Pengujian Daya Hasil Galur-Galur Padi Sawah (Oryza Sativa) Hasil Kultur Antera

PENGUJIAN DAYA HASIL PENDAHULUAN
GALUR-GALUR PADI SAWAH (Oryza sativa)
HASIL KULTUR ANTERA

NIDA KHAFIYA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian Daya Hasil
Pendahuluan Galur-Galur Padi Sawah (Oryza sativa) Hasil Kultur Antera adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Nida Khafiya
NIM A24110154

ABSTRAK
NIDA KHAFIYA. Pengujian Daya Hasil Galur-Galur Padi Sawah (Oryza sativa)
Hasil Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO.
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia akan berkorelasi dengan
peningkatan jumlah permintaan bahan pangan termasuk beras. Varietas baru
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda. Para pemulia tanaman
menggunakan teknik non-konvensional untuk menghasilkan varietas unggul baru
(VUB) dengan lebih cepat, salah satunya yaitu dengan aplikasi kultur antera.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan galur padi sawah berdaya hasil
tinggi dari 18 galur dihaploid hasil kultur antera yang diuji dan dibandingkan
dengan 3 varietas pembanding. Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik (BB
BIOGEN) dan Kebun Percobaan IPB Sawah Baru, Darmaga, Bogor pada
Desember 2014 sampai April 2015. Percobaan menggunakan Rancangan

Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan galur sebagai perlakuan dan tiga
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan galur dan varietas yang diuji berpengaruh
sangat nyata terhadap semua karakter. Hasil pada 18 galur yang diuji, terdapat
keragaman daya hasil antar galur. Terdapat galur-galur yang setara dalam
produktivitas per ha dengan ketiga varietas pembanding. Galur HR-1-12-1-1, HR1-12-2-2, HR 2-27-2-7, HR-4-12-1-1, HR-5-9-1-1, HR-5-9-4-1 memiliki
produktivitas ≥5 ton ha-1.
Kata kunci : dihaploid, produktivitas, seleksi, varietas unggul baru

ABSTRACT
NIDA KHAFIYA. Yield Trial of Lowland Rice Lines (Oryza sativa) from Anther
Culture. Supervised by BAMBANG SAPTA PURWOKO.

The rising population in Indonesia relates to increased need of food supply
and demand, including rice. New varieties are needed to fulfil different needs.
Plant breeder use non-conventional method to produce high yielding variety
(VUB) quickly, one of which is anther culture application. The objectives of the
research were to obtain the high yield potential of rice lines from 18 doubled
haploid anther culture-derived lines which were evaluated and compared to 3
cultivars. The experiment was conducted at Indonesian Center for Agricultural
Biotechnology and Genetic Resources (BB BIOGEN) and Bogor Agricultural

University experimental station, Sawah Baru, Darmaga, Bogor on December 2014
until April 2015. It used Randomized Complete Blocked Design with the lines as
treatments and three replications. The result showed that lines and cultivars
experiment gave significant effect on all variables. The result on 18 lines tested
showed there was variation among lines. There were some lines similar in
productivity to check varieties. Lines HR-1-12-1-1, HR-1-12-2-2, HR 2-27-2-7,
HR-4-12-1-1, HR-5-9-1-1, HR-5-9-4-1 have productivity ≥5 ton ha-1.
Keywords: doubled haploid, productivity, selection, high yielding variety

PENGUJIAN DAYA HASIL PENDAHULUAN
GALUR-GALUR PADI SAWAH (Oryza sativa)
HASIL KULTUR ANTERA

NIDA KHAFIYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini berjudul
“Pengujian Daya Hasil Galur-Galur Padi Sawah (Oryza sativa) Hasil Kultur
Antera”. Penelitian ini membahas tentang upaya untuk mengetahui produktivitas
dan daya hasil galur padi sawah hasil kultur antera.
Penyelesaian skripsi ini tak luput dari dukungan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
2.
3.

4.

5.
6.

Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga.
Kedua orang tua penulis, keluarga, yang kasih sayangnya tak terhingga, selalu
support baik moril maupun materil.
Bapak Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga pelaksanaan
penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Bapak Deny, Bapak Adang, Bapak-bapak pekerja dan teknisi di Kebun
Percobaan Darmaga yang telah membantu penulis dalam teknis lapangan.
Sahabat seperjuangan sejak perkuliahan yang sedia mendukung dan
menghibur di kala proses penyelesaian skripsi.
Tim satu bimbingan penelitian; juga teman-teman dan kerabat penulis yang
selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang memerlukan.
Bogor, September 2015
Nida Khafiya

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Padi
Pemuliaan Padi
Kultur Antera
Uji Daya Hasil
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Prosedur Percobaan
Penyemaian dan Persiapan Lahan
Pemeliharaan
Panen
Pengamatan Penelitian
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Keragaan Karakter Agronomi
Komponen Pertumbuhan Tanaman Padi
Tinggi Tanaman
Jumlah Anakan
Umur Berbunga dan Umur Panen
Daun Bendera
Komponen Hasil Tanaman Padi
Panjang Malai dan Kepadatan Malai
Jumlah Gabah Bernas, Gabah Hampa, Gabah Total, Persentase Gabah
Bernas, Persentase Gabah Hampa
Bobot 1000 Butir, Bobor per Rumpun, Produktivitas per Hektar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
4
5
5
5
6
6
6
6
6
7

8
8
9
10
10
11
12
14
15
15
16
18
20
20
20
20
22
28

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Hasil rekapitulasi sidik ragam
Rataan tinggi tanaman pada fase vegetatif dan generatif galur dihaploid
dengan varietas pembanding
Rataan jumlah anakan pada fase vegetatif dan produktif galur dihaploid
dengan varietas pembanding
Rataan umur berbunga dan umur panen galur dihaploid dengan varietas
pembanding
Rataan panjang daun bendera dan sudut daun bendera galur dihaploid
dengan varietas pembanding
Rataan panjang malai dan kepadatan malai galur dihaploid dengan

varietas pembanding
Rataan jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa, dan jumlah gabah
total per malai
Persentase gabah bernas dan persentase gabah hampa dihaploid dengan
varietas pembanding
Rataan bobot 1000 butir, bobot per rumpun, dan produktivitas per ha
galur dihaploid dengan varietas pembanding

