Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA

DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

TESIS

Oleh

ALLAN HENRY BASKARA HARAHAP 077005095/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA

DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALLAN HENRY BASKARA HARAHAP 077005095/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

Nama Mahasiswa : Allan Henry Baskara Harahap Nomor Pokok : 077005095

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Dengan banyaknya kegiatan transaksi bisnis internasional yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, maka semakin banyak pula kemungkinan terjadi sengketa bisnis internasional. Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan). Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, oleh karenanya penyelesaian sengketa secara litigasi tidak lagi menjadi pilihan utama dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya, oleh karenanya diambil suatu cara sebagai alternatif terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).

Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan hasil kesimpulan penelitian ini digunakan dengan metode kuantitatif

Hasil analisis penelitian, disimpulkan bahwa, ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Pada umumnya metode ADR sebagai berikut: Negosiasi, Arbitrase, Mediasi,

Konsiliasi. Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang

adalah arbitrase. Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Karena putusan arbitrase bersifat ”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan, namun tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang melibatkan Pengadilan. Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang dapat membatalkan dan menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase internasional. Terhadap hal tersebut penulis ingin meneliti lebih jauh tentang sejauh mana analisis hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.

Kata Kunci : Transaksi bisnis internasional, Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Negosiasi, Arbitrase, Mediasi, Konsiliasi.


(6)

ABSTRACT

With hundreds of international business transaction activities every day, more incidents of international business disputes may probably occur. Conventionally, the resolution of the disputes is conducted through litigation (court of law). This process is time consuming and costly that, in the world of business, the resolution through legation is not a prime choice anymore because it cannot meet the demand of its own development, hence a pattern known as Alternative Dispute Resolution (ADR) is taken as an alternative way in the process of solving existing disputes.

This analytical descriptive study employed a normative research method and the result of this study was concluded through quantitative method.

The result of study analysis showed that ADR becomes increasingly popular and several countries have even regulated it through their own legislation, for example, Indonesia regulates it in Article 1 (10) of Law No. 30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.

In general, ADR method follows this sequence: Negotiation, Arbitration, Mediation, and Consolidation. One of the currently developing ADR models is arbitration. Arbitration is chosen by the business practitioners, among other things, because the dispute is examined by those who have expertise on the disputed problems, therefore, the time taken to settle the dispute can be relatively shorter, the cost becomes cheaper, and the parties involved can solve the dispute without any publication which may inflict reputation loss. Compared to the court of law, arbitration is more exceptional because, in the process of dispute resolution, arbitration is not open to the attempt to lodge an appeal, a cassation or a review because the decision made through arbitration is final and binding that the process in arbitration must be efficient and the decision can be immediately implemented, yet, sometimes, the business practitioners, especially those who have won the disputed cases, will be disappointed when faced to the implementation of arbitrary decision involving the law of court because of the action taken by the law of court which can cancel and refuse the arbitrary decision. In Indonesia, the resolution of business disputes through arbitration still faces some problems, especially in the case of international arbitration. In this context, the writer would like to do a further research on to what extent the analysis of dispute resolution law is applied in international business transaction.

Key words: International Business Transaction, Arbitration, Alternative DisputeResolution, Negotiation, Arbitration, Mediation, Consolidation


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji kepada Tuhan YME, Yang Maha Segalanya dan masih memberi waktu hingga tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Judul tesis ini adalah “Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa

Dalam Transaksi Bisnis Internasional”.

Di dalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik pengajaran, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian studi penulis yaitu:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc atas kesempatan menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum sebagai pembimbing utama yang telah membuka cakrawala berfikir penulis khususnya mengenai Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional.

4. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH dan Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi masukan, arahan, dan selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Ucapan terima kasih juga


(8)

5. Kepada orang tua tercinta, Ayahanda SH Harahap, SH, Ibunda CD Siregar yang selama ini telah memberikan perhatian, dukungan moril dan materil agar penulis menyelesaikan studi ini.

6. Rekan-rekan yang banyak memberikan inspirasi, masukan dan semangat serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata kepada Tuhan YME juga kita serahkan semuanya, semoga bantuan, bimbingan dan arahan yang diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat imbalan yang layak dari-Nya. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Medan, 26 Agustus 2009


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Allah Henry Baskara Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 10 Agustus 1984 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Pendidikan : 1. SD Tunas Kartika (1990-I 996) 2. SMP Negeri 18 Medan (1996-1999) 3. SMA Sutomo I (1999-2002)

4. Fak Hukum USU Medan ( Lulus Tahun 2006 ) 5. Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

1.Kerangka Teori ………….……… 14

2. Konsepsional ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

BAB II : BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG DIKEMBANGKAN DI INDONESIA SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN SENGKETA ... 25

A. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional yang Dikenal di Indonesia ... 25


(11)

B. Masalah Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis

Internasional Indonesia ... 38

C. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif... 43

D. Arbitrase Sebagai Pilihan yang Paling Populer ... 47

BAB III : PERATURAN HUKUM DI INDONESIA YANG MENGATUR PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL ... 58

A. Peraturan Hukum Internasional... 58

B. Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial... 74

C. Peraturan Hukum Setelah Indonesia Merdeka... 80

D. Peraturan Hukum yang Otonom ... 91

BAB IV : PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA... ... 97

a. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial... 97

b. Pengakuan dan Pelaksanaan Terhadap Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing ... 100

c. Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing... 107

d. Analisis Kasus Karaha Bodas (PERTAMINA VS KBC LLC)... 111

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 122

A. Kesimpulan... 122

B. Saran... 124


(12)

ABSTRAK

Dengan banyaknya kegiatan transaksi bisnis internasional yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, maka semakin banyak pula kemungkinan terjadi sengketa bisnis internasional. Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan). Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, oleh karenanya penyelesaian sengketa secara litigasi tidak lagi menjadi pilihan utama dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya, oleh karenanya diambil suatu cara sebagai alternatif terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).

Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan hasil kesimpulan penelitian ini digunakan dengan metode kuantitatif

Hasil analisis penelitian, disimpulkan bahwa, ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Pada umumnya metode ADR sebagai berikut: Negosiasi, Arbitrase, Mediasi,

Konsiliasi. Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang

adalah arbitrase. Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Karena putusan arbitrase bersifat ”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan, namun tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang melibatkan Pengadilan. Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang dapat membatalkan dan menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase internasional. Terhadap hal tersebut penulis ingin meneliti lebih jauh tentang sejauh mana analisis hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.

Kata Kunci : Transaksi bisnis internasional, Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Negosiasi, Arbitrase, Mediasi, Konsiliasi.


