Telaah Pustaka Tentang Kriminalitas Di Amerika Serikat (Sebuah Usulan Intervensi)

(1)

TELAAH PUSTAKA TENTANG

KRIMINALITAS DI AMERIKA SERIKAT

(SEBUAH USULAN INTERVENSI)

DISUSUN OLEH:

ARI WIDIYANTA, M.Si., psikolog

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

KATA PENGANTAR... iii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 5

C. PERTANYAAN PENELITIAN ... 5

BAB II LANDASAN TEORI A. PENGERTIAN KRIMINALITAS...6

B. JENIS KEJAHATAN...7

C. PENYEBAB KEJAHATAN ...9

BAB III KESIMPULAN DAN INTERVENSI...18


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas fungsional sebagai tenaga pengajar di Universitas Sumatera utara.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, karena itu penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun untuk penyempurnaan tulisan ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih pada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Psikologi, rekan-rekan dosen dan segenap pegawai dilingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di Fakultas Psikologi yang telah memberi dukungan dan kesempatan untuk mengabdi dilingkungan Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Iskandar, bapak Jumadi dan Pak Anto yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan berarti bagi semua pihak.

Medan, 23 Juni 2009

Ari Widiyanta, M.Si., psikolog NIP:132283163


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Istilah kriminal telah dilihat dari sudut pandang yang berbeda, beberapa orang menyamakannya dengan dosa atau dusta; dan defenisi lainnya sebagai perilaku yang membahayakan sosial atau perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Para ahli bidang sosiologi menganggap kejahatan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bagaimanapun juga, ”jika kejahatan itu didefenisikan sebagai pelanggaran hukum, pegawai negeri dan ahli politik diizinkan untuk menilainya dari dasar-dasar sosial dan konsep ilmiah (Stark 1996). Sementara Gottfredson (1990) mendefenisikan kejahatan itu sebagai hal yang terpisah dari defenisi dari undang-undang dimana kejahatan merupakan tindakan yang berbahaya atau usaha penipuan dalam pencarian dari self-interes.

Kappeler dkk (1996) menjelaskan bahwa data statistik dari Uniform Crime

Reports (UCR) yang disesuaikan dengan data dari Federal Bureau of

Investigation (FBI) menunjukkan data-data kejadian-kejadian yang

mengkhawatirkan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, pencurian, pencurian kendaraan bermotor yang dilaporkan kepada kepolisian. Hal ini perlu juga mempertimbangkan bahwa banyak terjadi pembunuhan yang secara tetap namun tidak dilaporkan. Dalam hal ekstrim yang lain, mungkin terdapat kejadian pemerkosaan, dimana yang melakukan serangan seksual adalah orang yang telah dikenal, dimana tidak pernah dilaporkan kepada polisi dan oleh karena itu tidak menjadi perhitungan UCR. Selanjutnya Kappeler dkk (1996) juga berpendapat


(5)

bahwa rata-rata kejadian merupakan manipulasi politik. Sebagai contoh, pemerintahan Nixon dituduh pada manipulasi birokratis dalam melaporkan kejadian oleh polisi. Pemerintahan Nixon menginginkan rata-rata kejadian berkurang sehingga hal tersebut dapat menyatakan kesuksesan dalam masalah kejadian perkelahian.

Satu kritik yang penting untuk data UCR adalah bahwa data yang mereka hadirkan tersebut jauh dari keilmiahan. FBI menciptakan alat untuk memperbesar kejadian dan ancaman publik. Sebagai contoh: waktu kejadian, UCR memberitahu kita bahwa kejahatan kriminal terjadi setiap dua detik. Kejadian yang bengis terjadi setiap 16 detik. Suatu pemerkosaan terjadi setiap lima menit. Rata-rata ini memperbesar kesan jumlah dalam lingkungan sosial (Kappeler dkk 1996). Hal yang paling menarik adalah, pada akhir 1994, FBI menunjukkan adanya laporan kejahatan yang melaporkan kejadian yang mengkhawatirkan kepada polisi bahwa kejahatan telah mengalami kemunduran selama tiga tahun berturut-turut. (Bureau of Justice Statistics 1997 dalam Levin, 2000).

Satu sumber tetap yang lebih baik daripada UCR untuk menetapkan rata-rata dari banyak kejahatan merupakan National Crime Victimization survey (NCVS). Sejak tahun 1972, Departemen Peradilan telah mengadakan survey tahunan pada 100.000 rumah tangga seberang kota, responden menanyakan jika mereka menjadi korban kejahatan di tahun yang lalu. Ukuran dari kejadian yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan, survey ini memberitahukan kita bahwa kejahatan telah berkurang di Amerika hampir dua dekade. Survey penipuan juga memberitahukan kita bahwa banyak kejahatan yang terjadi tidak sekeras kejahatan yang kita bayangkan. (Kappelar dkk 1996).


