Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI)

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)

TESIS

Oleh

ELVIRA FITRIYANI PAKPAHAN 077005070/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELVIRA FITRIYANI PAKPAHAN 077005070/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)

Nama Mahasiswa : Elvira Fitriyani Pakpahan Nomor Pokok : 077005070

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk menerbitkan ORI pada bulan juli 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008 merupakan salah satu kebijakan moneter yang dikeluarkan dalam rangka membiayai Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak lain merupakan bentuk lain dari Surat Utang Negara yang dijual secara ritel kepada publik, selain itu ORI juga merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan risiko keuangan negara di masa yang akan datang. Dengan tetap memperhatikan berbagai macam pertimbangan dan aspek-aspek terkait, baik aspek negatif maupun aspek positifnya. Mengingat, sejarah penerbitan obligasi negara (1950-an) pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno mengalami gagal bayar.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengaturan penerbitan obligasi negara ritel dalam ketentuan hukum surat utang negara, serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa besar jaminan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk obligasi tersebut.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library researh). Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni primer, sekunder dan tersier.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan penerbitan ORI dalam ketentuan hukum Surat Utang Negara menjamin keberadaan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Artinya pemerintah menjamin dan wajib membayar bunga dan pokok setiap SUN yang jatuh tempo. Kedudukan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kreditur konkuren pada perjanjian utang piutang yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur-kreditur lainnya apabila pemerintah

wanprestasi. Perlindungan hukum bagi pemegang obligasi negara ritel adalah

berdasarkan UU SUN dan berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang antara pemerintah dengan investor.


(6)

ABSTRACT

Governance’s decision of President of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla to publish the ORI at July 2006 and continued in the year 2008 representing one of monetary policy released in order to closing over General Revenues and Expenditure Budget (APBN) deficit which not dissimilar representing form is differ from Letter Owe the State sold by retail to public and as well as representing one of defrayal potency to lessen the burden and risk of state's finance in the future. Fixed pay attention to assorted of relevant aspect and consideration, goodness of negative aspect and also positive aspect. Considering, history of publication of state obligation (1950) at a period of Governance of President Soekarno experience of to fail payee.

In relation to the above condition, hence becoming problems is how arrangement of publication of Obligation of State Retail in legal rule the owe letter of state, and also domicile and legal protection for handle of Obligation of State Retail. This matter none other than to know how big guarantee and also legal protection for investment which have been inculcated in the form of the obligation.

This normative legal study analyzes the research problems through a legal principle approach and refers to the legal norms found in the legislation. To collect the data in this thesis conducted with the research having the character of descriptive analyze the. The secondary data used in this study were obtained through library research. As for secondary data obtained library research from consisted of by 3 substance punish namely primary, secondary and tertiary.

The result of this study reveals that the arrangement of publication ORI in legal rule the Letter Owe the State guarantee the obligation existence published by Government Republic of Indonesia. Its meaning is governmental guarantee and obliged to pay the flower and fundamental each SUN which fall due. The legal statue for handle of Obligation of State Retail basically do not far differ from the concurrent creditor at agreement of receivable and liability which have no right to prioritize its payment from other creditor if government wanprestasi. The legal protection for handle of Obligation of State Retail is pursuant to UU SUN and pursuant to agreement of money loan between of government with investor.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang atas ridhonya Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI). Dalam penulisan tesis ini disadari sepenuhnya, bahwa penulisan karya tulis yang baik diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup yang didukung bahan dan materi yang cukup pula. Oleh sebab itu, dalam penyajian tesis ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu dengan tangan terbuka diharapkan saran dan masukan yang membangun dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan tesis ini.

Dalam penyelasaian tesis ini, mulai saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahaan hati dan ketulusan hati, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum., Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., yang di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktu dan penuh perhatian untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat Penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Dan kepada Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., dan Dr. Mahmul Siregar, SH., MHum, selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan dan arahan.


(8)

Disampaikan juga rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(k)., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., atas kesempatan menjadi mahasiswi Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, atas segala arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini, dihaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua, ayah Dr. H. M. Effendi Pakpahan, SE, MM, dan ibu Rasmi Pohan yang telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, pengorbanan dan segala doa yang tiada terputus, yang tiada terbalaskan sampai kapanpun. Dan kepada bapak dan ibu mertua penulis Abdul Chair dan Suyati yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga dipersembahkan kepada yang teristimewa, tersayang dan tercinta suami penulis Suryo Idhianto, ST yang telah setia dan sabar menemani dan terus memberikan motivasi, semangat dan dorongan kepada penulis.


(9)

Kepada kakak-kakak penulis, Erma Bahagia Pakpahan, SE, MM, dr. Emi Memori Pakpahan, Eka Lolita Eliyanti Pakpahan, SKM, Enni Halimahtussa’diah Pakpahan, S.pd, M.Pd, abang penulis Erizal Yusuf Pakpahan dan adik-adik penulis Emir Syarif Fatahillah Pakpahan, Edwin Dasaputra Pakpahan, dan Eki Miftah Akbar Pakpahan, terima kasih yang tak terhingga karena senantiasa memberikan semangat kepada penulis.

Akhir kata, hanya dapat dimohon semoga segala sesuatu yang telah diberikan akan memperoleh balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Medan, Juni 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Elvira Fitriyani Pakpahan Tempat, Tanggal Lahir : Rantau Prapat, 04 Juli 1984 Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : SD Negeri 112134 Rantau Prapat (1996) MTS Negeri Rantau Prapat (1999) MAL IAIN SU Medan (2002)

Fakultas Syari’ah IAIN SU Medan (2006)

Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU (2009)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ………. vii

DAFTAR SKEMA ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Permasalahan ...………. 10

C. Tujuan Penelitian ………. 10

D. Manfaat Penelitian ……… 11

E. Keaslian Penelitian ……….. 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………. 12

G. Metode Penelitian ……… 20

1. Sifat Penelitian ……… 21

2. Sumber Data ……….. 21

3. Tekhnik Pengumpulan Data ……….. 22

4. Alat Pengumpulan Data ………. 22


(12)

BAB II : PENGATURAN PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI)

DALAM KETENTUAN HUKUM SURAT UTANG NEGARA ... 24

A. Pengaturan Penerbitan Obligasi Negara Ritel ... 24

B. Karakteristik Obligasi ... 33

1. Obligasi sebagai Surat Berharga ……… 41

2. Obligasi sebagai Surat Pengakuan Hutang ……… 48

BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) ... 51

A. Peranan Obligasi Negara Ritel terhadap Ekonomi Nasional ... 51

B. Mekanisme Transaksi Obligasi Negara Ritel ……… 63

C. Kedudukan Hukum bagi Pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI) ... 75

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) ... 81

A. Surat Utang Negara sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Ekonomi... 81

B. Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Obligasi Negara Ritel ... 93

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104


(13)

DAFTAR SKEMA

No Judul Halaman

1 2

Skema Penerbitan ORI ... Skema Perdagangan ORI di Pasar Sekunder ...

65 73


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi harus dilaksanakan dengan segenap potensi yang ada di masyarakat. Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa pembangunan harus diselenggarakan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kemandirian. Pembangunan ekonomi nasional harus diupayakan atas dasar kekuatan sendiri sehingga pembangunan tersebut dapat terlaksana secara berkelanjutan.1

Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, maka perlu ditingkatkan kemampuan serta kemandirian untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat. Selain itu jika diperhatikan tingkat pertumbuhan serta mobilisasi dana melalui pasar keuangan pada

1


(15)

saat ini, sesungguhnya telah merefleksikan upaya partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Keberhasilan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan oleh adanya, (1) kemandirian bangsa untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat, (2) partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat dipertanggung jawabkan, (3) kepastian hukum kepada pemodal dan komitmen pemerintah untuk mengelola sektor keuangan yang transparan, professional, dan bertanggung jawab.2

Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menerbitkan Obligasi pemerintah yang sampai saat ini masih mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para investor. Hal ini terbukti dengan selalu terjadinya oversubscribed3 setiap kali obligasi pemerintah dijual di pasar perdana. Dilihat dari sisi kepemilikannya, sebagian obligasi pemerintah saat ini ternyata lebih banyak dimiliki oleh lembaga-lembaga

2

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Bagian Umum.

