Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

PERSEPSI DAN PENGALAMAN PEREMPUAN KARO YANG DITINGGAL MATI SUAMI TERHADAP HARTA WARISAN

(Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru) D

I S U S U N

OLEH :

SISKA FERIANITA SEMBIRING 020901051

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, atas limpahan berkat dan karunia yang begitu

besar untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala hormat dan kemuliaan bagi-Nya penulis persembahkan karena hanya berkat bimbingan tangan-Nyalah maka penulis dapat merangkai kata demi kata sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dengan ketulusan hati, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtua tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang tanpa henti kepada penulis mulai dari kecil hingga saat ini. Terima kasih juga kepada adik-adikku Ika, Peni dan Nuel yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang berjudul: “Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dukungan dari semua pihak sangat berarti

dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik itu berupa moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati izinkanlah penulis

menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.


(3)

1. Bapak Prof.Dr.Arif Nasution,MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr.Badaruddin,M.Si, Selaku Ketua Departemen Sosiologi.

3. Ibu Dra.Rosmiani,MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi.

4. Ibu Harmona Daulay.S.Sos,M.Si sebagai dosen pembimbing, rasa hormat dan terima kasih yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata untuk beliau yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan ide-ide untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Henry Sitorus.M.Si, Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan motivasi bagi penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi. Teristimewa kepada dosen-dosen Sosiologi yang telah

memberikan bekal pengetahuan yang berharga kepada penulis.

6. Terima kasih juga buat Kak Peny, Kak Nurbety, Bang Fritz dan Kak Absah yang selama masa perkuliahan telah membantu penulis dalam kelancaran proses administrasi.

7. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

8. Bapak Lesteng Perangin-angin, selaku Kepala Desa Penen Kec.Biru-biru yang telah membantu penulis di lapangan.

9. Penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Nek Iting dan Bulang ‘Engkong’. Buat semua kebaikan yang sudah saya terima, baik itu berupa tenaga, waktu, pemikiran, dan tempat tinggal selama di lapangan. Doa saya supaya ‘Engkong’ cepat sembuh, dan Nek Iting sehat-sehat selalu.


(4)

10.Terima kasih juga buat Keluarga Surbakti, buat Bibi, Bapak, Ka’Ina dan keluarga semuanya, buat dukungan yang memberi semangat hingga skripsi ini dapat selesai. Buat ‘mama dan mami tengah’ terima kasih untuk bantuannya.

11.Terima Kasihku untuk Bi’Tengah (Lina), Bi’Uda (Sabarita) untuk semangat yang memberi kekuatan untuk terus mau berusaha dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Rekan-rekan Sosiologi ’02, Juni, Ziza, Ade (terima kasih untuk persahabatan kita selama ini), Roy, Horhosana, Riko, B’Jordan (makasi buat semua perhatian dan kebaikan kalian selama ini), dan Mona, Witha, Intan, Eka, Dea, Citra, Deddy (maju

terus yah…), Bornok, Ana Aritonang, Masly, dan buat semua teman-teman yang lebih dulu telah menyelesaikan kuliahnya.

13.Special buat B’Henryco yang ‘ndut, makasi banyak buat cerewetnya, buat

marah-marahnya (kalo aku lagi malas), buat pinjaman komputernya, buat masukannya, waktu, tenaga, dan semua perhatian serta kebaikan yang buat aku tetap semangat berusaha menyelesaikan skripsi ini. Makasi buat “Benk, Ka’Herlin, d’Clovers, rekan pelayananku di Sola Gratia (Rumah Doa) makasi buat doanya, anak-anak ‘PSC, semua orang yang sempat tanyain skripsiku ‘hehe tandanya kalian semua masih

perhatian padaku.

14.Akhirnya, kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuannya. Tuhan memberkati.

Medan, Mei 2008


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, atas limpahan berkat dan karunia yang begitu besar untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala hormat dan

kemuliaan bagi-Nya penulis persembahkan karena hanya berkat bimbingan tangan-Nyalah maka penulis dapat merangkai kata demi kata sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dengan ketulusan hati, skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtua

tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang tanpa henti kepada penulis mulai dari kecil hingga saat ini. Terima kasih juga kepada adik-adikku Ika, Peni dan Nuel yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang berjudul: “Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dukungan dari semua pihak sangat berarti

dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik itu berupa moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati izinkanlah penulis

menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.


(6)

1. Bapak Prof.Dr.Arif Nasution,MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr.Badaruddin,M.Si, Selaku Ketua Departemen Sosiologi. 3. Ibu Dra.Rosmiani,MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi.

4. Ibu Harmona Daulay.S.Sos,M.Si sebagai dosen pembimbing, rasa hormat dan terima kasih yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata untuk beliau yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan ide-ide untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Henry Sitorus.M.Si, Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan motivasi bagi penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi. Teristimewa kepada dosen-dosen Sosiologi yang telah

memberikan bekal pengetahuan yang berharga kepada penulis.

6. Terima kasih juga buat Kak Peny, Kak Nurbety, Bang Fritz dan Kak Absah yang selama masa perkuliahan telah membantu penulis dalam kelancaran proses administrasi.

7. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

8. Bapak Lesteng Perangin-angin, selaku Kepala Desa Penen Kec.Biru-biru yang telah membantu penulis di lapangan.

9. Penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Nek Iting dan Bulang ‘Engkong’. Buat semua kebaikan yang sudah saya terima, baik itu berupa tenaga, waktu, pemikiran, dan tempat tinggal selama di lapangan. Doa saya supaya ‘Engkong’ cepat sembuh, dan Nek Iting sehat-sehat selalu.


(7)

10.Terima kasih juga buat Keluarga Surbakti, buat Bibi, Bapak, Ka’Ina dan keluarga semuanya, buat dukungan yang memberi semangat hingga skripsi ini dapat selesai. Buat ‘mama dan mami tengah’ terima kasih untuk bantuannya.

11.Terima Kasihku untuk Bi’Tengah (Lina), Bi’Uda (Sabarita) untuk semangat yang

memberi kekuatan untuk terus mau berusaha dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Rekan-rekan Sosiologi ’02, Juni, Ziza, Ade (terima kasih untuk persahabatan kita selama ini), Roy, Horhosana, Riko, B’Jordan (makasi buat semua perhatian dan kebaikan kalian selama ini), dan Mona, Witha, Intan, Eka, Dea, Citra, Deddy (maju

terus yah…), Bornok, Ana Aritonang, Masly, dan buat semua teman-teman yang lebih dulu telah menyelesaikan kuliahnya.

13.Special buat B’Henryco yang ‘ndut, makasi banyak buat cerewetnya, buat

marah-marahnya (kalo aku lagi malas), buat pinjaman komputernya, buat masukannya, waktu, tenaga, dan semua perhatian serta kebaikan yang buat aku tetap semangat berusaha menyelesaikan skripsi ini. Makasi buat “Benk, Ka’Herlin, d’Clovers, rekan pelayananku di Sola Gratia (Rumah Doa) makasi buat doanya, anak-anak ‘PSC, semua orang yang sempat tanyain skripsiku ‘hehe tandanya kalian semua masih

perhatian padaku.

14.Akhirnya, kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuannya. Tuhan memberkati.

Medan, Mei 2008


(8)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI………..……… iv

DAFTAR TABEL DAN MATRIKS……...………..….v

ABSTRAKSI………viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..……..……1

1.2. Perumusan Masalah………..……….…9

1.3. Tujuan Penelitian……….…….…10

1.4. Manfaat Penelitian……….……...10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender……….……12

2.2. Analisis Gender………15

2.3. Akses Terhadap Kekayaan………..……….…17

2.4. Kerangka Konsep………..…19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Peneliti.………21


(9)

3.3. Unit Analisa Data………22

3.4. Teknik Pengumpulan Data………..…………23

3.5. Teknik Analisa Data………..………..…………24

3.6. Jadwal Penelitian……….………..…………..25

3.7. Keterbatasan Penelitian………..………..………...…26

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian……….………..…27

4.1.1. Sejarah Desa Penen………..………..…27

4.1.2. Keadaan Fisik……….…….…28

4.1.3. Keadaan Non Fisik……….……….…29

4.1.3.1. Jumlah Penduduk……….……29

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin…….29

4.1.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Umur..………29

4.1.3.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama………30

4.1.3.5. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian………..…...…32

4.2. Interpretasi Data Penelitian………...…34

4.2.1. Profil Informan……….………..…34

4.2.1.1. Informan Kunci………..………...34

4.2.1.2. Informan Biasa………47

4.2.2. Persepsi Dan Pengalaman Informan Terhadap Hak Waris Janda………....49


(10)

4.2.2.2. Informan biasa……….………...…64

4.2.3. Pemahaman Informan Terhadap Issue Gender……….…….…...68

4.2.4. Kondisi Ketidakadilan Gender Yang Dialami Informan………...…76

4.2.4.1. Gender Dan Marginalisasi Perempuan………..…..…...76

4.2.4.2. Gender Dan Subordinasi……….80

4.2.4.3. Gender Dan Stereotype………...85

4.2.4.4. Gender Dan Kekerasan……….…..87

4.2.4.5. Gender Dan Beban Kerja………89

4.2.5. Patriarki Dalam Kebudayaan Masyarakat Karo………94

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan………..100

5.2. Saran……….…103

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR MATRIKS

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian………..……..25

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur……….30

Tabel 3. Komposisi Penduduk Desa Penen Menurut Agama………...31

Tabel 4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian……….32

Matriks 5. Pengalaman Informan Terhadap Hak Waris Janda………63

Matriks 6. Persepsi Informan Terhadap Harta Warisan………..66

Matriks 7. Pengalaman Informan Terhadap Marginalisasi……….76

Matriks 8. Pengalaman Informan Terhadap Subordinasi………82

Matriks 9. Pengalaman Informan Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga…87 Matriks 10. Pengalaman Informan Terhadap Burden atau Beban Kerja………….90


(12)

Abstrak

Dalam hal kebudayaan, masyarakat Karo masih memegang teguh adat istiadatnya meskipun mereka bertempat tinggal di perantauan. Mereka tetap menunjukkan eksistensi mereka sebagai orang Karo, salah satunya yaitu dengan menempatkan merga sesudah nama diri. Hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga, namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat itu sendiri.

