Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa Melalui Pendekatan Wirakoperasi Di Kabupaten Bogor

PERENCANAAN BISNIS SERAT SABUT KELAPA
MELALUI PENDEKATAN WIRAKOPERASI DI KABUPATEN
BOGOR

PUTRA AGUNG PRABOWO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Bisnis
Serat Sabut Kelapa melalui Pendekatan Wirakoperasi di Kabupaten Bogor adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Putra Agung Prabowo
NIM H34110041

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis ini dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
PUTRA AGUNG PRABOWO. Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa melalui
Pendekatan Wirakoperasi di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LUKMAN
MOHAMMAD BAGA.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan produksi kelapa tertinggi di
dunia. Namun produksi kelapa yang tinggi tersebut tidak ditunjang dengan
industri hilir yang memadai. Salah satu industri kelapa yang kurang berkembang
adalah industri serat sabut kelapa. Untuk itulah diperlukan perencanaan bisnis
dengan pendekatan wirakoperasi. Metode analisis yang digunakan meliputi
analisis non finansial yang meliputi aspek pasar, produksi, manajemen organisasi,
manajemen risiko, kemitraan, dan aspek finansial meliputi studi kelayakan

investasi yang berupa nilai NPV, IRR, Gross B/C, Net B/C, dan payback period.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa bisnis serat sabut kelapa tidak
berkembang disebabkan oleh banyak faktor, seperti mulai dari kurangnya
dukungan kebijakan pemerintah, masalah pasar, finansial, infrastruktur, penelitian
dan pengembangan, integrasi kedepan dan kebelakang, produksi, pengolahan dan
lain sebagainya. Model bisnis dengan menggunakan pendekatan wirakoperasi
dapat memberikan keuntungan sosial maupun finansial untuk banyak pihak.
Kata kunci: serat sabut kelapa, perencanaan bisnis, wirakoperasi

ABSTRACT
PUTRA AGUNG PRABOWO. Business Plan of Coconut Fiber with Cooperative
Entrepreneur Approach in Bogor Regency. Supervised by LUKMAN
MOHAMMAD BAGA.
Indonesia is one of countries which has the highest coconut production in
the world. However, the highest coconut production is not supported by an
adequate downstream industry. One of them is coconut fiber industry. Of that
reason it is needed a business plan with cooperative entrepreneur approach.
Analysis method that used are non financial analyses which include market aspect,
production, organization management, risk management, partnership, and
financial analysis which include investment feasibility study which are NPV, IRR,

Gross B/C, Net B/C, and payback period. Based on the research, coconut fiber was
not developed as a business unit because of many factors such as goverment
policy was not supported, market problem, financial, infrastucture, research and
development, forward and bacward linkage, production, processing and many
more. Business model with cooperative entrepreneur could give a social and
finansial benefit for all stakeholder.
Key words: coconut fiber, business plan, cooperative entrepreneur

PERENCANAAN BISNIS SERAT SABUT KELAPA
MELALUI PENDEKATAN WIRAKOPERASI DI KABUPATEN
BOGOR

PUTRA AGUNG PRABOWO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis


DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 sampai
Februari 2015 ini ialah perencanaan bisnis dan wirakoperasi, dengan judul
Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa melalui Pendekatan Wirakoperasi di
Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Lukman Mohammad Baga
MA.Ec selaku dosen pembimbing, serta Ir Antonius Sidik Umar MM selaku
pemilik CV Serat Kelapa, Bapak Syamsuli, Bapak Muhammad Syarif, dan Ibu
Desi Arianti selaku pegawai CV Serat Kelapa yang telah banyak memberi saran.
Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Badan Pusat Statistik, staf
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, staf Balai Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, Peternakan, dan Kehutanan (BP4K) Wilayah Leuwiliang, dan staf Unit

Pengelolaan Teknis Daerah (UPTD) Ciampea yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Putra Agung Prabowo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

6

Manfaat Penelitian

6


Ruang Lingkup Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA

7

Penelitian Mengenai Serat Sabut Kelapa

7

Penelitian Mengenai Aspek Rencana Bisnis

8

KERANGKA PEMIKIRAN

11


Kerangka Pemikiran Teoritis

11

Kerangka Pemikiran Operasional

18

METODE PENELITIAN

19

Lokasi dan Waktu Penelitian

19

Jenis dan Sumber Data

19


Metode Pengumpulan Data

19

Metode Analisis Data

20

GAMBARAN UMUM BISNIS

22

Profil Bisnis

22

Gambaran Umum Kabupaten Bogor

23


ANALISIS SITUASIONAL

24

Analisis Five Forces Industri Serat Sabut Kelapa

24

Analisis Keunggulan Kompetitif Porter’s Diamond

26

Analisis SWOT

29

RENCANA BISNIS

31


Asumsi Dasar

31

Rencana Pemasaran

32

Rencana Produksi

39

Rencana Organisasi dan Sumber Daya Manusia

47

Rencana Kemitraan

54

Rencana Finansial

57

Rencana Manajemen Risiko

60

SIMPULAN DAN SARAN

63

Simpulan

63

Saran

63

DAFTAR PUSTAKA

64

LAMPIRAN

68

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Luas areal perkebunan rakyat menurut jenis tanaman tahun 20082012 (dalam Ha)
Ekspor dan impor produk kelapa tahun 2001-2003 (volume dalam
MT, nilai dalam US$ 000 FOB)
Kontribusi sektor kelapa terhadap neraca ekspor tahun 2006-2010
Daerah produksi kelapa terbesar di Kabupaten Bogor tahun 2012
Harga produk kelapa (US$/MT)
Matrik SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat)
Permintaan jok kendaraan dari luar negeri
Standar mutu input
Persyaratan mutu serat sabut kelapa sebagai bahan pengisi jok
atau kursi
Jenis pekerjaan
Kebutuhan bahan baku produksi sebulan
Upah dan gaji tenaga kerja
Bagi hasil keuntungan
Komponen biaya investasi
Komponen biaya tetap
Rincian modal awal
Identifikasi dan penaksiran risiko
Perbedaan sebelum dan sesudah adanya wirakoperasi

1
2
4
4
8
31
33
39
39
46
47
54
57
57
58
59
61
62

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Alur kerangka pemikiran operasional penelitian
Analisis five forces industri serat sabut kelapa
Keterkaitan antar kompoenen Porter’s Diamond System
Coconut fiber sheet
Conveyor sabut kelapa
Mesin pengurai sabut kelapa besar
Mesin pengayak sabut kelapa
Mesin pengering rotary serat sabut kelapa
Mesin press hidrolik serat sabut kelapa
Diagram alir proses produksi serat sabut kelapa
Layout pabrik serat sabut kelapa
Diagram alir rantai pasokan
Diagram alir pembentukan koperasi
Struktur organisasi koperasi
Pola kemitraan strategis

18
26
29
33
41
41
42
42
43
43
45
47
48
49
56

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Asumsi dasar perencanaan bisnis
Asumsi dasar biaya keseluruhan

