INTERVENSI AMERIKA SERIKAT DALAM PERANG

INTERVENSI AMERIKA SERIKAT DALAM PERANG IRAKIRAN 1980-1988
OLEH : Aprilia Novitasari
Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2013 FIS UNJ
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai perang Irak-Iran pada tahun 1980-1988 yang
merupakan perang terpanjang pada abad ke 20. Dimana kedua negara yang
terlibat merupakan negara tetangga yang memiliki sejarah panjang. Dilihat dari
segi sejarah, kedua negara tersebut sudah memiliki hubungan sejak zaman
Kerajaan Mesopotamia yang terletak di lembah Sungai Tigris-Eufrat, yang kini
menjadi negara Irak modern, yang berseteru dengan kerajaan Persia atau kini
menjadi negara Iran modern. Keterlibatan pemimpin besar yaitu Saddam
Hussein dan Khomeini menjadikan konflik ini semakin memanas.
Kata kunci: Perang Irak-Iran, Saddam Hussein, Ayatullah Khomeini
Pendahuluan
Timur Tengah adalah sebuah wilayah yang secara politis dan budaya
merupakan bagian dari benua Asia atau Afrika-Eurasia. Pusat dari wilayah ini
adalah daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang
memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab dan Semenanjung Sinai. Kadangkala
disebutkan juga area tersebut meliputi wilayah dari Afrika Utara di sebelah barat
sampai dengan Pakistan di sebelah timur dan Kaukasus dan/atau Asia Tengah di
sebelah utara. Media, dan beberapa organisasi internasional (seperti PBB)

umumnya menganggap wilayah Timur Tengah adalah wilayah Asia Barat Daya
(termasuk Siprus dan Iran) ditambah dengan Mesir.1
Wilayah tersebut mencakup beberapa kelompok suku dan budaya termasuk
suku Iran, suku Arab, suku Yunani, suku Yahudi, suku Berber, suku Assyria, suku
1 http://wikipedia.org diakses tanggal 22 Mei 2015 pada pukul 14.37 WIB

1

Kurdi, dan suku Turki. Bahasa utama yaitu: bahasa Persia, bahasa Arab, bahasa
Ibrani, bahasa Assyria, bahasa Kurdi dan bahasa Turki. Kebanyakan sastra barat
mendefinisikan Timur Tengah sebagai negara-negara di Asia Barat Daya, dari Iran
(Persia) ke Mesir. Mesir dengan semenanjung Sinainya yang berada di Asia
umumnya dianggap sebagai bagian dari Timur Tengah, walaupun sebagian besar
wilayah negara itu secara geografi berada di Afrika Utara.
Sehingga Timur Tengah bukan dikatakan benua melainkan antar benua,
dengan keragaman topografi, iklim, dan lingkungan fisik serta lingkungan sosial
dari karakteristik dua benua yakni Afrika dan Asia.2
Sejak pertengahan abad ke-20, Timur Tengah telah menjadi pusat terjadinya
peristiwa-peristiwa dunia, dan menjadi wilayah yang sangat sensitif, baik dari segi
kestrategisan lokasi, politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Timur Tengah

mempunyai cadangan minyak mentah dalam jumlah besar, dan merupakan tempat
kelahiran, dan pusat spiritual Islam, kristen, dan agama Yahudi.
Iran merupakan salah satu dari sekian negara yang termasuk ke dalam
wilayah Timur Tengah. Menarik jika membahas tentang Iran terlebih pasca
revolusi Islam yang dilakukan pada tahun 1979. Banyak yang memprediksikan
bahwa Iran akan hancur setelah melakukan revolusi Islam. Hal ini banyak
diprediksi oleh negara-negara Barat yang tercermin dalam beberapa pemberitaan
yang ditulis oleh media pers negara Barat.
Negeri yang penuh kontroversi ini telah mampu membuktikan bahwa
revolusi Islam yang dilaluinya tidak benar-benar membuatnya collaps. Dikatakan
bahwa revolusi Islam dapat terjadi di Iran karena masyarakat Iran yang homogen,
namun hal ini justru keliru karena Iran justru bangsa yang heterogen. Ervand
Abrahamian menyebutnya “a colorfull mosaic and a complex kaleidoscope”.3
Bersebelahan dengan Iran, Irak atau dikenal dengan al-Jumhuriyyah alIrakiyah, ibu kota Baghdad ini mempunyai populasi penduduk sekitar 18.317.000
pada sensus tahun 1990. Luas wilayahnya 325.052 km 2 dengan kepadatan
penduduk 42,1/km2. Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Terdapat Agama Islam
2 William J. Spencer, Global Studies: The Middle East Twelfth Edition, (New York: McGraw Hill,
2009), hal. 4
3 Ervand Abrahamian, Iran Between Two Resolutions, (New Jersey: Princeton University, 1982)