(6)

Orang takut dengan kejahatan pada hal fakta yang diberikan bahwa kejahatan menurun, tetapi ketakutan akan kejahatan tidak berkurang. Ini muncul karena 3 alasan utama, mengapa ketakutan menyebar luas. Pertama, media sangat gencar mengubah persepsi kita mengenai kejahatan. Kedua, televisi dan tabloid menampilkan hampir setiap hari berita mengenai kejahatan, yang kebanyakan kejahatan yang kejam. Ketiga, stasiun berita lokal umumnya menampilkan berita mengenai pembunuhan, perkosaan, dan kejahatan kejam lainnya.(Levin dkk, 2000)

Selanjtnya Levin dkk (2000) menyatakan bahwa konsekuensi dari kejahatan meliputi kesulitan ekonomi, kerugian sosial dan psikologis. Kejahatan dapat membawa kepada kematian, sakit fisik yang serius, kehilangan benda-benda, ketergantungan obat-obatan, dan trauma emosi. Kejahatan juga merusak komunitas dan masyarakat dengan menyebabkan rasa takut, sinis, dan apatis.

Ada lima kategori kerugian finansial dan ekonomi dari kejahatan menurut Conklin (1995). Pertama adalah kehilangan secara langsung, misalnya: kehilangan rumah (gedung) karena dibakar atau dirusak dan pengerusakan lingkungan. Kedua adalah kehilangan kepemilikan yaitu pemindahan barang dari pemilik sah kepada si kriminal, misalnya perampokan bank, pencurian mobil. Ketiga adalah berhubungan dengan kerugian dari kejahatan berupa kekerasan, misalnya kerugian medis bagi korban kekerasan. Keempat adalah kerugian yang diasosiasikan dengan produksi dan penjualan barang dan jasa ilegal, misalnya: obat-obatan, perjudian, prostitusi. Dan yang kelima adalah kerugian penting dari kejahatan itu sendiri yang menyangkut peradilan, misalnya: polis, pengadilan dan penjara. Belum ada kejelasan estimasi kerugian ekonomi dari kejahatan.


(7)

Estimasi kerugian dari kejahatan itu sangat tergantung dari jenis dari kejahatan yang dilakukan. Istilah kriminal telah dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa menyamakannya dengan dosa atau dusta; dan defenisi lainnya sebagai perilaku yang membahayakan sosial atau perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Para ahli bidang sosiologi menganggap kejahatan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bagaimanapun juga, ”jika kejahatan itu didefenisikan sebagai pelanggaran hukum, pegawai negeri dan ahli politik diizinkan untuk menilainya dari dasar-dasar sosial dan konsep ilmiah (Stark 1996).

Menyalahkan peningkatan kekejaman kejahatan pada ketidakmampuan sistem pengadilan kejahatan atau pada peningkatan pengangguran atau pada ketegangan antar ras merupakan hal yang populer. Banyak anggota masyarakat Amerika yang sangat fokus terhadap kejahatan dan kekerasan. Seriusnya bahaya kejahatan dan bagaimana pencegahannya sehingga sangat dibutuhkan sistem peradilan untuk dapat bekerja dengan baik, walaupun memang sulit untuk menentukan solusi yang tepat dan akurat (levin dkk 2000).

Selanjutnya Levin dkk (2000) menyatakan bahwa terlihat institusi-institusi sosial sangat diharapkan untuk saling bekerja sama dalam menghadapi dan mencegah kejahatan. Faktor-faktor seperti kemiskinan, rasisme dan sexism menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Program pemerintah sangat dibutuhkan namun juga dibutuhkan usaha dari anggota masyarakat lokal dimana kekerasan kejahatan menjadi masalah utama mereka. Meskipun tingkat kekerasan kejahatan sudah tidak meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, United States tetap menjadi pengendara kejahatan serius.


(8)

B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui intervensi yang tepat untuk menangani kasus kriminal di Amerika Serikat.

C. PERTANYAAN PENELITIAN

Program intervensi apakah yang sebaiknya dilakukan untuk mengurangi tingkat kriminalitas (kejahatan) di Amerika Serikat ?


(9)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN KRIMINALITAS

Istilah kriminal telah dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa menyamakannya dengan dosa atau dusta; dan defenisi lainnya sebagai perilaku yang membahayakan sosial atau perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Para ahli bidang sosiologi menganggap kejahatan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bagaimanapun juga, ”jika kejahatan itu didefenisikan sebagai pelanggaran hukum, pegawai negeri dan ahli politik diizinkan untuk menilainya dari dasar-dasar sosial dan konsep ilmiah (Stark 1996). Gottfredson dan Hirschi (1990) mendefenisikan kejahatan itu sebagai hal yang terpisah dari defenisi dari undang-undang dimana kejahatan menunjuk kepada ”tindakan yang berbahaya atau usaha penipuan dalam pencarian dari self-interest”

Dalam undang-undang, kejahatan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Gagasan dari larangan kejahatan berarti bahwa pelanggaran hukum itu suatu pengakuan dalam hukum itu. Tetapi ahli sosiologi berpendapat bahwa peraturan yang sah mendefenisikan suatu kejahatan juga harus menggambarkan dukungan pada perizinan masyarakat dan kehadiran dari hal yang mendasari adat-istiadat yang mengingat pentingnya kesejahteraan dan kelangsungan hidup mereka. Reckless (dalam Levin 2000) berpendapat bahwa sesuai peraturan undang-undang modern yang mendefenisikan bahwa pelanggaran baru harus berdasarkan pada opini publik pada peraturan-peraturan dan apa yang mendasari peraturan itu.


(10)

B. JENIS KEJAHATAN

Reiman (1998) menyatakan bahwa kita menggunakan label kejahatan yang tidak konsisten. Membunuh seorang istri atau tetangga disebut membunuh, tetapi ketika ada kekuatan hukum yang menyebabkan kematian, orang terhindar, hal ini umumnya tidak dapat disebut dengan pembunuhan.

