat Karo. Informan IX Warisan diberikan kepada istri, dan kalau isteri meninggal dunia, warisan akan dibagikan kepada anak-anak. Itulah yang diketahui Ibu DI Beru. Sitepu mengenai hak waris janda. Ia setuju dengan adanya aturan tersebut dan menurut pandangannya, seorang janda haruslah tetap dihargai dan diperhatikan keluarga meskipun keluarganya sudah tidak sempurna lagi dengan meninggalnya seorang suami. Ia mendapatkan harta warisan berupa rumah yang ditinggalinya dan sebuah ladang cokelat. Proses pembagian harta tersebut merupakan hasil pembagian dari keluarga saja, dan keluarga lah yang bertanggung jawab dengan hasil keputusan tersebut. Yang memegang warisan tersebut pada saat ini, masih Ibu sendiri, karena belum meninggal dan menurutnya belum perlu untuk dibagikan. Dan Ibu setuju dengan warisan yang diterimanya. Ibu DI Beru. Sitepu menjawab, kelak dia akan membagikan warisan kepada anak laki-laki dan anak prempuannya. Ia sendiri berharap warisan tersebut akan dibagi rata, tetapi Ia memutuskan akan memberikan wewenang kepada anak laki-lakinya untuk membagi kepada saudara perempuannya. Universitas Sumatera Utara Ibu DI Beru. Sitepu tahu akan keputusan MA tentang warisan, dan menurutnya ada perubahan dalam pembagian warisan dengan menyatakan perubahan tersebut, anak perempuan sudah mendapatkan warisan, karena perempuan berjuang dengan cara menuntut, dan Ibu DI Beru. Sitepu menyatakan bahwa anak perempuan mempunyai hak untuk menuntut apabila tidak mendapatkan warisan yang semestinya. Perubahan tersebut dikatakan Ibu DI Beru. Sitepu karena adanya pengaruh dari pendidikan dan pengaruh agama yang menurutnya juga, mempunyai dampak kepada adat istiadat. Menurut Ibu beragama protestan ini juga perubahan dalam warisan, yaitu pada jumlah bagian yang diterima anak laki-laki dan perempuan terlebih lagi perubahan terjadi yaitu dengan diakuinya anak perempuan sebagai ahli waris juga. Informan X Ibu Rk Beru.Tarigan yang berusia 56 tahun ini mendapatkan warisan berupa uang dan tanah dari mendiang suaminya. Hal tersebut disetujui olehnya, sesuai dengan pengetahuannya yang dinyatakan Ibu Rk Beru.Tarigan, bahwa secara adat, harta yang ditinggalkan suami yang meninggal, akan diberikan kepada isterinya. Proses pembagian harta yang didapat Ibu Rk Beru.Tarigan yaitu melalui rapat keluarga saja tanpa adanya peran rakut sitelu. Ibu Rk Beru.Tarigan lah yang memegang warisan tersebut pada saat ini, sebelum dibagi kepada anak-anaknya, namun dikatakan Ibu kelahiran Penen, 24 februari 1951 ini dia sudah memberitahukan bagian-bagian warisan yang akan di dapatkan anak-anaknya kelak jika dia sudah meninggal. Ibu Rk Beru.Tarigan menjawab, setuju apabila anak perempuan mendapatkan warisan dengan alasan, dia juga ingin melihat semua anaknya Universitas Sumatera Utara hidup dengan baik dan Ibu tidak akan membedakan anak laki-laki dan anak yang perempuan. Rumah akan diberikan kepada anak laki-laki yang paling bungsu, kemudian satu tanah akan diberikan kepada anak laki-laki yang sulung, sedangkan satu tanah lagi akan diberikan kepada anak perempuan untuk dibagi dua. Hal ini dilakukan Ibu, Rk Beru.Tarigan karena dianggap adil olehnya. Ibu usia 56 tahun ini tidak pernah mendengar UU dari MA tentang hak waris. Tetapi dia menjawab bahwa ada perubahan terjadi tentang warisan. Dikatakan oleh informan, dahulu yang menjadi warisan untuk anak perempuan adalah emas, tanah dan rumah untuk anak laki-laki. Sekarang warisan kepada anak perempuan, tanah atau rumah pun sudah boleh, tergantung dari warisan yang ada. Menurutnya pergeseran tersebut terjadi, karena ada hal yang dianggap tidak adil dan kurang cocok dalam pembagian warisan sehingga terjadilah perubahan. Dan faktor yang mendukung hal tersebut adalah pengaruh dari agama dan pendidikan. Matriks 5. Pengalaman informan terhadap hak waris janda No Nama informan Mendapat warisan yatidak Bentuk warisan Proses pembagian 1. M.Beru Barus Ya Tanah Melalui rapat rakut sitelu 2. K.Beru.Ginting Ya - sawah - tanah Hanya hasil musyawarah Universitas Sumatera Utara - ladang keluarga, karena sebelum meninggal, sudah dibicarakan masalah warisan. 3. R.Beru Tarigan Tidak - Tidak berdasarkan hasil rapat,karena keluarga suami tidak memperhatikan lagi. 4. Ru.Beru Tarigan Ya - sawah - ladang - rumah - uang Tanpa ada rapat keluarga, tetapi secara otomatis berpindah ke tangan istri. 5. M Beru.Tarigan Ya - uang - tanah Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. 6. M.Beru Keliat Ya Uang Rp.600.000 Hasil rapat dari keluarga suami dan keluarga istri. 7. P.Beru Barus Ya - sawah - ladang Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. 8. Rk.Beru Barus Ya - uang - ladang Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. 9. D.I Beru Sitepu Ya - rumah - ladang cokelat Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. 10. Rk.Beru Tarigan Ya - uang - tanah Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. Universitas Sumatera Utara 4.2.2.2.Informan Biasa Informan I Bpk.JW Sitepu menjawab, yang diketahuinya tentang hak waris janda secara adat Karo : bahwa jikalau suami dari seorang perempuan Karo meninggal, harta warisan akan diberikan kepada istri, dan kelak akan dibagikan kepada anak-anak yang sebagai ahli waris. Bpk.JW Sitepu belum pernah mendengar tentang Keputusan MA No.100 KSip1967 yang menetapkan anak perempuan sebagai ahli waris. Mengenai isi dari keputusan tersebut, Bpk.JW Sitepu tidak setuju, karena menurut Bapak ini anak permpuan juga akan mendapatkan warisan kelak yang di dapatkan dari suaminya. Dan menurutnya juga tidak ada perbedaan yang terjadi sehubungan dengan keputusan MA tersebut, karena anak laki-laki akan tetap mendapatkan harta warisan yang ebih banyak dari anak perempuan. Informan II Yang diketahhui Ibu N.Beru Ginting mengenai hak waris janda menurut adat Karo adalah bahwa, meskipun suami telah meninggal dunia, maka si isteri akan tetap mendapatkan warisan dari mendiang suaminya. Dan Ibu ini menganggap bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar. Ibu N.Beru Ginting juga menjawab bahwa terhadap seorang janda, ia berharap agar janda tersebut tetap dihargai pleh semua pihak keluarga, terutama pihak keluarga dari suami janda tersebut. . Ibu N.Beru Ginting belum pernah mendengar Universitas Sumatera Utara tentang Keputusan MA No.100 KSip1967. Menurut Ibu N.Beru Ginting, ada perubahan yang terjadi mengenai warisan terhadap janda, yaitu bahwa seorang janda tidak akan mendapatkan harta apapun, apabila si suami meninggal tanpa mempunyai keturunan dan si isteri menikah lagi. Dan perubahan yang dimaksudnya tersebut terjadi oleh karena putusnya hubungan kekeluargaan antara pihak suami dan pihak si istri, yang disebabkan oleh hubungan kekeluargaan yang merenggang. Hal tersebut lah yang menyebabkan adanya perubahan dalam sistem adat budaya Karo. Informan III Ibu.C Beru. Tarigan menjawab, yang diketahuinya tentang hak waris janda Karo adalah bahwa harta gono-gini akan secara langsung dinikmati oleh istri dan anak-anaknya, tetapi harta warisan yang berasal dari keluarga suami, hanya akan dimiliki istri dan anak-anak mendiang, apabila keluarga dari pihak mendiang suami menyetujui, tetapi apabila keluarga mendiang suami tidak setuju, harta waisan tersebut akan diberikan kembali kepada keluarga mendiang suami. Ibu.C.Beru.tarigan menganggap hal tersebut tidaklah adil, karena ia menganggap bahwa isteri juga mempunyai hak atas harta warisan dari suaminya. Dan Ibu.C Beru Tarigan berpandangan bahwa seorang janda seharusnya diperlakukan sama dengan suaminya, atas hak waris. Mengenai perubahan tentang warisan pada saat ini, Ibu.C Beru.Tarigan berpendapat bahwa perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh pendidikan, agama serta pengalaman-pengalaman tentang warisan yang pernah diketahui, sehingga mempengaruhi pemikiran mengenai warisan. Perubahan yang terjadi adalah sudah ada keluarga yang membagikan warisan yang samam banyaknya antara anak laki-laki dan anak perempuan, Universitas Sumatera Utara tetapi ada juga yang tetap memberikan warisan lebih banyak kepada anak laki-laki. Menurutnya juga bahwa warisan meskipun ada diatur secara adat, maupun Negara, tetapi pembahagian warisan itu sendiri tetap merupakan hasil dari mufakat ahli waris. jikalau ada perselisihan, maka masalah tersebut akan dibicarakan bersama dengan rakut si telu. Apabila tiak menemukan kesepakatan juga, maka masalah tersebut akan dibawa ke pengadilan. Matriks 6. Persepsi informan terhadap harta warisan No Nama informan Jumlah anak laki- laki dan perempuan Anak perempuan mendapat warisan setujutidak setuju Jumlah warisan yang dibagi Proses pembagian warisan 1. M.Beru Barus 3 laki-laki 2perempuan setuju Lebih banyak untuk anak laki- laki Hasil rapat keluarga, yang akan diputuskan oleh anak laki-laki 2. K.Beru.Ginting 4 laki-laki 1 perempuan Setuju Sama banyak dengan anak perempuan Melalui rapat keluarga 3. R.Beru Tarigan 1 perempuan Setuju Laki-laki mendapat lebih banyak Keputusan dari anak laki-laki 4. Ru.Beru Tarigan 4 laki-laki 2 perempuan Setuju Akan dibagikan 2:1 untuk anak laki-laki lebih besar Melalui rapat keluarga 5. M Beru.Tarigan 1 laki-laki 3 perempuan Setuju -Rumah untuk anak laki-laki, -tanah seluas 1,5ha untuk anak laki-laki, -tanah seluas 0,5ha untuk Melalui rapat keluarga Universitas Sumatera Utara anak perempuan, dibagi 6. M.Beru Keliat 3 perempuan Setuju Sama banyak Melalui rapat keluarga 7. P.Beru Barus - setuju Sama banyak Melalui rapat keluarga 8. Rk.Beru Barus 3 laki-laki setuju Sama banyak Melalui rapat keluarga 9. D.I Beru Sitepu 1 laki-laki 3 perempuan setuju Lebih besar untuk anak laki- laki Hasil keputusan anak laki-laki 10. Rk.Beru Tarigan 2 laki-laki 2 perempuan setuju 1 rumah untuk anak laki-laki yang paling muda, ladang untuk anak laki- laki tertua, ladang yang lain untuk anak perempuan dibagi dua. Melalui rapat keluarga