9
10
12
13
14
15
17
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Daftar galur-galur dihaploid yang digunakan dalam penelitian
233
Deskripsi varietas Limboto
23
Deskripsi varietas Inpari 13
24
Deskripsi varietas Situ Bagendit
25
Tata letak percobaan
26
Data iklim Darmaga, Bogor
27
Gambar galur-galur yang memiliki produktivitas ≥5 ton ha-1
27
Lampiran 8 Gambar galur-galur yang memiliki produktivitas ≥4.5 ton
ha-1 dan 5 ton ha-1), tahan terhadap organisme
penggangu tanaman (OPT), berumur genjah, dan memiliki kualitas beras serta
bentuk biji yang memenuhi selera konsumen (Dewi dan Purwoko 2012). Upaya
penyediaan VUB dengan waktu yang relatif lebih cepat dapat dilakukan melalui
pemanfaatan teknik kultur antera. Kultur antera merupakan salah satu teknik
kultur jaringan yang dapat mempercepat perolehan tanaman homozigos.
Keuntungan penggunaan kultur antera pada program pemuliaan diantaranya dapat
meningkatkan efisiensi proses seleksi, menghemat biaya, waktu, dan tenaga kerja
(Dewi dan Purwoko 2001). Produksi tanaman doubled-haploids / dihaploid
melalui kultur antera secara in vitro yang merupakan salah satu teknologi yang
sangat mendukung usaha perbaikan dan peningkatan hasil bagi berbagai jenis
tanaman, termasuk padi (Dewi dan Purwoko 2012). Melalui teknik ini galur
murni dapat diperoleh lebih cepat dibandingkan cara konvensional.
Penelitian sebelumnya mengenai produksi tanaman dihaploid dari
persilangan padi sawah dan padi gogo melalui kultur antera yang dilakukan oleh
Putri (2014) telah menghasilkan 73 tanaman dihaploid generasi pertama melalui
seleksi di rumah kaca. Perolehan galur dihaploid ini ditanam sehingga dapat
diseleksi lebih lanjut. Atas dasar tersebut, perlu dilakukan pengujian daya hasil
dari beberapa galur tersebut yang memiliki potensi hasil tinggi. Pengujian daya
hasil merupakan salah satu tahap dari program pemuliaan tanaman. Pada
pengujian akan dilakukan seleksi terhadap galur-galur unggul homozigos yang
telah dihasilkan. Kriteria penilaian umumnya berdasarkan sifat yang memiliki
nilai ekonomi tinggi, seperti hasil tanaman. Seleksi pada uji daya hasil dilakukan

2
secara bertahap, yaitu uji daya hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan, dan uji
adaptasi multilokasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur padi sawah berdaya hasil
tinggi.

Hipotesis
Terdapat keragaman daya hasil antar galur harapan padi sawah dan terdapat
minimal satu galur padi sawah hasil kultur antera yang dapat memberikan hasil
yang lebih tinggi atau sama dengan varietas yang sudah dilepas.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Padi
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang dibedakan
dalam dua tipe, yaitu padi lahan kering (gogo) dan padi sawah. Dalam klasifikasi
botani tanaman padi termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi
Angiospermae, kelas Monocotyledonae, family Graminae, genus Oryza, dan
spesies Oryza spp. Morfologi tanaman padi terdiri atas gabah, akar, daun, tajuk,
batang, bunga, dan malai. Gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam. Biji
yang sehari-hari dikenal dengan nama beras pecah kulit adalah karyopsis yang
terdiri atas janin (embrio) dan endosperma yang diselimuti oleh lapisan aleuron,
kemudian tegmen dan lapisan terluar disebut perikarp. Akar tanaman padi
termasuk golongan akar serabut yang terdiri atas akar primer (seminal) dan
sekunder (adventif). Perkembangan akar erat hubungannya dengan perkembangan
daun. Daun tanaman padi tumbuh berselang seling, satu daun pada tiap buku,
terdiri atas helai daun, pelepah daun yang membungkus ruas, telinga daun, dan
lidah daun. Pada permulaan stadia tumbuh batang yang terdiri atas pelepahpelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut kemudian
memanjang dan berongga setelah tanaman memasuki stadia reproduktif (Makarim
dan Suhartatik 2009). Menurut Siregar (1981), bunga padi secara keseluruhan
disebut malai. Tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet. Hakikatnya bunga
terdiri atas tangkai, bakal buah, lemma, palea, putik, dan benang sari serta
beberapa organ lainnya yang bersifat inferior. Tiap unit bunga pada malai terletak
pada cabang-cabang bulir yang terdiri atas cabang primer dan sekunder.
Perkembangan tanaman padi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu
fase vegetatif, masa reproduktif, dan fase pemasakan. Fase vegetatif terdiri atas
perkecambahan benih (germination), pembentukan tunas (seedling stage), dan
pembentukan anakan/malai (tillering stage). Fase vegetatif umumnya terjadi pada
55 hari terhitung sejak persemaian dilakukan. Perkecambahan benih dan

3
pembentukan tunas terjadi saat persemaian berlangsung. Pembentukan anakan/
malai berlangsung sekitar 30 hari, terdiri atas pembentukan anakan aktif dan
perpanjangan batang. Fase generatif terdiri atas reproduktif dan pemasakan. Fase
reproduktif terdiri atas inisiasi bunga (panicle initiation), tahap bunting (booting
stage), tahap keluar malai, dan tahap pembungaan. Fase reproduktif berlangsung
sekitar 30 hari. Fase Pemasakan/Pematangan terdiri atas tahap matang susu (milk
grain stage), tahap gabah setengah matang (drough grain stage), dan tahap gabah
matang penuh (mature grain stage). Fase ini berlangsung selama sekitar 35 hari
(Datta 1981).
Pemuliaan Padi
Peningkatan potensi hasil maupun perluasan areal tanam akan terus
dihadapkan pada berbagai kendala cekaman biotik dan non-biotik. Mutu hasil
yang baik merupakan syarat penting untuk pengembangan suatu varietas unggul.
Pembentukan varietas padi bertujuan untuk menghimpun sebanyak mungkin sifatsifat baik ke dalam suatu varietas baru yang dicirikan oleh perbaikan potensi,
kemantapaan dan mutu hasil serta perpendekan umur. Tingkat perbaikan harus
disesuaikan dengan kemajuan teknik bercocok tanam yang akan dikembangkan
pada berbagai sasaran wilayah produksi (Harahap dan Silitonga 1989).
Pengembangan varietas unggul dilakukan dengan perbaikan sifat genetik
melalui pemuliaan tanaman. Tujuan utama program pemuliaan saat ini adalah
merakit suatu varietas unggul yang memiliki produktivitas dan kualitas hasil lebih
baik serta memiliki ketahanan baik terhadap cekaman biotik dan abiotik. Dewi
dan Purwoko (2012) menyebutkan bahwa generasi awal padi varietas unggul baru
VUB atau padi tipe semi dwarf adalah padi dengan potensi hasil tinggi (4–5 ton
ha-1) dengan penampilan fisik tanaman yang pendek (< 100 cm), beranak banyak
dan sangat responsif terutama terhadap pemupukan nitrogen tinggi. Di Indonesia
saat ini VUB dirakit dengan tujuan selain berpotensi hasil tinggi (>5 ton ha-1),
tahan terdahap organisme penggangu tanaman (OPT) padi, berumur genjah, dan
mempunyai kualitas beras serta bentuk biji yang memenuhi selera konsumen.
IRRI mulai mengembangkan padi tipe baru pada tahun 1989 dan pada tahun
2000 hasilnya telah didistribusikan ke berbagai negara untuk dikembangkan lebih
lanjut. Landasan pemikiran dalam pembentukan padi tipe baru adalah peningkatan
indeks panen (IP) dan produksi biomassa tanaman. IP adalah perbandingan bobot
kering gabah dengan total biomassa tanaman. Karakteristik padi tipe baru adalah
potensi hasil tinggi, malai lebat (±250 butir gabah per malai), jumlah anakan
produktif lebih dari 10 dengan pertumbuhan yang serempak, tanaman pendek (±
90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua, senescence lambat, tahan rebah,
pekarangan kuat, batang lurus, tegak, besar, dan berwarna hijau gelap, sterilitas
gabah rendah, berumur genjah (100–130 hari), beradaptasi tinggi pada kondisi
musim yang berbeda, IP mencapai 0.60, efektif dalam translokasi fotosintat dari
source ke sink (biji), responsif terhadap pemupukan berat, dan tahan terhadap
hama dan penyakit. Kendala dalam program padi tipe baru adalah produksi
biomassa yang rendah serta tingkat sterilitas yang tinggi (Susanto et al. 2003). Hal
ini diduga karena populasi awalnya dibuat dengan menyilangkan padi yang
berbeda subspesies (indica x japonica tropika), sehingga terjadi ketidakteraturan

