INTERVENSI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PELA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Asasi Manusia
1. HAM dalam Perspektif Universal
Setiap manusia terlahir dengan hak paling dasar, yaitu hak untuk
hidup. Ketika seseorang hidup, maka dia akan bersosialisasi dan
membutuhkan orang lain untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Secara umum, jika apa yang ingin dilakukan seseorang dilarang oleh orang
lain, maka haknya telah dibatasi. Namun sebaliknya, jika apa yang ingin kita
lakukan menganggu hak orang lain, maka kita pun membatasi hak orang lain.
Maka dari itu, dunia ini terdiri dari negara-negara yang memiliki aturan yang
berfungsi membatasi hak warga negaranya agar diupayakan tidak terjadi
konflik di antara mereka. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia
memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan citacitanya.
HAM menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah hak yang
melekat pada semua manusia, apapun kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis
kelamin, asal-usul kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau
status lainnya. Kita semua sama-sama berhak atas HAM tanpa diskriminasi.
Hak-hak ini semua saling bergantung, saling terkait dan tak terpisahkan. 25
HAM secara universal seringkali dinyatakan dan dijamin oleh hukum, dalam
25


United Nations Human Rights. 2010. What is Human Rights.
http://www.ohchr.org/en/issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx (diakses pada tanggal 12 Oktober 2010)

20

bentuk perjanjian, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum dan
sumber-sumber hukum internasional. HAM dalam hukum internasional
meletakkan kewajiban Pemerintah untuk bertindak dengan cara tertentu atau
untuk menahan diri dari tindakan tertentu, dalam rangka untuk melindungi
HAM sebagai kebebasan dasar individu atau kelompok.
Universal Declaration of Human Rights dengan tiga puluh pasalnya
menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang
harus dinikmati manusia di setiap negara. Pengakuan HAM secara universal
membenarkan pembebasan bangsa-bangsa yang tertindas. Menurut Pasal 1
Piagam PBB, salah satu tujuan PBB adalah untuk mencapai kerja sama
internasional dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan atas HAM dan
kemerdekaan yang mendasar bagi semua orang, tanpa membedakan suku,
bangsa, kelamin, bahasa maupun agama.
HAM dibentuk menjadi sebuah komisi PBB yang dipimpin Eleanor

Roosevelt. Pada 10 Desember 1948, komisi tersebut secara resmi diterima
PBB. Pada awalnya, deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan etis
seluruh anggota PBB. Namun, pada tahun 1957 dibuat lagi tiga bentuk
perjanjian, yaitu :
a. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(ICESCR);
b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);

21

c. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights.
Ketiga dokumen tersebut di atas diterima Sidang Umum PBB pada
tanggal 16 Desember 1966, dan kepada anggota PBB diberi kesempatan
untuk meratifikasinya. Kedua kovenan berisi ketentuan-ketentuan yang
mengikat bagi negara yang meratifikasi dengan maksud memberi
perlindungan atas hak-hak dan kebebasan probadi manusia. Hak merupakan
perwujudan dari martabat manusia, yang tercermin dari kebebasan berpikir,
beragama, dari ketakutan dan kesengsaraan.
Khusus isi pokok dari International Covenant on Civil and Political

Rights adalah semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya
sendiri. Atas kekuatan hak tersebut mereka bebas dalam menentukan status
politik, pendidikan dan penerangan pelatihan. John Locke, Montesquieu, dan
Rousseau26 mengemukakan macam-macam HAM, yaitu :
a. Kemerdekaan atas diri sendiri
b. Kemerdekaan beragama
c. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat
d. Hak Write of Habeas Corpus
e. Hak kemerdekaan pikiran dan pers.
Dari sebagian besar penjelasan dan pembagian mengenai HAM,
definisi universal mencakup lebih luas hak-hak individu. HAM dijelaskan
26

Sulaiman Hamid. 2002. Hak Asasi Manusia dalam Lembaga Suaka Hukum Iternasional. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada. hal. 27.

22

lebih terperinci dan diatur dalam hukum internasional, sebagai hukum yang
mengatur negara-negara di dunia.

2. HAM dalam Perspektif Liberalisme
Liberalisme

adalah

ideologi

yang

bertumpu

kepada

filosofi

individualisme, pandangan yang mengedepankan kebebasan orang per orang.
Dengan demikian, individu dengan segala kebebasannya diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan maksimal. 27
Konsepsi HAM dari perspektif liberalisme secara formal dapat dibaca dalam
Deklarasi Kemerdekaan 13 Negara-negara Amerika 1776 “…we hold these

truths to be self-evident; that all men created equal;that they are endowed by
their Creator with certain inalienable rights, liberty, and the pursuit of
happiness.”28
Selanjutnya Lafayette, orang Prancis yang aktif dalam perang
kemerdekaan Amerika mengembangkan lebih lanjut Deklarasi Amerika ke
dalam Declaration de l’Homme et du Citoyen pada tahun 1989 di Paris.

