Pengaruh Partisipasi Stakeholder Program Desa Binaan Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat
i
PENGARUH PARTISIPASI STAKEHOLDER PROGRAM
DESA BINAAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
PENINGKATAN TARAF HIDUP MASYARAKAT
HERMIN RAHAYU PERTIWI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Partisipasi
Stakeholder Program Desa Binaan Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan
Taraf Hidup Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Insititut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Hermin Rahayu Pertiwi
NIM I34100040
iv
ABSTRAK
HERMIN RAHAYU PERTIWI. Pengaruh Partisipasi Stakeholder Program Desa
Binaan Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan Taraf hidup Masyarakat. Dibimbing
oleh FREDIAN TONNY NASDIAN
Tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia merupakan permasalahan yang
harus diselesaikan bersama oleh seluruh pihak, salah satunya perusahaan. CSR
menjadi tonggak utama yang diharapkan mampu memberikan kontribusi positif
terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat. Aspek partisipasi yang merupakan
bagian dari pemberdayaan termasuk dalam ruang lingkup kekuasaan untuk
mewujudkan kemandirian. Salah satu perwujudan tercapainya kemandirian adalah
peningkatan tarag hidup masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah
kuantitatif dengan 45 responden dan wawancara mendalam. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat keberdayaan dan tingkat
partisipasi sesuai teori kekuasaan, selain itu tingkat partisipasi memiliki hubungan
dengan tingkat taraf hidup masyarakat. Sehingga pada program Desa Binaan
Perikanan Tangkap yang merupakan program pemberdayaan ekonomi lokal yang
memiliki dampak terhadap tingkat taraf hidup masyarakat Desa Majakerta.
Kata Kunci : Partisipasi, Stakeholder, Pemberdayaan, Taraf Hidup
HERMIN RAHAYU PERTIWI. The Effect of Stakeholder’s Participation of
Fishing Village Program Patronage to improving standards of living. Supervised
by FREDIAN TONNY NASDIAN
The extreme poverty in Indonesia is a problem that must be solved by all
stakeholders, one of them is the company. CSR is becoming a major milestone
that is expected to contribute positively to improving standards of living. Aspects
of participation which is part of empowerment within the scope of power to
achieve independence. One indicator of the achievement of independence is
improving standards of living. The method used is quantitative with 45
respondents and in-depth interviews. The results showed an association between
the level of empowerment and participation rates according to the theory of
power, than the level of participation has a relationship with the level of people's
lives. So the program Patronage of Fishing Village which is a local economic
development program that has an impact on the level of living standard of the
village Majakerta.
Keywords : Participation , Stakeholder, Empowerment, Standard of Living
v
PENGARUH PARTISIPASI STAKEHOLDER PROGRAM
DESA BINAAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
PENINGKATAN TARAF HIDUP MASYARAKAT
HERMIN RAHAYU PERTIWI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
vi
vii
Judul Skripsi : Pengaruh Partisipasi Stakeholder Program Desa Binaan
Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan Taraf Hidup
Masyarakat
Nama
: Hermin Rahayu Pertiwi
NIM
: I34100040
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan : -----------------------
viii
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT rahmat dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Partisipasi Stakeholder Program Desa Binaan Perikanan Tangkap
terhadap
Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat” dengan baik. Penulisan skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan moral dan material dari berbagai pihak yang mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. selaku dosen pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, saran
serta kritik yang membangun hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
2. Keluarga tersayang, Bapak dan Mama (Bapak Heriyanto dan Ibu
Sarmini), adek Hersa, Ibu Emi, Om Rudi, Om Jamin, Tante Senil, Tante
Dwi, Tante Nina, Om Herman yang telah memberikan dukungan moril
maupun materiil, doa, kasih sayang, dan kesabaran
3. Keluarga IKAMUSI IPB tercinta yang selalu memberikan semangat,
bantuan, kebahagiaan dan arti sahabat, saudara dan keluarga bagi penulis
4. Keluarga DPM TPB 47 IPB dan DPM FEMA Revitekologi dan Kaizen
yang telah
mengajarkan arti persahabatan, persaudaraan, dan
profesionalitas bagi penulis
5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Meziriati Hendri, Widhoratna Jiwa Adlia,
Muhammad Iqbal Maulana, Susi Hasrat Alfisyah, Yuli Siti Fatma, Annisa
Maghfirah, Elva Lestari, Mutmainna, Dinasti, Ria Septy, Arum, Adit,
Deslaknyo, Taufiq, irwan, Afif Jauhari, Dedek Haryanto dan Saefihim
yang senantiasa mendukung dalam proses pembelajaran, memberi
semangat dan motivasi bagi penulis.
6. Tim CSR PT Pertamina, Mas Rois, Kak Wulan, Mas Aris, Kak Hasri,
Bang Hamdi, Kak Irma yang telah membantu dalam proses penelitian di
Desa Majakerta
7. Teman-teman SKPM angkatan 47 yang telah bersama-sama berproses
dalam
belajar pengembangan masyarakat dan komunikasi.
8. Bapak dan Ibu Satim yang telah memberi kehangatan seperti keluarga
sendiri
9. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan motivasi, terima kasih
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
X
XI
XII
1
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
3
5
5
PENDEKATAN TEORITIS
7
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANG
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Penentuan Informan dan Responden
Teknik Analisis Data
Teknik Pengumpulan Data
PROFIL DESA
Kondisi Geografis
Kondisi Ekonomi
Kondisi Pendidikan
Karakteristik Penduduk
Struktur Sosial Masyarakat
Pola Kebudayaan Masyarakat
Pola Adaptasi Ekologi
PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina
Program Peningkatan Infrastruktur dan Pemberdayaan Masyarakat
Program Desa Binaan Perikanan Tangkap di Desa Majakerta
Ikhtisar
7
17
19
19
23
23
24
24
24
27
27
28
28
29
30
31
32
33
33
34
34
39
HUBUNGAN TINGKAT KEBERDAYAAN DAN TINGKAT PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PROGRAM CSR PT PERTAMINA DESA BINAAN
PERIKANAN TANGKAP
41
Tingkat Keberdayaan
Ikhtisar
TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER
Hubungan Tingkat Keberdayaan dan Tingkat Partisipasi
Ikhtisar
41
46
49
57
57
ix
HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP TARAF
HIDUP MASYARAKAT
59
SIMPULAN DAN SARAN
65
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN
69
RIWAYAT HIDUP
85
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi
Arnstein
Pelaksanaan Penelitian Tahun 2013
Luas wilayah menurut penggunaan
Tingkat Pendidikan dan Jumlah Penduduk Majakerta
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Kepala Rumahtangga Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah dan persentase peserta program berdasarkan tingkat
keberdayaan di Desa Majakerta, Kabupaten Indramayu Tahun
2013
Keterlibatan Stakeholder dalam Tahapan Penyelenggaraan CSR
Desa Binaan Perikanan Tangkap Desa Majakerta Tahun 2013
Kategori Keterlibatan Stakeholder Pada Setiap Tahapan
Partisipasi Penyelenggaraan CSR Desa Binaan Perikanan
Tangkap di Desa Majakerta Tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat
PT Pertamina RU IV Tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat keberdayaan masyarakat
kemitraan dan tingkat partisipasi masyarakat PT Pertamina RU
IV tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat taraf hidup masyarakat
PT Pertamina RU IV Tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat
dan tingkat taraf hidup masyarakat PT Pertamina RU IV tahun
2013
15
23
27
29
29
30
45
54
55
56
57
61
62
Perbandingan Taraf Hidup Masyarakat dengan Program CSR dan
tanpa Program CSR
63
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Kerangka Pemikiran
Pertemuan Rutin Nelayan
Hasil Tangkapan Ikan Nelayan
Presentase peserta program berdasarkan tingkat keberdayaan di
Desa Majakerta, Kabupaten Indramayu Tahun 2013
Pelatihan Perbaikan Mesin Alat Tangkap Ikan
Sosialisasi Alat Tangkap Ikan
Presentase responden berdasarkan tingkat partisipasi di Desa
Majakerta Kabupaten Indramayu Tahun 2013
Buku Tabungan Nelayan
Persentase responden berdasarkan tingkat taraf hidup di Desa
Majakerta Kabupaten Indramayu Tahun 2013
18
35
37
46
51
51
56
60
62
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Peta Lokasi
Daftar Peserta Program CSR
Kuesioner
Pedoman Wawancara Mendalam
69
70
74
82
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kian melamban sesuai
dengan data yang diperoleh dari website resmi World Bank (2013) yang
menyatakan bahwa laju ekonomi Indonesia sedang melambat dibebani oleh
dampak kumulatif dari perlemahan harga-harga komoditas utama yang telah
berlangsung sejak tahun 2011 oleh pengetatan kondisi keuangan dalam dan luar
negeri, dan oleh tantangan kebijakan1. Kemudian menurut World Bank (2010)
dalam Gunawan (2012) walaupun pemulihan ekonomi bisa dipercepat, sebanyak
71 juta orang akan tetap hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem pada 2020.
Beberapa program pembangunan yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan
dan menghapuskan pengangguran seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE),
Program Kompensasi Pengurangan Subsisdi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM),
Program Penanggulangan Kemiskinan yang Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan (PNPM) Raskin, Askeskin, BOS, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
belum berhasil dalam mengentaskan kemiskinan.
Su’adah (2010) mengatakan bahwa program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia lebih dapat dinikmati oleh masyarakat
miskin perkotaan yang terkonsenterasi dibandingkan masyarakat miskin pedesaan
yang tersebar. Hal ini terbukti dengan adanya data dari BPS (2010) dalam
Su’adah (2010) Pada Maret 2009 sekitar 63,38 penduduk miskin terdapat di
pedesaan. Lalu, pada Maret 2010, jumlah penduduk miskin di pedesaan naik tipis
ke angka 64,23 persen. Masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan
masyarakat pertanian, oleh sebab itu perlu ditelaah lebih lanjut mengenai
kebijakan di sektor pertanian. Kebijakan pada sektor pertanian yang
mengharapkan peningkatan kualitas hidup masyarakat pedesaan, yang termasuk
didalamnya adalah masyarakat nelayan terus mengalami penurunan dari perolehan
ikan yang dapat ditangkap di laut. Berdasarkan data yang diperoleh dari SIDATIK
(2013) bahwa terjadi penurunan volume produksi perikanan tangkap di laut pada
time series 2010-2012.2
Kemiskinan di Indonesia khususnya pada wilayah pedesaan disebabkan oleh
berbagai macam faktor, salah satunya adalah belum terwujudnya pemberdayaan
masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat lokal adalah salah satu acuan untuk
membantu masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan sosial. Masyarakat
Indonesia begitu rentan, lemah, sangat tergantung dan tidak memiliki daya tahan
yang cukup kuat menghadapi goncangan krisis itu sehingga begitu krisis global
dan regional menghantam masyarakat maka masyarakat Indonesia langsung jatuh
terpuruk menjadi korban krisis Triyono (2010) dalam Su’adah (2010).
1
Diakses dari :http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/IEQOct2013-BHS.pdf
2
Diakses dari : http://statistik.kkp.go.id/index.php/statistik/c/5/1/0/0/Statistik-Perikanan-TangkapPerairanLaut/?perairan_id=5&provinsi_id=12&subentitas_id=20~1&view_data=1&tahun_start=2010&tah
un_to=2013&tahun=2013&filter=Lihat+Data+%C2%BB
2
Berdasarkan pernyataan ini diperlukan partisipasi dari seluruh stakeholders untuk
mengupayakan penyelesaian terhadap masalah ini, dengan melepaskan diri dari
ketergantungan dan menciptakan kemandirian dalam perencanaan jangka panjang.