(13)

ABSTRACT

With hundreds of international business transaction activities every day, more incidents of international business disputes may probably occur. Conventionally, the resolution of the disputes is conducted through litigation (court of law). This process is time consuming and costly that, in the world of business, the resolution through legation is not a prime choice anymore because it cannot meet the demand of its own development, hence a pattern known as Alternative Dispute Resolution (ADR) is taken as an alternative way in the process of solving existing disputes.

This analytical descriptive study employed a normative research method and the result of this study was concluded through quantitative method.

The result of study analysis showed that ADR becomes increasingly popular and several countries have even regulated it through their own legislation, for example, Indonesia regulates it in Article 1 (10) of Law No. 30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.

In general, ADR method follows this sequence: Negotiation, Arbitration, Mediation, and Consolidation. One of the currently developing ADR models is arbitration. Arbitration is chosen by the business practitioners, among other things, because the dispute is examined by those who have expertise on the disputed problems, therefore, the time taken to settle the dispute can be relatively shorter, the cost becomes cheaper, and the parties involved can solve the dispute without any publication which may inflict reputation loss. Compared to the court of law, arbitration is more exceptional because, in the process of dispute resolution, arbitration is not open to the attempt to lodge an appeal, a cassation or a review because the decision made through arbitration is final and binding that the process in arbitration must be efficient and the decision can be immediately implemented, yet, sometimes, the business practitioners, especially those who have won the disputed cases, will be disappointed when faced to the implementation of arbitrary decision involving the law of court because of the action taken by the law of court which can cancel and refuse the arbitrary decision. In Indonesia, the resolution of business disputes through arbitration still faces some problems, especially in the case of international arbitration. In this context, the writer would like to do a further research on to what extent the analysis of dispute resolution law is applied in international business transaction.

Key words: International Business Transaction, Arbitration, Alternative DisputeResolution, Negotiation, Arbitration, Mediation, Consolidation


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi ekonomi sudah ada sejak dahulu, tetapi mulai kelihatan ke permukaan pada dasawarsa 60-an.1 Hal ini dapat dilihat dengan menyebarnya mata rantai produksi dan pemasaran sejumlah perusahaan multinasional dari negara-negara industri ke seluruh pelosok dunia. Pada kenyataannya tidak satupun negara di dunia yang mampu menghindari dampak globalisasi.

Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.2 globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh William Irvin Thompson, dengan dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi setiap hari.3

1

Ian Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes between States : History and Prospect, dalam R. St. J. Macdonald and Douglas M. Johnston (eds), The Structure and Process of International Laws : Essay in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, 1986, hlm. 1095.

2

Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dikutip dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 3.

3

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 143.


(15)

Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang yang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan internasional atau transaksi bisnis internasional. Penggambaran tentang proses globalisasi dapat dilakukan dalam banyak dimensi di antaranya dimensi ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum. Namun meskipun demikian dalam banyak pembicaraan globalisasi senantiasa dipandang identik dengan internasionalisasi kegiatan ekonomi, khususnya dalam bentuk liberalisasi perdagangan dan investasi.4 Globalisasi ekonomi yang semakin berkembang oleh prinsip perdagangan bebas selanjutnya membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan melewati batas-batas negara.5 Globalisasi dalam dunia bisnis telah menimbulkan kompleksitas dan keberagaman transaksi. Kondisi seperti ini menimbulkan tuntutan akan kepastian hukum (legal certainty) dari setiap transaksi.6

Kondisi seperti diuraikan di atas menjadikan kebebasan berkontrak sebagai paradigma utama dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak dipandang sebagai penjelmaan hukum (legal expression) prinsip perdagangan bebas.7 Sama halnya

4 Ibid. 5

Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44 Medan, 20 November 2001, hal. 4.

6

Ibid, hal. 6. 7

Ridwan Chairandi, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 1.


(16)

dengan liberalisasi perdagangan, doktrin kebebasan berkontrak dibangun diatas asumsi terdapatnya kekuatan posisi tawar yang sama antara para pihak yang melakukan transaksi. Akibatnya bisa terjadi pihak yang lemah dikuasai oleh pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Kritikan terhadap doktrin kebebasan berkontrak menyebutkan terjadinya perubahan paradigma hukum kontrak dari kebebasan berkontrak kearah kepatutan. Saat ini kebebasan berkontrak tidaklah berarti kebebasan tanpa batas.8 Unsur kepastian hukum dalam kebebasan berkontrak diimbangi dengan unsur keadilan (justice) bagi para pihak dalam kontrak.9

Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesia masih sangat rendah dan sangat mengurangi minat investor.10 Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan seringkali disebabkan karena adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman akan substansi kontrak yang berakibat terkendalanya investasi yang dilakukan.

Banyak investor proyek jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru beberapa tahun proyek berjalan, kontrak dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi, hal ini jelas sangat merugikan investor mengingat keuntungan belum didapat, bahkan break even point (titik balik modal)

8

M. Yahya Harahap, Dua sisi Putusan Hakim tidak adil bagi yang kalah, adil bagi yang menang, Varia Peradilan, Tahun VIII, No. 95, Agustus 1993, hal. 107.

9

Bayu Seto, Lex Mercatoria Baru dan Arah perkembangan Hukum Kontrak Indonesia di dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum dari Perkembangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 72.

10


(17)

belum tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indonesia.11

Dengan banyaknya kegiatan bisnis yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute) diantara para pihak. Setiap sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian. Semakin banyak dan luas kegiatan perdagangan, semakin banyak pula kemungkinan terjadi sengketa. 12

Sengketa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing-masing para pihak, yaitu bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.13 Di Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau “Minji Chotei Ho” pada tahun 1951.14 Di samping itu, baik Cina dan Jepang sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina tidak suka kepada Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk priode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana

11

Mohammad Ikhsan, Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru, Kompas 31 Maret 2004. Hal 9.

12

Richard Hill, Overview of Dispute Resolution, hal. 1, http/www.batnet com/oikoumene/arbined3 html./.

13 Ibid. 14

Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo : University of Tokyo Press, 1988), hal. 492.


(18)

mengatur masyarakat. Di satu pihak, kaum Confucius menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (li). Sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturan-aturan hukum tertulis yang pasti (fa).15 Rakyat kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial daripada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku. Oleh karenanya clan, gilda, dan kelompok golongan terkemuka (Gentry) menjadi institusi hukum yang informal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam masyarakat Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi penengah (mediator) dalam sengketa-sengketa yang timbul dan bila perlu mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme yang mengartikan fa sebagai hukuman (Hsing), bukan merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban sosial.

Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal, jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat.16 Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori (conciliatory

15

Erman Rajagukguk, Loc.Cit, hal. 105. 16


(19)

culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang

lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.

Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan.17

Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan) dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain.18 Proses ini membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan

17

Ibid, hal. 1. 18

Sudargo Gautama, Hukum Bisnis Indonesia, (Bandung : Citra adytia bakti, 2002) hal. 67.


(20)

perkembangannya.19 Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang tidak efektif untuk penyelesaian sengketa bisnis. Disamping panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menjalani proses persidangan, putusan pengadilan yang bersifat terbuka juga dapat “mematikan” reputasi seorang pelaku bisnis. Sedangkan dalam dunia bisnis, reputasi merupakan unsur yang sangat penting. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi hukum terkemuka Jepang bernama Takeyosi Kawasima : ”membawa perkara ke pengadilan berarti mengisukan suatu tantangan umum dan membakar suatu pertengkaran”.20

Forum peradilan selama ini dianggap jauh dari ideal untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang muncul dikalangan dunia usaha, khususnya dengan mitra usaha luar negeri. 21 Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan kesadaran kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR). Istilah ADR yang pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika Chief Justice Warren Burger mengadakan The

Roscoe E. Pound “Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the

19

Sujud Margono, Alternative Disputes Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal. 5.

20

Alternative Disputes Resolution, Section 4-Choosing ADR, http/www.open.gov.uk/Icd/Consult/civ.just/adr/section 4 htm. Available : 19 Juni 200, Sebagaimana dikutip oleh Runtung dalam Disertasi, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di KabanJahe dan Brastagi”, 2002, hal. 5.

21

Gunawan Widjaja, Alternati Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. VII.


(21)

Administration of Justice” (Pound Conference) di Saint Paul, Minesota. Para

akademisi, para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama-sama mencari cara terbaru dalam menyelesaikan konflik. Pada tahun 1976 itu pula

American Bar Association (ABA) mengakui secara resmi gerakan ADR dan

membentuk satu Komisi Khusus untuk Penyelesaian Sengketa (Special Committee on

Dispute Resolution).22

Di negara-negara Asia Timur ADR muncul didasari pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia.23 Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, di Indonesia pada tahun 1999, Pemerintah Negara Republik Indonesia dibawah Pemerintahan Presiden BJ Habibie telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa diluar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.24

22

Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, ( ST. Paul, Minn : West Publishing Co, 1992), hal. 5.

23

Erman Rajagukguk, Loc.Cit, hal. 3. 24

Gunawan Widjaja, Alternati Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1.


(22)

Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda, oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural.25 Arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa hukum di luar proses Pengadilan bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa di Indonesia, tetapi di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian, karena itu jarang terdengar. Berbeda dengan sekarang, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum penting sebagai cara menyelesaikan sengketa di luar proses Pengadilan. Meningkatnya peranan arbitrase bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga baik nasional maupun internasional.26

Bahkan kini penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase merupakan kebutuhan bahkan idola bagi para pelaku bisnis. Menyikapi kebutuhan dunia usaha akan penyelesaian sengketa non litigasi ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai landasan hukum pelaksanaan arbitrase di Indonesia.

Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta

25

Yasunobu Sato, The Japanese Model Dispute Processing of, Proceedings Of Roundtable Meeting the, Law Asian Development And Socio-Economic Changes in [of] II, Bangkok : 19-20 November 2001, hal. 156.

26

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), 2002, hal. ii.


(23)

pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya.27

Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain28:

1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan;

Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali, karena putusan arbitrase bersifat

”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase

harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan.29 Namun tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang melibatkan Pengadilan.

27 Ibid. 28

Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan pengadilan, (Jakarta : Chandra Pratama, 2000), hal 392.

29


(24)

Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang seringkali membatalkan dan menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase internasional.30

Banyak putusan arbitrase yang sudah diputus oleh arbiter, kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN). Oleh karena itu, hal tersebut akan menimbulkan tanda tanya, apakah lembaga arbitrasenya yang sudah tidak bisa dipercaya, atau Pengadilan yang dijadikan sarana untuk menghambat pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase.31 Sebagai salah satu contoh, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya tertanggal 27 Agustus 2002 telah membatalkan putusan arbitrase internasional antara Pertamina vs Karaha Bodas Company L.L.C (”Karaha Bodas”),32 dimana dalam putusan arbitrase internasional di Genewa-Swiss tersebut Pertamina telah dikalahkan. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat telah memenangkan gugatan Pertamina dengan membatalkan keputusan arbitrase internasional tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, PN Jakarta Pusat antara lain menyatakan :

(1) Putusan tersebut juga dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, karena penundaan proyek Karaha Bodas didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali

30

Ibid, hal 397. 31

Ibid, hal 399. 32

Ida Susanti & Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 336-337.


(25)

Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Swasta Yang Berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, tertanggal 20 September 1997, oleh sebab itu dianggap bahwa Pertamina tidak memiliki kekuatan hukum untuk menolak Keppres tersebut; dan

(2) Disebutkan juga bahwa arbitrase internasional tersebut telah melampaui kewenangannya dalam menangani perkara ini karena tidak menerapkan hukum Indonesia.

Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian yang lebih jauh tentang kepastian hukum dalam setiap penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis intenasional dalam tesis yang berjudul ”Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa yang dikembangkan di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis internasional ?

2. Bagaimana kaidah hukum Indonesia mengatur penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional ?

3. Bagaimana pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan atau arbitrase asing dalam hukum Indonesia ?


(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui serta memahami bentuk penyelesaian sengketa yang dikembangkan di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis internasional.

2. Untuk mengetahui serta memahami kaidah hukum Indonesia mengatur penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.

3. Untuk mengetahui serta memahami pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan atau arbitrase asing dalam hukum Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah aspek hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional.


(27)

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat) serta Konsultan Hukum dan Badan Pengawas Sengketa Transaksi Bisnis Internasional, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional agar mempunyai persepsi yang sama.

E. Keaslian Penelitiaan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang analisis hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekataan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan terpencar-pencar di banyak wilayah negara di dunia ini ke satu kondisi tunggal yang tidak mengenal lagi


(28)

batas-batas wilayah.33 Globalisasi ini tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan internasional atau transaksi bisnis internasional.