4.2.3. Pemahaman Informan Terhadap Issue Gender

Sebagian besar informan tidak pernah mendengar kata Gender, salah satu faktor penyebabnya yaitu rendahnya tingkat pendidikan informan, yang hanya sampai Sekolah Rakyat SR. Di desa Penen, ada terdapat sebuah organisasi yang disebut Centre Union CU yang merupakan sebuah organinasi yang bergerak di bidang simpan-pinjam uang untuk rakyat yang kurang mampu. Organisasi ini ini bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat dengan memberikan bantuan modal kepada masyarakat yang membutuhkan, dan setelah panen akan diadakan bagi hasil, dengan mengumpulkan seluruh anggota. Setiap bulan organisasi CU ini mengadakan rapat dan mengadakan Universitas Sumatera Utara sosialisasi, salah satunya mengenai Gender, dikarenakan sebagian besar dari anggota CU ini adalah wanita. Tidak semua penduduk Desa merupakan anggota dari CU, ada juga yang tidak, karena mereka cukup punya modal untuk membiayai proses penanaman tumbuhannya hingga panen. Dikarenakan mereka tidak pernah mendengar kata Gender, mereka tidak tahu jikalau mereka merupakan korban dari bias gender. Setiap beban yang mereka alami, dianggap merupakan sebuah kerelaan sebagai seorang perempuan yang memang lebih rendah derajatnya dari laki-laki, dan merupakan sebuah aturan adat. Dengan mengakui bahwa lelaki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan, dan mereka kemudian mensosialisasikan kembali hal tersebut kepada anak-anak mereka, dengan memberikan anak lelaki, warisan yang lebih besar daripada anak perempuan. bukan hanya dari segi warisan, tetapi juga dari segi perlakuan atau aturan di dalam adat yang lebih mengutamakan laki-laki untuk berada di posisi depan sebagai pemimpin. Informan I Ibu M.Beru Barus belum pernah mendengar kata gender. Ia mengganggap bahwa ia juga tidak mengalami marginalisasi akibat gender, dengan alasan karena ia mendapatkan warisan dari mendiang suaminya. Jawaban Ibu M.Beru Barus terhadap pelabelan masyarakat karo terhadap janda adalah tergantung kondisi janda itu sendiri. Jikalau janda tersebut tidak mempunyai perilaku yang baik, tentu akan digunjingkan masyarakat. Tetapi kalau janda tersebut kelakuannya baik, tentu akan punya kehidupan sosial yang baik dengan warga yang lain. Universitas Sumatera Utara Ibu M.Beru Barus juga menjawab bahwa jelas terdapat subordinasi terhadap wanita karo dimana laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari wanita karo, sehingga peran laki-laki dalam adat lebih dominan. Contohnya apabila ada runggu dalam pesta atau acara adat, yang duduk di depan adalah laki-laki dan wanita hanya duduk mendengar di belakang. Ia juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan cara dipukul oleh suaminya apabila bertengkar. Ibu M.Beru Barus bertutur ia juga sering pergi ke ladang sendiri untuk bekerja, ketika pulang dari ladang masih harus mengurus rumah tangga lagi, sementara suaminya duduk di kedai kopi. Informan II Ibu K Beru. Ginting belum pernah mendengar kata gender dan ia juga tidak merasa mengalami marginalisasi. Meskipun ia tidak mendapat warisan dari orangtuanya, namun ia dapat menikmati warisan dari mendiang suaminya. Ditambahnya lagi, ketika suami masih hidup Ibu K Beru. Ginting lah yang memegang atau menyimpan uang dalam rumahtangga. Hal itu merupakan kesepakatan bersama, suami-istri. Mengenai stereotype masyarakat Karo terhadap janda, Ibu K Beru. Ginting juga menjawab hal ini tergantung dri keberadaan dan tingkah laku dari janda itu sendiri. Kalau untuk ia sendiri, ia masih mempunyai hubungan yang baik dengan warga kampung. Ibu K Beru. Ginting tidak merasa mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi ia merasakan beban ganda sewaktu berumahtangga. Hal ini di karenakan mendiang suami sering sekali sakit-sakitan mengharuskan Ia untuk bekerja ke dan juga mengurus pekerjaan rumah tangga. Universitas Sumatera Utara Informan III Ibu R.Beru Tarigan sudah sering mendengar kata Gender melalui rapat CU Credit Usaha yang merupakan program peningkatan ekonomi rakyat yang dibuat oleh sebuah organisasi yang bergerak di simpan-pinjam uang, dimana Ibu juga merupakan salah satu anggotanya. Ibu R.Beru Tarigan tidak merasa termarginalisasi secara gender, dengan alasan, sewaktu masih berumahtangga, suaminya masih mau memberikan uang belanja. Tetapi Ibu R.Beru Tarigan tidak menyadari bahwa ia termarginalisasi secara gender dalam hal pembagian harta warisan. Ibu R.Beru Tarigan juga menjawab bahwa ia masih diterima sangat baik di tengah masyarakat Desa Penen ini. Ibu R.Beru Tarigan juga mengalami subordinasi, dengan dia tidak mendapatkan warisan hanya karena dia adalah seorang perempuan. Tapi Ibu R.Beru Tarigan tidak mengalami kekerasan dalam rumahtangga. Ketika masih berumahtangga, mendiang suami mengerjakan sektor publik, yaitu dengan bertani dan Ibu R.Beru Tarigan mengerjakan pekerjaan sektor domestik. Namun sekarang karena Ibu R.Beru Tarigan tinggal seorang diri, jadilah Ibu R.Beru Tarigan yang pergi bertani dan mengurus pekerjaan rumah sendirian. Informan IV Ibu tidak pernah mendengar kata gender, dan menjawab tidak pernah merasa termarginalisasi secara gender, dengan alasan bahwa Ibu lah yang menjadi bendahara dalam keluarga. Pelabelan masyarakat terhadap janda juga dijawab Ibu, tergantung dari keberadaan dan perilaku janda tersebut ditengah masayarakat. Universitas Sumatera Utara Subordinasi dikatakan Ibu terlihat jelas dalam masyarakat karo. Contohnya ketika runggu 4 di acara adat, hanya laki-laki saja yang boleh berperan sedangkan kaum wanita hanya duduk-duduk di belakang. Meskipun terkadang pendapat kaum wanita ditanyakan juga, tetapi tanpa persetujuan kaum laki-laki dlam musyawarah tersebut, pendapat itu tidak akan diterima. Ibu tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Ia mengalami beban kerja ganda, selaku ibu rumah tangga yang mengurus