2

95,8% (sunni dan syi’ah), Kristen 3,5 %, dan sedikit Yahudi. Mata uangnya adalah
dinar. Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas
wilayah; di selatan berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di barat dengan
Yordania dan Syria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran.4
Meskipun bersebelahan dan merupakan dua negara yang saling bertetangga,
kedua negara ini mempunyai masa lalu konflik yang panjang. Kemudian berulang
kembali pada tahun 1980 yang terjadi selama delapan tahun dan menewaskan dan
menghabiskan dana yang tidak sedikit. Serta perang Irak-Iran merupakan sebuah
prediksi yang luar biasa diluar dugaan.
Masing-masing dari negara tersebut dipimpin oleh pemimpin yang superior.
Iran dengan pemimpin revolusionernya yakni Khomeini yang mampu
mengadakan revolusi Islam Iran. Di sisi lain, Iraq dengan pemimpinnya yang
diktator yakni Saddam Hussein yang akhir hayatnya tragis karena dihukum mati
atas kesalahannya menggunakan segala cara untuk mencapai ambisinya.
Ada dua permasalahan pokok yang dapat diangkat dalam melihat perang
Irak-Iran tahun 1980-1988. Bagaimana kegagalan rezim Saddam Hussein dalam
menaklukan Iran?. Serta Bagaimana keterlibatan barat dalam hal ini adalah
Amerika Serikat yang turut andil dalam menyokong Irak namun akhirnya berbalik

arah?
Membicarakan tentang kegagalan rezim Saddam Hussein dalam menginvasi
Iran tentunya tidak jauh dari sikap sang penguasa sendiri yang terlalu berambisi
dan dengan pemerintahannya yang diktator ternyata hanya bisa membuat
rakyatnya menderita.

Latar Belakang Perang Irak-Iran 1980-1988
Konflik perbatasan antar-negara tetangga bisa berujung perang. Seperti yang
terjadi antara Iran dan Irak pada 35 tahun silam. Iran dan Irak memulai perang
4 Muhammad Syafi Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam jilid 5, (Jakarta: PT Tazkia,
hal. 237

),

3

pada 22 September 1980. Perang yang berlangsung dari tahun 1980-1988 itu
menjadi yang terpanjang pada Abad 20. Dibanding Perang Dunia I (1914-1918)
dan Perang Dunia II (1939-1945). Irak dan Iran adalah dua negara Islam yang
bertetangga. Banyak hal yang memicu terjadinya peperangan diantaranya seperti

masalah politik, ekonomi dan sektarian, berikut ini adalah beberapa pemicu
konflik:
1. Sengketa atas Shatt Al-Arab dan Khuzestan 5
Shatt Al-Arab adalah sungai sepanjang 200 Km yang terbentuk atas pertemuan
Sungai Eufrat dan Tigris di Kota Al Qumah, Irak Selatan, dimana bagian akhir
sungai itu adalah Teluk Persia yang merupakan perbatasan antara Irak dan Iran.
Karena letaknya yang strategis menuju Teluk Persia maka sungai tersebut menjadi
wilayah sengketa kedua negara. Wilayah lain yang menjadi sengketa adalah
provinsi Khuzestan yang kaya akan minyak. Wilayah tersebut menjadi wilayah
Iran namun sejak 1969 Irak mengklaim bahwa wilayah tersebut menjadi
wilayahnya bahkan Irak menyerukan warga Arab yang tinggal disana untuk
memberontak melawan Iran.
2. Munculnya Revolusi Islam di Iran
Pada tahun 1979 terjadi penumbangan rezim Pahlevi yang merupakan rezim
boneka bentukan Amerika serikat dan digantikan oleh sistem republik Islam.
Pasca penumbangan tersebut muncullah kekhawatiran dikalangan nasionalis Arab
dan kaum muslim Sunni karena dikhawatirkan revolusi tersebut akan menyebar di
negara-negara Arab lainnya. Kekhawatiran terbesar terjadi di wilayah Irak yang
wilayahnya bersebalahan dengan Iran dan terdapat kaum minoritas Syiah di
wilayahnya. Pada masa pemerintahan Khomeini yang berambisi dan juga

berusaha mengekspor revolusi Islamnya ke negara-negara lain dan Irak menjadi
sasaran yang pertama karena di Irak minoritas Sunni menguasai dan menindas
mayoritas Syiah dan minoritas Kurdi yang secara etnik linguistik dekat dengan
bangsa Persia. Selain itu Khomeini menaruh dendam terhadap rezim di Bagdad

5 http://news.liputan6.com, 22-9-1980: Perang Terpanjang Abad 20 Iran Vs Irak Dimulai,
diakses pada 22 Mei 2015 pada pukul 15.07 WIB