Masyarakat karo menganut sistem patrilinial. Yaitu dengan menempatkan keturunan mengikuti garis keturunan dari laki-laki. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan antara derajat perempuan dan laki-laki dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dan lebih berharga daripada perempuan. Akhirnya wanita di dominasi oleh laki-laki.

Mengenai warisan, kebudayaan masyarakat Karo menempatkan laki-laki sebagai pewaris utama, sedangkan anak perempuan tidak dianggap berhak untuk mendapatkan warisan. Janda wanita Karo sendiri, tidak dianggap sebagai ahli waris, tetapi mendapat hak untuk menikmati warisan dari suaminya.

Yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah :

Bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen Biru-biru. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak ketimpangan yang dialami informan jika kita meninjau dari kaca mata gender, informan seluruhnya mengalami subordinasi, sebagian kecil mengalami marginalisasi secara ekonomi dari segi pembagian harta warisan, tetapi sebagian besar mengalami marginalisasi dari segi pendidikan. Sebagian kecil mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dengan anggapan informan bahwa pertengkaran dan berujung kekerasan fisik maupun non fisik adalah hal biasa dalam bahtera rumah tangga. Sebagian besar informan mengalami burden, tetapi tidak satupun informan mendapatkan stereotype yang negatif dari lingkungan sosialnya. Hasil tersebut tidak lain merupakan buah dari sistem patriarki, sehingga menempatkan perempuan berada di posisi yang dirugikan.

Kurangnya kesadaran informan terhadap bias gender disebabkan karena sebagian besar informan bahkan tidak pernah mendengar kata gender, sehingga mereka tidak menyadari kerugian yang telah mereka alami. Mereka hanya menjalankan kewajibannya sebagai anak, ibu dan sebagai janda yang akan memberikan hak kepada anak laki-lakinya untuk memutuskan perkara harta warisan dalam rapat keluarga. Tentu saja semua ini dilakukannya tidak lain dari hasil sosialisasi yang ia dapatkan dari lingkungan sekitarnya dan dari aturan adat yang mendukungnya.


(13)

Abstrak

Dalam hal kebudayaan, masyarakat Karo masih memegang teguh adat istiadatnya meskipun mereka bertempat tinggal di perantauan. Mereka tetap menunjukkan eksistensi mereka sebagai orang Karo, salah satunya yaitu dengan menempatkan merga sesudah nama diri. Hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga, namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat itu sendiri.

Masyarakat karo menganut sistem patrilinial. Yaitu dengan menempatkan keturunan mengikuti garis keturunan dari laki-laki. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan antara derajat perempuan dan laki-laki dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dan lebih berharga daripada perempuan. Akhirnya wanita di dominasi oleh laki-laki.

Mengenai warisan, kebudayaan masyarakat Karo menempatkan laki-laki sebagai pewaris utama, sedangkan anak perempuan tidak dianggap berhak untuk mendapatkan warisan. Janda wanita Karo sendiri, tidak dianggap sebagai ahli waris, tetapi mendapat hak untuk menikmati warisan dari suaminya.

Yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah :

Bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen Biru-biru. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak ketimpangan yang dialami informan jika kita meninjau dari kaca mata gender, informan seluruhnya mengalami subordinasi, sebagian kecil mengalami marginalisasi secara ekonomi dari segi pembagian harta warisan, tetapi sebagian besar mengalami marginalisasi dari segi pendidikan. Sebagian kecil mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dengan anggapan informan bahwa pertengkaran dan berujung kekerasan fisik maupun non fisik adalah hal biasa dalam bahtera rumah tangga. Sebagian besar informan mengalami burden, tetapi tidak satupun informan mendapatkan stereotype yang negatif dari lingkungan sosialnya. Hasil tersebut tidak lain merupakan buah dari sistem patriarki, sehingga menempatkan perempuan berada di posisi yang dirugikan.

Kurangnya kesadaran informan terhadap bias gender disebabkan karena sebagian besar informan bahkan tidak pernah mendengar kata gender, sehingga mereka tidak menyadari kerugian yang telah mereka alami. Mereka hanya menjalankan kewajibannya sebagai anak, ibu dan sebagai janda yang akan memberikan hak kepada anak laki-lakinya untuk memutuskan perkara harta warisan dalam rapat keluarga. Tentu saja semua ini dilakukannya tidak lain dari hasil sosialisasi yang ia dapatkan dari lingkungan sekitarnya dan dari aturan adat yang mendukungnya.


(14)

BAB I Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Karo merupakan salah satu bagian dari suku bangsa yang besar, yaitu Batak. Selain Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Nias, Batak Dairi, dan Batak Angkola. (www.tanahkaro.com). Masyarakat Karo, selain sebagian besar

tinggal di daerah pegunungan , tidak sedikit juga yang tinggal di daerah perantauan.

Seperti halnya suku-suku lain, masyarakat Karo mempunyai sistem kemasyarakatan, hal ini terjadi karena masyarakat ingin mempertahankan sistem kehidupan keluarga untuk kelangsungan hidup dalam mempertahankan nilai-nilai yang

dimiliki, terutama yang berkaitan dengan jati diri. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh E.Wvana-Pritchard dalam (Limbeng 1995 : 3).

“…Dalam tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang paling sederhana sekali, kita akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengetahuan mengenai alam semesta, tehnik, dan tradisi…”

Pada masyarakat Karo, sistem kemasyarakatan dikenal dengan nama merga si lima, tutur si waluh, rakut si telu. Merga (Merga)1 tersebut dipakai untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru, yang disandang di belakang nama diri seseorang.

Merga si lima, dalam masyarakat Karo ada lima Klen besar (Merga) yaitu :

- Ginting

1 Istilah Merga (Merga) dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kelompok kekerabatan dalam


(15)

- Karo-Karo - Tarigan

- Perangin-angin

- Sembiring

Kelima merga ini mempunyai sub merga masingg-masingg. Setiap orang Karo mempunyai merga dari salah satu merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah, tetapi ada juga merga yang didapat berdasarkan pemberian2.

Hubungan kekerabatan tetap menjadi unsur terpenting dalam aspek kehidupan masyarakat Karo. Kekerabatan dalam masyarakat Karo disebut perkade-kaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas, jika diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan

yang menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari silsilahnya maka akan didapat hubungan kekerabatan. Dalam arti inilah pentingnya merga tersebut.

Pada dasarnya hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga,

namun dua hal penting yang mempengaruhi hubungan kekeluargaan itu, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah, karena hubungan darah itulah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat itu sendiri.

Rakut si telu berarti ikatan nan tiga adalah kelengkapan hidup bagi masyarakat

Karo. Kelengkapan maksudnya merupakan lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo, yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu kalimbubu, anak beru, dan


(16)

senina.3 Institusi rakut si telu memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat Karo, termasuk dalam pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan bagi masyarakat Karo selalu didasarkan musyawarah diantara pihak-pihak anggota keluarga

yang ada pertalian darah dengan pewaris. Dalam adat Karo tidak ada aturan tertulis dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, sehingga kadang-kadang menimbulkan perselisihan diantara para keluarga yang bertalian darah dengan pembagi warisan.

Tutur si waluh, yaitu sistem kekerabatan yang terdapat di dalam kegiatan adat,

yang dapat dikembangkan menjadi delapan sub kekerabatan, yaitu : - Puang Kalimbubu

- Kalimbubu

- Senina - Sembuyak

- Senina Sipemeren

- Senina Sepengalon/Sendalanen - Anak Beru

- Anak Beru menteri

Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal, garis keturunan menurut ayah. Garis keturunan Patrilineal adalah “…yang menghitung hubungan kekerabatan

melalui orang laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan

3Limbeng (1995) memberi pengertian Kalimbubu adalah kelompok pemberi anak dara kepada keluarga

tertentu. Senina yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan sub merga yang sama. Dalam hal ini harus sesama laki-laki atau perempuan. Anak beru adalah pihak yang mengambil dara (wanita) dari


(17)

kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu” (Koentjaraningrat, 1967: 124). Garis keturunan laki-laki dan menjadi musnah atau hilang kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkannya. Sistem kekerabatan patrilineal adalah

tulang punggung masyarakat Karo, yang terdiri dari keturunan, merga kelompok, suku yang semuanya dihubungkan menurut garis laki-laki.

Salah satu sisi yang menempatkan kedudukan perempuan lebih lemah dari laki-laki telah melahirkan sistem kekeluargaan ‘patrilineal geneologis’. Kemampuan untuk melanjutkan keturunan hanya terbatas pada lelaki. Peran perempuan hanya sekedar

menjadi ibu yang berfungsi menjadi wadah benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak untuk dilahirkan. Dalam analisis gender, hal ini disebut peran gender (gender role). Anak yang dilahirkannya bukan miliknya, tetapi menjadi anak suaminya serta merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari ikatan kekerabatan suami secara ‘geneologis’.

Hal di atas sejalan dengan pendapat IC Vergowen (dalam Harahap 1997 : 114) yang menyatakan :

“…Hak waris adalah hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki (male line). Alasan filosofisnya, karena lelaki pelaksana wajar dari kesinambungan keturunan lelaki jalur Bapak. Kehidupan dunia para leluhur yang sudah mati, dilanjutkan oleh anak lelaki mereka. Keturunan lelaki melakukan pemujaan dan mengurus arwah mereka dalam kerajaan semangat, dan pasang surut kemakmuran dan kemiskinan yang menimpa ditentukan oleh pemujaan dan penghormatan turunan laki-laki terhadap leluhur laki-laki…”

Konsekuensi atas patrilineal ini telah melahirkan sistem kewarisan yang ditegakkan

dengan prinsip :

1. Anak lelaki jauh lebih utama dari anak perempuan.


(18)

3. Harta warisan tidak dibolehkan berpindah kepada keluarga lain atas perkawinan.

Sebagaimana masyarakat yang menganut garis keturunan patrilineal, masyarakat

Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris dari orangtuanya. Sementara perempuan tidak mempunyai hak menuntut bagian dari warisan itu.