CSR diklasifikasikan kedalam tiga aspek yaitu, keterlibatan dalam komunitas,
pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan employee
relations Wibisono (2007). Wibisono (2007) mengatakan yang termasuk dalam
keterlibatan komunitas itu diantaranya pengembangan masyarakat (Community
Development). Dalam hal ini, salah satu prinsip Community Development adalah
partisipasi. Partisipasi stakeholders memberikan penjelasan mengenai beberapa
aktor yang berpengaruh terhadap proses pemberdayaan, pihak tersebut antara lain
pemerintah, masyarakat atau komunitas dan swasta (perusahaan). Nasdian (2006)
mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga
komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat
menegaskan kontrol secara efektif. Hasil penelitian yang diperoleh dalam
menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program
dibuat berdasarkan tahapan partisipasi menurut Uphoff (1979) yaitu tahapan
pengambilan keputusan, tahapan pelaksanaan, tahapan evaluasi, dan tahapan
menikmati hasil. sebagai pembanding dilakukan pula penelitian terhadap tingkat
partisipasi berdasarkan pada konsep partisipasi Arnstein (1969) yang digolongkan
dalam tiga tingkatan hubungan kekuasaan tokenism, yaitu tipe pemberitahuan,
tipe konsultasi, dan tipe penentraman.
Wilayah pertambangan yang dikhususkan pada wilayah yang terkonsenterasi
dengan industri pertambangan memiliki dua tuntutan kebutuhan yang tak dapat
dihindari yaitu membutuhkan ketersediaan lahan, kualitas sumber daya manusia
dan masyarakat membutuhkan lapangan pekerjaan karena lahan mereka semakin
tergusur. Peraturan yang akan menjadi landasan dalam proses pemberdayaan
masyarakat sekitar industri pertambangan yaitu Klausul dalam pasal pasal 108
ayat (1)Undang-Undang No 4 tahun 2009 dan pasal 106 ayat (1) Peraturan
Pemerintah nomor 23 tahun 2010 menyatakan Pemegang Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan UU
tentang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 yang mengharuskan menyusun
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di wilayah tersebut. Hal
ini ditujukan untuk peningkatan taraf hidup bagi penduduk miskin.
Partisipasi komunitas menjadi hal yang amat penting bagi keberhasilan
program yang dilaksanakan oleh CSR sebagai salah satu wujud implementasi
peraturan. Definisi CSR menurut ISO 26000 dalam Sepriani (2011), CSR adalah
tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan taraf hidup masyarakat, mempertimbangkan
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan
norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh. Saat ini tujuan keberadaan bisnis adalah tidak hanya mencari
keuntungan, tetapi melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tujuan tidak hanya
memaksimalkan nilai pemegang saham, akan tetapi juga memaksimalkan nilai
bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Oleh sebab itu, selain partisipasi
yang dilakukan oleh masyarakat dan stakeholders lainnya perlu untuk dianalisis
3
penyelenggaran program CSR dan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
operasi perusahaan.
Sebagai contoh PT Pertamina khususnya RU VI Balongan adalah salah satu
perusahaan pengolahan minyak dan gas bumi negara di Indonesia dan Pertamina
termasuk dalam perusahaan BUMN. Berdasarkan master plan BUMN 2010-2014,
sumbangan program kemitraan paling besar diterima oleh Provinsi Jawa Barat
(13,5 %) 3. Program kemitraan ini menjadi salah satu program yang terdapat
dalam CSR Pertamina RU VI Balongan, yaitu pemberdayaan ekonomi lokal
melalui pemberian bantuan permodalan dan berbagai pelatihan manajemen dan
pemasaran bagi pengusaha kecil dan menengah demi meningkatkan kemampuan
usaha kecil agar lebih tangguh dan mandiri. Pada tahun 2012, dana yang
dikucurkan oleh Pertamina RU VI lebih dari Rp1,6 miliar, RU VI Balongan
berkontribusi dalam berbagai bidang sebagai implementasi program CSR dan
ditambah dana bantuan yang diberikan untuk kredit modal kerja pada mitra usaha
binaan, nilainya lebih dari Rp 11 miliar. 4
Pemberian dana ini diharapkan dapat memenuhi tujuan dari perusahaan agar
dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ternyata bertolak
belakang dengan data yang diperoleh dari BPS untuk melihat kondisi taraf hidup
masyarakat. Kabupaten Indramayu memiliki jumlah penduduk pada tahun 2011
sebanyak 1.675.790 dan jumlah penduduk miskin tahun 2011 sebanyak 272.140,
berdasarkan data ini diperoleh presentase penduduk miskin tahun 2011 sebesar
16,01 %. Data mengenai jumlah penduduk miskin kemudian memberikan
gambaran mengenai kemiskinan yang ada di Kabupaten Indramayu, berdasarkan
data secara keseluruhan Kabupaten Indramayu menempati posisi ke-2 jumlah
penduduk miskin terbanyak, kemudian menjadi hal yang tidak sesuai dengan hasil
yang diharapkan dengan adanya kucuran dana dalam jumlah yang cukup besar
untuk peningkatan taraf hidup masyarakat, sedangkan berdasarkan Annual Report
Pertamina 2009, 2010, dan 2011 bahwa jumlah peserta yang mendapatkan
bantuan program CSR semakin banyak. Oleh karena itu, penting untuk
dianalisis pengaruh partisipasi stakeholders Program Desa Binaan Perikanan
Tangkap terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat dalam konteks
pemberdayaan ekonomi lokal
Rumusan Masalah
Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan Corporate
Social Responsibility adalah bentuk kepedulian perusahaan yang sering disalah
artikan oleh perusahaan, merujuk pada tiga prinsip dasar Triple Bottom Line yang
diperkenalkan oleh Elkington (1994) memuat tiga hal yaitu profit, people, dan
planet. Keuntungan dari segi perekonomian yang didapatkan perusahaan juga
harus memberikan dampak positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat
sekitar wilayah operasi (profit), tentunya dampak positif tersebut dirasakan oleh
keseluruhan stakeholder (people). Apabila hubungan ekonomi dan sosial telah
3
Diakses dari http://www.scribd.com/doc/51202514/Masterplan-BUMN-20102014
4
Diakses dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=83139
4
menunjukkan hasil positif maka akan berkorelasi pula pada lingkungan sebagai
bentuk pembangunan berkelanjutan (planet). Stakeholders, yang jamak
diterjemahkan dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau
aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi
dan atau dipengaruhi oleh perusahaan (Saidi 2004 dalam Su’adah 2010 ).
Pada proses implementasi peran stakeholders sangat penting dalam mencapai
keberhasilan suatu program. Sesuai dengan UU tentang Perseroan Terbatas No. 40
tahun 2007, PT Pertamina memiliki kewajiban untuk menjalankan proses
tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari annual
report Pertamina secara berturut-turut dari tahun 2009, 2010, dan 2011. Masingmasing dana yang dikeluarkan oleh CSR paling besar dikeluarkan pada sektor
pertanian dan provinsi yang menerima dana paling besar adalah Jawa Barat.
Kebijakan pada sektor perikanan yang mengharapkan peningkatan kualitas hidup
masyarakat nelayan sampai saat ini belum terwujud, terbukti bahwa UMK
Kabupaten Indaramayu sebesar Rp 1.125.000 sedangkan berdasarkan data yang
diperoleh dari potensi Desa Majakerta upah nelayan perbulan rata-rata hanya
sebesar Rp. 750.000,00. Pendapatan yang berada jauh dibawah UMK, melihat
kondisi nyata bahwa tidak selalu sama pendapatan yang mereka dapatkan
bergantung pada hasil tangkapan mereka di laut.
Pada konsep selanjutnya adalah community development yang menjadi induk
untit PKBL dan CSR dalam menjalankan prosesnya merupakan suatu
kesalahpahaman yang muncul dalam perusahaan, karena Community
Development hanyalah bagian kecil dari CSR (Prastowo 2011). Lalu bagaimana
pengaruh dari program kemitraan sebagai proses community development, di
sektor pertanian terhadap pemberdayaan masyarakat petani yang masih jauh dari
kata kesejahteraaan. Berdasarkan Annual report Pertamina tahun 2010 dan 2011,
jumlah penerima bantuan kemitraan sektor pertanian Pertamina kian bertambah,
tetapi tingkat taraf hidup masyarakat masih berada pada tingkat yang sangat
minim. Program Desa Binaan yang terdiri dari beberapa bidang memberikan data
bahwa jumlah peserta atau masyarakat paling banyak mengikuti program binaan
nelayan tangkap dengan jumlah peserta sebanyak 86 orang. Secara garis besar,
pertanyaan yang akan dikaji lebih lanjut adalah Oleh karena itu perlu untuk
dianalisis bagaimana pengaruh tingkat keberdayaan masyarakat terhadap
tingkat partisipasi stakeholders dalam program Desa Binaan Perikanan
Tangkap?
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (2012) pada Maret 2010, jumlah
penduduk miskin di pedesaan naik tipis ke angka 64,23 persen. Hal ini
menunjukkan angka kemiskinan yang tinggi pada komunitas pedesaan, sementara
begitu banyak program yang telah dijalankan untuk mengentaskan kemiskinan
baik yang dilakukan pemerintah ataupun perusahaan (swasta). Salah satu pihak
yang telibat dalam pemberdayaan adalah petani, sedangkan dalam berita yang
diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume produksi tangkapan
ikan terus menurun hingga tahun 2012, hasil pendapatan dari tangkapan ikan juga
menjadi salah satu indikator dalam melihat tingkat taraf hidup petani. Salah satu
tujuan dari program CSR adalah mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang
akan berimplikasi pada dampak-dampak positif yang diharapkan, Program CSR
berupa bantuan dana UMKM diharapkan dapat merealisasikan pemberdayaan
5
pada masyarakat sekitar perusahaan dengan implikasi peningkatan taraf hidup
sehingga penting untuk dianalisis bagaimana pengaruh tingkat partisipasi
stakeholders terhadap tingkat taraf hidup masyarakat?
Tujuan Penelitian
Tujuan Penulisan Penelitian secara umum adalah untuk menganalisis
“Pengaruh Partisipasi Stakeholders Program Desa Binaan Perikanan Tangkap
terhadap Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat dalam Konteks Pemberdayaan
Ekonomi Lokal” dan secara khusus bertujuan untuk:
1. Menganalisis hubungan tingkat keberdayaan masyarakat dalam
penyelenggaraan CSR PT Pertamina terhadap tingkat partisipasi
stakeholders
2. Menganalisis hubungan tingkat partisipasi stakeholders terhadap
peningkatan taraf hidup masyarakat
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan masalah CSR, khususnya kepada:
1. Masyarakat, dapat memperoleh pengetahuan serta gambaran mengenai
partisipasi dalam program CSR dalam upaya peningkatan taraf hidup
berdasarkan ekonomi lokal.
