Application of Vapor Heat Treatment to Reduce Chilling Injury Symptoms and Maintain Quality of Papaya (Carica papaya).

PENERAPAN VAPOR HEAT TREATMENT UNTUK
MENEKAN GEJALA CHILLING INJURY DAN
MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
PEPAYA (Carica papaya)

NURHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Vapor Heat
Treatment untuk Menekan Gejala Chilling Injury dan Mempertahankan Mutu
Buah Pepaya (Carica papaya) adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Nurhayati
NRP F153110051

RINGKASAN
NURHAYATI. Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan Gejala Chilling
Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya). Dibimbing oleh
ROKHANI HASBULLAH dan Y ARIS PURWANTO.
Pepaya merupakan buah yang mudah rusak sehingga memiliki umur simpan
yang pendek sebagai akibat tingginya aktivitas metabolisme selama penyimpanan.
Penyimpanan suhu rendah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
memperpanjang umur simpan buah pepaya. Akan tetapi penyimpanan pada suhu
rendah (di bawah 10 oC) dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan
dingin (chilling injury). Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan munculnya
gejala chilling injury salah satunya adalah dengan perlakuan panas (heat
treatment). Perlakuan panas (heat treatment) selain dapat menekan gejala chilling
injury juga dapat mengontrol hama dan penyakit pascapanen serta dapat
mempertahankan mutu buah. Terdapat tiga metode perlakuan panas yakni hot

water treatment (HWT), hot air treatment (HAT) dan vapor heat treatment
(VHT). Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh perlakuan panas
metode vapor heat treatment (VHT) terhadap kerusakan dingin (chilling injury)
buah pepaya yang disimpan pada suhu rendah serta mengkaji perubahan mutu
buah pepaya setelah diberi perlakuan VHT dan disimpan pada suhu penyimpanan
berbeda.
Penelitian ini menggunakan pepaya Calina (IPB-9) dengan berat antara 0.81.0 kg. Buah pepaya diperoleh dari kebun petani di Semplak, Bogor. Pepaya
diberi perlakuan uap panas pada suhu 46.5 oC selama 15 dan 30 menit, kemudian
didinginkan dengan air mengalir sampai suhu buah kembali normal. Buah
kemudian disimpan pada suhu 5 oC, 13 oC dan suhu ruang (26-30 oC). Parameter
yang diamati meliputi indeks chilling injury, laju respirasi, susut bobot, warna
kulit dan daging buah, kekerasan, total padatan terlarut dan kandungan Vitamin C.
Perlakuan VHT pada suhu 46.5 oC selama 15-30 menit mampu menekan
munculnya gejala chilling injury dan mempercepat puncak klimakterik dua hari
lebih awal. VHT pada suhu 46.5 oC selama 30 menit menekan penurunan susut
bobot, mempertahankan kecerahan warna kulit dan daging serta kekerasan,
mempercepat perubahan warna kulit, namun berpotensi menghilangkan total
padatan terlarut dan kandungan Vitamin C buah pepaya. Penyimpanan suhu
dingin menunda terjadinya puncak klimakterik dan perubahan warna kulit,
menekan penurunan susut bobot, mempertahankan kekerasan buah dan tidak

mempengaruhi total padatan terlarut serta kandungan Vitamin C namun
menurunkan kecerahan kulit buah. Interaksi antara VHT dan suhu penyimpanan
mempercepat perubahan warna kulit, mempertahankan warna daging buah dan
kekerasan namun menurunkan total padatan terlarut dan kandungan Vitamin C.
Perlakuan VHT pada suhu 46.5 oC selama 30 menit yang disimpan pada suhu 5 oC
mengurangi gejala chilling injury dan mempertahankan mutu buah pepaya selama
3 minggu.
Kata kunci: buah pepaya, chilling injury, vapor heat treatment

SUMMARY
NURHAYATI. Application of Vapor Heat Treatment to Reduce Chilling Injury
Symptoms and Maintain Quality of Papaya (Carica papaya). Supervised by
ROKHANI HASBULLAH dan Y ARIS PURWANTO.
Papaya (Carica papaya) is a perishable fruits with has limited postharvest
shelf-life because of its high metabolic activities during storage. Low temperature
storage is common method to extend shelf-life of papaya fruits. However, long
term storage at low temperature (below 10 oC) are susceptible to chilling injury
(CI). One of the effort can be applied to reduce chilling injury symptoms is heat
treatment. Heat treatment not only reduce the chilling injury symptoms but also
control pests and diseases and maintain postharvest fruit quality. There are three

methods of heat treatment i.e hot water treatment (HWT), hot air treatment (HAT)
and vapor heat treatment (VHT). The objective of this study was to examine the
effect of vapor heat treatment in alleviating chilling injury and maintaining quality
of papaya fruits at different temperature storage.
This research used papaya fruits cultivar Calina (IPB-9) with average weight
of 0.8-1.0 kg. Papaya fruits were sourced from farmer orchad in Semplak, Bogor.
Papaya fruits were treated in vapor heat at 46.5 oC for 15 and 30 minutes and
following VHT, papaya fruits were cooled with water dip to adjust the
temperature. After the treatment, papaya fruits were stored at 5 oC, 13 oC and
room temperature (26-30 oC). Parameter measure involved chilling injury index,
respiration rate, weight loss, peel and flesh yellowing, firmness, total soluble
solids and Vitamin C contents.
The result showed that VHT at 46.5 oC for 15-30 minutes decreased chilling
injury symptoms and accelerated climacteric peak two days earlier. Vapor heat
treatment at 46.5 oC for 30 minutes decreased weight loss, maintained lightness of
peel and flesh and its firmness, accelerated peel yellowing, but decreased total
soluble solids and Vitamin C contents. Low temperature storage delayed
climacteric peak, peel yellowing, maintained firmness and decreased peel
lightness, however it did not affect total soluble solids and Vitamin C contents.
The interaction of VHT and temperature storage accelerated peel yellowing,

maintained flesh yellowing and firmness but reduce total soluble solids and
Vitamin C contents. It was concluded that VHT at 46.5 oC for 30 minutes was the
best treatment to reduce chilling injury and maintain the papaya quality for three
weeks.
Keywords: chilling injury, papaya fruits, vapor heat treatment

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENERAPAN VAPOR HEAT TREATMENT UNTUK
MENEKAN GEJALA CHILLING INJURY DAN
MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
PEPAYA (Carica papaya)


NURHAYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi: Dr Ir Lilik Pujantoro Eko Nugroho, MAgr

Judul Tesis : Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan Gejala Chilling
Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya)
Nama
: Nurhayati

NIM
: F153110051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi
Ketua

Dr Ir Yohanes Aris Purwanto, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sutrisno, Magr


