Fraksinasi Dan Utilisasi Protein Kacang Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) Dan Kacang Merah (Phaseolus Vulgaris L ) Dengan Perbedaan Suhu Pengeringan

FRAKSINASI DAN UTILISASI PROTEIN KACANG
KEDELAI (Glycine max (L). Merrill) DAN KACANG MERAH
(Phaseolus vulgaris L.) DENGAN PERBEDAAN
SUHU PENGERINGAN

YESI CHWENTA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fraksinasi dan Utilisasi
Protein Kacang Kedelai (Glycine max (L). Merrill) dan Kacang Merah
(Phaseolus vulgaris L.) dengan Perbedaan Suhu Pengeringan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Yesi Chwenta Sari
NIM D251140181

RINGKASAN
YESI CHWENTA SARI. Fraksinasi dan Utilisasi Protein Kacang Kedelai
(Glycine max (L). Merrill) dan Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) dengan
Perbedaan Suhu Pengeringan. Dibimbing oleh ERIKA B. LACONI, DIDID
DIAPARI, dan ANURAGA JAYANEGARA.
Penentuan kebutuhan protein di Indonesia masih berbasis protein kasar. Jika
kebutuhan protein hanya dilihat dari kandungan protein kasar, hal ini tidak efektif
karena hanya sebagian protein yang dapat diutilisasi oleh ternak ruminansia.
Protein banyak dikandung oleh kacang-kacangan yaitu mencapai 20 sampai 40%.
Kacang kedelai dan kacang merah banyak tumbuh serta mudah diperoleh di
Indonesia menjadi salah satu alasan kacang-kacangan tersebut digunakan dalam
penelitian ini, supaya ketersediaannya berkesinambungan serta dapat ditentukan
berapa persen (%) protein yang terikat dalam dinding sel dan kecernaannya

sehingga dapat menggambarkan protein terutilisasi oleh ternak ruminansia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan suhu pengeringan yang tepat dan
aman dalam pengolahan bahan pakan serta untuk mengevaluasi fraksinasi dan
utilisasi protein kacang kedelai dan kacang merah. Fraksinasi dan utilisasi protein
penting untuk diteliti dan dipertimbangkan sebagai analisis rutin di laboratorium
yang berkaitan dengan pakan dan nutrisi ternak.
Kacang kedelai dan kacang merah diperoleh dari pasar tradisional dalam
keadaan segar dan dipilih berdasarkan penilaian secara fisik, kemudian kacang
kedelai dan kacang merah tersebut ditimbang sebagai berat segar, untuk perlakuan
sebelum dikeringkan di oven semua sampel berdasarkan jenis kacang dicampur
sampai homogen, lalu diambil 1 kg yang kemudian digunakan untuk perlakuan.
Kacang kedelai dan kacang merah dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam
dengan 4 level suhu pengeringan yang berbeda (50, 60, 70, 80 oC) dengan tiga
ulangan. Sampel ditimbang dan digiling, kemudian disaring melalui screen 1 mm,
yang kemudian digunakan untuk pengujian. Peubah yang diukur yakni analisis
proksimat (bahan kering, kadar abu, kadar protein kasar dan kadar lemak kasar),
analisis Van soest (NDF: Neutral Detergent Fiber; ADF: Acid Detergent Fiber),
analisis fraksi protein kasar (NDICP: Neutral Detergent Insoluble Crude Protein;
ADICP: Acid Detergent Insoluble Crude Protein), analisis in vitro (total produksi
gas, kecepatan produksi gas, pH, kecernaan bahan kering/KCBK, kecernaan

protein kasar/KCPK, konsentrasi amonia/NH3, konsentarsi VFA parsial dan total
VFA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu 50 dan 60 oC merupakan suhu
yang tepat dan aman untuk pengeringan bahan pakan karena tidak menimbulkan
masalah pada ternak ruminansia, jika suhu pengeringan ditingkatkan maka fraksi
nitrogen yang tidak larut (NDICP dan ADICP) akan meningkat sehingga lebih
banyak protein yang tidak bisa diutilisasi oleh ternak ruminansia akibatnya
kecernaan protein kasar menurun, selain itu suhu pengeringan lebih tinggi dari 60
o
C sudah terbentuk reaksi Maillard dimana bahan pakan akan berubah menjadi
kecoklatan dan dapat menurunkan kecernaan protein. Produksi gas memberikan
interaksi yang nyata oleh perlakuan, produksi gas pada kacang kedelai lebih
rendah dibandingkan kacang merah. Hal ini disebabkan pada kacang kedelai

mengandung kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan kacang merah karena
lemak tidak berkontribusi terhadap total produksi gas yang dihasilkan di rumen.
Kecepatan produksi gas tidak memberikan interaksi oleh perlakuan. Faktor jenis
kacang berpengaruh nyata terhadap kecepatan produksi gas. Kecepatan produksi
gas pada kacang kedelai lebih tinggi dibandingkan pada kacang merah karena
kacang kedelai mengandung protein yang mudah dicerna lebih banyak untuk

mikroba rumen. Faktor suhu berpengaruh nyata terhadap kecepatan produksi gas,
dimana semakin tinggi suhu pengeringan akan menurunkan laju kecepatan
produksi gas. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu pengeringan maka
kecernaan akan semakin menurun. Semakin besar kecernaan bahan pakan akan
berkorelasi positif terhadap kecepatan produksi gas dan total produksi gas. KCBK,
VFA tertinggi diperoleh kacang merah karena kacang merah kaya akan
karbohidrat, kadar BETN yang tinggi dan nilai NPN yang tinggi, sedangkan
KCPK, NH3 tertinggi diperoleh kacang kedelai karena kacang kedelai
mengandung protein kasar yang paling tinggi sebesar 44.32%.
Kata kunci: kacang kedelai, kacang merah, fraksinasi protein, utilisasi protein,
temperatur pengeringan.