Seorang wanita Karo yang ditinggal mati oleh suaminya disebut Mbalu4. Kematian seorang suami dapat memunculkan kuasa atas isteri berpindah ke kerabat mendiang

suaminya, yang dapat bertindak bebas, jika tidak ada keturunan laki-laki. Karena si wanita ini dianggap tidak berhak untuk mendapatkan warisan suaminya secara hukum adat. Namun, jika ada anak laki-laki, anak paling sulung dapat bertindak atas nama keluarga dan apabila si-anak telah cukup umur, maka keluarga mereka dapat sepenuhnya

menguasai harta warisan. Seorang janda bisa tetap tinggal di bawah kuasa dan di dalam lingkungan kerabat mendiang suami (waris) karena si wanita tersebut masih menjadi hak keluarga dari suaminya atau dia boleh kembali ke pihak kalimbubu (pemberi dara). Dia dapat kawin dengan seorang saudara mendiang suaminya atas dasar adat yaitu dengan

sebutan “ganti tikar” (gancih abu). Namun, bisa juga kerabatnya sendiri mengawinkannya dengan anggota keluarga jauh, anggota dari merga yang sama dengan mendiang suaminya atau orang dengan merga yang lain. Semua kemungkinan ini mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda dalam hal perkawinan dan dalam hal yang

lain. Dia juga menginginkan tetap tinggal di dalam kelompok kerabat mendiang suaminya bersama anak-anaknya sebagai janda yang tidak kawin lagi. Dalam hal ini jangkauan kekuasaan seorang janda atas hartanya harus ditentukan. Akan tetapi, pada


(19)

dasarnya ia bukan waris dari suaminya, namun ia tetap berhak menikmati harta kekayaan yang ditinggalkan suaminya.

Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Karo, perempuan

yang selama ini tidak mendapat harta warisan, mencoba merubah dominasi laki-laki terhadap harta warisan. Hal ini ditandai dengan dengan dikeluarkannya keputusan Makamah Agung, yang mengubah ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak dan janda. Misalnya, keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23 oktober 1961, yang menyatakan bahwa :

“…berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

…berhubungan dengan itu maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya” (Soekanto, 1983: 263).

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 juni 1968, yang menyatakan bahwa (Soekanto, 1983: 263-264) :

“…karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurispodensi yang dianut oleh Mahkamah Agung,…” (Soekanto, 1983: 263)

Demikian juga, menurut Rehgena Purba dalam (Soekanto, 1983: 264): Keputusan Mahkamah Agung No. 179 K/Sip/1961 dibuat untuk kasus yang terjadi pada masyarakat yang terjadi di Tanah Karo, menulis di dalam makalahnya:

“ didalam praktik (kenyataan), hukum adat waris lama masih dipertahankan, yaitu masih dipakainya ketentuan bahwa hanya anak laki-laki saja yang memperoleh harta warisan dari orang tuanya. Tetapi dari sudut lain, kita lihat bahwa Masyarakat Karo sendiri sudah cenderung untuk menggunakan


(20)

haknya ataupun dalam pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada banyaknya perkara yang masuk ke pengadilan mengenai masalah warisan….”

Suatu fakta bahwa orang yang mengenal karakter normatif dari hukum, yang meyakini hukum sebagai suatu sistem yang mengikat, tidak pernah berusaha untuk membuat suatu solusi yang dapat memecah problema yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realita. Problema yang akan terjadi kemudian adanya dua hukum yang

dipakai dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, yaitu pembagian menurut hukum adat dan ketentuan dari Mahkamah Agung No. 179 K/Sip/1961. Memang tidak seluruhnya masyarakat Karo memakai ketentuan dari Mahkamah Agung sebagai hukum dalam pembagian harta warisan. Banyak wanita Karo yang membawa kasus pembagian

harta warisan ke pengadilan, karena menganggap “tidak adil” kalau anak laki-laki saja yang memperoleh harta warisan, karena mereka (anak perempuan) juga anak dari orang tua mereka. Pembagian harta warisan sendiri di masyarakat Karo tidak seluruhnya mempunyai aturan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh letak wilayah tempat tinggal

masyarakat tersebut dan aturan yang berlaku di wilayah tersebut.

Di dalam wilayah suku bangsa Karo, terdapat beberapa bagian daerah, yaitu: 1. Daerah Karo Gugung, yaitu tanah tinggi Karo, meliputi wilayah kabupaten

Karo sekarang ini. Daerah Karo gugung terbagi lagi dengan beberapa

daerah, yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-gunung (Singalor lau) dan Taneh Urung Melas.

2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan daerah bekas Kecamatan Cingkes tahun 1946.


(21)

4. Daerah Karo Jahe atau Deli Hulu.

5. Daerah Karo Bingge, Karo Salapian, Karo Buah Orok, sekarang semuanya disebut Karo Langkat.

Dari lima bagian daerah Karo ini, sedikit banyaknya ada terdapat perbedaan, yaitu dari segi adat-istiadat, bahasa, dan norma kebiasaan masyarakatnya. Desa Penen, sesuai dengan wilayahnya disebut Karo Jahe. Selama ini masyarakat Karo baik yang tinggal di Kabupaten Karo atau yang tinggal di perantauan masih menghormati eksistensi hukum adat dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Demikian halnya dengan masyarakat

Karo yang bertempat tinggal di Desa Penen. Adat istiadat masih dipegang teguh sebagai jiwa suatu masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan. Jiwa gotong-royong5 yang masih tetap dijaga semakin mempererat persaudaraan antar sesamanya. Seiring

dengan berjalannya waktu, banyak perubahan yang terjadi di Desa Penen ini dalam hal pembagian warisan terhadap perempuan dan warisan terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya. Dimana perempuan sudah dianggap berhak untuk mendapatkan warisan.

Di dalam beberapa kasus dalam penelitian ini, kita dapat menemukan beberapa janda yang sudah mendapatkan bagian dalam hal pembagian warisan. Perubahan inilah yang ingin diteliti oleh peneliti dan ingin dicari tahu, pengaruh apakah yang mempengaruhi perubahan tentang warisan tersebut, apakah dipengaruhi oleh hukum

yang berlaku, pendidikan, isu gender dan pengaruh agama, sehingga merubah persepsi masyarakat Karo di Desa Penen.


(22)

bergotong-1.2. Perumusan Masalah

Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan

dengan apa. (Arikanto, 2002: 22).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah persepsi dan pengalaman wanita Karo yang ditinggal mati

suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen Biru-biru?

2. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian

warisan di Desa Penen Biru-biru?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

- Untuk mengetahui bagaimana persepsi dan pengalaman wanita Karo yang

ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan, adat istiadat Karo di Desa Penen Biru-biru.

- Untuk mengetahui bagaimana persepsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan

masyarakat formal terhadap wanita Karo yang ditinggal mati suaminya dalam pembagian warisan di Desa Penen Biru-biru.


(23)

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

- Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam

melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu sosiologi, dan

- Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut sistem patriarki dan instansi terkait yang menangani masalah warisan.

2. Manfaat Praktis

- Untuk memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi

untuk kajian atau penelitian selanjutnya, dan

- Memberikan masukan kepustakaan serta memberi masukan kepada instansi terkait dalam membuat kebijakan-kebijakan proses pembagian harta warisan.


(24)

BAB II Kajian Pustaka

2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender

Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun temurun menurut hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

diwariskan kepada anak laki-laki.

Ada kesan kedudukan wanita atau perempuan tergolong rendah yang diambil dari beberapa pengertian yang bertolak dari anggapan adanya mas kawin (tukur), seakan perempuan dijual. Adanya lakoman dan gancih abu1 yang menandakan bahwa

perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal dan perempuan tidak mendapat warisan. Sebenarnya pendapat demikian sangat dangkal dan tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang kultur budaya masyarakat Karo. Emas kawin pengertiannya bukanlah menandakan wanita itu dijual tetapi merupakan

perubahan status dari seorang gadis serta dianggap golongan kedalam kelompok merga lain. Lakoman dalam masyarakat Karo bukanlah merupakan suatu paksaan setelah suaminya meninggal dimana ia tidak otomatis bercerai dengannya. Adat memberikan suatu kesempatan ia kawin dengan saudara suaminya jika ia setuju dan dapat menolak

bila ia tidak setuju.

1Lakoman berarti saudara kandung laki-laki dari mendiang suami ditunjuk secara adat untuk mengambil

alih tanggungjawab mendiang terhadap istri dan anak-anaknya baik secara jasmani dan rohani. Gancih abu berarti seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya, kemudian menikah lagi dengan


(25)

Mengenai sistem kekeluargaan masyarakat Karo, Djaja S.meliala (1997 : 30) mengatakan :

“…Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, membawa akibat bahwa:

1. Simempelai wanita setelah menikah dan setelah dibayar uang jujur mengikuti suaminya.

2. Anak-anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klen ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan.

3. Harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah milik suami.”

Dengan sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut masyarakat Karo, di mana anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dari orangtuanya, maka hanya laki-laki saja yang berhak mewarisi harta kekayaan orangtuanya. Atas alasan itu pula maka wanita dalam adat masyarakat Karo sejak dahulu bukan merupakan ahli waris.

Adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, antara laki-laki dan perempuan yang menguntungkan kaum laki-laki ini oleh sejumlah ahli dikaitjkan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan (male domination). Suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan oleh Mancions (1992:261)

dinamakan patriarki (patriarchy). Sedangkan menurut bentuk sebaliknya, dalam mana perempuan mendominasi laki-laki dinamakan matriarki (matriarchy).

Unit analisis mengenai wanita di dalam masyarakat, hal ini merupakan suatu perkembangan yang penting, karena status atau posisi seseorang pada suatu tatanan

sosial berhubungan dengan kekuasaan. Dalam hal ini wanita sering sekali dirugikan, seperti halnya wanita di masyarakat Karo selalu mendapat posisi lebih rendah terutama dalam hal pembagian harta warisan, seperti hal yang telah diuraikan di atas. Di masyarakat Karo, anak perempuan seakan tersisih karena jenis kelamin. Terutama dalam


(26)

hal pewarisan. Untuk menganalisa kedudukan wanita di masyarakat Karo dari perspektif gender kita akan menemukan sub-ordinasi mengacu pada “posisi bawah” dalam hubungan antara pria dan wanita. Diskriminasi juga yang dialami wanita Karo, sebagai

akibat dari sistem kekeluargaan patrilineal yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, dan mengabaikan hak anak perempuan.

Perubahan sosial pada masyarakat Karo telah mampu merubah sebagian pemikiran perempuan untuk berani memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan merdeka dari ketertindasan kaum laki-laki. Keterikatan terhadap nilai-nilai adat budaya

dalam pembagian harta warisan lambat laun mulai pudar karena perempuan menganggap hal ini tidak adil. Hal ini ditandai dengan dengan dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23 oktober 1961, yang menyatakan bahwa

“…berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

Berhubungan dengan itu maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan

dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya” (Soekanto, 1983: 263).

