Uji daya hasil galur-galur dihaploid padi sawah (Oryza Sativa L)

i

UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI
SAWAH (Oryza sativa L.)

SYTI SARAH MAESAROH
A24080008

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

i

ii

RINGKASAN
SYTI SARAH MAESAROH. Uji Daya Hasil Galur-Galur Dihaploid Padi
Sawah (Oryza Sativa L.). (Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO).
Pertumbuhan penduduk mendorong meningkatnya laju permintaan beras.

Peningkatan permintaan beras ini belum dapat diimbangi dengan peningkatan
produksi padi nasional. Bioteknologi dengan teknik kultur antera diharapkan
dapat menghasilkan tanaman dihaploid yang menghasilkan galur berdaya hasil
tinggi secara efisien. Pengujian terhadap galur-galur yang dihasilkan diperlukan
sebelum varietas unggul dapat dilepas. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menguji
daya hasil sepuluh galur dihaploid hasil kultur antera terhadap dua varietas
pembanding, Ciherang dan Inpari 13.
Penelitian ini dilaksanakan di University Farm IPB, Babakan, Darmaga dan
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor
pada bulan November 2011-Maret 2012. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan genotipe. Perlakuan terdiri atas 12
genotipe yang diulang sebanyak tiga kali sehingga seluruhnya terdiri atas 36
satuan percobaan. Satuan percobaan adalah satu petakan berukuran 3 m x 3 m.
Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm dan dua bibit ditanam per
lubang tanam.
Galur-galur yang diuji memiliki tinggi tanaman pada fase vegetatif antara
74.4-90.7 cm, sedangkan pada fase generatif tinggi tanaman antara 85.2-118.5 cm.
Jumlah anakan total per rumpun galur-galur yang diuji antara 17.6-25.2. Pada
umumnya galur yang diuji termasuk genotipe dengan jumlah anakan sangat
banyak. Rata-rata jumlah anakan produktif galur yang diuji sekitar 11.3-16.1.

Galur KP-4-42-2-2, KP-4-43-1-2, dan I5-10-1-1 memiliki persentase jumlah
anakan produktif di atas 75 % (kriteria varietas unggul). Kisaran rata-rata umur
berbunga yaitu antara 79.3-94.7 hari setelah semai dan umur panen antara 105.0124.0 hari. Umur panen yang paling genjah ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3,
sedangkan umur panen paling lama ditunjukkan oleh galur KP-4-43-1-4.
Kisaran rata-rata panjang malai yaitu 21.4-25.5 cm. Malai terpendek
ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan malai terpanjang ditunjukkan

ii

iii
oleh galur IW67. Inpari 13 memberikan jumlah gabah total yang paling tinggi
(161.8), sedangkan jumlah gabah total paling rendah ditunjukkan oleh galur IW67
(120.2). Persentase gabah isi semua genotipe yang diuji antara 56.0-77.5 %,
sedangkan persentase gabah hampa genotipe yang diuji antara 22.5-44.0 %.
Rata-rata bobot 1,000 butir beberapa genotipe yang diuji pada kadar air ±
14% antara 23.6-30.5 g. Bobot 1,000 butir paling rendah ditunjukkan oleh galur
I5-10-1-1, sedangkan bobot 1,000 butir paling tinggi ditunjukkan oleh galur KP-443-1-2. Galur I5-10-1-1 memiliki ukuran gabah yang paling kecil dibandingkan
dengan ukuran gabah galur dihaploid lainnya, sedangkan galur KP-4-43-1-2
memiliki ukuran gabah yang besar.
Nilai rata-rata Gabah Kering Panen (GKP) antara 2.98-6.68 ton/ha. Bobot

GKP paling rendah ditunjukkan oleh galur FG1R 36-1-1, sedangkan bobot GKP
paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Ciherang. Nilai rata-rata bobot Gabah
Kering Giling (GKG) pada kadar air ± 14% antara 2.54-4.98 ton/ha. Bobot GKG
paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 13, sedangkan bobot GKG paling
rendah ditunjukkan oleh galur FG1R 36-1-1. Galur KP-4-42-2-2, KP-4-42-2-3,
KP-4-43-1-2, KP-4-43-2-4, dan galur IW67 menunjukkan bobot GKG (4.47-4.94
ton/ha) yang setara dengan Ciherang (4.66 ton/ha) dan Inpari 13 (4.98 ton/ha).
Galur KP-4-42-2-2 dan KP-4-43-2-4 memiliki potensi hasil berdasarkan hitungan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ciherang dan Inpari 13. Galur KP-4-42-22, KP-4-42-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-2-4, FG1R 36-1-1, I5-10-1-1, dan galur
IW67 memiliki potensi hasil berdasarkan hitungan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Ciherang.

iii

i

UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI
SAWAH (Oryza sativa L.)

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

SYTI SARAH MAESAROH
A24080008

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i

ii

Judul

: UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR
DIHAPLOID

PADI


SAWAH

(Oryza

sativa L.)
Nama

: SYTI SARAH MAESAROH

NIM

: A24080008

Menyetujui,
Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc.
NIP. 19610218198403 1 002


Mengetahui.
Ketua Departemen

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr.
NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :
ii

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1990 di Desa Padasuka, Cibatu,
Garut. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Juju Juhaeni dan Ibu Maemi.
Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Padasuka I,
Cibatu. Pendidikan lanjutan menengah diselesaikan pada tahun 2005 di SMP
Negeri 1 Cibatu dan pendidikan lanjutan menengah umum diselesaikan pada
tahun 2008 di SMA Negeri 3 Garut.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2008.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan Mayor
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian serta Minor Pengembangan Usaha
Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi
kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Pertanian periode 2008-2009 sebagai sekretaris Department of Agriculture,
Lembaga Dakwah Fakultas FKRD periode 2008-2009 dan 2009-2010 sebagai
anggota, dan Himpunan Mahasiswa Garut sebagai anggota. Selain itu penulis juga
mendapatkan hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dalam bidang
penelitian dan gagasan tertulis. Penulis juga mengikuti Program IPB Go Field
pada tahun 2009. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Mata Kuliah
Ilmu Tanaman Pangan pada tahun 2011 dan Mata Kuliah Metode Statistika pada
tahun 2012. Penulis menerima beasiswa Pengembangan Potensi Akademik (PPA)
sejak tahun 2008 hingga 2012.

iii

iv


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, dan
penulisan skripsi yang berjudul Uji Daya Hasil Galur-Galur Dihaploid Padi
Sawah (Oryza sativa L.). Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah
satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis dapat mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam
penyusunan skripsi ini berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi
sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan,
bimbingan, dan motivasi selama di Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, IPB.
2. Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. dan Dr. Ir. Ketty Suketi, MSi. selaku dosen penguji
yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi.
3. Kedua orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa,
dan kasih

sayang.