4
meiosis dan tidak samanya distribusi kromosom pada keturunannya (Abdullah et
al. 2001).
Kultur Antera
Tanaman haploid merupakan tanaman yang memiliki jumlah kromosom
yang sama dengan kromosom gametnya atau tanaman dengan jumlah kromosom
setengah jumlah kromosom somatiknya. Tanapan haploid ganda (dihaploid)
memiliki dua set kromosom yang identik dengan bentuk haploidnya serta dapat
membentuk sel kelamin jantan dan sel telur seperti tanaman diploid, sedangkan
tanaman haploid jarang dapat menghasilkan sel kelamin jantan yang diperlukan
untuk fertilisasi. Haploid dapat diperoleh secara alami melalui proses
partenogenesis dan eleminasi kromosom, serta diinduksi in vitro melalui proses
androgenesis dengan kultur antera, kultur mikrospora, dan proses gynogenesis
dengan kultur ovul (Dewi dan Purwoko 2011).
Produksi tanaman dihaploid (DH) melalui kultur antera secara in vitro
merupakan salah satu teknologi yang sangat menjanjikan dalam usaha perbaikan
dan peningkatan hasil bagi berbagai jenis tanaman. Kultur antera merupakan salah
satu teknis kultur jaringan yang dapat mempercepat perolehan tanaman
homozigos dari heterozigos tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif,
sehingga siklus pemuliaan dapat lebih singkat karena dapat menghilangkan
sebagian besar dari kegiatan seleksi per generasi (6–8 generasi) yang umum pada
pemuliaan konvensional (Dewi dan Purwoko 2001). Pemuliaan pada tanaman
menyerbuk sendiri, seperti padi, ditujukan untuk mendapatkan galur-galur murni
dengan daya hasil dan sifat-sifat yang unggul. Galur-galur murni dapat diperoleh
secara cepat melalui kultur antera (Dewi dan Purwoko 2012). Penggunaan sistem
haploid dapat mempercepat perolehan galur-galur murni karena tanaman
dihaploid dapat diperoleh dari generasi pertama. Galur murni dapat diseleksi dari
populasi dihaploid yang homogen dan homozigos tersebut. Hasil rekombinasi dari
persilangan difiksasi sebagai galur-galur homozigos dan galur-galur harapan
diseleksi berdasarkan keunggulan sifat-sifat agronomiknya. Tanaman dihaploid
yang diseleksi juga dapat digunakan sebagai tetua intermediat untuk disilangkan
lebih lanjut sebagai tetua bagi pembentukan hibrida F1 (Dewi dan Purwoko
2011).
Uji Daya Hasil
Rangkaian kegiatan pemuliaan tanaman pada dasarnya mengikuti tahapantahapan sebagai berikut: (1) koleksi plasma nutfah; (2) karakterisasi; (3) seleksi;
(4) evaluasi dan pengujian; serta (5) pelepasan varietas dan perbanyakan. Uji daya
hasil dilakukan setelah serangkaian proses seleksi selesai. Galur-galur tanaman
yang dihasilkan dari program pemuliaan tanaman perlu dilakukan uji dan evaluasi
terkait karakter-karakter unggul terhadap varietas yang pembanding yang
digunakan (Syukur et al. 2015). Tahapan pada uji daya hasil meliputi uji daya
hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan, dan uji multilokasi. Hasil uji daya hasil
lanjutan berupa galur-galur harapan atau calon varietas yang siap dilepas setelah
uji multilokasi. Pengujian ini dilakukan di beberapa lokasi dan musim untuk
menganalisis adaptasi dan stabilitas calon varietas. Syarat-syarat uji multilokasi

5
harus mengikuti pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian. Hasil uji
multilokasi merekomendasikan kestabilan suatu calon varietas atau lokasi spesifik
dari calon varietas tersebut. Hasil uji multilokasi menunjukkan adanya
keunggulan dari masing-masing galur sehingga galur tersebut layak untuk
diusulkan menjadi varietas baru.
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT.140/
10/2011 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2011)
mengenai Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas dinyatakan
bahwa pelepasan varietas adalah pengakuan pemerintah terhadap suatu varietas
hasil pemuliaan di dalam negeri dan/atau introduksi yang dinyatakan dalam
keputusan Menteri Pertanian bahwa varietas tersebut merupakan varietas unggul
yang dapat disebarluaskan. Calon varietas dapat dilepas jika memenuhi
persyaratan: a) silsilah tanaman meliputi asal usul, nama tetua, daerah asal, nama
pemilik atau penemu, perkiraan umur bagi tanaman tahunan atau lama penyebaran
bagi tanaman semusim yang telah berkembang di masyarakat (varietas lokal) dan
metoda pemuliaan yang digunakan; b) tersedia deskripsi yang lengkap dan jelas,
untuk diidentifikasi dan pengenalan varietas secara akurat; c) menunjukkan
keunggulan terhadap varietas pembanding; d) unik, seragam, dan stabil; e)
pernyataan dari pemilik bahwa benih penjenis (breeder seed) tersedia baik dalam
jumlah maupun mutu yang cukup untuk perbanyakan lebih lanjut; dan f)
dilengkapi data hasil pengujian lapangan seluruh lokasi dan/atau laboratorium.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Desember 2014 hingga April 2015.
Penyemaian benih dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber
Daya Genetik Pertanian Cimanggu, Bogor, sedangkan penanaman dilakukan di
Kebun Percobaan Babakan, Darmaga, Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 galur baru padi sawah
hasil kultur antera (Lampiran 1) dan 3 varietas pembanding (Limboto, Inpari 13,
Situ Bagendit). Deskripsi masing-masing varietas dapat dilihat pada Lampiran 2–
4. Input produksi yang digunakan yaitu pupuk Urea, SP-36, dan KCl, dengan
dosis masing-masing 200 kg ha-1 Urea, 150 kg ha-1 SP-36, dan 100 kg ha-1 KCl,
dan insektisida.
Alat yang digunakan adalah kotak persemaian, alat tanam dan pemeliharaan
sederhana, gembor, meteran, timbangan, ajir, jaring, kamera, alat tulis, dan papan
nama.