SUMMARY
YESI CHWENTA SARI. Fractionation and Protein Utilization of Soybean
(Glycine max (L). Merrill) and Redbean (Phaseolus vulgaris L.) with Different
Drying Temperatures. Supervised by ERIKA B. LACONI, DIDID DIAPARI and
ANURAGA JAYANEGARA.
Determination of protein requirement in Indonesia is still based on crude
protein. Protein requirement only seen from the crude protein content as an
indicator of animal diet, it was ineffective because the only some proteins could

be utilization by ruminants. The beans were containing the protein about 20-40%.
Soybean and redbean were growth, produce an available easily in Indonesia, that’s
why as one of the reasons that the beans were used in this study. Furthermore, in
this study will be seen how many percent (%) protein bound in the cell wall and
digestibility thus can describe protein utilization by ruminants. This study was
aimed to get proper drying temperature in the processing of feed and to evaluate
fractionation and protein utilization of soybean and redbean. Fractionation and
protein utilization were important to be measured and should be considered as a
routine analysis in the laboratory related to animal feed and nutrition.
Soybean and redbean obtained from traditional markets in a fresh state and
selected based on physical assessment. Then the beans are weighed as fresh
weight, for treatment before being dried in the oven all samples based on the types
of beans should be mixed until homogeneous, then taken 1 kg which was then
used for treatment. Soybean and redbean were oven-dried at different levels of
temperatures for 24 h, i.e. 50, 60, 70 and 80 oC in three replicates, after that
weighed and milled, then filtered through 1 mm screen, which is then used for
testing sample. Proximate analysis is conducted to measure the content of dry
matter, ash, crude protein and crude fat that contain in the sample. Van Soest
analysis is conducted to measure the value of NDF (Neutral Detergent Fiber),
ADF (Acid Detergent Fiber). Crude protein fractions analysis is conducted to

measure the value of NDICP (Neutral Detergent Insoluble Crude Protein),
ADICP (Acid Detergent Insoluble Crude Protein). In vitro analysis is conducted
to measure of total gas production and kinetics, pH, digestibility’s value of dry
material and the value of crude protein digestibility, the concentration of
ammonia/NH3, VFA partial and total VFA components.
The results showed that the heating temperatures a proper and safe drying
based on fractionation and protein utilization are 50 and 60 oC because increasing
drying temperatures increased insoluble nitrogen fraction (NDICP and ADICP).
Higher levels of such insoluble nitrogen fractions are not desirable due to their
lower utilization efficiency in the digestive tract of ruminants. Additionally drying
temperature more than 60 °C has been formed Maillard reaction which will feed
materials changed to brown and could be decrease protein digestibility. Gas
production gives significant interaction by the treatment, in which total gas
production in soybean was lower than redbean. This was due to the soybean
contain a higher fat content than redbean because fat does not contribute to gas
production in the rumen. Kinetics gas was not affected significant by treatments.
Factors kinds of beans significantly affected the kinetics gas production. Kinetics
gas production in soybean was higher than in the beans because soybean contain

easily protein digested for the rumen microbes. Temperatures Factor ware affected

significant to kinetics gas production, where the higher the drying temperature
will be decrease the kinetics gas production. This was due to the higher drying
temperatures will be decrease the digestibility. The greater digestibility feed
materials will be positively correlated total gas production and kinetics. Redbean
have the highest level of KCBK and total value of VFA because redbean are rich
in carbohydrates, and high levels of BETN and NPN value, while the soybean
have the highest level of KCPK and NH3 because Soybean contains the highest
crude protein of 44.32%.
Key words: soybean, redbean, fractionation of proteins, protein utilization, drying
temperatures.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


FRAKSINASI DAN UTILISASI PROTEIN KACANG
KEDELAI (Glycine max (L). Merrill) DAN KACANG MERAH
(Phaseolus vulgaris L.) DENGAN PERBEDAAN
SUHU PENGERINGAN

YESI CHWENTA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Lilis Khotijah, MSi


Judul Tesis : Fraksinasi dan Utilisasi Protein Kacang Kedelai (Glycine max (L).
Merrill) dan Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) dengan
Perbedaan Suhu Pengeringan
Nama
: Yesi Chwenta Sari
NIM
: D251140181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Erika B. Laconi, MS
Ketua