2. Pemerintah, diharapkan dapat menentukan arah kebijakan dan pertauran
mengenai CSR yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
3. Perusahaan, diharapkan memberikan masukan sebagai data untuk landasan
pembuatan program selanjutnya, program yang lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
6
7
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Corporate Social Responsibility
Perkembangan CSR sebenarnya sudah mulai terlihat sejak masa penjajahan
dan politik etis penjajah belanda sebagai bentuk balas budi bagi Indonesia yang
telah mereka jajah cukup lama, hanya saja politik etis terdahulu hanya menyoroti
ketiga aspek berupa pendidikan, saluran irigasi, dan migrasi. Pembahasan CSR
untuk zaman ini bukanlah suatu hal yang asing kembali melihat dari asal-mula
konsep CSR. Berbagai jenis peraturan yang kemudian mengemas pemahaman
mengenai CSR itu sendiri, salah satunya seperti ISO 26000 sebuah panduan CSR
secara internasional. Dalam ISO 26000 tersebut ditegaskan bahwasanya bentuk
CSR dijalankan secara etik yang bersesuaian dengan konsep pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu gagasan untuk
membuat kehidupan manusia terus berlanjut dan tidak serakah (Prastowo 2011).
Lebih rinci lagi dijelaskan dalam ISO 26000 yaitu:
“...Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and
activities on society and the environment, through transparent and ethical
behaviourthat contributes to sustainable development, health and the
welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in
compliance with applicable law and consistent with international norms of
behaviour; and is integrated throughout the organizationand practiced in its
relationships... ” (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility)
Dalam definisi tersebut kita dapat menarik beberapa perhatian yang diberikan
untuk memahami CSR, bahwa CSR merupakan bentuk tanggung jawab dari
sebuah organisasi untuk menangani dampak dari aktivitas perusahaan terutama
dalam masyarakat dan lingkungan. Apabila CSR ini dilakukan dengan adanya
keterbukaan dan perilaku etis akan sangat memungkinkan bahwa CSR
memberikan kontribusi dalam pembangunan yang berkelanjutan, indikator antara
lain seperti kesehatan dan keamanan bagi masyarakat, memperhatikan peran dan
partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, dan hal paling penting bahwa
CSR merupakan suatu tanggung jawab yang melembaga dan telah terinternalisasi
dalam perusahaan tersebut.
Tidak hanya ISO 26000 yang memberikan definisi tentang CSR, Adapun
Sepriani (2011) menjelaskan CSR adalah mekanisme alamiah sebuah perusahaan
untuk ‘membersihkan’ keuntungan-keuntungan besar yang diperoleh.
Sebagaimana diketahui, cara-cara perusahaan untuk memperoleh keuntungan
kadang-kadang merugikan orang lain, baik itu yang tidak disengaja apalagi yang
disengaja. Lingkungan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan, masyarakat
kecil yang hilang kesempatannya dalam memperoleh rezeki akibat aktivitas
perusahaan, Semestinya perusahaan sudah mempunyai kesadaran sosial atas
dampak yang ditimbulkannya. Dari definisi CSR dianggap sebagai sesuatu yang
8
hanya akan dilakukan apabila perusahaan merugikan masyarakat dan pemberian
bantuan masih bersifat charity. Pada hakekatnya CSR bukanlah suatu kegiatan
yang hanya berkapasitas sebagai pemberian biasa (charity).
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)
merupakan suatu pendekatan perubahan atau pengembangan masyarakat
khususnya peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan oleh suatu
perusahaan sebagai bagian dari tanggungjawab sosialnya. Pendekatan ini
bertujuan agar masyarakat turut terlibat atau menjadi bagian dari perusahaan
tersebut dan menikmati manfaat dari keberadaan perusahaan di suatu wilayah
tertentu. Pendekatan pengembangan masyarakat tersebut mengacu pada konsep
Community Development yang kaitannya dapat dilihat dari perspektif ”economic”,
”social justice” maupun perspektif ”ecological”, sebagai konsep yang dikenalkan
oleh European Union dimana perusahaan memadukan aspek sosial dan
lingkungan dalam kegiatan bisnisnya serta dalam interaksinya dengan pemangku
kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela Suharto (2005) dalam
Gunawan (2012).
Beranjak dari definisi CSR kemudian konsep tanggung jawab mulai menuju
pada implementasi yang sebenarnya, beberapa diantaranya adalah mengaitkan
beberapa aspek penting dalam kehidupan, diantaranya ekonomi, sosial, dan
ekologi. Keterkaitan antara ketiga komponen ini merupakan sebuah integrasi
sempurna dalam pelaksanaan CSR. Perspektif ekonomi memandang bahwa
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tidak semata-mata hasil dari
perusahaan saja, lebih dari itu masayarakat juga mengambil peranan yang sangat
signifikan dalam perolehan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan.
Perekonomian merupakan unsur utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu
oleh perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, apabila keuangan
dan perekonomian perusahaan sudah cukup mapan maka CSR bukanlah hanya
sebagai suatu kewajiban terlebih kontibusi dari stakeholders terkait, sifatnya pun
tidak melulu bersifat charity namun lebih menekankan pada pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat. Korelasi antara ekonomi dan sosial terlihat jelas
dalam melihat detail hubungannya, apabila masyarakat sekita perusahaan sudah
sejahtera terutama dalam hal perekonomian maka bukanlah hal yang mustahil
bahwa taraf hidup sosial juga akan terwujud, dengan beberapa indikator yag akan
dijelaskan kemudian hubungan antar stakeholders dan shareholders akan terhindar
dari konflik yang kerap kali terjadi di beberapa kasus implementasi CSR, hal ini
dibuktikan dengan adanya variasi definisi lain seperti Kalangan industri Kanada
yang menyatakan bahwa CSR merupakan upaya yang ditempuh perusahaan dalam
mencapai keseimbangan ekonomi, lingkungan, dan sosial sesuai harapan para
pemegang saham dan pemangku kepentingan.
Hal ini sejalan dengan landasan teoritik dari Elkington (1949) dalam
Prastowo (2011) bahwa CSR adalah aktivitas yang mengejar triple buttom line
yang terdiri dari profit, people, dan planet (3P). Secara konseptual tanggung
jawab sosial perusahaan merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga
prinsip dasar yang dikenal Triple Bottom Lines yaitu 3 P menurut Suharto (2005)
dalam Gunawan (2012):
1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang
9
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap taraf hidup
manusia, beberapa perusahaan mengembangkan program tanggung jawab
sosial perusahaan seperti pemberian beasiswa bagi pelajar disekitar
perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas
ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema
perlindungan sosial bagi warga masyarakat.
3. Planet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan
keragaman hayati. Beberapa program TSP yang berpijak pada prinsip ini
biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air
bersih, perbaikan pemukiman, pengembangan pariwisata (ekoturisme).
Berdasarkan konsep tripple bottom line, CSR dipandang dengan sangat
memperhatikan tiga unsur utama dalam kehidupan. Perusahaan benar-benar tidak
akan pernah terlepas dari perolehan keuntungan untuk menjamin keberlangsungan
operasi perusahaan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa profit dapat
mendukung banyak hal, seperti taraf hidup bagi masyarakat. Masyarakat
merupakan subyek yang erat dengan lingkungan sekitar perusahaan, bahwa people
adalah unsur yang harus dipedulikan, kebanyakan dari beberapa implementasi
perusahaan kurang memperhatikan people sebagai pihak yang sangat
berpengaruh. Sebenarnya dapat kita lihat pula dengan keberhasilan CSR dalam
mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sekitar akan memberikan
banyak dampak positif. Selain adanya jaminan keamanan aktivitas perusahaan,
masyarakat juga akan memberikan kontribusi dari beragam aspek.
Merujuk pada Suharto (2004) dalam Su’adah (2010) sedikitnya ada empat
model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia:
pertama, keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara
langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan
sumbangan ke masyarakat tanpa perantara; kedua, melalui yayasan atau organisasi
sosial perusahaan; ketiga, bermitra dengan pihak lain. Perusahaan
menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi nonpemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa baik dalam
mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, misalnya PMI,
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Dompet Dhuafa, instansi pemerintah
(LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos), universitas (UI, ITB, IPB), media massa
(Kompas, Kita Peduli Indosiar); keempat, mendukung atau bergabung dalam
suatu konsorsium.
Beberapa pola penerapan CSR yang disampaikan oleh Saidi (2004) dalam
Su’adah (2010) merupakan alternatif dalam memilih pelaksanaan CSR yang
paling efektif. Kondisi yang berbeda-beda menyebabkan pelaksanaan CSR tidak
harus serupa dengan pelaksanaan CSR di daerah lain, namun tetap memiliki
landasan yang sama. Berbagai cara dapat ditempuh, diantaranya secara sendiri
perusahaan mampu menjalankan kegiatan CSR dengan penuh tanggung jawab,
namun yang perlu menjadi fokus perhatian bahwa tidak semua perusahaan
memiliki sumber daya yang cukup dengan secara mandiri mengurus CSR, bahkan
setelah melihat kembali kapasitas perusahaan dengan bertumpuknya tugas dan
pekerjaan yang lain cenderung memberikan perhatian seadanya bagi tanggung
jawab sosial perusahaan. Biasanya perusahaan hanya memberikan bantuan tanpa
memperhatikan pengaruh jangka panjang, oleh sebab itu apabila cara ini yang
ditempuh maka seluruh pihak terutama di dalam perusahaan wajib terlibat dalam
10
keseluruhan aksi CSR tidak hanya departemen atau divisi tertentu. Kemudian hal
ini menjadi baik apabila berhasil dan efektif dilaksanakan karena perusahaan akan
mendapatkan nilai tambahan dari usahanya membangun masyarakat.
Upaya kedua, perusahaan memberikan kepercayaan dan berkolaborasi
bersama dalam memberdayakan masyarakat, seperti melakukan interaksi dengan
yayasan atau organisasi sosial. Yayasan ini yang secara penuh memperhatikan
langsung perkembangan masyarakat yang berada di bawah lingkungan operasi
perusahaan. Yayasan atau Organisasi sosial ini hendaknya memiliki kredibilitas
yang kuat sehingga masyarakat pun akan memberikan ruang bagi mereka. Hal
yang perlu dikhawatirkan apabila implementasi CSR di bawah Yayasan dengan
kredibilitas rendah cenderung takut untuk tidak secara langsung bekerja
memberdayakan masyarakat tetapi memiliki kepentingan-kepentingan lain.
Apabila yayasan ini memang sudah memiliki ketulusan untuk membangun
masyarakat maka bukan hal yang mustahil dapat mengefektifkan program CSR
dari perusahaan bersama yayasan dan masyarakat.
Pola ketiga seperti bermitra dengan pihak lain juga memiliki keunggulan
tersendiri. Memperhatikan kompetensi dari pemegang urusan mengenai CSR
dalam suatu perusahaan minim sekali yang memahami secara mendalam tentang
CSR secara keseluruhan. Oleh sebab itu pilihan untuk bermitra dengan pihak lain
cukup tepat, beberapa perguruan tinggi atau pihak akademisi sedikitnya dengan
berbagai disiplin ilmu mampu bersama mewujudkan pengembangan masyarakat
bersama perusahaan, tentunya ilmu tersebut diterapkan nyata di lokasi. Seperti
yang telah dijelaskan bahwa keterlibatan semua stakeholders tentunya membawa
pengaruh positif lebih besar dan cara terakhir yaitu dengan adanya suatu
konsorsium.
CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan
kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan
para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan
kemitraan. Setelah mengetahui pola stakeholders, maka penting utnuk mengetahui
pendekatan CSR yang baik. Berdasarkan hasil ringkasan terdapat pendekatan CSR
terkait ke dalam empat kelompok menurut Garigga dan Melle (2004), yakni:
1. Teori-teori Instrumental: Perusahaan dipandang hanya sebagai sebuah
instrumen untuk pembentukan kekayaan dan kegiatan sosial hanyalah
bermakna untuk memperoleh hasil ekonomi sehingga hanya aspek
ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang
dipertimbangkan.
2. Teori-teori Politik: Kekuatan perusahaan dalam masyarakat dan
penggunaan tanggung jawab dari arena politik dalam interaksi dan
hubungan antara bisnis dengan masyarakat dan pada kekuatan serta posisi
bisnis dan tanggung jawab yang tepat
3. Teori-teori Integratif: Perusahaan difokuskan pada kepuasan permintaan
sosial, berpandangan bahwa eksistensi, keberlanjutan, dan pertumbuhan
usaha yang bergantung pada masyarakat secara umum dipertimbangkan
untuk memberikan jalan dimana masyarakat dapat berinteraksi dengan
perusahaan dan memberikan semacam legitimasi dan prestis
4. Teori-teori Etik: tanggung jawab etis dari perusahaan kepada masyarakat
yang difokuskan pada permintaan yang mengkaitkan hubungan antara
perusahaan dan masyarakat.
11
Konsep Keberdayaan
Secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment)
berasal dari kata Power (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan (Su’adah 2010).
Pemberdayaan dalam program CSR akan sangat berpengaruh dengan teori tripple
bottom line yang menyebutkan profit oleh perusahaan, profit tersebut kemudian
berpengaruh terhadap keadaan masyarakat desa, khususnya dimensi ekonomi
lokal masyarakat desa, menurut Fraser (1987) dalam Radyati (2008) bahwa
pengembangan ekonomi untuk komunitas dapat diartikan singkat sebagai suatu
proses dimana komunitas dapat berpartisipasi dan menemukan cara sendiri untuk
mengatasi persoalan ekonomi mereka dan dengan demikian dapat membangun
kapasitas komunitas tersebut untuk jangka panjang sehingga mewujudkan
pencapaian tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Riley (1979) dalam Su’adah
(2010) mengembangkan delapan indikator pemberdayaan:
1. Kebebasan mobilitas: Kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau
keluar wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis,
bioskop, rumah ibadah, kerumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap
tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil: Kemampuan individu untuk
membeli barang barang (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu)
kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, shampoo).
Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika dapat
membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika
ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya
sendiri.
3. Kemampuan membeli komuditas besar: Kemampuan individu untuk
membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV,
radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas,
point tinggi diberikan individu yang dapat membuat keputusan sendiri
tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika ia dapat membeli
barangbarang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan Rumahtangga. Mampu
membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami atau istri
mengenai keputusan-keputusan keluarga
5. Kebebasan relatif dan dominasi keluarga.
6. Kesadaran hukum dan politik.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: Seseorang dianggap
berdaya jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain
melakukan protes misalnya terhadap kekerasan dalam ramah tangga, gaji
yang tidak adil, penyalahgunaan bantuan sosial atau penyalahgunaan
kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: Memiliki rumah,
tanah, aset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi
jika ía memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dan
pasangannya.
Suharto (2005) dalam Su’adah (2010) memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam melihat strategi pemberdayaan masyarakat dikaitkan dengan
12
kontek pekerjaan sosial, bahwa pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras
atau matra pemberdayaan (empowerment setting):
1. Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu
melalui bimbigan, konseling, stress management, crisis intervention.
Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai
Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (Task Centered Approach).
2. Aras mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok Klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya
digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan
memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3. Aras makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar
(large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system
lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan social,
kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat,
manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Strategi sistem besar memandang klien sebagai perseorangan yang
memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan
untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Adapun ketiga aras dalam melakukan pendekatan pada proses
pemberdayaan sangat bergantung pada karakteristik masyarakat di masing-masing
daerah, selain itupula strategi dalam melakukan pemberdayaan dapat dilakukan
dengan cara kombinasi antara satu aras dengan yang lainnya, semuanya
bergantung pada keadaan di daerah tersebut. Untuk mencapai tujuan
pemberdayaan Suharto (2005) dalam Su’adah (2010) menggunakan penerapan
pendekatan: pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan dan
pemeliharaan, penjelasannya antara lain:
1. Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang secara Optimal. Pemberdayaan harus
mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan structural
yang menghambat.
2. Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat dalam memecahkan maslah dan memenuhi kebutuhankebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan
segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang
kemadirian mereka.
3. Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok
lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya
persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan
lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap
kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala
jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4. Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat
mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.
Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke
dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
13
5. Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi
keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam
masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan
keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan
berusaha.
Konsep Partisipasi
Partisipasi merupakan konsep yang sangat penting untuk diteliti, setelah
mengetahui hubungan pemberdayaan dengan kontribusi stakeholders, maka
dengan indikator partisipasi kita dapat mengukur kontribusi dari masing-masing
stakeholders tersebut. Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses
aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir
mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Adapun
Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai
berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang
dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
Proses pengambilan keputusan bermaksud untuk melihat sejauh mana
kesadaran masyarakat dalam memberikan penilaian dan menentukan
pemilihan sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Seringkali
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh stakeholders hanya terpusat
pada orang-orang yang memiliki kekuasaan, seperti pihak perusahaan
yang lebih merasa mampu dari segala bidang, sedangkan masyarakat
cenderung diabaikan bahkan tidak dilibatkan dalam proses ini, padahal
proses pengambilan keputusan juga sangat bergantung pada keberhasilan
aktivitas kemudian. Apabila masyarakat diikutsertakan sebagai subyek dan
mampu mengambil keputusan mandiri maka akan lebih baik untuk
keberlanjutan programnya.
2.
Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam
pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud
nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi
dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan
bentuk tindakan sebagai anggota proyek. Tahap pelaksanaan juga
seringkali diartikan sebagai tahap implementasi, bahwa pada tahap ini
partisipasi tidak hanya bernilai sebuah tindakan nyata, namun dapat pula
secara tidak langsung memberikan masukan untuk perbaikan program dan
membantu melalui sumber daya. Tahap pelaksanaan partisipatif sangat
berbeda dengan top down dan bottom up, namun partisipasi dapat berupa
gabungan dari kedua pendekatan tersebut, seperti yang bekerja bukanlah
hanya pihak perusahaan, namun bersama merumuskan kebutuhan
kemudian membangun hal yang diperlukan. Seperti contoh pelaksanaan
top down hanya mengikuti instruksi dari pihak tertentu baik instansi atau
perusahaan tanpa secara langsung mengikuti kebutuhan dari masyarakat
14
sehingga banyak pelaksanaan pembangunan yang menjadi sia-sia dan
tidak berkelanjutan. Pelaksanaan partisipatif yang diikuti oleh seluruh
stakeholders akan meminimalisir kecenderungan akan pembangunan yang
tidak berguna.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap
ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan proyek selanjutnya. Evaluasi merupakan kemampuan
masyarakat dalam menilai baik-buruknya, berhasil-tidak berhasil, dan
efektif-tidak efektifnya suatu program. Pada tahapan ini masyarakat
setingkat lebih memahami kegunaan dan kerugian dari suatu program
yang diberikan sehingga mereka dapat menyusun dan mengeksekusi solusi
atas penilaian mereka. Evaluasi juga dapat menilai sejauhmana
keberhasilan dan keefektifan program yang mereka lakukan, sehingga
mereka dapat menentukan secara mandiri dan sadar apakah mereka harus
melanjutkan atau meninggalkan kegiatan tersebut. Evaluasi yang
dilakukan oleh orang dalam cenderung lebih sesuai konteks dengan
permulaan difasilitasi oleh orang luar. Apabila evaluasi dilakukan oleh
pihak lain hal ini tentunya menunjukkan belum munculnya partisipasi dari
masyarakat sendiri.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek
pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti
proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Pada tahapan ini masyarakat
sudah mampu merasakan keberhasilan dari program yang telah mereka
lakukan. Mereka juga dapat mengukur hasil yang mereka peroleh dengan
potensi sendiri yang mereka miliki.
Pengukuran partisipasi tidak hanya dijelaskan dalam pengertian empat tahapan
diatas, namun partisipasi juga memiliki tingkatan tersendiri, seperti yang
dinyatakan oleh Arnstein (1969) meliputi tujuh tingkatan diantaranya: Manipulasi,
Terapi, Pemberitahuan, Konsultasi, Penentraman, Kemitraan dan Pendelegasian
Kekuasaan. Berikut tabel penjelasan singkat mengenai tangga partisipasi Arnstein
:
15
Tabel 1 Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi
Arnstein
No
Tingkat Partisipasi
Permainan oleh
pemerintah
2
Sekedar agar
masyarakat tidak
marah/sosialisasi
3 Pemberitahuan
Sekedar pemberitahuan
(Informing)
searah/sosialisasi
4 Konsultasi
Masyarakat didengar,
(Consultation)
tapi tidak selalu dipakai
sarannya
5 Penentraman
Saran Masyarakat
(Placation)
diterima tapi tidak
selalu dilaksanakan
6 Kemitraan
Timbal balik
(Partnership)
dinegosiasikan
7 Pendelegasian
Masyarakat diberi
Kekuasaan (Delegated kekuasaan (sebagian
Power)
atau seluruh program)
Sepenuhnya dikuasai oleh
8 Kontrol Masyarakat
masyarakat
(Citizen Control)
Sumber : Arnstein (1969:217)
1
Manipulasi
(Manipulation)
Terapi (Therapy)
Hakekat Kesertaan
Tingkatan
Kekuasaan
Pembagian
Tidak ada partisipasi
Tokenism/sekedar
justifikasi agar
mengiyakan
Tingkat kekuasaan ada di
masyarakat
Tangga Arnstein dalam menjelaskan partisipasi menyatakan bahwa adanya
urutan dalam proses partisipasi dari masyarakat yang paling tertindas hingga pada
masyarakat yag memiliki pengawasan mandiri. Tahap pertama meliputi tiga
golongan tingkatan partisipasi yaitu manipulasi dan terapi. Dalam tahapan ini
dinyatakan bahwa tidak ada partisipasi dari masyarakat. Program yang hanya
mencapai tingkatan partisipasi pada tahapan ini tentunya memiliki kemungkinan
besar tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat adanya kontrol sepenuhnya dari pihak
lain bukan merupakan inisiasi dari dalam sebagai bentuk kesadaran untuk
kedepannya. Masyarakat cenderung tidak diberikan ruang dalam berkontribusi
dan hanya mengikuti arahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang mereka
harus penuhi.