4

yang pada tahun 1978 mengusirnya dari Irak karena dia berkampanye melawan
pemerintah Syiah. Sehubungan dengan itu pemerintah Iran menghasut umat Syiah
dan Suku Kurdi di Irak untuk memberontak dan merebut kekuasaan serta
membentuk suatu republik Islam menurut pola Republik Islam Iran. Di lain pihak
Baghdad menghasut minoritas Kurdi di Irak untuk mendukung minoritas Arab
dalam memperjuangkan otonominya, dan membantu sejumlah jendral Iran dan
pengikut-pengikutnya Bakhtiar di pengasingan untuk menyusun kekuatan guna
menumbangkan kekuasaan Khomeini. Iraq dibawah pemerintahan Saddam
Hussein dan Partai Baath memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan dominan di
wilayah Arab di bawah bendera Pan-Arabisme sejak meninggalnya presiden Mesir

yakni Gamal A. Nasser. Rsevolusi Islam yang terjadi di Iran, dianggap sebagai
penghalang karena bertentangan dengan prinsip nasionalisme sekuler Arab.6
3. Terjadi Percobaan Pembunuhan terhadap Pejabat Irak
Pertengahan tahun 1980, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Deputi Perdana
Menteri Irak, Tariq Azis. Irak pun menangkap beberapa orang yang diduga terlibat
dalam percobaan pembunuhan tersebut, selain itu Irak juga mendeportasi ribuan
warga Syiah Iran keluar dari Irak. Pemimpin Irak Sadam Hussein menyalahkan
Iran karena diduga terdapat agen Iran yang juga terlibat didalamnya. Kejadian
tersebut pun semakin memanaskan hubungan kedua negara sehingga perang pun
sulit untuk dihindarkan.
Menurut para pengamat ada dua faktor yang menyebabkan invansi yang
dilakukan Saddam Hussein ke Iran yaitu pertama, adanya kekhawatiran di
kalangan penguasa negara Arab terhadap kemungkinan menularnya revolusi
Khomeini ke negara-negara Arab; yang kedua, ambisi Saddam Hussein untuk bisa
tampil sebagai pemimpin Arab.7
Perang Iran-Irak dan Kegagalan Rezim Saddam Hussein
6 Daliman, Sejarah Asia Barat Daya. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia: Universitas sebelas Maret Surakarta, 1933), hal. 78
7 M Riza Sihbudi. Dinamika Revolusi Iran Sejak Jatuhnya Syah hingga Wafatnya Khomeini.
(Jakarta: Pustaka Hidayat, 1989), hal. 111


5

Setelah rezim Saddam Hussein melakukan pelanggaran di wilayah Iran,
Saddam Hussein akhirnya mengeluarkan instruksi menyerang Iran. Menyusul
dukungan penuh dari Barat, baik dana, militer maupun politik, Republik Islam
Iran diprediksikan akan mudah ditundukkan Rezim Saddam Hussein. Apalagi
sejumlah wilayah di Iran mampu diduduki oleh Irak. Namun kegigihan bangsa
Iran dalam membela tanah air mereka membuat musuh kewalahan dan pesimis.
Saddam Husein berniat menguasai provinsi kaya minyak Khuzestan, barat
daya Iran dan memisahkannya dari Iran. Setelah itu, Saddam Hussein juga
berencana akan menggulingkan Republik Islam Iran yang baru didirikan oleh
Khomeini. Saddam Hussein saat itu, berpikir akan menjadi pahlawan Arab dan
dunia dengan menundukkan Iran. Ambisi kuat Saddam Hussein itu adalah hasil
bisikan para musuh Revolusi Islam Iran baik dari dalam maupun luar Irak. Karena
bisikan-bisikan itu, Saddam Hussein menganggap Iran sebagai negara yang
mudah ditundukkan. Bahkan, Saddam Hussein dalam pidatonya menjanjikan akan
menundukkan Iran dalam kurun tiga hari.
Tiga hari sebelum perang Irak-Iran, Saddam Hussein menyobek perjanjian
Aljazair di depan kamera televisi. Perjanjian Aljazair yang ditandatangani Saddam

Hussein dengan pemerintah Iran pada tahun 1975, telah menentukan perbatasan
Irak dan Iran. Dengan penyobekan perjanjian itu, perang telah dimulai. Saddam
Hussein dan para pendukungnya menduga perang akan berlangsung dalam waktu
singkat. Koran Amerika Serikat, Herald Tribune, beberapa bulan sebelum
dimulainya perang melaporkan, “Para analis Amerika Serikat menyatakan bahwa
kekuatan militer Iran saat ini lemah dan tidak akan mampu mempertahankan
perbatasan negaranya. Untuk itu, perang tidak akan berlangsung lama, yakni
hanya beberapa hari. Kalaupun bertahan lama, perang itu tidak akan melewati
seminggu atau dua minggu.”
Akan tetapi fakta berbeda dengan prediksi yang ada. Perang Irak-Iran
bertahan hingga delapan tahun. Bangsa Iran mampu membuktikan kepada dunia
bahwa mereka mampu bertahan menghadapi arogansi para musuh. Perang itu
kemudian disebut dengan istilah Perang Pertahanan Suci.