“…men are born and remain free and equal in rights; indeed, that the
purpose of all political associations is the conservation of the natural
and inalienable rights of man; these rights are liberty, property,
security, and resistance to oppression: liberty is defined as being
unrestrained in doing anything that does not interfere with another’s
27

Prof. A. Mansyur Effendi, SH.M.S dan Taufani Sulimana Evandri, SH.MH. 2007. HAM dalam
Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham dalam Masyarakat. Bogor:
Ghalia Indonesia. hal.10
28
Maurice Cranston (1983) dalam Prof. A. Mansyur Effendi, SH.M.S dan Taufani Sulimana Evandri, SH.MH.
2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham dalam

Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia. hal.11

23

rights, and is held to include the rights to free speech, a free prees,
religion freedom, and freedom from arbitrary arrest.”
Pernyataan tersebut menyebutkan bahwa makhluk dilahirkan merdeka
dan tetap merdeka, manusia mempunyai hak yang sama, manusia merdeka
berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain, warga negara mempunyai hak
yang sama dan mempunyai kedudukan dan pekerjaan umum, manusia tidak
boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang, manusia
mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan, dan manusia merdeka
mengeluarkan pikiran.
Dari pernyataan tersebut, tergambarkan bahwa mengedepankan HAM
merupakan reaksi keras terhadap sistem pemerintahan, politik, dan sosial
yang sebelumnya absolut. Pernyataan tersebut sekaligus merupakan
perlawanan formal terhadap rezim totaliter, ancient regime (orde lama) yang
menganggap bahwa negara adalah satu-satunya yang berhak mengatur
segalanya, termasuk HAM. Dengan demikian, melalui paham liberal, posisi
HAM diakui dan dijunjung tinggi oleh negara serta dilaksanakan oleh

pemerintah. Penghormatan atas hak-hak individu yang terkesan tanpa batas
menuai kritik, bahwa hal ini merupakan kelemahan paham individualisme.
Secara garis besar, HAM dapat dibedakan menjadi beberapa
kategori29, yaitu :

29

Sulaiman Hamid. 2002. HAM dalam Lembaga Suaka Hukum Intrnasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
hal.29

24

a. Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak
dan sebagainya.
b. Hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki
sesuatu, membeli, menjual, dan memanfaatkannya.
c. Hak-hak asasi politik atau politic rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak untuk dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan
umum, hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya.

d. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan atau rights of legal equality.
e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights,
seperti hak untuk memilih pedidikan dan hak untuk mengembangkan
kebudayaan.
f. Hak asasi untuk mendapatkan perlakukan yang sesuai dengan tata cara
peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti peraturan
mengenai penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan pengadilan.

3. HAM dalam Perspektif Sosialis/Komunis
Pandangan sosialis berdasar pada peran negara dalam beragam
aktivitas masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat tercapai. Dengan
25

demikian, semua gerakan sosial, terutama perekonomian, negara selalu ikut
campur. Sebaliknya, ajaran komunisme yang dibangun Karl Marx bersifat
revolusioner dan langkah apapun demi tercapainya tujuan negara. Untuk
mencapai tujuan tersebut, hak perorangan dihapus dan ditiadakan secara
paksa, tanpa memberi kesempatan warga untuk berbeda pendapat. Dari ajaran
tersebut konsep sosialisme Marx bermaksud mendahulukan kesejahteraan

daripada kebebasan.30
Marxisme secara substansi adalah teori emansipasi manusia, yang
koheren nilai dengan HAM. Manusia selalu menjadi inti, titik awal dan akhir
Marxisme. Manusia, baik abstrak maupun nyata, dalam Marxis menerima
keberadaan hak-hak manusia. Seorang Marxis harus percaya pada HAM,
karena sebuah teori untuk emansipasi manusia tidak dapat meremehkan atau
mengabaikan martabat dan hak manusia. Kaum Marxis berjuang untuk HAM
dari negara borjuis, dan memiliki melindungi HAM di sosialisme mereka
didirikan.31
Bagi seorang Marxist, “…concept of liberty and idea of human rights,
as defined by enlightenment thinkers and ideologist of the French Revolution,
are the specific expressions of a bourgeois society that is on the verge of
collapse.”32
30

P. Hadjon. 1985. dalam Mansyur Effendi dkk. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik,
dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham dalam Masyarakat. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. hal.19
31
Wei Zhou. 1998. Marxism and human rights : theroritical perspective. Creative Commons: Attribution 3.0
Hong Kong License. Hong Kong University. hal. 215

32
Leszek Kolakowski. 1983. Dalam Mansyur Effendi dkk. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,
Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham dalam Masyarakat. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. hal.22.

26

Di dalam suatu masyarakat, cenderung memiliki motivasi lebih
terhadap hak individu, sementara menurut Marx, masyarakat akan selalu
berhadapan dengan individu lainnya sehingga mereka akan egois, sifat yang
mesti dihindari karena akan menimbulkan konflik. Ajaran komunis yang
menjanjikan

penghapusan

kelas

dan

perjuangan


kelas

bermaksud

menghilangkan akar konflik sosial, karena itu HAM yang diagung-agungkan
ajaran liberal menjadi tidak penting. Dalam masyarakat komunis dapat
menikmati hak asasi dalam bidang ekonomi adalah kebutuhan semua anggota
masyarakat dan diatur di bawah negara. Jika ajaran komunis kemudian
hancur, dapat dipahami karena penolakan terhadap hak individu yang telah
menjadi pahaman universal, sehingga dianggap bertentangan dengan hakekat
keberadaan manusia dan bertentangan dengan agama. 33 Penjelasan paham
komunisme dalam hubungan internasional merupakan dasar yang lemah
untuk mengkaji politik luar negeri China. Banyak hal yang dijelaskan dalam
komunisme tidak diterapkan oleh Pemerintah Komunis China.34
Buku Putih China (White Papers) yang berjudul The Socialist System
of Laws with Chinese Charateristics, memaparkan bagaimana China
mengadopsi sistem sosialis di negaranya. Dijelaskan dalam paragraf terakhir
pembukaannya,
The socialist system of laws with Chinese characteristics is a legal
foundation for socialism with Chinese characteristics to retain its
33

