Bali bebas memilih, karena perempuan yang akan masuk mengikuti kasta laki-laki yang menjadi suaminya. Begitu pula dalam Perkawinan
Nyentana. Perempuan berkasta brahmana tidak dimungkinkan kawin kaceburin dengan laki-laki dari kasta yang berbeda atau lebih rendah
Ngurah, 2009. Sistem patrilinial menimbulkan konstruksi gender dalam budaya
dimana anak laki-laki memiliki kedudukan yang lebih penting daripada anak perempuan Ngurah, 2009. Selain itu, budaya ini membuat para
perempuaan memiliki beban kerja yang jauh lebih banyak daripada laki- laki Mulia, 2012. Di lingkungan rumah, perempuan Bali dibebani
dengan pekerjaan rumah tangga, keagamaan dan banyak juga dijumpai para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Jadi, peran perempuan Bali dalam kehidupan masyarakat Bali sangat diperlukan karena perempuan yang melaksanakan sebagian besar
pekerjaan sehari-hari maupun kegiatan keagamaan di masyarakat. Meskipun keterlibatan perempuan terutama dalam kehidupan rumah
tangga sangat besar, namun tetap saja kedudukan perempuan Bali belum bisa dikatakan sejajar dengan laki-laki.
3. Peran Suami dan Istri dalam Agama Hindu
Peran merupakan posisi yang diambil atau ditempati individu di dalam sistem sosial yang memungkinkan perilaku tertentu diharapkan
Berry, dkk, 1999. Hal ini didukung oleh Sears 1985 yang mendefinisikan peran sosial sebagai sekumpulan peraturan yang
merupakan pedoman berperilaku dalam suatu hubungan, sehingga dalam suatu sistem sosial terdapat sanksi-sanksi. Hal ini mempengaruhi, bahkan
memberi tekanan pada masing-masing individu yang menjadi bagian dalam sistem sosial untuk berperilaku sesuai dengan norma yang telah
ditetapkan.
Pembagian kewajiban suami dan istri menurut Swastika 2010
secara terperinci dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Kewajiban Suami dan Istri
Kewajiban Suami Kewajiban Istri
1. Senantiasa
mengadakan perencanaan,
sebagai pemrakarsa,
pencetus dan
pemimpin didalam keluarga. 2.
Menjaga dan melindungi istri dan
anak-anaknya, serta
memperlakukannya dengan
wajar dan hormat. 3.
Memelihara kesucian hubungan dengan
saling mempercayai
sehingga rukun dan harmonis. 4.
Senantiasa menyerahkan segala bentuk
penghasilan dan
menugaskan istri
untuk mengelolanya
dalam pemenuhan kebutuhan rumah
tangga dan yadnya. 5.
Wajib memberi nafkah bathin kepada istri secara wajar dan
menjauhi hal-hal
yang mengakibatkan perceraian.
6. Senantiasa
menjalankan kewajiban
rumah tangga,
kewajiban terhadap masyarakat dan
bangsa, dan
wajib mengawinkan
putra-putrinya pada waktunya.
7. Melaksanakan ritual keagamaan,
pemujaan pada leluhur, serta memelihara cucu-cucunya.
1. Ikut menetukan jalannya
rumah tangga yaitu sebagai pelaksana, dalam mengatur
tata graha, tata boga, tata keuangan, dan tata busana
keluarganya.
2. Wajib memenuhi harapan
suami yaitu
harapan melahirkan anak yang baik,
ikut menjaga
keutuhan keluarga, cerdas, tangguh,
mandiri. 3.
Selalu berpenampilan
lemah lembut dan simpatik. 4.
Setia kepada suami, tahan uji dan hormat.
5. Membimbing anak, maka
peran istri sangat dominan untuk
memberikan bimbingan kepada anak-
anaknya. 6.
Sebagai penyelenggara
aktivitas keagamaan. Istri wajib mengetahui tentang
ritual keagamaan
dari tingkat yang paling dasar.
Berdasakan penjelasan Swastika 2010, dalam keluarga Hindu pembagian peran antara suami dan istri didasarkan pada arti kata suami
dan istri, serta penafsiran kitab Manawa Dharma Sastra dan Pustaka Suci Slokantara. Suami berasal dari bahasa Sanskrta Svami yang berarti
pelindung atau bapak yang dihormati. Suami merupakan pemimpin yang mengendalikan semua kebijakan dalam rumah tangga. Istri berasal dari
kata Stri yang berarti pengikat kasih. Dalam hal ini istri berperan menjaga jalinan kasih sayang kepada suami dan anak-anaknya.
D. Perkawinan Nyentana pada Perempuan
Perkawinan Nyentana merupakan sistem perkawinan yang berbeda dengan perkawinan biasa. Perempuan dalam perkawinan Nyentana berubah
status menjadi laki-laki purusa sedangkan laki-laki berubah status menjadi predana perempuan. Perubahan status purusa berarti memberi tanggung
jawab pada perempuan agar dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia serta lengkap dengan anak-anak yang suputra baik. Dengan
demikian, kedudukan perempuan sebagai anak diharapkan mampu membayar hutang Tri Rna dan mengamalkan ajaran Tri Hita Karana.
Kehidupan sosial kemasyarakatan yang mengikat menjadikan perkawinan Nyentana juga sangat penting karena status perempuan akan berubah menjadi
Sentana Rajeg atau Putrika dan dianggap menjadi anggota penuh dari masyarakat.
Peran gender secara umum sering membuat perempuan merasa bersalah apabila tidak berperan sesuai dengan norma-norma yang ada di
masyarakat Nurrachman, dkk, 2011. Pembalikan peran dalam perkawinan Nyentana yang tidak sesuai dengan konsep perempuan dan laki-laki pada
umumnya di Bali memungkinkan terjadinya pembagian peran yang ambigu. Hal ini berarti tuntutan agar perempuan berperilaku sesuai fungsi dan
kedudukannya sebagai purusa semakin memperbesar kemungkinan perempuan mengalami kelelahan fisik dan mental.
Perkawinan Nyentana pada perempuan berusaha menggambarkan bagaimana perempuan hidup, menanggung, mengalami, memberi rasa sejak
mempersiapkan perkawinannya hingga saat ini. Perkawinan Nyentana yang berbeda dengan sistem perkawinan biasa kemudian memunculkan pertanyaan
penelitian yaitu:
Bagaimana sesungguhnya perkawinan Nyentana dialami oleh perempuan yang masih bertahan dalam perkawinannya hingga saat ini?