6
Prosedur Percobaan
Penyemaian dan Persiapan Lahan
Penyemaian kering dilakukan di kotak semai sejumlah 63 satuan percobaan.
Kotak diisi dengan tanah sampai 2/3 dari volume kotak dan diberi alur untuk
penyebaran benih. Benih disebar merata dalam alur dan ditutup tipis dengan
tanah. Media disiram dengan air hingga lembab. Penyiraman dilakukan setiap hari
menggunakan gembor sampai dengan umur tanaman siap dipindah untuk
mendorong pertumbuhan bibit.
Bibit padi dipindahtanamkan pada umur 20 hari setelah semai (HSS) ke
lahan pertanaman padi. Lahan seluas 220.5 m2 dipersiapkan dan diolah
sebelumnya lalu dibuat petak percobaan untuk penelitian. Lahan dibagi ke dalam
3 ulangan dengan masing-masing terdiri atas 21 satuan percobaan seluas 1 m x 3.5
m per satuan percobaan. Bibit ditanam langsung dengan kedalaman 3–5 cm,
sebanyak 1–2 bibit tiap lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan yaitu 25 cm x
25 cm. Jarak antar petak yang digunakan adalah 0.25 m dan antar ulangan 0.5 m.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan pemupukan, penyulaman bibit mati,
penyiangan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).
Pemupukan dilakukan tiga kali, yaitu pada saat tanam, 21 hari setelah tanam
(HST), dan 42 HST. Pupuk Urea (1/3 dosis), SP-36, dan KCl diberikan pada saat
tanam, selanjutnya pada 21 dan 42 HST diberikan masing-masing 1/3 dosis Urea.
Penyulaman dilakukan pada umur dua minggu setelah tanam (MST) dengan
sistem sulam pindah. Penyiangan dan pengendalian gulma dilakukan pada umur 3
MST dan 6 MST dengan cara mencabut menggunakan tangan, lalu dipendam
dalam tanah. Pengendalian hama keong dilakukan secara manual, sedangkan
pengendalian hama walang sangit dan penyakit dilakukan secara kimia dengan
menyemprotkan insektisida.
Panen
Umur panen ditentukan saat 80% malai telah menguning atau sekitar 26
sampai 30 hari setelah berbunga. Pelaksanaan panen dilakukan dengan memotong
batang kira-kira 20 cm di atas permukaan tanah menggunakan sabit. Mulanya
tanaman contoh dipanen terlebih dahulu kemudian panen petak bersih. Tanaman
per satuan percobaan yang telah dipanen dikumpulkan di atas karung masingmasing dan dilakukan pengirigan untuk merontokkan gabah. Kemudian dilakukan
pengamatan pada komponen hasil.
Pengamatan Penelitian
Pengamatan dilakukan pada 5 rumpun tanaman contoh per satuan
percobaan. Pengamatan berdasarkan pada Panduan Sistem Karakterisasi dan
Evaluasi Tanaman Padi (Deptan 2003) dengan komponen pengamatan meliputi:
1. Tinggi tanaman vegetatif diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun
tertinggi, diamati pada 45 HST.

7
2. Tinggi tanaman generatif diukur dari permukaan tanah hingga ujung malai
terpanjang, diamati pada saat menjelang panen.
3. Jumlah anakan vegetatif diamati pada 45 HST.
4. Jumlah anakan produktif diamati pada saat menjelang panen.
5. Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai.
6. Umur berbunga, dihitung dari saat menanam benih sampai 50% malai
(bunga) dalam satu rumpun telah keluar.
7. Umur panen, dihitung dari saat menanam benih sampai 80% malai telah
menguning.
8. Panjang daun bendera, diukur dari pangkal hingga ujung daun bendera.
9. Sudut daun bendera, diukur dari dekat leher daun, yaitu sudut yang
terbentuk antara daun bendera dengan poros batang utama. Kode
pengukuran yang digunakan yaitu: 1 (tegak), 3 (sedang ±45º), 5
(mendatar), dan 7 (terkulai).
10. Jumlah gabah total, gabah bernas dan hampa per malai, dihitung dari
jumlah gabah bernas atau berisi penuh dan gabah hampa.
11. Persentase gabah bernas (%) dihitung dengan membandingkan antara
jumlah gabah bernas per malai dengan jumlah gabah total per malai
dikalikan 100.
12. Persentase gabah hampa (%) dihitung dengan membandingkan antara
jumlah gabah hampa per malai dengan jumlah gabah total per malai
dikalikan 100.
13. Bobot 1 000 butir, diukur dari 1 000 gabah isi yang diambil secara random
dengan kadar air ±14% (penjemuran dengan matahari selama ±4 hari) dan
ditimbang secara tepat dalam gram.
14. Bobot per rumpun, diukur dari pembagian bobot total yang ditimbang
secara tepat dalam gram dengan jumlah rumpun bersih total.
15. Produktivitas per hektar, dihitung dari pembagian bobot total yang
ditimbang secara tepat dalam gram dengan jumlah rumpun bersih dan
dikonversikan dengan jumlah populasi per hektar.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) dengan galur sebagai perlakuan dan tiga kali ulangan.
Penelitian menggunakan 18 galur baru hasil kultur antera dan 3 galur padi sawah
pembanding yang masing-masing diulang tiga kali, sehingga keseluruhan terdapat
63 satuan percobaan. Denah petak percobaan terdapat pada Lampiran 5.
Model rancangan percobaan yang digunakan yaitu :
Yij =  + ij + ij
Keterangan:
Yij : nilai pengamatan pada populasi ke-i dan ulangan ke-j
 : nilai rataan umum
i : pengaruh perlakuan ke-i, i = 1, 2, ..., 21
j : pengaruh ulangan ke-j, j = 1, 2, 3
ij : pengaruh galat percobaan dari varietas ke-i dan ulangan ke-j