Mansyur Effendi dkk. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses
Penyusunan/Aplikasi Ha-kham dalam Masyarakat. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. hal.22.
34
___,The Theory of Communist Foreign Policy. hal. 281

27

nature, a legal reflection of the innovative practice of socialism with
Chinese characteristics, and a legal guarantee for the prosperity of
socialism with Chinese characteristics. Its establishment is an
important milestone in China's development of socialist democracy
and the legal system, and showcases the great achievements of
reform, opening up and the socialist modernization drive.35
(terjemahan bebas: sistem hukum sosialis dengan karateristik China
adalah landasan humum untuk sosialisme dengan karateristik China
untuk mempertahankan sifat alamiahnya, refleksi humum dari praktek
inovatif sosialisme dengan karateristik China, dan jaminan hukum
bagi kemakmuran sosialisme dengan karateristik China. Adanya
karateristik tersebut merupakan tonggak penting dalam pembangunan
demokrasi sosialis dan sistem hukum di China, dan menampilkan
reformasi besar, membuka dorongan modernisasi sosialis).
Dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa Pemerintahan China
membangun sebuah negara sosialis di bawah kekuasaan hukum adalah
prinsip mendasar bagi Partai Komunis China untuk memimpin dan
memerintah negera. Dianggap perlu untuk mewujudkan suatu sistem hukum
sosialis dengan karakteristik China, sehingga ada yang dapat memastikan
dalam menjalankan urusan negara dan kehidupan sosial, semua patuh pada
hukum. Ini merupakan prasyarat dan landasan bagi China untuk menerapkan
prinsip mendasar dari aturan hukum dalam semua hal, dan jaminan
kelembagaan untuk pembangunan dan kemajuan China.
Ketika Amerika Serikat secara resmi mengakui China pada tahun
1979, China diperintah oleh sebuah pemerintahan otoriter yang didominasi
oleh elit istimewa yang menjalankan kontrol melalui sistem satu partai dan
belum berubah sampai hari ini. China terus diperintah oleh sekelompok kecil
35

White Papers. The Socialist System of Laws with Chinese Charateristics.
http://www.chinahumanrights.org/Messages/China/t20111028_809304_1.htm (diakses 17 Feberuari 2012)

28

pemimpin yang mendominasi kunci organisasi. Semua berbagi kekuasaan
dalam dominasi Partai Komunis China. Deng Xiaoping, yang menjabat
sebagai Ketua Komisi Militer terus menjadi pemimpin utama China.
Kebebasan berbicara, pers, agama, dan HAM terus dibatasi, meskipun
liberalisasi telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir di sana.
China memiliki pandangan lain mengenai HAM. Dalam International
Human Rights Conventions in China dinyatakan bahwa konsep HAM harus
mencakup langkah-langkah kesehatan dan kemakmuran ekonomi, serta
standar ekonomi hidup. Dalam masyarakat harmonis, kesejahteraan kolektif
lebih diutamakan daripada hak-hak dari setiap individu di mana ada konflik
antara keduanya.36 Ada sebuah budaya konfusianisme yang telah mengakar,
budaya yang mengatakan bahwa harmonisasi dan keamanan nasional akan
dicapai melalui penghormatan terhadap kelompok leluhur, sehingga China
menganggap HAM bukan sebagai penghormatan terhadap hak individu
melainkan hak kelompok, hak bersama.
Jacobsen dan Bruun,37 menekankan bahwa untuk dapat memahami
HAM di Asia, maka ada empat faktor kunci yang perlu diketahui, yaitu
pengruh budaya tehadap HAM, komunitarianisme, peran kebaikan umum,
dan bentuk asal negara.
36

China Society For Human Rights Studies. International Human Rights Conventions in China.
http://www.Chinahumanrights.org/CSHRS/Magazine/Text/t20080604_349282.htm
(diakses pada tanggal 12 Oktober 2010)
37
M. Jacobsen dan O Bruun. 2000. Human Rights and Asian Values: Contesing National Identities and Cultural
Representations in Asia. Dikutip oleh Michael K. Connors, “Culture and Politics in the Asia Pacific: Asian
Values and Human Rights” dalam Citra Hennida dan Nurul Ratna Sari. 2008. Tibet dan Permasalahan HAM di
China : Jurnal Dinamika HAM. Vol.8. hal. 37.

29

a. HAM bersifat kontekstual dan secara spesifik ditentukan oleh latar
beakang budata, sejarah, politik, dan ekonomi tertentu, diakui bahwa
HAM adalah universal, tapi interpretasi terhadap arti dan metode
implementasinya dipengaruhi oleh budaya.
b. Budaya Asia menekankan pada komunitarianisme, dimana individu
berkewajiban atau bertanggung jawab kepada keluarga dan komunitasnya.
Budaya

Asia

menampik

individualitas.