Berdasarkan kondisi tersebut Will. D. Verwey menyatakan bahwa terhadap teori perdagangan bebas/perdagangan internasional perlu dilakukan penyesuaian dengan pembatasan sebagai berikut :34

1. Pembatasan terhadap prinsip kebebasan, melalui penggunaan prinsip perlindungan;

2. Perubahan parsial atas prinsip persamaan hak dan bidang hukum atas dasar perbedaan tingkat dan kekuatan ekonomi;

3. Prinsip timbal balik yang karena perbedaan di dalam kekuasaan ekonomi dilengkapi dengan prinsip nonreciprocity;

Transaksi bisnis internasional pada dasarnya adalah transaksi yang berkaitan dengan kegiatan komersial yang melintas batas negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Adanya perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi tersebut.

Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekseptasi yang akan didapatkannya dari

33

Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dikutip dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 3.

34

Will D. Verwey, The Establishment of a New International Economic Order and Realization of The Right to Development and Welffare, (Geneva : A Legal Survey, 1980), hal. 17.


(29)

pelaksanaan kontrak tersebut. Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu sama lainnya saling berkaitan, yakni asas konsensualisme (The Principle of Consensualism), asas kekuatan mengikatnya kontrak (The Principle of The Binding Force of Contract), dan asas kebebasan berkontrak (The principle of Freedom of Contract).35

Defenisi yang telah diterima umum (di dunia) mengenai kontrak internasional adalah kontrak nasional yang ada unsur asing. Atau hukum yang mengatur kontrak nasional yang ada unsur asingnya.36 Meski namanya kontrak internasional, rejim kontrak yang mengaturnya adalah hukum kontrak internasional. Ciri ini melekat dan terjadi pada hukum kontrak internasional karena adanya lembaga pilihan hukum (Choice of Law) dalam hukum kontrak internasional.

Choice of Law atau Applicable Law atau Governing Law adalah lembaga yang

membolehkan para pihak untuk memilih dan menetukan salah satu hukum kontrak suatu negara (dari para pihak atau hukum negara lain atau hukum tertentu yang mengatur objek kontrak) yang mengatur kontrak internasional yang berfungsi untuk memberi kepastian hukum, yaitu hukum apa yang mengatur kontrak tersebut. Termasuk pengertian di dalamnya adalah menentukan sah-tidaknya kontrak dan penafsiran terhadap kontrak serta hukum (negara mana) yang pengadilan akan terapkan untuk menyelesaikan sengketa kontrak.

35

Ridwan Chairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 27.

36


(30)

Dalam hal terjadinya konflik terhadap pelaksanaan suatu kontrak, sangat penting pula ditegaskan pengadilan ataupun forum penyelesaian mana yang akan mengadili jika terjadi konflik (dispute) dalam pelaksanaan dari kontrak tersebut. Pada umumnya pengadilan negara yang hukumnya telah dipilih sebagai governing law dari kontrak akan dipilih sebagai pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang timbul dari kontrak dagang internasional, walaupun para pihak dapat menyepakati pengadilan perkara yang timbul dari kontrak tersebut dapat dilakukan di negara lain.

Untuk pilihan hukum (choice of law governing contract) dan pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction) harus memerlukan perhitungan yang tepat, karena akan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dan pengadilan tersebut secara baik membela hak-hak dari pihak berkontrak.

Pilihan yurisdiksi berperkara, juga secara strategis harus diperhitungkan terhadap wilayah hukum dari dimana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan juga sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut berada.37 Dalam hal misalnya, pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi dari suatu kontrak dagang internasional berbeda dengan domisili hukum keberadaan dari asset yang akan dieksekusi sehubungan dengan putusan tersebut, maka putusan tersebut akan bersifat foreign judgment terhadap negara dimana asset tersebut berada, sehingga tidak tidak dapat dengan begitu saja dieksekusi, kecuali bila di antara negara

37

Baca juga artikel berjudul Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, oleh Ricardo Simanjuntak, diterbitkan dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 No. 4 tahun 2003.


(31)

tempat pengadilan yang memutus tersebut terjalin kesepakatan internasional untuk saling melaksanakan putusan masing-masing pengadilannya di masing-masing wilayah negaranya (mutual recoqnition and reciprocal enforcement of foreign

judgementbetween contracting countries).

Dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional pada dasarnya terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu melalui proses : litigasi, arbitrase atau mediasi.

Litigasi (litigation) adalah proses penyelesaian sengketa atau gugatan yang diajukan ke hadapan badan peradilan. Proses litigasi ini hanya dapat diajukan ke badan peradilan umum (pengadilan negeri) di Indonesia maupun badan peradilan di luar yuridiksi negara Indonesia, melainkan juga sengketa itu dapat diajukan ke hadapan peradilan lainnya seperti Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa melaui litigasi (pengadilan) ini membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya.38

Hambatan lain yang terkait dengan hukum kontrak internasional kaitannya terhadap penyelesaian sengketa internasional adalah pengadilan nasional. Hambatan ini berhubungan dengan kepercayaan dunia bisnis (asing) terhadap penghormatan kontrak yang diselesaikan di hadapan pengadilan nasional.

38

Sujud Margono, Alternative Disputes Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal.5.


(32)

Hambatannya adalah kurang percayanya kalangan dunia usaha asing terhadap integritas dan kepastian hukum yang tercermin dari putusan-putusan pengadilan kita di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang lahir dari kontrak. Masalahnya juga terkait secara tidak langsung dengan mutu lulusan sarjana hukum di tanah air yang kemudian mereka inilah menjabat jabatan judisial. Pemahaman penegak hukum terhadap hukum kontrak internasional karenanya perlu terus ditingkatkan.39

Dikalangan dunia usaha, mereka umumnya lebih mendayagunakan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa usaha dan dagang yang terjadi di antara mereka, dari pada menyelesaikannya melalui lembaga pengadilan atau litigasi. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena keputusan tidak dipublikasikan.

2. Konsepsional

Selanjutnya agar tidak menimbulkan kesalahpemahaman tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan definsi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan sebagai berikut :

a. Sengketa hukum dalam studi ini ialah sengketa yang berkaitan dengan

persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada40;

39

Lihat uraian tentang posisi pengadilan dalam tulisan kami : adolf Huala, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung : Refika, 2007), Hal. 157 dan 191.

40

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Sinar Grafika, 2004), Hal.4.


(33)

b. Penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional adalah suatu cara

penyelesaian sengketa yang mempengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda yang menyebabkan terjadinya pilihan hukum antara dua atau lebih sistem hukum yang berbeda tersebut yang terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan dan kebangsaan individu atau perusahaan yang melakukan transaksi tersebut41;

c. Transaksi bisnis internasional adalah transaksi yang berkaitan dengan

kegiatan komersial yang melintas batas negara yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Adanya perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi tersebut42;

d. Alternatif penyelesaian sengketa adalah Lembaga penyelesaian sengketa

atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli43;

41

Ibid, Hal.95. 42

Ibid, Hal.132. 43

Lihat, Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.