Dr Ir Didid Diapari, MSi
Anggota

Dr Anuraga Jayanegara, SPt MSc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Yuli Retnani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Juni 2016
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya ilmiah ini. Shalawat beserta salam tercurah untuk baginda
Rasulullah Muhammad SAW atas semua perjuangan dan dakwah beliau.
Penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan November 2015 sampai April 2016
ini berjudul “Fraksinasi dan Utilisasi Protein Kacang Kedelai (Glycine max
(L). Merrill) dan Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) dengan Perbedaan
Suhu Pengeringan”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan
untuk memperoleh gelar Magister Sains, Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sebagian isi dari karya ilmiah ini
telah dipublikasikan pada Seminar Internasional ‘BaSIC’ pada tanggal 2-3 Maret
2016 dan sudah diterbitkan dalam Proceeding (ISSN : 2338-0128, Volume: 6)
dengan judul “Increase of Insoluble Nitrogen Fractions in Soybean (Glycine
max (L.) Merrill) and Redbean (Phaseolus vulgaris L.) due to Higher Drying
Temperatures”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon
Dosen tahun 2014-2016 yang telah penulis terima selama menempuh kuliah di
Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Erika B. Laconi,
MS, Bapak Dr Ir Didid Diapari, MS, dan Bapak Dr Anuraga Jayanegara, SPt MSc
selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi
dan arahan dalam penulisan karya ilmiah ini, serta kepada dosen dan pegawai
Program Studi Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Pakan atas bimbingan dan
bantuannya. Terima kasih untuk dana proyek penelitian atas nama Bapak Dr
Anuraga Jayanegara, SPt MSc yang telah membantu dalam pendanaan penelitian
ini. Terima kasih pula saya ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir H Novirman
Jamarun, MSc dan Bapak Dr Ir Adrizal, MS selaku dosen S1 di Universitas
Andalas yang telah memberikan rekomendasi Homebase mengajar sebagai
persyaratan untuk mendapatkan beasiswa BPPDN DIKTI tahun 2014. Secara
khusus penulis sampaikan terima kasih kepada Syafri Nanda, SPt MSi sebagai
sahabat yang selalu memberi motivasi dan kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih, rasa cinta, dan sayang sedalam-dalamnya juga
penulis sampaikan kepada Ayahanda Arnawi, SPd dan ibunda Elly Apriani serta
dank David Fery Andrio, SPt, donga Rio Akbar, adik Putri Mayang Sari dan
seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, semangat serta kasih sayangnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bisa menambah
khasanah keilmuan terutama dibidang peternakan.
Bogor, Agustus 2016

Yesi Chwenta Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Analisis Data

4
4
4
4
4
10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

12

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Komposisi nutrien kacang kedelai dan kacang merah dengan 4 level
suhu pengeringan
Hasil analisis Van soest kacang kedelai dan kacang merah dengan 4
level suhu pengeringan
Hasil analisis fraksinasi protein kacang kedelai dan kacang merah
dengan 4 level suhu pengeringan
Total Produksi Gas (ml) dan Kecepatan Produksi Gas (ml/jam)
Derajat keasaman (pH) cairan rumen
Hasil kecernaan bahan kering dan kecernaan protein kasar kacang
kedelai dan kacang merah dengan 4 level suhu pengeringan
Produksi amonia (mM) kacang kedelai dan kacang merah setelah
inkubasi 24 jam dengan 4 level suhu pengeringan
Produksi VFA parsial (%) dan total VFA (mM) kacang kedelai dan
kacang merah setelah inkubasi 24 jam dengan 4 level suhu
pengeringan

12
14
15
15
17
18
20

21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Bagan alir penelitian
Warna sampel kacang merah setelah pengeringan dengan oven. M1:
suhu 50 oC, M2: 60 oC, M3: 70 oC, M4: 80 oC.
Warna sampel kacang kedelai setelah pengeringan dengan oven. P1:
suhu 50 oC, P2: 60 oC, P3: 70 oC, P4: 80 oC.

3
19
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Hasil analisis ragan bahan kering (BK)
Hasil analisis ragam kadar abu
Hasil analisis ragam protein kasar (PK)
Hasil analisis ragam lemak kasar (LK)
Hasil analisis ragam NDF (neutral detergent fiber)
Hasil analisis ragam ADF (acid detergent fiber)
Hasil analisis ragam NDICP (neutral detergent insoluble crude
protein)
Hasil analisis ragam ADICP (acid detergent insoluble crude protein)
Hasil analisis ragam total produksi gas (b)
Hasil analisis ragam kecepatan produksi gas (c)
Hasil analisis ragam pH cairan rumen
Hasil analisis ragam kecernaan bahan kering (KCBK)
Hasil analisis ragam kecernaan protein kasar (KCPK)
Hasil analisis ragam produksi amonia (NH3)
Hasil analisis ragam asam asetat (C2)
Hasil analisis ragam asam propionat (C3)
Hasil analisis ragam asam butirat (C4)
Hasil analisis ragam total VFA