68
69

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Biaya tetap (tenaga kerja)
Biaya tetap (biaya utility)
Biaya tetap (administrasi perkantoran)
Biaya tetap (biaya pemasaran)
Biaya tetap (biaya jaminan mutu produk)
Biaya investasi (biaya alat produksi)
Biaya investasi (biaya alat & furnitur kantor)
Biaya investasi (biaya bangunan dan infrastruktur)
Biaya penyusutan
Biaya variabel
Laporan laba rugi
Laporan arus kas
Laporan arus kas pada bulan awal tahun pertama

70
70
70
70
71
71
72
72
73
74
74
75
76

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa terbesar di dunia pada
tahun 2014. Berdasarkan penelitian Basri dalam Widyantari (2013), areal tanaman
kelapa di Indonesia merupakan areal perkebunan kelapa terbesar di dunia, yang
mencapai 31.92 persen disusul negara Filipina (26.12 persen), India (15.22
persen), Srilangka (3.17 persen), dan Thailand (2.75 persen). Luas areal
perkebunan kelapa di Indonesia mencapai 3.7 juta Ha, dengan perkebunan milik
pemerintah seluas 4 669 Ha, serta milik swasta seluas 66 189 Ha 1 . Walaupun
memiliki luas areal perkebunan kelapa terbesar di dunia, produktivitas kelapa
Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Srilangka dan India. Tanaman
kelapa merupakan tanaman perkebunan terbesar kedua setelah tanaman kelapa
sawit dan berdasarkan Coconut Statistical Year 2009 Asean Pacific Coconut
Community (APCC) dalam Dewi (2011), sebagian besarnya (98 persen)
merupakan perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat umumnya memiliki kondisi
lahan yang sempit, pemeliharaan seadanya atau tidak sama sekali, tidak berada
pada skala komersial, dan dikelola secara sederhana. Data mengenai luas areal
perkebunan rakyat menurut jenis tanaman pada tahun 2008 hingga 2012 disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1 Luas areal perkebunan rakyat menurut jenis tanaman tahun 2008-2012
(dalam Ha)
Jenis Tanaman

2008

2009

2010

2011

2012

Karet

2 900.30

2 952.60

2 948.70

2 931.80

2 987.00

Kelapa

3 724.10

3 731.60

3 697.00

3 725.80

3 740.30

Kelapa sawit

2 881.90

3 061.40

3 387.30

3 752.50

4 137.60

Kopi

1 236.80

1 217.50

1 162.80

1 185.00

1 187.70

Kakao

1 326.80

1 491.80

1 558.40

1 638.30

1 693.30

60.50

57.10

56.50

56.00

56.30

447.70

458.70

461.60

476.70

485.30

Tanaman tahunan

Teh
Cengkeh

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Industri kelapa nasional bukan hanya berkembang dalam agribisnis hulunya,
namun dewasa ini proses pasca panen komoditas ini merupakan salah satu
pendorong bagi para pebisnis karena adanya insentif keuntungan yang lebih baik
dari sebelumnya. Walaupun perusahaan pengolahan kelapa masih sedikit, namun
proses pasca panen komoditas kelapa sudah sangat berkembang, mulai dari usaha
kecil, menengah hingga usaha yang memiliki cakupan yang lebih besar. Sesuai
1

Artikel mengenai Perkebunan Kelapa Potensi yang Belum Optimal [Internet] [Diunduh
pada 2015 Juni 19]. Tersedia pada: http://www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html

2
dengan Roadmap Industri Pengolahan Kelapa oleh Direktorat Jendral Industri
Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian Tahun 2009, industri kelapa dibagi
kedalam tiga bagian, yaitu industri hulu, industri antara dan industri hilir. Industri
hulu merupakan industri yang memproduksi raw material komoditas kelapa,
seperti kelapa segar dan kopra (baik kopra hitam maupun putih). Industri antara
merupakan industri yang memproses kelapa sebagai produk-produk turunan
seperti tempurung kelapa, copra meal, dan desiccated coconut. Terakhir adalah
industri hilir, yaitu industri yang mengolah produk dari industri antara menjadi
produk akhir industri, seperti minyak kelapa, coconut cream/milk, dan lain
sebagainya.
Berdasarkan Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa oleh
Departemen Pertanian Tahun 2007, produk akhir yang sudah berkembang dengan
baik dari pengolahan kelapa adalah desicated coconut (DC), coconut milk/cream
(CM/CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS),
nata de coco (ND) dan coconut fiber (CF). Dewasa ini produk turunan kelapa
yang baru mulai berkembang adalah virgin coconut oil (VCO) dan coconut wood
(CW). Produk DC, CCL, AC, BS dan CF sudah masuk pasar ekspor dengan
perkembangan yang pesat, namun CF kurang berkembang karena belum
terpenuhinya standar kualitas, walaupun permintaan dunia terus meningkat.
Coconut fiber (CF) atau serat sabut kelapa merupakan bagian terbesar
kelapa yaitu 35 persen dari bobot buah kelapa itu sendiri (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan 2001). Menurut Palungkun (2004), serat sabut
kelapa sudah banyak dijadikan bahan baku industri seperti karpet, jok kendaraan,
kasur, bantal, hardboard, serat berkaret, dan lain sebagainya. Adapun dalam
perdagangan serat sabut kelapa di pasar internasional, jenis-jenisnya meliputi coir
fiber (serat kelapa), coir yarm, coir mats, matting, dan rugs. Data mengenai
ekspor dan impor produk kelapa tahun 2001 hingga 2003 secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Ekspor dan impor produk kelapa tahun 2001-2003 (volume dalam MT,
nilai dalam US$ 000 FOB)
HS-No.
151311000
151319000
80111000
380210000
120300000
80119100
140490200

80111000
80119100
80119900
140490200
530511000
530511900

Products
Export
Crude Coconut (Copra) Oil
Other Copra Oil
Dessicated Coconut
Coconut Cream/Milk
Activated Carbon
Copra
Coconut Shell Charcoal
Coconut in Shell
Coconut Shell Charcoal
Coconut Fiber
Import
Dessicated Coconut
Coconut in Shell
Other Coconut
Coconut Shell
Textile Fiber of Coconut Raw
Coconut Fibers Other than Raw

2001
Volume Value

2002
Volume
Value

2003
Volume Value

337.68
57.34
34.82
10.50
12.10
23.88
22.24
507
52
191

94.99
16.66
32.19
7.88
9.06
4.74
4.01
63
43
160

352.42
93.43
48.55
24.10
11.53
40.05
28.88
8.69
689
112

122.13
35.63
32.11
16.13
8.88
7.32
4.43
1.02
133
Na

Na
Na
33.3
Na
Na
Na
34.87
17.98
1.064
Na

Na
Na
21.95
Na
Na
Na
5.12
2.31
178.3
Na

67
6.8
45.4
84.4
1.4
30

48.8
4.5
22.6
10.8
9.7
157.3

122.8
24.9
561.4
0
44.6
14

103.9
8.4
372.4
0
81.3
66.5

139.5
59.5
197.1
0
63
1.5

119.7
36.6
141
0
123.4
20.6

Sumber: Badan Pusat Statistik dalam APCC (2004)