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 08 April 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juli 2013 ini adalah
chilling injury, dengan judul Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan
Gejala Chilling Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya)
berhasil diselesaikan. Penulis sangat menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak akan
pernah dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas bila tidak dibimbing dan
didukung oleh berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada Institut
Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk
menempuh pendidikan dan DIKTI yang telah memberikan beasiswa pendidikan
melalui Beasiswa Unggulan DIKTI 2011. Ungkapan terimakasih yang sebesarbesarnya Penulis sampaikan kepada Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi dan Dr Ir Y

Aris Purwanto, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
kritik, saran, arahan dan bimbingan; Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku Ketua
Program Studi Teknologi Pascapanen. Terimakasih juga ditujukan kepada Dr Ir
Lilik Pujantoro Eko Nugroho, MAgr selaku dosen penguji luar komisi atas saran
yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada adik terkasih,
keluarga Ir H Kiswan Muhammad selaku orang tua asuh atas segala doa, cinta,
kasih sayang dan dukungannya.
Selain itu Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh Laboran, adikadik TEP ‟46 (Awanis Wardani, Ginna Annisa Yuliafatima dan Nurahma Refilia)
atas bantuannya selama penelitian, Staf Tata Usaha Teknologi Pascapanen, temanteman TPP 2011 (Bu Rahma Nurdjannah, Pak Agus Supriyatna, Pak Nurman
Susilo, Yenny Anggraini dan Asmeri Lamona) yang tidak bisa saya sebutkan satu
per satu; sahabat seperjuangan (Merry Sabed, Yeni Midel Pebrulita, Sri Wardani,
Heny Maryati, M. Nur Iman, Jaini Fakhrudin dan Risnawati) serta adik sekaligus
sahabat di Kost Aisyah Bara 6 atas segala bantuan dan doanya. Semoga ukhuwah
yang terjalin selama ini bisa tetap terjaga hingga akhir hayat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014
Nurhayati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

1
1
2

3

TINJAUAN PUSTAKA
Pepaya dan Penanganan Pascapanen
Respirasi
Perlakuan Panas (Heat Treatment)
Penyimpanan Suhu Rendah (Cold treatment) dan Chilling Injury
Perubahan Mutu

4
4
5
6
8
9

METODOLOGI
Tempat, Alat dan Bahan Penelitian
Parameter Pengukuran
Rancangan Percobaan

10
10
11
14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Chilling Injury
Laju Respirasi
Perubahan mutu

15
15
16
19

SIMPULAN

36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

44

vi

DAFTAR TABEL
1 Hasil penelitian heat treatment untuk mengatasi chilling injury pada
beberapa buah
2 Suhu optimum untuk penyimpanan beberapa produk hortikultura

7
10

DAFTAR GAMBAR
1 Indeks kematangan buah pepaya
2 Beberapa gejala chilling injury
3 Tingkat kematangan pepaya yang digunakan
4 Diagram alir penelitian
5 Sistem notasi warna Hunter
6 Indeks chilling injury setelah 21 hari penyimpanan pada suhu 5 oC
7 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu 5 oC
8 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu 13 oC
9 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)
10 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu 5 oC
11 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu 13 oC
12 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)
13 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu 5 oC
14 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu 13 oC
15 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)
16 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu 5 oC
17 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu 13 oC
18 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu ruang
(26-30 oC)
19 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu 5 oC
20 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu 13 oC
21 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)
22 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu 5 oC
23 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu 13 oC
24 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu ruang
(26-30 oC)
25 Perubahan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu 5 oC
26 Perubahan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu 13 oC
27 Perubahan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)
28 Perubahan nilai total padatan terlarut buah pepaya pada suhu 5 oC
29 Perubahan nilai total padatan terlarut buah pepaya pada suhu 13 oC
30 Perubahan nilai total padatan terlarut buah pepaya pada suhu ruang
(26-30oC)
31 Perubahan kandungan Vitamin C pada suhu 5 oC
32 Perubahan kandungan Vitamin C pada suhu 13 oC
33 Perubahan kandungan Vitamin C pada suhu ruang (26-30 oC)

5
8
11
12
13
16
17
18
18
20
21
21
22
22
23
24
25
25
26
27
27
28
28
28
30
30
30
32
32
33
34
35
35

vii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Hasil sidik ragam laju produksi CO2
Hasil sidik ragam susut bobot buah pepaya
Hasil sidik ragam ohue kulit buah pepaya
Hasil sidik ragam kecerahan (L) kulit buah pepaya
Hasil sidik ragam ohue daging buah pepaya
Hasil sidik ragam nilai kecerahan (L) daging buah pepaya
Hasil sidik ragam kekerasan buah pepaya
Hasil sidik ragam total padatan terlarut buah pepaya
Hasil sidik ragam kandungan Vitamin C buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap perubahan mutu buah pepaya pada
penyimpanan hari ke-6
Hasil uji lanjut Duncan terhadap perubahan mutu buah pepaya pada
penyimpanan hari ke-12
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh VHT terhadap buah pepaya pada
suhu 5 oC
Hasil uji lanjut Duncan terhadap laju produksi CO2 buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap kenaikan susut bobot buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap ohue kulit buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai kecerahan (L) kulit buah
pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap ohue daging buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai kecerahan (L) daging buah
pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap kekerasan buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut buah pepaya
Hasil uji lanjut Duncan terhadap kandungan Vitamin C buah pepaya