27
27
28
28
28
29
29
30
30
31
31
31
32
32
33
33
33
34

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kacang-kacangan merupakan tanaman yang sangat familiar di kalangan
masyarakat dan telah banyak diberikan kepada ternak sebagai bahan pakan
sumber protein. Bahan pakan dikatakan sebagai sumber protein apabila
mengandung protein kasar minimal atau lebih dari 20% (Hardianto 2000).
Menurut Almatsier (2009) protein dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan yang
berasal dari tumbuhan berupa hijauan leguminosa seperti daun turi, lamtoro,
ataupun dari konsentrat biji-bijian/kacang-kacangan. Protein diperlukan oleh
ternak untuk mengganti dan membangun sel tubuh yang rusak dan juga berperan
dalam pembentukan biomolekul dibandingkan dengan makronutrien lainnya
seperti karbohidrat dan lemak, oleh karena itu protein dapat dipakai sebagai
sumber energi ketika tubuh kekurangan energi.
Beberapa jenis kacang-kacangan yang potensial dijadikan sebagai sumber
protein adalah kacang kedelai dan kacang merah. Kualitas dari protein ditentukan
oleh susunan asam amino didalamnya. Kacang kedelai memiliki susunan asam
amino yang relatif lengkap dan seimbang. Kandungan asam amino yang
membentuk protein pada kacang kedelai mendekati kandungan asam amino pada
protein hewani. Kacang kedelai juga mengandung asam lemak tidak jenuh tinggi
yang dapat menurunkan total kolesterol dalam darah. Kacang kedelai dapat
digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara lain untuk makanan manusia,
makanan ternak, dan untuk bahan industri (Cahyadi 2007). Selain kacang kedelai,
jenis kacang-kacangan yang juga tinggi protein yaitu kacang merah. Kacang
merah merupakan kacang yang potensial karena menyumbang protein by-pass
terbesar sehingga lebih efektif untuk ternak ruminansia (Dewi 2015). Biasanya
yang dimanfaatkan dari kacang merah adalah bijinya karena biji kacang merah
merupakan sumber protein. Disamping kaya akan protein nabati, biji kacang
merah juga mengandung karbohidrat, mineral, dan vitamin. Dibandingkan jenis
kacang-kacangan lainnya, kacang merah memiliki kadar karbohidrat yang
tertinggi. Keunggulan kacang merah jika dibandingkan dengan sumber protein
hewani yakni kacang merah bebas kolesterol. Protein kacang merah juga dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL yang bersifat jahat bagi kesehatan, serta bisa
meningkatkan kadar kolesterol HDL yang bersifat baik bagi kesehatan (Astawan
2009).
Pengolahan bahan pakan berprotein dapat dilakukan dengan berbagai cara
diantaranya dengan pengolahan fisik. Secara fisik biasanya dilakukan dengan
pengeringan, akan tetapi pengolahan bahan pakan berprotein yang tidak dikontrol
dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi. Protein
merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang
mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya
gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya. Reaksi antara protein
dengan gula pereduksi yang dikenal dengan reaksi Maillard juga merupakan
penyebab utama terjadinya kerusakan protein selama pengolahan.
Protein memiliki unsur utama yaitu nitrogen yang merupakan 16% dari
berat protein (NRC 2001). Kadar protein dalam pakan dapat ditera dengan

2
menentukan jumlah nitrogen total yang dikandung suatu bahan. Utilisasi protein
pakan dapat ditentukan apabila jumlah nitrogen yang terikat pada dinding sel
pakan dianalisis dan dikuantifikasi. Jika kebutuhan protein hanya dilihat dari
kandungan protein kasar, hal ini tidak efektif karena tidak semua kandungan
protein dalam pakan dapat diutilisasi oleh ternak ruminansia (Tamminga et al.
1994; Filho et al. 2010; Van Duinkerken et al. 2011), selain itu di Indonesia
penelitian mengenai fraksinasi dan utilisasi protein dinding sel masih sedikit,
sehingga diperlukan penelitian-penelitian terkait dengan hal tersebut supaya bisa
dikembangkan sistem formulasi ransum ternak ruminansia berbasis protein
terutilisasi.
Metode evaluasi degradasi bahan pakan dalam rumen dapat dilaksanakan
dengan beberapa metode, salah satunya adalah dengan metode in vitro. Metode in
vitro merupakan suatu percobaan pendugaan kecernaan secara tidak langsung
yang dilakukan di laboratorium dengan meniru proses pencernaan yang terjadi di
dalam saluran pencernaan ruminansia. Metode in vitro dipilih karena memiliki
beberapa kelebihan diantaranya adalah waktu yang lebih singkat, biaya yang lebih
murah, dan dapat dikerjakan dengan banyak sampel sekaligus, serta bahan pakan
yang tidak bisa diberikan secara tunggal pada ternak daya cernanya dapat diteliti
dengan metode in vitro (Getachew et al. 2004).

Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan suhu pengeringan yang tepat dan aman dalam
pengolahan bahan pakan serta untuk mengevaluasi fraksinasi dan utilisasi protein
kacang kedelai dan kacang merah.

Manfaat Penelitian
Suhu pengeringan yang berbeda terhadap fraksinasi dan utilisasi protein
kacang kedelai dan kacang merah dapat diketahui keoptimalannya dalam
meningkatkan kecernaan protein di dalam tubuh ternak ruminansia serta bisa
dikembangkan sistem formulasi ransum ternak ruminansia berbasis protein
terutilisasi.

3
Berat segar

K. kedelai dan k. merah

Di masukkan ke oven
selama 24 jam

Homogen

Sampel
sebanyak 1 kg

4 level suhu
berbeda : 50, 60,
70, 80 oC

Timbang, giling dan saring

Sampel pengujian

Komposisi
kimia bahan

Fraksi protein
kasar

Pengujian
in vitro

Komposisi
kecernaan

pakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kadar air
Bahan kering
Kadar abu
Kadar PK
Kadar LK
NDF
ADF