(34)

e. Arbitrase/Arbitration adalah suatu proses yang dipilih para pihak secara

sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana putusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat44;

f. Pilihan forum adalah suatu pilihan yang dilakukan oleh para pihak-pihak

yang bertransaksi, yang bermakna bahwa para pihak di dalam kontrak sepakat untuk memilih forum atau lembaga mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara kedua belah pihak tersebut. Pilihan ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari pihak yang mengadakan transaksi45; dan

g. Arbitrase asing adalah suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar

wilayah hukum Republik Indonesia.46

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan yang ditujukan untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum tentang penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional, maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang

44

Huala Adolf, Op.Cit, Hal.40. 45

Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2006), Hal.163.

46


(35)

bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai premis utama dan sebagai hasil penelitian. Sebagai doctrinal research penelitian ini ditujukan untuk hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written book) maupun hukum yang telah diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge

through judicial process).47

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu, asas-asas atau suatu peraturan-peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan aspek hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.48

3. Sumber Data

“Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, penelitian ini mempergunakan

sumber-sumber data sekunder, baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier sebagai data utama/pokok penelitian”.49 Bahan

47

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah yang disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian hukum dan Penulisan hukum pada majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1.

48

Koentjaraningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal.42.

49

Bambang Sunggono, Penelitian Hukum : Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 194-195.


(36)

hukum primer sebagai data pokok penelitian diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri:

a. Bahan hukum primer :

1. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement On Establishing the World Trade

Organization (WTO);

2. Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan Warga Asing;

4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention

on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi

New York 1958); dan

5. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

b. Bahan hukum sekunder : Jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah, majalah, surat kabar, buku-buku teks, dan lain-lain.

c. Bahan hukum tertier : Bahan Hukum Tersier berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum.50

50

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singka”, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal 14-15.


(37)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan di perpustakaan pusat USU, baik melalui penelusuran catalog maupun surfing di internet.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :

a. Memilih peraturan perundang-undangan dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan masalah penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional; b. Membuat sistematik dari bahan-bahan hukum tersebut sehingga

menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional;


(38)

BAB II

BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG DIKEMBANGKAN DI INDONESIA SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN SENGKETA

E. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional yang Dikenal di Indonesia

Dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional pada dasarnya terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu melalui proses :

1. Litigasi (pengadilan)

Litigasi atau forum pengadilan adalah forum ”klasik” yang dipilih para pihak.51 Pengadilan merupakan refleksi dari jurisdiksi judikatif suatu negara berdaulat. Segala peristiwa hukum, termasuk sengketa kontrak yang terjadi di dalam wialayah suatu negara, pada prinsipnya berada dibawah jurisdiksi negara itu. Hasil yang akan diperoleh dari proses litigasi hanya 2 (dua) kemungkinan, yaitu menang atau kalah. Dalam membela dan mewakili kepentingan salah satu pihak dalam sengketa bisnis internasional, proses litigasi ini bukan hanya dapat diajukan ke hadapan badan peradilan umum (Pengadilan Negeri) di Indonesia maupun badan peradilan di luar yuridiksi negara Indonesia, melainkan juga sengketa itu dapat diajukan ke hadapan peradilan lainnya, misalnya52:

a.) Pengadilan Niaga;

b.) Pengadilan Tata Usaha Negara; dan

51

Huala Adolf. Loc.Cit.Hal 173 52


(39)

c.) Pengadilan Pajak.

Selain itu dalam konteks sengketa bisnis internasional, proses litigasi juga dapat diajukan ke hadapan badan kuasi peradilan di Indonesia (quasi judicial power), seperti misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komite Anti Dumping Indonesia, dan badan-badan kuasi peradilan lainnya. Berbeda dengan proses arbitrase, mediasi, negoisasi, dan konsiliasi yang hanya dapat dilaksanakan prosesnya apabila telah ada kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang terlibat.

pilihan terhadap proses litigasi dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu 53: a.) Para pihak dalam dokumen transaksi telah mengatur choice of forum melalui

forum litigasi atau;

b.) Hukum positif yang terkait memberikan kewenangan kepada forum litigasi tertentu untuk memeriksa dan memutus perkara yang terkait dengan pokok masalah tertentu, dimana perkara tersebut dapat diajukan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pihak lainnya, maksudnya proses litigasi dapat dijalankan tanpa persetujuan dari pihak lainnya yang terkait dengan sengketa. Hal ini berbeda dengan arbitrase, mediasi, negoisasi, dan konsiliasi dimana kedua proses dan mekanisme ini secara mutlak hanya dapat dilaksanakan apabila telah ada kesepakatan dari pihak mengenai hal ini54. Menurut hemat penulis, proses penyelesaian sengketa melalui litigasi (pengadilan) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa dikarenakan porses

53

Ibid. Hal 303. 54


(40)

litigasi (Pengadilan) memiliki kelebihan, yakni putusannya dihormati dan wajib dilaksanakan oleh para pihak, terlepas apakah pengadilan telah menerapkan hukum dengan benar atau tidak, putusan pengadilan sifatnya mengikat secara hukum. Para pihak yang tidak menghormati putusannya, hukum dapat memaksanya.55

Sedangkan segi negatif (kekurangan) dari proses litigasi (pengadilan) menurut penulis adalah banyaknya kritik yang sudah terlanjur disandang. Di Indonesia, forum ini dicap sebagai tempat berkumpulnya “mafia peradilan”. Selain itu proses penyelesaiannya umumnya memakan waktu yang cukup lama, serta putusannya yang mungkin untuk dipublikasikan ke khalayak umum, karena prinsip dari proses litigasi (pengadilan) ini bersifat umum dan terbuka. Hal ini umumnya tidak disukai oleh para pihak yang bersengketa dikarenakan akan merusak reputasi & kredibilitas para pihak (pelaku usaha) yang bersengketa.

2. Negosiasi

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua yang digunakan oleh umat manusia.56 Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para Pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.57 Banyak sengketa yang

55

Huala Adolf. Op.Cit.Hal 173 56

W. Poeggel and E. Oeser., Methods of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law: Achievements and Prospects, (Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991), hal. 514.