pekerjaan rumah, Ibu juga yang pergi ke untuk bertahan hidup saat ini. Informan V Ibu M Beru.Tarigan tidak pernah mendengar kata gender, dan merasa tidak termarginalisasi secara gender, dengan alasan bahwa Ia mendapatkan warisan dan ketika berumah tangganya ibu M Beru.Tarigan lah yang memegang uang dalam keluarga. Sampai saat ini perlakuan masyarakat juga kepada ibu M Beru.Tarigan, baik adanya. Subordinasi dirasakan Ibu M Beru.Tarigan sangat kuat dalam budaya karo, misalkan dalam hal pembagian warisan, dan dalam kedudukan laki-laki dan perempuan yang berbeda di dalam pesta. Sekali-sekali Ibu M Beru.Tarigan juga merasakan kekerasan dalam rumah tangga apabila Ia bertengkar dengan mendiang suaminya. Setelah menjanda, tidak semua tugas sanggup dikerjakannya, karena sudah tidak sanggup lagi. Sehingga pekerjaan rumah atau pergi ke ladang di kerjakan oleh anak-anaknya. Dengan adanya pembagian tugas, Ias tidak mengalami beban kerja ganda. 4 Runggu adalah musyawarah, atau rapat yang dilakukan di pesta ataupun dalam acara-acara adat Karo, untuk memusyawarahkan sesuatu. Yang hanya dilakoni oleh kaum laki-laki, biasanya yang sudah menikah. Universitas Sumatera Utara Informan VI Kata gender, tidak pernah terdengar di telinga Ibu M Beru.Keliat. Dengan alasan yang kebanyakan sama dengan Ibu lain, Ia tidak merasa termarginalisasi secara gender, karena dulu mendiang suami sering memberikan uang kepadanya. Namun secara adat, ternyata Ibu M Beru.Keliat juga tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya, dengan alasan orangtua juga tidak meninggalkan begitu banyak warisan, sehingga yang mendapatkan warisan hanya abang tuanya. Hal ini menunjukkan adanya subordinasi dalam budaya Karo. Hingga saat ini Ia masih mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat sekelilingnya di Desa Penen. Ia tidak pernah merasakan kekerasan dalam rumah tangga. Mengenai beban kerja ganda, karena tinggal seorang diri pada saat ini, Ibu M Beru.Keliats lah yang bekerja ke ladang dan mengerjakan pekerjaan rumah. Informan VII Selama 63 tahun umurnya, Ibu P Beru.Barus tidak pernah mendengar kata gender. Marginalisasi dikantakannya tidak dialami olehnya, karena semasa berumahtangga Ia mendapatkan uang, bahkan menyimpan uang yang diberikan suaminya, dan Ia sendiri mendapatkan warisan dari kedua orangtuanya dan suaminya. Hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar juga masih dirasakan olehnya, meski Ia hidup tanpa suami. Sambil mengingat tentang didikan gurunya sewaktu di Sekolah Rakyat, Ibu P Beru.Barus berkata bahwa sedari dulu sudah diajarkan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. laki-laki lebih diutamakan baik dari segi pendidikan dan ekonomi dan posisi dalam adat- istiadat. Universitas Sumatera Utara Kekerasan dalam rumah tangga dijawab Ibu P Beru.Barus tidak pernah terjadi dalam rumahtangganya. Beban kerja ganda pun dijawab Ibu P Beru.Barus tidak terjadi padanya, karena ada anak abang iparnya yang mengerjakan pekerjaan rumah, dan Ibu yang pergi ke ladang, bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Informan VIII Ibu Rk. Beru.Barus pernah mendengar kata gender, dan menjawab tidak pernah merasa termarginalisasi secara gender. Subordinasi yang digambarkannya terjadi di dalam budaya Karo, dicontohkan Ibu Rk. Beru.Barus mengenai rapat adat ketika ada pesta. Dimana kaum laki-laki lah yang pendapatnya lebih di dengar dan diutamakan daripada perempuan. Pendapat apapun dari perempuan sebelum ditanya oleh laki-laki, dikatakan belum sah. Meskipun pada akhirnya boleh jadi pendapat perempuanlah yang akhirnya diterima. Beban kerja juga tidak dirasakan olehnya, karena suami dan Ibu Rk. Beru.Barus sering masak bersama dan bekerja ke ladang pun bersama. Informan IV Ibu lulusan SMA ini pernah mendengar kata gender dan tidak merasa termarginalisasi secara gender. Mengenai strereotype terhadap janda dijawabnya hal tersebut tergantung keberadaan janda tersebut, jawabnya. Subordinasi dikatakannya terasa di budaya Karo dengan alasan, bahwa anak laki-laki dianggap lebih berharga. Sampai ada keluarga yang menganggap apabila belum ada anak laki-laki, keluarga tersebut terasa belum lengkap, sampai ada keluarga yang mempunyai anak banyak hanya Universitas Sumatera Utara untuk mendapat anak laki-laki. Kekerasan dalam rumahtangga tidak terjadi dalam keluarga Ibu DI Beru. Sitepu, tetapi Ia yakin hal tersebut pasti ada terjadi pada rumah tangga wanita Karo. Beban kerja ganda juga dijawab Ibu DI Beru. Sitepu tidak dialami olehnya, dengan alasan sekarang dia dibantu oleh anak-anaknya dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun ke ladang. Meskipun suaminya sudah tidak ada lagi. Informan X Ibu lulusan SMA ini, pernah mendengar kata gender, dan tidak merasa termarginalisasi. Stereotype terhadap janda, dari masyarakat dijawabnya hal tersebut juga tergantung perilaku janda itu ditengah masyarakat. Jikalau Ibu Rk Beru.Tarigan sendiri, dia masih merasakan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar. Subordinasi dalam budaya karo, dicontohkannya mengenai perbedann jumkah warisan, dimana laki-laki yang mendapat lebih banyak dan mengenai posisi kaum laki- laki yang dianggap lebih tinggi dari perempuan. misalkan ketika ada musyawarah di pesta. Laki-laki mengemukakan pendapat di depan, sedangkan perempuan hanya duduk mendengar dibelakang, dan hanya berpendapat ketika ditanya. Kekerasan dalam rumah tangga, kadang-kadang dialami Ibu Rk Beru.Tarigan, apabila bertengkar dengan suaminya, tetapi setelah itu, kami baikan lagi, tambahnya. Beban kerja ganda, dijawab Ibu Rk Beru.Tarigan tidak dialami olehnya. Sewaktu mendiang suami masih hidup, mereka sama-sama pergi berladang, dan terkadang suami membantu istri di rumah. Sekarang yang membantu Ibu Rk Beru.Tarigan berladang dan mengerjakan pekerjaan rumah adalah anak-anaknya. Universitas Sumatera Utara