1. NDICP
2. ADICP

Gambar 1 Bagan alir penelitian

1. Total
produksi
gas
2. Kecepatan
produksi
gas
3. pH
4. NH3
5. VFA parsial
dan total
VFA

1. KCBK
2. KCPK

4

2 MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai April 2016.
Analisis proksimat, analisis fraksi protein kasar, dan in vitro dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah,
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, analisis Van soest dilaksanakan di Pusat Penelitian Bioteknologi
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Cibinong serta analisis VFA parsial
dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain kacang kedelai, kacang merah,
cairan rumen sapi fistula untuk uji in vitro, larutan Mc Dougalls, aquadest, larutan
ADS (Acid Detergent Solution), larutan NDS (Neutral Detergent Solution),
larutan pepsin HCl 0.2%, larutan H2SO4 0.005 N, vaselin tawar, larutan NaOH 1
N 0.5 mL dan bahan-bahan kimia lainnya.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, buret, water
bath, hot plate, kain kasa, botol fermentor, kertas saring Whatman #41, vacuum
pump, cawan, penutup karet, penutup alumunium, termometer, tabung reaksi,
cawan conway, Gas Chromatograph Shimadsu GC-8A. Alat untuk membuat
larutan McDougalls yaitu beaker glass, labu ukur kapasitas 1 liter, erlenmeyer, pH
meter, pipet dan alat-alat laboratorium lainnya.
Metode Penelitian
Preparasi Sampel Pakan
Kacang kedelai dan kacang merah diperoleh dari pasar tradisional dalam
keadaan segar dan dipilih berdasarkan penilaian secara fisik, kemudian kacangkacangan tersebut ditimbang sebagai berat segar, untuk perlakuan sebelum
dikeringkan di oven sampel berdasarkan jenis kacang harus dicampur sampai
homogen, lalu diambil 1 kg yang kemudian digunakan untuk perlakuan. Sampel
dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan 4 level suhu pengeringan yang
berbeda (50, 60, 70, 80 oC), setelah itu ditimbang dan digiling lalu disaring
melalui screen 1 mm yang kemudian digunakan untuk pengujian.
Analisis Komposisi Kimia Pakan
Sampel pakan yang didapatkan dianalisis komposisi kimianya meliputi
analisis proksimat (bahan kering, kadar abu, protein kasar, lemak kasar; AOAC
2005), analisis fraksi serat Van Soest (NDF, ADF; Van Soest et al. 1991), serta

5
analisis fraksi protein kasar yang meliputi NDICP (Neutral Detergent Insoluble
Crude Protein), ADICP (Acid Detergent Insoluble Crude Protein).
Analisis Proksimat
Kadar air (AOAC 2005). Cawan sebelumnya telah dipanaskan sekitar 1
jam pada oven 105 °C kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang berat
cawan. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam cawan, lalu
cawan dan sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama sekitar 4-6
jam (sampai tercapai bobot tetap), lalu cawan diangkat dan didinginkan dalam
eksikator. Setelah itu ditimbang beratnya. Kadar air ditentukan menggunakan
rumus :
Kadar air (%) = (

berat sebelum oven 105 °C (g -berat setelah oven 105 °C (g))
berat sampel (g)

) x 100%

Bahan Kering : Pakan bebas air. Menghitung kadar bahan kering dengan
rumus sebagai berikut :
BK= 100% - KA
Keterangan :
BK = kadar bahan kering (%)
KA = kadar air (%)
Kadar abu (AOAC 2005). Cawan sebelumnya telah dipanaskan pada tanur
400-600 °C, kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu berat cawan ditimbang.
Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang.
Sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap sekitar 2 jam, lalu
dimasukkan ke dalam tanur. Setelah itu diangkat dan didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang beratnya. Kadar abu ditentukan menggunakan rumus :

Kadar abu (%) = (

berat cawan dan residu g -berat cawan kosong (g)
berat sampel (g)

) x 100%

Kadar protein kasar (AOAC 2005). Sampel ditimbang sebanyak 0.3 g,
lalu ditambahkan 1.5 g katalis selenium mixture, lalu dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl dan ditambahkan 20 mL H2SO4 pekat. Destruksi dilakukan sampai
warna larutan menjadi hijau-kekuningan-jernih, lalu didinginkan sekitar 15 menit,
kemudian ditambahkan 300 mL aquades dan didinginkan kembali. Setelah itu
ditambahkan 100 mL NaOH 40%, lalu dilakukan destilasi. Hasil destilasi
ditampung dengan 10 mL H2SO4 0.1 N yang sudah ditambah 3 tetes indikator
campuran methylen blue dan methylen red. Setelah itu dilakukan titrasi dengan
NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru-kehijauan.
Penetapan blanko dengan cara dipipet 10 mL H2SO4 0.1 N dan ditambah 2 tetes
indikator PP, lalu dititrasi dengan NaOH 0.1 N. Kadar protein kasar ditentukan
menggunakan rumus :

6
Kadar protein kasar (%) = (

(blanko mL - sampel (mL)) x N NaOH x 14 x 6.25
berat sampel (g)

) x 100%

Kadar Lemak Kasar (AOAC 2005). Labu penyari disiapkan dengan batu
didih didalamnya yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105 oC dan
dinginkan di dalam eksikator kemudian labu penyari ditimbang. Sampel
ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dimasukkan ke dalam selongsong penyari,
lalu ditutup menggunakan kapas tidak berlemak, setelah itu selongsong penyari
dimasukkan ke dalam alat soxlet lalu disari menggunakan petroleum benzin,
selanjutnya dihubungkan dengan kondensor. Proses ini dilakukan menggunakan
alat FATEX-S. Labu dimasukkan ke dalam oven 105 oC sampai tetap (sekitar 4-6
jam), diangkat dan didinginkan dalam eksikator. Bobot akhir ditimbang.
Kadar lemak kasar (%) = (

berat labu akhir g -berat labu awal (g)
berat sampel (g)