3
Berdasarkan data pada Tabel 2, ada sebuah kecenderungan penurunan laju
perkembangan produksi serat sabut kelapa yang disebabkan oleh tidak
terpenuhinya standar ekspor yang telah ditetapkan pasar internasional terhadap
produk ekspor serat sabut kelapa asal Indonesia. Hal ini juga disebabkan sebagian
besar serat kelapa masih diproduksi oleh industri kecil dan menengah. Mengingat
hal tersebut, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi dalam pengembangan
usaha serat sabut kelapa karena memiliki pasar yang potensial. Kurangnya
perhatian pemerintah akan pengembangan industri hilir komoditas ini membuat
bisnis serat sabut kelapa belum banyak berkembang di Indonesia (Direktorat
Jendral Perkebunan 2013).
Produksi kelapa Indonesia sangat melimpah disertai dengan harga serat
sabut kelapa di pasar internasional yang cenderung tinggi, tidak didukung dengan
usaha pengolahan serat kelapa karena kurang berkembang dengan baik. Hal ini
salah satunya disebabkan oleh kurangnya produk turunan kelapa yang dihasilkan
oleh Indonesia sehingga membuat daya saing nilai ekspor komoditas kelapa
nasional cukup rendah dibanding negara-negara lainnya (Widyantari 2013).
Guna memperkuat daya saing komoditas kelapa nasional, bisnis pengolahan
serat kelapa dapat dikembangkan melalui pendekatan wirakoperasi. Pendekatan
ini setidaknya mampu membantu petani kelapa di Indonesia agar dapat mengakses
pasar internasional dan teknologi tinggi dalam pengolahan serat kelapa sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan, yang semula petani kelapa di Indonesia
tidak mampu untuk mengaksesnya. Dengan adanya pendekatan wirakoperasi,
sebuah unit usaha pengolahan serat sabut kelapa akan lebih mudah dalam
mengakses bahan baku produksi yang berasal perkebunan kelapa rakyat. Selain itu
pula, pendektaan ini juga menawarkan keuntungan finansial dan sosial untuk
banyak pihak yang meliputi petani kelapa itu sendiri, wirakop, koperasi, dan
investor. Untuk itulah diperlukan wirakop, sebagai katalisator dalam mewujudkan
usaha pengolahan serat kelapa yang mempunyai daya saing global dan bernilai
jual tinggi di pasar internasional. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan
wirakoperasi bargaining power petani kelapa di Indonesia menjadi lebih kuat
karena sistem bagi hasil memungkinkan petani kelapa dalam mementukan
kebijakan unit usaha pengolahan serat sabut kelapa yang akan didirikan.
Perumusan Masalah
Serat sabut kelapa memiliki potensi yang baik di masa depan. Hal ini
disebabkan oleh banyak dari negara-negara di dunia yang memerlukan serat sabut
kelapa sebagai bahan baku industri. Selama ini masyarakat Eropa dan Amerika
saja yang menggunakan serat sabut kelapa sebagai bahan baku industri
manufaktur. Menurut Palungkun (2004), pada tahun 1990, Eropa membutuhkan
37 ribu MT serat sabut kelapa atau sekitar 48 persen dari total kebutuhan dunia
yang berjumlah 75.7 MT. Negara di kawasan Eropa yang paling banyak
mengonsumsinya adalah Inggris sebanyak 14.7 ribu MT dan Jerman sebanyak 13
ribu MT. Selain kedua negara konsumen serat sabut kelapa tersebut, ada pula
Perancis, Amerika Serikat dan Belanda yang mengonsumsi jumlah sisanya.
Hingga saat ini pemasok serat sabut kelapa masih didominasi oleh Srilangka,
Filipina, India, Malaysia, Thailand, dan beberapa negara-negara di Afrika. Sangat
disayangkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan luas perkebunan kelapa

4
terluas di dunia namun hanya memasok sedikit saja keperluan serat sabut kelapa
di dunia. Selain itu pula, kontribusi komoditas kelapa nasional dalam neraca
ekspor sangatlah kecil. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kontribusi sektor kelapa terhadap neraca ekspor tahun 2006-2010
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010

Total Ekspor
US$ 1000 FOB
100 796 520
114 106 801
137 020 424
116 510 026
157 779 104

Ekspor Kelapa
US$ 1000 FOB
264 979
706 914
944 185
575 972
790 613

Persentase
0.36
0.52
0.69
0.50
0.50

Sumber: Badan Pusat Statistik dalam Coconut Year Book APCC (2010)

Berdasarkan pada Tabel 3, jelas bahwa hingga saat ini produk turunan
kelapa masih sangat kecil kontribusinya terhadap neraca ekspor di Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh produk agroindustri kelapa Indonesia yang masih sedikit (9
produk) jika dibandingkan dengan Filipina (22 produk) dan Srilangka (16 produk)
(APCC 2011). Kurangnya hilirisasi produk turunan kelapa menyebabkan
Indonesia memiliki daya saing yang rendah jika dibandingkan dengan kedua
negara tersebut.
Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya jika mampu melakukan
penambahan usaha pengolahan pasca panen produk-produk agroindustri kelapa
pada sentra-sentra produksi kelapa nasional yang meliputi Provinsi Riau, Jambi,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Pengembangan ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan terlebih dahulu
daerah-daerah dengan produksi kelapa yang tinggi di masing-masing provinsi
tersebut.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat yang
memiliki produksi kelapa tahunan cukup tinggi. Menurut Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bogor (2012), produksi kelapa di daerah tersebut mencapai
16 208.40 ton dengan luas areal perkebunan kelapa seluas 6 726.61 Ha. Daerah ini
layak untuk dikembangkan menjadi sentra agroindustri kelapa di Provinsi Jawa
Barat. Daerah produksi kelapa terbesar di Kabupaten Bogor pada Tabel 4.
Tabel 4 Daerah produksi kelapa terbesar di Kabupaten Bogor tahun 2012
Kecamatan
Ciampea
Leuwiliang
Rumpin
Cibungbulang
Kalapa nunggal
Total
Total Produksi Kabupaten Bogor

Kelapa
Luas (Ha)
485 760
466 560
404 100
463 410
367 950
2 187 780
6 726.61

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2012)