44
46
47
49
51
52
53
54
55
56
57
57
58
60
61
63
65
66
67
68
69

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara mengenai ekspor produk hortikultura khususnya buah-buahan,
tidak bisa lepas dari peraturan karantina yang diterapkan oleh negara pengimpor
buah terutama negara maju. Peraturan karantina ini diterapkan dengan ketat oleh
negara maju seperti Amerika dan Jepang (Marsudi et al. 2007) yang dimaksudkan
untuk mencegah penyebarluasan hama maupun penyakit pascapanen dari negara
asal ke negara tujuan yang kemungkinan terinfestasi pada produk sejak di
lapangan. Tidak jarang peraturan ini menjadi salah satu penghambat peningkatan
ekspor buah-buahan Indonesia (Batan kembangkan iradiasi untuk kendalikan lalat
mangga 2012). Terdapat beberapa teknologi yang digunakan diantaranya iradiasi,
fumigasi dan perlakuan pemanasan (heat treatment).
Penerapan iradiasi pada dosis rendah selain dapat mencegah infestasi hama dan
penyakit juga dapat memperlambat pematangan buah dan memperpanjang umur
simpan, namun proses iradiasi dikhawatirkan menyebabkan mutagen pada produk
sehingga berbahaya bila dikonsumsi. Sementara penggunaan fumigasi sudah dilarang
sejak tahun 1984 (Lurie 1998) karena fumigan dapat meninggalkan residu pada
produk sehingga berbahaya bagi kesehatan konsumen (Barantan 2007). Alternatif
pengganti yang dapat dilakukan adalah dengan perlakuan pemanasan pada produk
yang mana perlakuan ini lebih aman dan tidak menimbulkan kekhawatiran seperti
kedua teknologi sebelumnya.
Salah satu buah yang dapat dijadikan produk hortikultura unggulan adalah
buah papaya karena produksinya yang tidak mengenal musim. Buah pepaya
termasuk buah tropis yang banyak diminati masyarakat terutama di negara
subtropis di mana pohon pepaya sulit tumbuh. Hanya saja ekspor buah pepaya
masih rendah dikarenakan kualitas produk yang rendah (Manuwoto et al. 2003;
Bron dan Jacomino 2006). Kualitas buah yang diinginkan konsumen diantaranya
rasa yang manis, daging tebal, aroma khas pepaya dan warna yang menarik serta
bebas dari kerusakan akibat hama dan penyakit maupun kerusakan mekanis.
Untuk mendapatkan kualitas buah seperti keinginan konsumen selain dengan
budidaya yang baik juga sangat diperlukan adalah penanganan pascapanen yang
tepat. Penanganan pascapanen tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan produk
yang baik tapi juga ditujukan untuk mencari solusi bagaimana agar produk
bertahan selama mungkin dengan kualitas seperti keinginan konsumen. Hal ini
berkaitan dengan waktu yang diperlukan produk dari lapangan menuju pasar yang
kemungkinan akan ditempuh dalam waktu lama seperti halnya pasar dunia
(ekspor).
Panen buah pepaya dilakukan pada saat tua dan akan mencapai tingkat
kematangan sempurna selama penyimpanan. Buah ini termasuk buah yang mudah
mengalami kerusakan selama penyimpanan baik akibat senescence maupun
serangan hama dan penyakit pascapanen. Penundaan waktu panen dapat
meningkatkan kepekaan terhadap pembusukan sedangkan panen pada buah yang
belum tua sempurna mengakibatkan kualitas buah rendah. Pengaturan suhu
penyimpanan merupakan salah satu alternatif untuk menjaga dan
mempertahankan mutu produk dan salah satunya adalah dengan melakukan
penyimpanan dingin yakni menyimpan produk di bawah suhu simpan optimum

2

produk. Penyimpanan dingin dapat mengurangi laju respirasi, menekan
berkembangnya infestasi hama dan penyakit setelah panen serta dapat menunda
pematangan dan senescence (Aghdam et al. 2013).
Skog (1998) menyebutkan bahwa suhu optimum untuk penyimpanan buah
pepaya adalah 7-13 oC. Hasil penelitian yang dilakukan Hamaisa et al. (2007)
menyebutkan pepaya yang disimpan pada suhu 10 oC memiliki daya simpan
terlama diantara perlakuan yang lain yaitu selama 20 hari dan hasil penelitian
Syaefullah et al. (2008) menyebutkan untuk meminimalkan perubahan mutu pada
buah pepaya maka penyimpanan dilakukan pada suhu 5 oC, namun bila pepaya
disimpan di bawah suhu 12 oC dapat menyebabkan terjadinya chilling injury
(Dirjen Hortikultura 2011) sehingga produk tidak bisa disimpan pada suhu yang
sebenarnya dapat memperpanjang dan mempertahankan produk lebih lama.
Carillo dan Yahia (2004) melaporkan bahwa heat treatment dapat
mengurangi kerentanan buah pepaya terhadap kerusakan yang diakibatkan suhu
dingin. Perlakuan panas (heat treatment) selain dapat mengontrol hama dan
penyakit pascapanen, mengurangi kerusakan fisiologi, memperlambat pematangan
dan memperpanjang umur simpan, juga dapat mengurangi terjadinya chilling
injury (Schirra et al. 2004; Lu et al. 2010; Wang 2010). Heat treatment terdiri dari
hot water treatment, hot air treatment dan vapor heat treatment (Lurie 1998). Hot
water treatment terbukti dapat menunda pencokelatan pada buah pisang yang
disimpan pada suhu 4 oC (Promyou et al. 2008). Hasil penelitian Carrillo dan
Yahia (2004) menunjukkan bahwa perlakuan hot air treatment pada buah pepaya
selama 4 jam pada suhu 48.5 oC mampu menekan gejala chilling injury. Wangchai
et al. (2002) melaporkan bahwa proses VHT dapat mengurangi tingkat chilling
injury buah mangga varietas “Nam Dok Mai”. Kasim MU dan Kasim H (2011)
juga menyatakan pendapat yang sama mengenai VHT yaitu dapat mencegah
penurunan ion leakage (chilling injury), mengurangi pelunakan dan
mempertahankan warna hijau pada buah mentimun.
Metode perlakuan panas memiliki beberapa kekurangan diantaranya hot
water treatment (HWT) hanya bisa mengontrol hama atau penyakit yang berada
di permukaan atau lapisan awal di bawah kulit buah sementara larva pada buah
pepaya tidak hanya berada di lapisan bawah kulit tapi berada di bagian daging
yang lebih dalam sehingga tidak efektif bila menggunakan HWT (Hallman 2000)
sedangkan hot air treatment (HAT) memerlukan waktu yang lama antara 12-96
jam untuk suhu 38-46 oC sehingga kurang efisien (Lurie 1998). Fakta lain telah
diteliti oleh Schirra et al. (2004) bahwa perlakuan HWT dan HAT memperbesar
susut bobot produk meski dapat menekan gejala chilling injury. Penerapan vapor
heat treatment sebelum penyimpanan pada suhu rendah dapat dijadikan alternatif
lain sehingga perlakuan panas pada buah pepaya lebih efektif dan efisien. Dengan
demikian VHT memiliki manfaat lebih yakni selain buah terbebas dari hama dan
penyakit pascapanen juga dapat menekan terjadinya chilling injury sehingga buah
dapat disimpan pada suhu rendah tanpa mengalami penurunan kualitas.
Perumusan Masalah
Seiring perkembangan waktu, konsumen menuntut buah pepaya yang
memiliki daya simpan lama. Penundaan waktu panen dapat meningkatkan
kepekaan terhadap pembusukan sedangkan panen pada buah yang belum matang