) x 100%

Analisis Fraksi Serat Van Soest
Neutral detergent fibre (NDF) (Van Soest 1991). Sampel ditimbang
sebanyak 0.5-1 g (kering udara dan sudah digiling) lalu dimasukkan ke dalam
gelas beaker 600 mL dan ditambahkan sebanyak 100 mL larutan detergen netral
dan 2-3 tetes dekalin, setelah itu dipanaskan selama 5 sampai 6 menit sampai
mulai panas kemudian dihitung waktu pemanasannya selama 60 menit sambil di
reflux dengan aliran air, setelah 60 menit pendidihan, beaker diambil dari
pemanas dan dibiarkan sebentar supaya bahan padatan mengendap di bawahnya.
Gelas saring disiapkan pada tempatnya dan dipanaskan dengan air mendidih.
Bahan larutan disaring secara pelan-pelan mulai dari bahan cairan yang terlarut
dengan vakum yang rendah dayanya. Pada bagian padatannya dimasukkan ke
saringan sambil dibilas dengan air mendidih. Vakum bisa ditambah kekuatanya
sesuai dengan kebutuhan. Sampel dicuci sekitar 2 kali dengan air panas, 2 kali
dengan aseton dan kemudian dapat dikeringkan. Gelas penyaring dapat
dikeringkan minimal selama 8 jam (atau disimpan semalam apabila analisis
dilanjutkan hari berikutnya) pada suhu 105 °C dalam oven yang dilengkapi
dengan sistem kipas, setelah ditimbang akan didapatkan berat kering residu NDF.
NDF (%) = (

berat sampel setelah oven g – berat sampel setelah tanur (g)
berat sampel (g)

) x 100%

Acid detergent fibre (ADF) (Van Soest 1991). Prosedurnya sama dengan
NDF, namun yang berbeda hanya pada pelarutnya. Pada ADF digunakan larutan
detergen asam.
ADF (%) = (

berat sampel setelah oven g – berat sampel setelah tanur (g)
berat sampel (g)

) x 100%

Analisis Fraksi Protein Kasar
Acid detergent insoluble crude protein (ADICP) (Licitra et al. 1996).
Prosedur ADF diikuti dengan menggunakan sampel sebanyak 1-2 g, kemudian
disaring menggunakan kertas Whatman #54. Kertas dapat ditimbang jika nilai

7
ADF diinginkan. Kertas dilipat ke dalam corong dan digunakan corong sudut 60
o
C dan saringan kerucut (Fisher Cat. No. 9-760) untuk melindungi tip, lalu kertas
dicuci menggunakan air panas sampai bebas asam kemudian aseton. Kertas yang
telah dilipat tersebut dimasukkan ke dalam krusibel yang telah dipanaskan,
kemudian dikeringakan pada oven 105 0C selama 8 jam atau semalaman dan
ditimbang jika ingin menentukan ADF, lalu residu kertas dipindahkan ke dalam
labu kjeldahl. Nitrogen pada residu ditentukan menurut prosedur kjeldahl.
Destilasi titrasi menggunakan asam standar 0.01 N.
ADICP (BK%) = (
ADICP (PK%) = (

kadar protein
100

) x % ADF

ADICP (%BK)
PK sampel (%BK)

) x 100%

Neutral detergent insoluble crude protein (NDICP) (Licitra et al. 1996).
Prosedur untuk NDICP persis mengikuti prosedur ADICP kecuali pereaksinya
dan sodium sulfit diabaikan. Dimana prosedur NDF dilakukan terlebih dahulu,
kemudian dilakukan uji protein kasar Kjeldahl pada residu NDF.
NDICP (BK%) = (
NDICP (PK%) = (

kadar protein
100

) x % NDF

NDICP (%BK)
PK sampel (%BK)

) x 100%

Pelaksanaan Uji In vitro
Pengambilan Cairan Rumen
Termos disiapkan yang sebelumnya sudah diisi air panas dengan suhu 39 oC,
setelah itu cairan rumen diambil di LIPI Cibinong pada pagi hari sebelum sapi
diberi pakan. Cairan rumen diambil dari 3 sapi fistula supaya lebih banyak
mikroba rumen yang bisa diperoleh lalu cairan rumen dimasukkan ke dalam
termos yang sebelumnya air panas di dalam termos dibuang terlebih dahulu,
kemudian segera dibawa ke laboratorium yang perlengkapan fermentasi in vitro
telah disiapkan.
Pembuatan Larutan McDougall (Saliva Buatan)
Larutan ini sebagai buffer dalam fermentasi in vitro dengan komposisi
sebagai berikut (dalam 1000 ml) : NaHCO3 : 9.8 gram, Na2HPO4.7H2O : 3.71
gram, KCl : 0.57 gram, NaCl : 0.47 gram, MgS04.7H2O : 0.12 gram, CaCl2 : 0.04
gram.
Pembuatan Larutan Pepsin
Larutan pepsin dibuat dengan dilarutkannya 2 gram pepsin (1:10000) ke
dalam 850 ml air bebas ion, kemudian ditambah 17,8 ml HCl pekat dan campuran
dimasukkan ke dalam labu takar. Air ditambahkan hingga permukannya mencapai
tanda tera.