3

Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan kedua, (Jakarta: CV.Karya Gemilang, 2008). Oversubscribed (emisi laris) adalah istilah pertanggungan yang menjelaskan emisi saham/obligasi baru dengan lebih banyak pembeli dari pada saham/obligasi yang tersedia. Suatu emisi yang laris atau overbooked, seringkali melonjak harganya begitu saham/obligasinya dipasarkan.


(16)

finansial dan hanya sedikit saja yang dimiliki oleh investor-investor individual.4 Hal itu tidak bisa dipungkiri karena alasan munculnya obligasi negara pada tahun 1997 itu juga dipicu oleh upaya pemerintah merekapitalisasi industri perbankan yang dalam kondisi ‘kesulitan’.5

Fenomena ini mendapat banyak tanggapan dari kalangan ekonom maupun birokrat. Ada dua kelompok pemikir yang memiliki dua pendapat yang berbeda mengenai fenomena ini. Kelompok pertama cenderung melihat hal ini sebagai suatu hal yang sangat wajar dan tidak perlu disiasati karena memang tujuan utama dari penerbitan obligasi tersebut adalah untuk mendapatkan dana segar dari investor domestik maupun internasional tanpa mempersoalkan siapa yang akan membeli obligasi tersebut.

Kelompok kedua lebih melihat kepada distribusi kepemilikan obligasi sebagai hal yang tidak kalah pentingnya dari penyerapan obligasi itu sendiri. Kelompok ini cenderung berpendapat bahwa semakin terdistribusinya kepemilikan obligasi pemerintah semakin kuat pula posisi obligasi tersebut sebagai alat ukur investasi (investment benchmark) di Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan meratanya kepemilikan obligasi oleh masyarakat menyiratkan kepedulian pemerintah dalam memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat terhadap asset-aset pemerintah. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tekanan kelompok pemikir kedua menjadi cukup

4

Adi Cahyadi, Jalur Distribusi dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail : Kasus Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasioanal, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm. 96.

5

Suli Murwani, SUN Ritel Jangan Sampai Mengecewakan,

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id= 426074&patop_id=009. Diakses tanggal 9 Februari 2009.


(17)

kuat dalam mendorong pemerintah untuk menerbitkan obligasi pemerintah dalam bentuk ritel yang pada akhirnya mengeluarkan Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan nomor seri ORI-001.6

Kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk menerbitkan ORI pada bulan Juli 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008 merupakan salah satu kebijakan moneter yang dikeluarkan dalam rangka menutupi Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak lain merupakan bentuk lain dari Surat Utang Negara (SUN)7 yang dijual secara ritel kepada publik, selain itu ORI juga merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan risiko keuangan negara di masa yang akan datang, dari pada terus-menerus mengandalkan ketergantungan bangsa akan hutang luar negeri yang terus menumpuk. Fakta yang ada saat ini menunjukkan bahwa penerbitan ORI seri ORI-001 tersebut disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat dan para pelaku bisnis di Indonesia. Target indikatif penjualan ORI seri ORI-001 sebesar Rp.2 triliun sudah tercapai dalam waktu yang sangat singkat,8 bahkan sampai dengan tanggal 7 Agustus 2006 Departemen Keuangan telah menyerap seluruh pesanan ORI seri ORI-001 senilai Rp.3,283 triliun.

Sebagian besar investor tersebut berdomisili di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yakni sekitar 62,2 persen dari total pesanan, selebihnya tersebar di Daerah

6

Adi Cahyadi, op.cit., hlm. 97. 7

Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokok oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002, Pasal 1 butir 1.

8

Agus Supriyanto, Anne L Handayani, Pemesanan Obligasi Retail Capai Rp1,9 Triliun, (Jakarta: Tempo Interaktif), Kamis, 03 Agustus 2006.


(18)

Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Sedangkan menurut data yang berasal dari Dirjen Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, dari total 17.403 pesanan investor, sebanyak 23,83 persen berasal dari golongan Pegawai Swasta. Selebihnya, sebagian investornya adalah meliputi 17,03 persen berasal dari golongan ibu rumah tangga, golangan Wiraswasta sebesar 17,08 persen, golongan Pegawai Negeri Sipil sebesar 16,21 persen, golongan TNI dan Polri sebesar 0,63 persen, dan sisanya sebesar 25,22 persen adalah investor yang berasal dari berbagai golongan profesi.9

Hal ini sesungguhnya telah merefleksikan bahwa kredibilitas pemerintah pada saat ini cukup menggembirakan, dimana masyarakat percaya sepenuhnya untuk melakukan investasi dalam bentuk obligasi tersebut. Selain itu, secara tidak langsung masyarakat juga telah ikut berperan serta dalam rangka membiayai pembangunan nasional.10

Melihat sejarahnya, penerbitan ORI sebenarnya bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena pada tahun 1950-an pemerintah pada masa Presiden Soekarno juga pernah menerbitkan ORI dengan bunga 3% per tahun. Obligasi ini juga diperdagangkan di bursa saham Jakarta, namun pembayaran obligasi ini menjadi kacau-balau karena pemerintah pada waktu itu tidak memiliki cukup uang. Harga obligasi ini juga menjadi sangat rendah sejak pemerintah melakukan kebijakan

9

Hendri Hartopo, Investor Jakarta Borong ORI-001, Penerbitan Obligasi Ritel Diupayakan Berkala, http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=50. Diakses tanggal 09 February 2009.

10


(19)

devaluasi11 atas rupiah pada tahun 1966, dimana nilai Rp. 1.000,00 dipangkas menjadi Rp. 1,00.12 oleh karena itu pengambilan keputusan oleh pemerintah untuk menerbitkan ORI pada saat ini membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Penerbitan ORI tersebut tentunya juga telah memperhatikan berbagai macam pertimbangan dan aspek-aspek terkait, baik dari aspek negatif maupun aspek positifnya. Dari sisi hukum sendiri, hal ini tentunya sangat terkait langsung dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang dijadikan sebagai payung hukum bagi para investor dan juga beberapa Peraturan Perundangan pendukung lainnya.

Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional.

Keberadaan Undang-Undang SUN dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana adalah untuk memberikan

11

Winardi, Kamus Istilah Ekonomi (Ensiklopedi Mini), (Jakarta: P.T.Bina Aksara, 1988), hlm.109. Devaluation (devaluasi) adalah menurunnya nilai mata uang suatu Negara terhadap emas dan/atau mata uang Negara lain.

12

Jasso Winarto, Analisis Pasar Modal Penerbitan ORI Bisa Gairahkan Investasi, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=150333. Diakses tgl 9 februari 2009.


(20)

kepastian hukum kepada para pemodal atas komitmen pemerintah untuk memenuhi kewajiban keuangan serta penyelenggaraan manajemen Surat Utang Negara (SUN) secara lebih transparan, profesional dan lebih bertanggung jawab. Kepastian hukum bagi dunia usaha merupakan hal yang sangat penting pada saat ini karena setiap investor pada dasarnya menginginkan keamanan dari investasi yang telah dilakukannya.

“Bagi dunia usaha yang sering menghadapi banyak tantangan dan risiko, adanya jaminan kepastian hukum amatlah penting. Adanya perangkat perundang-undangan yang jelas, transparan, ...., akan memberikan peluang bagi siapa saja anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha...” 13 Selain itu, sejak tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui kementeriannya telah melakukan beberapa penelitian dan studi banding di beberapa Negara Maju dan Berkembang lainnya, di antaranya adalah Negara Jepang, Hongkong, Filiphina dan Negara-Negara lainnya yang dianggap telah berhasil menjual Obligasi Ritel Pemerintah (Ritail Government Bond), sebagai acuan Pemerintah dalam menjual

Obligasi Negara Ritel di Indonesia.

Secara umum Surat Utang Negara digolongkan sebagai investasi bebas resiko (risk free investment). Secara khusus digolongkannya Surat Utang Negara sebagai investasi bebas resiko dikaitkan dengan keberadaan jaminan dari pihak pemerintah untuk pembayaran kembali pokok beserta bunga pada saat jatuh tempo. Meskipun merupakan jaminan dari pihak pemerintah, hal itu tidak dapat disamakan dengan

13

Dody Rudianto, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif Pembangunan Indonesia dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Golden Trayon Press, 2002), hlm. 63.