Tahap kedua yang dikatakan dengan Tokenism atau sekedar menyetujui
yang terbagi menjadi golongan pemberitahuan, konsultasi dan penentraman. Pada
tahap tokenisme masyarakat hanya memiliki kesempatan partisipasi sebagai
formalitas, bahwa beberapa pihak menganggap bahwa masyarakat hanya didengar
pendapatnya tanpa dilibatkan secara langsung, pada tahap ini tidak semua
masukan, saran, dan ide
PENGARUH PARTISIPASI STAKEHOLDER PROGRAM
DESA BINAAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
PENINGKATAN TARAF HIDUP MASYARAKAT
HERMIN RAHAYU PERTIWI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Partisipasi
Stakeholder Program Desa Binaan Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan
Taraf Hidup Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Insititut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Hermin Rahayu Pertiwi
NIM I34100040
iv
ABSTRAK
HERMIN RAHAYU PERTIWI. Pengaruh Partisipasi Stakeholder Program Desa
Binaan Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan Taraf hidup Masyarakat. Dibimbing
oleh FREDIAN TONNY NASDIAN
Tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia merupakan permasalahan yang
harus diselesaikan bersama oleh seluruh pihak, salah satunya perusahaan. CSR
menjadi tonggak utama yang diharapkan mampu memberikan kontribusi positif
terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat. Aspek partisipasi yang merupakan
bagian dari pemberdayaan termasuk dalam ruang lingkup kekuasaan untuk
mewujudkan kemandirian. Salah satu perwujudan tercapainya kemandirian adalah
peningkatan tarag hidup masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah
kuantitatif dengan 45 responden dan wawancara mendalam. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat keberdayaan dan tingkat
partisipasi sesuai teori kekuasaan, selain itu tingkat partisipasi memiliki hubungan
dengan tingkat taraf hidup masyarakat. Sehingga pada program Desa Binaan
Perikanan Tangkap yang merupakan program pemberdayaan ekonomi lokal yang
memiliki dampak terhadap tingkat taraf hidup masyarakat Desa Majakerta.
Kata Kunci : Partisipasi, Stakeholder, Pemberdayaan, Taraf Hidup
HERMIN RAHAYU PERTIWI. The Effect of Stakeholder’s Participation of
Fishing Village Program Patronage to improving standards of living. Supervised
by FREDIAN TONNY NASDIAN
The extreme poverty in Indonesia is a problem that must be solved by all
stakeholders, one of them is the company. CSR is becoming a major milestone
that is expected to contribute positively to improving standards of living. Aspects
of participation which is part of empowerment within the scope of power to
achieve independence. One indicator of the achievement of independence is
improving standards of living. The method used is quantitative with 45
respondents and in-depth interviews. The results showed an association between
the level of empowerment and participation rates according to the theory of
power, than the level of participation has a relationship with the level of people's
lives. So the program Patronage of Fishing Village which is a local economic
development program that has an impact on the level of living standard of the
village Majakerta.
Keywords : Participation , Stakeholder, Empowerment, Standard of Living
v
PENGARUH PARTISIPASI STAKEHOLDER PROGRAM
DESA BINAAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP
PENINGKATAN TARAF HIDUP MASYARAKAT
HERMIN RAHAYU PERTIWI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
vi
vii
Judul Skripsi : Pengaruh Partisipasi Stakeholder Program Desa Binaan
Perikanan Tangkap terhadap Peningkatan Taraf Hidup
Masyarakat
Nama
: Hermin Rahayu Pertiwi
NIM
: I34100040
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan : -----------------------
viii
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT rahmat dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Partisipasi Stakeholder Program Desa Binaan Perikanan Tangkap
terhadap
Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat” dengan baik. Penulisan skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan moral dan material dari berbagai pihak yang mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. selaku dosen pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, saran
serta kritik yang membangun hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
2. Keluarga tersayang, Bapak dan Mama (Bapak Heriyanto dan Ibu
Sarmini), adek Hersa, Ibu Emi, Om Rudi, Om Jamin, Tante Senil, Tante
Dwi, Tante Nina, Om Herman yang telah memberikan dukungan moril
maupun materiil, doa, kasih sayang, dan kesabaran
3. Keluarga IKAMUSI IPB tercinta yang selalu memberikan semangat,
bantuan, kebahagiaan dan arti sahabat, saudara dan keluarga bagi penulis
4. Keluarga DPM TPB 47 IPB dan DPM FEMA Revitekologi dan Kaizen
yang telah
mengajarkan arti persahabatan, persaudaraan, dan
profesionalitas bagi penulis
5. Sahabat-sahabat penulis yaitu Meziriati Hendri, Widhoratna Jiwa Adlia,
Muhammad Iqbal Maulana, Susi Hasrat Alfisyah, Yuli Siti Fatma, Annisa
Maghfirah, Elva Lestari, Mutmainna, Dinasti, Ria Septy, Arum, Adit,
Deslaknyo, Taufiq, irwan, Afif Jauhari, Dedek Haryanto dan Saefihim
yang senantiasa mendukung dalam proses pembelajaran, memberi
semangat dan motivasi bagi penulis.
6. Tim CSR PT Pertamina, Mas Rois, Kak Wulan, Mas Aris, Kak Hasri,
Bang Hamdi, Kak Irma yang telah membantu dalam proses penelitian di
Desa Majakerta
7. Teman-teman SKPM angkatan 47 yang telah bersama-sama berproses
dalam
belajar pengembangan masyarakat dan komunikasi.
8. Bapak dan Ibu Satim yang telah memberi kehangatan seperti keluarga
sendiri
9. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan motivasi, terima kasih
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
X
XI
XII
1
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
3
5
5
PENDEKATAN TEORITIS
7
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANG
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Penentuan Informan dan Responden
Teknik Analisis Data
Teknik Pengumpulan Data
PROFIL DESA
Kondisi Geografis
Kondisi Ekonomi
Kondisi Pendidikan
Karakteristik Penduduk
Struktur Sosial Masyarakat
Pola Kebudayaan Masyarakat
Pola Adaptasi Ekologi
PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina
Program Peningkatan Infrastruktur dan Pemberdayaan Masyarakat
Program Desa Binaan Perikanan Tangkap di Desa Majakerta
Ikhtisar
7
17
19
19
23
23
24
24
24
27
27
28
28
29
30
31
32
33
33
34
34
39
HUBUNGAN TINGKAT KEBERDAYAAN DAN TINGKAT PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PROGRAM CSR PT PERTAMINA DESA BINAAN
PERIKANAN TANGKAP
41
Tingkat Keberdayaan
Ikhtisar
TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER
Hubungan Tingkat Keberdayaan dan Tingkat Partisipasi
Ikhtisar
41
46
49
57
57
ix
HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP TARAF
HIDUP MASYARAKAT
59
SIMPULAN DAN SARAN
65
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN
69
RIWAYAT HIDUP
85
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi
Arnstein
Pelaksanaan Penelitian Tahun 2013
Luas wilayah menurut penggunaan
Tingkat Pendidikan dan Jumlah Penduduk Majakerta
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Kepala Rumahtangga Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah dan persentase peserta program berdasarkan tingkat
keberdayaan di Desa Majakerta, Kabupaten Indramayu Tahun
2013
Keterlibatan Stakeholder dalam Tahapan Penyelenggaraan CSR
Desa Binaan Perikanan Tangkap Desa Majakerta Tahun 2013
Kategori Keterlibatan Stakeholder Pada Setiap Tahapan
Partisipasi Penyelenggaraan CSR Desa Binaan Perikanan
Tangkap di Desa Majakerta Tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat
PT Pertamina RU IV Tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat keberdayaan masyarakat
kemitraan dan tingkat partisipasi masyarakat PT Pertamina RU
IV tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat taraf hidup masyarakat
PT Pertamina RU IV Tahun 2013
Jumlah dan persentase penerima program CSR Desa Binaan
Perikanan Tangkap berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat
dan tingkat taraf hidup masyarakat PT Pertamina RU IV tahun
2013
15
23
27
29
29
30
45
54
55
56
57
61
62
Perbandingan Taraf Hidup Masyarakat dengan Program CSR dan
tanpa Program CSR
63
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Kerangka Pemikiran
Pertemuan Rutin Nelayan
Hasil Tangkapan Ikan Nelayan
Presentase peserta program berdasarkan tingkat keberdayaan di
Desa Majakerta, Kabupaten Indramayu Tahun 2013
Pelatihan Perbaikan Mesin Alat Tangkap Ikan
Sosialisasi Alat Tangkap Ikan
Presentase responden berdasarkan tingkat partisipasi di Desa
Majakerta Kabupaten Indramayu Tahun 2013
Buku Tabungan Nelayan
Persentase responden berdasarkan tingkat taraf hidup di Desa
Majakerta Kabupaten Indramayu Tahun 2013
18
35
37
46
51
51
56
60
62
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Peta Lokasi
Daftar Peserta Program CSR
Kuesioner
Pedoman Wawancara Mendalam
69
70
74
82
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kian melamban sesuai
dengan data yang diperoleh dari website resmi World Bank (2013) yang
menyatakan bahwa laju ekonomi Indonesia sedang melambat dibebani oleh
dampak kumulatif dari perlemahan harga-harga komoditas utama yang telah
berlangsung sejak tahun 2011 oleh pengetatan kondisi keuangan dalam dan luar
negeri, dan oleh tantangan kebijakan1. Kemudian menurut World Bank (2010)
dalam Gunawan (2012) walaupun pemulihan ekonomi bisa dipercepat, sebanyak
71 juta orang akan tetap hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem pada 2020.
Beberapa program pembangunan yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan
dan menghapuskan pengangguran seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE),
Program Kompensasi Pengurangan Subsisdi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM),
Program Penanggulangan Kemiskinan yang Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan (PNPM) Raskin, Askeskin, BOS, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
belum berhasil dalam mengentaskan kemiskinan.
Su’adah (2010) mengatakan bahwa program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia lebih dapat dinikmati oleh masyarakat
miskin perkotaan yang terkonsenterasi dibandingkan masyarakat miskin pedesaan
yang tersebar. Hal ini terbukti dengan adanya data dari BPS (2010) dalam
Su’adah (2010) Pada Maret 2009 sekitar 63,38 penduduk miskin terdapat di
pedesaan. Lalu, pada Maret 2010, jumlah penduduk miskin di pedesaan naik tipis
ke angka 64,23 persen. Masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan
masyarakat pertanian, oleh sebab itu perlu ditelaah lebih lanjut mengenai
kebijakan di sektor pertanian. Kebijakan pada sektor pertanian yang
mengharapkan peningkatan kualitas hidup masyarakat pedesaan, yang termasuk
didalamnya adalah masyarakat nelayan terus mengalami penurunan dari perolehan
ikan yang dapat ditangkap di laut. Berdasarkan data yang diperoleh dari SIDATIK
(2013) bahwa terjadi penurunan volume produksi perikanan tangkap di laut pada
time series 2010-2012.2
Kemiskinan di Indonesia khususnya pada wilayah pedesaan disebabkan oleh
berbagai macam faktor, salah satunya adalah belum terwujudnya pemberdayaan
masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat lokal adalah salah satu acuan untuk
membantu masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan sosial. Masyarakat
Indonesia begitu rentan, lemah, sangat tergantung dan tidak memiliki daya tahan
yang cukup kuat menghadapi goncangan krisis itu sehingga begitu krisis global
dan regional menghantam masyarakat maka masyarakat Indonesia langsung jatuh
terpuruk menjadi korban krisis Triyono (2010) dalam Su’adah (2010).