4.2.4. Kondisi Ketidakadilan Gender Yang Dialami Informan

4.2.4.1. Gender dan marginalisasi Perempuan

Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan Negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan disebabkan oleh Gender. Ada beberapa jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan Gender tersebut. Dari sumbernya bisa dari keyakinan tradisi atau aturan adat, maupun kebiasaan. Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi di dalam rumahtangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi, dimulai di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi terhadap anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. marginalisasi juga diperkuat oleh adat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapat warisan sama sekali. Matriks 7. Pengalaman informan terhadap marginalisasi No Nama informan Mengalami marginalisasi yatidak Alasan informan 1. M Beru Barus Tidak Karena saya mendapat warisan dari suami. 2. K.Beru Ginting Tidak Karena semasa hidup dengan suami, Universitas Sumatera Utara saya yang memegang uang dalam rumah tangga, sesuai dengan kesepakatan suami istri, dan sebagai janda saya juga mendapatkan warisan. 3. R.Beru Tarigan Ya Semasa hidup, saya memang diberikan nafkah oleh suami, tetapi saya tidak mendapatkan warisan, saya sebagai anak, dan ketika saya menjadi janda. 4. Ru Beru.tarigan Tidak Karena dalam rumah tangga, saya dipercaya untuk memegang uang dalam rumah tangga, dan saya juga mendapatkan warisan. 5. M Beru.Tarigan Tidak Karena saya dapat uang belanja sewaktu suami masih hidup, dan saya juga mendapat warisan. 6. M Beru.Keliat Tidak Meskipun saya tidak mendapat warisan sebagai anak, tetapi hal tersebut dikarenakan warisan dari orangtua saya tidak banyak. 7. P Beru.Barus Tidak Karena saya mendapatkan warisan dari suami saya. 8. R.Beru Barus Tidak Karena sebagai janda, saya mendapatkan warisan. 9. D.I Beru.Sitepu Tidak Karena suami beri uang belanja kepada saya selagi masih hidup, dan sebagai istri saya juga mendapat warisan. 10 Rk Beru.Tarigan Tidak Karena semasa hidup, suami beri uang juga dan saya juga mendapat warisan. Hasil dari penelitian di Desa Penen juga menunjukkan bahwa sebahagian perempuan mengalami marginalisasi, meskipun mereka mengakui mereka tidak mengalami kemiskinan secara ekonomi, dengan alasan, mereka diberi uang belanja oleh suami, dan mendapatkan warisan ketika mereka sebagai anak dan sebagai seorang perempuan yang ditinggal Universitas Sumatera Utara mati suaminya. Kurangnya kesadaran marginalisasi ini dikarenakan beberapa dari informan yang tidak pernah sama sekali mendengar kata Gender, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa mereka merupakan korban dari marginalisasi, dimana marginalisasi ini juga didukung oleh aturan adat, yang memberikan kepada laki-laki hak yang lebih besar. Sebagian informan juga mendapat warisan yang lebih sedikit dari orangtua mereka, bahkan ada yang tidak mendapatkan warisan sama sekali. Seperti yang diungkapkan oleh informan K.Beru Ginting : “…kami hanya dua orang bersaudara. Saya dan saudara laki-laki saya yang lebih tua. Warisan orangtua saya ada sama abang semuanya. saya enggak dapat, tapi enggak apa- apa lah enggak ada dia saya tuntut sikit pun. Menantu abang saya yang perempuan pun slalu dia datang ke rumahku, baik-baiknya dia kusambut. Jadi enggak masalah sama saya..” Demikian halnya dengan yang diungkapkan oleh informan R.Beru Tarigan: “…saya tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suami. Begitu juga dengan warisan dari kedua orangtua. Yang saya tahu, kalau warisan dari suami, itu diserahkan ke isteri terus nanti di serahkan sama anak yang laki-laki. meskipun pun itu warisan dari mertua. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada saya. Sebenarnya saya tidak setuju dibuat seperti itu, tapi ya sudah lah, saya tidak mau menuntut. Karena harta orangtua saya juga tidak banyak, yah,saya pasrah saja. Setelah menjadi janda, saya sudah tidak punya kedua orangtua lagi, dan keluarga dari mendiang suami memang tidak pernah memperdulikan keluarga saya, sedangkan hidup saya masih membutuhkan bantuan, jadi saya kembali ke keluarga saya sendiri, yaitu kepada sudara laki-laki saya yang paling tua..” Hasil musyawarah, memutuskan bahwa informan tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya. Dan yang bertanggungjawab terhadap pembagian harta tersebut adalah rakut si telu 5 anak beru, kalimbubu, dan senina. Karena ketika musyawarah, terjadi perselisihan, 5 Peran rakut sitelu dalam pembagian warisan pada masyarakat Karo adalah sebagai saksi dan penengah apabila terjadi perselisihan antara ahli waris. Tetapi saat ini peran rakut sitelu telah mengalami pergeseran dalam masyarakat Karo, khususnya dalam proses pembagian harta warisan, hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu: Universitas Sumatera Utara saudara laki-laki dari informan tidak mau berbagi warisan dengannya, sehingga membutuhkan rakut si telu sebagai penengah. Jadi yang menjadi ahli waris dari warisan tersebut hanyalah saudara laki-laki informan. Sedangkan informan hanya diberikan uang tunai sebanyak Rp.1juta. Meskipun informan tidak setuju dengan hasil pembagian warisan tersebut, informan tidak berniat ntuk menuntut. Pada kondisi ini, informan tidak dapat berbuat apa-apa dari sisi pandangan adat, karena memang yang mutlak untuk mendapatkan warisan adalah anak laki-laki dan bukan anak perempuan. Ketika mereka sudah menikah dan menjadi janda, mereka justru mendapat harta dari mendiang suami, meskipun tidak secara tertulis dan hanya boleh dinikmati apabila si istri tidak menikah lagi. Hal ini juga menjadi alasan dalam budaya Karo untuk tidak membagikan warisan secara merata kepada anak laki-laki dan perempuan, atau tidak memberikan sama sekali, karena apabila anak perempuan menikah kelak, ia juga akan mendapatkan warisan dari suaminya. Tetapi pandangan tersebut tentunya tidak bisa dijadikan alasan untuk anak perempuan tidak mendapatkan warisan, karena tidak semua perempuan Karo yang beruntung untuk mendapatkan warisan yang banyak dari mendiang suaminya, seperti yang dituturkan oleh informan M.Beru Keliat : “…saya dapat warisan dari mendiang suami hanya berupa uang Rp.600.000. pembagian warisan tersebut hanya dihadiri keluarga istri dan keluarga mendiang suami. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap warisan tersebut hanyalah keluarga, tanpa adanya peran dari rakut si telu. Saya, sebagai pewaris satu-satunya setuju dengan pembagian warisan tersebut dengan alasan bahwa memang tidak ada lagi harta lain yang mau dibagi…” 1. Anak perempuan telah mendapat harta warisan 2. Proses pembagian warisan banyak dibawa ke persidangan Universitas Sumatera Utara Ada juga informan yang tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suaminya. Seperti yang diutarakan informan R.Beru Tarigan : “..saya tidak mendapatkan warisan sama sekali dari mendiang suami. Begitu juga dengan warisan dari kedua orangtua. Yang saya tahu, kalau warisan dari suami, itu diserahkan ke isteri terus nanti di serahkan sama anak yang laki-laki. meskipun pun itu warisan dari mertua. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada saya. Sebenarnya saya tidak setuju dibuat seperti itu, tapi ya sudah lah, saya tidak mau menuntut..” Marginalisasi di bidang pendidikan juga terlihat dari sebahagian besar informan yang berpendidikan tamatan Sekolah Rakyat SR dan sebagian lagi berpendidikan Sekolah Menengah Atas SMA.