3

mengakibatkan kualitas buah rendah. Produk hortikultura setelah panen masih
tetap mengalami proses kehidupan yang ditandai dengan terjadinya respirasi.
Respirasi akan menyebabkan terjadinya pematangan dan senescence. Berbagai
metode telah dilakukan untuk menjaga kesegaran produk buah-buahan selama
pascapanen hingga berada di tangan konsumen. Salah satu teknik yang dapat
dilakukan adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah (di bawah suhu
optimum).
Suhu menjadi batasan dalam penyimpanan produk hortikultura karena suhu
mempengaruhi aktivitas enzim metabolisme. Kendala yang dihadapi khususnya
oleh produk hortikultura daerah tropis adalah penyimpanan pada suhu rendah/
dingin yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan berupa chilling injury. Suhu
penyimpanan yang menyebabkan terjadinya chilling injury umumnya berkisar
antara 12.5 oC sampai beberapa derajat mendekati 0 oC.
Di lain pihak, menurut Carillo dan Yahia (2004) bila pepaya tidak disimpan
pada suhu dingin akan mudah mengalami perubahan warna dan pembusukan
hanya dalam beberapa hari sebagai akibat proses pematangan yang cepat dan
mudah terinfeksi penyakit pascapanen. Suhu penyimpanan pada buah pepaya
yang lebih rendah dari 10 oC dapat menyebabkan terjadinya chilling injury (Wang
2010). Gejala kerusakan pepaya pada suhu dingin berupa pengeriputan kulit
(Romero et al. 2003), gagal matang, daging buah berair dan gagalnya hidrolisis
sukrosa menjadi gula pereduksi (Suleman et al. 2004).
Chilling injury merupakan hambatan lain pada buah pepaya apabila akan
dilakukan ekspor ke negara subtropis terutama pada musim dingin. Perlakuan
panas diduga dapat menekan gejala tersebut selain dapat menghambat infestasi
hama dan penyakit sehingga perlakuan panas pada buah-buahan bermanfaat ganda.
Hasil penelitian Hutabarat (2008) pada buah tomat yang disimpan pada suhu 5 oC
menunjukkan gejala chilling injury dapat ditekan dengan heat shock treatment
selama 20 menit pada suhu 42 oC dan hasil penelitian Hasbullah et al. (2008a,
2008b) perlakuan panas berupa VHT selama 15-30 menit pada suhu 46.5 oC dapat
mengendalikan hama dan penyakit buah pepaya sampai penyimpanan hari ke 21
tanpa mempengaruhi kualitas buah. Dengan demikian perlakuan heat treatment
berupa VHT sebelum dilakukan penyimpanan suhu rendah diharapkan dapat
mencegah terjadinya chilling injury sehingga buah dapat sampai ke tangan
konsumen sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. mengkaji pengaruh perlakuan panas metode vapor heat treatment (VHT)
terhadap kerusakan dingin (chilling injury) buah pepaya yang disimpan pada
suhu rendah.
b. mengkaji perubahan mutu buah pepaya setelah diberi perlakuan VHT dan
disimpan pada suhu penyimpanan berbeda.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Pepaya dan Penanganan Pascapanen
Pepaya (Carica papaya L.) termasuk kelas Dicotyledoneae, genus Carica.
Tanaman pepaya memiliki tiga tipe bunga dalam satu pohon yaitu bunga jantan,
bunga betina dan bunga hermaprodit (sempurna). Bunga yang menghasilkan buah
dengan nilai ekonomis yang tinggi (Sobir 2010) adalah bunga hermaprodit, sesuai
varietas dengan daging buah yang tebal. Dalam menentukan standar mutu buah
pepaya digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 4230-2009), berlaku untuk
varietas komersil yang dipasarkan untuk konsumsi segar setelah penanganan dan
pengemasan. Berdasarkan SNI 4230-2009 terdapat tiga kelas buah pepaya yakni
kelas super, kelas A dan kelas B dengan bobot minimal dari ketiga kelas tersebut
adalah 200 gram dengan bentuk dan ukuran seragam.
Kelas super
: mutu paling baik, varietas tipe komersil, bebas dari kerusakan
kecuali kerusakan kecil.
Kelas A
: mutu baik, varietas/tipe komersil dengan kerusakan kecil yang
diperbolehkan seperti penyimpangan bentuk, kulit buah memar
sedikit, terbakar sinar matahari atau kena getah buah dan atau
total kerusakan tidak lebih dari 10% luas permukaan kulit buah
dan tidak mempengaruhi daging buah.
Kelas B
: mutu baik, varietas/tipe komersil dengan kerusakan yang
diperbolehkan seperti penyimpangan bentuk, warna, kerusakan
pada kulit buah akibat memar, terbakar sinar matahari, terkena
getah, sedikit serangan hama dan penyakit dengan total
kerusakan 15% dari luas permukaan kulit serta tidak
mempengaruhi daging buah.
Rukmana (1995) menjelaskan pepaya dapat dipanen bila telah memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 1) secara visual buah telah berwarna kuning sekitar ¾
bagian buah, 2) getah telah berwarna kuning dan encer, 3) tangkai berwarna
kuning atau semburat (garis) kuning pada ujung buah dan 4) ukuran buah telah
maksimal. Panen perdana dapat dilakukan mulai umur delapan atau sembilan
bulan sejak tanam (Agromedia 2009) tergantung varietas. Varietas unggul seperti
IPB-1 dan lainnya dapat dipanen pada umur 4-5.5 bulan. Panen dilakukan dengan
cara memotong tangkai buah menggunakan pisau atau memutar tangkai dengan
tangan. Setelah dipanen, buah diletakkan di dalam wadah atau keranjang yang
dilapisi dengan koran untuk mencegah terjadinya gesekan buah dengan wadah
(Sobir 2010).
Buah pepaya yang telah dipetik dibersihkan. Pengemasan yang baik
menurut BPTP (2001) adalah menggunakan kemasan plastik berlubang yang
dimasukkan ke kardus. Jumlah tiap kemasan sebanyak 5 buah dengan kedudukan
silang di mana tangkai berada di bawah sehingga dapat menjaga mutu buah.
Beberapa tingkat kematangan pepaya dapat dilihat Gambar 1. Pepaya juga
mengandung sumber gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi yang terdapat dalam
setiap 100 gram buah pepaya matang yakni energi 46 kal, air 86.7 gram, protein
0.5 gram, karbohidrat 12.2 gram, Vitamin A 365 IU, Vitamin B 0.04 mg, Vitamin

5

C 78 mg, kalsium 23 mg, zat besi 1.7 mg dan fosfor sebanyak 12 mg (Direktorat
Tanaman Buah 2008).