6

Pada awal perang, Rezim Saddam Hussein berhasil menguasai sejumlah
wilayah Iran. Posisi Iran dengan keterbatasan logistik militer, berada dalam
kondisi terpojok. Sedangkan militer Irak dengan 250 ribu personel yang didukung
dengan ribuan mortir, tank, panser dan peralatan militer lainnya berhasil

menguasai kota dan desa-desa Iran sepanjang perbatasan kedua negara.
Bersamaan dengan itu, lebih dari 100 jet tempur Irak berusaha membombardir 19
kota Iran dan pos-pos militer negara ini pada hari pertama perang. Akan tetapi
serangan udara itu gagal total. Kondisi berbeda di wilayah perairan. Militer Iran
berhasil memukul mundur angkatan laut Irak pada bulan-bulan pertama perang.
Dengan demikian, angkatan laut Republik Islam Iran mampu mempertahankan
kekuatannya di perairan Teluk Persia.
Kota strategis yang dapat dikuasai Rezim Saddam Hussein adalah
Khozestan di barat daya Iran. Kota itu sebenarnya tidak mudah ditundukkan
militer Saddam Hussein. Pasukan Garda Revolusi Islam Iran yang dikenal dengan
Pasdaran mampu mempertahankan Khozestan selama sebulan. Dari sisi lain,
pesawat-pesawat Iran mampu menyerang pos-pos strategis Irak.
Kegigihan para pejuang Iran menyadarkan Saddam Hussein yang
sebelumnya beranggapan bahwa menundukkan Iran adalah hal yang mudah.
Serangan balik militer Iran dan kegigihan para pejuang memaksa Rezim Saddam
Hussein untuk mengakui kekuatan terselubung Iran yang ternyata diluar prediksi
semua pihak.
Setelah serangan Irak itu, Republik Islam Iran segera mengkoordinasi
kekuatan militernya dengan cepat. Di kancah politik, antek-antek penentang
revolusi yang bermitra dengan para musuh mulai tersingkir dan kondisi Iran mulai

bisa dikendalikan. Dengan pembentukan kekuatan sipil yang kemudian disebut
dengan istilah Basij, kekuatan besar yang berbasis pada relawan telah terbentuk
untuk menghadapi segala serangan musuh.
Titik balik bagi Iran terjadi pada bulan Maret 1982 dalam operasi militernya
di bawah kode sandi "Operasi Kemenangan yang Tak Dapat Disangkal"
(Operation Undeniable Victory). Dalam operasi militer itu, pasukan gabungan
Pasadan-Basij milik Iran berhasil menembus garis depan pasukan Irak yang

7

sebelumnya dianggap tidak bisa ditembus & memecah pasukan Irak di utara &
selatan Khuzestan sehingga pasukan Irak terpaksa mundur.
Bulan Mei 1982, Iran berhasil merebut kembali wilayah Khorramshahr.
Dalam pertempuran di wilayah tersebut, Irak kehilangan 7.000 tentara, sementara
Iran 10.000 sehingga menjadikan pertempuran itu sebagai salah satu pertempuran
paling berdarah dalam inisiatif serangan balik Iran. Sejak kemenangan tersebut,
Iran berganti menjadi pihak yang menekan Irak dan pada bulan Juni berhasil
mendapatkan kembali seluruh wilayahnya yang sebelumnya dikuasai oleh Irak.
Saddam Hussein yang melihat bahwa moral pasukannya sudah terlanjur
runtuh akibat serangkaian kekalahan melawan Iran pun menyatakan akan segera
menarik seluruh pasukannya dari Iran dan menawarkan gencatan senjata kepada
Iran. Tawaran gencatan senjata itu mencakup pembayaran ganti rugi perang
sebesar 70 juta dollar AS oleh negara-negara Arab. Iran menolak tawaran
gencatan senjata tersebut dan menyatakan bahwa mereka akan menyerbu Irak dan
tidak akan berhenti sampai rezim yang berkuasa di Irak digantikan oleh rezim
pemerintahan republik Islam. Karena jika Iran berkompromi dan Saddam Hussein
masih bercokol sebagai Presiden Irak maka tujuan perang ini tidak mencapai apaapa dan berarti sekian banyak warga sipil yang telah gugur secara sia-sia.8
Irak berusaha memaksa Iran menghentikan perang dan menuju meja
perundingan dengan berbagai cara. Di awal tahun 1984, Irak membeli sejumlah
alutsista baru dari Uni Soviet dan Perancis. Tak lama kemudian, Irak melakukan
serangan udara ke sejumlah kota dengan persenjataan barunya itu. Irak berharap
Iran merasa tertekan dan kemudian menerima tawaran dari Irak untuk berunding
di tempat netral, namun nyatanya Iran tetap menolak tawaran berunding dari Irak.
Iran yang kehilangan begitu banyak personilnya akibat sejumlah
penyerbuan yang gagal sebelumnya belum mengendurkan serangan. Bulan
Februari 1984, Iran menggelar “Operasi Fajar” yang ditargetkan ke kota Kut alAmara dengan tujuan memotong jalur perairan yang menghubungkan Baghdad

