Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN
67
Perempuan yang benar-benar menjalankan perannya sebagai purusa laki-laki cenderung mengalami perasaan berat dalam menjalankan
perannya. Menurut S.W. Gray dan J.S. Coleman dalam Mappiare, 1983, konsep perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan lebih mengakibatkan
kebingungan pada perempuan daripada laki-laki. Konflik peran apabila disertai dengan perasaan bingung dan ketidakpastian akan mempersulit
perempuan dalam menyesuaikan diri. Hal ini berarti perubahan peran dalam konsep Nyentana lebih mengakibatkan perempuan merasa kesulitan dalam
melakukan penyesuaian. Menurut Mappiare 1983, masalah penyesuaian muncul dalam diri
perempuan putrika lebih dikarenakan konflik antara harapan dan pengakuan. Ketiadaan pengakuan dari suami terhadap persamaan hak untuk dinafkahi dan
ketidaksamaan pandangan dalam pembagian peran membuat perempuan putrika merasakan perasaan diabaikan, tidak dimengerti, tidak dihargai, sedih,
berat. Adanya anggapan bahwa suami berenak-enak menimbulkan perasaan benci dan terpaksa dalam melayani suami.
Pengalaman perkawinan Nyentana dirasakan perempuan pada tipe ke dua sebagai sebuah penyesalan. Menurut Mappiare 1983 perasaan negatif
akan semakin kuat apabila perempuan menaruh harapan telalu besar pada perkawinannya kesamaan peranan dengan laki-laki, namun kenyataan tidak
sejalan dengan harapan. Dengan demikian, perkawinan Nyentana yang benar- benar memberikan tanggung jawab Purusa pada perempuan bukan tidak
mungkin membuka peluang pasangan Nyentana untuk bercerai atau tetap
68
tinggal dalam satu rumah namun, tidak ada rasa cinta, kepedulian, dan keharmonisan satu sama lain.
Dalam mendiskusikan pengalaman, latar belakang subjek penting untuk diperhatikan karena pengalaman merupakan sesuatu yang sangat
kompleks dan berkelanjutan. Apabila dilihat dari segi latar belakang, terdapat perbedaan yang cukup menarik pada perempuan Nyentana pada tipe pertama
dan ke dua. Selain pada tipe pertama tergolong melakukan perkawinan dengan orang yang masih memiliki hubungan darah, mereka juga telah
melalui masa perkawinan jauh lebih lama yakni 22 tahun dan 13 tahun, sedangkan pada tipe ke dua perkawinannya baru berusai 6 tahun.
Perbedaan lain juga terlihat pada jenjang pendidikan. Pada perempuan tipe pertama, pendidikan yang mereka tempuh yaitu S1 dan D3,
sedangkan perempuan tipe ke dua hanya sampai pada tingkat SMK. Perkawinan Nyentana pada tipe kedua yang tidak didasari rasa saling
suka seperti membenarkan pandangan Swastika 2011 yang menyatakan bahwa terjadinya perkawinan Nyentana memiliki dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama yaitu adanya perasaan suka sama suka dan sepakat melanjutkan garis keturunan pihak perempuan. Kemungkinan ke dua yaitu
karena adanya kesepakatan meneruskan garis keturunan pihak perempuan tanpa didasari atas rasa suka sama suka. Hal ini juga memperkuat pendapat
Mulia 2012 yang menyatakan bahwa meskipun tradisi Nyentana memberikan potensi kepada perempuan untuk melakukan tekanan dan
subordinasi pada laki-laki, hal ini tidak dilakukan oleh perempuan.
69
Perempuan putrika tetap memahami perkawinan Nyentana hanya sebagai status dalam menentukan penerusan garis keturunan.
Pada keluarga salah satu perempuan tipe pertama terdapat larangan melakukan perkawinan Nyentana dengan laki-laki yang tidak sederajat atau
satu kasta. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ngurah 2009 yang menyatakan bahwa meskipun di Bali sudah mengalami modernisasi,
masyarakat Bali masih memperhitungkan kasta. Dimana perempuan berkasta tinggi tidak diperbolehkan kawina kaceburin dengan laki-laki dari kasta yang
berbeda atau lebih rendah. Perkawinan Nyentana dialami perempuan atas dasar adanya desakan
dari keluarga, bukan dari dari perempuan putrika sendiri. Perkawinan Nyentana dialami sebagai sebuah beban yang harus ditempuh untuk
menunjukkan tanggung jawab perempuan sebagai anak kepada orang tua atau leluhurnya. Perkawinan Nyentana dialami perempuan sebagai bentuk
pengorbanan diri yang bertujuan untuk membahagiakan orang tua. Peran keyakinan, dalam hal ini yaitu ajaran agama Hindu pada diri masing-masing
subjek sangat terasa. Ketiga subjek merasa terikat dengan kewajiban memenuhi harapan orang tua. Dalam hal ini kewajiban tersebut adalah hutang
anak pada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan mereka Silalahi dan Eko, 2010.
70