Semoga

skripsi ini

menjadi

persembahan

yang

membanggakan.
4. Dimas Guntur Julianto, Laila Rahmadona, Lela Marlenasari, Yuniar Rizki,
Mela Wahyuni, teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 45, temanteman Pondok Ratna serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian penelitian maupun skripsi ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, Mei 2012
Penulis


iv

v

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

viii

PENDAHULUAN .......................................................................................
Latar Belakang ................................................................................

Tujuan Penelitian ............................................................................
Hipotesis ..........................................................................................

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Botani dan Morfologi Padi ..............................................................
Pengembangan Varietas Padi Unggul di Indonesia ......................
Kultur Antera Padi ..........................................................................

3
3
4
6

BAHAN DAN METODE ...........................................................................
Tempat dan Waktu ..........................................................................
Bahan dan Alat ................................................................................
Metode Penelitian ...........................................................................
Pelaksanaan Penelitian ...................................................................
Pengamatan Penelitian ....................................................................

8
8
8
8
9
10

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
Kondisi Umum Penelitian ..............................................................
Keragaan Karakter Agronomi .........................................................

12
12
13

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
Kesimpulan .....................................................................................
Saran ................................................................................................

27
27
27

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

28

LAMPIRAN ..................................................................................................

31

v

vi

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi
galur dihaploid hasil kultur anter ....................................................

14

2. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata tinggi tanaman
pada fase vegetatif dan fase generatif .............................................

15

3. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah anakan
total dan anakan produktif ...............................................................

16

4. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata umur berbunga dan
umur panen ........................................................................................

18

5. Pengaruh genotipe terhadap panjang malai dan kerapatan
malai ..................................................................................................

20

6. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah gabah total dan
jumlah gabah isi ................................................................................

21

7. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata bobot 1,000 butir gabah
isi .......................................................................................................

23

8. Pengaruh genotipe terhadap produktivitas gabah kering panen
(GKP) dan gabah kering giling (GKG) .........................................

24

vi

vii

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Persentase jumlah anakan produktif per rumpun beberapa
genotipe ............................................................................................

17

2. Persentase gabah isi dan presentase gabah hampa beberapa
genotipe ............................................................................................

22

3. Potensi hasil berdasarkan hitungan beberapa genotipe ................

25

vii

viii

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap tinggi tanaman
vegetatif ............................................................................................

32

2. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap tinggi tanaman
generatif ............................................................................................

32

3. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah anakan
total ..................................................................................................

32

4. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah anakan
produktif ..........................................................................................

32

5. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap umur berbunga ..............

33

6. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap umur panen....................

33

7. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap panjang malai ...............

33

8. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah gabah
isi .......................................................................................................

33

9. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah gabah
hampa ................................................................................................

34

10. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah gabah
total ...................................................................................................

34

11. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap bobot 1,000 butir
gabah .................................................................................................

34

12. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap produktivitas ................

34

13. Deskripsi varietas Ciherang .............................................................

35

14. Deskripsi varietas Inpari 13 ..............................................................

36

15. Denah petak percobaan .....................................................................

37

16. Data iklim Darmaga ..........................................................................

38

viii

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Proyeksi perkembangan penduduk menunjukkan bahwa Indonesia akan
menjadi negara yang berpenduduk sangat besar pada beberapa dekade mendatang.
Imbangan permintaan dan penawaran komoditas pangan menjadi indikator
penting

dalam

perencanaan

pencapaian

ketahanan

pangan

masyarakat.

Ketergantungan pangan pokok masyarakat pada beras mengharuskan pemerintah
tetap memprioritaskan penanganan peningkatan produksi dengan berbagai upaya.
Kenaikan permintaan beras sebesar 15.12 juta ton dalam waktu 40 tahun (20102050) merupakan beban berat yang harus ditanggung (Mulyani et al., 2010).
Upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional hingga tahun 2025 akan
ditempuh melalui dua cara: (1) peningkatan produktivitas padi dengan laju
pertumbuhan 1.0-1.5 % per tahun; dan (2) peningkatan areal panen padi melalui
peningkatan intensitas pertanaman (IP), pengembangan di areal baru, termasuk
sebagai tanaman sela di lahan perkebunan dan lahan bukaan baru (Departemen
Pertanian, 2005 ).
Produktivitas padi masih dapat dinaikkan, namun dalam beberapa tahun
terakhir peningkatan produktivitas mengalami pelandaian. Penyebabnya antara
lain adalah telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul baru
(VUB) padi dan menurunnya kesuburan lahan sawah karena eksploitasi yang terus
menerus tanpa memperhatikan kelestarian kesuburan tanah, baik fisik maupun
kimawi (Abdullah et al., 2008). Karena itu, perakitan varietas unggul padi sawah
dengan potensi hasil lebih tinggi harus dilakukan untuk mendukung ketahanan
pangan nasional.
Perakitan varietas dapat dilakukan secara konvensional dan dengan
bioteknologi. Perakitan varietas unggul dengan cara konvensional memerlukan
waktu yang lama karena memerlukan periode penggaluran dan seleksi selama
beberapa generasi. Oleh karena itu, pengembangan bioteknologi menjadi penting
untuk dilakukan. Salah satu teknik bioteknologi dalam menciptakan

varietas

unggul padi yaitu dengan perakitan galur dihaploid. Dewi dan Purwoko (2011)
menyatakan bahwa dengan menggunakan sistem dihaploid, proses pemuliaan
1

2
untuk mendapatkan galur murni dapat lebih singkat melalui satu sampai dua
generasi saja. Kultur antera merupakan salah satu cara untuk mempercepat
perakitan varietas.