8
Inkubasi In vitro
Inkubasi in vitro menggunakan modifikasi metode Theoudorou et al. (1994)
dan metode Tilley dan Terry (1963). Buffer yang digunakan mengacu pada Tilley
dan Terry (1963) sedangkan prosedur mengacu pada Theoudorou et al. (1994),
yakni substrat sebanyak 0.75 gram dimasukkan ke dalam botol vial injection
berukuran 100 ml. Tambahkan 75 ml cairan rumen dan buffer untuk digunakan
sebagai media inkubasi yang telah dijenuhkan menggunakan gas CO 2. Campuran
antara substrat perlakuan, buffer, dan cairan rumen dimasukkan ke dalam botol
kemudian ditutup menggunakan penutup karet dan diperkuat oleh penutup
aluminium, selanjutnya diinkubasikan ke dalam water bath (Lab master) suhu 39
o
C selama 24 jam untuk profil fermentasi, 48 jam untuk kecernaan, dan 72 jam
untuk kinetika produksi gas. Selama masa inkubasi dilakukan pengocokan botol
secara manual setiap 30 menit sebelum pengukuran gas dan setiap setelah
pengukuran gas.
Pengukuran Total Produksi Gas dan Kecepatan Produksi Gas
Total produksi gas dan kecepatan produksi gas diukur pada jam ke 2, 4, 6, 8,
10, 12, 24, 36, 48, 72 setelah inkubasi. Pengukuran ini menggunakan syringe
plastik dengan volume 60 ml. Syringe pada bagian ujungnya ditusukkan melewati
penutup karet ke dalam botol menuju ke bagian ruang dari botol tanpa mengenai
permukaan cairan yang ada di dalam botol. Gas total yang dihasilkan akan
mendorong bagian dalam syringe ke atas. Setelah gas mendorong syringe secara
sempurna, dilakukan pencabutan syringe dari karet botol. Nilai total volume gas
(ml) dapat diketahui dengan pembacaan secara manual pada skala yang terdapat
pada syringe.
Total produksi gas dan kecepatan produksi gas akan diestimasi
menggunakan persamaan Orskov’s (Orskov dan McDonald 1979). Bentuk
persamaannya sebagai berikut :
p= b (1-exp-c.t)
Keterangan :
p : produksi gas kumulatif pada waktu t jam
b : produksi gas maksimum pada t = ∞ (ml)
c : kecepatan produksi gas (ml/jam)
t : waktu inkubasi (h).
Pengukuran pH
Pengukuran pH cairan rumen dilakukan setelah masa inkubasi 24 jam
dengan menggunakan pH meter. Ujung pH meter dimasukkan ke dalam cairan
rumen hasil penampungan yang sudah diinkubasi 24 jam. Sebelum dilakukan
pengukuran pH, pH meter terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan pH 4 dan
pH 7.
Pengukuran Konsentrasi Total VFA dan VFA Parsial (Goering dan Van
Soest 1970)
Pengukuran produksi VFA parsial (asam asetat, propionat, butirat) dengan
menggunakan alat Gas Chromatography. Jenis Gas Chromatography yang

9
digunakan yaitu GC 8A, Shimadzu Crop, Kyoto, Japan dengan kolom berisi 10%
SP-1200, 1% H3PO4 on 80/100 Cromosorb WAW. Sampel VFA parsial yang
digunakan berasal dari proses fermentasi dengan inkubasi 48 jam yang diambil
sebanyak 1,5 mL ke dalam tabung eppendorf, selanjutnya sampel dianalisis
dengan menginjeksikan 0,4 µL sampel pada GC. Dengan membaca kromatogram
standar acuan VFA yang konsentrasinya sudah diketahui maka konsentrasi VFA
yang akan diukur dapat dilihat pada kromatogram. Satuan VFA parsial yang
diperoleh adalah dalam µmol/ml atau mM. Kandungan total VFA didapatkan
melalui penjumlahan masing-masing VFA parsial penyusunnya.
mM sampel VFA =
VFA (Asetat) (%) =

Area contoh x 10 mM
Area standar
Asetat (mM)
VFA total

x 100 %

Keterangan : perhitungan sama untuk butirat dan propionat.
Pengukuran Konsentrasi NH3 (General Laboratory Procedure 1966)
Penentuan produksi NH3 dilakukan dengan menggunakan metode
mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966), sebelum digunakan
bibir cawan conway dan tutupnya terlebih dahulu diolesi dengan vaselin. Cairan
rumen sebanyak 1 mL diletakkan pada salah satu sekat cawan Conway, pada sisi
yang lain diletakkan 1 ml Na2CO3 jenuh. Pada bagian tengah diisi dengan asam
borat berindikator methil merah, kemudian Conway ditutup rapat dengan cawan
bervaselin lalu digoyang-goyangkan supaya supernatan bercampur dengan
Na2CO3, setelah itu dibiarkan selama 24 jam, amonia yang terikat dengan asam
borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai titik awal perubahan dari warna biru
menjadi kemerah-merahan.
Kadar amonia dapat dihitung dengan rumus:
N NH3 ( mM ) =

H2SO4 (mL) x N H2SO4 x 1000
sampel g x BK sampel (g)

Pengukuran KCBK (Tilley dan Terry 1963)
Kecernaan Bahan Kering (KCBK) mengacu pada metode Tilley dan Terry
(1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0.5 g sampel, ditambahkan 40
mL larutan McDougall. Tabung dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu
39 °C, kemudian diisi cairan rumen 10 mL, tabung dikocok dengan dialiri CO 2
selama 30 detik, dicek pH (6.5–6.9), kemudian ditutup dengan karet berventilasi,
dan difermentasi selama 48 jam, setelah 48 jam dibuka tutup karet tabung
fermentor, diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Tabung
fermentor dimasukkan ke dalam alat sentrifus kemudian dilakukan sentrifugasi
dengan kecepatan 4 ribu rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi
endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas.
Supernatan dibuang dan endapan disentrifugasi pada kecepatan 4 ribu rpm selama
15 menit lalu ditambahkan 50 mL larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini
kemudian diinkubasi kembali selama 48 jam. Sisa pencernaan disaring dengan

10
kertas saring Whatman no. 41 (yang sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan
pompa vakum. Endapan yang ada di kertas saring dimasukkan ke dalam cawan
porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama 24 jam, setelah 24
jam cawan porselen, kertas saring dan residu dikeluarkan kemudian dimasukkan
ke dalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya.
Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi tanpa bahan pakan.
KCBK (%) = (