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 juni 1968, yang menyatakan bahwa (Soekanto, 1983: 263-264) :

“…karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurispodensi yang dianut oleh Mahkamah Agung,…” (Soekanto, 1983: 263)


(27)

Analisis gender muncul sebagai akibat dari kesadaran bahwa peningkatan peran wanita dalam pembangunan telah gagal membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satu yang dianggap menjadi persoalan terletak bukan pada kaum

perempuannya, melainkan pada ideologi yang dianut oleh baik laki-laki maupun perempuan yang sangat berpengaruh dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, yakni bias gender dalam pembangunan.

Analisis gender sebagai analisis sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan

tersembunyi diberbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan.

Gender (bahasa Inggris) adalah suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan

bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berperilaku. Oakley dalam (Mansour Fakih, 2002:171) dalam bukunya yang berjudul sex, gender dan society memberi makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang sosial constructed, yakni yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum

laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Menurut Caplan dalam (Mansour Fakih, 2002:171) yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul The cultural construction of sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain secara biologis, sebagian justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender, melahirkan peran gender (gender role), yang sesungguhnya tidak menimbulkan masalah.


(28)

Secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui, dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak pelu digugat.

Peran gender melahirkan masalah yang perlu digugat, yakni “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh “peran gender” dan “perbedaan gender” tersebut.

Berbagai manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah sebagai berikut :

1. Marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan yang

disebabkan oleh perbedaan gender.

2. Subordinasi pada salah satu jenis sex, yang umumnya pada kaum perempuan. selama berabad-abad atas alasan agama, kaum

perempuan tidak boleh memimpin apapun, termasuk masalah keduniawian, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak mendapat warisan.

3. Stereotype (pelabelan negative) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama perempuan, dan akibat dari stereotype itu, terjadi

diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.

4. Violence (kekerasan) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan. kekerasan di sini dimulai dari kekerasan fisik seperti

pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus, seperti pelecehan seksual (sexual harassment) dan penciptaan ketergantungan.


(29)

5. Burden (beban kerja). Karena peran gender adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Beban kerja tersebut menjadi dua

kali lipat terlebih bagi kaum perempuan, yang juga bekerja di luar rumah. Mereka selain bekerja di luar, juga masih harus bertangung jawab untuk kepentingan seluruh pekerjaan domestik.

Analisa gender membantu memahami pokok persoalan, sistem dan struktur yang tidak adil. Baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami

dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender.

Kesemua ketidakadilan gender tersebut, saling terkait dan saling mempengaruhi, dan tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan secara baik. Dimana lambat-laun ketidakadilan itu dianggap sebagai “kodrat” yang diterima dan tidak dirasakan ada yang salah. Perempuan adalah mayoritas yang dirugikan sehingga seolah-olah gender hanya menjadi alat memperjuangkan perempuan.

2.3 Akses Terhadap Kekayaan

Di sebagian besar di kawasan Selatan, kekayaan (properti) biasanya dalam bentuk

tanah, adalah kunci kelangsungan hidup, dan akses maupun kontrol terhadapnya sangat berkaitan dengan pola kekeluargaan dan perkawinan. Demikian pula, hak tanah dan kekayaan maupun perluasan kontrol keluarga atas anggotanya. Karena itulah mengejutkan bila perempuan di seluruh dunia, tidak memiliki akses yang setara dengan


(30)

akses yang dimiliki oleh laki-laki terhadap tanah, dan sangat sedikit sekali perempuan yang memiliki kontrol penuh terhadap tanahnya yang berhasil diperoleh dengan usahanya sendiri. Pada saat yang sama, ada perbedaan pola yang besar dalam praktik

pewarisan, yang diatur oleh kesukuan, agama, kebiasaan, maupun undang-undang setempat.

Di banyak masyarakat, kekayaan diwariskan melalui garis patrilineal, tetapi tidak disebagian kecil masyarakat dimana pewarisan mengikuti garis matrilineal (seperti masyarakat Asanthe Ghana, dan masyarakat Rembau di Malaysia) kontrol atas kekayaan

dan tanah cenderung tetap berada di tangan laki-laki, perbedaanya adalah bahwa dalam sistem matrilineal laki adalah paman dari garis ibu, saudara laki dan anak laki-laki dari perempuan.(Mansour Fakih 2002: 72-74).

Di Negara Islam dan banyak Negara di Afrika sub-Sahara, di Peru, Bolivia dan Paraguay. Perempuan tidak memiliki hak waris yang sama dengan laki-laki. Menurut hukum Islam, waris yang diterima seorang anak perempuan dibatasi setengah dari yang diterima oleh anak laki-laki (karena anak perempuan diharapkan menikah dan kebutuhannya dipenuhi oleh suaminya, berarti membiarkan mereka tetap bergantung

kepada anak laki-laki). Di Afrika sub-Sahara, hukum adat melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Hak tanah sering berpindah kepada laki-laki atas asumsi bahwa kepala keluarga senantiasa laki-laki. .(Mansour Fakih 2002:82).

Secara tradisional, gagasan yang dianut tentang perilaku gender yang tepat bias sangat memperngaruhi kehidupan perempuan yang makin menguatkan pola-pola gender dalam masyarakat. Pemahaman tentang perbedaan gender dalam kepemilikan dan kontrol terhadap kekayaan, pembagian kerja secara seksual, dan nilai kerja ekonomi


(31)

perempuan perlu diseimbangkan dengan pandangan lainnya, karena hidup perempuan juga ditentukan oleh pandangan tentang melahirkan anak, maupun peristiwa lainnya,--pubertas, kejandaan, yang dirasakan dan diatur oleh masyarakat. (Mansour Fakih

2002:82).

2.4. Kerangka Konsep

Konsep dalam penelitian sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan

atau kesalahpahaman. Sehubungan dengan itu, maka batasan-batasan konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

- Persepsi

Menurut kamus bahasa Indonesia yang disebut dengan persepsi adalah

tanggapan sosial. Jadi pengertian persepsi adalah bagaimana tanggapan masyarakat Karo mengenai warisan terhadap wanita yang ditinggal mati suaminya bersuku Karo.

- Warisan

Menurut Hazairin warisan berasal dari kata “waris” yang berasal dari bahasa Arab “wraith” yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “waris” (Soekanto, 1983). Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggal oleh orang tuanya, yang kemudian diteruskan kepada

anak-anaknya (keturunannya), baik peninggalan yang berupa materiil maupun immateriil. Dalam masyarakat Karo ada warisan harta gono-gini (warisan yang dapat dibagi kepada anak perempuan dan anak laki-laki, merupakan hasil dari kerja keras suami maupun istri), dan harta warisan


(32)

turun-temurun yaitu warisan yang diperoleh dari orang tua laki-laki dan hanya boleh diwariskan kepada anak laki-laki. Apabila dalam sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, warisan turun-temurun diserahkan kepada

keluarga lain yang punya anak laki-laki. - Suku Karo

Suku Karo adalah Suku Bangsa yang berasal dari dataran tinggi Tanah Karo. Suku Karo adalah satu Suku Bangsa Batak yang mendiami dataran

tinggi Tanah Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) ke seluruh pelosok Tanah Air.

- Janda

Adalah seorang wanita yang setelah menikah, berpisah dengan suaminya

karena kematian, atau seorang isteri yang suaminya telah meninggal dunia, tetapi dalam kultur orang Karo, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak disebut janda, Karena ia masih milik kerabat suaminya, sampai ia mengatakan secara lisan untuk meninggalkan kerabat suaminya


(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian menyangkut cara pola tehnik yang digunakan dalam mengadakan penelitian, sehingga sampai pada tujuan dan sasaran penelitian yang dilakukan. Metode penelitian yang dipakai adalah model analisa deskriptif. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memahami permasalahan atau yang diteliti sehingga

diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan fenomena yang diteliti dan diharapkan diperoleh data sesuai dengan yang diperlukan.

3.1. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Desa Penen, Kecamatan Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Yang menjadi alasan pemilihan lokasi ini adalah :

- Peneliti melihat bahwa di daerah ini ada hal-hal yang tidak biasa dialami

oleh masyarakat banyak tentang hak waris wanita yang ditinggal mati suaminya.

- Peneliti merasa dapat memasuki Suku Karo yang menetap di daerah tersebut karena satu etnis dengan informan sehingga diharapkan peneliti

dapat memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian.


(34)

Untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam sebuah metode penelitian maka diperlukan suatu metode penelitian yang dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

kasus. Esensi studi kasus, adalah mencoba menjelaskan tentang masyarakat Karo khususnya pembagian warisan terhadap wanita yang ditinggal mati suaminya. Dengan itu studi kasus adalah menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan, bermasyarakat dengan melihat fenomena dan konteks kultur yang ada dengan ditopang oleh beberapa sumber yang bermanfaat terhadap penelitian ini.

Hasil pengamatan dituangkan dalam sebuah catatan lapangan yang nantinya merupakan sumber data. Studi kasus adalah tipe penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetail, dan konphrehensif (Faisal, 1995;

22).

3.3. Unit Analisa Data

Adapun yang menjadi unit analisa data dalam penelitian ini adalah masyarakat Karo di Desa Penen. Informan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni informan

kunci dan informan biasa. Dimana yang menjadi informan kunci adalah : Wanita Karo yang ditinggal mati suami (janda).

Sedangkan yang menjadi informan biasa terdiri dari

1. Pemuka (pengetua) adat Karo. 2. Kepala Desa Penen Biru-biru

3. Masyarakat Karo yang sudah berkeluarga yang tinggal di Desa Penen selama minimal 10 tahun.


(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data pertama yang diperoleh di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara :

- Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi, dalam arti bahwa pangamatan tidak menggunakan “media-media transparan” (Burngin, Burhan 2001 : 143). Yang dimaksud dalam hal ini

bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati apa yang terjadi pada objek penelitian.

- Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan

menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada

informan yang telah ditentukan. Wawancara mendalam, yaitu peneliti melakukan komunikasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kepada informan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data kedua atau sumber-sumber dari data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dan


(36)

untuk tahap yang mendukung data penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan, peneliti mendapat suatu landasan teori yang kuat untuk mendukung panulisan ini dari berbagai literature seperti

buku-buku serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dianalisa selanjutnya (Maleong, 1993: 103). Analisa data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara

ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah kemudian tahap selanjutnya adalah mereduksi data yaitu melalui pembuatan abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti. Langkah selanjutnya adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilanjutkan dengan pengolahan atau analisa dan penulisan laporan hasil penelitian.