Kultur antera dapat menghasilkan tanaman dihaploid atau

galur murni yang meningkatkan efisiensi perakitan varietas unggul. Teknik ini
menghasilkan tanaman haploid melalui induksi embriogenesis dari pembelahan
berulang mikrospora atau polen tanaman donor antera yang berasal dari
persilangan tetua yang diinginkan.
Kultur antera diperlukan dalam menghasilkan varietas unggul baru.
Pengujian daya hasil galur-galur dihaploid hasil kuntur antera merupakan salah
satu tahap yang harus dilalui sebelum varietas unggul dilepas. Potensi hasil dan
daya adaptasi galur tersebut diuji di beberapa lokasi. Galur-galur yang berdaya
hasil tinggi pada berbagai lokasi dapat diusulkan sebagai varietas unggul baru
dengan daya adaptasi luas (Sudarna, 2010). Sjafii et al. (2011) pada penelitian
sebelumnya telah melaporkan galur-galur padi sawah dengan potensi hasil tinggi.
Galur-galur tersebut perlu diuji untuk mengetahui penampilan hasilnya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hasil galur-galur
dihaploid hasil kultur antera padi sawah yang dibandingkan dengan varietas padi
berproduktivitas tinggi.

Hipotesis
Terdapat galur-galur dihaploid hasil kultur antera padi sawah yang dapat
memberikan hasil lebih tinggi atau sama dengan varietas yang sudah dilepas.

2

3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi Padi
Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn.
Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O.
glaberrima Steud. O. sativa merupakan spesies yang lebih penting dibandingkan
O. glaberrima. O. glaberrima hanya tumbuh terbatas di sebagian kecil wilayah di
Afrika Barat, sedangkan O. sativa tumbuh menyebar di wilayah tropis dan
subtropis (Grist, 1959).
Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu
dengan ruas yang lainnya dipisahkan oleh satu buku. Ruas batang padi berongga
dan berbentuk bulat dari atas ke bawah (Departemen Pertanian, 1983). Pada tiap
buku, terdapat sehelai daun. Kuncup yang tumbuh di dalam ketiak daun menjadi
batang-batang sekunder yang serupa dengan batang primer. Batang-batang
sekunder ini akan menghasilkan batang-batang tersier dan seterusnya. Peristiwa
ini disebut sebagai fase menganak. Anakan mulai terbentuk sejak 10 hari setelah
tanam dan mencapai maksimum pada umur 50-60 hari setelah tanam (Prasetyo,
1996).
Sifat daya merumpun padi pada umumnya lima kali atau lebih dari
tanaman yang ditanam. Sifat ini diperlukan untuk menantisipasi serangan hama
penggerek batang atau hama sundep yang menyerang ketika tanaman masih muda.
Jika tanaman memiliki daya merumpun yang rendah, maka tanaman akan habis
oleh hama karena tidak mampu membentuk banyak anakan atau tunas baru
(Siregar, 1981).
Fase pertumbuhan padi terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase vegetatif,
fase reproduktif, dan fase pemasakan. Fase vegetatif dimulai dari saat berkecambah
sampai dengan inisiasi primordia malai, yaitu pertambahan anakan yang cepat
sampai tercapai anakan maksimal, bertambah tingginya tanaman, dan daun tumbuh
secara teratur. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai
berbunga, yaitu ditandai dengan pemanjangan ruas batang, berkurangnya
jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan. Fase
pemasakan dimulai dari berbunga sampai panen, yaitu ditandai dengan

4
menuanya daun, dan bertambahnya ukuran biji, bobot, dan perubahan warna
biji. lnisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan
(Yoshida, 1981).
Berdasarkan lingkungan dan manajemen air, padi dibedakan dalam dua
tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di
dataran rendah yang memerlukan penggenangan (Prihatman, 2000). Satu tahun di
berbagai wilayah tropik terbagi ke dalam dua musim yang berbeda yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Pada beberapa wilayah, padi diproduksi pada musim
hujan dan ketergantungan terhadap air hujan merupakan faktor pembatas dalam
memproduksi padi pada lahan tadah hujan. Padi yang dibudidayakan pada musim
kemarau memerlukan sistem irigasi untuk mencukupi kebutuhan air. Oleh karena
itu, penanaman padi pada musim kering menjadi terbatas (De Datta, 1981).
Musim tanam padi di wilayah sub tropis Asia (Jepang, Korea, dan Cina)
dan di wilayah lain seperti Amerika Utara, Australia, dan Eropa ditentukan
terutama oleh pola suhu. Dengan menggunakan irigasi, penanaman dapat
diuntungkan dengan adanya kondisi iklim yang sesuai seperti suhu optimum dan
radiasi matahari yang tinggi (De Datta, 1981).

Pengembangan Varietas Padi Unggul di Indonesia
Faktor iklim dan tanah merupakan faktor pembatas produksi padi di
berbagai wilayah di Indonesia. Introduksi varietas dari negara lain yang
menyediakan gen spesifik, resisten, dan toleran terhadap kondisi suboptimum
membantu dalam menciptakan varietas tertentu. Karakter tersebut diperlukan
untuk program pemuliaan varietas modern yang spesifik lokasi (De Datta, 1981).
Pemuliaan tanaman didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan penelitian
dan pengembangan genetik tanaman (modifikasi gen ataupun kromosom) untuk
merakit varietas atau varietas unggul yang berguna bagi kehidupan manusia
(Dewi dan Purwoko, 2001). Menurut Sumarno dan Zuraida (2008) pemuliaan
tanaman merupakan ilmu genetika terapan yang didukung oleh berbagai cabang
ilmu kegenetikaan, termasuk plasma nutfah, genetika klasik, genetika molekuler,
sitogenetika, dan genetika transformasi. Teknik pemuliaan tanaman pangan
berkembang dengan pesat terutama untuk tanaman padi.