8
Data diuji dengan menggunakan uji F. Jika terdapat perbedaan diantara
galur, maka dilanjutkan dengan uji lanjut t-Dunnet pada taraf nyata 5% untuk
membandingkan galur yang diuji dengan varietas pembanding.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Darmaga pada Desember hingga
April 2015. Kondisi iklim dapat dilihat pada Lampiran 6. Curah hujan sedang
terjadi pada bulan Desember 2014–Januari 2015 dengan rataan curah hujan 225.5
mm bulan-1 dan mulai tinggi pada Februari–Maret 2015 dengan rataan curah hujan
361 mm bulan-1. Pertumbuhan awal pada masa vegetatif dari semua galur dan
varietas yang diuji terhambat oleh hama keong namun tidak berpengaruh secara
signifikan. Hama keong menyerang bibit sampai 2 minggu setelah tanam (MST).
Serangan hama keong pada beberapa rumpun menyebabkan tanaman mati dan
harus disulam. Pengendalian hama keong dilakukan dengan manual dan kultur
teknis. Pengendalian manual dilakukan sampai 2 MST, selanjutnya dilakukan
pengurangan volume air di permukaan sawah sampai 4 MST untuk meminimalisir
adanya hama keong.
Serangan blas terlihat pada 7 MST. Serangan yang disebabkan oleh
cendawan Pyricularia grisea ini menyebabkan beberapa tanaman mati sebelum
berbunga. Gejala serangan terlihat pada daun saat fase vegetatif, sedangkan yang
terlihat pada pangkal leher terjadi sebelum pengisian bulir, sehingga terjadi
kehampaan pada bulir. Kehampaan terbanyak terlihat pada galur HR-2-34-1-3 dan
HR-8-28-1-2. Blas ditandai dengan bentuk belah ketupat dengan ujung
meruncing, serangan ini dapat menurunkan hasil secara langsung karena leher
malai busuk dan patah sehingga pengisian terganggu dan bulir padi menjadi
hampa (BB Padi 2011). Pengendalian dilakukan secara kimiawi dengan fungisida
berbahan aktif propikonazol 125 g l-1 dan trisiklazol 400 g l-1. Penyemprotan
fungisida dilakukan satu kali pada 49 HST. Fase memasuki fase generatif awal.
Walang sangit (Leptocorisa oratorius) menyerang tanaman padi setelah
padi berbunga. Serangan walang sangit paling besar terlihat pada galur HR-5-133-1 yang tergolong pada galur berumur paling genjah dan galur HR-2-34-1-3.
Gabah yang ditusuk dan dihisap cairannya oleh walang sangit menyebabkan
gabah menjadi hampa. Penanggulangannya dilakukan dengan penyemprotan
insektisida berbahan aktif imidakloprid 200 g l-1. Hasil yang didapat di lapangan
tidak terlalu berpengaruh signifikan karena serangan walang sangit datang tidak
dalam satu waktu yang bersamaan.
Serangan burung pipit terjadi pada fase generatif hingga menjelang panen.
Serangan paling besar terlihat pada galur HR-5-13-3-1 yang umumnya terjadi
pada galur berumur genjah dan galur yang memiliki sudut daun bendera dengan
kategori horizontal sampai melengkung. Kondisi daun bendera horizontal dan
melengkung menyebabkan burung menjadi mudah bertengger pada daun bendera.
Populasi tanaman yang terserang oleh burung pipit akan membuat kualitas biji
menurun karena pecah dan hasil panen pun akan turun (Karim 2014). Serangan

9
burung ini ditanggulangi dengan penggunaan jaring untuk mengisolasi lahan
petak percobaan.
Pertumbuhan galur HR-1-12-2-2 dan HR-2-21-2-1 di lapangan
menunjukkan penampilan yang kurang seragam. Keseragaman galur-galur
tersebut berkisar 91%. Hal ini terlihat pada tinggi tanaman, serta warna dan
bentuk kaki tanaman. Ketidakseragaman ini diduga terjadi akibat adanya
campuran dari genotipe lain. Penanggulangan dilakukan dengan cara roguing.
Keragaan Karakter Agronomi
Penelitian dilakukan pada 18 galur dihaploid hasil kultur antera dan 3
varietas pembanding. Keragaan karakter agronomi diuji dengan sidik ragam
sebanyak 17 karakter. Hasil analisis ragam disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 merupakan hasil rekapitulasi analisis sidik ragam pada karakter
agronomi yang menunjukkan bahwa galur dan varietas yang diuji berpengaruh
sangat nyata terhadap semua karakter dengan koefisien keragaman (KK) berkisar
1.37–22.40%. Semakin tinggi nilai KK maka unit percobaan yang digunakan
makin tidak homogen (Gomez dan Gomez 1996).
Tabel 1 Hasil rekapitulasi sidik ragam
Karakter
Tinggi tanaman fase vegetatif
Tinggi tanaman fase generatif
Jumlah anakan vegetatif
Jumlah anakan produktif
Umur berbunga
Umur panen
Panjang daun bendera
Panjang malai
Kepadatan malai
Jumlah gabah bernas
Jumlah gabah hampa
Jumlah gabah per malai
Persentase gabah bernas per malai
Persentase gabah hampa per malai
Bobot 1000 butir
Bobot gabah per rumpun
Produktivitas per hektar

Kuadrat
Tengah
330.08
845.59
35.94
21.38
83.14
128.15
92.21
18.44
5.82
2395.63
2085.53
4114.45
311.71
301.85
20.59
162.32
3.19

F Hitung
13.33**
13.15**
9.56**
6.31**
65.69**
55.89**
4.68**
12.70**
2.95**
9.20**
8.15**
9.71**
9.11**
8.35**
13.11**
13.48**
7.50**

Koefisien
Keragaman (%)
4.72
7.08
10.62
13.97
1.38
1.37
10.68
4.75
17.85
12.41
22.40
10.20
9.02
17.14
5.47
5.74
14.37

Ket: **berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; *berpengaruh nyata pada taraf 5%;
berpengaruh nyata pada taraf 5%

tn

tidak

10
Komponen Pertumbuhan Tanaman Padi
Tinggi Tanaman
Hasil pengamatan pada Tabel 2 menunjukkan adanya pengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman vegetatif. Rata-rata tinggi tanaman berkisar pada 85–131
cm. Tinggi tanaman tertinggi pada fase vegetatif dimiliki oleh galur HR-5-13-3-1,
sedangkan tinggi tanaman terendah dimiliki oleh galur HR-1-12-2-2. Galur HR-513-3-1 dan HR-1-32-1-1 merupakan galur yang memiliki tinggi tanaman vegetatif
tertinggi dan berbeda nyata lebih tinggi dengan ketiga pembanding. Terdapat 2
galur yang memiliki tinggi tanaman vegetatif nyata berbeda lebih tinggi dari
varietas Limboto dan Inpari 13, dan terdapat 11 galur yang memiliki tinggi
tanaman vegetatif berbeda nyata lebih tinggi dari varietas Situ Bagendit. Varietas
Situ Bagendit merupakan varietas pembanding dengan tinggi tanaman vegetatif
terendah.
Tabel 2 Rataan tinggi tanaman pada fase vegetatif dan generatif galur dihaploid
dengan varietas pembanding
Galur/Varietas
HR-1-12-1-1
HR-1-12-2-2
HR-1-32-1-1
HR-2-21-2-1
HR-2-22-1-3
HR-2-22-2-1
HR-2-27-2-7
HR-2-30-1-1
HR-2-33-1-1
HR-2-34-1-3
HR-4-12-1-1
HR-5-9-1-1
HR-5-9-4-1
HR-5-13-2-2
HR-5-13-3-1
HR-7-15-2-2
HR-7-32-1-5
HR-8-28-1-2
Limboto
Inpari 13
Situ Bagendit
Keterangan:

a

Tinggi Tanaman
Vegetatif (cm)
96.73
85.05 ab
120.71 abc
98.32
113.33 c
113.78 c
92.87
111.90 c
107.51 c
105.88
107.86 c
108.30 c
109.37 c
94.63
131.84 abc
109.33 c
95.80
108.14 c
103.55
102.93
94.47

Tinggi Tanaman
Generatif (cm)
88.43 abc
96.67 ab
140.73 bc
115.75
140.90 bc
127.70
112.77
134.93 c
113.97
113.70
116.97
112.61
98.07 ab
84.70 abc
121.20
97.53 ab
84.60 abc
110.73
130.20
120.67
114.10

Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Limboto;
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Inpari 13;
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Situ Bagendit.