57

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Sinar Grafika, 2004), Hal.26


(41)

diselesaikan setiap hari melalui negosiasi tanpa adanya publisitas atau perhatian publik.58

Pengertian negosiasi, menurut Runtung Sitepu, merupakan salah satu bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif dimana para pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung (adakalanya di dampingi pengacara masing-masing) untuk mencari penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi ke arah kesepakatan atas dasar win-win solution.59

Negosiasi dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa, apakah itu sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain. Bahkan apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan.60

Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut : 61 a) Para pihaklah yang memegang palu hakim-nya sendiri; b) Sifatnya rahasia;

c) Hukum acara atau formalitas persidangan tidak ada;

58

FV. Garcia Amador., The Changing Law of International Claims, (USA: Occeana, 1984), hal. 518.

59

Runtung Sitepu., Alternative Disputes Resolution dan Arbitrase, Makalah disampaikan dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Kerjasama DPC IKADIN Medan dengan Fakultas Hukum USU, 2006, hal. 6.

60

FV. Garcia Amador, Op. cit, hal. 159. 61

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2006), Hal.172


(42)

Segi negatif dari forum negosiasi ini adalah sebagai berikut :

a) Manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, dimana salah satu pihak kuat sedangkan pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Satu pihak yang terlalu keras dengan pendiriannya dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif. Hal tersebut sering terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa;62

b) Proses negosiasi lambat dan memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan permasalahan antar negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan dengan ekonomi Internasional. Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi;

Pada dasarnya, berhasil atau tidaknya negosiasi dilaksanakan dipengaruhi oleh ketepatan dalam teknik kemampuan untuk menyampaikan posisi yang diinginkan dengan jelas dengan menggunakan berbagai alasan. Hal lainnya adalah kemampuan untuk mematahkan argumentasi pihak lawan, juga dengan menyampaikan alasan-alasan yang berlawanan.

Dengan tidak adanya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa ini menjadikan negosiasi sebagai tahap pertama dalam penyelesaian sengketa. Apabila dalam proses negosiasi ini menghasilkan suatu keputusan maka hasil kesepakatan

62

Huala Adolf., Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 19.


(43)

tersebut dituliskan dalam dokumen perjanjian, seperti yang tertulis dalam Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa; “Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung (negosiasi) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Oleh karena kesepakatan tertulis hasil negosiasi adalah suatu persetujuan di antara para pihak, maka selayaknya juga jika hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak telah dirugikan. Walau demikian masih terbuka kemungkinan untuk tetap dapat dibatalkan, jika memang dapat dibuktikan telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau paksaan, atau kesepakatan telah diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu. 63

Menurut penulis, bahwa negosiasi ini lebih banyak diwarnai dengan pertimbangan politis daripada pertimbangan atau argumen hukumnya. Namun demikian, dalam proses negosiasi, adakalanya argumen hukum tersebut lebih berfungsi untuk memperkuat kedudukan para pihak. Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya, para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa manakala cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk

63


(44)

menyerahkan penyelesaian sengketa tersebut dengan cara lainnya, seperti arbitrase, mediasi, atau konsiliasi.

3. Mediasi

Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5) UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. 64

Undang-undang tidak memberikan rumusan defnisi atau pengertian yang jelas dari mediasi maupun mediator. Dari literatur hukum, misalnya dalam Black’s Law

Dictionary, Mediasi adalah:

“a method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution”. (Mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan perselisihan hukum melalui partisipasi aktif pihak ketiga (mediator) yang bekerja untuk menemukan poin kesepakatan dan membuat orang yang menghadapi konflik menemukan hasil yang baik).65

Christopher W.Moore, menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi pihak ketiga yang bisa diterima oleh pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Melainkan

64

Ibid. Hal. 90. 65

Black’s Law Dictionary, Bryan A. Garner, Seventh Edition, West Group, 1999 halaman 996. Bandingkan juga definisi mediasi yang diberikan oleh para ahli hukum, seperti misalnya Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H. dalam bukunya “Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Suatu Pengantar, PT Fikahati Aneska, 2002.


(45)

bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing dalam suatu persengketaan.66

Mediasi, dari pengertian yang diberikan, jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator. Mediator adalah pihak yang ditunjuk oleh salah satu atau kedua pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa, dalam hal ini diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama. Sifatnya hanya rekomendatif atau usulan saja.Dalam hal menyelesaikan suatu sengketa, mediator bebas menentukan bagaimana cara penyelesaian sengketa yang sedang berlangsung dan mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang menguntungkan (win-win). Mediator seharusnya dapat mengetahui sejak awal apabila ada proses pemaksaan, ketidakjujuran atau posisi tawar menawar yang tidak seimbang diantara para pihak. Mediator juga berhak untuk memutuskan proses mediasi apabila telah terbukti menemukan unsur diatas. Mediator harus dapat membedakan kepentingan pribadi.67

Beberapa hal penting dalam proses mediasi ini, yaitu pertama, penyelesaian perselisihan dilakukan dengan itikad baik (good faith) di antara para pihak dan keinginan sukarela untuk menyelesaikan masalah dengan mengesampingkan

66

Runtung Sitepu, Loc. cit, hal. 7. 67


(46)

penyelesaian dengan proses arbitrase atau litigasi di Pengadilan Negeri. Jadi, di sini para pihak berperan aktif untuk mencari solusi atas sengketa yang timbul di antara mereka. Kedua, mediator tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat, tetapi mediator hanya sebagai penengah atau fasilitator di antara para yang bersengketa untuk membantu para pihak guna mengidentifikasikan permasalahan yang timbul dan menemukan cara pemecahan yang terbaik. Tidak seperti hakim atau arbiter yang mempunyai kemampuan teknis tertentu dalam menyelesaikan sengketa. Ketiga, hasil kesepakatan yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa akan dituangkan dalam perjanjian, yang mengikat kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka hubungan kerja sama di antara para pihak yang sebelumnya sudah terbina, dapat berjalan kembali. Apabila tidak dapat dicapai kesepakatan, maka para pihak dapat mengajukan penyelesaian masalahnya melalui lembaga arbitrase atau meneruskannya ke dalam proses litigasi.

Segi positif dari proses mediasi adalah sebagai berikut:68

a) Dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan jika membawa sengketa tersebut ke pengadilan atau arbitrase;

b) Memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya hak-hak hukumnya saja;

68

Runtung Sitepu., “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, (Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006), hal. 6-7.