8 Syafiq Basri, Iran Pasca Revolusi Sebuah Reportase Perjalanan, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987), hal. 210

8

dan Basra. Dalam kedua operasi militer itu, Iran mengerahkan 500.000 personil
Basij dan Pasdaran.
Pertempuran dalam Operasi Fajar sekaligus menjadi head-to-head kekuatan
militer yang dominan di masing-masing negara. Iran unggul dengan jumlah
tentara tapi kekurangan alutsista pendukung seperti pasukan udara & artileri,
sementara Irak kalah jauh dalam hal jumlah tentara tapi unggul dalam hal
alutsista. Periode antara tanggal 29 Februari hingga 1 Maret merupakan salah satu
episode pertempuran terbesar dalam Perang Irak-Iran di mana dalam pertempuran
itu, masing-masing pihak kehilangan 20.000 tentaranya.
Iran kembali melancarkan agresi militer antara akhir Februari hingga Maret
1984 di bawah kode sandi “Operasi Khaibar” dengan memakai sejumlah serangan
pendobrak ke Kota Basra. Agresi militer tersebut berujung keberhasilan pasukan
Iran merebut Pulau Majnun yang kaya minyak. Irak sempat melancarkan serangan
balik untuk merebut wilayah tersebut termasuk dengan memakai senjata kimia. 9
Namun, pasukan Iran tetap berhasil mempertahankan pulau tersebut hingga
menjelang akhir perang.
Walaupun berada pada posisi tertekan, pada tahun 1985 Irak masih sempat
melakukan penyerbuan balik ke Iran dengan menyerang Teheran dan kota-kota
penting di Iran lainnya usai mendapatkan bantuan finansial dari negara-negara
Arab sekutunya dan juga bantuan alutsista terbaru dari Uni Soviet, Cina, &
Perancis. Serangan Irak tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan dalam
arah peperangan dan sekalipun wilayahnya diserang, di tahun itu Iran tetap
melakukan penyerbuan ke wilayah Irak di bawah kode sandi “Operasi Badr”.
Menurut majalah Arabia pada Desember 1985, pemboman Irak atas pulau
Kharq bukan semata-mata demi alasan perang, melainkan juga berhubungan
dengan perebutan pasaran minyak yang semakin menciut. Usaha tersebut perlu
dilakukan Irak, karena dengan dibukanya jalur pipa Irak ke Yanbu (Saudi Arabia)
maka kapasitas produksi minyak Irak menjadi berlipat ganda. Kini ada tambahan
produksi Irak sebesar kira-kira 1,6 juta barel sehari.10
9 William Ochsenwald, The Middle East A History Fourth Edition, (New York: McGraw Hill,
1976), hal. 539
10 Syafiq Basri, Op.,Cit, hal. 223

9

Meskipun Irak telah membom Pulau Kharq, efek bagi Iran tidak sebesar
yang diperkirakan. Malah pada Oktober 1985 ekspor minyak Iran mencapai 1,7
juta barel sehari (lebih dari ekspor saat-saat sebelum pemboman). Penyebabnya
ialah pertama, kemampuan Iran untuk dengan cepat memperbaiki kerusakankerusakan yang timbul. Kedua karena Pulau Kharq merupakan salah satu terminal
minyak dengan fasilitas terbesar di dunia hingga kerusakan 10 dari 14 tempat
penambatan kapal itu tidak terlalu mengurangi kapasitas besar yang dimiliki pulau
itu.
Pada bulan Februari 1986, operasi semenanjung Al-Faw, tenggara Irak
mengejutkan para pengamat. Operasi para pejuang Iran itu mampu menguasai
pulau Al-Faw. Al-Faw merupakan pelabuhan minyak Irak terbesar yang
mengekspor minyak mentah dari selatan Irak.
Operasi besar Karbala 5 di timur Basrah juga mempunyai tujuan yang sama.
Operasi itu dilakukan di wilayah pertahanan yang dibuat oleh para pakar Rusia.
Wilayah itu mempunyai sistem pertahanan kokoh yang sulit ditembus musuh.
Dalam operasi pelik pada awal tahun 1987 itu, 80 jet tempur dan 700 tank dan
berbagai jenis panser hancur lebur.
Setelah operasi itu, Majalah Newsweek menulis, “Serangan Iran di dekat
Basrah untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir ini memungkinkan
kemenangan satu pihak atas lainnya.” Barat setelah itu, bergegas menyelamatkan
Rezim Saddam Hussein. Dukungan Barat atas Saddam Hussein kian mengemuka.
Pada tanggal 20 Agustus 1988 gencatan senjata kedua pihak disepakati menyusul
diterimanya resolusi 598 usulan Iran.11 Saddam Hussein dengan bantuan Barat dan
sejumlah negara Arab dapat diselamatkan dari keterpurukan.
Dalam serangan masif Rezim Saddam ke Iran, banyak poin luar biasa yang
dapat digaris bawahi. Salah satu poin penting itu adalah kekompakan Barat dan
sejumlah negara Arab untuk menghadapi Iran. Dalam perang Irak-Iran selama
delapan tahun, sepuluh negara Barat dan Arab kompak menyerang Iran. Di antara
negara pengekspor senjata ke Irak adalah Uni Soviet. Menurut data yang ada, 53
% senjata Irak selama perang, dijamin oleh Uni Soviet. Setelah itu pengekspor
11 William J. Spencer, Op.,Cit, hal. 9