Menurut Sutherland (dalam Levin 2000) terdapat beberapa jenis kejahatan. 1. white-collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan berstatus sosial tinggi selama ia bekerja. Conklin menyatakan bahwa kerugian dari white-collar crime tiga kali lebih tinggi dari kejahatan jalanan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa white-collar crime meliputi menentang hukum, penggelapan uang, price-fixing, pelanggaran keselamatan industri, dan kesalahan representasi dari iklan.

2. Organized Crime adalah aktifitas dari suatu grup dengan hirarki organisasi, dimana anggotanya menjalankan bisnis ilegal atau bisnis sah dengan kekuatan yang tidak sah. Organized Crime dilaksanakan oleh organisasi awalnya didesain dengan melibatkan aktifitas kriminal untuk keuntungan pribadi. Prevalensi dari organized crime membuat kekerasan kejahatan menjadi karakteristik spesial. Di kota-kota di Amerika, pembunuhan menjadi teknik rutin untuk membuat kesepakatan dengan bisnis lawan dengan penyelundup. Organized crime menyediakan servis ilegal seperti obat-obatan dan perjudian. Tindakan dari deviasi elit secara tipikal dilakukan dengan resiko kecil karena pengizinan legal biasanya tidak tegas dalam kekerasan kejahatan. Deviasi elit meningkatkan pertumbuhan dan memelihara organized crime.


(11)

Konsekuensi dari kejahatan remaja menjadi kekhawatiran yang luar biasa dalam masyarakat modern. Beberapa negara bereaksi dengan frustasi terhadap remaja dan kaum muda mengenai kejahatan. Contohnya terjadi peningkatan kekerasan kejahatan remaja. Misalnya: berdasarkan voting di Massachusetts menyatakan bahwa pembunuh sama mudanya dengan usia 14 tahun, di Oregon usia termuda pelaku kejahatan adalah 14 – 12 tahun dan di Wisconsin pada usia 10 tahun.

Siegel dan Senna (1997), menyatakan bahwa kriminal remaja berpengaruh penting dalam statistik kriminal di suatu negara. Misalnya, selama periode sepuluh tahun jumlah tahanan remaja meningkat 28 % dan tahanan remaja dengan kasus kriminal yang kejam meningkat 75 %. Namun, peningkatan remaja kriminal tidak dapat dijelaskan melalui peningkatan jumlah populasi remaja.

Banyak aksi agresi remaja terlihat sebagai tindakan yang tidak memiliki motivasi (random street violence). Levin dan McDevitt (1993) mengargumentasikan bahwa beberapa insiden ini disebabkan oleh rasa benci atau terpengaruh. Dalam analisis mereka mengenai hate-inspire crime mereka mengklasifikasikanya ke dalam tiga tipe, yaitu:

1. thrill-seeking hate crime, meliputi remaja yang suka menampar golongan

kecil atau merusak milik orang lain.

2. reactive hate crimes, yaitu tingkah laku kriminal dimana individu

melawan orang yang menghalangi jalan hidupnya.

3. mission hate crime, tindakan kriminal yang dimotivasi oleh keinginan

untuk membunuh orang yang mengancam kepercayaan agamanya dan mencari ras yang murni.


(12)

Gank usia belasan harus menjadi perhatian. Hal yang berhubungan dengan gank remaja ini adalah substance abuser usia remaja dan drug traffikers. Gank yang menggunakan obat-obatan terlarang ini merekrut remaja karena remaja bekerja dengan mudahnya, kebal akan hukuman kriminal yang berat, nekat dan mau mengambil resiko (Siegel and Senna, 1997).

Di kebanyakan negara, institusi lokal telah mensponsori sejumlah program yang efektif untuk menyediakan alternatif kesehatan dalam bentuk harapan, bimbingan, dan pengawasan untuk anak muda, misalnya: program gun-buy back

dan midnight basketball di gereja-gereja, konflik resolution dan program

mentoring di sekolah-sekolah umum, beasiswa di kampus, summer jobs dan aktivitas setelah sekolah yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan lokal (Levin dkk, 2000).

C. PENYEBAB KEJAHATAN

Levin dkk (2000) menyatakan bahwa ilmuwan sosial beranggapan bahwa dengan memahami penyebab dari kejahatan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengurangi kejahatan tersebut. Selanjutnya Levin dkk (2000) menyimpulkan bahwa terdapat tiga penyebab teoritis dari kejahatan yaitu individual, cultural, dan social.

1. Individual

Pada abad 18 dan 19, para ilmuwan beranggapan bahwa kejahatan merupakan penyimpangan dari karakteristik biologis (Beirne 1993). Disebutkan juga bahwa kekerasan dan kriminalitas merupakan pengaruh genetik. Faktor genetik ini juga menentukan penyakit mental, seperti schizophrenia dan gangguan


(13)

manic-depressive, bisa muncul, dan penderita penyakit tersebut mengarah kepada kekerasan.Tentu saja, kecenderungan untuk memandang perilaku kejam sebagai gejala gangguan mental boleh jadi hanya usaha yang efektif untuk mengalokasi dan memahami dasar lingkungan dari kejahatan dan kekerasan Perbedaan individual juga mempengaruhi perilaku kejahatan, beberapa peneliti juga berpendapat mengenai penjelasan psikologis dari kejahatan. Kriminolog, menyatakan mengenai sosiopath. Mereka sangat kejam membunuh korbannya, kurangnya simpati dengan korban mereka, dan pintar memanipulasi dan memanage kesan mereka.