Gambar 1 Indeks kematangan buah pepaya
Keterangan :
green fruit : kulit buah berwarna hijau, daging buah keras dan berwarna putih,
bentuk biji telah sempurna namun masih berwarna putih atau
sedikit gelap
1 : kulit berwarna hijau terang mendekati warna kuning, daging buah
mulai berwarna jingga pada beberapa tempat namun masih keras
dan masih banyak mengandung getah yang cair
2 : kulit buah berwarna hijau terang dan telah terdapat semburat
kuning, daging buah yang dekat dengan biji telah berwarna jingga
dan daging yang dekat dengan kulit masih berwarna putih, masih
keras dan mengandung getah yang sedikit mengental
3 : semburat kuning makin luas, daging buah hampir seluruhnya
berwarna jingga kecuali yang dekat dengan kulit dan masih keras
namun getah mulai sedikit
4 : permukaan kulit buah berwarna jingga namun masih terdapat
warna hijau pada beberapa tempat, daging buah seluruhnya jingga,
lebih lunak, kandungan getah sedikit, namun masih tetap keras
untuk dikonsumsi
5 : warna kulit telah kuning sempurna, daging buah sudah bisa
dikonsumsi dan tidak terdapat getah
6 : kondisi sama dengan stage 5 namun warna lebih jingga pada kulit
dan daging buah lebih lunak tapi masih layak untuk dikonsumsi
(Basulto et al. 2009).
Respirasi
Respirasi merupakan suatu proses pembongkaran bahan organik yang
tersimpan (karbohidrat, protein dan lemak) menjadi bahan sederhana dan produk
akhirnya berupa CO2, H2O dan energi. Kehilangan cadangan makanan selama

6

respirasi berarti kehilangan nilai gizi makanan (nilai energi), berkurangnya
kualitas rasa, khususnya rasa manis dan kehilangan berat kering ekonomis
(khususnya bagi komoditas yang akan didehidrasi). Glukosa yang dibutuhkan
sebagai substrat respirasi diperoleh dari cadangan makanan yang tersimpan dalam
bentuk pati seperti pada buah, umbi atau bentuk lainnya. Secara sederhana proses
respirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia berikut :
C6H12O6 + 6O2

6CO2 + 6H2O + 674 kkal energi (Winarno 2002)

Laju respirasi dapat dijadikan petunjuk untuk menduga daya simpan produk
hortikultura setelah panen, terutama untuk produk klimakterik. Bahan dengan laju
respirasi tinggi umumnya memiliki umur simpan pendek. Laju respirasi
dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Phan et al. (1986) menjelaskan
yang termasuk faktor internal diantaranya tingkat perkembangan (umur dan jenis
jaringan), substrat jaringan (perbandingan oksigen dan karbondioksida dalam
jaringan), ukuran produk, dan pelapis alami. Faktor eksternal meliputi suhu,
keberadaan etilen, perbandingan gas (oksigen dan karbondioksida) di udara, zat
pengatur tumbuh dan kerusakan pada buah.
Perlakuan Panas (Heat Treatment)
Penanganan produk pertanian menggunakan perlakuan panas merupakan
alternatif pengganti bahan kimia dalam mengontrol dan mengendalikan hama dan
penyakit pascapanen dan lebih aman karena tidak meninggalkan residu. Perlakuan
panas juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam menekan
gejala kerusakan akibat suhu rendah (chilling injury). Hasil penelitian mengenai
perlakuan panas dalam mengatasi chilling injury dapat dilihat pada Tabel 1.
Perlakuan panas harus memperhatikan suhu dan waktu. Suhu dalam
perlakuan panas berbeda-beda untuk setiap buah. Penggunaan suhu tinggi dan
waktu yang lama mengakibatkan mutu produk rusak yang dikenal dengan heat
injury berupa pencokelatan pada kulit dan adanya pelunakan bagian dalam buah.
Pengaruh perlakuan panas terhadap suatu produk berbeda-beda sehingga faktor
suhu dan lama perlakuan sangat menentukan hasil yang ingin dicapai tanpa
merusak produk.
1. Hot Water Treatment (HWT)
Hot Water Treatment pertama kali dilakukan oleh Fawcett pada pertengahan
abad 20 untuk mengendalikan busuk cokelat pada jeruk lemon dan pada tahun 80an dilaporkan HWT (49 oC selama 20 menit) dapat dijadikan sebagai salah satu
perlakuan karantina khususnya untuk mengatasi serangan lalat buah jenis
Anastrepha suspensa Loew atau yang lebih dikenal dengan Caribbean Fruit Fly
(Rodov et al. 1995). HWT dilakukan dengan mencelupkan komoditas ke dalam
air panas pada suhu dan lama waktu tertentu. Air panas merupakan media yang
efektif untuk menghantarkan panas secara seragam ke seluruh bagian buah dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Kebanyakan buah dan sayur mempunyai toleransi
terhadap air panas pada suhu 50-60 oC selama 10 menit tapi pemaparan jangka
pendek pada suhu demikian dapat mengatasi beberapa patogen pascapanen.

7

Tabel 1 Hasil penelitian heat treatment untuk mengatasi chilling injury pada
beberapa buah
Buah
Delima

Perlakuan
HWT

Tomat

HWT

Labu
Pisang

HsT
HWT

Jeruk

HWT

Mentimun

VHT

Persik
Mangga

HAT
VHT

Alpukat

HWT
VHT

Suhu Perlakuan
45 oC selama 4 menit

Suhu Penyimpanan
2 oC selama 90 hari
(Mirdehghan et al.
2007)
42oC selama 20 menit* 5 oC selama 20 hari
40oC selama 15 menit** (*Hutabarat 2008, **
Yang et al. 2009)
o
42 C selama 30 menit
5 oC (Wang 1994)
42oC selama 15 menit
4 oC (Promyou, et al.
2008)
50oC selama 2 menit
2 oC (Ghasemnezhad et
al. 2008)
48oC selama 8 menit
4 oC (Kasim MU dan
Kasim R 2011)
o
38 C selama 12 jam
0 oC (Jin et al. 2009)
o
47 C selama 10 menit
0, 5 dan 8oC
selama
4
minggu
(Wangchai et al. 2002)
38oC selama 1 jam
3.5 oC selama 5 minggu
38oC selama 4-8 jam
(Weiler et al. 1997)

2. Hot Air Treatment (HAT)
Hot Air Treatment merupakan salah satu prosedur yang digunakan dalam
karantina tanaman (Lurie 1998) di mana perlakuan panas dengan mengalirkan
udara ini dapat digunakan sebagai salah satu disinfestasi lalat buah. Aplikasi HAT
adalah dengan menempatkan buah atau sayuran dalam chamber yang dipanaskan
dengan kipas angin sebagai sumber udara atau dengan udara panas buatan di mana
kecepatan sirkulasi udara dikontrol dengan tepat. HAT memiliki kelebihan di
mana produk tidak akan mengalami kelembaban yang tinggi sebagai akibat waktu
pemanasan yang tercapai lambat seperti pada treatment yang menggunakan uap
(VHT). Kelemahan HAT adalah memerlukan waktu yang lama antara 12-96 jam
untuk suhu 38-46 oC sehingga kurang efisien untuk digunakan sebagai perlakuan
karantina (Lurie 1998).
3. Vapor Heat Treatment (VHT)
Vapor Heat Treatment merupakan metode yang paling kecil resikonya
dalam menimbulkan luka dibanding perlakuan heat treatment yang lain. VHT
merupakan perlakuan dalam karantina bahan pertanian menggunakan uap jenuh
yang berasal dari penguapan air pada temperatur 40-50oC. Pemindahan panas
dilakukan secara kondensasi pada permukaan buah yang lebih dingin. Perlakuan
terdiri dari periode pemanasan di mana dapat berlangsung cepat atau lebih lama
tergantung pada tingkat sensitivitas komoditas pada suhu. Tahap selanjutnya
merupakan tahap pencapaian suhu pusat buah sesuai dengan suhu yang
dikehendaki dengan waktu tertentu. Tahap terakhir merupakan tahap pendinginan
suhu buah sehingga sama dengan suhu lingkungan (Lurie 1998).