1
Diakses dari :http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/IEQOct2013-BHS.pdf
2
Diakses dari : http://statistik.kkp.go.id/index.php/statistik/c/5/1/0/0/Statistik-Perikanan-TangkapPerairanLaut/?perairan_id=5&provinsi_id=12&subentitas_id=20~1&view_data=1&tahun_start=2010&tah
un_to=2013&tahun=2013&filter=Lihat+Data+%C2%BB
2
Berdasarkan pernyataan ini diperlukan partisipasi dari seluruh stakeholders untuk
mengupayakan penyelesaian terhadap masalah ini, dengan melepaskan diri dari
ketergantungan dan menciptakan kemandirian dalam perencanaan jangka panjang.
CSR diklasifikasikan kedalam tiga aspek yaitu, keterlibatan dalam komunitas,
pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan employee
relations Wibisono (2007). Wibisono (2007) mengatakan yang termasuk dalam
keterlibatan komunitas itu diantaranya pengembangan masyarakat (Community
Development). Dalam hal ini, salah satu prinsip Community Development adalah
partisipasi. Partisipasi stakeholders memberikan penjelasan mengenai beberapa
aktor yang berpengaruh terhadap proses pemberdayaan, pihak tersebut antara lain
pemerintah, masyarakat atau komunitas dan swasta (perusahaan). Nasdian (2006)
mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga
komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat
menegaskan kontrol secara efektif. Hasil penelitian yang diperoleh dalam
menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program
dibuat berdasarkan tahapan partisipasi menurut Uphoff (1979) yaitu tahapan
pengambilan keputusan, tahapan pelaksanaan, tahapan evaluasi, dan tahapan
menikmati hasil. sebagai pembanding dilakukan pula penelitian terhadap tingkat
partisipasi berdasarkan pada konsep partisipasi Arnstein (1969) yang digolongkan
dalam tiga tingkatan hubungan kekuasaan tokenism, yaitu tipe pemberitahuan,
tipe konsultasi, dan tipe penentraman.
Wilayah pertambangan yang dikhususkan pada wilayah yang terkonsenterasi
dengan industri pertambangan memiliki dua tuntutan kebutuhan yang tak dapat
dihindari yaitu membutuhkan ketersediaan lahan, kualitas sumber daya manusia
dan masyarakat membutuhkan lapangan pekerjaan karena lahan mereka semakin
tergusur. Peraturan yang akan menjadi landasan dalam proses pemberdayaan
masyarakat sekitar industri pertambangan yaitu Klausul dalam pasal pasal 108
ayat (1)Undang-Undang No 4 tahun 2009 dan pasal 106 ayat (1) Peraturan
Pemerintah nomor 23 tahun 2010 menyatakan Pemegang Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan UU
tentang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 yang mengharuskan menyusun
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di wilayah tersebut. Hal
ini ditujukan untuk peningkatan taraf hidup bagi penduduk miskin.
Partisipasi komunitas menjadi hal yang amat penting bagi keberhasilan
program yang dilaksanakan oleh CSR sebagai salah satu wujud implementasi
peraturan. Definisi CSR menurut ISO 26000 dalam Sepriani (2011), CSR adalah
tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan taraf hidup masyarakat, mempertimbangkan
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan
norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh. Saat ini tujuan keberadaan bisnis adalah tidak hanya mencari
keuntungan, tetapi melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tujuan tidak hanya
memaksimalkan nilai pemegang saham, akan tetapi juga memaksimalkan nilai
bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Oleh sebab itu, selain partisipasi
yang dilakukan oleh masyarakat dan stakeholders lainnya perlu untuk dianalisis
3
penyelenggaran program CSR dan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
operasi perusahaan.
Sebagai contoh PT Pertamina khususnya RU VI Balongan adalah salah satu
perusahaan pengolahan minyak dan gas bumi negara di Indonesia dan Pertamina
termasuk dalam perusahaan BUMN. Berdasarkan master plan BUMN 2010-2014,
sumbangan program kemitraan paling besar diterima oleh Provinsi Jawa Barat
(13,5 %) 3. Program kemitraan ini menjadi salah satu program yang terdapat
dalam CSR Pertamina RU VI Balongan, yaitu pemberdayaan ekonomi lokal
melalui pemberian bantuan permodalan dan berbagai pelatihan manajemen dan
pemasaran bagi pengusaha kecil dan menengah demi meningkatkan kemampuan
usaha kecil agar lebih tangguh dan mandiri. Pada tahun 2012, dana yang
dikucurkan oleh Pertamina RU VI lebih dari Rp1,6 miliar, RU VI Balongan
berkontribusi dalam berbagai bidang sebagai implementasi program CSR dan
ditambah dana bantuan yang diberikan untuk kredit modal kerja pada mitra usaha
binaan, nilainya lebih dari Rp 11 miliar. 4
Pemberian dana ini diharapkan dapat memenuhi tujuan dari perusahaan agar
dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ternyata bertolak
belakang dengan data yang diperoleh dari BPS untuk melihat kondisi taraf hidup
masyarakat. Kabupaten Indramayu memiliki jumlah penduduk pada tahun 2011
sebanyak 1.675.790 dan jumlah penduduk miskin tahun 2011 sebanyak 272.140,
berdasarkan data ini diperoleh presentase penduduk miskin tahun 2011 sebesar
16,01 %. Data mengenai jumlah penduduk miskin kemudian memberikan
gambaran mengenai kemiskinan yang ada di Kabupaten Indramayu, berdasarkan
data secara keseluruhan Kabupaten Indramayu menempati posisi ke-2 jumlah
penduduk miskin terbanyak, kemudian menjadi hal yang tidak sesuai dengan hasil
yang diharapkan dengan adanya kucuran dana dalam jumlah yang cukup besar
untuk peningkatan taraf hidup masyarakat, sedangkan berdasarkan Annual Report
Pertamina 2009, 2010, dan 2011 bahwa jumlah peserta yang mendapatkan
bantuan program CSR semakin banyak. Oleh karena itu, penting untuk
dianalisis pengaruh partisipasi stakeholders Program Desa Binaan Perikanan
Tangkap terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat dalam konteks
pemberdayaan ekonomi lokal
Rumusan Masalah
Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan Corporate
Social Responsibility adalah bentuk kepedulian perusahaan yang sering disalah
artikan oleh perusahaan, merujuk pada tiga prinsip dasar Triple Bottom Line yang
diperkenalkan oleh Elkington (1994) memuat tiga hal yaitu profit, people, dan
planet. Keuntungan dari segi perekonomian yang didapatkan perusahaan juga
harus memberikan dampak positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat
sekitar wilayah operasi (profit), tentunya dampak positif tersebut dirasakan oleh
keseluruhan stakeholder (people). Apabila hubungan ekonomi dan sosial telah
3
Diakses dari http://www.scribd.com/doc/51202514/Masterplan-BUMN-20102014
4
Diakses dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=83139
4
menunjukkan hasil positif maka akan berkorelasi pula pada lingkungan sebagai
bentuk pembangunan berkelanjutan (planet). Stakeholders, yang jamak
diterjemahkan dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau
aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi
dan atau dipengaruhi oleh perusahaan (Saidi 2004 dalam Su’adah 2010 ).
Pada proses implementasi peran stakeholders sangat penting dalam mencapai
keberhasilan suatu program. Sesuai dengan UU tentang Perseroan Terbatas No. 40
tahun 2007, PT Pertamina memiliki kewajiban untuk menjalankan proses
tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari annual
report Pertamina secara berturut-turut dari tahun 2009, 2010, dan 2011. Masingmasing dana yang dikeluarkan oleh CSR paling besar dikeluarkan pada sektor
pertanian dan provinsi yang menerima dana paling besar adalah Jawa Barat.
Kebijakan pada sektor perikanan yang mengharapkan peningkatan kualitas hidup
masyarakat nelayan sampai saat ini belum terwujud, terbukti bahwa UMK
Kabupaten Indaramayu sebesar Rp 1.125.000 sedangkan berdasarkan data yang
diperoleh dari potensi Desa Majakerta upah nelayan perbulan rata-rata hanya
sebesar Rp. 750.000,00. Pendapatan yang berada jauh dibawah UMK, melihat
kondisi nyata bahwa tidak selalu sama pendapatan yang mereka dapatkan
bergantung pada hasil tangkapan mereka di laut.
Pada konsep selanjutnya adalah community development yang menjadi induk
untit PKBL dan CSR dalam menjalankan prosesnya merupakan suatu
kesalahpahaman yang muncul dalam perusahaan, karena Community
Development hanyalah bagian kecil dari CSR (Prastowo 2011). Lalu bagaimana
pengaruh dari program kemitraan sebagai proses community development, di
sektor pertanian terhadap pemberdayaan masyarakat petani yang masih jauh dari
kata kesejahteraaan. Berdasarkan Annual report Pertamina tahun 2010 dan 2011,
jumlah penerima bantuan kemitraan sektor pertanian Pertamina kian bertambah,
tetapi tingkat taraf hidup masyarakat masih berada pada tingkat yang sangat
minim. Program Desa Binaan yang terdiri dari beberapa bidang memberikan data
bahwa jumlah peserta atau masyarakat paling banyak mengikuti program binaan
nelayan tangkap dengan jumlah peserta sebanyak 86 orang. Secara garis besar,
pertanyaan yang akan dikaji lebih lanjut adalah Oleh karena itu perlu untuk
dianalisis bagaimana pengaruh tingkat keberdayaan masyarakat terhadap
tingkat partisipasi stakeholders dalam program Desa Binaan Perikanan
Tangkap?
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (2012) pada Maret 2010, jumlah
penduduk miskin di pedesaan naik tipis ke angka 64,23 persen. Hal ini
menunjukkan angka kemiskinan yang tinggi pada komunitas pedesaan, sementara
begitu banyak program yang telah dijalankan untuk mengentaskan kemiskinan
baik yang dilakukan pemerintah ataupun perusahaan (swasta). Salah satu pihak
yang telibat dalam pemberdayaan adalah petani, sedangkan dalam berita yang
diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume produksi tangkapan
ikan terus menurun hingga tahun 2012, hasil pendapatan dari tangkapan ikan juga
menjadi salah satu indikator dalam melihat tingkat taraf hidup petani. Salah satu
tujuan dari program CSR adalah mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang
akan berimplikasi pada dampak-dampak positif yang diharapkan, Program CSR
berupa bantuan dana UMKM diharapkan dapat merealisasikan pemberdayaan
5
pada masyarakat sekitar perusahaan dengan implikasi peningkatan taraf hidup
sehingga penting untuk dianalisis bagaimana pengaruh tingkat partisipasi
stakeholders terhadap tingkat taraf hidup masyarakat?
Tujuan Penelitian
Tujuan Penulisan Penelitian secara umum adalah untuk menganalisis
“Pengaruh Partisipasi Stakeholders Program Desa Binaan Perikanan Tangkap
terhadap Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat dalam Konteks Pemberdayaan
Ekonomi Lokal” dan secara khusus bertujuan untuk:
1. Menganalisis hubungan tingkat keberdayaan masyarakat dalam
penyelenggaraan CSR PT Pertamina terhadap tingkat partisipasi
stakeholders
2. Menganalisis hubungan tingkat partisipasi stakeholders terhadap
peningkatan taraf hidup masyarakat
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan masalah CSR, khususnya kepada:
1. Masyarakat, dapat memperoleh pengetahuan serta gambaran mengenai
partisipasi dalam program CSR dalam upaya peningkatan taraf hidup
berdasarkan ekonomi lokal.