Kriminolog percaya bahwa lingkungan memainkan peran yang penting. Menurut praktisi kesehatan mental, sociopathic merupakan kegagalan individu menjalin hubungan dengan orangtua atau orang lain yang berarti pada masa kanak- kanak awal.

2. Cultural

Robert Merton berpendapat bahwa tipe tertentu dari perilaku kejahatan merupakan respon yang dikarakteristikan sebagai American Cultural yaitu sebuah budaya yang menekankan bahwa kesuskesan itu tidak dipandang secara sosial.

Merton memandang United States sebagai sebuah kelompok masyarakat egalitarian dalam ideologinya tetapi tidak sesuai dengan tujuannya. Perbedaan antara ideology dan reality membuat ketegangan pada banyak orang. Secara

struktural penilaian sosial dalam meraih tujuan sama dengan cultural theory.

Merton mengidentifikasikan 5 respon untuk ketegangan ini : a. Conformity


(14)

b. Innovation

c. Ritualism

Orang menyerah dengan keinginannya dan memusatkan pada apa yang ingin dicapai oleh budaya.

d. Retreatism

Adaptasi dengan melepaskan tujuan yang diinginkan dan tidak conform dengan institusi tertentu.

e. Rebellion

Pengasingan dari legitimate dan penilaian.

3. Structural

Durkheim (dalam Levin dkk) adalah salah satu penemu Sociological Criminology. Dia percaya bahwa tidak ada perilaku yang secara intrinsic berupa

tindakan kriminal. Seperti pendapatnya dalam The Division of Labor in Society,

“sebuah perilaku dikatakan kriminal ketika menyinggung kekuatan, struktur kesadaran kolektif yang terdefinisi dengan baik. Tidak seharusnya orang mengatakan bahwa suatu perilaku menyinggung suatu kesadaran umum karena perilaku itu termasuk tindakan kriminal, tetapi menjadi kriminal karena menyinggung kesadaran.”

Durkheim juga berpendapat bahwa kejahatan memiliki fungsi yang spesifik bagi lingkungan sosial. Salah satu fungsinya adalah perilaku yang dikatakan kejahatan tentu akan diberi hukuman. Fungsi dari hukuman bukan semata-mata alat untuk membalas dendam, pencegahan, atau perbaikan perilaku. Fungsi yang sebenarnya adalah untuk memelihara dan memperkuat solidaritas sosial.


(15)

Durkheim menyatakan bahwa kejahatan itu normal. Dia menyatakan bahwa kejahatan itu tidak dapat dihindari; tidak akan ada masyarakat yang dapat melepaskan diri darinya. Jika tidak ada kejahatan, maka masyarakat menjadi tidak sehat–masyarakat akan secara total dokintrol, mengarah pada level otoriter yang berbahaya.

Marxist memiliki perspektif yang berbeda mengenai kejahatan. Marx dan Engels (dalam Levin, 2000) berpendapat bahwa hukum memiliki dasar ideologis, bahwa sejumlah kejahatan di masyarakat modern dihasilkan dari kondisi dasar masyarakat kapitalis. Selanjutnya mereka memfokuskan pada tiga dimensi yang terpisah ketika menganalisa hubungan antara kejahatan dan kapitalisme. Dimensi pertama, kejahatan dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sesuatu yang digambarkan secara moralistic. Dimensi ayng kedua, kejahatan dan demoralisasi, dihubungkan dengan kapitalisme dengan demoralisasi yang besar. Marx dan Engels berpendapat bahwa kondisi kerja di bawah kapitalisme dapat mengarahkan terjadinya kompetisi di antara para pekerja. Kompetisi ini dapat mengarahkan pada demoralisasi yang besar dan menyebabkan munculnya kejahatan.

Selanjutnya Levin dkk (2000) menyebutkan bahwa hal yang terpenting

untuk menjelaskan kejahatan adalah dengan labeling theory, dinamakan begitu

karena teori labeling berpendapat bahwa kelompok sosial mengidentifikasi penyimpangan atau kejahatan dengan cara pertama kali membuat aturan mengenai tindakan apa yang dikatakan sebagai penyimpangan dan kemudian menerapkan aturan itu terhadap sebagian orang yang dikatakan melakukan penyimpangan dan


(16)

merupakan the agents of control, yang berfungsi pada kepentingan masyarakat sebagai unit yang kuat, yang memberi label terhadap yang lemah.

Sutherland (dalam Levin, 2000) mengemukakan teori differential

association yang menjelaskan mengenai proses dimana seseorang belajar untuk

melakukan kejahatan dan juga konten apa yang dipelajari dari tindakan tersebut. Sutherland berpendapat bahwa perilaku criminal itu dipelajari, sama seperti perilaku lainnya. Intinya adalah bahwa orang-orang melakukan kejahatan karena

mereka memiliki hubungan yang lebih dengan pola pro-criminal daripada dengan

pola anti-criminal. Teorinya secara umum dapat diterima tetapi mendapat kritikan

mengenai asumsi bahwa orang-orang melakukan kejahatan saat mereka berhubungan dengan kejahatan.