Hak-hak

individu

dapat

mengancam ketertiban sosial dan dapat menjauhkan individu untuk
memenuhi peran-peran sosialnya. Perspektif komunitarian memandang
bahwa ketertiban sosial dibangun atas dasar nilai-nilai bersama,
komunitas dipandang sebagai sesuatu di atas individu dan individu sangat
bergantung padanya.
c. Untuk menciptakan masyarakat yang tertib, maka individu harus
didisiplinkan. Penenuhan hak politik individu adalah persoalan kedua
setelah hak-hak komunitas dan negara terpenuhi. Pembangunan akan
menimbulkan kesejahteraan, dan dipandang sebagai sesuatu yang nyata
disbanding kepatuhan terhadap hak-hak individu yang sifatnya abstrak.
d. Negara mampu memerintah untuk kebaikan bersama. Negara dan
masyarakat adalah satu kesatuan. Negara berfungsi untuk memajukan
masyarakat diasumsikan bahwa elit negara mampu mebuat kebijakan
tanpa adanya proses kebijakan publik dan kelompok kepentigan.

30

Legitimasi pemerintah datang bukan dari konsen masyarakat, tapi datang
dari pemerintahan yang efektif dan pembangunan ekonomi.
Mengenai hak dan kewajiban, China memegang prinsip hukum bahwa
hak dan kewajiban adalah satu kesatuan. Berdasarkan prinsip tersebut, China
mengintrepretasikan bahwa hak asasi individu bisa diterima ketika berhadapan
dengan kewajiban untuk mendukung kepemimpinan nasional.38 Dalam hak sipil
dan politik, China menggunakan pendekatan relativisme budaya. Menurutnya,
dalam penerapan standar internasional harus diperhatikan pula adanya nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat. Dalam penerapannya, perlu diperhatikan
sejarah suatu bangsa, kehidupan sosial, budaya, dan bahkan realitas politik yang
ada pada negara tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti mendefinisikan HAM itu sendiri sebagai
dasar kehidupan seorang individu, dasar yang menjadi pijakan setiap orang untuk
berhak memikirkan, memilih, menentukan, memutuskan, dan menjalankan
apapun yang diinginkan. Penerapan perlindungan atas HAM di suatu negara,
tidak dapat mengesampingkan latar belakang budaya dan tatanan kehidupan
sosial mereka, karena perilaku negara ditentukan oleh sejarah kehidupan bangsa
masing-masing.
B. Intervensi

38

James D.Seymour. 1994. Human Rights in China. Current History. Academic Research Library. hal. 256
dalam Citra Hennida dan Nurul Ratna Sari. 2008. Tibet dan Permasalahan HAM di China : Jurnal Dinamika
HAM. Vol.8. hal. 38.

31

Kekuatan militer suatu negara merupakan salah satu tolak ukur kekuatan
negara mereka. Negara-negara yang memiliki kekuatan militer cukup besar akan
disegani. Militer sarat dengan aksi kekerasan (violent action), namun dalam
interaksinya ada pula yang dikenal sebagai aksi tanpa kekerasan (nonviolent
action). Membahas mengenai nonviolent action, tercakup pula nonviolent
intervention. Seperti yang dijelaskan oleh G.Sharp :
One final class of the methods of nonviolent action remains, that of
nonviolent intervention. The forty-one methods in this class differ from
those in the classes of protest and persuasion and of noncooperation in
that in some way they ‘intervene’ in the situation. Such methods of
intervention operate both negatively and positively: they may disrupt, and
even destroy, establishes behavior patterns, policies, relationships, or
institutions which are seen as objectionable; or they may establish new
behavior patterns, policies, relationships, or institutions which are
preferred. Some of these methods contribute primarily to the first of these
results, some to the second. 39
Kutipan di atas menjelaskan bahwa nonviolent intervention berbeda
dengan bentuk protes maupun sifat persuasi. Meskipun demikian, nonviolent
intervention dapat memberikan dampak positif bagi yang sesuai untuk kemudian
menciptakan politik baru. Sebaliknya memberikan dampak negatif bagi yang
bertolak belakang sehingga dapat mengganggu bahkan menghancurkan politik
yang ada. Selanjutnya ia menambahkan :
Compared with the methods of the classes of protest and persuasion and
of noncooperation, the methods of nonviolent intervention pose are more
direct and immediate challenge.40(terjemahan bebas : Dibandingkan
dengan metode kelas protes dan persuasi dan non-kooperasi, metode
39

Gene Sharp. 1992. The Politics of Nonviolent Action (Part Two : The Methods of Nonviolent Action. Boston:
Porter Sargent Publisher. hal. 357
40
Gene Sharp. Ibid., hal. 357

32

intervensi tanpa kekerasan menimbulkan lebih langsung dan segera
tantangan)
Istilah intervensi mempunyai batasan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan oleh suatu negara, atau suatu organisasi internasional yang
mencampuri secara paksa urusan dalam negeri negara lain.41 Adapun alasan suatu
negara untuk melakukan intervensi, yaitu :
1. Hak untuk mempertahankan diri, yang dimungkinkan oleh Artikel 51 Piagam
PBB.
2. Diundang oleh rezim (pemerintah) yang berkuasa di negara itu untuk
menghadapi perlawanan di dalam negeri.42
Intervensi kemudian dipahami secara lebih luas, melingkupi tindakan
protes suatu negara terhadap tindakan negara lain. Kebanyakan protes pada
tingkat negara berupa pernyataan kenegaraan dari representatif negara tersebut.
Lebih nyata lagi, lebih sering negara menjadikannya sebagai politik luar negeri
yang terfokus untuk satu negara saja. Hal ini terjadi karena suatu negara
menganggap perilaku negara lain dapat mempengaruhi negaranya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Adapun intervensi dispesifikkan menjadi
beberapa macam, bergantung pada alasan atau tujuan dari intervensi tersebut.
Salah satunya adalah intervensi kemanusiaan (human intervention).
41