Produksi (Ton)
1 167 880
1 059 680
997 650
983 030
923 220
5 151 460
16 208.4

5
Melihat peluang di atas maka perencanaan bisnis pengolahan serat sabut
kelapa perlu untuk dikembangkan di Kabupaten Bogor. Pengembangan yang
dimaksud meliputi aspek pemasaran dengan melihat pasar potensial, aspek
produksi yang berkaitan erat dengan kualitas dan kontinyuitas produk, aspek
manajemen organisasi yang memungkingkan setiap anggota organisasi
memperoleh hak yang sama, aspek kemitraan yang memungkinkan intergrasi
vertikal maupun horizontal, aspek manajemen risiko yang memungkinankan
minimalisasi risiko yang ada, dan aspek finansial yang berdasarkan pada strategi
unit usaha dalam membuat bisnis yang akan dijalankannya bersifat layak dan
menguntungkan. Dengan adanya perencanaan bisnis, maka sebuah unit bisnis
sabut kelapa akan berjalan lebih baik. Analisis kelayakan usaha perlu dilakukan
agar banyak investor yang tertarik guna mengembangkan industri hilir serat sabut
kelapa di Indonesia yang hingga saat ini rata-rata didominasi oleh usaha kecil dan
menengah.
Pendekatan wirakoperasi merupakan salah satu langkah konkret guna
membangun kesadaran bersama akan pentingnya koperasi diantara para petani
kelapa guna mengembangkan produknya agar memiliki bargaining power yang
lebih baik. Pendekatan ini memungkinan lebih banyak pihak yang diuntungkan
seperti petani kelapa, wirakop, koperasi, dan investor. Pendekataan ini juga
memungkinkan suatu unit usaha melakukan kemitraan vertikal maupun horizontal
secara mudah seperti pemasaran produk dan perolehan bahan baku produksi.
Seorang wirakop akan terus berinovasi dan berkreasi dengan produknya agar
produknya tersebut bisa diterima oleh konsumen. Selain itu pula, seorang wirakop
akan memperoleh nilai tambah produk agribisnis yang dihasilkan oleh anggota
koperasinya. Hal ini akan terlihat dengan ada tidaknya proses pasca panen pada
sabut kelapa yang dihasilkan oleh petani kelapa di Kabupaten Bogor.
Petani sebenarnya bisa lebih diuntungkan jika melakukan proses pasca
panen komoditas kelapa. Proses pasca panen pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan nilai tambah kepada produk agribisnis agar produk tersebut memiliki
posisi tawar yang lebih menguntungkan ditingkat petani. Proses pasca panen
kelapa perlu untuk dikembangkan mengingat peluang pasar yang sangat besar dan
menguntungkan bagi petani di Indonesia kedepannya. Salah satu langkah yang
perlu dikembangkan adalah proses pasca panen serat sabut kelapa sehingga
memenuhi standar pasar internasional. Untuk itulah diperlukannya perencanaan
bisnis dengan pendekatan wirakoperasi. Perencanaan bisnis ini bertujuan untuk
memberikan pedoman kepada seorang wirakop guna mempertajam rencanarencana yang diharapkan. Bisnis yang sukses, sebagian besar dimulai dengan
adanya perencanaan bisnis terlebih dahulu, untuk itulah mengapa perencanaan
bisnis dengan pendekatan wirakoperasi sangat penting untuk dikembangkan.
Dengan adanya perencanaan pula, seorang wirakop juga dapat menentukan
keuntungan maupun kerugian yang akan dialami ketika mengambil sebuah
keputusan tertentu selama menjalankan bisnis di atas.
Pendekatan wirakoperasi berfungsi guna menghimpun para petani kelapa
agar membangun kerjasama dalam mengembangkan produknya dari hulu hingga
hilir. Hal ini memungkin adanya supply chain management antara pemasok,
industri hingga pasar. Supply chain management yang dimaksudkan adalah
adanya intergrasi dalam rangka pemenuhan bahan baku produksi mulai dari

6
pemasok kepada koperasi, dari koperasi kepada unit bisnis pengolahan serat sabut
kelapa, dan dari unit bisnis tersebut ke industri atau pasar internasional sebagai
bahan baku industri otomotif dan manufaktur lainnya. Selain itu pula, petani akan
lebih diuntungkan karena mempunyai pasar yang jelas dan petani juga
diuntungkan karena adanya proses pasca panen produknya, terutama sabut kelapa
yang merupakan hasil turunan dari komoditas kelapa.
Adanya perencanaan bisnis dengan pendekatan wirakoperasi diharapkan
para petani kelapa di Kabupaten Bogor akan lebih terpacu bukan hanya dalam
pengembangan produksi kelapa di daerahnya, namun juga para petani terpacu
dalam mengembangkan produk turunan kelapa yakni serat sabut kelapa sebagai
salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia dimasa yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengapa bisnis pengolahan serat sabut kelapa kurang berkembang di
Indonesia?
2.
Model bisnis seperti apa yang tepat dikembangkan untuk usaha pengolahan
serat sabut kelapa di Kabupaten Bogor?
3.
Faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan bisnis serat
sabut kelapa di Kabupaten Bogor?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat mencapai tujuan sebagai
berikut.
1. Menganalisis penyebab kurang berkembangnya industri pengolahan serat sabut
kelapa nasional.
2. Merancang model ataupun rencana bisnis serat sabut kelapa agar dapat
memberikan keuntungan sosial maupun finansial di Kabupaten Bogor.
3. Menindentifikasi faktor-faktor apa saja yang diperhatikan dalam merancang
rencana bisnis sabut kelapa dengan pendekatan wirakoperasi guna
meningkatkan kesejahteraan petani di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian

1.

2.

3.
4.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bagi petani, sebagai informasi mengembangkan skala usaha pengolahan
limbah sabut kelapa sebagai bahan baku jok kendaraan, kasur, bantal,
hardboard, serat berkaret, dan lain sebagainya.
Bagi penulis, untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari serta sebagai
sarana pembuatan rencana bisnis dalam pengembangan unit bisnis sabut kelapa
sebagai bahan baku industri terkait dengan pendekatan wirakoperasi.
Bagi akademisi, sebagai informasi dan bahan pembanding untuk penelitian
selanjutnya.
Bagi investor, sebagai acuan dalam proses pengambilan keputusan investasi
untuk alokasi modal yang akan ditanamkan.