Akers (1996) memiliki teori mengenai proses asosiasi yang berbeda dengan Sutherland dan memisahkannya dengan prinsip perilaku lainnya. Perkembangan

teori Aker berfokus pada empat konsep utama: differential association,

definitions, differential reinforcement, imitation.

Differential association digambarkan sama seperti definisi yang

dikemukakan oleh Sutherland. Definition merupakan sikap seseorang atau berarti

bahwa seseorang melekat dengan perilaku yang diberikan.

Differential reinforcement merupakan keseimbangan antara antisipasi dan actual rewards dengan punishment yang mengikuti atau kosekuensi dari suatu perilaku.

Imitation merupakan meniru perilaku setelah melakukan observasi terhadap perilaku orang lain yang mirip dengan perilaku kita.


(17)

Teori Aker memiliki lingkup yang lebih luas dan tidak mengandung penjelasan umum mengenai hukum, keadilan kejahatan, atau aspek struktural masyarakat yang memiliki dampak terhadap kejahatan.

Criminology yang sederhana mengabaikan analisa terhadap wanita. Rafter dan Heidensohn (1995) menyatakan bahwa kriminology selalu lebih maskulin daripada ilmu sosial lainnya. Banyak feminist berpendapat bahwa wanita yang

melakukan kejahatan tidak dapat dipahami dengan menggunakan male-centered

theorist. Wanita biasanya melakukan kejahatan yang berbeda dari pria dengan

alasan yang berbeda.

Kenakalan remaja dan broken home sering dilihat sebagai variable yang

berhubungan. Penelitian terkini menemukan bahwa faktanya terdapat hubungan antara kriminalitas dan struktur keluarga. Analisa kejahatan wanita membuktikan hubungan ini. Lebih dari setengah jumlah wanita yang melakukan kejahatan melaporkan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual selama masa kanak-kanak. Banyak dari kejahatan itu dilakukan oleh anggota keluarga mereka sendiri.

Dalam studi klasik, Silberman (1978) berpendapat bahwa kejahatan merupakan hasil dari prinsip ketidaksamaan dan perbedaan ras. African Americans secara tidak seimbang menunjukkan angka statistic mengenai penyimpangan, meskipun hal ini menjadi fenomena terhadap ras yang lainnya: sebagai kelompok yang berada pada golongan kelas menengah, partisipasi mereka terhadap kejahatan menurun. Silberman berpendapat bahwa African Americans secara turun-temurun diperlakukan dengan buruk dan ditindas, dan hal itu membuktikan bahwa mereka tidak lebih menyimpang di masa lalunya.


(18)

Beberapa ilmuan sosial berpendapat bahwa sistem peradilan kriminal itu membangkitkan kejahatan dan kekarasan di United States. Tonry (1995) berpendapat bahwa sistem peradilan kriminal di Amerika merupakan rasis. Lebih khusus, ia menegakkan bahwa ukuran kejahatan kejam yang dibuat sejak 1980 telah ditumbangkan dengan kasar pada orang amerika kulit hitam dari pada orang kulit putih. Menurutnya ketidaksesuaian sebagian kecil terjadi karena pola kejahatan dan sebagian besar terjadi karena perkembangan polotik. Pertama, anggota partai republican dalam pemilihan “memainkan kartu ras” dengan menggunakan slogan anti kejahatan dan mengiklankan kampanye dengan tujuan mengeksploitasi ketakutan orang kulit putih terhadap kejahatan orang kulit hitam, khususnya yang laki-laki.

Selama data populasi penjara disusun, orang kulit hitam dengan tidak proporsional telah digambarkan sebagai tahanan. Ditambah lagi, sejak tahun 1980 persentasi kulit hitam yang menjadi tahanan meningkat drastis. Alasan yang ada mungkin karena bias yang melekat dalam proses penahanan. Sebagai contoh penggunaan obat-obatan terlarang, menurut Tonry (1995), orang kulit hitam tidak kelihatan seperti orang kulit putih yang menggunakan obat-obatan terlarang melainkan ditangkap dan dipenjarakan karena pelanggaran obat-obatan terlarang dalam rata-rata yang tinggi. Alasannya mungkin karena adanya kesesuaian kesepakatan bagaimana penggunaan obat-obatan yang diperbolehkan.

Selanjutnya Tonry (1995) menyatakan bahwa hukuman yang keras untuk kejahatan obat-obatan lebih ditujukan pada orang kulit hitam dan latin dari pada orang kulit putih dalam penahanan dan penjara.


(19)

Price dan Sokolof (1995) berpendapat bahwa hukum dibuat dalam bagian besar oleh dan untuk kelas sosial yang dominan. Dalam masyarakat kita biasanya orang ditahan karena melakukan pelanggaran terhadap properti, terhadap ketentraman public, dan terhadap individu-individu.

Menurut Price dan Sokolof (1995) bahwa sejak tahun 1989, wanita memiliki kemungkinan yang lebih besar dari pada pria untuk di penjara atas tuduhan penggunaan obat-obatan terlarang. Lebih dari sepertiga dari seluruh wanita dalam penjara lokal dan sekitar 60 persen dari wanita dalam tahanan federal dihukum karena pelanggaran obat-obatan terlarang.