8

Penyimpanan Suhu Rendah (Cold treatment) dan Chilling Injury
Isu utama yang membatasi ekspor buah-buahan adalah serangan hama dan
penyakit pasca panen. Teknologi karantina yang umum digunakan dalam
mencegah penyebarluasan hama penyakit diantaranya iradiasi, fumigasi,
perlakuan dingin (cold treatment) dan perlakuan panas (heat treatment).
Perlakuan dingin terbagi dalam dua cara yaitu penyimpanan pada suhu 10 oC
sampai -2 oC (penyimpanan dingin) dan penyimpanan beku (di bawah suhu -18
o
C).
Perlakuan dingin khususnya untuk produk hortikultura daerah tropis kurang
efektif karena dapat menimbulkan kerusakan dingin (chilling injury). Gejala
chilling injury dapat diamati dari kenaikan respirasi dan produksi etilen, terdapat
bintik pada kulit buah, penurunan kecepatan pertumbuhan, pematangan tidak
normal, pelunakan, terkelupasnya kulit, kehilangan favor khasnya, rasa tawar
serta kenaikan jumlah ion yang dikeluarkan dari membran sel (ion leakage)
(BPTP 2001). Beberapa gejala chilling injury dapat dilihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

(d)

(c)

(e)

Gambar 2 Beberapa gejala chilling injury
Keterangan:
gambar a: chilling injury pada mentimun berupa permukaan buah tidak rata,
berkerut dan mengalami penguningan pada suhu penyimpanan 0 oC
gambar b: chilling injury pada paprika jenis Red paprika dengan gejala berupa
buah berkerut, permukaan berlubang/bergelombang, pembentukan
warna merah tidak sempurna
gambar c: chilling injury pada apel yang disimpan pada suhu 0 oC berupa
daging buah berwarna cokelat
gambar d: chilling injury pada tomat berupa gagal matang yang disimpan pada
suhu 3 oC
gambar e: chilling injury pada blewah yang disimpan pada suhu 0 oC berupa
pembusukan (Skog 1998).
Gejala chilling injury pada pepaya menurut da Silva et al. (2007) berupa
terdapat luka pada kulit (skin scald), terdapat gumpalan keras pada daging buah,
keluarnya air dari daging buah (water soaking) dan rentan terhadap pembusukan.
Suleman et al. (2004) menambahkan gejala chilling injury pada pepaya berupa
gagal matang, terdapat lubang yang menyerupai bintik pada kulit buah (sunken

9

spots), luka seperti luka bakar dan rasa yang tawar. Suhu penyimpanan yang
dianjurkan untuk beberapa komoditi yang rentan terhadap chilling injury serta
gejala yang dialami dapat dilihat pada Tabel 2.
Perubahan Mutu
Buah pepaya termasuk buah klimakterik. Winarno (2002) mengungkapkan
proses klimakterik terjadi akibat adanya reaksi penggabungan antara permeabilitas
sel, enzim dan substrat sehingga buah menjadi matang. Terjadi proses
metabolisme berupa perombakan cadangan makanan sampai cadangan makanan
tersebut habis, yang dikenal dengan pembusukan. Proses ini berlangsung dalam
waktu yang relatif singkat sehingga buah tidak tahan lama disimpan dan
dipasarkan.
Buah pepaya selama pematangan akan mengalami beberapa perubahan yang
dapat dilihat secara visual seperti perubahan warna, tekstur, aroma dan perubahan
kimia serta perubahan bobot (bentuk) buah. Penurunan bobot buah mempunyai
korelasi positif dengan respirasi dan jumlah air yang dilepaskan (transpirasi).
Setelah dipanen, buah akan mengalami respirasi dan transpirasi secara terus
menerus sehingga menyebabkan buah layu dan mengkerut. Tanda kematangan
yang paling mudah dilihat adalah terjadinya perubahan warna yaitu hilangnya
warna hijau (Winarno 2002) dan menyebabkan timbulnya karotenoid atau pigmen
lain.
Perubahan tekstur berhubungan dengan kelenturan dinding sel. Menurut
Winarno (2002) dinding sel terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan protein.
Gabungan komponen tersebut menyebabkan dinding sel kuat. Komponen yang
paling berperan dalam kelunakan dinding sel adalah hemiselulosa dan pektin. Zat
pektin merupakan polimer asam galakturonat yang tidak larut dalam air, terdapat
dalam bentuk protopektin, asam pektinat, asam pektat dan pektin itu sendiri.
Dinding sel yang lentur (lunak) disebabkan adanya penurunan jumlah pektin yang
tidak larut (proropektin) menjadi pektin (pektat dan asam pektinat) yang larut.
Aktivitas tersebut dipicu oleh enzim pektin metil esterase dan poligalakturonase
sehingga terjadi perubahan tekstur dari keras menjadi lunak.
Perubahan komponen kimia terbesar selama pematangan adalah perubahan
karbohidrat yang menyebabkan terbentuknya rasa dan aroma. Karbohidrat dalam
buah berupa pati yang akan dipecah menjadi glukosa (gula). Kandungan gula lain
dalam buah adalah sukrosa yang akan dipecah menjadi fruktosa dan glukosa.
Glukosa digunakan sebagian untuk proses respirasi sehingga kadar fruktosa lebih
tinggi dibanding glukosa maupun sukrosa (Winarno 2002).

10

Tabel 2 Suhu optimum untuk penyimpanan beberapa produk hortikultura
Komoditas

Suhu simpan
minimum (oC)

Gejala chilling injury

Apel

0–7

daging buah berwarna cokelat, rasa asam, tekstur
seperti spon.

Alpukat

7–13

penggelapan pada jaringan, pembentukan warna
yang tidak sempurna pada daging dan kulit buah,
tidak beraroma dan berbau, pematangan tidak
normal.

Pisang

> 13

buah masih berwarna hijau: cokelat dibawah
permukaan kulit
buah matang: kulit berwarna cokelat sampai hitam,
hilangnya rasa dan matang tidak normal.

Mentimun

7–10

permukaan buah tidak rata, terserang cendawan
berupa layu fusarium dan busuk lain yang
disebabkan bakteri.