John Baylis dan Steve Smith. 1999. The Globalization of World Politics: An Introduction to International
Relations. UK: Oxford University Press. Hal. 395. dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad
Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
42
K.J. Holsty, 1988. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice Hall, hal. 352.
dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

33

Menurut Holzgrefe human intervention, yaitu :
The treat or use of force by a state (or group of states) aimed at
preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental
human rights of individuals other than its own citizens, without the
permission of the state within whose territory force applied43
Melalui definisi ini dijelaskan bahwa intervensi kemanusiaan adalah
perlakuan oleh suatu negara terhadap masalah dalam negeri suatu negara lain
tanpa izin dari negara tersebut dengan alasan HAM yang dimiliki oleh tiap
individu. Ada kemungkinan bahwa intervensi jenis ini yang dipilih AS saat
berusaha mencampuri masalah Tibet. Intervensi kemanusiaan terkesan lebih
menunjukkan kepedulian terhadap HAM. Inilah yang dapat menjadikan
tanggapan China ke AS lebih buruk.

C. Konflik dan Resolusi Konflik
Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi satu sama lain.
Setiap interaksi terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dicapai. Dalam
proses pencapaian tujuan tersebut, ada langkah-langkah yang dipilih. Pilihan
setiap individu berbeda. Hal ini dikarenakan latar belakang mereka menjadi

43

J.L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane. 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political
Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press, hal.279. dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan
Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

34

pertimbangan saat mereka memilih. Latar belakang tersebut, berbeda secara
wajar. Perbedaan itu kemudian menimbulkan konflik di antara keduanya.
Konteks hubungan internasional, dengan negara sebagai aktornya, konflik
pun terjadi. Interaksi antar negara akan membuat mereka mengemukakan
berbagai pendapat dan menentukan berbagai pilihan yang berbeda-beda,
termasuk dalam permasalah HAM. Perbedaan pandangan atas definisi HAM
antara China dan AS menimbulkan konflik di antara keduanya.
Menurut Burton,
conflict is interpreted in the context of a serious nature of challenges to
the existing norms, relationships, and rules of decision making 44
(terjemahan bebas : konflik ditafsirkan dalam konteks yang bersifat
pertentangan dengan norma yang ada, hubungan, dan aturan pengambilan
keputusan).
Sesuai dengan definisi konflik itu sendiri ialah pertentangan atau
perbedaan antara dua atau lebih perspektif atau sudut pandang. Konflik dapat
terjadi karena adanya faktor pendorong dari berbagai sisi, antara lain ekonomi,
politik, agama, sosial, budaya, lingkungan, hingga keterkaitan antar satu dengan
yang lain hingga menjadikan konflik begitu kompleks.
Lain halnya dengan Dialektika Hegel, konflik dikatakan sebagai
pertentangan antara tesis, antitesis, dan sintesis yang membentuk siklus tak
berujung. Tesis merupakan suatu ide, ide ini belum mencapai kesempurnaan
sehingga menimbulkan antitesis. Sebagai hasil dari pertentangan di antara
44

J. W. Burton and Dukes, F. (1990) Conflict: Practices in Management, Settlement and
Resolution. New York: St. Martin’s Press. dalam Ho Won Jeong. 2008. Understanding Conflict and Conflict
Analysis. London: SAGE Publication. hal. 6.

35

keduanya, maka lahirlah sintesis yang kemudian menjadi tesis baru. Tesis baru
akan menghasilkan antitesis baru pula, dan seterusnya. Siklus ini hanya akan
terhenti jika ditemukan tesis (ide) baru yang absolute, tanpa kekurangan.45
Ada pula teori fase. Teori ini menjabarkan bahwa terjadinya interaksi
konflik melalui fase-fase dengan pola tertentu dan dalam kurun waktu tertentu.
Diyakini bahwa konflik memiliki alur tententu hingga mencapai fase
penyelesaiannya. Salah satu fase konflik dijelaskan oleh Donald Rothchild dan
Chandra Lekha Sriram46 bahwa konflik melalui empat fase, yaitu :
1. Fase potensi konflik, konflik telah terjadi tetapi masih dalam level intensitas
yang rendah.
2. Fase pertumbuhan, isu yang dipertentangkan kian meruncing. Perpecahan
dalm kelompok meningkat dan kemungkinan terjadinya tindak kekerasan
makin tinggi. Namun, pada fase ini hubungan antar elit masih terjadi dan isu
yang dipertentangkan masih bisa dirundingkan.
3. Fase pemicu dan eskalasi. Pada fase ini kepercayaan antar kelompok yang
bertikai telah hilang, tak ada lagi kompromi. Sehingga tindak kekerasan pun
kian meningkat. Dalam tahapan ini, hubungan antar elit terputus.
4. Fase pasca konflik terbagi dua, yaitu fase pengembangan militer (gencatan
senjata) atau fase pengembangan institusi (rekonstruksi sosial, politik, dan
ekonomi untuk kembali membina hubungan)
45