4.2.4.2. Gender dan Subordinasi

Masalah warisan pada kenyataan adat istiadat orang Karo masih dipegang teguh di beberapa komunitas masyarakat Karo. Adat istiadat itu pulalah salah satu pengikat yang terbukti mampu memelihara keutuhan, kesejahteraan, kebudayaan, dan persaudaraan dikalangan masyarakat Karo, kekuatan spiritual adat terbukti hasilnya tentang kemampuan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar dalam lingkungan masyarakat sehar-hari. Hukum waris tersebut terjadi pada masa lampau ketika masyarakat masih jauh berbeda dengan keadaaan masyarakat sekarang. Sebelum terjadi pergeseran sistem pembagian warisan pada masyarakat Karo, harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya hanyalah diberikan kepada anak laki-laki, dan anak perempuan tidak mendapat bagian. Walaupun anak perempuan tidak mendapat harta warisan, tetapi sebelum orang tuanya meninggal, anak perempuan sering diberi perhiasan berupa emas dan sebagainya oleh ibunya, meskipun hal tersebut tidak berlaku secara mutlak dalam pelaksanaanya. Anak perempuan memang tidak mendapat harta warisan, tetapi bisa memakai tanah atau harta warisan Universitas Sumatera Utara lainya, dan suatu saat nanti, pihak kalimbubu saudara laki-laki dari perempuan tersebut memintanya kembali harta yang dipakainya, maka tanah atau harta warisan yang dipakai perempuan tersebut harus di kembalikan. Subordinasi dirasakan sangat kuat mengakar dalam kebudayaan Suku Karo. Menurut sejumlah ahli salah satu faktor yang mendasari dominasi laki-laki dan patriarki adalah seksisme sexism, yaitu keyakinan bahwa keunggulan suatu jenis kelamin merupakan pembawaan sejak lahir. Menurut Horton dan Hunt dalam Kamanto, 2000 : 112, seksisme merupakan keyakinan atau kebijaksanaan mengenai keunggulan laki-laki atau ketimpangan seks, serta penerimaan terhadap stereotip peran seks tanpa mempertanyakannya. Ketidakadilan gender itu biasanya menimpa perempuan karena kuatnya dominasi laki- laki terhadap perempuan baik secara sosial maupun budaya. Akibatnya, menjadi hubungan asimetris, antara perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan menjadi golongan yang menjalani ketidakberuntungan di lingkup publik. Dalam berbagai bentuknya kaum perempuan, masih mengalami sub-ordinasi, perendahan, pengabaian, pengeksplotasian dan lain-lain Wijaya 1996:22. Matriks 8. Pengalaman informan terhadap subordinasi No Nama informan Mengalami subordinasi yatidak Subordinasi yang dialami 1. M Beru Barus Ya Anak laki-laki punya kuasa untuk membagi warisan, sedangkan anak perempuan tidak Universitas Sumatera Utara 2. K.Beru Ginting Ya Kalau ada runggu di acara adat atau pesta, lebih di dengarkan pendapat dari laki-laki, daripada pendapat perempuan. 3. R.Beru Tarigan Ya Warisan dibagi oleh saudara yang laki-laki, sehingga informan tidak mendapatkan warisan. 4. Ru Beru.tarigan Ya Sewaktu diadakan runggu dalam acara adat, yang diharap untuk berkumpul adalah yang laki-laki saja. 5. M Beru.Tarigan Ya - Harta warisan yang membagikan adalah saudara laki-laki. - Dalam pesta adat, yang ikut runggu adalah laki-laki. 6. M Beru.Keliat Ya Masalah pembagian warisan boleh diberikan kuasa kepada yang saudara laki-laki. 7. P Beru.Barus Ya Laki-laki lebih diutamakan baik dari segi pendidikan dan ekonomi dan posisi dalam adat- istiadat. 8. R.Beru Barus Ya Jikalau dalam keluarga dan adat ada masalah, pendapat laki-laki lah yang lebih di dengarkan. 9. D.I Beru.Sitepu Ya Anak laki-laki lebih tinggi derajatnya dari anak perempuan. keluarga dirasakan belum lengkap kalau belum ada anak laki-laki. 10 Rk Beru.Tarigan Ya Di dalam adat Karo, anak laki-laki saja yang membagikan, mendapatkan warisan dan dalam adat Karo juga, laki-laki yang mengambil keputusan. Demikian halnya dengan hasil penelitian di Desa Penen. Ditunjukkan melalui matriks yang telah digambarkan, bahwa dengan sistem kekerabatan yang patriarki, pembahagian warisan yang lebih besar, jatuh ke tangan anak laki-laki. Dan apabila ingin dibagikan kepada saudara Universitas Sumatera Utara perempuan yang lain, yang membagikannya diserahkan kepada keputusan dari anak laki-laki. Hal tersebut berlaku dikarenakan adanya pengaruh dari aturan adat. Seperti pengakuan dari informan M Beru.Barus : “…sangat setuju dengan hasil keputusan terhadap harta warisan saya peroleh dan saya juga setuju apabila anak perempuan mendapatkan warisan. Namun apabila saya meninggal kelak,saya akan memberikan kuasa kepada anak laki-laki untuk membagikan harta warisan tersebut. Tergantung dari rasa keadilan yang dari anak laki-laki,terserah apakah mau membagi secara adil, atau tidak sama sekali.. .” Informan juga menambahkan bahwa jelas terdapat subordinasi terhadap wanita karo dimana laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari wanita karo, sehingga peran laki-laki dalam adat lebih dominan : “...kalau ada acara pesta adat, yang biasanya runggu 6 di depan itu, hanya kaum laki-laki. Sedangkan perempuan hanya duduk-duduk saja…” Demikian halnya dengan pendapat dari informan R.Beru Tarigan. Subordinasi dikatakan informan terlihat jelas dalam masyarakat karo: “… ketika runggu di acara adat, hanya laki-laki saja yang boleh berperan sedangkan kaum wanita hanya duduk-duduk di belakang. Meskipun terkadang pendapat kaum wanita ditanyakan juga, tetapi tanpa persetujuan kaum laki-laki dalam musyawarah tersebut, pendapat itu tidak akan diterima…” Dituturkan juga oleh informan M.Beru Tarigan . Subordinasi dirasakan informan sangat kuat dalam budaya karo ; “…misalkan dalam hal pembagian warisan, pembagian warisan biasanya diberikan kepada anak yang laki-laki, bahkan ada juga orangtua yang memberikan kuasa kepada anak laki-laki dalam membagikan warisan dan dalam acara adat, kedudukan laki-laki yang lebih tinggi nilainya dari perempuan…” Dan seperti yang diungkapkan oleh informan P.Beru Barus, sambil mengingat tentang didikan gurunya sewaktu di Sekolah Rakyat, informan berkata : 6 Runggu : adalah acara musyawarah yang dilakukan ketika acara pesta adat berlangsung yang bertujuan untuk membicarakan hal-hal yang akan dilaksanakan dalam acara adat tersebut. Yang hal tersebut hanya dilakoni oleh kaum laki-laki, dan biasanya yang sudah berkeluarga. Universitas Sumatera Utara “….bahwa sedari dulu sudah diajarkan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. laki-laki lebih diutamakan baik dari segi pendidikan dan ekonomi dan posisi dalam adat- istiadat...” Dijawab juga oleh informan R.Beru Barus, subordinasi yang digambarkannya terjadi di dalam budaya Karo, dicontohkan informan : “…mengenai rapat adat ketika ada pesta. Dimana kaum laki-laki lah yang pendapatnya lebih di dengar dan diutamakan daripada perempuan. Pendapat apapun dari perempuan sebelum ditanya oleh laki-laki, dikatakan belum sah. Meskipun pada akhirnya boleh jadi pendapat perempuanlah yang akhirnya diterima…” Informan DI.Beru Sitepu juga menjawab, subordinasi dikatakannya terasa di budaya Karo dengan alasan : “..bahwa anak laki-laki dianggap lebih berharga. Sampai ada keluarga yang menganggap apabila belum ada anak laki-laki, keluarga tersebut terasa belum lengkap, sampai ada keluarga yang mempunyai anak banyak hanya untuk mendapat anak laki-laki…” Kemudian ditambahkan oleh informan R.Beru Tarigan, subordinasi dalam budaya karo, dicontohkannya : “…mengenai perbedaan jumlah warisan, dimana laki-laki yang mendapat lebih banyak dan mengenai posisi kaum laki-laki yang dianggap lebih tinggi dari perempuan. misalkan ketika ada musyawarah di pesta. Laki-laki mengemukakan pendapat di depan, sedangkan perempuan hanya duduk mendengar dibelakang, dan hanya berpendapat ketika ditanya...” Adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, antara laki-laki dan perempuan yang menguntungkan kaum laki-laki ini oleh sejumlah ahli dikaitkan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan male domination. Suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan oleh Macions 1996:261 dinamakan patriarki patriarchy. Sedangkan menurutnya bentuk sebaliknya, dalam mana perempuan mendominasi laki-laki, dinamakan matriarki matriarchy. Dikatakan bahwa hanya laki-laki yang memimpim musyawarah dalam adat, menunjukkan bahwa laki-laki lebih dianggap bisa memimpin, daripada Universitas Sumatera Utara perempuan, dan hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari aturan adat yang lebih meninggikan derajat laki-laki. Untuk analisis mengenai wanita di dalam masyaraka, hal ini merupakan suatu perkembangan penting, karena status atau posisi seseorang pada suatu tatanan sosial berhubungan dengan kekuasaan. Dalam hal ini wanita sering sekali dirugikan, seperti halnya wanita dimasyarakat Karo selalu mendapat posisi yang lebih rendah terutama dalam hal pembagian harta warisan, seperti hal yang telah diuraikan diatas. Di masyarakat Karo, anak perempuan seakan tersisih karena jenis kelamin, terutama dalam hal pewarisan. Jadi untuk menganalisa kedudukan wanita dimasyarakat Karo dari perspektif Gender akan kita temukan sub-ordinasi mengacu pada “posisi bawah” dalam hubungan antara pria dan wanita.