(47)

c) Memberi kesempatan kepada para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal di dalam menyelesaikan sengketa mereka;

d) Memberikan kemampuan kepada para pihak untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya;

e) Dapat mengubah hasil yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus;

f) Memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya; dan

g) Mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang diputuskan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase;

Segi negatif dari penyelesaian sengketa dengan cara mediasi adalah mediator dapat saja dalam menjalankan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya. 69

Menurut penulis, hal yang harus diperhatikan dalam proses mediasi, seperti faktor kerahasiaan. Kemungkinan salah satu pihak mempunyai itikad yang tidak baik yang menjadikan proses ini sebagai peluang untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin sebelum akhirnya memutuskan untuk berlitigasi dan mediator yang mempunyai kemungkinan akan keberatan atau tuntutan para pihak apabila dianggap membuka atau membocorkan rahasia. Namun hal ini dapat diantisipasi melalui

69


(48)

semacam perjanjian bahwa sesuai dengan kode etik yang berlaku maka mediator tidak dapat dituntut untuk suatu rahasia yang diberikannya selama proses.70

4. Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. komisi ini disebut dengan komisi konsilisi.71 Konsiliasi menurut Gary Goodpaster, yaitu suatu aliansi dari dua pihak atau lebih yang sepakat untuk bergabung dalam tindakan bersama atau terkoordinasi melawan pihak atau koalisi lain.72 Konsiliasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan dengan mediasi. Komisi konsilisi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidak mengikat para pihak.73

Persidangan suatu komisi konsilisi biasanya dimulai dari sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsilisi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsilisi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi usulan ini sifatnya tidaklah

70 Ibid. 71

Huala Adolf, Ibid, hal. 22. 72

Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: ELIPS, 1999), hal. 1. 73

Peter Behrens., Alternative Methods of Disputes Settlement in International Economic Relations, dalam: Ernst-Ulrich Petersman and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Disputes in International and National Economic Law, (Fribourg UP, 1992), hal. 14.


(49)

mengikat. Karena diterima atau tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak.74 Menurut hemat penulis, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini, objektivitas dari konsiliasi dapat terjamin.

5. Arbitrase

Arbitrase berasal dari kata Arbitrare (Latin), Arbitrage (Belanda), Arbitration (Inggris), Schiedspruch (Jerman), dan Arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.75

Dalam Black’s Law Dictionary, arbitration is a process of dispute resolition

in which a neutral third partry (arbitrator) renders a dicision after hearing at which both parties have an opportunity to be heard.76

Arbitrase adalah suatu institusi hukum di luar pengadilan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Batasan penulis mengenai arbitrase adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para

74

Ibid, hal. 23. 75

Rachmadi Usman., Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal.1. 76

Bismar Nasution., Hukum Acara Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution, Makalah, Disampaikan Pada Pendidikan Khusus Advokat Kerjasa Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dan Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(50)

pihak secara sukarela untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat.

Ada 3 (tiga) hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tersebut77:

1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;

2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;dan

3. perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (9) UU No. 30 Tahun 1999 dalam hal usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui ngeosiasi, mediasi dan konsiliasi tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitarse atau Arbitrase Ad-Hoc, yang berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak.

Menurut penulis, bahwa persyaratan terpenting dalam penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase adalah kata sepakat atau konsensus dari negara-negara yang bersengketa. Sepakat merupakan refleksi dan konsekuensi logis dari atribut negara yang berdaulat. Kedaulatan suatu negara menyatakan bahwa suatu negara tidak tunduk kepada subjek-subjek hukum internasional lainnya tanpa ada kesepakatan atau kehendak dari negara tersebut. Tanpa kata sepakat dari salah satu negara, badan arbitrase tidak pernah berfungsi.

77


(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdurrasyid, H. Priyatna., Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu

Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase

Nasional Indonesia gv gg, 2002.

Adolf, Huala., Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

______.,Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Cet. Pertama 2007, Bandung: Refika Aditama, 2007.

Amador, FV. Garcia., The Changing Law of International Claims, USA: Occeana, 1984.

Aron, Broches., Arbitration Under the ICSID Convention, dalam Pryles, Michael, Waincymer, Jeff and Davies, Martin (ed), International Trade Law

Commentary and Materials, LBC Information Service, 1996.

Behrens, Peter., Alternative Methods of Disputes Settlement in International

Economic Relations, dalam: Ernst-Ulrich Petersman and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Disputes in International and National Economic Law, Fribourg UP, 1992.

Bodle, Derk, dan Clarence Morris., Law In Imperial China, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973.

Chang, Chung-Li., The Chinese Centry: On Their Role In 19TH Century Chinese Society, Seatle: University of Washington Press, 1955.

Fuady, Munir., Arbitrase Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Gautama, Sudargo., Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1986.

______., Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), Bandung: Alumni, 1979.

______., Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung, Alumni, 1985. ______., Hukum Dagang & Arbitrase Internasional, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1991.

______., Arbitrase Luar Negeri dan Pemakain Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1986.

Goodpaster, Gary., Panduan Negosiasi dan Mediasi, Jakarta: ELIPS, 1999.

______., et.al, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase


(2)

Haar, B. Teer., Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948.

Haley, Jaqualine M. Nolan., Alternative Dispute Resolution in a nutshell, St. Paaul: Minn. West Publising Co, 1992.

Hans, Bugners., Dispute Settlement, dalam Julian DM Lew and Clive Stanbrook,

International Trade and Parctice, Euromoney Publications, 1983.

Harahap, M. Yahya., Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Henderson, Dan Fenno., Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, Tokyo: University of Tokyo Press, 1965.

Horn, Paul V, dan Henry Gomez., International Trade Principles and Practies, Fourth Edition, Prentice Mall, Engleuxwd, New Jersey, 1964, hal. 261.

Howard, Raiffa., “The Art $ Science of Negotiation”, Amacom: American Management Assosiaciation, S.I. 1982.

Ikhsan, Muhammad., ”Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”, Kompas, 31 Mei 2004.

Ismail, Maqdir., Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan

Australia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007.

John, Mo., International Commercial Law, dalam Martin Domke, Domke on

Commercial Arbitration: The Law of Practice of Commercial Arbitration,

Edisi Revisi, West Group: 1997, dan J. Stewart McClendon dan Rosabel E. Everard Goodman, International Commercial Arbitration in New York, 1986, The Word Arbitration Institut.

Khairandy, Ridwan., Itikad Baik dal Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Lubis, Todung Mulya., ”Infrstruktur dan Kepastian Hukum”, Kompas: Selasa, 14 Juni 2005.

Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, Yogyakarta: Liberty, 1999.

Moore, Christoper W., The Mediation Process: Practical Strategis for Resolving

Conflicti, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1996.

Poeggel, W. and E. Oeser., Methods of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991.

Rajagukguk, Erman., Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2000.


(3)

Sato, Yasunobu., “The Japanese Model of Dispute Processing,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in

Asia II,” 19-20 November 2001, Bangkok, hal. 152.

Sembiring, Sentosa., Hukum Investasi, Bandung: Nuansa Alia, 2007.