3.6 Jadwal Penelitian

Tabel 1.


(37)

Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Pra Penelitian:

- Penyusunan Proposal

- Perbaikan Proposal X

Persiapan:

- Pengurusan Izin X

- Persiapan Instrumen Penelitian X

Penelitian:

- Observasi X X X X X X

- Wawancara X X X X X

Pasca Penelitian:

- Analisis Data X X X

- Penyusunan Laporan X X X

3.7. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dalam penelitian disebabkan oleh terbatasnya kemampuan


(38)

ilmiah. Yang menjadi keterbatasan peneliti semasa melaksanakan penelitian, yaitu salah satunya masalah bahasa. Karena informan adalah mayoritas sudah lanjut usia, jadi mereka tidak begitu mengerti bahasa Indonesia. Sehingga peneliti harus

berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Daerah, yaitu bahasa Karo. Untuk mempermudah, peneliti juga membawa seorang ibu yang memang tinggal di Desa Penen untuk lebih mudah bersosialisasi. Keterbatasan peneliti juga dialami ketika mengajukan pertanyaan kepada informan, sering ditemukan mereka sulit memberikan jawaban, sehingga peneliti harus memberikan contoh jawaban yang

sudah dijawab informan lain, kemudian mereka berfikir untuk memilih jawaban yang sama.

Sewaktu bertamu ke rumah informan, hal yang pertama kali dibicarakan

adalah ertutur (mencaritahu silsilah keluarga yang dapat ditelusuri dari marga seseorang, kampung halaman dan kerabat yang ada sehingga diketahui bagaimana sistem kekerabatannya). Beruntung peneliti membawa seorang teman yang dahulu keluarga besar orangtuanya tinggal di Desa Penen ini, meskipun sekarang mereka sudah menetap di Medan. Sehingga ketika bertamu, dapat terjalin komunikasi

yang lebih baik.

Keterbatasan peneliti yang lain adalah masalah waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan. Dikarenakan informan berprofesi

sebagai petani, dan kebanyakan petani cokelat, informan tidak bisa dijumpai sesuka hati. Informan dapat diwawancarai pada pagi dan siang hari karena pada pagi hari mereka mengurus rumah tangga, kemudian pergi ke ladang untuk mengupas dan mengambil biji cokelat. Siang harinya mereka kembali ke rumah


(39)

untuk menjemur cokelat dan ada sebagian yang menjual cokelat yang sudah kering.

Pada malam hari, sebagian masyarakat pada malam tertentu melakukan

kegiatan ibadah, dan hanya pada malam hari adalah waktu mereka untuk bersantai sejenak sebelum tidur. Ditambah lagi cuaca di Desa Penen ketika dilakukan penelitian adalah musim hujan. Pada malam hari sering hujan deras, sehingga PLN setempat mengadakan pemadaman listrik sehingga tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan wawancara ke rumah informan.

Namun meskipun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha semaksimal mungkin dalam mengumpulkan informasi dari informan, serta informasi yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.


(40)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

4.1.1 Sejarah Desa Penen

Sebelum Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia Desa Penen didirikan oleh beberapa rumah tangga yang dipimpin oleh seorang kepala kampung. Dulunya

penduduk desa ini mayoritas bermerga Barus.

Nama Penen sebenarnya berasal dari sebuah pohon kayu yang tumbuh rindang di loods Pekan Penen, kemudian oleh kepala kampung pada saat itu pohon kayu yang rindang tersebut dinamai Penen. Mulai dari proses itulah kemudian kampung tersebut

dinamakan Desa Penen.

Pada tahun 1945, oleh kepala kampung pohon tersebut ditebang untuk pembangunan Loods Pekan Penen yang akan dijadikan sebgai tempat proses berbagai transaksi bagi masyarakat Desa Penen, dan setelah ditebang maka hingga saat ini pohon kayu tersebut sudah tidak ada lagi di daerah tersebut dan dari situlah hingga

sekarang desa tersebut disebut Desa Penen.

Pada tahun 1990 Desa Penen mendapat penggabungan desa yitu Desa Kuta Tinggi dan desa yang digabung tersebut sekarang menjadi salah satu dari empat

dusun yang ada di Desa Penen. Adapun keempat dusun tersebut adalah Dusun Penen, Air Panans, Kuta tinggi dan Namonggang.


(41)

4.1.2 Keadaan Fisik Letak dan Luas

Desa Penen adalah salah satu Desa dari tujuh belas (17) desa yang berada di

Kecamatan Biru-biru. Desa ini terdiri dari empat Dusun yang terdiri dari Dusun Penen, Dusun Kuta Tinggi, Dusun Air Panas dan Dusun Namonggang. Daerah Desa Penen ini luasnya sekitar 400 Ha, dari total luas keseluruhan Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang.

Adapun jarak pemerintahan Desa Penen dengan :

a. Pusat pemerintahan Kecamatan berjarak sekitar 12 km. b. Ibu kota Kabupaten berjarak sekitar 63 km.

c. Ibu Kota profinsi berjarak 45 km.

Desa Penen secara Administratif memiliki batas-batas sebagai berikut ; - Sebelah utara berbatasan dengan Dusun Kuala Sabah Desa Kuala Dekah. - Sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Pamah dan Desa Penungkiren - Sebelah barat berbatasan dengan Desa Mardinding Hulu dan Dusun Laja.


(42)

4.1.3 Keadaan Non Fisik 4.1.3.1.Jumlah Penduduk

Di Desa Penen ini sebenarnya terdapat empat Dusun yakni, Dusun Penen, Dusun

Kuta Tinggi, Dusun Air Panas dan Dusun Namonggang. Namun seiring dengan perguliran waktu menyebabkan lambat laun penduduk yang dahulunya berada di empat dusun tadi kini terpusat hanya di dua dusun yaitu dusun Penen dan Air Panas. Menurut data dari buku Monografi Desa Penen Tahun 2005, maka jumlah penduduk

Desa Penen adalah sebanyak 902 jiwa, yang terdiri dari 250 rumah tangga.

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin.

Berdasarkan buku Monografi Desa Penen tahun 2005 dan juga informasi dari

sekretaris desa serta buku kecamatan Biru-biru dalam angka dari 902 jiwa jumlah penduduk Desa Penen terdiri dari 431 jiwa adalah laki-laki dan 471 jiwa adalah perempuan.

4.1.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Umur.

Untuk mengetahui tingkat perkembangan dan potensi suatu daerah dapat dilihat dari komposisi penduduknya menurut kelompok umur, karena memang berdasarkan komposisi penduduknya menurut kelompok umur kita dapat melihat

dengan jelas jumlah usia penduduk yang tergolong produktif dan non produktif. Usia 16-59 tahun adalah usia yang tergolong masuk ke dalam usia yang produktif, karena memang pada usia seperti inilah manusia memiliki kemampuan yang maksimal, rasa tanggung jawab yang lebih dan kekuatan fisik yang siap.


(43)

Sedangkan usia 0-15 tahun masih dalam kategori non produktif sama dengan usia 60 tahun ke atas. Adapun penggolongan penduduk menurut umur di Desa Penen dapat dilihat pada matriks berikut ini :

Tabel 2.

Komposisi penduduk menurut umur

no kelompok umur jumlah jiwa persentase (%)

1 0-4 tahun 60 6,66

2 5-6 tahun 85 9,42

3 7-15 tahun 217 28,94

4 16-21 tahun 333 34,48

5 22-45 tahun 138 12,86

6 46-59 tahun 42 4,65

7 > 60 tahun 27 2,99

jumlah 902 100

Sumber : Data Monografi Desa penen,2005.

4.1.3.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama.

Dilihat dari segi agama maka di Desa Penen terdapat penduduk yang memeluk jenis agama yang berbeda, namun dalam kesehariannya, perilaku umat beragama yang rukun dan saling menghormati sangat jelas kelihatan. Adapun jenis agama

yang dipeluk oleh penduduk Desa Penen dapat di lihat pada matriks berikut.

Tabel 03.


(44)

No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase %

1 Islam 35 3,88

2 Protestan 363 40,42

3 Katholik 504 55,88

Jumlah 902 100

Sumber : Data Monografi Desa Penen Tahun 2005

Dari matriks di atas menunjukkan bahwasanya penduduk Desa Penen mayoritas

adalah beragama Kristen yang terdiri dari Katholik sebanyak 55,88% dan protestan sebanyak 40,24% yang apabila kita nominalkan maka jumlah penduduk Desa Penen yang beragama Kristen sebanyak 96,02% atau 867 jiwa. Sangat mayoritas disbanding dengan penduduk yang beragama Islam yang hanya berjumlah 3,88% atau 35 jiwa.

Penduduk Desa Penen menjalankan aktivitas keagamaanya di rumah ibadat yang dibangun oleh pihak yayasan keagamaan dan masyarakat sendiri. Adapun sarana rumah peribadatan yang ada di Desa Penen yang dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat penyembahan kepada Yang Maha Kuasa hanyalah gereja sebanyak empat buah. Adapun

keempat tersebut adalah gereja GSRI, GKPI, Rohol Kudus, dan GBKP. Berbeda pula dengan penduduk Desa Penen yang beragama Islam tidak memiliki sarana peribadatannya sehingga penduduk melangsungkan prosesi keagamaannya di rumah masing-masing

4.1.3.5. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian adalah jenis pekerjaan yang sedang atau pernah dilakukan seseorang yang mencirikan pekerjaan yang dilaksanakan dalam tujuan untuk memenuhi


(45)

umumnya bekerja di sawah sebagai petani dan mengusahakan ladang, selain itu juga ada yang bekerja sebagai wiraswasta/dagang, pegawai negeri dan peternak serta mengumpulkan batu yang akan diolah menjadi pupuk.

Sesuai dengan penggunaan lahan yang telah disebut di atas kita dapat melihat sekitar 90% lahan yang terdapat di Desa Penen diperuntukkan di sektor pertanian dan perkebunan, inilah signifikansi dari penggunaan lahan di desa terhadap mata pencaharian penduduk Desa Penen.