10

senjata disusul Perancis dengan menjamin 20% kebutuhan senjata Rezim Saddam
Hussein. Pada dekade 1980, Saddam Hussein membeli senjata senilai 25 milyar
dolar AS. Serta sebanyak itu juga ditanggung oleh sejumlah negara Arab seperti
Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab. Setelah perang selama delapan tahun,
Irak mempunyai hutang sebesar 80 milyar dolar dengan enam negara Arab selatan
Teluk Persia.
Politik Amerika di Perang Irak-Iran 1980-1988
Di antara sekian pendukung Saddam Hussein, Amerika Serikat memiliki
peran istimewa. Kendati negara ini secara lahir tidak banyak memberikan
perangkat perang kepada rezim Baath, namun Amerika Serikat berperan sebagai
salah satu otak penting dalam agresi militer Saddam Hussein ke Iran.
Meski sebelumnya, hubungan Amerika Serikat dan Irak sempat renggang,
namun dengan dimulainya perang, Washington semakin giat untuk mendekati
Baghdad

dan

menyokongnya

secara

penuh.

Amerika

Serikat

bahkan

mengeluarkan rezim Baath Irak dari daftar negara-negara pendukung terorisme
dan pada akhir 1984, Washington secara resmi menjalin hubungan diplomatik
dengan Baghdad. Pada masa-masa akhir perang, satelit mata-mata dan pesawat
pengintai Amerika Serikat yang ditempatkan di Arab Saudi, aktif memberikan
bantuan informasi dan data mengenai kekuatan dan posisi militer Iran kepada
pusat komando tentara Saddam.12
Bersamaan dengan itu, Gedung Putih melancarkan propaganda antiRepublik Islam Iran secara luas di kancah internasional. Di penghujung dekade
80-an, dukungan Washington terhadap Baghdad mencapai puncaknya. Militer
Amerika Serikat terlibat langsung dalam perang dengan Iran. Kapal-kapal perang
dan pesawat tempur Amerika Serikat menyerang pangkalan dan kilang minyak
Iran. Bahkan lebih brutalnya lagi, militer Amerika Serikat menembak jatuh
pesawat penumpang sipil Iran di kawasan Teluk Persia.

12

Iran Indonesia radio IRIB World Servie, Perang Irak-Iran dan Kegagalan Rezim Saddam
(Bagian kedua), diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 10.15 WIB

11

Pada ranah propaganda, media-media Barat dan Arab menyokong penuh
agresi militer Saddam Hussein terhadap Iran. Lewat serangan propagandanya itu,
mereka berusaha menutup-nutupi kejahatan perang rezim Baath dan mengesankan
Iran sebagai ancaman. Media-media pro-Saddam Hussein bahkan berusaha
menyensor beragam berita yang mengungkap kekalahan militer Irak dan
sebaliknya mereka berusaha menampilkan posisi lemah dan terdesak Iran.
Menariknya, justru ketika rezim Baath menyerang Kuwait, media-media Barat
dan Arab yang dulunya menyokong agresi rezim Baath ke Iran malah berbalik
arah mengecam Saddam Hussein dan mengakui bahwa dukungan mereka
sebelumnya terhadap agresi militer Irak ke Iran merupakan kekeliruan.
Ironisnya lagi, selama perang Irak-Iran berlangsung, peran PBB yang
banyak diintervensi negara-negara Barat terutama Amerika Serikat justru
menguntungkan rezim Baath. Dewan Keamanan yang semestinya membela Iran
sebagai pihak yang diserang dan mendesak Irak menghentikan agresinya ternyata
hanya cukup mengeluarkan seruan gencatan senjata.
Rangkaian resolusi yang dijatuhkan Dewan Keamanan PBB terkait
kejahatan perang rezim Saddam Hussein semacam serangan terhadap permukiman
sipil dan penggunaan senjata terlarang, sama-sekali tidak efektif dan sangat
lemah. Dijatuhkannya Resolusi 597 terhadap Irak justru ditetapkan pada saat
tentara Baath Irak benar-benar dalam tekanan militer Iran. Untungnya, resolusi
tersebut masih memperhatikan sebagian dari tuntutan Iran seperti identifikasi
pelaku penyerangan, pembayaran ganti-rugi, penarikan mundur tentara Irak dari
perbatasan internasional, dan pertukaran tawanan.
Tak berbeda jauh dengan PBB, lembaga-lembaga internasional lain seperti
Komite Hak Asasi Manusia PBB, Amnesti Internasional, dan Palang Merah
Internasional juga menerapkan langkah yang sangat lemah dalam menindak
kejahatan perang Saddam Hussein terhadap Iran.
Saddam Hussein adalah seorang diktator yang dikenal rela menggunakan
segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Sepanjang delapan
tahun agresi militer rezim Baath Irak terhadap Iran, Saddam Hussein berkali-kali
melanggar hukum internasional dan melakukan tindak kejahatan perang yang