7
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan membahas usaha pengolahan serat sabut kelapa sebagai
salah satu upaya memanfaatkan limbah kelapa dengan menggunakan pendekatan
perencanaan bisnis berbasis wirakoperasi yang akan didirikan di Kecamatan
Ciampea Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih berdasarkan kedekatan dengan bahan
baku produksi. Perencanaan bisnis yang dilakukan berupa upaya pengolahan serat
sabut kelapa menjadi coconut fiber sheet untuk kebutuhan ekspor nasional dengan
standar mutu sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI). Data yang
digunakan merupakan estimasi produksi kelapa di Kabupaten Bogor. Pembahasan
dalam perencanaan bisnis hanya meliputi bisnis serat sabut kelapa yang
diasumsikan sebagai unit usaha koperasi. Tidak dijelaskan secara lebih rinci
mengenai anggaran untuk mengumpulkan petani dan proses sosialisasi kepada
petani menggunakan manajemen koperasi. Kegiatan perdagangan dilakukan ke
pasar internasional dengan cara ekspor. Ekspor dilakukan melalui pendekatan
Free On Board (FOB) untuk negara tujuan ekspor yang meliputi Uni Eropa, Cina,
Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Aspek perencanaan bisnis yang
dianalisis meliputi aspek pasar, aspek produksi, aspek organisasi, dan manajemen
sumber daya manusia, aspek kerjasama kooperatif atau kemitraan, dan aspek
finansial. Sebagian besar aspek yang dianalisis menggunakan pendekatan
berdasarkan hasil penelitian pada CV Serat Kelapa di Kecamatan Cilodong Kota
Depok pada tahun 2014 hingga 2015.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Mengenai Serat Sabut Kelapa
Serat sabut kelapa merupakan bagian terbesar kelapa yang mencakup 35
persen total bobot kelapa itu sendiri (Bank Indonesia 2004) 2 . Dalam dunia
perdagangan serat sabut kelapa dikenal sebagai coco fiber, coir fiber, coir yarn,
coir mats, dan rugs yang merupakan produk olahan sabut kelapa. Secara
tradisional dimanfaatkan sebagai bahan pembuat sapu, keset dan alat-alat rumah
tangga lainnya. Sedangkan di era teknologi ini, serat sabut kelapa dapat
dimanfaatkan sebagai karpet, jok kendaraan, kasur, bantal, hardboard, dan lain
sebagainya (Sitohang et al. 2003). Produk olahan sabut kelapa yang memiliki nilai
ekonomi tinggi di Vietnam terkenal dengan nama geotextile sedangkan di Filipina
dikenal dengan nama produk ecomat, ecolog, dan twine yang digunakan untuk
mencegah erosi tanah pada kontruksi jalan bertopografi miring (Palakasi 2013).

2

Artikel Bank Indonesia mengenai Industri Serat Sabut Kelapa [Internet] [Diunduh pada
2015 Januari 24]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/sipuk

8

Penelitian Mengenai Aspek Rencana Bisnis
Aspek Pemasaran
Menurut Arancon (2011) serat sabut kelapa di Indonesia mempunyai harga
yang amat rendah dalam pasar dunia jika dibandingkan dengan Srilangka dan
India. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Harga produk kelapa (US$/MT)
Product/Country
Coir fiber
Sri Lanka (Mattress/Short Fiber)
Sri Lanka (Bristle 1 tie)
Sri Lanka (Bristle 2 tie)
India (Geotextile)
Indonesia (Mixed Raw Fiber)

2011
July

2011
June

2010
July

2010
Annual Ave.

280
524
682
1 700
340

264
501
639
1 700
340

194
308
502
1 350
225

184
317
495
1 303
246

Sumber: The Cocommunity (2011)

Penyebab rendahnya harga serat sabut kelapa di pasar dunia karena produk
kelapa Indonesia masih lemah dan kelemahan itu disebabkan oleh tingkat harga
yang cenderung terus berfluktuasi dan menurun. Hal ini juga disebabkan peran
Indonesia dalam perdagangan di pasar dunia yang hanya berperan sebagai
penerima harga (Muslim 2006).
Guna menjamin pemasaran serat sabut kelapa sebagai salah satu produk
agroindustri kelapa di pasar dunia maka diperlukan strategi yang mengutamakan
bahan baku dan kesesuaian jenis agroindustri yang dikembangkan, kerjasama
antara agroindustri rakyat dengan agroindustri sedang dan besar; dan guna
meminimalkan biaya produksi, lokasi produksi harus dekat dengan sumber bahan
baku industri namun juga perlu memperhatikan infrastruktur yang menunjang dan
memadai (Mahmud dan Ferry 2005).
Dalam kajian Probowati (2011), selama ini pemasaran serat sabut kelapa
selalu terkendali beberapa masalah teknis seperti keterbatasan modal, akses
terhadap informasi pasar dan pasar yang terbatas, serta kualitas serat yang tidak
cukup memadai. Oleh sebab itu, guna mempermudah para petani, akan lebih
mudah jika mengimplementasikan pengembangan usaha serat sabut kelapa
berbasis kemitraan. Selain itu pula diperlukan suatu pengembangan industri
pengolahan serat sabut kelapa yang dilakukan dengan pendekatan Satuan Wilayah
Produksi (SWP) (Intan et al. 2004).

9

Aspek Produksi
Dalam kajian Waney dan Tujuwale (2002), pengolahan serat sabut kelapa
yang menggunakan teknologi memberikan hasil yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pengolahan secara tradisional. Sedangkan menurut
Probowati (2011), serat sabut kelapa merupakan produk turunan dari sabut kelapa
yang mengalami pemrosesan yang sangat panjang. Proses tersebut meliputi
pengumpulan sabut kelapa, kemudian dilakukan pemotongan yang menghasilkan
potongan ujung sabut. Setelah itu, dilakukan perendaman melalui media air
selama 3 hari dengan penambahan air. Hal ini dilakukan guna mempermudah
pemisahan serat dengan gabus. Penirisan dilakukan guna memudahkan penguraian
sabut. Pelunakan dilakukan dengan cara sabut dipukul-pukul hingga menjadi lebih
terurai. Hasil sampingan dari proses ini adalah gabus. Penguraian serat merupakan
tahap selanjutnya guna memisahkan serat dengan gabus. Hasil sampingan dari
proses ini adalah adanya butiran gabus. Tahap selanjutnya adalah sortasi melalui
pengayakan yang berfungsi untuk memisahkan serat dengan sisa-sisa butiran
gabus. Setelah proses tersebut maka proses selanjutnya adalah proses pembersihan
yang tujuannya sama dengan proses sortasi yaitu untuk memisahkan serat dengan
sisa-sisa butiran gabus. Terakhir dilakukan pengeringan dengan cara penjemuran
di bawah terik matahari (skala tradisional). Setelah kering, serat sabut kelapa
dipres dan selanjutnya dilakukan pengepakan.
Aspek Organisasi dan Manajemen
Fungsi manajemen terdiri dari lima fungsi dasar, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, motivasi, penunjukan staf, dan pengendalian. Perencanaan
merupakan segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan masa depan.
Pengoranisasian merupakan semua aspek menajerial yang menentukan struktur
tugas dan wewenang. Motivasi berhubungan dengan aspek komunikasi, kerjasama,
delegasi wewenang, pemenuhan kebutuhan, perubahan organisasi, kepuasaan
kerja, moral karyawan dan manajerial. Penunjukan staf meliputi pengelolaan
sumber daya manusia dalam perusahaan yang berkaitan dengan wawancara
penerimaan, pelatihan dan pengembangan karyawan, upah dan gaji serta
tunjangan karyawan. Sedangkan pengendalian berkaitan erat dengan semua
aktivitas manajerial yang diarahkan pada kekonsistenan dalam mencapai tujuan
perusahaan (Junardi 2012).
Aspek Kerjasama Kooperatif
Guna membangun kerjasama diantara agroindustri rakyat dengan
agroindustri sedang dan besar, diperlukan pemberdayaan petani kelapa yang
dimaksudkan petani kelapa dapat mengakses, memanfaatkan, meraih dan
menciptakan peluang ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Hal ini akan memperbesar kontribusi petani kelapa dalam
pembangunan ekonomi (Nurmanaf 2006).