Tabel 4. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah Persentae %

1. Karyawan

a. PNS 13 2,53

b. ABERUI -

-c.Swasta 9 1,75

2. Wiraswasta/Pedagang 10 1,75

3. Petani 400 77,98

4. Pertukangan 8 1,55

5. Buruh Tani 58 11,30

6. Pensiunan 15 2,92

Jumlah 513 100

Sumber : Data Monografi Desa Penen Tahun 2005

Dari matriks 04 di atas terlihat bahwa jenis mata pencaharian yang mayoritas digeluti oleh penduduk Desa Penen adalah bertani yakni sebanyak 400 jiwa atau 77,98% dari 513 penduduk yang tergolong ke dalam kategori usia produktif. Ini

sesuai dengan kondisi dan penggunaan lahan yang ada di desa. Kemudian sebanyak 58 jiwa atau 11,30% bermatapencaharian sebagai buruh tani. Karyawan, baik itu yang


(46)

PNS ataupun swasta sebanyak 22 jiwa atau 4,28% penduduk Desa Penen menggelutinya diikuti dengan adanya penduduk yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 10 jiwa.

4.2. Interpretasi Data Penelitian 4.2.1. Profil Informan

4.2.1.1. Informan Kunci


(47)

Ibu M.Beru Barus, lahir di Nagri Suah pada tanggal 13 Desember 1936, saat ini tinggal bersama seorang anak lelaki bungsunya yang sudah berkeluarga, dengan 3 orang cucunya. Selain bertani, keluarga ini juga membuka sebuah warung kedai kopi

di depan rumahnya. Meskipun sudah tua, ibu 72 tahun ini masih tetap pergi ke ladang cokelatnya untuk mengambil buahnya, kemudian mengambil bijinya dan menjemur cokelat, namun Ibu M.Beru Barus sudah tidak sekuat dulu lagi, jadi tidak terlalu sering pergi ke ladang, karena kondisi fisiknya, yang sudah renta.

Setelah tamat Sekolah Rakyat, ibu ini menikah 56 tahun yang lalu, tepatnya pada

tahun 1951, karena Ibu M.Beru Barus tidak dapat lagi mengingat waktu yang lebih spesifik. Sewaktu berumur 16 tahun ia menikahi suaminya yang masih berumur 12 tahun (empat tahun lebih muda), karena dijodohkan. Ibu M.Beru Barus menikah

sebagai istri pertama dan satu-satunya, dan mempunyai 9 orang anak, tetapi 4 orang meninggal, jadi yang masih hidup dan sudah menikah semua ada 3 orang anak laki-laki, 2 orang anak perempuan.

Ibu M.Beru Barus bercerita, delapan tahun pertama pernikahannya diwarnai dengan pertengkaran yang sangat sering, bahkan kekerasan pun dialami Ibu ini dari

suaminya, seperti dipukul dan dijambak rambutnya. Dikatakan Ibu M.Beru Barus bahwa suaminya dahulu masih suka pacaran dengan wanita lain, ketika istri susah mencari makan justru si suami yang sibuk jalan-jalan, layaknya seperti masih lajang

saja. Sehingga membuat Ibu ini berfikir untuk bercerai saja. Tapi sampai suaminya meninggal, perceraian tersebut tidak pernah terjadi.

Suami Ibu M.Beru Barus meninggal tahun 2001 karena sakit. Sampai saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Dituturkan Ibu


(48)

ini bahwa ketika Ibu sakit, keluarga suami masih mengunjungi, dan kalau ada pesta keluarga suami masih ingat untuk mengundang.

Informan II

Ibu K Beru. Ginting, usia 69 tahun, menikah pada tahun 1959 di usia 21 tahun. Di usianya yang 69 ibu ini masih terlihat cantik, kulitnya putih bersih, dan rambut ikalnya yang terikat rapi. Sepertinya ibu K.Beru Ginting ini tidak mengunyah tembakau di

kegiatan sehari-harinya, karena giginya putih bersih. Ibu ini tinggal di rumah yang sangat layak huni, dengan lantai rumah yang dikeramik, dinding yang dicat putih. Di bagian depan rumah ibu ini terdapat satu tempat tidur, yang dialasi kain sprei putih bersih, yang agak terhalang karena tertutup tirai putih. Dan diseberang tempat tidur ini

ada sebuah meja kantor dan kursi di belakangnya. Ruang tersebut adalah ruang periksa pasien.

Usia pernikahanya sudah 41 tahun namun tahun 2000 yang lalu, Ibu kelahiran laja 7 juli 1938 sudah menjadi janda. Ibu dengan pendidikan terakhir Sekolah Rakyat ini juga menikah sebagai istri satu-satunya dari mendiang suami, yang dikaruniai empat anak

laki-laki dan 1 anak perempuan, semua anaknya sudah menikah. Ibu yang masih punya hubungan baik dengan keluarga mendiang suaminya ini, sekarang tinggal bersama anak perempuan bungsunya yang sudah berkeluarga, yang berprofesi sebagai seorang bidan

desa, dan membuka praktek di rumahnya sendiri, yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal. Namun ketika kami berkunjung, anak Ibu K.Beru Ginting sedang tidak berada di rumah. Yang kami temui adalah anak perempuan dari saudara mendiang suaminya, yang sengaja dimintakan untuk tinggal bersama ibu ini, agar dapat membantu


(49)

kegiatan sehari-harinya. Ibu sendiri untuk bertahan hidup sehari-harinya pergi ke ladang untuk mengambil cokelat. Dan tidak ada rencana untuk menikah lagi.

Profil Informan III

Pagi itu di Dusun I Desa Penen kami mendatangi sebuah rumah yang sangat sederhana dengan rumah yang terbuat dari papan, dan beratapkan seng. Rumah yang tidak begitu tinggi atapnya memberi kesan rumah tersebut sangat kecil, dan tua. Ketika

kami menginjakkan kaki pada semen rumah kecil itu,di ruang tamu banyak terlihat goni yang ditebar dan buah cokelat yang sedang dijemur, juga kita bisa melihat tempat tidur tua tanpa kasur, hanya beralaskan tikar pandan.

Ketika peneliti berkunjung, Ibu R Beru.Tarigan sedang membaca Alkitab

Berbahasa Karo. Awalny Ibu R Beru.Tarigan agak terkejut, namun akhirnya ibu yang menemani peneliti, menjelaskan dalam bahasa Karo, bahwa peneliti sedang mengerjakan tugas untuk sekolah dan membutuhkan kerjasama dari para janda Karo yang ada di Desa Penen, sambil menginformasikan bahwa sudah ada juga beberapa janda yang telah diwawancara sebelumnya.

Dengan suara yang sangat lembut sekali, Ibu kelahiran Nagri Suah 25 september 1947 menjawab setiap, pertanyaan, dan Ibu agak mengerti Bahasa Indonesia, meskipun beberapa kali peneliti harus mengulang pertanyaan dan membutuhkan ibu yang

menemani peneliti untuk menterjemahkannya dalam bahasa Karo.

Ibu menikah pada tahun 1984 di Jakarta. Di usia ke 39 Ibu menikah sebagai isteri yang Ke-empat dari lima istri yang dimiliki mendiang suami. Ibu sendiri hanya merasakan indahnya berumahtangga selama satu tahun, karena mendiang suami


(50)

meninggal di tahun berikutnya, yaitu 1985, ketika usia anak perempuannya baru berusia dua bulan.

Dengan keinginan berbagi, Ibu berusia 60 tahun ini bercerita bahwa dahulu,

mendiang suaminya menggunakan pelet untuk menggaet Ibu. Pada akhirnya juga, mendiang suaminya dipelet oleh perempuan lain, kemudian menikah dan meninggal karena sakit.

Kini Ibu tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini hidup dengan menempati rumah yang dipinjamkan oleh saudara laki-lakinya yang lebih tua (abangnya) dan ia

bertahan hidup sehari-hari dengan mengerjakan milik abangnya, dengan perjanjian sebagian hasil diberikan kepada abangnya itu.

Ibu memiliki satu anak perempuan, Nina. Sekarang berkerja sambil kuliah di

Palembang, tinggal bersama bapak tengahnya. Hingga sekarang dia tidak kenal bapaknya. Hanya melalui foto saja. Hingga saat ini, keluarga mendiang suami pun tidak pernah mengenal Nina, apalagi melihat Nina. Mereka tidak memperhatikan keluarga kami. Keluarga mendiang suami tidak pernah datang menjenguk atau mengundang. Sehingga tali kekeluargaan terputus begitu saja, sehingga membuat Ibu tidak pernah mau

berharap banyak dari keluarga mendiang suaminya.

Profil Informan IV

Peneliti berkunjung pada malam hari, sekitar pukul 20.15. beruntung,karena malam itu tidak turun hujan, seperti malam sebelumnya. Ibu yang menemani peneliti memilih berkunjung pada malam hari, karena memang pada saat itulah seluruh warga baru ada di rumah. Sedangkan pada pagi-sore hari, warga bekerja di mereka


(51)

masing-masing. Nama-nama Ibu yang akan menjadi informan sudah ada pada peneliti yang diperoleh dari Kepala Desa, dengan bantuan sebagian warga Penen, peneliti bertanya dan mencaritahu dimana tempat tinggal Ibu yang dimaksud.

Tinggal di rumah yang sangat baik kondisinya, dan rumah yang ditempati sudah permanen. Ketika berkunjung, Ibu Ru Beru.Tarigan sudah akan tidur. Raut wajah yang kelelahan terlihat pada wajah Ibu kelahiran Penen, 1945 yang duduk di tikar bersama kami. Kesulitan dialami peneliti,karena Ibu usia 62 tahun ini sulit mengerti Bahasa Indonesia, sehingga pertanyaan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Karo, dibantu oleh

teman peneliti.

Ibu Ru. Beru.Tarigan menikah di usia 20 tahun, tepatnya pada tahun 1965 dan menjadi janda pada tahun 2000. Ibu Ru. Beru.Tarigan menikah sebagai istri pertama dan

satu-satunya. Ibu Ru. Beru.Tarigan pada saat ini tinggal bersama anak laki-lakinya yang paling bungsu, sudah menikah dan dikaruniai satu orang puteri.

Ibu Ru. Beru.Tarigan berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini sendiri mempunyai empat orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Semua anaknya sudah berumah tangga.

Hingga saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Meskipun sudah tua, Ibu Ru. Beru.Tarigan masih tetap pergi ke sawah yang ditanaminya padi, untuk bertahan hidup sehari-hari.