(21)

penanggung menurut KUHPerdata tetapi hanya merupakan janji/komitmen dari pemerintah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya yang berkenaan dengan Surat Utang Negara.14 Surat Utang Negara juga menjadi rujukan (benchmark) bagi instrumen surat Utang Negara lainnya yang diperdagangkan di pasar modal.15

Pemerintah menyadari bahwa keberadaan Ritel Government Bond (RGB) di Indonesia sangat mendesak, hal ini dapat dilihat dari; (i) peran surat utang Negara (SUN) sebagai instrument pembiayaan dalam kebijakan keuangan Negara yang semakin meningkat, (ii) kebutuhan untuk meningkatkan kredibilitas SUN sebagai

benchmark investasi di Indonesia melalui perluasan kepemilikan SUN di kalangan

penduduk.16

Kredibilitas pemerintah merupakan unsur yang sangat penting untuk menjadikan Obligasi Pemerintah sebagai benchmark bagi kegiatan investasi jangka panjang di Indonesia. Untuk mewujudkan benchmarking sebagaimana dimaksud tersebut antara lain diperlukan manajemen portofolio utang yang tepat, sehingga

risk-free yang melekat pada Obligasi Pemerintah dapat diakui sepenuhnya oleh para

investor.17

Terlepas dari beberapa kepentingan Pemerintah untuk menutupi Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahunnya melalui penerbitan Surat

14

Jonker Sihombing, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara, (Bandung: P.T.Alumni, 2008), hlm.8.

15

Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.118.

16

Makmun, Sigit Setiawan, Belajar dari Pengalaman Jepang dalam Menerbitkan Obligasi Retail, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkaji Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm. 32.

17


(22)

Utang Negara (SUN) yang berupa Obligasi Negara Ritel (ORI) tersebut, yang dianggap perlu dan sangat penting bagi masyarakat saat ini adalah pengetahuan mengenai pengaturan penerbitan obligasi Negara ritel dalam ketentuan hukum surat utang negera di Indonesia serta tentang kedudukan dan perlindungan hukum bagi para pemegang obligasi Negara ritel. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa besar jaminan keamanan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk Obligasi tersebut, karena tidak menutup kemungkinan kejadian gagal bayar Obligasi Negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kembali terulang.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis dengan mengangkat judul “Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI)”.


(23)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dalam ketentuan hukum surat utang negara di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)? 3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI)?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman yang benar tentang masalah yang dirumuskan. Lebih rinci tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan guna memperoleh informasi secara lebih detail mengenai pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dalam ketentuan hukum surat utang negara di Indonesia.

2. Selain dasar hukumnya, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendasar dan juga komprehensif tentunya mengenai kedudukan hukum bagi para pemegang Obligasi Negara ritel (ORI).

3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis mengenai perlindungan hukum bagi pemegang Obligasi Negara Ritel (ORI).


(24)

D. Manfaat Penelitian

Ditetapkannya permasalahan-permasalahan, maka diharapkan akan membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis, sehubungan dengan itu, penelitian ini setidaknya bermanfaat untuk:

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berpikir dalam memahami, mengerti dan mendalami permasalahan hukum, khususnya dalam hukum bisnis mengenai diterbitkannya Obligasi Negara Ritel. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan dan dapat memperkaya khazanah kepustakaan, khususnya dalam studi hukum bisnis.

2. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa digunakan oleh masyarakat agar mulai berpikir mengenai aspek legalitas dan safety dari investasi yang ditanamkan selama ini, khususnya pada obligasi-obligasi milik pemerintah seperti halnya Obligasi Negara Ritel (ORI).

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Walaupun ada beberapa kesamaan dalam membahas topik tentang obligasi, misalnya Penerapan Ketentuan Transparansi Prospektus Penjualan Obligasi PTPN III dan Prinsip Mudharabah


(25)

terhadap Obligasi dalam Pasar Modal Syariah. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ini tentunya sangat berbeda dengan penelitian yang penulis tulis dalam penelitian ini baik pada pendekatan rumusan masalah maupun pendekatan topik penelitian. Sehingga penulisan penelitian ini dapat dikatakan asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya.18

Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsur-unsur antara lain : metodologi, aktivitas penelitian imajinasi sosial dan juga sangat ditentukan oleh teori.19

Pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana dan pranata hukum agar hasilnya benar-benar dapat mencapai tujuannya sesuai dengan yang direncanakan.20

18

J.J.J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203. -Bandingkan M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: CV Mandar Maju, 1994), hal.27. Menyebutkan bahwa ”Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm. 6. 20

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: P.T. Alumni,1991), hlm.30.


(26)

Hukum dan ekonomi merupakan dua sistem dari sistem kemasyarakatan yang saling berintegrasi satu sama lainnya. Teori hukum yang berkenaan dengan pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan ajaran yang melihat adanya hubungan yang erat antara hukum dengan masyarakat. Roscue Pound Jurisprudence menyebutkan bahwa peranan hukum dalam pembangunan ekonomi adalah sebagai a tool of social

engineering.21

Pemikiran hukum sebagai a tool of social engineering selanjutnya dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai teori hukum yang sesuai dengan pembangunan di Indonesia, setelah disesuaikan dengan kondisi riil yang ada di masyarakat. Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sebenarnya telah hidup di masyarakat adat Indonesia di beberapa daerah jauh sebelumnya, hanya hal tersebut tidak pernah diangkat ke permukaan dan tidak memperoleh publikasi yang luas.22 Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses pembangunan merupakan sesuatu hal yang diinginkan dan dianggap perlu.23 Hal ini berkaitan pula dengan hukum yang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana bagi pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan masyarakat ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan tersebut. Pada umumnya, pendapat yang menyatakan bahwa hukum

21

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis, (Bandung: P.T. Alumni, 2002), hlm.14. Romli Atmasasmita menyebutkan fungsi hukum sebagai “a tool of beuraucratic and social engineering”, yang melihat fungsi hukum sebagai saran pembaharuan sekaligus dapat menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat ke dalam satu wadah. Lihat Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.19-20.

22

Ibid., hlml.79-80. 23


(27)

merupakan sarana pembaharuan dalam pembangunan nasional telah dapat diterima oleh sebagian besar kalangan di Indonesia pada saat ini. Satjipto Rahardjo menyitir kembali teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan menyebutkan bahwa hukum dapat diterima sebagai sarana pembaharuan masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa hukum dapat digolongkan sebagai faktor penggerak awal, yakni yang memberikan dorongan pertama secara sistematis ke arah pembaharuan yang dimaksud.24 Sebagai faktor penggerak awal, peranan hukum sedemikian strategis karena menjadi lokomotif yang menarik gerbong kereta bagi pembangunan di bidang-bidang lainnya.

Kepastian hukum merupakan syarat untuk melahirkan ketertiban. Untuk mencapai ketertiban hukum diperlukan adanya keterarutan dalam masyarakat. Hukum diartikan sebagai tata hukum atas hukum positif tertulis.25 Keberlakukan hukum di tengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik bagi masyarakat maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan.26

Sociological Jurisprudence: Eugen Ehrlich mengatakan, hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menunjukkan kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan

24

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm.99. 25

Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, hlm. 8.

26

Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.


(28)

terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum.27 Aktualisasi dari living law, hukum tidak dilihat dari wujud sebagai kaidah, melainkan hukum terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Pada kenyataan hukum adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books.

a. Obligasi

Perkataan Obligasi berasal dari bahasa Belanda “obligatie” yang secara harfiah berarti hutang atau kewajiban. Selain itu, obligasi masih dalam bahasa Belanda dapat berarti pula suatu hutang (schuldrief). Dalam pengertian surat hutang ini, obligasi dalam terminology hukum Belanda kerap disebut pula dengan istilah obligasi “obligatie lening”, yang berarti secarik bukti pinjaman uang yang dikeluarkan oleh suatu perseroan atau badan hukum lain yang dapat diperdagangkan dengan cara menyerahkan surat tersebut.

Obligasi merupakan salah satu jenis efek. Di Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Efek didefenisikan sebagai berikut:

”Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek.”

Dalam bahasa Inggris obligasi disebut dengan istilah ”bond”. Dalam

Dictionary of Accounting,28 bond diartikan sebagai ”a written contract evidencing a

27

Suhaidi, Op.cit., 28

Estes, Ralph, Dictionary of Accounting, MIT Press, Massachussets, USA. Dalam A. Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.2.