Paling sedikit di 24 negara bagian, terdapat wanita yang ditahan dan dituntut setelah mereka melahirkan anak mereka yang ternyata setelah dites dalam darahnya terkandung obat-obatan terlarang (Levin dkk, 2000).

Levin dkk (2000) menyatakan bahwa kelas sosial merupakan kunci pertimbangan untuk mengerti data kejahatan. Orang dari latar belakang sosial ekonomi rendah lebih berkemungkinan untuk dipersiapkan untuk dipersalahkan dan menerima hukuman yang berat dari pada yang berlatar belakang sosial ekonomi tinggi. Wanita minoritas memiliki pengalaman yang unik dalam system keadilan kriminal, mereka tidak diperlakukan dengan baik ketika dipernjara, selama pemberian jaminan, dan ketika mereka dihukum. Meskipun keprcayaan biasanya orang kulit putih kelas menegah keatas berkemungkinan untuk menjadi korban kejahatan, data menunjukkan bahwa orang miskin dan kelompok minoritas pada area berkembang biasanya lebih banyak korban violent crime. Rata-rata pembunuh kulit hitam lebih bayak enam kali dari pada kulit putih. 40 persen kulit hitam sering melakukan penjarahan, 50 persen merampok. Bagi wanita minoritas,


(20)

rasim itu sering disertai dengan sexism. Wanita kulit hitam 1,5 kali lebih sering diperkosa dari pada wanita lain.


(21)

BAB III

KESIMPULAN INTERVENSI

Semua masyarakat telah membangun institusi untuk mengontrol tingkah laku kriminal. Sosiologis mengargumentasikan bahwa pemerintah harus melakukan hal yang lebih dari pada hanya berdasarkan pada kebijakan, pengadilan, penjara. Reynolds (1999) menyatakan bahwa Amerika memiliki per kapita kriminal yang lebih banyak dari negara-negara yang sedang berkembang.

Etizen (1999) mengemukakan 4 tindakan yang dapat dengan signifikan mengurangi jumlah kejahatan , yaitu:

1. Masyarakat harus melindungi dari predator sosiopath. Maksudnya bahwa masyarakat harus memenjarakan orang-orang berbahaya. Untuk kriminal-kriminal yang lain masyarakat harus menyediakan tanggapan altrnatif seperti rumah tahanan, half-way houses, boot camps, pengawasan elektronik, korps pekerjaan, perlakuan alkohol/drug.

2. Jumlah senjata tangan dan penyerangan senjata harus dikurangi dengan signifikan melalui penyelenggaraan keras kontrol senjata pada level federal. Upaya khusus harus dilakukan untuk mendapatkan senjata dari luar tangan remaja.

3. Sistem peradilan kriminal harus reinvented, sehingga bias ras, kelas dan gender dibasmi.

4. Penjara harus lebih manusiawi rehabilitasi dan training vokasional harus diberikan.


(22)

Salah satu alternatif umum untuk pembatasan dalam fasilitas pelaku kejhatan adalah masa percobaan, dimana pelanggar hukum yang menerima vonis dari pengadilan, selagi masih bebas berada di bawah pengawasan petugas masa percobaan. Petugas ini melihat apakah penerima masa percobaan ini patuh dengan kondisi di masa percobaannya. Jika kondisi masa percobaan itu dilanggar maka petugas akan mengirim tahanan tersebut ke instansi hukum (Levin dkk, 2000)

Selanjutnya Levin dkk (2000) juga menyatakan terdapat cara lain yang berkembang luas adalah pembebasan bersyarat, dimana pelaku kejahatan di bebaskan dengan pengawasan petugas pembebasan bersyarat setelah menjalani bagian dari vonisnya di pengadilan. Pembebasan bersyarat dikabulkan hanya ketika ditinjau ulang, ditetapkan bahwa tahanan layak mendapatkan hak istimewa,secara spesifik ia menunjukkan kemajuan yang cukup di dalam penjara untuk menjamin kesempatan rehabilitasi diluar penjara. Tahanan yang telah bebas yang masih harus mencari cara untuk menhubungkan dirinya dengan dunia sosial kemungkinan harus menemukan tempat tinggal sementara, yang biasanya berlokasi di lingkungan dimana ia sebelum masuk penjara. Tempat ini biasannya disebut halfway (separuh jalan) untuk menekankan tujuan mereka bertransisi antara kehidupan penjara dengan kebebasan total.

Community policing adalah salah satu pendekatan terbaru dalam mencegah kejahatan. Pencegahan kejahatan terlihat menjadi tergantung pada komunitas dan sistem peradilan kejahatan. Tidak mudah untuk menggabungkan kekuatan polisi dengan setiap komunitas. Polisi dan masyarakat mungkin memiliki sejarah dimana mereka tidak sejalan satu sama lain (Levin dkkk, 2000).


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Akers,R. 1996. Criminological Theories. Los Angeles:Roxbury Publishing. Conclin, JE.1995. Criminology. Boston:Allyn and Bacon.

Eitzen, D.S. 1999.:”Violent CrimeMyths, Facts, and Solutions”. Taking Sides :Clashing Views on Controversial Social Issues. Guilford, Connecticut:Duskhin/McGraw Hill.

Gittfredson, Michel,R., and Hirschi. (1990). A General Theory of Crime. Stanford:. Stanford University Press.