2. Pemerintah, diharapkan dapat menentukan arah kebijakan dan pertauran
mengenai CSR yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
3. Perusahaan, diharapkan memberikan masukan sebagai data untuk landasan
pembuatan program selanjutnya, program yang lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
6
7
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Corporate Social Responsibility
Perkembangan CSR sebenarnya sudah mulai terlihat sejak masa penjajahan
dan politik etis penjajah belanda sebagai bentuk balas budi bagi Indonesia yang
telah mereka jajah cukup lama, hanya saja politik etis terdahulu hanya menyoroti
ketiga aspek berupa pendidikan, saluran irigasi, dan migrasi. Pembahasan CSR
untuk zaman ini bukanlah suatu hal yang asing kembali melihat dari asal-mula
konsep CSR. Berbagai jenis peraturan yang kemudian mengemas pemahaman
mengenai CSR itu sendiri, salah satunya seperti ISO 26000 sebuah panduan CSR
secara internasional. Dalam ISO 26000 tersebut ditegaskan bahwasanya bentuk
CSR dijalankan secara etik yang bersesuaian dengan konsep pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu gagasan untuk
membuat kehidupan manusia terus berlanjut dan tidak serakah (Prastowo 2011).
Lebih rinci lagi dijelaskan dalam ISO 26000 yaitu:
“...Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and
activities on society and the environment, through transparent and ethical
behaviourthat contributes to sustainable development, health and the
welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in
compliance with applicable law and consistent with international norms of
behaviour; and is integrated throughout the organizationand practiced in its
relationships... ” (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility)
Dalam definisi tersebut kita dapat menarik beberapa perhatian yang diberikan
untuk memahami CSR, bahwa CSR merupakan bentuk tanggung jawab dari
sebuah organisasi untuk menangani dampak dari aktivitas perusahaan terutama
dalam masyarakat dan lingkungan. Apabila CSR ini dilakukan dengan adanya
keterbukaan dan perilaku etis akan sangat memungkinkan bahwa CSR
memberikan kontribusi dalam pembangunan yang berkelanjutan, indikator antara
lain seperti kesehatan dan keamanan bagi masyarakat, memperhatikan peran dan
partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, dan hal paling penting bahwa
CSR merupakan suatu tanggung jawab yang melembaga dan telah terinternalisasi
dalam perusahaan tersebut.
Tidak hanya ISO 26000 yang memberikan definisi tentang CSR, Adapun
Sepriani (2011) menjelaskan CSR adalah mekanisme alamiah sebuah perusahaan
untuk ‘membersihkan’ keuntungan-keuntungan besar yang diperoleh.
Sebagaimana diketahui, cara-cara perusahaan untuk memperoleh keuntungan
kadang-kadang merugikan orang lain, baik itu yang tidak disengaja apalagi yang
disengaja. Lingkungan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan, masyarakat
kecil yang hilang kesempatannya dalam memperoleh rezeki akibat aktivitas
perusahaan, Semestinya perusahaan sudah mempunyai kesadaran sosial atas
dampak yang ditimbulkannya. Dari definisi CSR dianggap sebagai sesuatu yang
8
hanya akan dilakukan apabila perusahaan merugikan masyarakat dan pemberian
bantuan masih bersifat charity. Pada hakekatnya CSR bukanlah suatu kegiatan
yang hanya berkapasitas sebagai pemberian biasa (charity).
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)
merupakan suatu pendekatan perubahan atau pengembangan masyarakat
khususnya peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan oleh suatu
perusahaan sebagai bagian dari tanggungjawab sosialnya. Pendekatan ini
bertujuan agar masyarakat turut terlibat atau menjadi bagian dari perusahaan
tersebut dan menikmati manfaat dari keberadaan perusahaan di suatu wilayah
tertentu. Pendekatan pengembangan masyarakat tersebut mengacu pada konsep
Community Development yang kaitannya dapat dilihat dari perspektif ”economic”,
”social justice” maupun perspektif ”ecological”, sebagai konsep yang dikenalkan
oleh European Union dimana perusahaan memadukan aspek sosial dan
lingkungan dalam kegiatan bisnisnya serta dalam interaksinya dengan pemangku
kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela Suharto (2005) dalam
Gunawan (2012).
Beranjak dari definisi CSR kemudian konsep tanggung jawab mulai menuju
pada implementasi yang sebenarnya, beberapa diantaranya adalah mengaitkan
beberapa aspek penting dalam kehidupan, diantaranya ekonomi, sosial, dan
ekologi. Keterkaitan antara ketiga komponen ini merupakan sebuah integrasi
sempurna dalam pelaksanaan CSR. Perspektif ekonomi memandang bahwa
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tidak semata-mata hasil dari
perusahaan saja, lebih dari itu masayarakat juga mengambil peranan yang sangat
signifikan dalam perolehan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan.
Perekonomian merupakan unsur utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu
oleh perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, apabila keuangan
dan perekonomian perusahaan sudah cukup mapan maka CSR bukanlah hanya
sebagai suatu kewajiban terlebih kontibusi dari stakeholders terkait, sifatnya pun
tidak melulu bersifat charity namun lebih menekankan pada pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat. Korelasi antara ekonomi dan sosial terlihat jelas
dalam melihat detail hubungannya, apabila masyarakat sekita perusahaan sudah
sejahtera terutama dalam hal perekonomian maka bukanlah hal yang mustahil
bahwa taraf hidup sosial juga akan terwujud, dengan beberapa indikator yag akan
dijelaskan kemudian hubungan antar stakeholders dan shareholders akan terhindar
dari konflik yang kerap kali terjadi di beberapa kasus implementasi CSR, hal ini
dibuktikan dengan adanya variasi definisi lain seperti Kalangan industri Kanada
yang menyatakan bahwa CSR merupakan upaya yang ditempuh perusahaan dalam
mencapai keseimbangan ekonomi, lingkungan, dan sosial sesuai harapan para
pemegang saham dan pemangku kepentingan.
Hal ini sejalan dengan landasan teoritik dari Elkington (1949) dalam
Prastowo (2011) bahwa CSR adalah aktivitas yang mengejar triple buttom line
yang terdiri dari profit, people, dan planet (3P). Secara konseptual tanggung
jawab sosial perusahaan merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga
prinsip dasar yang dikenal Triple Bottom Lines yaitu 3 P menurut Suharto (2005)
dalam Gunawan (2012):
1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang
9
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap taraf hidup
manusia, beberapa perusahaan mengembangkan program tanggung jawab
sosial perusahaan seperti pemberian beasiswa bagi pelajar disekitar
perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas
ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema
perlindungan sosial bagi warga masyarakat.
3. Planet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan
keragaman hayati. Beberapa program TSP yang berpijak pada prinsip ini
biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air
bersih, perbaikan pemukiman, pengembangan pariwisata (ekoturisme).
Berdasarkan konsep tripple bottom line, CSR dipandang dengan sangat
memperhatikan tiga unsur utama dalam kehidupan. Perusahaan benar-benar tidak
akan pernah terlepas dari perolehan keuntungan untuk menjamin keberlangsungan
operasi perusahaan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa profit dapat
mendukung banyak hal, seperti taraf hidup bagi masyarakat. Masyarakat
merupakan subyek yang erat dengan lingkungan sekitar perusahaan, bahwa people
adalah unsur yang harus dipedulikan, kebanyakan dari beberapa implementasi
perusahaan kurang memperhatikan people sebagai pihak yang sangat
berpengaruh. Sebenarnya dapat kita lihat pula dengan keberhasilan CSR dalam
mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sekitar akan memberikan
banyak dampak positif. Selain adanya jaminan keamanan aktivitas perusahaan,
masyarakat juga akan memberikan kontribusi dari beragam aspek.
Merujuk pada Suharto (2004) dalam Su’adah (2010) sedikitnya ada empat
model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia:
pertama, keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara
langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan
sumbangan ke masyarakat tanpa perantara; kedua, melalui yayasan atau organisasi
sosial perusahaan; ketiga, bermitra dengan pihak lain. Perusahaan
menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi nonpemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa baik dalam
mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, misalnya PMI,
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Dompet Dhuafa, instansi pemerintah
(LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos), universitas (UI, ITB, IPB), media massa
(Kompas, Kita Peduli Indosiar); keempat, mendukung atau bergabung dalam
suatu konsorsium.
Beberapa pola penerapan CSR yang disampaikan oleh Saidi (2004) dalam
Su’adah (2010) merupakan alternatif dalam memilih pelaksanaan CSR yang
paling efektif. Kondisi yang berbeda-beda menyebabkan pelaksanaan CSR tidak
harus serupa dengan pelaksanaan CSR di daerah lain, namun tetap memiliki
landasan yang sama. Berbagai cara dapat ditempuh, diantaranya secara sendiri
perusahaan mampu menjalankan kegiatan CSR dengan penuh tanggung jawab,
namun yang perlu menjadi fokus perhatian bahwa tidak semua perusahaan
memiliki sumber daya yang cukup dengan secara mandiri mengurus CSR, bahkan
setelah melihat kembali kapasitas perusahaan dengan bertumpuknya tugas dan
pekerjaan yang lain cenderung memberikan perhatian seadanya bagi tanggung
jawab sosial perusahaan. Biasanya perusahaan hanya memberikan bantuan tanpa
memperhatikan pengaruh jangka panjang, oleh sebab itu apabila cara ini yang
ditempuh maka seluruh pihak terutama di dalam perusahaan wajib terlibat dalam
10
keseluruhan aksi CSR tidak hanya departemen atau divisi tertentu. Kemudian hal
ini menjadi baik apabila berhasil dan efektif dilaksanakan karena perusahaan akan
mendapatkan nilai tambahan dari usahanya membangun masyarakat.
Upaya kedua, perusahaan memberikan kepercayaan dan berkolaborasi
bersama dalam memberdayakan masyarakat, seperti melakukan interaksi dengan
yayasan atau organisasi sosial. Yayasan ini yang secara penuh memperhatikan
langsung perkembangan masyarakat yang berada di bawah lingkungan operasi
perusahaan. Yayasan atau Organisasi sosial ini hendaknya memiliki kredibilitas
yang kuat sehingga masyarakat pun akan memberikan ruang bagi mereka. Hal
yang perlu dikhawatirkan apabila implementasi CSR di bawah Yayasan dengan
kredibilitas rendah cenderung takut untuk tidak secara langsung bekerja
memberdayakan masyarakat tetapi memiliki kepentingan-kepentingan lain.
Apabila yayasan ini memang sudah memiliki ketulusan untuk membangun
masyarakat maka bukan hal yang mustahil dapat mengefektifkan program CSR
dari perusahaan bersama yayasan dan masyarakat.
Pola ketiga seperti bermitra dengan pihak lain juga memiliki keunggulan
tersendiri. Memperhatikan kompetensi dari pemegang urusan mengenai CSR
dalam suatu perusahaan minim sekali yang memahami secara mendalam tentang
CSR secara keseluruhan. Oleh sebab itu pilihan untuk bermitra dengan pihak lain
cukup tepat, beberapa perguruan tinggi atau pihak akademisi sedikitnya dengan
berbagai disiplin ilmu mampu bersama mewujudkan pengembangan masyarakat
bersama perusahaan, tentunya ilmu tersebut diterapkan nyata di lokasi. Seperti
yang telah dijelaskan bahwa keterlibatan semua stakeholders tentunya membawa
pengaruh positif lebih besar dan cara terakhir yaitu dengan adanya suatu
konsorsium.
CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan
kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan
para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan
kemitraan. Setelah mengetahui pola stakeholders, maka penting utnuk mengetahui
pendekatan CSR yang baik. Berdasarkan hasil ringkasan terdapat pendekatan CSR
terkait ke dalam empat kelompok menurut Garigga dan Melle (2004), yakni:
1. Teori-teori Instrumental: Perusahaan dipandang hanya sebagai sebuah
instrumen untuk pembentukan kekayaan dan kegiatan sosial hanyalah
bermakna untuk memperoleh hasil ekonomi sehingga hanya aspek
ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang
dipertimbangkan.
2. Teori-teori Politik: Kekuatan perusahaan dalam masyarakat dan
penggunaan tanggung jawab dari arena politik dalam interaksi dan
hubungan antara bisnis dengan masyarakat dan pada kekuatan serta posisi
bisnis dan tanggung jawab yang tepat
3. Teori-teori Integratif: Perusahaan difokuskan pada kepuasan permintaan
sosial, berpandangan bahwa eksistensi, keberlanjutan, dan pertumbuhan
usaha yang bergantung pada masyarakat secara umum dipertimbangkan
untuk memberikan jalan dimana masyarakat dapat berinteraksi dengan
perusahaan dan memberikan semacam legitimasi dan prestis
4. Teori-teori Etik: tanggung jawab etis dari perusahaan kepada masyarakat
yang difokuskan pada permintaan yang mengkaitkan hubungan antara
perusahaan dan masyarakat.
11
Konsep Keberdayaan
Secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment)
berasal dari kata Power (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan (Su’adah 2010).
Pemberdayaan dalam program CSR akan sangat berpengaruh dengan teori tripple
bottom line yang menyebutkan profit oleh perusahaan, profit tersebut kemudian
berpengaruh terhadap keadaan masyarakat desa, khususnya dimensi ekonomi
lokal masyarakat desa, menurut Fraser (1987) dalam Radyati (2008) bahwa
pengembangan ekonomi untuk komunitas dapat diartikan singkat sebagai suatu
proses dimana komunitas dapat berpartisipasi dan menemukan cara sendiri untuk
mengatasi persoalan ekonomi mereka dan dengan demikian dapat membangun
kapasitas komunitas tersebut untuk jangka panjang sehingga mewujudkan
pencapaian tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Riley (1979) dalam Su’adah
(2010) mengembangkan delapan indikator pemberdayaan:
1. Kebebasan mobilitas: Kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau
keluar wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis,
bioskop, rumah ibadah, kerumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap
tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil: Kemampuan individu untuk
membeli barang barang (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu)
kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, shampoo).
Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika dapat
membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika
ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya
sendiri.
3. Kemampuan membeli komuditas besar: Kemampuan individu untuk
membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV,
radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas,
point tinggi diberikan individu yang dapat membuat keputusan sendiri
tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika ia dapat membeli
barangbarang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan Rumahtangga. Mampu
membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami atau istri
mengenai keputusan-keputusan keluarga
5. Kebebasan relatif dan dominasi keluarga.
6. Kesadaran hukum dan politik.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: Seseorang dianggap
berdaya jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain
melakukan protes misalnya terhadap kekerasan dalam ramah tangga, gaji
yang tidak adil, penyalahgunaan bantuan sosial atau penyalahgunaan
kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: Memiliki rumah,
tanah, aset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi
jika ía memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dan
pasangannya.
Suharto (2005) dalam Su’adah (2010) memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam melihat strategi pemberdayaan masyarakat dikaitkan dengan
12
kontek pekerjaan sosial, bahwa pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras
atau matra pemberdayaan (empowerment setting):
1. Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu
melalui bimbigan, konseling, stress management, crisis intervention.
Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai
Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (Task Centered Approach).
2. Aras mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok Klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya
digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan
memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3. Aras makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar
(large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system
lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan social,
kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat,
manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Strategi sistem besar memandang klien sebagai perseorangan yang
memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan
untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Adapun ketiga aras dalam melakukan pendekatan pada proses
pemberdayaan sangat bergantung pada karakteristik masyarakat di masing-masing
daerah, selain itupula strategi dalam melakukan pemberdayaan dapat dilakukan
dengan cara kombinasi antara satu aras dengan yang lainnya, semuanya
bergantung pada keadaan di daerah tersebut. Untuk mencapai tujuan
pemberdayaan Suharto (2005) dalam Su’adah (2010) menggunakan penerapan
pendekatan: pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan dan
pemeliharaan, penjelasannya antara lain:
1. Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang secara Optimal. Pemberdayaan harus
mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan structural
yang menghambat.
2. Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat dalam memecahkan maslah dan memenuhi kebutuhankebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan
segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang
kemadirian mereka.
3. Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok
lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya
persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan
lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap
kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala
jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4. Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat
mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.
Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke
dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
13
5. Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi
keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam
masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan
keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan
berusaha.
Konsep Partisipasi
Partisipasi merupakan konsep yang sangat penting untuk diteliti, setelah
mengetahui hubungan pemberdayaan dengan kontribusi stakeholders, maka
dengan indikator partisipasi kita dapat mengukur kontribusi dari masing-masing
stakeholders tersebut. Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses
aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir
mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Adapun
Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai
berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang
dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
Proses pengambilan keputusan bermaksud untuk melihat sejauh mana
kesadaran masyarakat dalam memberikan penilaian dan menentukan
pemilihan sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Seringkali
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh stakeholders hanya terpusat
pada orang-orang yang memiliki kekuasaan, seperti pihak perusahaan
yang lebih merasa mampu dari segala bidang, sedangkan masyarakat
cenderung diabaikan bahkan tidak dilibatkan dalam proses ini, padahal
proses pengambilan keputusan juga sangat bergantung pada keberhasilan
aktivitas kemudian. Apabila masyarakat diikutsertakan sebagai subyek dan
mampu mengambil keputusan mandiri maka akan lebih baik untuk
keberlanjutan programnya.
2.
Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam
pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud
nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi
dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan
bentuk tindakan sebagai anggota proyek. Tahap pelaksanaan juga
seringkali diartikan sebagai tahap implementasi, bahwa pada tahap ini
partisipasi tidak hanya bernilai sebuah tindakan nyata, namun dapat pula
secara tidak langsung memberikan masukan untuk perbaikan program dan
membantu melalui sumber daya. Tahap pelaksanaan partisipatif sangat
berbeda dengan top down dan bottom up, namun partisipasi dapat berupa
gabungan dari kedua pendekatan tersebut, seperti yang bekerja bukanlah
hanya pihak perusahaan, namun bersama merumuskan kebutuhan
kemudian membangun hal yang diperlukan. Seperti contoh pelaksanaan
top down hanya mengikuti instruksi dari pihak tertentu baik instansi atau
perusahaan tanpa secara langsung mengikuti kebutuhan dari masyarakat
14
sehingga banyak pelaksanaan pembangunan yang menjadi sia-sia dan
tidak berkelanjutan. Pelaksanaan partisipatif yang diikuti oleh seluruh
stakeholders akan meminimalisir kecenderungan akan pembangunan yang
tidak berguna.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap
ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan proyek selanjutnya. Evaluasi merupakan kemampuan
masyarakat dalam menilai baik-buruknya, berhasil-tidak berhasil, dan
efektif-tidak efektifnya suatu program. Pada tahapan ini masyarakat
setingkat lebih memahami kegunaan dan kerugian dari suatu program
yang diberikan sehingga mereka dapat menyusun dan mengeksekusi solusi
atas penilaian mereka. Evaluasi juga dapat menilai sejauhmana
keberhasilan dan keefektifan program yang mereka lakukan, sehingga
mereka dapat menentukan secara mandiri dan sadar apakah mereka harus
melanjutkan atau meninggalkan kegiatan tersebut. Evaluasi yang
dilakukan oleh orang dalam cenderung lebih sesuai konteks dengan
permulaan difasilitasi oleh orang luar. Apabila evaluasi dilakukan oleh
pihak lain hal ini tentunya menunjukkan belum munculnya partisipasi dari
masyarakat sendiri.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek
pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti
proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Pada tahapan ini masyarakat
sudah mampu merasakan keberhasilan dari program yang telah mereka
lakukan. Mereka juga dapat mengukur hasil yang mereka peroleh dengan
potensi sendiri yang mereka miliki.
Pengukuran partisipasi tidak hanya dijelaskan dalam pengertian empat tahapan
diatas, namun partisipasi juga memiliki tingkatan tersendiri, seperti yang
dinyatakan oleh Arnstein (1969) meliputi tujuh tingkatan diantaranya: Manipulasi,
Terapi, Pemberitahuan, Konsultasi, Penentraman, Kemitraan dan Pendelegasian
Kekuasaan. Berikut tabel penjelasan singkat mengenai tangga partisipasi Arnstein
:
15
Tabel 1 Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi
Arnstein
No
Tingkat Partisipasi
Permainan oleh
pemerintah
2
Sekedar agar
masyarakat tidak
marah/sosialisasi
3 Pemberitahuan
Sekedar pemberitahuan
(Informing)
searah/sosialisasi
4 Konsultasi
Masyarakat didengar,
(Consultation)
tapi tidak selalu dipakai
sarannya
5 Penentraman
Saran Masyarakat
(Placation)
diterima tapi tidak
selalu dilaksanakan
6 Kemitraan
Timbal balik
(Partnership)
dinegosiasikan
7 Pendelegasian
Masyarakat diberi
Kekuasaan (Delegated kekuasaan (sebagian
Power)
atau seluruh program)
Sepenuhnya dikuasai oleh
8 Kontrol Masyarakat
masyarakat
(Citizen Control)
Sumber : Arnstein (1969:217)
1
Manipulasi
(Manipulation)
Terapi (Therapy)
Hakekat Kesertaan
Tingkatan
Kekuasaan
Pembagian
Tidak ada partisipasi
Tokenism/sekedar
justifikasi agar
mengiyakan
Tingkat kekuasaan ada di
masyarakat
Tangga Arnstein dalam menjelaskan partisipasi menyatakan bahwa adanya
urutan dalam proses partisipasi dari masyarakat yang paling tertindas hingga pada
masyarakat yag memiliki pengawasan mandiri. Tahap pertama meliputi tiga
golongan tingkatan partisipasi yaitu manipulasi dan terapi. Dalam tahapan ini
dinyatakan bahwa tidak ada partisipasi dari masyarakat. Program yang hanya
mencapai tingkatan partisipasi pada tahapan ini tentunya memiliki kemungkinan
besar tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat adanya kontrol sepenuhnya dari pihak
lain bukan merupakan inisiasi dari dalam sebagai bentuk kesadaran untuk
kedepannya. Masyarakat cenderung tidak diberikan ruang dalam berkontribusi
dan hanya mengikuti arahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang mereka
harus penuhi.
Tahap kedua yang dikatakan dengan Tokenism atau sekedar menyetujui
yang terbagi menjadi golongan pemberitahuan, konsultasi dan penentraman. Pada
tahap tokenisme masyarakat hanya memiliki kesempatan partisipasi sebagai
formalitas, bahwa beberapa pihak menganggap bahwa masyarakat hanya didengar
pendapatnya tanpa dilibatkan secara langsung, pada tahap ini tidak semua
masukan, saran, dan ide