5
Pemuliaan tanaman melalui upaya perakitan varietas padi di Indonesia
ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi. Selain itu, upaya
perakitan varietas juga ditujukan untuk menciptakan varietas yang sesuai dengan
kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat (Susanto et al., 2003).
Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan
terhadap tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda. Oleh karena itu,
pemuliaan tanaman padi bertujuan untuk menghasilkan varietas baru yang lebih
baik dibanding varietas yang telah ada (Sasmita, 2007).
Menurut Harsanti et al. (2003) penggunaan varietas padi unggul
merupakan teknologi yang handal dalam meningkatkan produksi pangan.
Penggunaan varietas unggul lebih aman dan lebih ramah terhadap lingkungan
serta dapat dijangkau oleh petani. Dewi dan Purwoko (2001) menyatakan bahwa
pembentukan varietas padi unggul melalui pemuliaan perlu dilakukan secara
intensif sesuai dengan teknologi yang ada. Proses pemuliaan tanaman ini dapat
menghasilkan varietas unggul tanaman

padi

yang menjamin pertanian

berkelanjutan.
Perakitan varietas unggul padi merupakan rangkaian kegiatan yang
berkesinambungan dan memerlukan waktu panjang. Kegiatannya meliputi
persilangan untuk membentuk populasi dasar, seleksi untuk memilih populasi dan
atau tanaman yang dikehendaki, serta uji daya hasil dan adaptasi galur-galur
harapan yang dihasilkan sebelum dilepas sebagai varietas baru (Abdullah et al.,
2008).
Uji daya hasil merupakan tahap penting dalam perakitan varietas. Galurgalur yang sudah mantap dan mempunyai sifat-sifat yang diharapkan perlu
dievaluasi daya hasil dan keragaannya pada berbagai lokasi. Galur-galur yang
berdaya hasil tinggi pada berbagai lokasi dapat diusulkan sebagai varietas unggul
baru dengan daya adaptasi luas (Sudarna, 2010). Acquaah (2007) menyatakan
bahwa uji daya hasil meliputi tiga tahap, yaitu uji daya hasil pendahuluan
(UDHP), uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi untuk melihat
stabilitas dan adaptabilitas tanaman di berbagai lokasi sebelum dilepas menjadi
varietas unggul baru dengan karakter-karakter yang dikehendaki.

6
Kultur Antera Padi
Pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan cara konvensional dan dengan
cara bioteknologi. Untuk mempercepat perakitan varietas unggul baru harus
diterapkan suatu kombinasi prosedur pemuliaan konvensional dengan prosedur
bioteknologi (Dewi dan Purwoko, 2001). Bioteknologi dapat dimanfaatkan untuk
mendukung program perbaikan genetik tanaman terutama dalam peningkatan
efisiensi dan pemecahan masalah yang tidak dapat atau sulit dilakukan secara
konvensional (Suwarno et al., 2000).
Menurut Sunarlim dan Sutrisno (2003), penggunaan bioteknologi bukan
untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan
keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi
tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Abdullah et
al. (2008) menyatakan bahwa salah satu prosedur alternatif yang dianjurkan
adalah membuat galur dihaploid (doubled haploid) atau galur murni homozigos
hasil dari penggandaan tanaman haploid.
Haploid

dapat

diperoleh

secara

alami

misalnya

melalui

proses

parthenogenesis dan eliminasi kromosom (metode Bulbosum), serta diinduksi in
vitro melalui proses androgenesis dengan kultur antera dan kultur mikrospora, dan
proses gonogenesis dengan kultur ovul (Dewi dan Purwoko, 2011). De Datta
(2005) melaporkan bahwa induksi haploid melalui kultur antera adalah metode
yang paling sederhana dan mudah dilaksanakan dibandingkan dengan kultur
mikrospora.
Dewi (2002) menunjukkan bahwa kultur antera merupakan salah satu
metode kultur in vitro yang dapat menghasilkan galur-galur murni dengan cepat.
Galur-galur murni tersebut merupakan tanaman dihaploid sehingga proses seleksi
menjadi lebih efisien karena populasi dihaploid bersifat homogen dan
homozigositas sudah terbentuk pada tanaman regeneran (DH0), sedangkan
evaluasi karakter agronomi utama dapat dilakukan pada generasi DH1 dan DH2.
Pembentukan galur murni (galur dihaploid) melalui teknik kultur antera
memerlukan waktu kurang lebih 30 bulan (Sasmita, 2007). Oleh karena itu,
dibandingkan dengan sistem pemuliaan konvensional, keuntungan penggunaan

7
kultur antera dalam program pemuliaan, selain meningkatkan efisiensi proses
seleksi, adalah menghemat biaya, waktu dan tenaga (Dewi dan Purwoko, 2001).
Karakter yang dikendalikan baik oleh gen dominan maupun resesif dapat
diekspresikan pada tanaman dihaploid. Variasi genetik pada tanaman dihaploid
akan terjadi akibat efek aditif, terlepas dari efek dominan resesif. Untuk menjamin
atau meningkatkan peluang ketersediaan rekombinan yang diinginkan, diperlukan
populasi galur dihaploid turunan dari tiap-tiap persilangan (F1) yang cukup
sebagai bahan seleksi. Pada populasi demikian, jumlah individu yang dibutuhkan
sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan rekombinan gen yang diinginkan akan
berkurang

jika dibandingkan dengan bahan yang diperoleh dari populasi

bersegregasi hasil persilangan konvensional (Sasmita, 2007).
Prosedur teknik kultur antera pada pemuliaan tanaman padi terbagi ke
dalam tahap-tahap sebagai berikut; pemilihan tetua dan persilangan (F1),
pemeliharaan tanaman F1 sumber eksplan, penyiapan eksplan, kultur antera in
vitro, aklimatisasi, dan penanganan tanaman pasca aklimatisasi, karakterisasi
tanaman dihaploid, perbanyakan benih dihaploid, dan seleksi untuk karakter yang
diinginkan (Sasmita, 2007).
Teknik kultur antera juga mempunyai kelemahan. Selain memerlukan
keterampilan khusus dan peralatan yang memadai, ploidi yang dihasilkan
beragam, frekuensi haploid tidak dapat diprediksi dalam populasi, dan
regenerasi tanaman hijau yang rendah karena dihasilkan tanaman albino.
Masalah ini dapat diatasi dengan pemberian senyawa putresin 0.001 M pada
media, sehingga meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada
kultur antera tanaman padi (Dewi et al. 2007).
Kultur

antera

dipengaruhi

oleh

beberapa

faktor.

Faktor

yang

mempengaruhi keberhasilan teknik kultur antera antara lain kondisi pertumbuhan
tanaman donor, umur tanaman donor, tingkat perkembangan polen, metode
sterilisasi, pra perlakuan, media kultur, dan kondisi ruang inkubasi (Hendaryono
dan Wijayani, 1994).