12

begitu sadis. Tiap kali tentara Baath menelan kekalahan dalam medan
pertempuran, mereka segera membalas kekalahannya itu dengan melancarkan
serangan udara ke wilayah perkotaan Iran dan membantai warga sipil.
Begitu halnya dengan perlakuan rezim Baath Irak terhadap para tawanan
Iran. Mereka diperlakukan dengan sangat keji dan di luar kaidah kemanusiaan.
Sedemikian brutalnya penyiksaan yang dilakukan tentara Saddam terhadap
mereka, sampai-sampai banyak tawanan Iran yang gugur syahid di kamp-kamp
tawanan rezim Baath.
Tidak hanya itu saja, Saddam Hussein bahkan mendukung aksi-aksi teror
yang

dilancarkan

kelompok-kelompok

kontra-Revolusi

Islam

terhadap

masyarakat dan para pejabat Iran.
Tindakan paling brutal Saddam Hussein dalam perang Irak-Iran adalah
penggunaan senjata kimia secara luas untuk membantai tentara dan warga sipil
Iran dan bahkan rakyatnya sendiri. Semenjak digelarnya perang, secara bertahap
tentara Baath mulai menggunakan senjata kimia. Namun dengan semakin
unggulnya serangan balasan para pejuang Republik Islam Iran, tentara Baath pun
makin gencar dan luas menggunakan senjata kimia.
Pada Juni 1987, Saddam Hussein mengeluarkan perintah serangan bom
kimia terhadap kota Sardasht, barat Iran. Akibat serangan keji itu, sekitar 110
warga sipil gugur syahid dan 5 ribu lainnya cidera. Berikutnya pada Maret 1988,
pesawat-pesawat tempur Baath melakukan serangan serupa terhadap etnis kurdi
Irak di kota Halabcheh. Dalam serangan itu, tercatat lebih dari 5 ribu warga sipil
gugur syahid sementara 7 ribu lainnya mengalami luka-luka. Bahkan kini, meski
perang sudah 35 tahun berlalu, namun dampak dari serangan bom kimia itu masih
bertahan dan sekitar 45 ribu warga Iran masih menderita penyakit akibat serangan
bom kimia rezim Saddam Hussein.
Saddam memperoleh senjata terlarang itu lewat bantuan negara-negara
Barat. Mereka menyerahkan lebih dari 18 ribu ton bahan kimia untuk digunakan
dalam berbagai jenis bom, rudal, dan peluru artileri. Berdasarkan laporan PBB,
sejumlah perusahaan dari Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Perancis
memiliki peran dominan dalam memasok bahan kimia untuk keperluan

13

memproduksi senjata kepada Irak. Tentu saja beberapa negara lainnya seperti Uni
Soviet, Spanyol, Argentina, dan Belanda juga turut membantu dalam
mempersenjatai Irak dengan senjata kimia.
Namun yang patut disesalkan juga adalah upaya negara-negara Barat yang
berusaha menghalang-halangi upaya masyarakat internasional untuk menghukum
rezim Baath atas kejahatannya dalam menggunakan senjata kimia. Hal itu terlihat
dari aksi veto Amerika Serikat pada Maret 1986 terhadap draft resolusi Dewan
Keamanan PBB yang mengecam penggunaan senjata kimia oleh rezim Saddam
Hussein. Akibat dukungan buta semacam itulah sampai-sampai Saddam Husein
dalam pembelaannya saat diadili pada Desember 2006 secara lantang menyatakan,
“Dengan bangga saya bertanggung jawab atas seluruh serangan dengan senjata
konvensional dan kimia terhadap Iran”.
Melihat besarnya persenjataan perang yang dimiliki Irak baik dari negaranegara blok Timur maupun blok Barat di kala itu, banyak analis politik dan militer
yang memprediksikan bahwa Irak bakal keluar sebagai pemenang. Namun
tampaknya mereka gagal dalam melihat kekuatan Iran yang berporos pada
kepemimpinan tangguh Khomeini. Bapak pendiri Republik Islam Iran ini juga
menerapkan strategi yang sama ketika menghadapi rezim diktator Syah Pahlevi,
yaitu dengan memobilisasi kekuatan rakyat.
Selain itu, keberanian dan keimanan para pejuang Iran merupakan faktor
lain yang menjadi kunci rahasia kemenangan Iran. Kekuatan iman dan semangat
jihad merupakan sumber perlawanan rakyat Iran dalam menghadapi agresi militer
rezim Baath Irak. Karena itu, kekuatan rakyat dan iman yang menjelma dalam
pasukan rakyat suka rela Iran atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Basij”
menjadi motor utama gerak perlawanan bangsa Iran.
Tentu saja kemenangan dalam setiap perang juga tergantung pada dukungan
di balik front perang. Semangat rela berkorban rakyat yang rela menyerahkan jiwa
dan raganya sebagai bagian dari Basiji merupakan modal besar bagi Iran dalam
melawan serangan musuh. Dengan semangat kemenangan Revolusi Islam yang
mereka raih saat menggulingkan rezim syah dukungan Amerika, rakyat Iran juga
bangkit bergerak menentang agresi militer Saddam Hussein.