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik (Teori, Aplikasi, dan Penelitian). Jakarta : Salemba
Humanika. hal.16
46
Ibid. hal.38

36

Adapun sumber-sumber konflik yang dikemukakan oleh W. Jones47,
antara lain :
1) ketimpangan kekuasaan, 2) transisi kekuasaan, 3) nasionalisme,
separatism, dan iredentisme, 4) darwinisme sosial internasional, 5)
kegagalan komunikasi akibat kekeliruan presepsi dan dilema keamaan, 6)
kegagalan komunikasi akibat ironi atau kesalahan teknis, 7) perlombaan
senjata, 8) kekompakan internal melalui konflik eksternal, 9) konflik
internasional akibat perselisihan internal, 10) kerugian relatif, 11) naluri
agresi, 12) rangsangan ekonomi dan ilmiah, 13) kompleks industri
militier, 14) pembatasan penduduk, 15) penyelesaian konflik melalui
kekerasan.
Berbagai teori yang diungkapkan mengenai konflik, intisarinya tetap
mengacu pada perbedaan. Dalam penelitian kali ini perbedaan yang menciptakan
konflik antara AS dan China lebih kepada ideologi, sehingga disebut sebagai
konflik ideologi. Perbedaan atau pertentangan ideologi mengawali persaingan
antar negara, pada dekade berikutnya telah melahirkan persaingan dalam bidang
lain, seperti teknologi dan ekonomi.
Setiap perbedaan selalu diusahakan mendapatkan kesepakatan sebagai
jalan keluarnya. Setiap konflik pun butuh resolusi konflik sebagai bentuk dari
penyelesaiannya. Resolusi konflik yang tercantum dalam Paris Treaty 1928,
dapat melalui jalur diplomatik dan jalur hukum. Jalur diplomatik terdiri dari
negosiasi, pencarian fakta, jasa-jasa baik, mediasi dan konsiliasi. Sedangkan jalur
hukum terdiri dari arbitrase dan pengadilan internasional. Sebelum akhirnya
sampai kepada hasil dari resolusi konflik, ada pula tahapan yang dilalui untuk
mencapai damai, yaitu peace keeping, peace making, dan peace building. Peace
47

Walter S. Jones. 1993. Logika Hubungan Internasional 2. Jakarta: Gramedia. hal. 179

37

keeping merupakan proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan
melalui intervensi militer yang menjalankan perang sebagai penjaga perdamaian
yang netral. Peace making merupakan proses yang bertujuan mempertemukan
sikap politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai melalui mediasi,
negosiasi, arbitrase terutama pada level elit (pemimpin). Peace building adalah
proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi,
demi tercapainya perdamaian.48
Kembali kepada resolusi konflik. Resolusi konflik tidak berjalan sendiri,
butuh mekanisme yang berjalan. Salah satunya dapat dikaji dari skema berikut :

Resolusi Konflik
(Conflict
Resolution)
Mengatur Sendiri
(Self Regulation)

Pengadilan
(Court
Process)

Proses Administrasi
(Administration
Process)

Intervensi Pihak
Ketiga
(Third Party
Resolusi Perselisihan
Alternatif
(Alternative Despute

48

Yulius P. Hermawan. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
hal.93

38

Mediasi
(Mediation)

Arbitrase
(Arbitration)

Ombudsman

Sumber : Wirawan (2010 : 177)
Berdasarkan gambaran skema di atas, resolusi konflik terbagi atas dua,
yaitu pertama, mengatur sendiri atau diselesaikan oleh pihak berkonflik secara
mandiri. Kedua, dengan adanya intervensi pihak ketiga atau adanya campur
tangan pihak yang tidak berkonflik dan diupayakan bersifat netral.
D. Hubungan Bilateral
Setiap individu memiliki kepentingan. Ketika kumpulan individu
berkumpul, maka mereka akan berupaya menyelaraskan kepentingan mereka.
Sama halnya dengan kumpulan individu yang tergabung dalam institusi
pemerintahan. Mereka memiliki kepentingan atas nama negara, atau dengan kata
lain menjadi kepentingan negara. Pada dasarnya, suatu kepentingan berasal dari
keinginan untuk lebih baik atau karena membutuhkan sesuatu yang tidak
dimiliki. Dalam pencapaiannya, negara pun membutuhkan negara lain, sehingga
terciptalah interaksi di antara mereka. Pada tingkatan negara interaksi yang
membentuk hubungan antara dua negara disebut sebagai hubungan bilateral.
Hubungan internasional adalah interaksi yang melintasi batas negara.
Namun, tidak semua interaksi dalam hubungan internasional dapat dikatakan
sebagai hubungan bilateral. D. Krisna menyatakan bahwa: “hubungan bilateral
adalah keadaan yang menggambarkan adanya hubungan saling mempengaruhi