8

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai dengan
bulan Maret 2012 bertempat di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber
Daya Genetik Pertanian dan University Farm IPB, Babakan, Darmaga, Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih sepuluh
galur dihaploid padi sawah, yaitu KP-3-18-1-3, KP-3-19-1-2, KP-4-42-2-2, KP-442-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-1-4, KP4-43-2-4, FG1R 36-1-1, I5-10-1-1, IW67,
sebagai galur yang dievaluasi serta varietas padi Ciherang dan Inpari 13
digunakan sebagai varietas pembanding.
Pupuk yang digunakan meliputi pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha, SP36 dengan dosis 150 kg/ha, dan pupuk KCl dengan dosis 100 kg/ha. Peralatan
yang digunakan meliputi alat tanam dan pemeliharaan, meteran, dan timbangan.

Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan galur sebagai perlakuan dan tiga
ulangan. Penelitian ini menggunakan sepuluh galur padi dihaploid dan dua
varietas pembanding, sehingga keseluruhan terdapat 36 satuan percobaan. Ukuran
petak untuk setiap satuan percobaan sebesar 3 m x 3 m.
Model rancangan yang akan digunakan yaitu model umum Rancangan
Acak Kelompok (RAK) Yij = µ + αi + βj + εij, dimana :
Yij

= nilai pengamatan populasi ke-i dan ulangan ke-j

µ

= nilai rataan umum
i

= pengaruh genotipe ke-i

j

= pengaruh ulangan ke-j

Εij

= pengaruh galat percobaan dari varietas ke-i dan ulangan ke-j

8

9
Pengujian

perbedaan

antar

galur

yang

dievaluasi

diuji

dengan

menggunakan uji F. Jika terdapat perbedaan diantara galur, maka dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Uji BNJ dilakukan untuk membandingkan
nilai tengah semua perlakuan (Gomez dan Gomez, 1995).

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada lahan dengan luas 324 m2. Penyemaian
dilakukan dengan cara penyemaian kering. Penyemaian ini dilaksanakan di rumah
kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,
Bogor. Tanah yang digunakan dimasukkan ke dalam bak tembok berukuran 3 m x
1 m x 2 m. Bak diisi dengan tanah sampai 2/3 dari volume seluruhnya. Tanah
dibersihkan dari semua kotoran dan rumput yang tumbuh.
Benih yang digunakan dalam penyemaian yaitu sebanyak 50 g untuk
masing-masing galur dan varietas pembanding. Tanah dalam bak dibagi menjadi
12 bagian. Benih 12 genotipe disemai ke dalam tanah dan dilakukan penyiraman
setiap hari. Benih yang sudah berumur 21 hari dipindahtanam ke sawah yang
berlokasi di University Farm, Babakan, Darmaga, Bogor. Tanah yang digunakan
terlebih dahulu diolah dan diratakan, kemudian dibagi menjadi tiga ulangan.
Setiap ulangan terdiri atas 12 satuan percobaan (genotipe).
Bibit padi ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Bibit ditanam
sedalam 5 cm sebanyak dua bibit per lubang. Pupuk yang digunakan terdiri atas
urea,

SP-36,

dan

KCl.

Pemupukan

urea

dilakukan

pada

saat

tanam, 21 hari setelah tanam (HST), dan 42 HST, masing-masing 1/3 dosis.
Pemupukan SP-36 dan KCl dilakukan seluruhnya pada saat tanam.
Pemeliharaan dilakukan dengan penyiangan, penyulaman bibit yang mati,
dan pengendalian dari organisme pengganggu tanaman. Penyiangan pertama
dilakukan pada umur 3 minggu setelah tanam (MST), sedangkan penyiangan
kedua pada umur 6 MST. Penyiangan dilakukan dengan mencabut dengan tangan,
kemudian dipendam dalam tanah. Pengendalian ini dilakukan sesuai dengan
tingkat serangan. Pengendalian hama keong dilakukan secara kimia dan kultur
teknis. Pengendalian hama belalang dan walang sangit dilakukan dengan cara
pemberian pestisida, sedangkan pengendalian burung dilakukan dengan cara
9

10
penggunaan jaring pada fase reproduktif. Panen dilakukan setelah 80% malai
telah menguning atau sekitar 26 sampai 30 hari setelah berbunga. Pemanenan
menggunakan sabit. Batang dipotong pada bagian atas, kemudian dirontokkan
dengan cara diirig.
Produksi yang dihasilkan ditaksir dengan cara menghitung gabah dari
petak bersih dan komponen hasil. Petak bersih yaitu petakan yang di dalamnya
terdapat rumpun tanaman tanpa rumpun tanaman pinggir. Komponen hasil
dihitung untuk

mengetahui

potensi hasil berdasarkan hitungan

dengan

menggunakan persamaan (Yoshida, 1981):
Hasil (ton/ha) = jumlah anakan produktif/m2 x jumlah gabah total/malai x
persentase gabah isi x bobot 1,000 butir (g) x 10-5

Pengamatan Penelitian
Pengamatan dilakukan pada rumpun lima tanaman contoh per petak
dengan komponen yang diamati meliputi:
1. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi
yang diamati pada 45 HST (vegetatif) yaitu sebelum terjadi inisiasi
primordia malai dan tinggi menjelang panen (generatif) yang diukur dari
permukaan tanah hingga ujung malai.
2. Jumlah anakan diamati pada 45 HST (vegetatif) dan jumlah anakan
produktif pada saat menjelang panen, ditentukan dengan menghitung
jumlah anakan (vegetatif) dan jumlah yang menghasilkan malai
(produktif).
3. Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai.
4. Umur berbunga, dihitung dari saat menanam benih sampai 50% malai
(bunga) dalam satu rumpun telah keluar.
5. Umur panen, dihitung dari saat menanam benih sampai 80% malai telah
menguning.
6. Bobot 1,000 butir gabah isi dengan kadar air ± 14 % (penjemuran dengan
matahari selama 4 hari), diukur dari 1,000 gabah isi.