Anggur

10–15

kulit buah berwarna cokelat yang tidak merata,
keluarnya air dari dalam dan luar jaringan serta
aroma seperti fermentasi.

Melon

7–13

kulit buah lunak, warna kelabu atau cokelat,
permukaan buah busuk.

Jeruk

2–5

sama seperti anggur

Mangga

> 13

warna buah kelabu/gelap, permukaan buah tidak
rata/bergelombang, gagal matang, aroma berkurang
dan rentan terhadap busuk buah akibat cendawan.

Papaya

7–13

terdapat lubang pada permukaan buah, warna buah
cokelat dan pematangan tidak sempurna.

Nenas

7–13

daging berair, diikuti dengan pencokelatan atau
hitam.

Tomat

7–13

tekstur seperti karet, daging berair, matang tidak
teratur dan biji berwarna cokelat.

Semangka

10–15

permukaan tidak rata, kehilangan aroma, warna
merah buah berkurang.

Sumber : Skog 1998.

METODOLOGI
Tempat, Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian dilakukan pada Maret-Juli 2013 di Laboratorium Siswadhi
Soeparjo dan Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian
(TPPHP) Departemen TMB Fateta IPB, Bogor. Bahan utama dalam penelitian ini

11

adalah buah pepaya kultivar Calina (IPB-9) berukuran antara 0.8–1.0 kilogram
yang dipanen pada indeks kematangan 2 seperti pada Gambar 3 sebanyak 270
sampel.

Gambar 3 Tingkat kematangan pepaya yang digunakan
Peralatan yang digunakan terdiri dari VHT chamber, thermorecorder, cold
storage, chamber respirasi, cosmotector, chromameter, refraktrometer, rheometer,
neraca analitik, blender, peralatan titrasi dan peralatan lain yang menunjang
penelitian.
Buah pepaya diperoleh dari kebun petani di daerah Semplak, Bogor. Setelah
buah dipanen, dilakukan sortasi kemudian dibungkus kertas koran dan
dimasukkan ke kardus untuk selanjutnya dibawa ke Lab. Siswadhi Soeparjo. Buah
dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan getah dan kotoran kemudian
dilakukan VHT pada suhu 46.5 oC selama 15 dan 30 menit setelah suhu pusat
buah mencapai 45.5-46.0 oC. Suhu buah selama VHT dicatat menggunakan
thermorecorder yang dihubungkan dengan termokopel. Setelah perlakuan panas,
buah dikeluarkan dari VHT chamber dan didinginkan dengan air mengalir hingga
suhu buah kembali normal dan dikeringanginkan. Setelah kering, buah dibawa ke
Lab. TPPHP dan disimpan sesuai dengan perlakuan suhu yakni suhu 5 oC, 13 oC
dan suhu ruang (26-30 oC). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Parameter Pengukuran
Parameter yang diamati terdiri dari:
1. Indeks chilling injury (Sayyari et al. 2011).
Indeks Chilling injury merupakan pengamatan yang dinilai secara individu
pada tiap sampel buah dengan 4 skala berdasarkan persentase gejala yang muncul
pada buah (pengeriputan kulit, pencokelatan maupun lubang pada buah).
Pengamatan dilakukan secara visual setiap 3 hari sekali pada buah yang akan
didestruktif. Kategori skor meliputi: 0 (tidak terdapat gejala), 1 (gejala 1-25%), 2
(gejala 26-50%) dan 3(>51%) dan dihitung berdasarkan rumus:
CII=Ʃ

)

12

Buah pepaya

Sortasi dan pembersihan

VHT suhu 46.5 oC
selama 15 menit

Tanpa VHT

VHT suhu 46.5 oC
selama 30 menit

Penyimpanan

Suhu 5 oC

Suhu 13 oC

Suhu Ruang (26-30 oC)

Pengamatan :
1. Respirasi setiap hari :
2. Perubahan mutu (tiap 3 hari) :
- Susut bobot
- Warna kulit dan daging buah
- Kekerasan
- Total padatan terlarut
- Kadar Vitamin C
3. Pengamatan chilling injury.
Gambar 4 Diagram alir penelitian
2. Laju respirasi
Penentuan laju respirasi dilakukan dengan mengukur perubahan gas CO2
yang dihasilkan buah pepaya. Pengukuran dilakukan dengan memasukkan buah
pepaya ke dalam stoples dengan volume 3310 ml. Stoples ditutup dan di
sekeliling penutup dilapisi lilin untuk mencegah kebocoran gas. Selang pada
penutup stoples ditutup dengan penjepit.
Volume gas CO2 diukur menggunakan cosmotector setelah buah disimpan
selama 2 jam, 4 jam dan 6 jam setelah penutupan. Pengukuran dilakukan setiap
hari selama penyimpanan. Laju produksi gas CO2 dan laju konsumsi O2
(ml/kg.jam) dihitung dengan persamaan Kays (1991) sebagai berikut:
R=

;

di mana: R = laju respirasi (ml kg-1.jam-1)
V = volume bebas ruang (ml)
W = berat segar produk (kg)
t = waktu (jam)
x = konsentrasi gas CO2 dan O2.(%)

13

3. Susut bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan selama penyimpanan setiap 3 kali sehari.
Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot sebagai berikut:
Susut bobot =

x 100%

keterangan: Wo = berat bahan diawal penyimpanan,
Wa = berat bahan diakhir penyimpanan.
4. Warna
Warna kulit dan daging buah diukur menggunakan chromameter untuk
mendapatkan nilai L, a* dan b*. Pengukuran warna kulit buah dilakukan pada
sampel yang sama setiap hari dan pengukuran warna daging buah dilakukan
secara destruktif setiap 3 hari sekali.
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan dengan nilai L=0 (hitam) dan
L=100 (putih). Nilai a* terdiri dari +a* yang menunjukkan warna merah dengan
nilai 0 hingga 60 dan –a*menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60.
Nilai b* terdiri dari +b* yang menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga
60 dan nilai –b* yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60. Hasil
pengukuran nilai a* dan b* dikonversikan ke dalam derajat hue (ohue) merupakan
deskripsi warna murni yang dominan dalam campuran beberapa warna melalui
persamaan:
o
hue = tan-1(b*/a*)
di mana ohue : 0 = warna merah keunguan
90 = kuning

180 = hijau-biru
270 = biru

Gambar 5 Sistem notasi warna Hunter
5. Kekerasan
Kekerasan diukur setiap 3 hari sekali menggunakan rheometer yang diset
dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm,
kecepatan penurunan beban 60 mm/menit dan diameter jarum/probe 5 mm.
Pengukuran dilakukan pada 3 titik yaitu pangkal, tengah dan ujung buah. Nilai
pengukuran dinyatakan dalam kgf. Prinsip kerja rheometer adalah penetrasi jarum
rheometer ke dalam buah sehingga jarum akan bergesekan dengan jaringan buah.