39

atau terjadi hubungan timbal balik antara kedua pihak”49. Dalam pernyataan
tersebut hubungan dijelaskan sebagai hal yang memiliki latar belakang atau
alasan untuk dilakukan. Kata timbal balik menekankan pada adanya aksi reaksi
dalam hubungan bilateral. Dalam konteks negara, jika ada suatu hal yang
diputuskan satu negara dan mempengaruhi negaranya, maka ada respon. Yang
dapat merespon, hanya yang memiliki hubungan bilateral dengan negara tersebut.
B. Kusumohadimidjojo menyatakan bahwa: “hubungan bilateral adalah
suatu bentuk kerja sama di antara kedua negara baik yang berdekatan secara
geografis ataupun yang jauh di seberang lautan dengan sasaran utama untuk
menciptakan perdamaian dengan memperhatikan keamanan politik, kebudayaan,
dan struktur ekonomi”.50
Pernyataan di atas lebih menekankan bahwa semua negara dapat menjalin
hubungan bilateral. Tidak menjadikan letak sebagai faktor utama bahkan
penghambat. Namun, lebih kepada kondisi politik, ekonomi, dan budaya suatu
negara. Jika ada yang dibutuhkan dari negara tersebut, maka akan terjalin
hubungan bilateral. Meskipun demikian, terdapat beberapa variabel yang mesti
dipertimbangkan dalam pelaksanaan hubungan bilateral. Holsty51 memaparkan
variabel tersebut sebagai berikut:
1. Kualitas dan kuantitas kapabilitas yang dimiliki suatu negara.
49
50

Didi Krisna. 1993. Kamus Politik Internasional. Jakarta: Grasindo. hal. 18
Budiono Kusumohamidjojo. 1987. Hubungan Internasional: Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Bina Cipta. hal.

95
51

K. J. Holsty. 1998. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, terj. M. Tahir Azhary. Jakarta: Erlangga.
hal. 22

40

2. Keterampilan mengarahkan kapabilitas tersebut untuk mendukung
berbagai tujuan.
3. Kredibilitas ancaman serta gangguan.
4. Derajat kebutuhan dan ketergantungan.
5. Responsivitas di kalangan pembuat kebijakan.
Dengan adanya beberapa variabel di atas, makin mempertegas bahwa
hubungan bilateral terjalin karena kepentingan yang ingin dicapai. Suatu interaksi
dapat dikatakan sebagai hubungan bilateral jika telah ada perjanjian antara kedua
negara untuk bekerja sama dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.
Adapun bentuk-bentuk kerja sama tentu dibentuk berdasarkan pada
kepentingan kedua negara. Secara ideal, kerja sama harus bersifat saling
menguntungkan untuk kedua pihak. Pencapaian kepentingan kedua negara, baik
berupa pengembangan cita-cita negara, tujuan nasional, maupun realisasi politik
luar negeri suatu negara, diusahakan dapat diselaraskan. Ketika tidak dapat
diselaraskan, maka hubungan bilateral dapat terganggu atau bahkan terputus.
Oleh karena itu, hubungan AS dan China telah sesuai dengan tujuan dari
dilakukannya hubungan bilateral itu sendiri, yaitu pencapaian kepentingan
masing-masing negara, demi terwujudnya perdamaian dunia, keamanan, dan
stabilitas ekonomi.
E. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Hak Asasi Manusia

41

Strategi perluasan demokrasi selalu menjadi tema utama politik luar
negeri AS.52 Kebijakan demokrasi yang pada hakekatnya merupakan pelaksanaan
dari tradisi misionaris bangsa Amerika ini mengandung tujuan yang lebih luas,
yakni mempertahankan kebebasan melawan kecendrungan tirani yang tidak saja
hanya berlaku bagi setiap anggota masyarakat. AS sebagai negara demokratis
terkuat paling bertanggung jawab untuk memainkan suatu peran kepemimpinan
untuk menjamin ditaatinya ketertiban, serta terciptanya keamanan dan
perdamaian dunia.
Selama lebih dari tiga dekade, pemerintah AS telah memproyeksikan
HAM sebagai bagian penting dari kebijakan luar negeri mereka. Dua presiden
pada khususnya, dari Partai Demokrat, Jimmy Carter dan dari Partai Republik
George W. Bush, menjadikan HAM sebagai tujuan-tujuan kebijakan luar negeri
mereka, meskipun keduanya dituduh hanya berada pada tataran pemikiran saja.
Carter mengatakan dalam sebuah pidato Juni 1977 di University of Notre Dame
bahwa komitmen terhadap HAM adalah "prinsip dasar" kebijakan luar negeri AS.
Dia berkata: "Sudah terlalu bertahun-tahun, kami telah bersedia untuk
mengadopsi prinsip-prinsip negatif dan taktik musuh kita, kadang-kadang
meninggalkan nilai-nilai kita sendiri untuk mereka." Meskipun demikian,
kekhawatiran Perang Dingin AS terus sejalan dengan diktator dan rezim militer
di Filipina, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo), Pakistan, dan negaranegara lain di seluruh masa jabatannya.
52

Richard C. Schroeder. 1989. Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat. US Department of State: Office of
International Information Programs. hal.1