10
Kajian yang dilakukan Baga (2003) mengenai Pengembangan Agribisnis
Persusuan di Indonesia, Seorang wirakop yang bernama Daman Danuwidjaja
mengorganisasikan para peternak yang ada di kawasan Bandung Selatan untuk
mendirikan koperasi susu guna melawan tengkulak dan peternak yang dominan.
Daman Danuwidjaja merupakan salah satu contoh wirakop di Indonesia karena
menemukan peluang dalam berkoperasi dan mewujudkannya dalam bentuk
kesempatan usaha yang menguntungkan anggota koperasinya. Berdirinya
Koperasi Peternak Bandung Selatan merupakan awal Gabungan Koperasi Susu
Indonesia (GKSI) yang menandai babak baru perkoperasian di Indonesia kala itu.
Kaitannya dengan upaya memperbesar usaha pengolahan serat sabut kelapa
adalah dengan mendirikan koperasi akan lebih banyak petani kelapa yang
sejahtera kehidupannya seperti dengan apa yang terjadi pada peternak sapi di
Bandung Selatan, dimana para peternak sapi di daerah tersebut venderung lebih
sejahtera kehidupannya setelah bergabung dengan GKSI.
Kajian yang dilakukan Fajrian (2013) mengenai Peran Wirakoperasi dalam
Pengembangan Agribisnis Tanaman Hias CV Bunga Indah Farm Kabupaten
Sukabumi, diperoleh fakta bahwa karakter wirakop digambarkan sebagai locus of
control internal, mempunyai motivasi sosial, orientasi berprestasi yang tinggi, dan
memiliki altruisme tinggi. Hal ini memberikan perubahan yang signifikan dalam
memunculkan mata pencaharian baru untuk banyak pihak. Selain itu, dengan
konsep wirakoperasi pula, ternyata lebih banyak petani yang sejahtera ketika
bermitra dengan CV Bunga Indah Farm.
Kajian yang dilakukan Arviani (2014) mengenai Rencana Pengembangan
Usaha Selai Belimbing melalui Pendekatan Wirakoperasi pada KUB Harapan
Sejahtera Abadi di Kota Depok, diperoleh simpulan bahwa dengan adanya peran
wirakop, buah belimbing dewa yang sebelumnya terdiri dari grade A, grade B,
dan grade C dimana grade C cenderung tidak dimanfaatkan ternyata lebih
menguntungkan jika diolah menjadi selai belimbing setelah KUB Harapan
Sejahtera Abadi mendapatkan masukan dari wirakop tersebut. Selain itu pula
pemasarannya lebih baik.
Aspek Finansial
Dalam kajian Arti (2014) mengenai Strategi Penyediaan Bahan Baku Jok
Serat sabut kelapa, didapatkan hasil bahwa Net Preset Value (NPV) positif, lebih
besar atau sama dengan satu sehingga dapat dikatakan bahwa bisnis tersebut layak
untuk dijalankan. Sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 34 persen,
atau lebih besar dari suku bunga Bank Indonesia yang telah ditetapkan. IRR
menunjukkan pengembalian biaya investasi yang telah dikeluarkan sehingga
dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa bisnis tersebut layak. Selain itu
diperoleh nilai net B/C 1.04 yang berarti satu rupiah yang diinvestasikan akan
menghasilkan manfaat sebesar 1.04 rupiah dan dengan payback periode sebesar
2.07 tahun. Artinya jangka waktu yang diperlukan guna mengembalikan investasi
awal adalah selama 2.07 tahun.

11

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perencanaan Bisnis
Perencanaan bisnis merupakan suatu alat pengambil keputusan kebijakan
perusahaan yang sangat penting bagi seorang pengusaha. Tujuan perencanaan
bisnis adalah suatu kegiatan bisnis dapat berjalan sesuai jalur yang telah
ditetapkan. Perencanaan bisnis juga merupakan pedoman dalam mempertajam
rencana-rencana yang telah dibuat oleh seorang pengusaha sehingga dapat
mengetahui dimana posisi perusahaan saat ini. perencanaan bisnis yang baik harus
memuat tahap-tahap yang akan dilakukan guna menunjang berjalannya sebuah
bisnis kedepannya. Perencanaan bisnis juga bisa menjadi alat pencarian
dana/investasi guna menunjang suatu kegiatan bisnis baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang (Rangkuti 2010).
Tahap Penyusunan Rencana Bisnis
Menurut Solihin (2007), formulasi penyusunan rencana usaha mencakup
empat tahap utama sebagai berikut:
1.
Tahap Ide Usaha (Business Idea)
Pada dasarnya ide usaha muncul dari peninjauan lingkungan yang dilakukan
oleh pengusaha terhadap peluang usaha yang ada di lingkungannya. Proses
perencanaan bisnis sebagai suatu proses manajemen strategis, penyusunan rencana
bisnis diawali dengan peninjauan terhadap lingkungan internal dan eksternal
perusahaan. Contohnya adalah (a) peninjauan lingkungan terhadap usaha yang
berhasil; (b) peninjauan lingkungan terhadap kebutuhan konsumen yang belum
dipenuhi; (c) peninjauan lingkungan terhadap kelemahan produk saat ini dan (d)
peninjauan lingkungan dengan menggunakan tolak ukur.
2.
Tahap Perumusan Konsep Usaha (Business Concept)
Konsep usaha merupakan penjabaran suatu ide usaha atau bisnis dalam
dimensi-dimensi yang lebih relevan. Pada tahap ini, perusahaan/pengusaha harus
melakukan analisis situasional, yaitu suatu proses penentuan peluang di
lingkungan eksternal perusahaan dan kekuatan internal perusahaan itu sendiri.
Pada saat yang sama juga ditentukan apa saja dampak dari ancaman di luar
perusahaan yang ditemukan dan memperbaiki kelemahan internal perusahaan.
3.
Tahap Studi Kelayakan Usaha (Feasibility Study)
Secara garis besar, studi kelayakan usaha dibagi menjadi dua bagain yaitu
studi kelayakan ekonomi dan studi kelayakan teknis. Adapun studi kelayakan
ekonomi bertujuan mengetahui layak tidaknya suatu usaha yang akan dijalankan
berdasarkan data historis perusahaan terkait neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan modal dan laporan arus kas. Kriterianya meliputi IRR, NPV, payback
periode, dan gross B/C. Sedangkan untuk studi kelayakan teknis meliputi segala