10

11
7. Jumlah gabah total, jumlah gabah isi dan hampa per malai, dihitung dari
jumlah gabah isi atau berisi penuh dan gabah hampa (tidak berisi atau
berisi sebagian) setiap malai sampel.
8. Hasil gabah per petak bersih (gabah kering panen dan gabah kering
giling). Gabah kering panen dihitung dari bobot gabah isi dan hampa
(penjemuran dengan matahari selama 4 hari) yang berasal dari satu petak,
sedangkan gabah kering giling dihitung dari bobot gabah isi kering dengan
kadar air ± 14% (penjemuran dengan matahari selama 4 hari) yang berasal
dari satu petak bersih setelah melalui penampian terlebih dahulu.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian
Pertumbuhan awal semua genotipe yang diuji terhambat oleh hama keong.
Hama keong menyerang bibit yang sudah ditanam dari saat tanam sampai 4
minggu setelah tanam (MST). Serangan hama keong paling besar terutama
menyerang pertanaman yang berada pada ulangan satu. Hal ini disebabkan karena
ulangan satu terletak dekat dengan parit. Serangan hama keong menyebabkan
tanaman harus disulam. Kekurangan bibit untuk sulaman terjadi pada galur KP-443-1-4, KP-4-42-2-3, dan KP-3-19-1-2. Serangan hama keong ditanggulangi
secara kimia dan kultur teknis. Secara kimia hama keong dikendalikan dengan
penggunaan moluskisida, sedangkan secara kultur teknis dilakukan pengeringan
untuk beberapa minggu.
Belalang

menyerang

tanaman

pada

fase

vegetatif.

Serangan

ini

menyebabkan daun tanaman menjadi sobek pada bagian ujungnya. Serangan yang
lebih luas hama ini tidak terjadi dan masih dapat ditanggulangi dengan
penggunaan pestisida. Walang sangit (Leptocorisa oratorius) menyerang tanaman
pada saat muncul malai sampai bulir padi matang susu. Hama ini menyerang
paling besar pada galur KP-3-18-1-3. Serangan walang sangit pada galur ini
mencapai 55 %. Hal ini disebabkan karena galur KP-3-18-1-3 merupakan galur
yang berumur paling genjah, sehingga serangan walang sangit terkonsenterasi
pada galur ini. Cairan bulir padi yang dihisap walang sangit menyebabkan gabah
menjadi hampa dan berubah warna menjadi kehitaman.
Serangan burung (Ploceus sp.) terjadi pada fase generatif sampai menjelang
panen. Serangan burung paling besar menyerang pada galur KP-3-18-1-3 karena
galur ini berumur paling genjah. Selain itu, serangan burung juga terjadi pada
galur I5-10-1-1 karena galur ini memiliki postur batang paling tinggi
dibandingkan genotipe yang lainnya. Serangan burung ini dapat ditanggulangi
dengan penggunaan jaring.
Tingginya curah hujan menyebabkan adanya serangan hama beluk dan
penyakit kresek. Hama beluk disebabkan oleh Scirpophaga innotata, sedangkan
penyakit kresek disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae. Hama
12

13
beluk menyerang titik tumbuh tanaman padi yang sedang berada pada fase
booting, sehingga gabah menjadi hampa. Penyakit kresek membuat warna daun
yang kering menjadi kuning jerami sampai coklat muda dan akhirnya daun
tanaman kering.
Pertumbuhan

galur

FG1R

36-1-1

dan

KP-3-19-1-2

di

lapangan

menunjukkan penampilan yang kurang seragam. Tinggi tanaman galur FG1R 361-1 pada semua ulangan sekitar antara 87-123 cm. Selain itu, terdapat warna
gabah yang berbeda pada FG1R 36-1-1, yaitu warna kuning dengan bulu dan
warna kuning kehitaman tanpa bulu. Ketidakseragaman KP-3-19-1-2 ditunjukkan
oleh variasi dalam kematangan tanaman. Ketidakseragaman yang terjadi pada
kedua genotipe tersebut diduga diakibatkan oleh adanya campuran dari genotipe
lain. Penanggulangan campuran ini dilakukan dengan cara roguing.

Keragaan Karakter Agronomi
Keragaan Umum
Fenotipe yang muncul pada tanaman merupakan interaksi antara genotipe
dan lingkungan. Ini berarti bahwa besaran fenotipe sebagian ditentukan oleh
genotipe dan sebagian lainnya ditentukan oleh lingkungan. Masing-masing
pengaruh ini sulit diketahui secara langsung peranannya. Hasil analisis ragam
pada karakter agronomi menunjukkan bahwa genotipe

pada umumnya

berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati. Hal ini
menunjukkan adanya respon genotipe-genotipe tersebut.
Tabel 1 menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap
sembilan karakter agronomi yang diamati. Karakter agronomi tersebut yaitu tinggi
tanaman pada fase vegetatif dan reproduktif, umur berbunga, umur panen, panjang
malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, produktivitas GKG, dan
produktivitas GKP. Genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah anakan
total, jumlah anakan produktif, jumlah gabah total, dan bobot 1,000 butir.
Keragaman paling besar diantara genotipe yang diuji ditunjukkan oleh karakter
jumlah gabah hampa (20.79 %), sedangkan keragaman paling kecil ditunjukkan
oleh karakter umur berbunga (2.58 %).

14
Tabel 1. Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi galur
dihaploid hasil kultur anter
Karakter
Tinggi tanaman fase vegetatif
Jumlah anakan total
Tinggi tanaman fase generatif
Jumlah anakan produktif
Umur berbunga
Umur panen
Panjang malai
Jumlah gabah isi
Jumlah gabah hampa
Jumlah gabah total
Bobot 1,000 butir
Produktivitas GKG
Produktivitas GKP

F Hitung
5.55
2.60
12.44
2.40
11.04
14.09
6.11
3.20
4.00
2.50
2.34
7.02
3.98

Koef. Keragaman

**
*
**
*
**
**
**
**
**
*
*
**
**

4.12
14.04
3.96
12.93
2.58
2.59
2.76
10.55
20.79
9.26
7.22
12.80
17.78

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf kesalahan 5%.
** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1%.
GKG = gabah kering giling, GKP = gabah kering panen

Tinggi Tanaman
Hasil pengukuran tinggi tanaman pada fase vegetatif antara 74.4-90.7 cm.
Galur I5-10-1-1 merupakan galur dengan rata-rata tinggi tanaman paling tinggi.
Galur-galur yang diuji pada umumnya menunjukkan tinggi tanaman yang setara
dengan kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13), kecuali galur I5-10-1-1.
Galur ini setara dengan Inpari 13 tetapi berbeda nyata dengan Ciherang.
Tinggi tanaman merupakan karakter yang penting yang mempengaruhi
tingkat penerimaan petani terhadap varietas baru. Tingkat kerebahan dan efisiensi
dalam pemanenan sangat dipengaruhi oleh tinggi tanaman. Umumnya petani
kurang menyukai varietas dengan postur tinggi karena rentan rebah. Tingkat
kerebahan mempengaruhi hasil padi baik secara kuantitas maupun secara kualitas.
Tanaman yang rebah akan mengurangi hasil dan menurunkan kualitas beras yang
dihasilkan. Keragaan tinggi tanaman rata-rata dari genotipe yang diuji disajikan
dalam Tabel 2.