Profil Informan V

Hari Minggu pagi sekitar pukul 08.10 peneliti sudah ada di rumah Ibu M Beru.Tarigan ketika berkunjung. Informan mengatakan bahwa ia sudah menunggu kami


(52)

berkunjung sedari tadi. Karena tadi malam ketika peneliti berkunjung, ibu M.Beru Tarigan tidak berada di rumah karena mengikuti kegitan ibadah, sehingga kami terpaksa datang kembali pagi ini sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati bersama

,semalam. Ibu M.Beru Tarigan ini sangat periang, sesekali ia sengaja bercanda dan membuat kami yang berkunjung tertawa, dan semakin merasa akrab dengan ibu ini. Tinggal di rumah yang sangat sederhana, dengan lantai yang hanya disemen, dan dinding rumahnya yang di cat putih, Ibu kelahiran Bekuah, 1936 ini menerima kedatangan kami dengan sangat ramah dan menawarkan kami untuk minum.

Pada saat ini Ibu 71 tahun ini tinggal bersama seorang anak perempuannya yang juga sudah menjanda juga, beserta ketiga cucunya. Ketiga cucunya laki-laki, dan ada yang kembar. Si kembar baru saja Tamat SMA, sedangkan seorang lagi masih

bersekolah. Sembari bercerita, ibu ini juga berpesan agar peneliti menolong cucunya tersebut dalam mencari pekerjaan, dengan memberi informasi yang diketahui peneliti. Karena ia sangat prihatin melihat cucunya yang sehari-harinya hanya ke ladang. Jikalau cucunya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, ibu ini mengaku tidak begitu punya uang untuk biaya kehidupan sehari-harinya nanti disana.

52 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1955. Ibu berpendidikan Sekolah Rakyat (SR) ini menikah diusianya yang ke-19 tahun. Ibu M Beru.Tarigan menpunyai seorang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan, dan semuanya sudah berumahtangga.

Tahun 1988 suami Ibu ini meninggal dunia karena sakit. Ibu M Beru.Tarigan merupakan istri pertama dan satu-satunya. Selama 19 tahun menjanda, Ibu ini masih merasakan hubungan yang baik yang terjalin dari keluarga mendiang suaminya. Karena apabila ada pesta adat, mereka masih mengundang Ibu M Beru.Tarigan dan anak-anaknya untuk


(53)

datang. Apabila keluarga dari informan ada yang sakit pun, keluarga dari mendiang suami juga datang membesuk. Untuk bertahan hidup sehari-harinya, Ibu M Beru.Tarigan pergi ke ladang untuk membantu anak-anaknya yang juga bekerja di ladang. Meskipun

Ibu mengaku tidak sanggup lagi untuk bekerja berat, namun Ibu ini tidak betah apabila hanya diam-diam saja di rumah.

Profil Informan VI

Ketika kami sedang berkunjung ke rumah ibu M.Beru Tarigan, ibu M Beru.Keliat kebetulan datang dan akhirnya ikut bercerita dengan kami. Ketika peneliti bertanya apakah ia juga mau menjadi informan, ibu M Beru.Keliat menjawab kalau ia setuju. Selesai bercakap-cakap dengan ibu M.Beru Tarigan, kami permisi dan mengunjungi

rumah Ibu M Beru.Keliat yang bersedia menjadi informan ini.

Terlihat rumah yang dikunjungi peneliti adalah sebuah rumah yang sudah lama. Dengan lantai semen, dan beratap seng, rumah tersebut terasa sepi ditambah lagi Ibu M Beru.Keliat tidak meletakkan perabot yang cukup banyak di ruangan 4x3 tersebut. Ibu

ini merupakan tetangga sebelah dan satu dinding dengan ibu M.Beru.Tarigan. model rumah mereka pun sama, dengan mempersilahkan duduk di tikar, Ibu berusia 70 tahun ini menyambut kami dengan baik sambil mengikat rambutnya yang panjang.

Ibu menikah pada tahun 1958. Dari perkawinannya Ibu berpendidikan Sekolah

Rakyat (SR) ini dikaruniai tiga orang anak perempuan. ketika kami berkunjung, Ibu ini baru selesai mandi dan ketika bertemu, ia sedang bersisir di kaca yang digantungnya di dekat pintu rumahnya. Ia menikah sebagai satu-satunya istri dari mendiang suaminya, dan sudah menjanda selama 11 tahun, tepatnya mendiang suami meninggal pada tahun


(54)

1996. seluruh anak Ibu M Beru.Keliat sudah menikah, dan hingga saat ini masih terjalin hubungan yang baik dengan keluarga mendiang suami. Ibu kelahiran Bekuah, 20 mei, 1938 ini yang tidak berencana untuk menikah lagi ini, bertahan hidup sehari harinya

dengan bertani cokelat. Informan pada saat ini hidup sendiri tanpa ditemani anak-anaknya, pekerjaan rumah memasak, membersihkan rumah ia kerjakan sendiri, sehari-harinya dan ke ladang sendiri juga ia lakukan.

Profil Informan VII

Hari Minggu pagi, peneliti mendatangi sebuah rumah yang berdiri di pinggir jalan Desa Penen. Rumah yang lebih tinngi tanahnya dari rumah yang ada di sekitarnya. Dulu rumah ini pernah dijadikan sebagai warung kopi, tapi sekarang sudah tidak lagi. Di sebuah bangku panjang di teras rumah ini, terlihat seorang wanita dengan rambutnya yang sudah memutih, memakai kaos putih dan sarung yang tidak terlihat baru lagi,

sedang duduk sendiri sambil melihat-lihat ke arah jalan raya di di depannya. Ia adalah ibu P.Beru Barus. Ketika bertemu dengan peneliti, dia sudah bersiap-siap dan menunggu kedatangan kami, karena ibu yang membantu peneliti sudah menceritakan tentang

keperluan peneliti untuk mencari data.

Pada tahun 1960, di usianya yang ke 18 Ibu P Beru.Barus menikah dan hingga sekarang tidak memiliki seorang anak pun. Menikah sebagai istri pertama dan satu-satunya hingga kematian mendiang suami pada tahun 1991, Ibu berusia 63 tahun ini tidak


(55)

ada rencana untuk menikah lagi. Hingga saat ini hubungan Ibu P Beru.Barus dengan keluarga mendiang suami masih terjalin dengan baik. Dengan alasan meskipun Ia sudah menjanda, tetapi masih tetap menjadi tanggungjawab keluarga suami. Ibu P Beru.Barus

dalam kesehariannya bertahan hidup dengan bertani cokelat.

Ibu P.Beru Barus semasa hidupnya tidak menganut agama apapun. Ia masih menganut kepercayaan lama, yang masih percaya kepada roh nenek moyang. Namun peneliti merasa kurang pantas untuk bertanya lebih jauh tentang hal tersebut. Ibu P.Beru Barus pada saat ini tinggal bersama anak perempuan dari saudara laki-laki dari mendiang

suaminya, yang memang dimintakan untuk tinggal bersamanya, untuk membantu kegiatan ibu ini sehari-harinya. Dia sudah dianggap sebagai anaknya sendiri oleh ibu P.Beru Barus, dan punya dua orang cucu perempuan yang keduanya masih balita. Kelak,

anak perempuan dari saudara laki-laki mendiang suaminya inilah yang akan mendapatkan semua warisan ibu P.Beru Barus apabila ia meninggal nantinya.

Informan VIII

Menjelang siang hari di Desa penen, kami sudah dua kali bolak-balik berkunjung

ke rumah ini, tetapi kami belum bertemu dengan orang yang kami cari. Tadi pagi juga kami sudah berkunjung ke rumah ini, bertemu dengan ibu M.Beru Tarigan. Di rumah ini ada dua orang informan, ibu M.Beru Tarigan dan anaknya ibu Rk.Beru Barus. Tetapi tadi

pagi ibu Rk.Beru Barus sedang pergi ke Gereja dan diinformasikan oleh ibu M.Beru Tarigan, anak perempuannya hari ini akan pulang lebih lama dari biasanya, karena di Gereja sedang diadakan bazaar makanan untuk pengumpulan danan untuk keperluan Gereja.


(56)

Kunjungan terakhir yang kami lakukan, kami bertemu dengan informan yang dimaksud. Ibu Rk.Beru Barus sedang makan siang. Ibu ini bertubuh agak besar, kulit sawo matang, dan ketika bertemu, ibu ini memakai celana ponggol dan baju kaos hitam,

tanpa lengan. Ibu ini juga sama ramahnya dengan ibunya, sambil menawarkan untuk makan bersama, ibu ini juga meminta maaf sudah membuat kami bolak-balik kerumah ini mencarinya.

Ibu Rk.Beru Barus merupakan informan termuda. Ibu ini aktiv dalam pelayanan di gerejanya. Ibu Rk. Beru.Barus merupakan salah satu anak perempun dari M.

Beru.Tarigan, dan tinggal bersama ketiga anak laki-lakinya dan ibunya sendiri. Pada tahun 1986 Ibu Rk. Beru.Barus menikah dan menjadi janda pada tahun 2001. menikah sebagai satu-satunya istri hingga pada saat ini Ibu berusia 43 tahun ini menjawab tidak

menutup kemungkinan di hari depan nanti untuk menikah lagi. Anak Ibu kelahiran Penen, 18 feBeruuari 1967, belum ada yang menikah yang paling tua, si kembar baru tamat SMA, sedangkan adiknya masih duduk di bangku SMP kelas III. Perlakuan keluarga mendiang suami dikatakan baik oleh Ibu, karena keluarga masih ingat untuk mengundang jikalau ada acara pesta adat.

Informan IX

Rumah yang kami kunjungi ini, tidak begitu besar bangunannya. Dijadikan

sekaligus sebagai kegiatan ekonomi, di bagian depan rumah ini dijadikan sebagai warung yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Pemiliknya warung kecil ini adalah Ibu DI.Beru Sitepu. Ketika kami temui, ia sedang menunggu pembeli di warungnya, sambil menonton televisi yang berada di ruang tengahnya. Televisi yang berukuran 14”inci dan


(57)

sudah tidak berwarna lagi. Ibu ini juga menyambut kami dengan ramah, serta mempersilahkan kami duduk di tikar, ruang tengahnya.