(29)

long term, interest-bearing loan”. Sedangkan menurut Law Dictionary,29 bond

diartikan sebagai “evidence of debt”. Selain itu dalam kamus yang sama, bond dapat berarti pula:

“Obligation of state its subdivision, or a private corporation, represented by

certificate for principal and detachable coupons for current interest; includes all interest-bearing obligations of persons, firms or corporation”.

Kedua pengertian bond di atas adalah sesuai dengan yang disebut dan dimaksud sebagai obligasi dalam penelitian ini. Di Negara-Negara Anglo-Amerika,

bond termasuk dalam pengertian securities yang kurang lebih pengertiannya sama

dengan effecten atau efek sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.

Namun demikian, hendaknya tidak terkecoh dengan istilah bond, sebab dalam bahasa Inggris, bond tidak selalu berarti obligasi seperti yang dimaksudkan di atas, tetapi dapat pula berarti ”a cash or property deposit made to guarantee

performance”, jadi bond di sini bukanlah berarti suatu surat hutang lagi melainkan

suatu “written instrument with sureties” yang dimaksudkan untuk “guaranteeing

faithful performance of acts or duties”. Bond dalam pengertian yang terakhir ini

misalnya ialah performance bond atau surety bond yang biasa digunakan sebagai jaminan atas pelaksanaan suatu pekerjaan seperti pekerjaan pemborongan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak memberikan definisi mengenai obligasi, tetapi pengertian obligasi dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan lain yang menyatakan sebagai berikut:

29

Giffis, Steven H, Law Dictionary, Barron’s Educational Series Inc, Woodbury, 1975. dalam Ibid.


(30)

“Obligasi ialah bukti hutang emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lain serta pelunasan pokok pinjamannya dilakukan pada tanggal jatuh tempo, sekurang-kurangnya 3 tahun sejak tanggal emisi”.

b. Perikatan Dasar Obligasi

Pada prinsipnya, obligasi merupakan bukti atas suatu prestasi dari penerbit kepada pemegangnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara penerbit dan pemegang obligasi terdapat suatu perikatan. Sehingga pada pihak penerbit timbul suatu kewajiban untuk melakukan suatu prestasi.30 Dalam hal ini akan muncul pertanyaan mengenai bentuk perikatan yang terjadi antara penerbit dan pemegang obligasi.

Dari uraian di atas, disinggung bahwa suatu hutang (schuld) atau suatu prestasi dapat ditimbulkan dari perikatan apa saja. Penjual mempunyai kewajiban berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian pula si peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk mengembalikan jumlah yang dipinjamnya kepada si kreditur. Di sini terlihat bahwa hutang dalam pengertian hukum sangatlah luas.

Obligasi merupakan tanda bahwa seorang turut serta dalam meminjamkan uang kepada perseroan bersama-sama lain-lain orang secara menerima tanda piutang dari perseroan.31 Dari pendapat Wirjono ini dapat dilihat bahwa hubungan antara penerbit dan pemegang obligasi adalah pinjam meminjam uang.

30

Setiadi, Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, (Bandung: P.T.Citra Aditya, 1996), hlm.7.

31

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm.70.


(31)

Penerbit meminjam uang kepada pemegang obligasi sehingga timbul kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya kepada pemegang obligasi. Atas kewajiban atau prestasinya tersebut, penerbit menerbitkan surat yang disebut surat obligasi sebagai bukti atas prestasi yang wajib dilakukannya. c. Perikatan Pinjam Meminjam Uang

Terhadap hubungan penerbit dan pemegang obligasi ini berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang pinjam meminjam pada umumnya. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan bahwa pinjam meminjam ialah:

“Persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Penafsiran ini kemudian diperkuat lagi oleh ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata yang memperbolehkan pinjam meminjam (uang) dengan bunga, yaitu sebagai berikut:

“adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian”.

Dengan demikian jelaslah bahwa dari segi yuridis perikatan dasar antara penerbit dan pemegang obligasi adalah perikatan pinjam meminjam uang atau hutang piutang. Pada perikatan obligasi, penerbit obligasi meminjamkan kepada para pemegang obligasi sejumlah uang, yaitu senilai nominal obligasi yang bersangkutan dan berjanji akan membayar sejumlah bunga serta mengembalikan uang tersebut pada saat jatuh tempo obligasi.


(32)

2. Landasan Konsepsi

Berikut ini adalah defenisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.32 b. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara

untuk pertama kali.33

c. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.34

d. Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjualan.35

e. Agen Penjual adalah bank dan atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan Penjualan Obligasi Negara Ritel.36

f. Pihak adalah individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang akan membeli Obligasi Negara Ritel.37

32

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pasal 1 butir (1). 33

Ibid., butir (2). 34

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana, Pasal 1 butir (1).

35

Ibid, Pasal 1 butir (4). 36

Ibid, butir (5). 37


(33)

g. Penjatahan adalah penetapan alokasi Obligasi Negara Ritel yang diperoleh setiap pemesan sesuai dengan hasil penjualan Obligasi Negara Ritel.38

G. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.39 Soerjono Soekanto mengatakan menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan

3. Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur40

Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dari asal kata Methodos yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.41

Pengumpulan data dengan cara deskriptif dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

38

Ibid, butir (9). 39

Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.4.

40

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.5. 41

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penellitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),


(34)

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, di mana jenis penelitian yang bertujuan melukiskan permasalahan hukum42 yaitu penelitian ini hanya menggambarkan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.43

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.44 Dari sudut informasi, maka bahan pustaka dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut:45

a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu Undang-Undang No.24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

42

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16. 43

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.17.

44

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.122.

45

Soejono Soekanto dan Sri Manjui, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.


(35)

b. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan karya ilmiah lainnya.

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen. Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan.


(36)

5. Analisis Data

Analisis merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, maka dilakukan pengklasifikasian data, kemudian data disusun secara sistematis untuk mempermudah proses analisa. Analisa data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Menurut Lexy J. Moleong, analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.46

46

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.248.


(37)

BAB II

PENGATURAN PENERBITAN OBLIGASI NEGARA RITEL (ORI) DALAM KETENTUAN SURAT UTANG NEGARA

A. Pengaturan Penerbitan Obligasi Negara Ritel

Pada tanggal 9 Agustus 2006, untuk pertama kalinya Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara berbasis ritel, atau disebut sebagai Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan seri ORI-001. ORI adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual di pasar perdana. Penerbitan ORI-001 merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2005 – 2009 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Di dalam dokumen strategi dimaksud ditetapkan bahwa pengembangan pasar sekunder SUN dilakukan antara lain dengan melakukan diversifikasi instrumen SUN melalui SUN Ritel yang mana hal ini sejalan pula dengan upaya memperluas basis investor. Penerbitan ORI merupakan langkah nyata Pemerintah dalam melaksanakan strategi dimaksud. Selain itu, ORI diterbitkan juga dalam rangka memberikan alternatif investasi yang cukup menguntungkan dan aman bagi investor individu, serta memberikan unsur pendidikan bagi investor individu untuk berinvestasi pada instrumen pasar modal seperti ORI. Selama ini investor individu umumnya menyimpan dananya pada instrumen investasi berupa tabungan atau deposito yang notabene instrumen pasar uang. Terlebih dengan belum pulihnya kepercayaan masyarakat umum pada industri reksadana. ORI001


(38)

jatuh tempo pada tanggal 9 Agustus 2009 atau memiliki umur 3 tahun, tingkat kuponnya 12,05% yang dibayar bulanan, dan dapat diperjualbelikan.47

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara

Untuk menjamin keberadaan Obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN), maka sejak tanggal 22 Oktober 2002 Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara. Pengesahan Undang-Undang tersebut menjadi hal yang sangat penting dan paling dinanti oleh para investor, baik oleh investor asing maupun investor domestik. Dasar pertimbangan Pemerintah pada saat menyusun dan mengesahkan undang-undang tersebut adalah dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dalam konteks kemandirian bangsa, potensi yang tersedia di dalam negeri harus dioptimalkan untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dan membiayai kegiatan pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah perlu diberikan peluang untuk meningkatkan akses yang dapat menggali potensi sumber pembiayaan pembangunan dan memperkuat basis pemodal domestik. Pembiayaan tersebut akan terjamin keamanannya apabila mobilisasi dana masyarakat disertai dengan

47

Laporan Pertanggung Jawaban Pengelolaan Surat Utang Negara Tahun 2006, Disampaikan sebagai bagian pertanggung jawaban pelaksanaan APBN Tahun 2006, hlm. 13-14.


