3. Sistem dan Bentuk Perkawinan 4. Larangan Perkawinan

Menurut adat Karo, mukul ini merupakan “materai” sahnya perkawinan walaupun secara formal sudah dilaksanakan nggalari hutang man kalimbubu dalam kerja nereh empo. 31

C. 3. Sistem dan Bentuk Perkawinan

Sistem perkawinan dalam masyarakat Karo adalah eksogami yaitu seseorang harus menikah dengan orang lain di luar klannya. Sedangkan bentuk perkawinannya adalah dengan perkawinan jujur yaitu pemberian uang atau barang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sistem perkawinan dalam masyarakat Karo yang patrilineal adalah eksogami yang mengakibatkan : a. Cara perkawinannya adalah perkawinan jujur “unjuken”, artinya pihak laki-laki membayar mas kawin dengan sejumlah uang kepada pihak perempuan dan setelah menjadi wanita tersebut kemudian berpindah ke dalam klan suaminya. b. Anak-anak menjadi anggota dari klan ayahnya. c. Suami mendominasi dalam keluarga “brayat”. d. Dikenal adanya perkawinan leviraat kawin mengganti “medun ranjang” yaitu janda kawin dengan saudara laki-laki almarhum suaminya dan perkawinan surorat kawin meneruskan “ngarang wulu” yaitu duda kawin dengan saudara perempuan mendiang istrinya. e. Istri pada hakikatnya tidak berhak memiliki harta perkawinan. 32 31 Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta : Inti Indayu, 1986, hal. 48-49. 32 Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung : Tarsito, 1978, hal. 30-31.

C. 4. Larangan Perkawinan

Dalam hukum adat Karo, dikenal adanya larangan untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan yaitu : a. Berasal dari satu marga, kecuali untuk Marga Sembiring dan Perangin- angin. b. Mereka yang karena adat dilarang untuk melangsungkan perkawinan karena erturang bersaudara, seperemen, atau erturang impal c. Belum dewasa, dalam hal ini mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani dan sudah mengetahui adat berkeluarga meteh mehuli sedangkan untuk perempuan hal ini diukur dengan sudah akil balig dan telah mengetahui adat meteh tutur.

C. 5. Akibat Hukum Perkawinan