12
aspek yang menunjang operasional perusahaan dalam berproduksi. Hal ini terkait
dengan kelangsungan pasokan bahan baku, pengggunaan teknologi, dampak
operasional perusahaan terhadap lingkungan dan lain sebagainya.
4.
Tahap Penyusunan Rencana Bisnis
Konsep usaha yang akan dibuatkan rencana bisnis adalah konsep usaha yang
dinyatakan layak dalam tahap studi kelayakan bisnis. Adapun komponen –
komponen rencana bisnis yang akan dibuat oleh perusahaan/pengusaha meliputi:
a.
Visi, misi, tujuan, strategi, dan kebijakan suatu usaha baru.
b.
Manajemen perusahaan.
c.
Struktur organisasi, budaya perusahaan, dan sumber daya utama perusahaan.
d.
Proyeksi kinerja perusahaan, yang meliputi perhitungan titik impas,
perkiraan penjualan, perkiraan harga pokok produksi, laporan laba rugi,
laporan arus kas dan payback periode.
Isi Rencana Bisnis
Menurut Solihin (2007), meskipun terdapat banyak variasi dalam
penyusunan suatu rencana bisnis, sekurang-kurangnya terdapat tujuh elemen
pokok rencana bisnis, yaitu:
1.
Ringkasan eksekutif yang memuat rencana bisnis keseluruhan baik
menyangkut tujuan usaha, strategi usaha, tujuan penyusunan rencana bisnis,
uraian umum usaha, rencana pemasaran, rencana produksi, rencana
keuangan dan risiko-risiko di masa depan.
2.
Uraian umum usaha yang dijalankan, meliputi:
a. Usaha apa yang dijalankan.
b. Tujuan yang ingin dicapai perusahaan.
c. Proyeksi usaha dan perkembangan usaha perusahaan di masa mendatang.
d. Target pasar perusahaan.
e. Nilai yang ditawarkan perusahaan kepada pasar sasaran untuk dapat
meraih keunggulan bersaing.
f. Lokasi usaha tersebut akan dijalankan.
g. Orang-orang yang akan menjalankan usaha tersebut.
h. Bentuk badan usaha/badan hukum yang dipilih perusahaan untuk bisnis
yang akan dikembangkan.
i. Fungsional manajemen perusahaan yang akan dikembangkan.
3.
Rencana pemasaran yang menjelaskan mengenai pasar sasaran dan bauran
pemasaran yang dibuat oleh perusahaan guna memenuhi kebutuhan
konsumen, anggaran penjualan dan lain sebagainya.
4.
Rencana produksi yang menjelaskan mengenai proses produksi, kualifikasi
produk, pasokan bahan baku, pertimbangan pemilihan lokasi pabrik,
anggaran produksi, dan lain sebagainya.
5.
Rencana keuangan yang menyangkut ekspektasi laba dari usaha yang akan
berjalan, proyeksi arus kas, dan lain sebagainya.
6.
Rencana sumber daya manusia yang berisi jumlah karyawan yang
dibutuhkan, spesifikasi kerja masing-masing karyawan berdasarkan
pengetahuan, pengetahuan dan keterampilan.
7.
Risiko-risiko utama di masa depan dan upaya mengantisipasinya.

13
Rencana Pemasaran
Menurut Stanton dalam Umar (2003), pemasaran merupakan keseluruhan
sistem yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan usaha, yang memiliki tujuan
untuk menentukan perencanaan, penetapan harga, promosi, dan pendistribusian
produk kepada pembeli baik aktual maupun potensial. Sedangkan menurut
Paulson (2003), pemasaran terdiri dari strategi-strategi yang membantu
perusahaan/pengusaha untuk memahami kebutuhan, penentuan harga, serta
penjualan yang efisien kepada konsumen. Kegiatan pemasaran yang spesifik
terkait dengan riset pasar, pengembangan definisi produk, analisis-analisis tingkat
penentuan harga, penciptaan material pemasaran dan alat bantu penjualan,
hubungan masyarakat serta dukungan penjualan.
Tujuan utama analisis strategi pemasaran adalah untuk mengetahui
dukungan apa saja yang diperlukan agar pelanggan potensial mau membeli
produk yang ditawarkan. Perusahaan atau sebuah usaha harus mengetahui segmen
pasar yang paling potensial, menentukan target pasar dan melakukan positioning
terhadap produk yang perusahaan tersebut produksi untuk ditawarkan kepada
pelanggan (Rangkuti 2005).
Pasar terdiri dari banyak sekali pembeli yang berbeda-beda dalam beberapa
hal, baik dalam keinginan, kemampuan keuangan, lokasi, sikap, dan lain
sebagainya. Dari perbedaan-perbedaan tersebut dapat ditarik segmen pasar.
Beberapa variabel utama dalam segmentasi pasar meliputi geografis, demografis,
psikografik, dan perilaku (Umar 2003). Komponen-komponen utama tiap variabel
tersebut yakni:
1.
Komponen Geografis meliputi:
a. Bangsa
b. Negara
c. Provinsi
d. Kabupaten/Kotamadya
2.
Komponen Demografis meliputi:
a. Usia dan tahap daur hidup
b. Jenis kelamin
c. Pendapatan
3.
Komponen Psikografis meliputi:
a. Kelas sosial
b. Gaya hidup
c. Kepribadian
4.
Komponen Perilaku meliputi:
a. Manfaat yang dicari
b. Status pengguna
c. Status kesetiaan
d. Tahap kesiapan pembeli
e. Sikap
Setelah segmen pasar diketahui maka perusahaan/pengusaha selanjutkan
perlu mengevaluasi dan memutuskan beberapa segmen pasar yang perlu diambil,
kemudian memberika prioritas untuk dilayani. Hal tersebut dilakukan guna
menentukan target pasar. Adapun caranya meliputi tiga hal, yaitu (1) menentukan
ukuran dan pertumbuhan segmen; (2) menentukan kemenarikan segmen pasar