(39)

bekerjanya sistem keuangan, meliputi sistem perbankan, pasar uang dan pasar modal, yang efisien. Terciptanya keragaman dalam mobilisasi dana dapat menghasilkan sistem keuangan yang kuat dan memberikan alternatif bagi para pemodal (investor).

Dalam kegiatan di pasar keuangan, peranan pasar SUN sangat strategis. Artinya, tingkat keuntungan (yield) dari SUN, sebagai instrumen keuangan yang bebas resiko, dipergunakan oleh para pelaku pasar sebagai acuan atau referensi dalam menentukan tingkat keuntungan suatu investasi atau aset keuangan lain. Dengan demikian, penerbitan SUN secara teratur dan terencana diperlukan untuk membentuk suatu tolak ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kewajaran suatu harga aset keuangan atau surat berharga.

Adanya pasar keuangan yang efisien akan memberikan beberapa manfaat, antara lain:48

a. Memberikan peluang dan partisipasi yang lebih besar kepada pemodal untuk melakukan diversifikasi portofolio investasinya.

b. Membantu terciptanya suatu tata kelola yang baik (good governance) dikarenakan adanya tingkat transparansi informasi keuangan yang tinggi dalam pasar modal, dan

c. Membantu terwujudnya suatu sistem keuangan yang stabil karena berkurangnya resiko sistemik (sytemic risk) akibat menurunnya ketergantungan pada modal yang berasal dari sistem perbankan.

48

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Bagian Umum.


(40)

Dari sisi mobilisasi dana masyarakat melalui mekanisme APBN, penggunaan SUN secara potensial dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Di samping itu, pengelolaan SUN secara baik dan benar dapat mengurangi kerugian negara yang ditimbulkan oleh berbagai resiko keuangan dalam portofolio utang negara. Melalui mekanisme APBN, maka dengan sendirinya akan terselenggara sistem pengawasan langsung oleh publik.49

Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan Pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional. Bertitik tolak dari pemikiran di atas maka diperlukan pasar SUN yang aktif dan likuid, baik di pasar perdana maupun di pasar sekunder. Dalam rangka mewujudkan pasar tersebut diperlukan langkah-langkah strategis untuk membangun infrastruktur, antara lain sistem penerbitan di pasar perdana, sistem perdagangan di pasar sekunder, sistem registrasi, kliring dan setelmen yang efisien, serta kerangka regulasi yang transparan dan adil. Prasyarat terpenting bagi terciptanya SUN adalah adanya kepercayaan pasar terhadap SUN yang diterbitkan oleh Pemerintah. Untuk itu, melalui Undang-Undang Nomor

49 Ibid.,


(41)

24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Pemerintah mengatur hal-hal sebagai berikut:50

a. Transparansi pengelolaan SUN dalam kerangka kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan pasar SUN dengan mengatur lebih lanjut tentang tujuan penerbitan SUN.

b. Kewenangan pemerintah untuk menerbitkan SUN yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan, misalnya dalam menentukan persyaratan dan ketentuan (term

and conditions) SUN.

c. Kewenangan pemerintah untuk membayar semua kewajiban yang timbul dari penerbitan SUN tersebut secara penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut.

d. Landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan mekanisme penerbitan SUN di pasar perdana maupun perdagangan SUN di pasar sekunder agar pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan memperdagangkan SUN secara mudah dan aman.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana

Selain Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN) yang dijadikan sebagai payung hukum oleh para investor, khusus mengenai Obligasi Negara Ritel, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengeluarkan

50 Ibid.,


(42)

keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana, yang ditetapkan pada tanggal 16 Mei 2006.

Dalam rangka pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang SUN, Menteri Keuangan dapat melakukan penjualan SUN melalui lelang dan/atau tanpa lelang. Penjualan SUN tanpa lelang dapat dilaksanakan dengan melakukan penjualan Obligasi Negara Ritel kepada masyarakat melalui agen penjual. Penerbitan Obligasi Negara Ritel akan memperluas basis SUN di masyarakat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka dirasakan cukup penting bagi Menteri Keuangan untuk mengeluarkan Peraturan tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana sebagaimana tertuang melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.

Pihak ketiga yang sangat membantu pemasaran Obligasi Negara Ritel sebagaimana telah disebutkan di atas adalah agen penjual. Oleh karena itu dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana telah diatur secara khusus mengenai penunjukan agen penjual yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Penyampaian surat permintaan proposal (request for proposal) kepada Bank dan/atau Perusahaan Efek yang memiliki reputasi dan telah menunjukkan minatnya untuk menjadi Agen Penjual Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. b. Penerimaan dan penelitian dokumen proposal dari calon Agen Penjual.


(43)

d. Presentasi dari calon Agen Penjual. e. Pemeringkatan Agen Penjual f. Penunjukan Agen Penjual

Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana, disebutkan bahwa untuk dapat ditunjuk menjadi Agen Penjual, Calon Agen Penjual harus:

a. Menyampaikan proposal dan dokumen pendukungnya b. Memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan, dan c. Lulus seleksi yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi

Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b di atas, sekurang-kurangnya meliputi:

a. Memiliki kantor cabang minimal pada 5 (lima) kota di Indonesia.

b. Memiliki rencana kerja, strategis, dan metodologi penjualan obligasi ritel

c. Memiliki anggota tim yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman melakukan penjualan produk keuangan secara ritel.

d. Memiliki dukungan teknologi sistem informasi yang terintegrasi ke kantor cabang.

Selain pengaturan mengenai Agen Penjual, dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana juga diatur mengenai dokumen, ketentuan penjualan Obligasi Negara Ritel, Perjanjian Kerja antara Pemerintah dan Agen Penjual, penetapan hasil penjualan dan


(44)

penjatahan, setelmen serta biaya penjualan yang timbul dalam rangka pelaksanaan penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.

Pengaturan penerbitan Obligasi Negara Ritel sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN, pemerintah menjamin pembayaran bunga dan pokok surat utang negara pada saat jatuh temponya. Adanya jaminan dari pihak pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik bagi investor agar berinvestasi pada surat utang negara. Dengan adanya UU SUN tersebut, maka pemegang obligasi tidak perlu khawatir terjadi risiko gagal bayar (default risk). Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2002 tentang SUN dan Pasal 8 ayat (2), pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo.

Selain itu, teori Perjanjian (Overeenkomst Theorie) oleh Thol sangat tepat untuk menjelaskan dasar hukum yang mengikat antara pemerintah dengan investor (pemegang obligasi). Teori ini menyatakan bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dua pihak, yaitu penerbit yang menandatangani dan pemegang pertama yang menerima surat berharga itu. Mengenai hal bahwa jika pemegang pertama mengalihkan surat itu kepada pemegang berikutnya maka penerbit tetap terikat di dalam perjanjian.51

51

Joni Emirzon, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Prenhallindo, 2002), hlm.47.


(45)

Untuk kepentingan umum, surat utang negara harus selalu mencantumkan informasi yang material dan penting bagi calon investor, yakni:52

a. Kupon: pendapatan tingkat suku bunga yang dibayarkan secara berkala oleh pemerintah kepada para pemegang obligasi.

b. Prinsipal/Nilai Nominal: sejumlah nilai pokok yang akan dibayar pemerintah kepada investor pada saat jatuh tempo.

c. Jatuh Tempo: periode akhir dari masa obligasi tersebut, di mana akan dilakukan pelunasan pokok/nominal obligasi.

d. Tanggal Pembayaran Bunga: jadwal pembayaran kupon kepada pemegang obligasi yang waktu pembayarnnya telah disepakati sebelumnya.

e. Perhitungan Pembayaran Bunga: metode perhitungan pembayaran bunga yang cukup terperinci dan dipahami secara jelas oleh investor.

f. Hak Membeli Kembali (buy back): pihak pemerintah mempunyai hak untuk membeli kembali obligasi tersebut walaupun belum masuk periode jatuh tempo. Tentunya diperhitungkan pula berbagai biaya yang timbul.

g. Pengalihan Kepemilikan: prosedur pengalihan kepemilikan surat utang negara diatur tata caranya secara resmi dan jelas apabila berpindah nama pemiliknya.