42

Sedangkan Bush, mendapat tekanan besar, apalagi ketika ia memilih
“kebebasan” sebagai agenda diperiode kedua kepemimpinannya, di mana ia
mengatakan tujuan dari kebijakan AS adalah "mengakhiri tirani di dunia kita".
Beberapa ahli mengamati meningkatnya perhatian terhadap HAM dalam
kebijakan luar negeri AS untuk akhir Perang Dunia II, merupakan respon
terhadap trauma yang disebabkan oleh konflik massal dan genosida Nazi.
Keamanan dan HAM menyokong berdirinya PBB baru, sebagian besar
direkayasa oleh AS sekaligus dianggap sebagai juara dari Universal Declaration
of Human Rights, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948, yang
dibilang untuk pertama kalinya dalam dokumen internasional sebagai elemen
fundamental dari martabat manusia dan kebebasan palsu kekhawatiran tentang
kedaulatan nasional.
Tujuan utama Kebijakan Luar Negeri AS adalah mempromosikan
penghormatan terhadap HAM, sebagaimana yang terpaparkan dalam Universal
Declaration of Human Rights. AS memahami bahwa keberadaan HAM
membantu mengamankan perdamaian, mencegah agresi, mempromosikan aturan
hukum, memerangi kejahatan dan korupsi, memperkuat demokrasi, dan
mencegah krisis kemanusiaan. Karena promosi HAM telah menjadi kepentingan
nasional, maka AS berusaha untuk53:
1. bertanggung jawab kepada kewajiban mereka menurut norma-norma yang
berlaku dalam HAM secara universal dan instrumen internasional HAM;
53

Human Rights. U.S Departement of State. http://www.state.gov/j/drl/hr/index.htm (diakses 12 Januari 2012)

43

2. mempromosikan penghormatan terhadap HAM, termasuk kebebasan dari
penyiksaan, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, hak perempuan, hak-hak
anak, dan perlindungan kaum minoritas;
3. mempromosikan aturan hukum, mencari akuntabilitas, dan mengubah budaya
impunitas;
4. membantu upaya untuk mereformasi dan memperkuat kapasitas kelembagaan
dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dan Komisi HAM PBB, dan
5. Mengkoordinasikan

kegiatan-kegiatan

HAM

dengan

sekutu

penting,

termasuk Uni Eropa, dan organisasi regional.
AS membentuk Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor
(BDHRL) ditahun 1993 dan masih dipertahankan hingga sekarang sebagai
instrumen pemerintahan yang fokus terhadap HAM. Dalam BDHRL berlaku tiga
prinsip kunci untuk bekerja pada HAM.54 Pertama, BDHRL berusaha untuk
belajar kebenaran dan fakta suatu negara dalam semua penyelidikan HAM,
laporan kondisi negara, pidato dan suara di PBB, dan profil suaka. Setiap tahun,
BDHRL mengembangkan, mengedit, dan menyampaikan kepada Kongres,
laporan 5.000 halaman tentang kondisi HAM dari lebih 190 negara yang
dihormati secara global untuk objektivitas dan akurasi. BDHRL juga
menyediakan informasi yang relevan pada kondisi negara kepada instrumen
pemerintah AS yang mengurusi imigrasi dan naturalisasi.

54

Ibid., (diakses 12 Januari 2012)

44

Kedua, BDHRL mengambil posisi yang konsisten tentang pelanggaran
masa lalu, sekarang, dan masa depan. Berkenaan dengan pelanggaran masa lalu,
juga mempromosikan akuntabilitas. Untuk menghentikan berlangsungnya
pelanggaran HAM, biro ini menggunakan pendekatan inside-outside, di mana
faktor internal dan eksternal menjadi pertimbangan pada masalah HAM
(termasuk kemungkinan sanksi) dengan dukungan sama kuat untuk reformasi
internal. Untuk mencegah pelecehan dimasa depan, sehingga mempromosikan
peringatan dini dan diplomasi preventif. Setiap tahun BDHRL memastikan
bahwa pertimbangan HAM yang dimasukkan ke dalam pelatihan militer AS dan
program bantuan keamanan, mempromosikan hak-hak perempuan melalui
kampanye internasional untuk partisipasi politik dan kesetaraan penuh,
melakukan dialog tingkat tinggi HAM dengan pemerintah lain, koordinat
kebijakan AS terhadap manusia hak dengan sekutu, dan menimbulkan isu-isu
kunci dan kasus melalui saluran diplomatik dan publik.
Ketiga, BDHRL menempa dan memelihara kemitraan dengan organisasi,
pemerintah, dan lembaga multilateral yang berkomitmen untuk HAM. Biro ini
mengambil keuntungan dari forum-forum multilateral untuk menarik perhatian
internasional pada masalah HAM dan untuk mencari perbaikan. Setiap tahun,
BDHRL menyediakan dukungan signifikan teknis, keuangan, atau staf untuk
Delegasi AS untuk pertemuan tahunan beberapa organisasi internasional HAM,
melakukan konsultasi rutin dengan suku-suku asli Amerika dan berfungsi sebagai
penasihat utama dalam isu-isu hak masyarakat adat, mempertahankan hubungan
45

dengan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, dan mendukung penciptaan efektif
mekanisme multilateral HAM dan lembaga untuk akuntabilitas.
Pendirian lembaga khusus oleh AS, memperlihatkan keseriusan mereka
dalam mempromosikan HAM kepada dunia. Kepedulian ini sebenarnya menjadi
latar belakang dan alasan AS melakukan tindakan-tindakan represif dan
intervensi terhadap masalah HAM negara lain. Disamping itu, kekuatan nasional
yang dimiliki AS sebagai salah satu negara pertama yang terbentuk di dunia,
menjadikan mereka memiliki kekuatan pula dalam upaya pencapaian kepentingan
nasional mereka, terkhusus pada masalah HAM.

46