15
Tabel 2. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata tinggi tanaman pada fase
vegetatif dan fase generatif
Galur/ Varietas
KP-3-18-1-3
KP-3-19-1-2
KP-4-42-2-2
KP-4-42-2-3
KP-4-43-1-2
KP-4-43-1-4
KP-4-43-2-4
FG1R 36-1-1
I5-10-1-1
IW67
Ciherang
Inpari 13

Tinggi Fase Vegetatif (cm)
75.9
83.7
74.4
79.3
77.1
77.8
75.7
78.5
90.7
77.7
77.0
81.4

Tinggi Fase Generatif (cm)

b
ab
b
b
b
b
b
b
a
b
b
ab

85.2
99.0
100.3
102.0
96.5
102.8
110.7
101.9
118.5
99.2
106.3
109.8

d
bc
bc
bc
cd
bc
ab
bc
a
bc
bc
ab

Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji BNJ 5%.

Rata-rata tinggi tanaman pada fase generatif tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Hal ini disebabkan karena translokasi fotosintat lebih banyak
digunakan untuk perkembangan reproduktif (pengisian biji). Semua genotipe yang
diuji memiliki rata-rata tinggi tanaman pada fase ini antara 85.2 -118.5 cm. Tinggi
tanaman paling rendah ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan tinggi
tanaman paling tinggi ditunjukkan oleh

galur I5-10-1-1. Galur I5-10-1-1

merupakan satu-satunya galur yang mengalami rebah pada fase pematangan. Hal
ini menyebabkan produktivitas galur ini menjadi rendah. Pada umumnya galur
yang diuji memiliki tinggi generatif yang setara dengan salah satu atau kedua
pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13) kecuali galur KP-3-18-13.
Tinggi rendahnya

batang

tanaman adalah

sifat atau

ciri yang

mempengaruhi hasil varietas. Tinggi tanaman padi yang memberikan hasil tinggi
yaitu kurang dari 125 cm (Siregar, 1981). Sepuluh galur yang diuji pada penelitian
ini memiliki tinggi tanaman rata-rata kurang dari 125 cm, sehingga memenuhi
sebagai ideotipe varietas yang berdaya hasil tinggi.

16
Jumlah Anakan Total dan Jumlah Anakan Produktif
Jumlah anakan total per rumpun varietas padi dapat dikelompokkan
menjadi 4 kelompok (Las et al., 2004) yaitu jumlah anakan sedikit (20). Berdasarkan pengelompokan
tersebut, pada umumnya genotipe yang diuji termasuk genotipe dengan jumlah
anakan sangat banyak. Kemampuan membentuk anakan yang banyak pada
genotipe yang diuji dapat berpengaruh terhadap hasil. Jika ada kerusakan pada
anakan akibat serangan hama tidak akan terlalu berpengaruh terhadap hasil.
Tabel 3 menyajikan rata-rata jumlah anakan total dan anakan produktif per
rumpun tiap genotipe yang diuji. Rata-rata jumlah anakan total dan anakan
produktif yang dihasilkan tidak berbeda nyata untuk semua genotipe yang diuji.
Jumlah anakan akan menjadi faktor utama dalam meningkatkan total luas daun
dengan demikian juga akan meningkatkan indeks luas daun (Sheehy, 2000).
Pertambahan jumlah total luas daun merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan produksi padi karena total luas daun pada saat pembungaan berpengaruh
sangat besar pada jumlah fotosintat yang tersedia untuk malai (De Datta, 1981).
Tabel 3. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah anakan total dan
anakan produktif
Galur/
Jumlah Anakan Total
Varietas
KP-3-18-1-3
18.7
KP-3-19-1-2
17.6
KP-4-42-2-2
20.2
KP-4-42-2-3
19.5
KP-4-43-1-2
18.9
KP-4-43-1-4
24.9
KP-4-43-2-4
24.7
FG1R 36-1-1
21.6
I5-10-1-1
21.2
IW67
25.2
Ciherang
24.5
Inpari 13
23.1

Jumlah Anakan
Produktif
11.3
11.4
15.3
13.3
14.3
14.7
15.7
15.1
16.1
15.7
15.9
15.1

Jumlah Anakan
Produktif / m2
181.3
182.4
244.3
212.3
228.3
235.7
251.7
241.1
258.1
251.7
254.9
242.1

Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji BNJ 5%.

Abdullah et al. (2008) meyatakan bahwa jumlah anakan per rumpun yang
terlalu banyak akan mengakibatkan masa masak malai tidak serempak, sehingga

17
menurunkan produktivitas dan mutu beras. Jumlah anakan sedikit diharapkan
malai masak serempak. Jumlah gabah per malai yang banyak menyebabkan malai
masak dalam waktu yang lebih lama, sehingga mutu beras menurun atau tingkat
kehampaan tinggi.
Rata-rata persentase jumlah anakan produktif genotipe yang diuji antara
59.2 %-76.1 %. Menurut IRRI persentase anakan yang produktif padi jenis lokal
sekitar 50 %, sedangkan untuk varietas unggul sekitar 75 %. Galur KP-4-42-2-2,
KP-4-43-1-2, dan galur I5-10-1-1 memiliki persentase jumlah anakan produktif di
atas 75 %. sehingga memenuhi sebagai ideotipe varietas unggul. Persentase
jumlah anakan produktif dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Persentase jumlah anakan produktif per rumpun beberapa genotipe
Jumlah anakan produktif/m2 genotipe yang diuji berkisar antara 181.3258.1. Jumlah anakan produktif/m2 paling sedikit ditunjukkan oleh galur KP-3-181-3, sedangkan jumlah anakan produktif/m2 paling banyak ditunjukkan oleh galur
I5-10-1-1 (Tabel 3). Peningkatan jumlah anakan produktif/m2 meningkat dengan
meningkatnya kerapatan tanaman. Menurut Yoshida (1981), meningkatnya jumlah
anakan produktif/m2 menyebabkan penurunan terhadap jumlah gabah total per
malai.