Dalam UU SUN Pasal 20 sudah diatur mengenai peralihan, selain itu dalam Pasal 11 huruf h juga menyebutkan ketentuan tentang pengalihan kepemilikan. Dengan demikian obligasi negara ritel dapat dialihkan kepada orang lain.

52

Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, Cetakan kedua, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.119.


(46)

B. Karakteristik Obligasi

Obligasi adalah surat tanda bukti bahwa investor pemegang obligasi memberikan pinjaman utang bagi emiten penerbit obligasi. Oleh karena itu, emiten obligasi akan memberikan kompensasi bagi investor pemegang obligasi, berupa kupon yang dibayarkan secara periodik terhadap investor. Dengan demikian, obligasi bisa dikatakan sebagai salah satu instrumen pasar modal yang memberikan pendapatan tetap (fixed income securities) bagi pemegangnya. Sebagai sekuritas pendapatan tetap, obligasi memberikan penghasilan secara rutin. Obligasi memiliki karakteristik sebagaimana karakteristik sekuritas pendapatan tetap (fixed income

securities) lainnya,53 yaitu: (1) surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum, (2) memiliki jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo, (3) memberikan pendapatan tetap secara periodik, (4) ada nilai nominal. Penerbit (emiten) obligasi berkewajiban untuk membayarkan bunga dalam jumlah tertentu secara periodik selama obligasi belum jatuh tempo, dan juga melakukan pembayaran kembali nilai prinsipal obligasi tersebut pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan.54

Secara umum obligasi merupakan produk pengembangan dari surat utang jangka panjang. Prinsip utang jangka panjang dapat dicerminkan dari karakteristik atau struktur yang melekat pada sebuah obligasi. Pihak penerbit obligasi pada dasarnya melakukan pinjaman kepada pembeli obligasi yang diterbitkannya.

53

Eduardus Tandelilin, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama, (Yogyakarta: BPFE, 2001), hlm.135. Lihat juga dalam Dyah Ratih Sulistyastuti, Saham dan Obligasi, Ringkasan Teori dan Soal Jawab, (Yogyakarta: UAJY, 2002), hlm.51.

54

Robbert Ang, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Mediasoft Indonesia, 1997), hlm.82.


(47)

Pendapatan yang didapatkan oleh investor obligasi tersebut berbentuk tingkat suku bunga atau kupon. Selain aturan tersebut telah diatur pula perjanjian untuk melindungi kepentingan penerbit dan kepentingan investor obligasi tersebut.55 Setiap obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah adalah obligasi tanpa jaminan (non-secured

bond). Di Indonesia saat ini hanya obligasi Bank Indonesia yang dipasarkan di pasar

internasional yang dimaksudkan untuk benchmark bagi obligasi BUMN dan perusahaan swasta nasional.56

Adapun karakteristik umum yang tercantum pada sebuah obligasi yaitu meliputi:57

1. Nilai Penerbitan Obligasi (jumlah pinjaman dana)

Dalam penerbitan obligasi maka pihak emiten akan dengan jelas menyatakan berapa jumlah dana yang dibutuhkan melalui penjualan obligasi. Istilah yang ada yaitu dikenal dengan ”jumlah emisi obligasi”. Apabila perusahaan membutuhkan dana Rp. 400 Milyar maka dengan jumlah yang sama akan diterbitkan obligasi senilai dana tersebut. Penentuan besar kecilnya jumlah penerbitan obligasi berdasarkan kemampuan aliran kas perusahaan serta kinerja bisnisnya.

2. Jangka Waktu Obligasi

Setiap obligasi mempunyai jangka waktu jatuh tempo (maturity). Masa jatuh tempo obligasi kebanyakan berjangka waktu 5 (lima) tahun. Untuk obligasi

55

Sapto Rahardjo, Op.cit., hlm.8. 56

Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm.186.

57


(48)

pemerintah bisa berjangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun sampai 10 (sepuluh) tahun. Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan semakin diminati oleh investor karena dianggap risikonya semakin kecil. Pada saat jatuh tempo pihak penerbit obligasi berkewajiban melunasi pembayaran pokok obligasi tersebut. 3. Tingkat Suku Bunga

Untuk menarik investor membeli obligasi tersebut maka diberikan insentif berbentuk tingkat suku bunga yang menarik misalnya 17%, 18% per tahunnya. Penentuan tingkat suku bunga biasanya ditentukan dengan membandingkan tingkat suku bunga perbankan pada umumnya. Istilah tingkat suku bunga obligasi biasanya dikenal dengan nama kupon obligasi. Jenis kupon bisa berbentuk fixed

rate dan variable rate untuk alternatif pilihan bagi investor.

4. Jadwal Pembayaran Suku Bunga

Kewajiban pembayaran kupon (tingkat suku bunga obligasi) dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan sebelumnya, bisa dilakukan triwulanan atau semesteran. Ketepatan waktu pembayaran kupon merupakan aspek penting dalam menjaga reputasi penerbit obligasi.

5. Jaminan

Obligasi yang memberikan jaminan berbentuk aset perusahaan akan lebih mempunyai daya tarik bagi calon pembeli obligasi tersebut. Di dalam penerbitan obligasi sendiri kewajiban penyediaan jaminan tidak harus mutlak. Apabila memberikan jaminan berbentuk aset perusahaan ataupun tagihan piutang perusahaan dapat menjadi alternatif yang menarik investor.


(49)

Instrumen investasi untuk obligasi terdiri dari obligasi pemerintah dan obligasi swasta. Obligasi pemerintah (ORI) mempunyai karakteristik tersendiri yaitu hanya bisa dibeli individu walaupun setelah dilakukan lelang, kenyataannya kebanyakan ORI itu dimiliki oleh lembaga keuangan, milik pemerintah dan swasta. Sebenarnya pemerintah dapat mengubah kebijakan pengeluaran obligasi tersebut agar masyarakat dapat menikmati keuntungan sekaligus melakukan pengendalian terhadap keuangan pemerintah. Hal itu juga memperbaiki sistem keuangan dan menjalankan peranannya sebagai intermediary perbankan di Indonesia.58

Kehadiran obligasi pemerintah merupakan bentuk instrumen utang pemerintah untuk menyerap dana yang ada di pasar domestik. Hal ini merupakan strategi pemerintah guna menutupi defisit anggaran negara.59 Obligasi di Indonesia diterbitkan oleh pemerintah, perusahaan milik pemerintah dan perusahaan swasta. Kupon obligasi secara umum dibayarkan setiap tiga bulan baik kupon yang tetap maupun yang mengambang. Investor di Indonesia lebih menyukai obligasi pemerintah dibandingkan dengan obligasi perusahaan swasta karena resikonya sangat kecil. Kecilnya resiko yang dimaksud yaitu resiko gagal bayar, sedangkan resiko tingkat bunga, resiko valuta asing masih tetap dimiliki oleh obligasi pemerintah tersebut. Bila obligasi perusahaan swasta dibandingkan dengan obligasi perusahaan pemerintah yang dikenal dengan BUMN maka obligasi yang dikeluarkan BUMN

58

Adler Haymans Manurung, Pengelolaan Portofolio Obligasi, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007), hlm.8.

59


(50)

lebih diminati oleh investor. Seringkali terjadi bahwa obligasi BUMN mencapai

oversubcribe (emisi laris) jauh lebih tinggi dari obligasi perusahaan swasta.60

Adapun karakteristik Obligasi Negara Ritel di Indonesia adalah:61 1. Umum

a. Dasar Hukum

1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara.