14

Buah yang matang akan lebih mudah ditembus jarum dibanding buah yang
mentah.
6. Total padatan terlarut (TPT).
Pengambilan data TPT dilakukan menggunakan refraktrometer digital setiap
3 hari sekali. Daging buah pepaya dihaluskan sampai diperoleh airnya. Air
tersebut ditempatkan pada hand refraktrometer. Sebelum dan sesudah pembacaan,
refraktrometer dibersihkan dengan aquades. Angka yang tertera pada layar
menunjukkan kadar total padatan terlarut, dinyatakan dengan satuan obrix.
7. Pengukuran kandungan Vitamin C (titrasi iodometri)
Kadar Vitamin C diukur menggunakan metode titrasi iodimetri (titrasi
langsung dengan larutan baku iodium 0.01 N). Indikator amilum 1% dibuat
dengan melarutkan 10 g pati dalam 1 l aquades yang sedang mendidih. Sampel
ditimbang sebanyak 10 g dan diblender kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur
100 ml. Sampel diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga tanda batas,
kemudian dikocok sampai homogen. Larutan sampel dipipet sebanyak 25 ml dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan indikator
amilum 1% sebanyak 1 ml. Dilakukan titrasi dengan larutan I2 0.01 N sampai
terjadi perubahan warna menjadi biru. Setelah didapatkan volume titrasi iodium,
maka kandungan Vitamin C dihitung dengan persamaan:
mg Vit.C/100 gram =

V titrasi sampel x fp x ekv x 100
Berat Sampel

keterangan : fp = faktor pengenceran (100 ml/25 ml)
ekv = equivalen (mg/ml), 1 ml iodium = 0,88 mg asam askorbat.
Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan faktorial yang disusun secara Acak
Lengkap (Faktorial RAL) dengan dua faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah
vapor heat treatment (V) yang terdiri dari 3 taraf yaitu tanpa VHT (V1), VHT
pada suhu 46.5 oC selama 15 menit (V2) dan VHT pada suhu 46.5 oC selama 30
menit (V3). Faktor kedua adalah suhu penyimpanan (T) yang terdiri dari 3 taraf
yaitu suhu 5 oC (T1), suhu 13 oC (T2), dan suhu ruang (T3).
Analisis data untuk menguji keseragaman/kehomogenan nilai tengah
menggunakan uji anova (analisis varians) pada tingkat kepercayaan 95% dan
diolah menggunakan Program SAS 9.1.3. Model linier aditif dari rancangan
faktorial RAL dengan dua faktor berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002)
adalah sebagai berikut:
Yijk =  + i + j + ()ij + ijk;
i = 1,..., a

k = 1,..., r

j = 1,..., b

di mana : Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan
ulangan ke k,
= komponen aditif dari rataan,

15

i = pengaruh utama faktor VHT,
j = pengaruh utama faktor suhu penyimpanan,
()ij = komponen interaksi perlakuan VHT dan suhu penyimpanan,
ijkl = pengaruh acak yang menyebar normal (galat percobaan).
Jika terdapat pengaruh perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Formula uji DMRT dalam Gasperz
(1991) dirumuskan sebagai berikut :
Rp = rp.
di mana : rp
S2
r

̅

= rp √

= wilayah nyata dari student (Tabel t-student)
= KT galat, dan
= jumlah ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Chilling Injury
Terjadinya chilling injury diawali dengan melemahnya fungsi jaringan dan
pada akhirnya tidak terjadi metabolisme di tingkat sel (Aguiar 2012). Bentuk
chilling injury terbagi menjadi dua yakni kerusakan primer dan kerusakan
sekunder. Kerusakan primer berkaitan dengan kerusakan di tingkat sel seperti
penurunan kelarutan asam lemak tak jenuh pada membran lipid atau terhambatnya
pembentukan senyawa di tingkat substrat yang pada akhirnya menimbulkan
kerusakan yang dapat dilihat secara visual (kerusakan sekunder) seperti
pencokelatan (browning), mengkerutnya kulit buah atau terdapatnya lubang pada
permukaan buah.
Seiring dengan meningkatnya susut bobot maka muncul kerutan pada kulit
buah pepaya. Berkerutnya kulit buah ini merupakan salah satu gejala chilling
injury, yang mulai terlihat pada hari ke-9 pada perlakuan tanpa VHT dan hari ke15 untuk perlakuan VHT penyimpanan suhu 5 oC. Perlakuan VHT selama 30
menit memiliki indeks yang lebih rendah dibanding perlakuan lain seperti yang
ditunjukkan Gambar 6. Hasil penelitian ini didukung oleh Kechinski et al. (2012)
yang menyatakan bahwa perlakuan panas secara fisik mampu mengatasi
kerusakan buah pepaya dengan membentuk lapisan kristaloid pada lapisan
epidermis sehingga buah tidak rentan terhadap kerusakan. Perlakuan panas
menurut Schirra et al. (2005) mampu meningkatkan ikatan kalsium dan senyawa
pektin pada dinding sel sehingga menyebabkan dinding sel lebih kuat. Oleh sebab
itu perlakuan panas dapat menekan terjadinya chilling injury.

16

Indeks chilling injury (skor)

0.14
0.12

Tanpa VHT
VHT 15 menit
VHT 30 menit

0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
0

3

6

9

12

15

18

21

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 6 Indeks chilling injury setelah 21 hari penyimpanan pada suhu 5 oC
Terjadinya chilling injury juga berhubungan dengan degradasi lipid pada
membran sel. Wang (2010) menyatakan kandungan lipid membran pada jaringan
yang resisten terhadap chilling injury cenderung lebih tinggi dibanding jaringan
yang rentan. Lipid pada membran berada dalam keadaan tidak larut dan akan
menjadi larut jika didegradasi oleh enzim lipoxygenase (LOX). Penyimpanan
dingin dapat meningkatkan aktivitas enzim tersebut untuk mendegradasi lipid
membran (Wongshere et al. 2009). Perlakuan panas lain berupa hot water
treatment yang dikenakan pada buah pisang dapat menekan aktivitas enzim LOX
(Promyou et al. 2008). Diduga dengan adanya pemanasan (heat treatment) dapat
menekan aktivitas enzim tersebut sehingga kelarutan lipid membran menjadi
berkurang. Membran dengan kandungan lipid yang lebih tinggi dapat
mempertahankan kehilangan air (Maaleku et al. 2006) sehingga gejala chilling
injury yang berupa layu (keriput) sebagai akibat hilangnya air dari dalam sel dapat
dikurangi.
Secara fisiologis perlakuan panas dapat menyebabkan jaringan mampu
melawan kerusakan selama penyimpanan dingin (Yang et al. 2009) karena
perlakuan panas dapat mengaktifkan suatu protein yang