ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
”Perang agama melanda dunia”, begitulah kira-kira salah satu tema besar dimedia massa dunia pada beberapa bulan lalu, tak terkecuali Indonesia, baik
antar suku, bahkan juga ada perang agama antar Negara yang terjadi antara Palestina dengan Israel. Ironis memang sungguh fenomena ini, umat beragama
saling pukul, bahkan mengambil hak orang lain, dan yang lebih menyedihkan sering memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Keyakinan yang terbangun bahwa
agama membawa keselamatan bagi umat manusia ternyata mentah dilapangan. Karena keselamatan hanya dimiliki serta dimonopoli oleh pemeluknya sementara,
bagi umat lain ia adalah petaka. Namun, sebetulnya tidak fair juga mengembalikan penyebab konflik antar
umat beragama kepada agamanya. Agama dituduh sebagai dalang atas terjadinya bentrok pengikutnya dengan agama lain. Ada sebab diluar agama yang
deterministik dan dominant dalam suatu kasus, terutama faktor ekonomi serta kepentingan-kepentingan tertentu dalam hal politik. Meski begitu kita juga tak
bisa menutup mata bahwa ada sisi agama yang bisa menjadi pemicu terjadinya konflik tersebut.
Keyakinan berlebihan bahwa agamanyalah yang paling benar barangkali menjadi aktor utama. Pandangan yang melihat “kebenaran” agama sendiri bersifat
mutlak, sedangkan agama-agama lain itu tidak benar. Sehingga konsekuensinya umat agama lain harus dihimbau untuk masuk kebenaran dalam agama sendiri.
1
x Dikalangan Kristen, pandangan ini banyak ditemukan dikalangan
penganut paham fundamentalisme yang gemar menampilkan ayat-ayat pada Al- Kitab yang didalamnya yesus berkata “aku adalah jalan dan kebenaran dan
kehidupan, tidak seorang pun sampai kepada bapak kecuali melaui aku”, atau kutipan pernyataan bahwa metode Satipattahana adalah ”satu-satunya jalan”
menuju pembebasan satipattahana-sutta atau mengutip pernyataan dari mahaparinibbani-sutta bahwa ajaran Budhalah yang mengandung empat
kebenaran suci dan jalan suci berunsur delapan, sampai satu-satunya ajaran yang dapat membawa kepada pembebasan.
1
Untuk umat Islam, dalam ceramah-ceramah agama seringkali kita mendengar da`i atau mubaligh yang mengutip ayat “sesungguhnya agama yang
diridhai oleh Allah SWT adalah Islam”
+ ,- .
01 23
4 56 7
3 8
. 9:.
4 ;= 4
3 ?AB
D D
4 EF
GH8 ;ID
J+E KL
+M .N
OPQR
“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka.
barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” Ali-Imran, ayat 19
1
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta;kompas, 2001, Hal. 13
xi Ayat ini ditafsiri bahwa Islamlah agama yang paling benar, sementara
agama diluar Islam adalah salah, kafir. Untuk itu mereka harus di Islamkan dan seandainya mereka tidak bersedia mau tak mau harus kita perangi.
Ini didasarkan pada ayat lain, “ Tidak akan ridha orang Yahudi dan Nasrani sampai kamu mengikuti agama mereka”, Al-Baqarah, ayat 120.
3H ST
U?H V
;WXY J. Z1
[ +\ ST]
_ I
`]aH ?5XY 9b
?c 0F
[ 6
6 [
e8f RgRH
+ V
56 7 6
4 [
hi 7 3
3 K 8
. E
VH 3
3 jFkj
Z1 mJ-\ n
OPoKR
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah
petunjuk yang benar. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung
dan penolong bagimu”
Dalam ayat ini jelas bahwa dikesankan bahwa mereka tidak bisa toleransi terhadap umat Islam untuk memeluk sampai mereka memeluk agama keduanya,
yaitu agama mereka. Tentu saja exclusifisme seperti ini amat berbahaya bagi pluralitas agama
yang menjadi ciri khas Negara kita. Negara ini diakui sebagai negara dengan pluralisme agama yang mengesankan dan sekaligus bisa membina pluralisme
agama bagi Negara lain. Dengan sangat jujur kita perlu mengakui bahwa ketika kita berbicara
seputar dakwah diera globalisasi, kembali kita memotret keberhasilan dakwah Nabi Muhammad dalam menyiarkan ajaran Al-Qura`an dan Al-Hadits pada
xii segenap stratafikasi masyarakat zaman, tanpa alat teknologi yang menyertainya.