4.2.4.3. Gender dan Stereotype

Secara umum, stereotype adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, kelompok tertentu yang dimaksud adalah kelompok janda di Desa Penen. Salah satu jenis stereotype itu adalah yang bersumber dari pandangan Gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap suatu jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan stereotype yang dikaitkan kepada mereka. Misalnya : penandaan yang berasal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka tiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotype ini Mansyour Fakih 2004 : 16-17 Namun pernyataan tersebut tidak dialami oleh janda yang menjadi informan dalam penelitian ini. Seperti yang dituturkan oleh informan M.Beru Barus. Jawaban informan terhadap pelabelan masyarakat karo terhadap janda adalah : Universitas Sumatera Utara …”tergantung kondisi janda itu sendiri. Kalau ada janda yang masih muda, dan genit pula dia. Dikatakan orang dia erlua-lua genit tapi kalau baik pula janda itu tidak akan dikatakan orang begitu. Kalau saya sendiri, masih dekat juga dengan masyarakat di Desa ini,semua orang masih mau berbuat baik dengan saya dan keluarga saya ..” Informan lain, K.Beru Ginting juga menuturkan bahwa : mengenai stereotype masyarakat Karo terhadap janda, informan juga menjawab hal ini tergantung dari keberadaan dan tingkah laku dari janda itu sendiri. Kalau untuk informan sendiri, ia masih mempunyai hubungan yang baik dengan warga kampung. Salah satu hal yang menyebabkan tidak adanya stereotype negatif terhadap kelompok janda yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah dikarenakan informan seluruhnya sudah lanjut usia. Tidak menutup kemungkinan adanya stereotype ganjil, tetapi karena seluruh informan masih bersosialisasi dengan baik kepada seluruh warga Desa, tentunya hal tersebut memperlihatkan bahwa janda ini sendiri beserta keluarganya diterima baik ditengah masyarakat, dihargai dan dihormati.