b
c

11
Tanaman mengalami pertambahan tinggi dari pemanjangan ruas teratas
batang tanaman pada fase generatif. Rata-rata tinggi tanaman pada fase generatif
berkisar 84–140 cm. Tinggi tanaman tertinggi dimiliki oleh galur HR-2-22-1-3
sedangkan terendah dimiliki oleh HR-7-32-1-5. Terdapat beberapa galur yang
memiliki tinggi tanaman generatif lebih rendah dibandingkan tinggi tanaman
vegetatif, hal ini diduga dipengaruhi oleh pemanjangan ruas batang yang tidak
signifikan dan panjang malai yang pendek. Berdasarkan hasil uji lanjut pada Tabel
2, galur HR-1-32-1-1 dan HR-2-22-1-3 memiliki tinggi tanaman generatif
tertinggi dan nyata berbeda lebih tinggi dengan varietas Inpari 13 dan Situ
Bagendit tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Limboto. Galur HR-5-13-2-2
dan HR-7-32-1-5 berbeda nyata lebih rendah dengan ketiga pembanding. Norsalis
(2011) menyebutkan bahwa bila syarat-syarat tumbuh baik, tinggi tanaman
optimum umumnya berkisar pada 80–120 cm. Terlihat pada data bahwa umumnya
tinggi tanaman pada galur dan varietas yang diamati tergolong pada tinggi
tanaman optimum. Menurut Balai Besar Penelitian Padi (2009), tinggi tanaman
varietas Limboto, Inpari 13, dan Situ Bagendit masing-masing adalah 110–132
cm, ±120 cm, dan 110–120 cm. Pada hasil penelitian terlihat bahwa tinggi
tanaman masing-masing varietas bernilai lebih tinggi dari data literatur, hal ini
dapat disebabkan oleh situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda dengan lokasi
tanam dalam deskripsi.
Semakin tinggi tanaman akan menyebabkan tertutupnya anakan padi oleh
daun bendera dan terhambatnya penyaluran proses metabolisme ke seluruh
tanaman karena tanaman padi membutuhkan intensitas cahaya yang penuh dalam
meningkatkan produksinya (Wibowo 2010). Hal ini akan menjadi salah satu
kriteria penting dalam menentukan seleksi varietas unggul yang mempengaruhi
kualitas serta kuantitas hasil produksi tanaman padi.
Jumlah Anakan
Hasil pengamatan jumlah anakan total pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
jumlah anakan total pada semua unit yang diujicobakan berkisar pada 12–25
anakan. Galur HR-1-12-1-1, HR-2-21-2-1, HR-2-27-2-7, HR-2-34-1-3, dan HR-59-1-1 memiliki jumlah anakan total lebih dari atau sama dengan 20 dan berbeda
nyata dengan varietas Limboto, tetapi tidak berbeda nyata dengan dua varietas
pembanding lainnya. Varietas pembanding Inpari 13 berbeda nyata dengan galur
HR-7-15-2-2, HR-5-13-3-1, dan HR-7-32-1-5, tetapi tidak berbeda nyata dengan
15 galur lainnya. Jumlah anakan padi dikelompokkan ke dalam tiga kriteria, yaitu
sedikit (20 anakan) (Putra et al.
2009). Pada hasil pengamatan, jumlah anakan yang diamati tergolong pada
kategori sedang sampai banyak. Varietas Situ Bagendit memiliki jumlah anakan
total terbanyak, sedangkan terendah dimiliki oleh varietas Limboto.
Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar pada 8–18. Galur HR-5-13-2-2
memiliki jumlah anakan produktif terbanyak, sedangkan varietas Limboto
memiliki jumlah anakan produktif terendah. Galur HR-5-13-2-2 yang memiliki
jumlah anakan produktif terbanyak dan nyata berbeda lebih tinggi dengan varietas
pembanding Limboto dan Inpari 13 tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas
Situ Bagendit.

12
Tabel 3 Rataan jumlah anakan pada fase vegetatif dan produktif galur dihaploid
dengan varietas pembanding
Galur/Varietas
HR-1-12-1-1
HR-1-12-2-2
HR-1-32-1-1
HR-2-21-2-1
HR-2-22-1-3
HR-2-22-2-1
HR-2-27-2-7
HR-2-30-1-1
HR-2-33-1-1
HR-2-34-1-3
HR-4-12-1-1
HR-5-9-1-1
HR-5-9-4-1
HR-5-13-2-2
HR-5-13-3-1
HR-7-15-2-2
HR-7-32-1-5
HR-8-28-1-2
Limboto
Inpari 13
Situ Bagendit
Keterangan:

Jumlah Anakan Total
22.5 a
18.2 ac
16.2 c
22.9 a
16.8 ac
19.7 ac
21.1 a
19.0 ac
17.9 ac
20.3 a
15.0 c
20.7 a
16.1 c
21.7 a
14.3 bc
13.5 bc
15.0 bc
16.9 ac
11.9 bc
19.5 ac
24.9 ab

Jumlah Anakan Produktif
14.8 a
14.8 a
12.3
17.5 ab
11.1 c
13.7 a
14.7 a
11.5
13.8 a
13.8 a
13.0 a
12.8 a
14.2 a
18.6 ab
11.7
8.3 c
14.0 a
9.8 c
7.8 c
12.0
15.9 a

a

Berbeda nyata pada uji t-Dunnet 5% dengan varietas pembanding Limboto; b
Berbeda nyata pada uji t-Dunnet 5% dengan varietas pembanding Inpari 13; c Berbeda
nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Situ Bagendit.

Terdapat 12 galur yang memiliki jumlah anakan produktif berbeda nyata
lebih tinggi dari varietas Limboto dan terdapat 2 galur yang memiliki jumlah
anakan produktif berbeda nyata lebih tinggi dari varietas Inpari 13. Menurut Fagi
(2001), jumlah anakan produktif 15–20 per malai merupakan sifat dari tipe padi
yang baik. Berdasarkan kategori tersebut, galur/varietas yang termasuk kepada
tipe padi baik adalah galur HR-1-12-1-1, HR-1-12-2-2, HR-2-21-2-1, HR-2-27-27, HR-5-13-2-2, dan varietas Situ Bagendit. Petani dapat memprediksi hasil
dengan melihat jumlah anakan produktif dan banyaknya gabah isi.
Umur Berbunga dan Umur Panen
Fase pembungaan ditandai dengan 50% bunga telah keluar dalam satuan
petak percobaan. Hasil pengamatan umur berbunga dan umur panen tersaji pada
Tabel 4. Rata-rata umur berbunga berkisar pada 68–90 hari setelah semai (HSS).
Galur HR-5-13-3-1 memiliki umur berbunga tercepat, sedangkan galur HR-2-301-1 memiliki umur berbunga terlama. Galur HR-2-30-1-1 memiliki umur
berbunga terlama dan berbeda nyata lebih tinggi dari ketiga varietas pembanding,
sedangkan galur HR-1-32-1-1, HR-4-12-1-1, HR-5-9-1-1, HR-5-9-4-1, HR-5-132-2, dan HR-5-13-3-1 memiliki umur berbunga yang berbeda nyata lebih cepat