Rahasia keberhasilan Nabi terletak pada satunya lisan serta perbuatan sehingga melahirkan budi pekerti yang luhur. Karena secara sadar diakui bahwa Nabi
SAW adalah seorang teladan figur da`i yang handal dalam sepanjang sejarah Islam
2
. Ironisnya, kemajuan zaman serta kecanggihan alat informasi belum
mampu menyaingi keberhasilan yang pernah dicapai oleh pencetak kota madani ini. Namun hal tersebut bukan menjadi suatu alasan bagi umat Islam khususnya
para da`i untuk menyerah berinovasi seputar strategi dakwah dan selalu berupaya tertantang mencari strategi baru untuk merangkul umat manusia menuju jalan
keshahihan. Dalam konteks hubungan antar agama rentetan konflik yang terjadi di
beberapa belahan dunia beberapa waktu lalu menjadi bukti dari apa yang telah dipaparkan diatas. Berangkat dari asumsi ini, sangat urgen saat ini untuk
melakukan “pembumian” wacana pluralisme yang mengusung toleransi dan inklusifisme beragama yang berakar dari agama masing-masing dikalangan
bawah. Karena wacana tersebut terlalu elitis, hanya dikonsumsi oleh golongan intelektual saja. Sementara dikalangan kebawah sama sekali tidak tersentuh. Ia
‘tercipta’ dan ‘bergerak’ hanya pada level elit intelektual, tidak mengakar pada masyarakat kebawah. Proses penciptaan, pematangan serta penyebaran wacana
pun lebih banyak bergerak disekitar level elit ientelektual semata.
3
2
Musdah Mulis dkk, Dakwah dan Globalisasi siklus dakwah jawaban terhadap Globalisasi, Jakarta: Elsas,2002, Hal. 3
3
Sukidi, Tinjauan Islam atas Pluralime Agama, Kompas, 18 Juni 2002
xiii Ini agak aneh memang, mengusung wacana di elit politik intelektual, yang
sebenarnya pada ranah ini, bukan sama sekali problem yang serius. Bukankah, misal toleransi, inklusifisme serta pluralisme dikalangan intelektual kita sudah
menjadi “pandangan bersama”? jadi, what`s problem? Justru pada kalangan bawah yang rentan untuk diprovokasi sentiment keagamaannya, terutama
dikalangan umat Islam, wacana ini penting untuk ditanamkan. Untuk itu, mau tak mau wacana ini harus disosialisasikan untuk mencegah
konflik vertical terjadi lagi, dan sarana yang paling efektif dan efisiensi tentu saja melalui media massa. Dimana saat ini ,media telah menjadi sumber dominan,
bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tapi juga untuk masyarakat dan kelompok semata kolektif, media menyuguhkan
nilai-nilai dan penilaian normatif.
4
Komunikasi dengan media massa dewasa ini menurut para ahli komunikasi sangat besar pengaruhnya dalam membantu merubah masyarakat.
Eksistensi media massa pada saat ini seperti tv, radio, surat kabar, majalah serta media massa lainnya, Soejono Soekanto berpendapat “Perubahan pada masyarakat
dunia ini merupakan gejala normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat kebagian-bagian dunia lainnya berkat adanya komunikasi yang modern
5
. Dengan melihat urgensi media dalam perkembangan pluralisme,
Republika sebagai surat kabar yang tergolong sudah cukup profesional telah memenuhi kriteria sebagai surat kabar yang menjanjikan fungsi itu dikalangan
umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Pilihan ini didasarkan
4
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Jakarta; 1996, Hal. 3
5
Soejono Soekanto, Sosiologi Pengantar, Jakarta; Rajawali Pers,1982, Cet.ke-1, Hal. 305
xiv pada pilihan edisi yang diangkat pada bulan Februari 2009, untuk mengetahui
bagaimana surat kabar Republika sebagai sebuah media massa yang dikenal Islami ini menyampaikan sebuah pesan yang disuguhkan kepada khalayak,
penelitian ini hendak menguak pesan tersebut adakah sinkronisasinya atau hubungan dengan konflik yang terjadi di jalur Gaza, yaitu antara Palestina dengan
Israel yang terjadi pada bulan Januari-Februari 2009 untuk diangkat sebagai judul skripsi mengenai Analisis Isi Pesan Dakwah Rubric Hikmah Edisi Februari 2009
dalam hal pluralisme antar Negara, dan alas an ini yang membedakan dengan penelitian analisi isi pesan lain.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. 1. Batasan Masalah