BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara nyata Indonesia mengakui sebagai rechstaat, dalam artian bahwa segala sesuatunya dilandasi oleh konstitusi yang ada sehingga berjalan seperti amanah konstitusi.
Dengan adanya prinsip demikian maka dalam penyelenggaraan negaranya selalu mengedepankan pembentukan aturan terlebih dahulu agar pihak-pihak tersebut dapat
dilindungi oleh pemerintah melalui mekanisme yang ada, sehingga tidak terjadi ketidakadilan di salah satu pihak.
Konsep jaminan yang berkembang di Indonesia, beberapa bentuk jaminan sudah dituangkan dalam perundang-undangan termasuk dalam hal ini adalah konsep mengenai
jaminan fidusia yang berpotensi menimbulkan kerancuan sehingga mengharuskan adanya pengaturan melalui peraturan perundang-undangan. Adanya pengaturan yang jelas
memungkinkan adanya kepastian hukum agar yang salah satunya adalah melindungi pihak- pihak dalam jaminan tersebut sehingga dibentuklah Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa sengketa terkait fidusia yang telah diatur dalam UU Jaminan Fidusia, baik akibat perbedaan penafsiran maupun akibat
klausul – klausul yang berpotensi tumpang tindih antarpasalnya. Oleh karena itu, dipandang
perlu untuk dilakukan kajian mendalam terhadap sebuah perkara yang mewakili beberapa kerancuan dalam UU Jaminan Fidusia, dalam hal ini perkara PT Tripanca, baik untuk
melakukan harmonisasi antar pasal – pasal UU Jaminan Fidusia, maupun mempertimbangkan
apakah putusan yang dijatuhkan bagi perkara tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
B. Kronologi Kasus
Pada tahun 2008 PT Tripanca c.q. BPR tripanca meminjam uang sebesar 507 M kepada Bank Mega kreditur preferen dan kreditur separatis, Bank Deutsche sebesar 648 M,
Bank BRI 250 M, Bank Ekspor Indonesia 245 M, dan 50 M kepada Bank Mandiri. Kelima bank ini memberikan fidusia berupa kopi, tetapi tidak sebesar jumlah pinjaman.
Mengapa kelima bank ini memberikan fidusia yang tidak senilai dengan jumlah pinjaman? Karena BPR Tripanca memiliki track record yang baik, bahkan dinobatkan
sebagai BPR no.3 terbaik di Indonesia. Sehingga kelima bank ini percaya kepada BPR Tripanca. Karena pada dasarnya FEO Fidusiaire Eingendom Overdracht adalah jaminan
yang berbasis kepercayaan.
Bank Mega memberikan fasilitas kredit berupa Warehouse Receipt Financing WRF kepada PT Tripanca dengan total kredit USD 47 juta. Jaminan kopi itu diikat dengan
perjanjian fidusia melalui Akta No. 49 tanggal 24 Agustus 2007. kemudian diterbitkan sertifikat jaminan fidusia No. W.6.836.04.06. TH. 2007 tanggal 6 November 2007 jo Akta
fidusia No. 38 tanggal 28 November 2007 jo sertifikat jaminan fidusia No. W6.1103.HT.04.06.TH2007STD tanggal 4 Desember 2007.
Pada tahun yang sama, uang pinjaman dari bank-bank tersebut dibawa kabur oleh Sugiharto Wihardjo, komisaris PT Tripanca sehingga membuat PT Tripanca dan BPR
Tripanca collapse bangkrut. Pada kasus ini, PT Tripanca masih dalam proses kepailitan. Bank Mega meminta izin untuk eksekusi ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengadilan
Negeri Tanjung Karang menerima dan mendaftarkan permintaan eksekusi ini ke kepaniteraan Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
Bank Mega yang telah mengantongi izin sebagai salah satu bank yang dirugikan menjual 26.000 ton komoditas kopi pada pelelangan senilai 277,5 M. Bank Mandiri
mengindikasikan bahwa Bank Mega ini menyalahi perjanjian fidusia dimana kurator BPR Tripanca tidak tahu bahwa kopinya telah dilelangkan dengan dijual oleh Bank Mega. Bank
Mandiri menggugat Bank Mega karena menyalahi perjanjian serta kesalahan dengan menjual aset pailit yang seharusnya menunggu proses kepailitan selesai.
Kurator PT Tripanca dan bank-bank lain yang dirugikan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas eksekusi yang dilakukan oleh
Bank Mega karena telah melanggar pasal 34 UU Kepailitan UU Kepailitan. Pada tingkat pertama, gugatan Kurator PT Tripanca dan bank-bank selain Bank Mega dikabulkan oleh
pengadilan sehingga atas keputusan hakim tersebut memerintahkan Bank Mega menyerahkan uang hasil pelelangan kepada Kurator PT Tripanca. Bank Mega sebagai tergugat mengajukan
kasasi atas pertanyaan apakah pelaksanaan lelang oleh Bank Mega itu diperbolehkan.
MA berpendapat berdasarkan pasal 34 UU Kepailitan UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan yang melarang adanya perjanjian yang bermaksud untuk memindahtangankan
jaminan fidusia. Namun MA menganggap eksekusi yang dilakukan Bank Mega telah sesuai pada pasal 55 UU Kepailitan UU Kepailitan yang mengatur bahwa pemegang jaminan fidusia
boleh mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan. MA menafsirkan dari pasal 55 UU Kepailitan bahwa yang tidak diperbolehkan pada pasal 34 UU Kepailitan adalah melakukan
perjanjian, sehingga bila perjanjian telah sempurna, maka pasal 55 UU Kepailitan berlaku. Dari tafsiran ini, MA menganggap bahwa sebelumnya Bank Mega dan PT Tripanca telah
melakukan perjanjian tentang jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia Wilayah departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia republik Indonesia Propinsi Lampung. sehingga
MA memperbolehkan tindakan Bank Mega berdasar pasal 55 UU Kepailitan UU Kepailitan. Selain itu, MA juga mempertimbangkan atas posisi Bank Mega sebagai kreditur separatis dan
preferen yang harus didahulukan dan pertimbangan bahwa keputusan Pengadilan yang menyatakan PT Tripanca pailit pada 3 Agustus 2008 dan eksekusi lelang yang dilakukan
pada 2 November 2008 yang mana pada pasal 56 UU Kepailitan telah menyebutkan bahwa eksekusi dapat dilaksanakan paling lama 90 hari sejak keputusan pailit.
C. Rumusan masalah