13
dengan ketiga varietas pembanding. Terdapat 3 galur yang memiliki umur
berbunga nyata berbeda lebih lama dari varietas Inpari 13 dan 5 galur yang
memiliki umur berbunga nyata berbeda lebih lama dari varietas Situ Bagendit.
Umur berbunga padi yang diidentifikasi dikelompokkan ke dalam 3 kriteria, yaitu
genjah (125 hari) (Putra et al.
2009). Berdasarkan kriteria tersebut, umumnya galur dan varietas yang
diujicobakan tergolong pada umur panen sedang kecuali galur HR-4-12-1-1, HR5-9-4-1, HR-5-13-2-2, dan HR-5-13-3-1 yang tergolong berumur genjah.
Tabel 4 Rataan umur berbunga dan umur panen galur dihaploid dengan varietas
pembanding
Galur/Varietas
HR-1-12-1-1
HR-1-12-2-2
HR-1-32-1-1
HR-2-21-2-1
HR-2-22-1-3
HR-2-22-2-1
HR-2-27-2-7
HR-2-30-1-1
HR-2-33-1-1
HR-2-34-1-3
HR-4-12-1-1
HR-5-9-1-1
HR-5-9-4-1
HR-5-13-2-2
HR-5-13-3-1
HR-7-15-2-2
HR-7-32-1-5
HR-8-28-1-2
Limboto
Inpari 13
Situ Bagendit
Keterangan:

a

Umur Berbunga (HSS)
82.3 a
83.7 a
77.3 abc
81.3 a
85.7 bc
81.0 a
84.7 c
90.7 abc
84.0 a
86.3 bc
78.0 abc
74.7 abc
72.7 abc
75.0 abc
68.7 abc
85.0 C
82.7 a
79.3 ab
87.0 bc
82.3 a
81.3 a

Umur Panen (HSS)
110.3 ac
110.7 c
110.7 c
114.3
115.7
117.0
114.0
115.3
110.0 ac
116.3
99.3 abc
113.7
99.0 abc
98.7 abc
95.3 abc
112.0
114.3
111.3 c
114.3
113.3
115.3

Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Limboto;
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Inpari 13;
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Situ Bagendit.

b
c

Umur panen ditentukan saat kondisi tanaman padi yang sudah mencapai
masak optimum dan siap untuk diambil hasilnya. Hal ini ditandai dengan telah
menguningnya 80% dari setiap satuan petak percobaan dan posisi malai mulai
merunduk. Rata-rata umur panen pada percobaan berkisar 95–117 HSS. Galur
HR-5-13-3-1 memiliki umur panen tercepat dibandingkan dengan ke-17 galur dan
3 varietas pembanding lainnya, yaitu pada 95 HSS. Galur HR-5-13-3-1, HR-5-132-2, HR-5-9-4-1, dan HR-4-12-1-1 tergolong berumur genjah dan memiliki umur

14
panen cepat, keempat galur tersebut nyata berbeda lebih rendah dengan ketiga
varietas pembanding.
Daun Bendera
Daun bendera merupakan organ utama yang berperan penting dalam
distribusi asimilat menuju malai. Karakter panjang dan lebar daun bendera
berkaitan dengan daya hasil, peningkatan panjang dan lebar daun bendera yang
diikuti dengan peningkatan daya hasil (Dere dan Yildirim 2006). Hasil
pengamatan pada rataan panjang daun bendera dan sudut daun bendera galur
dihaploid dan varietas pembanding dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rataan panjang daun bendera dan sudut daun bendera galur dihaploid
dengan varietas pembanding
Galur/Varietas
HR-1-12-1-1
HR-1-12-2-2
HR-1-32-1-1
HR-2-21-2-1
HR-2-22-1-3
HR-2-22-2-1
HR-2-27-2-7
HR-2-30-1-1
HR-2-33-1-1
HR-2-34-1-3
HR-4-12-1-1
HR-5-9-1-1
HR-5-9-4-1
HR-5-13-2-2
HR-5-13-3-1
HR-7-15-2-2
HR-7-32-1-5
HR-8-28-1-2
Limboto
Inpari 13
Situ Bagendit

Panjang Daun Bendera
41.3 c
37.2
57.8 abc
42.9 c
44.0 c
45.3 c
41.3 c
42.9 c
38.2
44.3 c
32.9
44.1 c
42.0 c
41.4 c
42.9 c
40.3 c
38.9
47.1
38.2
40.9 c
29.2

Sudut Daun Bendera
Tegak
Tegak
Tegak
Tegak
Semi Tegak
Semi Tegak
Tegak
Tegak
Tegak
Tegak
Semi Tegak
Tegak
Semi Tegak
Semi Tegak
Terkulai
Tegak
Semi Tegak
Tegak
Tegak
Tegak
Tegak

Keterangan: a Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Limboto; b
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Inpari 13; c Berbeda nyata pada
uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Situ Bagendit.

Hasil menunjukkan rata-rata daun bendera pada percobaan berkisar 29–57
cm. Daun bendera terpanjang dimiliki oleh galur HR-1-32-1-1 dan terpendek oleh
varietas Situ Bagendit. Galur HR-1-32-1-1 merupakan satu-satunya galur yang

15
berbeda nyata dengan ketiga varietas pembanding. Terdapat 13 galur yang
memiliki panjang daun bendera berbeda nyata lebih panjang dari varietas Situ
Bagendit.
Pengelompokan sudut daun bendera dilakukan menurut panduan sistem
karakterisasi dan evaluasi tanaman padi [Deptan 2003]. Sudut daun diukur dekat
leher daun sebagai sudut yang terbentuk antara daun bendera dengan poros malai
utama. Berdasarkan hasil percobaan, keragaan sudut daun bendera beragam. Galur
HR-5-13-3-1 memiliki sudut daun bendera terkulai, sedangkan galur lain dan
varietas pembanding umumnya tegak dan semi tegak. Daun bendera yang terkulai
cenderung lebih disukai oleh burung pipit.
Komponen Hasil Tanaman Padi
Panjang Malai dan Kepadatan Malai
Panjang malai diukur dari leher malai hingga ujung malai. Data tersaji
pada Tabel 6. Rataan panjang malai yang dihasilkan berkisar pada 20–28 cm.
Varietas Limboto dan galur HR-1-32-1-1 memiliki malai terpanjang, sedangkan
galur HR-8-28-1-2 memiliki panjang malai terpendek.
Tabel 6 Rataan panjang malai dan kepadatan malai galur dihaploid dengan
varietas pembanding
Galur/Varietas
HR-1-12-1-1
HR-1-12-2-2
HR-1-32-1-1
HR-2-21-2-1
HR-2-22-1-3
HR-2-22-2-1
HR-2-27-2-7
HR-2-30-1-1
HR-2-33-1-1
HR-2-34-1-3
HR-4-12-1-1
HR-5-9-1-1
HR-5-9-4-1
HR-5-13-2-2
HR-5-13-3-1
HR-7-15-2-2
HR-7-32-1-5
HR-8-28-1-2
Limboto
Inpari 13
Situ Bagendit

Panjang Malai (cm)
23.38 a
23.97 a
28.02
27.30
26.19
25.45
25.59
25.39
27.25
25.44
27.68
26.80
27.87
26.58
22.97 abc
20.23 abc
20.92 abc
20.31 abc
28.25
26.12
26.07