Kappeler, Victor, E., Blumberg, M., and Potter G,W. (1996). The Mythology of Crime and Criminal Justice. ProspectHeights. Illionis: Waveland Press.

Price, B.R and Sokoloff N.J. 1995. The Criminal Justice System and Women. New York: MacGraw Hill.

Rafter, N and Heidensohn F. 1995. International Feminist Persefective in Criminology. Philadelphia: Open University Press.

Reiman, J. 1998. The ich Get Risher and The Poor Get Prison:Ideology, Class, and Criminal Justice. Boston: Allyn and Bacon.

Reinolds, M.O. 1999. “Crime pays, But so Does Inprisonment. Taking Sides: Calshing Views on Controversial Social Issues. Guilford, Connecticut:Duskhi/McGraw Hill.

Siegel,L. and Senna, J. 1997. Juvenile Delincuency. New York:West Publishing.

Silberman, C.E.1978. Criminal Violence, Crimanal Justice. New York:Random House. Levin, J., Innis, K.M., Carrol W.F, and Bourne, R. 2000. Social Problem;causes,

Consequences, Intervention. Los Anggeles, California: Roxbury Publishing Company.

Stark, R. (1996). Sociology. Belmont, California: Wadshmorth.

Tonry, M. 1995. Malign Neglect:Race, Crime, and Punishment in America. New York:Oxford University Press.


(1)

Beberapa ilmuan sosial berpendapat bahwa sistem peradilan kriminal itu membangkitkan kejahatan dan kekarasan di United States. Tonry (1995) berpendapat bahwa sistem peradilan kriminal di Amerika merupakan rasis. Lebih khusus, ia menegakkan bahwa ukuran kejahatan kejam yang dibuat sejak 1980 telah ditumbangkan dengan kasar pada orang amerika kulit hitam dari pada orang kulit putih. Menurutnya ketidaksesuaian sebagian kecil terjadi karena pola kejahatan dan sebagian besar terjadi karena perkembangan polotik. Pertama, anggota partai republican dalam pemilihan “memainkan kartu ras” dengan menggunakan slogan anti kejahatan dan mengiklankan kampanye dengan tujuan mengeksploitasi ketakutan orang kulit putih terhadap kejahatan orang kulit hitam, khususnya yang laki-laki.

Selama data populasi penjara disusun, orang kulit hitam dengan tidak proporsional telah digambarkan sebagai tahanan. Ditambah lagi, sejak tahun 1980 persentasi kulit hitam yang menjadi tahanan meningkat drastis. Alasan yang ada mungkin karena bias yang melekat dalam proses penahanan. Sebagai contoh penggunaan obat-obatan terlarang, menurut Tonry (1995), orang kulit hitam tidak kelihatan seperti orang kulit putih yang menggunakan obat-obatan terlarang melainkan ditangkap dan dipenjarakan karena pelanggaran obat-obatan terlarang dalam rata-rata yang tinggi. Alasannya mungkin karena adanya kesesuaian kesepakatan bagaimana penggunaan obat-obatan yang diperbolehkan.

Selanjutnya Tonry (1995) menyatakan bahwa hukuman yang keras untuk kejahatan obat-obatan lebih ditujukan pada orang kulit hitam dan latin dari pada orang kulit putih dalam penahanan dan penjara.


(2)

Price dan Sokolof (1995) berpendapat bahwa hukum dibuat dalam bagian besar oleh dan untuk kelas sosial yang dominan. Dalam masyarakat kita biasanya orang ditahan karena melakukan pelanggaran terhadap properti, terhadap ketentraman public, dan terhadap individu-individu.

Menurut Price dan Sokolof (1995) bahwa sejak tahun 1989, wanita memiliki kemungkinan yang lebih besar dari pada pria untuk di penjara atas tuduhan penggunaan obat-obatan terlarang. Lebih dari sepertiga dari seluruh wanita dalam penjara lokal dan sekitar 60 persen dari wanita dalam tahanan federal dihukum karena pelanggaran obat-obatan terlarang.

Paling sedikit di 24 negara bagian, terdapat wanita yang ditahan dan dituntut setelah mereka melahirkan anak mereka yang ternyata setelah dites dalam darahnya terkandung obat-obatan terlarang (Levin dkk, 2000).

Levin dkk (2000) menyatakan bahwa kelas sosial merupakan kunci pertimbangan untuk mengerti data kejahatan. Orang dari latar belakang sosial ekonomi rendah lebih berkemungkinan untuk dipersiapkan untuk dipersalahkan dan menerima hukuman yang berat dari pada yang berlatar belakang sosial ekonomi tinggi. Wanita minoritas memiliki pengalaman yang unik dalam system keadilan kriminal, mereka tidak diperlakukan dengan baik ketika dipernjara, selama pemberian jaminan, dan ketika mereka dihukum. Meskipun keprcayaan biasanya orang kulit putih kelas menegah keatas berkemungkinan untuk menjadi korban kejahatan, data menunjukkan bahwa orang miskin dan kelompok minoritas pada area berkembang biasanya lebih banyak korban violent crime. Rata-rata pembunuh kulit hitam lebih bayak enam kali dari pada kulit putih. 40 persen kulit hitam sering melakukan penjarahan, 50 persen merampok. Bagi wanita minoritas,


(3)

rasim itu sering disertai dengan sexism. Wanita kulit hitam 1,5 kali lebih sering diperkosa dari pada wanita lain.