2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 Tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana.

b. Bentuk ORI yang diterbitkan, bentuk ORI adalah tanpa warkat yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder.

c. Nominal ORI, ORI diterbitkan dengan nilai nominal per unit sebesar Rp.1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah).

d. Batasan pemesanan pembelian ORI di pasar perdana, pemesanan pembelian ORI minimum 5 (lima) unit dan dengan kelipatan 5 (lima) unit.

e. Jumlah indikatif ORI yang ditawarkan, jumlah indikatif ORI yang ditawarkan adalah Rp.2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) atau 2.000.000,00 (dua juta) unit.

f. Agen Penjual, Perusahaan Efek: PT Danareksa Sekuritas; PT Trimegah Sekuritas, Tbk; PT Valbury Asia Sekuritas; Bank umum: Citibank N.A.; PT Bank Bukopin;

60

Adler Haymans Manurung, Dasar-Dasar Investasi Obligasi, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm.11.

61


(51)

PT Bank Danamon, Tbk; PT Bank Mandiri (Persero), Tbk; PT Bank Mega, Tbk; PT Bank NISP, Tbk; PT Bank Panin, Tbk; PT Bank Permata, Tbk.

2. Kupon ORI

Kupon per unit adalah sebesar 12,05% (dua belas koma nol lima per seratus) per tahun yang dibayar setiap bulan. Kupon per unit yang dibayar setiap bulan adalah sebesar Rp.10.042,00 (sepuluh ribu empat puluh dua rupiah), berasal dari Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) x 12,05% x 1/12. Pembayaran kupon pertama kali dilakukan pada tanggal 9 September 2006. pembayaran kupon kedua dan seterusnya dilakukan setiap tanggal 9, setiap bulan dan pembayaran terakhir dilakukan tanggal 9 Agustus 2009. Jumlah hari kupon (day count) untuk perhitungan kupon berjalan (accured interest) menggunakan basis jumlah hari kupon sebenarnya (actual per

actual). Pembayaran kupon dilaksanakan di Indonesia dan akan dibayarkan kepada

pemilik ORI yang tercatat pada tanggal pencatatan kepemilikan (record date) dengan mengkredit rekening dana pemilik ORI. Apabila pembayaran kupon bertepatan dengan hari dimana operasional sistem pembayaran tidak diselenggarakan oleh Bank Indonesia, maka pembayaran akan dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa kompensasi bunga.

3. Biaya dan Perpajakan

a. Biaya pemesanan ORI di pasar perdana adalah biaya materi Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) untuk membuka rekening tabungan pada bank, biaya


(52)

materai Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) untuk membuka rekening surat berharga pada subregistry atau melalui partisipan/nasabah subregistry yang ditunjuk dan biaya transfer dana untuk menampung dana pemesanan ORI. Masing-masing agen penjual dapat membebaskan sebagian atau seluruh komponen biaya pemesanan sebagaimana tersebut di atas dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabahnya. Masing-masing agen penjual dilarang untuk membebankan biaya pemesanan di luar ketiga komponen biaya tersebut dalam rangka pemesanan ORI di pasar perdana. Pada dasarnya investor dapat membuka rekening dana di bank umum dan rekening Surat Berharga di subregistry atau partisipan/nasabah subregistry yang dikehendaki. Namun mengingat pemesanan ORI dilakukan melalui agen penjual yang telah menjalin kerjasama dengan bank umum dan subregistry tertentu maka dalam rangka efisiensi biaya, pembukaan rekening dana dan surat berharga sebaiknya dilakukan melalui bank umum dan subregistry yang telah bekerjasama dengan agen penjual. Apabila investor membuka rekening surat berharga di Perusahaan Efek atau Bank Kustodian yang merupakan partisipan/nasabah subregistry, maka rekening surat berharga investor merupakan sub rekening dari partisipan/nasabah registry. Dalam rangka membantu pemerintah untuk memasarkan ORI kepada investor, masing-masing agen penjual akan memperoleh komisi (fee) atas hasil pemesanan yang dimenangkan oleh Pemerintah.


(53)

b. Biaya penyimpanan dan transfer kupon/pokok ORI

Biaya penyimpanan dari rekening surat berharga umumnya dikenakan untuk periode satu tahun dan besarannya disesuaikan dengan kebijakan masing-masing subregistry atau partisipan/nasabah subregistry. Besaran biaya transfer kupon dan pokok ORI disesuaikan dengan kebijakan masing-masing

subregistry atau partisipan/nasabah subregistry. Masing-masing subregistry

atau partisipan/nasabah subregistry dapat membebaskan biaya penyimpanan dari rekening surat berharga dan/atau biaya transfer kupon dan pokok dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabahnya.

c. Biaya transaksi di pasar sekunder

Biaya transaksi ORI di pasar sekunder dapat berbeda-beda baik dengan mekanisme Bursa Efek maupun transaksi di luar Bursa Efek (over the

counter). Biaya transaksi di pasar sekunder antara lain berupa biaya transfer

surat berharga/dana dan biaya perantara pedagang. d. Biaya perpajakan

Berlaku peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

4. Pelunasan Pokok ORI

Pelunasan pokok ORI dilakukan tanggal 9 Agustus 2009 sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap unit ORI yang dimiliki oleh pemilik ORI yang namanya tercatat dalam registry pada tanggal pencatatan kepemilikan (record


(54)

kepada pemilik ORI yang tercatat pada tanggal pencatatan kepemilikan (record

date) dengan mengkredit rekening dana pemilik ORI. Apabila pembayaran ORI

tidak diselenggarakan oleh Bank Indonesia, maka pembayarannya akan dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa kompensasi bunga.

5. Pembelian Kembali (buy back)

Pemerintah dapat membeli kembali ORI sebelum jatuh tempo pada harga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga pasar di pasar sekunder (secondary market). Program buy back obligasi dilakukan untuk mengurangi eksposur jumlah obligasi yang beredar di pasar atau di tangan investor. Dengan melakukan pembelian kembali obligasi yang sudah diterbitkan, berarti pihak pemerintah mempunyai dana lebih dari sisa usaha yang dilakukan untuk membeli kembali obligasi sebelum jatuh tempo. Pemerintah yang melakukan buy back akan menghemat biaya bunga dan bisa mendapatkan untung bila harga obligasi di pasar sedang mengalami penurunan.

1. Obligasi Sebagai Surat Berharga

Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan utang pada atau peminjam uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah


(55)

ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya. Dalam defenisi tersebut dapat dirinci unsur-unsur utama obligasi sebagai berikut:62

a. Surat berharga, ini berarti pada obligasi itu tertulis sejumlah uang yang menjadi hak pemegang, hak tersebut dibuktikan dengan menguasai obligasi itu, dan obligasi itu dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.

b. Tanda pengakuan utang, ini berarti sama dengan aspek yang diatur dalam KUHD, setiap pemegang yang menunjukkan obligasi pada tanggal yang telah ditetapkan berhak menerima sejumlah uang seperti yang tertulis pada obligasi dan sejumlah bunga yang diperjanjikan penerbitnya.

c. Bentuk tertentu, artinya memenuhi syarat-syarat formal seperti yang diatur oleh Undang-undang (KUHD).

d. Jangka waktu tertentu, ini menunjukkan bahwa obligasi merupakan surat kredit, yang hanya dapat dilunasi setelah jangka waktu yang ditetapkan berakhir.

e. Penerbit, setiap penerbit obligasi adalah badan hukum, yaitu perseroan terbatas yang bergerak di bidang usaha perbankan, lembaga keuangan non bank, atau usaha pembangunan vital.

Dalam literatur-literatur63 diketahui bahwa agar suatu surat dapat digolongkan sebagai surat berharga (waarde papier) harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

62

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat Berharga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 264.

63

Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, (Yogyakarta: FH. Universitas Gadjah Mada, 1982), hlm.27.