18
Umur Berbunga dan Umur Panen
Rata-rata umur berbunga dan umur panen genotipe yang diuji disajikan
dalam Tabel 4.

Kisaran rata-rata umur berbunga yaitu antara 79.3-94.7 hari

setelah semai dan umur panen antara 105.0-124.0 hari. Galur KP-3-18-1-3
memiliki umur berbunga paling cepat dan umur panen yang paling genjah. Galurgalur yang diuji pada umumnya berbunga lebih cepat atau sama dibandingkan
dengan varietas Inpari 13 kecuali KP-4-43-1-4.
Tabel 4. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata umur berbunga dan umur
panen
Galur/ Varietas
KP-3-18-1-3
KP-3-19-1-2
KP-4-42-2-2
KP-4-42-2-3
KP-4-43-1-2
KP-4-43-1-4
KP-4-43-2-4
FG1R 36-1-1
I5-10-1-1
IW67
Ciherang
Inpari 13

Umur Berbunga (Hari)
79.3
84.7
93.3
90.7
91.0
94.7
89.3
90.0
83.7
89.0
92.3
87.7

e
cde
ab
abc
abc
a
abcd
abcd
de
abcd
ab
bcd

Umur Panen (Hari)
105.0
106.3
121.7
119.3
120.3
124.0
117.0
111.7
109.0
117.0
123.0
113.7

e
e
ab
abc
abc
a
abcd
cde
de
abcd
a
bcde

Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji BNJ 5%.

Umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi di daerah
tropis adalah 120 hari. Umur yang lebih pendek pada umumnya memiliki potensi
hasil yang rendah. Hal ini disebabkan karena tanaman tidak mempunyai cukup
waktu untuk menggunakan sinar matahari dan hara di dalam tanah, sehingga tidak
cukup waktu pertumbuhan vegetatifnya untuk mendukung hasil yang maksimum
(Yoshida, 1981). Galur yang memiliki umur panen 120 hari pada penelitian ini
yaitu galur KP-4-43-1-2.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2010) mengelompokkan umur panen
varietas padi menjadi enam kelompok, yaitu ultra genjah (165 hari). Berdasarkan pengelompokan tersebut

19
semua genotipe termasuk ke dalam tanaman dengan umur genjah. Galur-galur
yang diuji memiliki umur panen yang setara dengan Inpari 13 kecuali galur KP-443-1-4. Galur ini memiliki umur panen yang lebih lama dibandingkan dengan
Inpari 13. Galur KP-3-18-1-3, KP-3-19-1-2, FG1R 36-1-1, dan I5-10-1-1 dapat
lebih cepat dipanen dibandingkan dengan varietas Ciherang.
Umur tanaman dapat menunjukkan tingkat efisiensi pembentukan hasil.
Varietas atau galur yang memiliki potensi hasil rendah dan berumur sangat
genjah, akan memiliki tingkat efisiensi laju pembentukan hasil yang rendah.
Sebaliknya, varietas atau galur yang memiliki potensi hasil yang tinggi dan
berumur dalam tingkat efisiensi pembentukan hasilnya belum tentu optimal
(Sulaeman, 2012).
Translokasi karbohidrat dan protein dari daun dan batang ke malai dimulai
dari 2 minggu sebelum berbunga sampai gabah menjadi masak. Translokasi ini
menyebabkan tanaman mengalami senesens (Matsuo et al., 1995). Semakin cepat
translokasi karbohidrat dan protein terhenti maka semakin cepat senesens yang
terjadi (Yoshida, 1981). Oleh karena itu, pemanenan genotipe yang diuji
dilakukan pada saat daun sudah menguning dan sudah mengalami senesens agar
karbohidrat dan protein ditranslokasikan ke dalam gabah secara optimum.
Panjang Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Jumlah
Gabah Total
Panjang

malai

merupakan karakter

yang

dapat

digunakan

untuk

memperkirakan jumlah biji per malai. Semakin panjang malai diharapkan dapat
meningkatkan jumlah biji per malai. Rata-rata panjang malai genotipe yang diuji
disajikan dalam Tabel 5. Kisaran rata-rata panjang malai yaitu 21.4-25.5 cm.
Malai terpendek ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan malai terpanjang
ditunjukkan oleh galur IW67.
Rusdiansyah dalam Sulaeman (2012) mengelompokkan panjang malai
dalam tiga kelompok, yaitu pendek (≤ 20 cm), sedang (20 – 30 cm), panjang (> 30
cm). Berdasarkan kriteria tersebut, semua genotipe yang diuji termasuk ke dalam
tanaman dengan malai sedang. Galur-galur yang diuji pada umumnya memiliki
panjang malai yang lebih panjang dibandingkan dengan varietas Inpari 13 kecuali
galur KP3-18-1-3 dan KP4-42-2-2. Galur-galur yang diuji memiliki panjang malai

20
yang tidak berbeda dengan Ciherang kecuali galur KP3-18-1-3. Galur ini memiliki
panjang malai yang lebih pendek dibandingkan dengan Ciherang.
Rata-rata kerapatan malai galur yang diuji disajikan dalam Tabel 5.
Kerapatan malai berkisar antara 4.7-7.3 butir gabah/cm. Kerapatan malai paling
tinggi ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan kerapatan malai paling
rendah ditunjukkan oleh galur IW67. Kerapatan malai galur-galur yang diuji pada
umumnya setara dengan Ciherang kecuali galur KP-3-18-1-3 dan setara dengan
Inpari 13 kecuali galur IW67.
Tabel 5. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata panjang malai dan
kerapatan malai
Galur/ Varietas
KP-3-18-1-3
KP-3-19-1-2
KP-4-42-2-2
KP-4-42-2-3
KP-4-43-1-2
KP-4-43-1-4
KP-4-43-2-4
FG1R 36-1-1
1 5-10-1-1
IW67
Ciherang
Inpari 13

Panjang Malai (cm)
21.4
24.2
23.3
23.5
23.4
23.8
23.7
23.6
24.4
25.5
23.7
21.4

c
ab
bc
b
b
ab
ab
b
ab
a
ab
c

Kerapatan Malai (butir
Gabah/cm)
7.3 a
6.1 ab
6.7 ab
6.5 ab
6.2 ab
5.9 bc
6.0 b
6.4 ab
6.0 b
4.7 c
5.7 bc
6.5 ab

Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji BNJ 5%.

Kerapatan malai juga dapat digunakan sebagai kriteria visual untuk
menentukan tingkat produksi. Kerapatan malai dipengaruhi oleh bentuk dan
ukuran gabah. Galur-galur dengan ukuran gabah yang besar mem