14

Meski saat itu, rezim Baath mendapat dukungan penuh dari Barat dan Timur
sementara bangsa Iran menghadapi sanksi dan embargo, namun mereka tetap
berhasil menggagalkan konspirasi Barat dan agresi militer Saddam Hussein. Di
mata para analis dalam negeri Iran, kepercayaan diri merupakan langkah pertama
yang mendorong rakyat Iran untuk membuat persenjataan perang secara mandiri
dan belajar bagaimana memanfaatkan keterbatasan sarana dan fasilitas menjadi
modal kekuatan membela diri di segala bidang.
Kesimpulan
Perang Irak-Iran yang terjadi selama delapan tahun dan menewaskan tidak
sedikit warga sipil dari kedua belah pihak, diwarnai oleh kepentingan pribadi dan
golongan. Bisa dilihat bahwa kegagalan rezim Saddam Hussein untuk
mengalahkan negara revolusi Islam bentukan Khomeini adalah sikap Saddam
Hussein yang sedari awal sudah meremehkan Iran. Selain unggul dalam jumlah
personel militer, Iran juga memiliki senjata yang tak kalah dengan Irak. Meskipun
Irak dimotori oleh negara-negara Barat dan Arab, namun ketangguhan revolusi
Islam yang sebelumnya sudah terbentuk, mampu mengalahkan Irak. Terlebih
karena semangat yang luar biasa warga sipil Iran untuk membela negaranya.
Peran negara Barat khususnya Amerika Serikat sangat penting terlebih
untuk pendanaan perang Irak-Iran. Amerika Serikat tidak memberikan pendanaan
itu secara cuma-cuma melainkan juga mempunyai kepentingan di Timur Tengah.
Baik dari segi kepentingan politik, ekonomi, maupun dalam bidang keamanan dan
militer. Amerika Serikat tidak hanya terlibat dalam perang Irak-Iran melainkan
berbagai konflik di Timur Tengah. Usaha untuk memecah belah kekuatan Irak dan
Iran juga tidak luput dari target Amerika Serikat. Buktinya, Amerika Serikat
menggagalkan usaha PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada rezim Saddam
Hussein yang telah melakukan agresi. Bantuan demi bantuan pun mengalir untuk
Irak, dalam hal politik, ekonomi dan militer. Anehnya, Amerika tidak hanya
menyokong Irak untuk melakukan invasinya terhadap Iran. Tetapi bersamaan
dengan itu pula, melalui jalur Israel, Amerika Serikat memberikan bantuan

15

persenjataan dan militer kepada Iran. Jadi Amerika Serikat tidak sepenuhnya
berpihak ke Irak, melainkan juga ke Iran.

Daftar Pustaka
Abrahamian,

Ervand. 1982. Iran Between Two Resolutions. New Jersey: Princeton

University
Antonio, Muhammad Syafi.

. Ensiklopedia Peradaban Islam jilid 5. Jakarta: PT

Tazkia
Basri, Syafiq. 1987. Iran Pasca Revolusi Sebuah Reportase Perjalanan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Daliman. 1933. Sejarah Asia Barat Daya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia: Universitas sebelas Maret Surakarta
Sihbudi, M Riza. 1989. Dinamika Revolusi Iran Sejak Jatuhnya Syah hingga Wafatnya
Khomeini. Jakarta: Pustaka Hidayat
Spencer, William J. 2009. Global Studies: The Middle East Twelfth Edition. New York:
McGraw Hill
Ochsenwald, William. 1976. The Middle East A History Fourth Edition, (New York:
McGraw Hill

Website:
http://wikipedia.org diakses tanggal 22 Mei 2015 pada pukul 14.37 WIB
http://news.liputan6.com, 22-9-1980: Perang Terpanjang Abad 20 Iran Vs Irak Dimulai,
diakses pada 22 Mei 2015 pada pukul 15.07 WIB
Iran Indonesia radio IRIB World Servie, Perang Irak-Iran dan Kegagalan Rezim Saddam
(Bagian kedua), diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 10.15 WIB

16