14
yang dipilih; dan (3) menentukan sasaran serta sumber daya yang dimiliki
perusahaan guna menjangkau target pasar yang telah ditetapkan (Umar 2003).
Setelah perusahaan/pengusaha memutuskan target pasar, hal selanjutnya
yang harus dilakukan oleh perusahaan/pengusaha tersebut adalah menentukan
posisi pasar. Untuk menentukannya ada tiga langkah: (1) mengidentifikasi
keunggulan kompetitif; (2) memilih keunggulan kompetitif; dan (3) mewujudkan
dan mengkomunikasikan posisi kepada konsumen sasaran.
Menurut Asmarantaka (2012), pemasaran agribisnis yang efisien terjadi
apabila terdapat indikator-indikator antara lain: (1) meningkatkan atau
menciptakan value added yang tinggi pada produk agribisnis; (2) menghasilkan
keuntungan bagi perusahaan/pengusaha yang terlibat terhadap biaya investasi
yang telah dikeluarkannya; (3) marketing margin yang relatif sesuai dengan
aktivitas bisnis yang meningkatkan kepuasaan dalam sisi konsumen dan (4)
farmer share yang diterima produsen menyebabkan produsen berproduksi dalam
tingkat usahataninya.
Rencana Produksi
Menurut Heizer dan Render dalam Solihin (2007), manajemen
produksi/operasi merupakan serangkaian aktivitas yang terkoordinasi dalam
menciptakan barang dan jasa melalui transformasi input menjadi output. Terdapat
sepuluh keputusan yang merupakan beberapa aspek penting dalam manajemen
produksi/operasi,
sehingga
diperlukan
analisis
mendalam
dari
perusahaan/pengusaha yang akan bergerak dalam hal produksi manufaktur.
1.
Keputusan dalam hal kualitas produk
Kualitas suatu produk dapat ditinjau melalui dua pendekatan. Pendekatan
pertama adalah pendekatan berdasarkan pengguna (user based approach), dalam
hal ini kualitas produk dirumuskan sebagaimana dirasakan oleh pengguna produk
tersebut. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan berdasarkan manufaktur
(manufacture based approach), dalam hal ini mutu produk ditentukan oleh
kesesuaian spesifikasi produksi yang telah ditetapkan dalam bentuk standar yang
baku.
2.
Desain barang dan jasa
Desain barang dan jasa bukan hanya menentukan proses produksi yang akan
berlangsung, namun juga menentukan besarnya biaya produksi, bahan baku
produksi, sumber daya manusia yang dibutuhkan dan kualitas barang yang akan
diproduksi oleh pabrik.
3.
Desain proses dan kapasitas
Proses produksi dipengaruhi oleh jenis produk yang dihasilkan oleh pabrik.
Untuk produksi yang bersifat masal, pabrik akan menggunakan proses produksi
kontinyu (continues processes). Sedangkan untuk produksi yang bersifat pesanan
(job order), maka pabrik akan menggunakan proses produksi yang terputus-putus
(intermitten processes).
4.
Penentuan Lokasi
Dalam menentukan lokasi pabrik setidaknya ada dua pendekatan, yaitu
pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif merupakan
pendekatan pemilihan lokasi pabrik berdasarkan aspek nature of things seperti
pendidikan, kesehatan, sikap, dan budaya. Sedangkan pendekatan kuantitatif

15
merupakan pendekatan yang memperhitungkan faktor satuan numerik. Salah satu
metode yang dapat digunakan adalah melalui metode pusat gravitasi (center of
gravity). Metode ini digunakan untuk menentukan lokasi pabrik yang
meminimalkan biaya distribusi.
5.
Sumber daya manusia dan desain pekerjaan
Desain pekerjaan meliputi muatan pekerjaan (job content), uraian pekerjaan
(job description), tugas yang dilaksanakan (task), wewenang (authority), dan
tanggung jawab (responsibility).
6.
Manajemen rantai pasokan
Untuk memperoleh harga jual produk yang kompetitif di pasar, perusahaan
harus membuat keputusan, produk mana yang harus dibuat oleh perusahaan itu
sendiri dan produk mana yang harus dibeli atau dibuat oleh perusahaan lain
(outsourcing).
7.
Persediaan
Persediaan untuk proses produksi pabrik meliputi persediaan bahan baku,
bahan pembantu, barang setengah jadi, dan barang jadi.
8.
Penjadwalan
Pembuatan jadwal produksi yang layak dan efisien dengan
mempertimbangkan berbagai faktor sesuai permintaan konsumen antara dan
konsumen akhir yang selalu berfluktuasi pada periode tertentu.
9.
Perawatan
Perawatan peralatan produksi secara berkala dapat mengurangi frekuensi
perbaikan mesin secara menyeluruh yang memakan biaya tinggi dan mengganggu
jadwal produksi pabrik.
10. Anggaran produksi
Bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur harus membuat
anggaran produksi yang menunjukkan jumlah barang yang akan diproduksi pada
setiap periode tertentu. Anggaran produksi sendiri akan menentukan anggaran
bahan baku langsung, anggaran buruh langsung, dan anggaran biaya manufaktur
tak langsung.
Rencana Keuangan
Menurut Solihin (2007), sebagai besar rencana bisnis merupakan rencana
usaha baru. Akibatnya analisis keuangan yang digunakan kebanyakan berasal dari
proyeksi keuangan dan bukan berdasarkan data keuangan historis. Proyeksi
keuangan yang dibuat oleh perusahaan/pengusahan meliputi arus kas, laporan laba
rugi, dan neraca. Adapun proyeksi keuangan yang akan dibuat oleh
perusahaan/pengusaha meliputi:
1.
Menghitung kebutuhan modal awal
Menurut Umar (2003), ada beberapa sumber pendanaan yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana perusahaan. Sumber modal tersebut
terdiri dari sumber intern, sumber ekstern yang merupakan dana pinjaman baik
pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah ataupun pinjaman jangka
panjang, dan yang terakhir adalah sumber modal sendiri.
Penyebab utama kegagalan bisnis baru adalah tidak terpenuhinya modal
awal tersebut. Mengestimasi pengeluaran pada bulan pertama merupakan hal yang

16
sangat penting karena merupakan dasar dalam menentukan estimasi penjualan per
tahun dalam jumlah uang tertentu. Besaran perkiraan penjualan ditentukan oleh
berbagai faktor dalam rencana pemasaran. Untuk itulah penting dilakukan
perhitungan mengenai cost-volume-profit analysis atau break even point (BEP)
guna mengetahui kemampuan laba usaha yang akan dijalankan. Adapun rumus
BEP sendiri dapat dilihat di bawah ini:
Keterangan:
1) FE adalah fixed expenses
2) GM adalah gross margin as a percentage of sales

2.

Penyusunan laporan arus kas
Laporan arus kas memberitahukan mengenai arus kas masuk (cash inflow)
dan arus kas keluar (cash outflow). Arus kas sendiri menggambarkan tiga aktivitas
yaitu arus kas yang berasal dari kegiatan operasional perusahaan, arus yang
berasal dari kegiatan pembelanjaan dan arus kas yang berasal dari kegiatan
investasi.
Guna menyusun laporan arus kas, laporan laba rugi, dan neraca, terdapat
dua skenario yang dapat digunakan oleh perusahaan/pengusaha. Pertama adalah
metode langsung (direct method), perusahaan dapat menyusun laporan
keuangannya terlebih dahulu seperti laporan aliran kas, neraca dan diakhiri
laporan laba rugi. Kedua adalah metode tak langsung (indirect method).
Penyusunannya berdasarkan enam langkah penyusunan keuangan menurut
Stickney et al. dalam Solihin (2007).
Assets = liabilities + shareholder’s equity
3.

Penyusunan neraca
Neraca sendiri terdiri atas aset, utang atau liability, dan net worth (owner’s
equity). Untuk menyusunnya, dapat dilakukan dengan menggunakan metodemetode analisis akuntansi.
4.
Penyusunan laporan