Kepadatan Malai (bulir cm-1)
7.34
9.86 c
9.23
6.63
7.87
7.47
6.79
10.09 c
6.09
9.10
7.98
7.95
7.53
6.37
5.14 a
8.77
7.88
10.38 c
8.91
7.43
6.44

Keterangan : a Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Limboto;
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Inpari 13;
Berbeda nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Situ Bagendit.

b
c

16
Galur HR-5-13-3-1, HR-7-15-2-2, HR-7-32-1-5, dan HR-8-28-1-2 memiliki
panjang malai berbeda nyata lebih pendek dari ketiga varietas yang dibandingkan.
Panjang malai menurut Putra et al. (2009) dikelompokkan ke dalam 4 kriteria,
yaitu pendek (40 cm). Berdasarkan pengelompokan tersebut, umumnya galur dan
varietas yang diujicobakan tergolong pada kategori sedang.
Kepadatan malai adalah perbandingan antara banyaknya bulir per malai
dengan panjang malai. Kepadatan malai menentukan kualitas gabah dalam satu
malai. Rata-rata data yang dihasilkan berkisar pada 5–10. Galur HR-8-28-1-2
merupakan galur dengan kerapatan malai tertinggi sedangkan HR-5-13-3-1
memiliki kepadatan malai terendah. Terdapat 3 galur, yaitu HR-1-12-2-2, HR-230-1-1, dan HR-8-28-1-2 yang memiliki kepadatan malai nyata berbeda lebih
tinggi dari varietas Situ Bagendit, dan galur HR-5-13-3-1 yang memiliki
kepadatan malai nyata berbeda lebih rendah dari varietas Limboto.
Jumlah Gabah Bernas, Gabah Hampa, Gabah Total, Persentase Gabah
Bernas, Persentase Gabah Hampa
Hasil percobaan menunjukkan bahwa rata-rata gabah bernas berkisar 66–
194 butir. Galur HR-1-12-2-2 memiliki jumlah gabah bernas terbanyak,
sedangkan jumlah gabah bernas paling sedikit dimiliki oleh galur HR-5-13-3-1.
Galur HR-1-12-2-2 berbeda nyata dengan varietas Inpari 13 dan Situ Bagendit
tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Limboto. Limboto memiliki jumlah
gabah bernas yang paling banyak dibandingkan dua varietas pembanding lainnya,
serta tidak berbeda nyata dengan galur HR-2-30-1-1, HR-2-33-1-1, HR-4-12-1-1,
HR-5-9-4-1, dan HR-5-13-2-2. Galur HR-5-13-3-1 memiliki jumlah gabah bernas
paling sedikit, hal ini diduga disebabkan oleh umur tanaman yang genjah
dibandingkan dengan tanaman lainnya, sehingga saat sudah memasuki waktu
pengisian bulir, serangan hama burung dan walang sangit terkonsentrasi pada
galur tersebut. Produktivitas tanaman dapat ditentukan oleh jumlah gabah bernas.
Semakin banyak gabah bernas maka produktivitas tanaman semakin tinggi
(Siregar 1981).
Rata-rata jumlah gabah hampa dari percobaan yang dilakukan berkisar pada
28–128 butir. Galur HR-2-33-1-1 memiliki jumlah gabah hampa paling sedikit,
sedangkan galur HR-2-34-1-3 memiliki jumlah gabah hampa terbanyak. Galur
HR-2-33-1-1 dan HR-5-13-2-2 memiliki jumlah gabah hampa berbeda nyata lebih
sedikit dibanding varietas Limboto dan Inpari 13. Gabah hampa terbanyak
dimiliki oleh galur HR-2-34-1-3 dan berbeda nyata lebih tinggi dengan ketiga
varietas pembanding. Gabah hampa dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu kerebahan, serangan hama walang sangit, kurangnya intensitas
cahaya dan daun mengering, sehingga pengisian fotosintat pada bulir-bulir padi
berkurang.
Gabah total per malai yang diperoleh berkisar pada 118–258 butir. Galur
HR-1-32-1-1 memiliki gabah total per malai tertinggi dan nyata berbeda lebih
tinggi dengan varietas Inpari 13 dan Situ Bagendit, sedangkan galur HR-5-13-3-1
memiliki gabah total per malai paling sedikit dan nyata berbeda dengan varietas
Limboto dan Inpari 13. Terdapat 2 galur, yaitu HR-1-32-1-1 dan HR-2-30-1-1
yang memiliki gabah total nyata berbeda lebih banyak dibanding varietas Inpari

17
13 dan Situ Bagendit. Terdapat 8 galur yang memiliki gabah total berbeda nyata
lebih sedikit dibanding varietas Limboto.
Tabel 7 Rataan jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa, dan jumlah gabah
total per malai
Galur/Varietas
HR-1-12-1-1
HR-1-12-2-2
HR-1-32-1-1
HR-2-21-2-1
HR-2-22-1-3
HR-2-22-2-1
HR-2-27-2-7
HR-2-30-1-1
HR-2-33-1-1
HR-2-34-1-3
HR-4-12-1-1
HR-5-9-1-1
HR-5-9-4-1
HR-5-13-2-2
HR-5-13-3-1
HR-7-15-2-2
HR-7-32-1-5
HR-8-28-1-2
Limboto
Inpari 13
Situ Bagendit
Keterangan:

Gabah Bernas
129.9 a
194.4 bc
161.4 bc
124.1 a
120.1 a
119.8 a
103.9 a
147.1
137.4
103.3 a
145.7
131.9 a
152.1
137.6
66.7 abc
130.4 a
95.0 a
115.3 a
177.6 bc
119.6 a
115.0 a

Gabah Hampa
42.0
41.8
97.2
57.1
85.8
70.3
70.2
109.6 c
28.7 ab
128.2 abc
75.2
81.6
57.6
29.8 ab
51.4
106.5 c
69.8
94.6 c
74.3
74.6
53.0

Gabah Total
171.8 a
236.2 c
258.6 bc
181.2 a
205.9
190.1 a
174.1 a
256.7 bc
166.1 a
231.6 c
220.9 c
213.6
209.8
167.4 a
118.1 ab
242.7 c
164.8 a
211.0
251.9 bc
194.2 a
168.0 a

a

Berbeda nyata pada uji t-Dunnet 5% dengan varietas pembanding Limboto; b
Berbeda nyata pada uji t-Dunnet 5% dengan varietas pembanding Inpari 13; c Berbeda
nyata pada uji t-Dunnett 5% dengan varietas pembanding Situ Bagendit.

Persentase gabah bernas ditentukan dari jumlah gabah bernas dibagi dengan
jumlah gabah total. Data tersaji pada Tabel 8. Hasil rata-rata persentase gabah
bernas pada percobaan berkisar 44–82%. Galur HR-2-33-1-1 memiliki nilai
persentase gabah bernas tertinggi dan berbeda nyata lebih tinggi dengan varietas
Inpari 13, sedangkan galur HR-2-34-1-3 memiliki nilai persentase terendah dan
berbeda nyata lebih re