Ibu DI Beru. Sitepu menikah tahun 1983 dan menetap di Medan, tahun 1998

pindah ke Desa Penen dan suami meninggal pada tahun 2003. Menikah sebagai satu-satunya isteri, Ibu 47 tahun ini dikaruniai tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki yang paling kecil berumur 7 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan yang paling tua perempuan sudah menikah. Ibu kelahiran Penen, 20 feBeruuari 1960 ini pada saat ini tinggal bersama ketiga anaknya yang belum menikah.

Ketika berkunjung, kami tidak melihat seorangpun dari anaknya. Sesekali sambil meminta maaf, ibu ini permisi untuk melayani pembeli yang hendak membeli kebutuhannya. Ibu DI Beru.Sitepu sedang sendirian di rumah karena anaknya sedang

pergi. Tetapi biasanya dua anak perempuannya membantu menjaga warung bergantian, sehingga ibu ini bisa pergi ke ladang juga.

Diakui oleh ibu DI Beru.Sitepu, hubungan dengan keluarga mendiang suami masih terjalin baik, karena sewaktu mengadakan pesta anaknya pada tahun 2005 yang lalu, semua keluarga mendiang suami diundang, dan datang semua. Ibu DI Beru.sitepu

bertahan hidup sehari-hari dengan berladang dan membuka warung di rumah yang dijaga oleh anak kedua perempuannya yang baru tamat SMA. Ibu DI Beru. sitepu di hari ke depannya masih membuka diri seandainya masih diizinkan menikah apabila menemukan

jodoh yang dianggap baik untuk memenuhi kriteria seorang bapak untuk anak-anaknya.


(58)

Kami berjalan dari belakang rumah-rumah yang terletak di Dusun Satu Desa Penen. Jalanan tidak terlihat begitu jelas, karena hari sudah gelap. Dan kami harus hati-hati berjalan, karena tadi sore hujan turun deras menyebabkan banyak genangan air.

Letak rumah-rumah di Desa Penen ini tidak begitu beraturan. Semula peneliti tidak menyangka jikalau di belakang rumah-rumah yang di pinggir jalan yang tidak begitu lebar, ada banyak rumah juga yang bahkan arah depan dan arah belakang rumah-rumah di tempat ini tidak lah searah.

Kami sudah mendapatkan nama-nama informan, dan dengan bantuan masyarakat

juga yang kami tanya, mereka menginformasikan letak rumah informan yang kami cari. Ketika sampai, terlihat rumah yang masih terbuka pintunya, dan di dalam ada dua orang ibu yang sedang bercerita, duduk dialasi tikar. Hampir sama dengan informan yang

lainnya, rumah ibu ini juga tidak begitu besar kira-kira berukuran 5x10 meter. Karena kami dapat melihat pintu dapur, lalu pintu keluar yang ada di belakang. Rumah yang sederhana dengan dua kamar, dinding cat putih, lantai yang terbuat dari semen, dan tidak begitu banyak perabotan. Hanya ada sebuah lemari, sebuah televisi 21”inci dan beberapa foto keluarga yang digantung di dinding.

Namanya Ibu Rk Beru.Tarigan. Menikah di tahun 1976 di Desa Penen, dan suami meninggal pada tahun 1981, karena sakit. Menikah sebagai satu-satunya istri, Ibu Rk Beru.Tarigan dikaruniai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. anak laki-laki tertua

dan anak perempuan tertua sudah menikah. Sambil mempersilahkan kami minum the manis panas yang disediakan oleh anak perempuannya, ia bercerita saat ini Ibu lulusan SMA ini tinggal bersama anak laki-laki tertua yang menikah dan dua orang anaknya yang belum menikah. Hingga saat ini Ibu Rk Beru.Tarigan menyatakan masih mempunyai


(1)

9. D.I Br.Sitepu Ya Anak laki-laki lebih tinggi derajatnya dari anak perempuan. keluarga dirasakan belum lengkap kalau belum ada anak laki-laki. 10 Rk Br.Tarigan Ya Di dalam adat Karo, anak laki-laki

saja yang mendapatkan warisan dan dalam adapt Karo juga, laki-laki yang mengambil keputusan.


(2)

Table pengalan informan terhadap marginalisasi

No Mengalami

marginalisasi ya/tidak

Alasan informan

1. M Br Barus Tidak karena saya mendapat warisan dari suami.

2. K.Br Ginting Tidak Karena semasa hidup dengan suami, saya yang memegang uang dalam rumah tangga, sesuai dengan kesepakatan suami istri, dan sebagai janda saya juga mendapatkan warisan. 3. R.Br Tarigan Ya Semasa hidup, saya memang diberikan

nafkaf oleh suami, tetapi saya tidak mendapatkan warisan, saya sebagai anak, dan ketika saya menjadi janda. 4. Ru Br.tarigan Tidak Karena dalam rumah tangga, saya

dipercaya untuk memegang uang dalam rumah tangga, dan saya juga mendapatkan warisan.

5. M Br.Tarigan Tidak Karena saya dapat uang belanja sewaktu suami masih hidup, dan saya juga mendapat warisan.

6. M Br.Keliat Tidak Meskipun saya tidak mendapat warisan sebagai anak, tetapi hal tersebut dikarenakan warisan dari orangtua saya tidak banyak.

7. P Br.Barus Tidak Karena saya mendapatkan warisan dari suami saya.

8. R.Br Barus Tidak Karena sebagai janda, saya mendapatkan warisan.

9. D.I Br.Sitepu Tidak Karena suami beri uang belanja kepada saya selagi masih hidup, dan sebagai istri saya juga mendapat warisan.


(3)

Table persepsi informan terhadap harta warisan No Nama

informan Jumlah anak laki-laki dan perempuan Anak perempuan mendapat warisan setuju/tidak setuju

Jumlah warisan yang dibagi

Proses pembagian

warisan

1. M.Br Barus 3 laki-laki 2perempuan

setuju Lebih banyak untuk anak laki-laki

Hasil rapat keluarga, yang akan diputuskan oleh anak laki-laki

2. K.Br.Ginting 4 laki-laki 1 perempuan

Setuju Sama banyak dengan anak perempuan

Melalui rapat keluarga

3. R.Br Tarigan 1 perempuan Setuju Laki-laki mendapat lebih banyak

Keputusan dari anak laki-laki 4. Ru.Br Tarigan 4 laki-laki

2 perempuan

Setuju Akan dibagikan 2:1 untuk anak laki-laki lebih besar

Melalui rapat keluarga

5. M Br.Tarigan 1 laki-laki 3 perempuan

Setuju -Rumah untuk anak laki-laki, -tanah seluas 1,5ha untuk anak lakilaki, -tanah seluas 0,5ha untuk anak perempuan, dibagi lagi

Melalui rapat keluarga

6. M.Br Keliat 3 perempuan Setuju Sama banyaknya Melalui rapat keluarga

7. P.Br Barus - setuju Sama banyaknya Melalui rapat keluarga

8. Rk.Br Barus 3 laki-laki setuju Sama banyaknya Melalui rapat keluarga

9. D.I Br Sitepu 1 laki-laki 3 perempuan

setuju Lebih besar untuk anak laki-laki

Hasil keputusan anak laki-laki 10. Rk.Br Tarigan 2 laki-laki

2 perempuan

setuju 1 rumah untuk anak laki-laki yang paling muda, ladang untuk anak laki-laki tertua, ladang yang lain untuk anak perempuan dibagi dua

Melalui rapat keluarga


(4)

Table pengalaman informan terhadap hak waris janda No Nama informan Mendapat

warisan ya/tidak

Bentuk warisan Proses pembagian

1. M.Br Barus Ya Tanah Melalui rapat

rakut sitelu

2. K.Br.Ginting Ya - sawah

- tanah - ladang

Hanya hasil musyawarah

keluarga, karena sebelum

meninggal, sudah dibicarakan

masalah warisan.

3. R.Br Tarigan Tidak - Tidak

berdasarkan hasil rapat, karena keluarga suami tidak

memeperhatikan lagi.

4. Ru.Br Tarigan Ya - sawah - ladang - rumah - uang

Tanpa ada rapat keluarga, tetapi secara otomatis berpindah ke tangan istri.

5. M Br.Tarigan Ya - uang

- tanah

Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. 6. M.Br Keliat Ya Uang Rp.600.000 Hasil rapat dari

keluarga suami dan keluarga istri.

7. P.Br Barus Ya - sawah

- ladang

Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri.

8. Rk.Br Barus Ya - uang

- ladang

Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri.


(5)

9. D.I Br Sitepu Ya - rumah

- ladang cokelat

Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri. 10. Rk.Br Tarigan Ya - uang

- tanah

Hasil rapat keluarga suami dan keluarga istri.


(6)

Table pengalaman informan terhadap perilaku kekerasan dalam rumah tangga No Nama informan Mengalami

KDRT ya/tidak

Bentuk kekerasan yang dialami

1. M.Br Barus Ya - dipukul suami

- dijambak suami

- disakiti hatinya karena suami masih mau pacaran lagi

2. K.Br.Ginting Tidak -

3. R.Br Tarigan Tidak -

4. Ru.Br Tarigan Tidak -

5. M Br.Tarigan Ya - dikasari suami dengan

perkataan apabila bertengkar - dipukul suami

6. M.Br Keliat Tidak -

7. P.Br Barus Tidak -

8. Rk.Br Barus Tidak -

9. D.I Br Sitepu Tidak -

10. Rk.Br Tarigan Ya - dikasari suami dengan perkataan apabila bertengkar - dipukul suami

No Nama informan

marginalisasi stereotype subordinat KDRT burden

1. M.Br Barus - - Ya Ya Ya

2. K.Br.Ginting - - Ya - Ya

3. R.Br Tarigan Ya - Ya - Ya

4. Ru.Br Tarigan - - Ya - Ya

5. M Br.Tarigan - - Ya Ya Ya

6. M.Br Keliat - - Ya - Ya

7. P.Br Barus - - Ya - -

8. Rk.Br Barus - - Ya - -

9. D.I Br Sitepu - - Ya - Ya


Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan (Studi Kasus Di Kota Medan)

5 62 133

Persepsi Dan Pengalaman Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 13 132

PENGARUH HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT MUSLIM KARO (STUDI KASUS DESA SEI SEMAYANG KECAMATAN SUNGGAL).

0 1 22

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 12

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 1

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 10

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 9

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 4

Persepsi Dan Pengan Perempuan Karo Yang Ditinggal Mati Suami Terhadap Harta Warisan (Studi kasus masyarakat Karo di Desa Penen Kec.Biru-biru)

0 0 17