BK sample g -(BK residu g -BK blanko g )
BK sampel (g)

) x 100%

Pengukuran KCPK (Tilley dan Terry 1963)
Kecernaan Protein Kasar (KCPK) mengacu pada metode Tilley dan Terry
(1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0.5 g sampel, ditambahkan 40
mL larutan McDougall. Tabung dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu
39 °C, kemudian diisi cairan rumen 10 mL, tabung dikocok dengan dialiri CO 2
selama 30 detik, dicek pH (6.5–6.9), kemudian ditutup dengan karet berventilasi,
dan difermentasi selama 48 jam, setelah 48 jam dibuka tutup karet tabung
fermentor, diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Tabung
fermentor dimasukkan ke dalam sentifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi
dengan kecepatan 4 ribu rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi
endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas.
Supernatan dibuang dan endapan hasil sentrifugasi pada kecepatan 4 ribu rpm
selama 15 menit ditambahkan 50 mL larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini lalu
diinkubasi kembali selama 48 jam. Sisa pencernaan disaring dengan kertas saring
Whatman no. 41 (yang sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan pompa vakum.
Endapan yang ada di kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselen, setelah
itu dimasukkan ke dalam oven 60 °C selama 24 jam. Setelah 24 jam, cawan
porselen, kertas saring dan residu dikeluarkan, dan dilanjutkan dengan analisis
protein kasar menggunakan metode Kjeldahl.
KCPK (%) = (

(PK awal (%)-PK residu (%))
PK awal (%)

) x 100

Analisis Data
Bahan pakan yang diuji dengan analisis proksimat, Van soest, dan fraksinasi
protein menggunakan analisis rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial (2x4).
Analisis in vitro menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial
(2x4) dengan 3 kelompok sebagai ulangan berdasarkan waktu pengambilan cairan
rumen yang berbeda, data diuji dengan ragam ANOVA, jika berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf
5% untuk mengetahui perlakuan yang paling baik dengan menggunakan SPSS
22.0.

11
Model matematika rancangan percobaan yang digunakan menurut Steel dan
Torrie (1991) adalah sebagai berikut :
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial :


=μ+



=μ+

+

+

+�

Rancangan Acak Kelompok (RAK) Pola Faktorial :
+

+

+ K� + �

Keterangan :

: nilai pengamatan pada taraf ke-i dari faktor A, taraf ke-j dari faktor B,
dan ulangan ke-k
μ
: rataan umum
: pengaruh taraf ke-i dari faktor A
: pengaruh taraf ke-j dari faktor B
αβij
: pengaruh interaksi antara taraf ke-i dari faktor A dengan taraf ke-j dari
faktor B
Kk
: pengaruh taraf ke-k dari faktor kelompok

: pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan ij
Adapun perlakuan terdiri atas 2 faktor (Faktor A dan Faktor B), dimana ;
Faktor A adalah jenis kacang yang terdiri dari 2 jenis yaitu
A1 = Kacang kedelai
A2 = Kacang merah
Faktor B adalah suhu pengeringan dengan oven yang terdiri dari 4 level yaitu
B1 = 50 0C
B2 = 60 0C
B3 = 70 0C
B4 = 80 0C
Peubah yang Diamati
1. Komposisi kimia bahan pakan meliputi bahan kering (BK), kadar abu, protein
kasar (PK), lemak kasar (LK), NDF, ADF.
2. Fraksi protein kasar meliputi NDICP (Neutral Detergent Insoluble Crude
Protein), ADICP (Acid Detergent Insoluble Crude Protein).
3. Total produksi gas dan kecepatan produksi gas
4. Pengujian In vitro meliputi kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan
protein kasar (KCPK).
5. Konsentrasi total VFA dan VFA parsial (asetat, propionat, butirat) dan
konsentrasi amonia (NH3).

12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Komposisi Nutrien Kacang Kedelai dan Kacang Merah
Hasil analisis BK, Abu, PK dan LK kacang kedelai dan kacang merah
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrien kacang kedelai dan kacang merah dengan 4 level suhu
pengeringan
Peubah

Jenis
Kacang
K.Kedelai

BK
(%)

ABU
(%)

PK
(%)

LK
(%)

Suhu (OC)
50

60

70

80

93.51±0.24b

96.29±0.14d

97.06±0.01e

97.88±0.13f

a

c

e

98.43±0.06g

K.Merah

90.10±0.21

K.Kedelai

5.26±0.04

5.40±0.17

5.28±0.07

5.29±0.03

5.31±0.09b

K.Merah

4.39±0.03

4.50±0.07

4.53±0.00

4.64±0.16

4.52±0.12a

Rataan

4.83±0.50

4.95±0.53

4.90±0.44

4.96±0.39

K.Kedelai

43.75±0.49

44.05±0.48

44.68±0.19

44.82±0.13

44.32±0.54b

K.Merah

21.83±0.13

22.39±0.17

22.66±0.19

23.18±0.58

22.52±0.57a

32.79±12.66a

33.22±12.51ab

33.67±12.71bc

33.99±12.50c

K.Kedelai

19.88±0.33

19.16±0.44

20.43±0.89

20.24±1.12

19.93±0.78b

K.Merah

3.21±1.28

2.76±1.46

2.50±0.13

2.25±0.07

2.68±0.83a

Rataan

11.54±9.65

10.96±9.51

11.46±10.37

11.24±10.40

Rataan

95.58±0.31

97.44±0.10

Rataan

Huruf berbeda pada setiap kolom dan baris untuk satu hasil penelitian menunjukkan berbeda nyata
(P