Sjahdeini, Sutan Remy., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang

Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta:

Institut Bankir Indonesia, 1993.

Soebagjo, Felix O, dan Erman Rajagukguk, eds, “Arbitrase di Indonesia”, Ghalia: Indonesia, Jakarta, 1995.

Stephen J, Toope., Mixed International Arbitration, Studies in Arbitration between

States and Private Persons, University of Combridge, 1990, hal. 206.

Sumartono, Gatot., Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Suparman, Erman., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk

Penegakan Keadilan, Jakarta: Tatanusa, 2004.

Tambunan, Fred B.G., ”Kekuatan Mengikat Perjanjiandan Batas-Batasnya”, Makalah, Jakarta: Juli 1998.

Tanaka, Hideo., ed, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, 1988.

Usman, Rachmadi., Hukum Arbitrase Nasional, Jakarta: Grasindo, 2002.

______., Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Widjaja, Gunawan., Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Yamada, Miwa., “A Perspective On Comparative Study of DisputeSettlement Institutions and Sicioeconomic Development,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November 19-2001, Bangkok.

2. Makalah, Diktat, dan Jurnal Hukum

Alkostar, Artidjo., “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salah Satu Bentuk

Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, Makalah Seminar, Jakarta, 28 Februari 2007.

Departemen Pendidikan Nasional., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.


(4)

Gautama, Sudargo., Some Legal Aspek of International Commercial Arbitration in

Indonesia, Journal of International Arbitration, Vol. 7, No. 4, December, hal.

103.

Georges R, Delaume, Journal of International Arbitration, “ICSID Arbitration:

Prectical Cosideration”, 1984, Vol. 1, hal. 101.

Kutipan bebas dari materi yang terdapat dalam Suffolk University, “College of Arts

& Sciences, Center for Restorative Justice”, Wikipedia.

Latif, Yansen Derwanto., Pilihaan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak

Internasional, Diktat, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2002.

LP3ES., “Program Penguatan Balai Mediasi Desa”, Naskah Proposal yang Dibuat Dalam Rangka Pencarian Pendanaan, Jakarta, 2005.

Lumbuun, T. Gayus., “Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan

Pidana”, Makalah Workshop, 18 Januari 2007.

Meliala, Adrianus., ”Dampak Proses ADR Dalam Penegakan Hukum Polri”, Makalah Seminar, Jakarta, 28 Februari 2007.

______., dkk., ”Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk

Pencegahan Residivisme”, Laporan, AUSAID & Departemen Kriminologi

FISIP UI, 2004.

Michael, Reisman W., “The Breakdown of the Control Mechanism in ICSID

Arbitration”, Duke Law Journal, September, 1989, No. 4, hal 750.

Mudzakkir., “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana

Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Makalah Workshop, Jakarta:

tanggal 18 Januari 2007

Nasution, Bismar., Hukum Acara Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution, Makalah, Disampaikan Pada Pendidikan Khusus Advokat Kerjasa Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dan Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

National Institute of Dispute Resolution 9 NIDR Dispute Resolution Forum, 9 May 1989.

Santosa, Mas Achmad, & Wiwiek Awiati., ”Alternative Dispute Resolution

(Negosiasi & Mediasi)”, Naskah Presentasi, ICEL, Jakarta: tanpa penerbit dan

tanpa tahun.

Simanjuntak, Richardo., ”Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam

Transaksi Bisnis Internasional”, Makalah dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.


(5)

Sirait, Ningrum Natasya., Hukum Kontrak Internasional, Bab Alternative Dispute

Resolution, Diktat, Bahan Kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum

MHB UMA, 2004.

Siregar, Mahmul., “Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Volume 27 Nomor 24 Tahun 2008, hal. 60, dan bandingkan dengan Pasal 3 Undan-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.

Sitepu, Runtung., “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang

Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006.

______., Alternative Disputes Resolution dan Arbitrase, Makalah disampaikan dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Kerjasama DPC IKADIN Medan dengan Fakultas Hukum USU, 2006.

Soedarsono, Teguh., (Kadiv Binkum Polri), ”Sosialisasi Penanganan Perkara

Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Makalah, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006.

Tim Penyusun ELIPS., Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta: Elips Project.

UK. Maranatha., “Mediasi Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, Makalah presentasi power point, Medan, 2008.

United Kingdom Report., Departement of Trade and Industry, London: 1996.

Yuhassarie, Emmy, dan Endang Setyowati., “Rangkaian Lokakarya Tentang

Arbitrase dan Mediasi”, Makalah, diterbitkan pertama kali oleh Pusat

Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Pusdiklat Mahkamah Agung RI dan Konsultan Hukum EY. Ruru & Rekan, Jakarta, 2003.

3. Peraturan Perundang-Undangan

UNCITRAL Arbitration Rules Tahun 1976.

ABA Model Rules of Professional Conduct, Rule 2.2.

Het Herziene Indonesich Reglement (HIR). Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg).

Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).

Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata (KUH Perdata).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa (APS).


(6)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan Warga Asing.

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New

York 1958).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing.

4. Internet

http://hukumonline.com, tentang ”Pengadilan Batalkan Putusan Arbitrase Jenewa,

Sengketa PERTAMINA vs Kraha Bodas, berita tanggal 27 Agustus 2002”,

diakses terakhir tanggal 1 Juni 2009.

http://www.pemantauperadilan.com, tentang Ketertiban Umum sebagai Dasar Penolakan Dilaksanakannya Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, diakses terakhir tanggal 1 Juni 2009.

http/igm-07.nlm.nih.gop/egi-biin/VERSON A/10696 O.igm, tentang “Alternative

Dispute Resolution (ADR),” diakses terakhir tanggal 21 April 2009.

http/www batnet com/oikoumene/arbined3 html./, Richard Hill, “Overview of Dispute

Resolution,” diakses terakhir tanggal 21 April 2009.

http//www.hg.org/mediation-definition.html, Mediation-Defenition, versi elektronik diakses terakhir tanggal 28 April 2009.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-2html, tentang ”Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007, oleh Juwana, Hikmahanto, diakses terakhir tanggal 25 September 2008.

http://www.hukumonline.com, tentang “Sepuluh Perkara Litigasi Komersil Paling

Menghebohkan 2004”, diakses terakhir tanggal 23 September 2008. 5. Surat Kabar

Meliala, Adrianus., ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, Artikel, Koran Tempo, 10 April 2001.

6. Putusan perkara

Putusan Mahkamah Agung Arbitrase Internasional, Perkara KBC Vs PERTAMINA Putusan Nomor: 01/BANDING/WASIT.INT/2002, tanggal 8 Maret 2004.