4.2.4.4. Gender dan kekerasan

Kekerasan violence adalah serangan atau invasi assault terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang merupakan terjemahan dari “violence” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja, seperti pemukulan, tetapi juga bersifat non fisik, melalui perkataan yang kasar, sehingga Universitas Sumatera Utara perempuan atau pun laki-laki yang mengalaminya merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga sendiri. Matriks 9. Pengalaman informan terhadap perilaku kekerasan dalam rumah tangga No Nama informan Mengalami KDRT yatidak Bentuk kekerasan yang dialami 1. M.Beru Barus Ya - dipukul suami - dijambak suami - disakiti hatinya karena suami masih mau pacaran lagi 2. K.Beru.Ginting Tidak - 3. R.Beru Tarigan Tidak - 4. Ru.Beru Tarigan Tidak - 5. M Beru.Tarigan Ya - dikasari suami dengan perkataan apabila bertengkar - dipukul suami 6. M.Beru Keliat Tidak - 7. P.Beru Barus Tidak - 8. Rk.Beru Barus Tidak - 9. D.I Beru Sitepu Tidak - 10. Rk.Beru Tarigan Ya - dikasari suami dengan perkataan apabila bertengkar - dipukul suami Hasil interview yang diperoleh dari para informan menunjukkan bahwa sebagian dari mereka telah mengalami kekerasan secara fisik di dalam rumah tangganya, seperti yang dituturkan oleh informan M.Beru Barus : …”saya dan suami, mempunyai perbedaan umur 4 tahun, suami saya lebih muda. Sewaktu delapan tahun pertama pernikahan, meskipun sudah menikah suami saya masih suka pacaran dan main perempuan, kelakuannya seperti anak lajang saja, jalan-jalan saja kerjaanya. Bahkan terkadang sewaktu kami bertengkar, dia suka pukul saya, jambak rambut saya. Hati saya sakit sekali, berapa kali saya berpikir untuk cerai aja, tapi sampai suami saya meninggal, saya nggak pernh cerai juga…” Universitas Sumatera Utara Demikian halnya dengan penuturan informan M.Beru Tarigan : …”ya, saya juga pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, kalu saya bertengkar dengan suami, suka bicara kasar dan sesekali juga memukul saya. Tapi kami tidak terlalu sering bertengkar, dan saya pikir hal ersebut adalah hal yang wajar dalam rumah tangga. Makanya saya terus bertahan dan tidak bercerai…” Dijawab juga oleh informan Rk.Beru Tarigan : …”kekerasan dalam rumah tangga saya alami kadang-kadang apabila bertengkar dengan suami. Kadang di omongin kasar, dipukul juga, tetapi setelah itu kami baikan lagi..” Jawaban yang berbeda dituturkan oleh beberapa informan, karena mereka tidak mengalami kekerasan dalam rumahtangga, seperti yang dituturkan oleh informan K.Beru Ginting : …”pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga dalah hal yang biasa. Namun saya tidak pernah dipukul atau dikasari suami. Kalau bertengkar kami cuma saling tidak bicara dan biasanya ada saja nanti waktunyam kami baikan lagi…” Juga dijawab oleh informan R.Beru Tarigan : …”mungkin karena umur perkawinan kami cuma dua bulan, jadi saya tidak pernah merasakan kekerasan dalam rumah tangga…” Kekerasan dalam rumah tangga memang bukan hal yang yang mustahil terjadi, diman kaum permpuan lah yang lebih sering menjadi korbannya. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korbannya. 4.2.4.5. Gender dan Beban Kerja Universitas Sumatera Utara Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan” seperti semula domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan lelaki”, serta dikategorikan sebagai “bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistic ekonomi Negara. Mansour Fakih 2004 :21-22 Matriks 10. Pengalaman informan terhadap burden atau beban kerja No Nama informan Mengalami burden yatidak Beban kerja yang dialami 1. M.Beru Barus Ya - pergi ke ladang untuk mengurus cokelat - mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, membersihkan rumah. - Mengurus anak-anak 2. K.Beru.Ginting Ya - pergi ke ladang cokelat - mengurus rumah tangga - mengurus anak-anak - mengurus suami yang semasa hidup sering sakit-sakitan - 3. R.Beru Tarigan Ya - pergi ke ladang cokelat Universitas Sumatera Utara - mengurus anak-anak - mengurus pekerjaan rumah tangga 4. Ru.Beru Tarigan Ya - pergi ke ladang - mengurus rumah tangga 5. M Beru.Tarigan Ya - pergi ke ladang - mengurus pekerjaan rumah tangga 6. M.Beru Keliat Ya - pergi ke ladang - mengurus pekerjaan rumah tangga 7. P.Beru Barus Tidak - Ibu pergi ke ladang - Anak yang perempuan mengerjakan pekerjaan rumah 8. Rk.Beru Barus Tidak Bersama suami mengerjakan pekerjaan berladang, dan suami juga membantu pekerjaan rumah. 9. D.I Beru Sitepu Ya - pergi ke ladang - mengurus pekerjaan rumah tangga 10. Rk.Beru Tarigan Tidak - sewaktu masih hidup, bersama suami pergi ke ladang. - setelah suami meninggal, ibu pergi ke ladang,anak gadisnya yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dari hasil penelitian di Desa Penen ini juga menunjukkan bahwa sebagian informan mengalami beban ganda. Hal ini terjadi di dalam rumah tangga mereka, baik itu ketika suami mereka masih hidup, maupun ketika mereka sudah menjadi janda. Mereka harus mengerjakan Universitas Sumatera Utara pekerjaan domestik dan juga harus mencari nafkah untuk keluarga dengan cara bertani. Pengalaman tersebut pernah dialami oleh sebahagian informan di Desa Penen Biru-biru, yang dituturkannya sebagai berikut. Dituturkan oleh informan M.Beru Barus : …”sewaktu masih hidup,suamiku lebih sering duduk di kedai kopi dari pagi sampai sore. Sedangkan aku harus pergi ke ladang lagi, masak lagi, urus rumah sama anak-anak juga. Tapi pernah juga di Bantu suami ke ladang atau masak kalau hatinya lagi senang…” Beban ganda dalam rumah tangga juga dialami oleh informan K.Beru Ginting : …”beban ganda dalam rumah tangga haus saya alami, hal tersebut dikarenakan suami saya yang tidak sanggup lagi bekerja karena sakit-sakitan. Saya lah jadinya yang bekerja mengurus rumah, suami dan anak-anak, saya juga yang pergi ke ladang…” Hal serupa dialami oleh R.Beru Tarigan, beban kerja yang dialaminya dikarenakan informan tinggal seorang diri di Desa Penen. Sedangkan anak perempuannya melanjutkan sekolah di Palembang. …”saya ini tinggal sendiri, suami saya tidak ada lagi, anak saya tidak tinggal bersama saya. Jadi saya sendirilah yang harus berusaha mencari uang untuk makan, kemudian mengerjakan pekerjaan rumah juga saya kerjakan…” Oleh informan Ru.Beru Tarigan, dan M.Beru Keliat, beban kerja juga dialaminya semenjak beliau menjadi janda, sehingga semua pekerjaan rumah dan pergi ke ladang harus dijalaninya. Jawaban yang berbeda diberikan oleh informan M.Beru Tarigan. Ia tidak merasakan beban kerja karena ia tinggal bersama anaknya yang sudah menikah. Meskipun pekerjaan ke ladang dan domestik sering ia kerjakan, tetapi ia dibantu oleh anak-anaknya. Oleh R.Beru Barus, juga tidak merasakan beban ganda ; …”karena sewaktu suami masih hidup saya dan suami pergi ke ladang bersama, dan mengurus rumah tangga juga bersama-sama. Sejak suami saya meninggal, anak-anak lah yang membantu saya untuk mengerjakan pekerjaan tersebut…” Demikian juga dijawab oleh informan DI.Beru Sitepu dan Rk.Beru Tarigan bahwa : Universitas Sumatera Utara …”semua pekerjaan dibantu oleh anak-anak. Dan sewaktu suami masih hidup, juga sama-sama mengerjakan pekerjaan rumah tangga…” Matriks 11. Pengalaman informan terhadap ketidakadilan gender No Nama informan marginalisasi Subordinasi Stereotype KDRT Beban ganda 1. M.Beru Barus - Ya - Ya Ya 2. K.Beru.Gtg - Ya - - Ya 3. R.Beru Trg Ya Ya - - Ya 4. Ru.Beru Trg - Ya - - Ya 5. M Beru.Trg - Ya - Ya Ya 6. M.Beru Keliat - Ya - - Ya 7. P.Beru Barus - Ya - - - 8. Rk.Beru Brs - Ya - - - 9. D.I Beru Stp - Ya - - Ya 10. Rk.Beru Trg - Ya - Ya - Ket : KDRT : Kekerasan dalam rumah tangga Universitas Sumatera Utara