(56)

a. Berbentuk suatu akta atau surat64

Akta atau surat dalam hukum perdata mempunyai peranan yang esensial. Akta atau surat merupakan salah satu alat bukti. Akta atau surat merupakan alat bukti utama dalam hukum perdata, yaitu sebagai alat bukti tertulis.65 Dalam kaitannya dengan suatu perikatan, akta atau surat mempunyai fungsi sebagai alat bukti adanya suatu perikatan terutama adanya suatu hak. Dalam surat berharga, akta atau surat ini tidak hanya semata-mata sebagai suatu alat bukti, tetapi juga mempunyai fungsi mempermudah penagih hutang menuntut haknya terhadap penghutang di luar proses. Dengan kata lain, surat berharga adalah suatu surat legitimasi yang menunjuk pemegangnya sebagai orang yang berhak, khususnya di luar suatu proses.66

b. Dapat diperdagangkan

Surat berharga mempunyai sifat khusus yaitu bahwa dibuat untuk dapat diperdagangkan atau diperalihkan. Oleh karena itulah untuk memudahkan perdagangannya, surat berharga dibuat bersifat atas unjuk (aan toonder) atau atas pengganti (aan order).67 Dengan adanya klausula-klausula tersebut pada surat berharga, menjadikan bahwa surat berharga yang bersangkutan dapat dengan mudah diperalihkan kepada orang lain.68

64

Ibid.,hlm.28. 65

Pasal 1866 KUHPerdata di mana bukti tertulis ditempatkan pada posisi utama. 66

Emmy Pangaribuan, Op.cit,.hlm.19. 67

Selain dibuat atas unjuk (aan toonder) atau atas pengganti (aan order), surat berharga mungkin juga dibuat atas nama (op naam) meskipun hal ini jarang sekali, kecuali biasanya pada saham dan beberapa surat berharga lainnya. Dalam Emmy Pangaribuan

68

Mengenai sifat mudah diperalihkannya surat-surat berharga yang bersifat atas unjuk (aan toonder) maupun atau pengganti (aan order) lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 613 KUHPerdata.


(57)

c. Diterbitkan berdasarkan suatu perikatan dasar tertentu

Surat berharga harus diterbitkan atas dasar suatu perikatan yang disebut sebagai perikatan dasar (onderliggende rechtsverhoudingen). Adanya perikatan dasar merupakan unsur yang mutlak harus dipenuhi agar suatu surat dapat disebut surat berharga. Meskipun suatu surat berharga bersifat dapat diperdagangkan, tetapi apabila unsur adanya perikatan dasar, tidak terpenuhi, maka surat berharga tersebut tidak dapat dikatakan sebagai surat berharga menurut pengertian hukum.69

Perikatan dasar (onderliggende rechtsverhoudingen) merupakan kuasa dari diterbitkannya surat berharga tersebut. Perikatan dasar merupakan perikatan yang melatar belakangi penerbitan surat berharga. Perikatan ini dapat berupa perikatan apa saja, yang penting adalah perikatan tersebut melahirkan suatu kewajiban berprestasi, terutama prestasi pembayaran sejumlah uang. Penerbitan surat berharga yang tidak didasarkan pada suatu kewajiban (prestasi) dari penerbit, tidak dapat dikatakan sebagai ”surat berharga”.

d. Mempunyai nilai sebesar nilai perikatannya

Surat berharga selalu mempunyai nilai sebesar nilai perikatan dasarnya.70 Artinya nilai dari surat berharga adalah sama dengan nilai perikatan dasar yang melandasi penerbitan surat berharga tersebut. Obligasi diterbitkan sebagai bukti hutang (evidence of debt) yang dibuat oleh penerbitnya (emitennya). Obligasi diterbitkan dalam bentuk khusus dan tertulis. Dalam hal ini berarti obligasi memenuhi

69

Zevebergen, dalam Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Ibid., 70


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Fachry , Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam

Mempertahankan Independensi, Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usahbba Indonesia, 2003

Ang, Robbert, Buku Pintar Pasar Modal Indonesia, Jakarta: Mediasoft Indonesia, 1997

Anoraga, Panji, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994

Basri, Yuswar Zainul dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan

Utang Luar Negeri, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005

Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 1982), hlm.65.

Cahyadi, Adi, Jalur Distribusi dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail: Kasus Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengakajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Jakarta: Bapekki, 2004

Cahyana, Jaka E., Langkah taktis Metodis Berinvestasi di Obligasi, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2004

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999

Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1996

Elijana, Proses Mengajukan Permohonan Pailit terhadap Guarantor dan Holding Company, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2001

Gautama, Sudargo, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 1975

Harahap, M.Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2, Bandung: P.T Alumni, 1986


(2)

Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: P.T.Alumni, 1991

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia

Publishing, 2005

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia

Modern, Bandung: Refika Aditama, 2004

Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004

Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: CV.Karya Gemilang, 2008

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997 Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan

Karya Tulis, Bandung: P.T.Alumni, 2002

Lubis, Ade Fatma, Pasar Modal, Jakarta: FEUI, 2008

Manurung, Adler Haymans, Dasar-Dasar Investasi Obligasi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006

---, Pengelolaan Portofolio Obligasi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan kedua, Yogyakarta: Liberty, 2001

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2006

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan kedua, Edisi revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002

---, Hukum Dagang tentang Surat Berharga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003


(3)

---, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004

Nasarudin, Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007

Nasution, Bismar dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980

Rahardjo, Sapto, Panduan Investasi Obligasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003

---, Sapto, Panduan Investasi Obligasi, Cetakan kedua, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004

Retnadi, Djoko, dkk, Obligasi Rekapitulasi Perbankan, Geneologi, Masalah dan

Solusi, Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005

Rudianto, Dody, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif

Pembangunan Indonesia dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Golden

Trayon Press, 2002

Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, cetakan ke-2, Bandung: PT. Alumni 1999

Setiadi, A., Obligasi dalam Perspektif Hukum Indonesia, Bandung: P.T.Citra Aditya, 1996

Setiawan, I Ketut Oka, Lembaga Keagenan dalam Perdagangan dan Pengaturannya

di Indonesia, Jakarta: Ind Hill Co, 1996

Sigit Setiawan, Makmun, Belajar dari Pengalaman Jepang dalam Menerbitkan

Obligasi Retail, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkaji Ekonomi

Keuangan dan Kerjasama Internasional, Jakarta: Bapekki, 2004

---, Pengelolaan utang Negara dan Pemulihan Ekonomi, Edisi Khusus, Departemen Keuangan, Republik Indonesia, Jakarta: Badan


(4)

Sihombing, Jonker, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara di Pasar Modal, Bandung: P.T.Alumni, 2008

Siregar, Muchtarudin, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di

Indonesia, Jakarta: FEUI, 1991

Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995 ---, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-19, Jakarta: Intermasa, 2002

Subiyantoro, Heru dan Singgig Riphat, Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan

Implementasi, Jakarta: Kompas, 2004

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982

... dan Sri Manjui, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU

Sulistyastuti, Dyah Ratih, Saham dan Obligasi, Ringkasan Teori dan Soal Jawab, Yogyakarta: UAJY, 2002

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Gramedia, 1997

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman Berkelanjutan, Medan: pustaka bangsa Press, 2003

Tandelilin, Eduardus, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE, 2001

Pangaribuan, Emmy, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Yogyakarta: FH. Universitas Gadjah Mada, 1982

Widjaja, Gunawan dan Jono, Penerbitan Obligasi dan Peran Serta Tanggung Jawab

Wali Amanat dalam Pasar Modal, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006


(5)

Wuisman, J.J.J.M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta: FE UI, 1996

Surat Kabar/Majalah/Makalah dan Jurnal

Agus Supriyanto, Anne L Handayani, Pemesanan Obligasi Retail Capai Rp. 1,9

Triliun, Jakarta: Tempo Interaktif, Kamis, 03 Agustus 2006

Cetak Biru Pembangunan Bidang Ekonomi, Bab IX, hlm.XI-44.

Keith Griffin dan John Enos dalam makalah Umar Juoro, Pertumbuhan Ekonomi,

Investasi dan Pinjaman Luar Negeri.

Memorandum Informasi Obligasi Negara Republik Indonesia, Seri ORI-001, Bab IV, Jakarta: Departemen Keuangan, 2006

Soepraptomo, Heru, Segi-segi Hukum Obligasi, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23, No. 1, Tahun 2004,hlm.46.

Siaran Pers, Biro Hubungan Masyarakat (Humas), Departemen Keuangan Republik Indonesia, Nomor 35/HMS/2006, 27 Juli 2006.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 Tentang Penjualan Obligasi

Negara Ritel di Pasar Perdana

PP No.23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan

APBD, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Surat Menteri Keuangan ke Direksi Bursa Efek Surabaya No. S-20/KMK.017/2001 Tanggal 19 Januari 2001


(6)

Situs Internet

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORT AL30&pared_id=426074&patop_id=009

http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=50

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=150333 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21664&cl=Kolom www.anggaran.depkeu.go.id

www.depkeu.go.id,

www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/tables.html. www.dmo.or.id.