(4)

BAB III

KESIMPULAN INTERVENSI

Semua masyarakat telah membangun institusi untuk mengontrol tingkah laku kriminal. Sosiologis mengargumentasikan bahwa pemerintah harus melakukan hal yang lebih dari pada hanya berdasarkan pada kebijakan, pengadilan, penjara. Reynolds (1999) menyatakan bahwa Amerika memiliki per kapita kriminal yang lebih banyak dari negara-negara yang sedang berkembang.

Etizen (1999) mengemukakan 4 tindakan yang dapat dengan signifikan mengurangi jumlah kejahatan , yaitu:

1. Masyarakat harus melindungi dari predator sosiopath. Maksudnya bahwa masyarakat harus memenjarakan orang-orang berbahaya. Untuk kriminal-kriminal yang lain masyarakat harus menyediakan tanggapan altrnatif seperti rumah tahanan, half-way houses, boot camps, pengawasan elektronik, korps pekerjaan, perlakuan alkohol/drug.

2. Jumlah senjata tangan dan penyerangan senjata harus dikurangi dengan signifikan melalui penyelenggaraan keras kontrol senjata pada level federal. Upaya khusus harus dilakukan untuk mendapatkan senjata dari luar tangan remaja.

3. Sistem peradilan kriminal harus reinvented, sehingga bias ras, kelas dan gender dibasmi.

4. Penjara harus lebih manusiawi rehabilitasi dan training vokasional harus diberikan.


(5)

Salah satu alternatif umum untuk pembatasan dalam fasilitas pelaku kejhatan adalah masa percobaan, dimana pelanggar hukum yang menerima vonis dari pengadilan, selagi masih bebas berada di bawah pengawasan petugas masa percobaan. Petugas ini melihat apakah penerima masa percobaan ini patuh dengan kondisi di masa percobaannya. Jika kondisi masa percobaan itu dilanggar maka petugas akan mengirim tahanan tersebut ke instansi hukum (Levin dkk, 2000)

Selanjutnya Levin dkk (2000) juga menyatakan terdapat cara lain yang berkembang luas adalah pembebasan bersyarat, dimana pelaku kejahatan di bebaskan dengan pengawasan petugas pembebasan bersyarat setelah menjalani bagian dari vonisnya di pengadilan. Pembebasan bersyarat dikabulkan hanya ketika ditinjau ulang, ditetapkan bahwa tahanan layak mendapatkan hak istimewa,secara spesifik ia menunjukkan kemajuan yang cukup di dalam penjara untuk menjamin kesempatan rehabilitasi diluar penjara. Tahanan yang telah bebas yang masih harus mencari cara untuk menhubungkan dirinya dengan dunia sosial kemungkinan harus menemukan tempat tinggal sementara, yang biasanya berlokasi di lingkungan dimana ia sebelum masuk penjara. Tempat ini biasannya disebut halfway (separuh jalan) untuk menekankan tujuan mereka bertransisi antara kehidupan penjara dengan kebebasan total.

Community policingadalah salah satu pendekatan terbaru dalam mencegah kejahatan. Pencegahan kejahatan terlihat menjadi tergantung pada komunitas dan sistem peradilan kejahatan. Tidak mudah untuk menggabungkan kekuatan polisi dengan setiap komunitas. Polisi dan masyarakat mungkin memiliki sejarah dimana mereka tidak sejalan satu sama lain (Levin dkkk, 2000).


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Akers,R. 1996. Criminological Theories. Los Angeles:Roxbury Publishing. Conclin, JE.1995. Criminology. Boston:Allyn and Bacon.

Eitzen, D.S. 1999.:”Violent CrimeMyths, Facts, and Solutions”. Taking Sides :Clashing Views on Controversial Social Issues. Guilford, Connecticut:Duskhin/McGraw Hill.

Gittfredson, Michel,R., and Hirschi. (1990). A General Theory of Crime. Stanford:. Stanford University Press.

Kappeler, Victor, E., Blumberg, M., and Potter G,W. (1996). The Mythology of Crime and Criminal Justice. ProspectHeights. Illionis: Waveland Press.

Price, B.R and Sokoloff N.J. 1995. The Criminal Justice System and Women. New York: MacGraw Hill.

Rafter, N and Heidensohn F. 1995. International Feminist Persefective in Criminology. Philadelphia: Open University Press.

Reiman, J. 1998. The ich Get Risher and The Poor Get Prison:Ideology, Class, and Criminal Justice. Boston: Allyn and Bacon.

Reinolds, M.O. 1999. “Crime pays, But so Does Inprisonment. Taking Sides: Calshing Views on Controversial Social Issues. Guilford, Connecticut:Duskhi/McGraw Hill.

Siegel,L. and Senna, J. 1997. Juvenile Delincuency. New York:West Publishing.

Silberman, C.E.1978. Criminal Violence, Crimanal Justice. New York:Random House. Levin, J., Innis, K.M., Carrol W.F, and Bourne, R. 2000. Social Problem;causes,

Consequences, Intervention. Los Anggeles, California: Roxbury Publishing Company.

Stark, R. (1996). Sociology. Belmont, California: Wadshmorth.

Tonry, M. 1995. Malign Neglect:Race, Crime, and Punishment in America. New York:Oxford University Press.