4.2.5. Patriarki Dalam Budaya Masyarakat Karo

Di dalam bahasa umum, patriarki memiliki arti dominasi laki-laki; kata “patriarki” secara harafiah memiliki arti kekuasaan ayah atau “patriarch” kepala keluarga, dan sejak semula digunakan untuk menggambarkan satu jenis yang spesifik dari “keluarga yang didominasi oleh laki-laki”, keluarga besar dari si patriarch, termasuk di dalamnya perempuan, laki-laki yang lebih muda, anak-anak, budak, dan pembantu rumah tangga, semuanya berada di bawah kekuasaan laki-laki yang dominan ini. Sekarang istilah itu lebih sering digunakan secara lebih umum untuk menunjuk kepada dominasi laki-laki, kepada relasi kekuasaan, dimana laki-laki mendominasi perempuan, dan mencirikan sebuah sistem dimana perempuan terus disubordinasikan dengan berbagai cara. Kamla Basin 2001:26 Patriarki tidaklah sama disetiap tempat. Sifat dasarnya bisa dan memang berbeda pada kelas yang berbeda dalam masyarakat yang sama; dalam masyarakat yang berbeda dan pada periode sejarah yang berbeda setiap sistem sosial atau periode sejarah memunculkan variasinya sendiri mengenai bagaimana patriarki bekerja dan bagaimana praktek-praktek sosial dan kebudayaan itu berbeda. Walaupun demikian, prinsip Universitas Sumatera Utara umumnya tetap sama, yaitu bahwa laki-laki mengendalikan sebagian besar sumber- sumber penghasilan dan institusi-institusi sosial, ekonomi dan politik. Kamla Basin 2001:27 Patriarki dalam budaya Karo ditunjukkan dengan pemberian merga dari suami, kepada keturunan, baik itu kepada anak perempuan maupun kepada anak laki-laki. Dalam keluarga masyarakat Karo, tidak ada anak laki-laki berarti tidak ada yang akan meneruskan merga dari keluarga tersebut. Anak perempuan yang ada dalam keluarga tersebut kelak akan memberi keturunan untuk meneruskan merga dari keluarga suaminya. Hal tersebut diatas merupakan salah satu alasan, mengapa dikatakan sebuah keluarga yang meskipun sudah mempunyai anak perempuan, tetapi dikatakan belum lengkap dikarenakan belum mempunyai anak laki-laki. Ada juga alasan lain, yaitu agar ayah di dalam keluarga mempunyai ahli waris untuk harta yang diperoleh secara turun temurun, yaitu anak laki-lakinya sendiri. Tidak ada anak laki-laki, berarti harta warisan turun temurun tersebut akan berpindah kepada keluarga suami, yang terdekat, yang mempunyai anak laki-laki. Anak laki-laki juga merupakan perwakilan dari keluarga, di dalam acara adat, apabila kelak ayah dalam keluarga tersebut sudah meninggal. Anak laki-laki sendiri, merupakan sebuah kebanggaan dalam keluarga. Harapan diberikan lebih besar kepada anak laki-laki daripada kepada anak perempuan. Hal tersebut secara terus-menerus tersosialisasi dalam keluarga budaya Karo. Seorang Ibu di dalam keluarga Karo, ada yang membedakan anak laki-laki dan perempuan dengan memberikan anak laki-laki kebebasan yang lebih dari perempuan, contohnya dalam memberikan anak laki-laki kekuasaan untuk memutuskan apakah saudara perempuannya berhak mendapatkan warisan atau tidak. Universitas Sumatera Utara Sebagian lagi tidak membedakan anak laki-laki dengan anak perempuannya dengan memutuskan untuk membagi rata warisan yang ada kepada seluruh anak laki-laki maupun anak perempuannya. Anak laki-laki ditinjau dari masalah warisan, akan mendapatkan warisan yang lebih banyak daripada anak perempuan. adat mendukung hal tersebut, tetapi keluarga itu sendiri mempunyai wewenang atau pilihan sendiri untuk mengikuti aturan tersebut atau tidak. Dalam rapat keluarga, anak laki-laki juga punya wewenang untuk memutuskan, apakah saudara perempuannya akan mendapatkan warisan atau tidak. Alasan mengapa anak perempuan mendapat warisan lebih sedikit atau tidak mendapat warisan sama sekali, tidak lain karena anak perempuan tersebut akan mendapatkan warisan juga dari suaminya. Sebuah analisis terhadap institusi-institusi utama dalam masyarakat, institusi keluarga, agama, hukum, politik, pendidikan dan ekonomi, media dan sistem pengetahuan dengan cukup jelas menunjukkan bahwa mereka semua memiliki sifat-sifat patriakal, dan merupakan pilar-pilar dari sebuah struktural patriakal. Sistem yang kuat dan mengakar membuat patriaki seakan-akan tak terkalahkan; hal itu juga membuat patriarki seolah-olah alamiah. Dominasi kekuasaan seperti ini dapat terjadi antar kelompok berdasarkan perbedaan jenis kelamin, agama, ras, atau kelas ekonomi. Ada tiga asumsi penting yang mendasari ideologi ini. 1. Kesepakatan-kesepakatan sosial yang sesungguhnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok yang dominan cenderung dianggap mewakili kepentingan semua orang. Universitas Sumatera Utara 2. Ideologi hegemonis seperti ini merupakan bagian dari pemikiran sehari- hari, cenderung diterima apa adanya taken for granted sebagai sesuatu yang memang demikianlah adanya. 3. Dengan mengabaikan kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan dengan kelompok subordinat, ideologi seperti ini dianggap sebagai penjamin kohesi dan kerjasama sosial sebab jika tidak demikian, yang terjadi justru sebuah konflik Pyke,1996 Darwin Muhadjir 2001;24 Di bawah patriarki, berbagai jenis kekerasan dapat digunakan untuk mengendalikan dan menundukkan perempuan, serta kekerasan yang seperti itu bahkan dapat dianggap sah. Kamla Bhasin 2001:29 Hal serupa terjadi pada janda Karo di Desa Penen, meskipun hanya sebagian kecil yang mengaku mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang dialami secara fisik dan non fisik. Kekerasan dalam rumah tangga sendiri oleh para janda Karo di Desa Penen, dianggap merupakan hal yang lumrah dalam berumahtangga. Patriarki dalam masyarakat Karo, tentunya juga akan melahirkan hal yang baru dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Marginalisasi dan subordinasi yang kuat dalam budaya Karo, diterima dengan persepsi yang dianggap merupakan suatu kewajaran. Marginalisasi terhadap pendidikan yang dialami perempuan Karo di Desa Penen, dengan alasan bahwa setiap perempuan pasti akan ke dapur. Marginalisasi ekonomi terhadap perempuan dari segi warisan, dialami para Janda Karo dengan alsan, anak perempuan akan mendapat warisan dari suaminya. Subordinasi yang terjadi, akibat adanya dominasi kaum laki-laki, dan penghargaan yang diberikan lebih besar kepada anak laki-laki Universitas Sumatera Utara ditunjukkan dengan fenomena pengambilan keputusan, di dalam musyawarah adat, di dalam keluarga, yang hanya akan diambil oleh kaum laki-laki. Sebagai contoh, di dalam musyawarah adat-istiadat, yang menjadi protokol si maba runggu 7 hanyalah kaum laki-laki dan sudah berkeluarga. Laki-laki sebagai pemimpin runggu tentunya tidak terlepas dari adanya stereotype, dimana perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, kurang terdidik, emosional, kurang terampil dalam memimpin, dan hanya berdedikasi di dalam rumah tangga. Dalam acara adat itu juga, yang duduk ditengah, berkumpul hanyalah kaum laki-laki. Sementara kaum perempuan duduk di bagian belakang. Ketika keputusan sudah diambil, protokol akan bertanya kepada seluruh hadirin untuk pernyataan setuju, yang akan dijawab setuju oleh seluruh hadirinnya. Patriarki dalam masyarakat Karo juga berarti bahwa seluruh harta warisan dari suami akan diserahkan kepada keluarga suami, apabila dalam keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan. Patriarki dalam masyarakat Karo juga berarti bahwa, jika suami meninggal, keluarga yang ditinggalkan akan tetap menjadi tanggung jawab dari keluarga suami. Dalam artian belum bercerai, jikalau si istri ingin untuk menikah lagi, harus membuat pernyataan secara lisan kepada keluarga suami, atau permisi, dan anak-anaknya akan diserahkan kepada keluarga suami. 7 Bertindak sebagai pembawa acara, dalam sebuah acara adat-istiadat yang berlangsung Universitas Sumatera Utara 1

BAB V PENUTUP

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan (Studi Kasus Di Kota Medan)

5 62 133

Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 74 132

PENGARUH HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT MUSLIM KARO (STUDI KASUS DESA SEI SEMAYANG KECAMATAN SUNGGAL).

0 1 22

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 12

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 1

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 10

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 9

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 4

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 17