5. Akibat Hukum Perkawinan TINJAUAN PUSTAKA

Di berbagai daerah masih terdapat sisa-sisa pengaruh perbedaan kedudukan dan martabat dalam kemasyarakatan adat sebagai akibat dari susunan feodalisme desa kebangsawanan adat. Misalnya seorang laki-laki dari golongan tinggi dilarang melakukan perkawinan dengan seorang perempuan dari golongan rendah dan demikian juga sebaliknya.

B. 5. Akibat Hukum Perkawinan

Akibat hukum pada suatu perkawinan dalam masyarakat hukum adat tergantung dari sistem kekerabatan yang dianutnya, apakah patrilineal, matrilineal atau parentalbilateral. Walaupun demikian seperti halnya peraturan perundangan yang berlaku, suatu perkawinan dalam masyarakat adat mengakibatkan tiga hal, yaitu : a. Hubungan suami istri Pada masyarakat patrilineal dengan diterimanya uang atau barang jujur berarti perempuan tersebut mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan istri tertentu. Seperti yang dinyatakan menurut Hilman Hadikusuma : Setelah istri berada di tangan suami, maka istri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami atau atas persetujuan kerabat suami. Istri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan berumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan. 27 Keadaan tersebut tidak hanya berlangsung selama dalam ikatan perkawinan, melainkan masih tetap berjalan terus walaupun si suami meninggal dunia sehingga kedudukan almarhum suami terhadap janda istrinya dilanjutkan oleh kerabat mendiang dari suaminya. Hubungan antara si janda dengan kerabat suaminya baru terputus apabila janda melakukan tindakan hukum berupa pengembalian uang jujur yang semula telah diterima kerabatnya kepada kerabat mendiang suaminya. Akibat hukum yang terjadi dari sistem ini adalah istri karena perkawinannya uang jujuran dikeluarkan dari keluarganya kemudian masuk ke keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir menjadi keluarga bapak suami, harta yang ada milik bapak suami yang nantinya diperuntukkan bagi anak-anak keturunannya. Pada masyarakat matrilineal dengan sistem perkawinan semenda mempunyai akibat hukum, yaitu semua keluarga adalah keluarga ibu, harta yang ada milik ibu yang nantinya diperuntukkan bagi anak-anak keturunannya sedangkan suami bapak tidak masuk dalam keluarga ibu. Sedangkan dalam masyarakat parentalbilateral karena menganut sistem perkawinan mentas ynang bersifat bebas mempunyai akibat hukum antara kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan. 27 Ibid, hal. 73. b. Hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan kedua orang tuanya dan dengan kerabat ayah ibunya. Pada masyarakat patrilineal, sebagai konsekuensi dari perkawinan dengan cara pembayaran uang jujur maka semua anak yang lahir dari perkawinan itu masuk dalam klan ayahnya. Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan berhak memakai marga dari ayahnya. Ayah dibebani kewajiban menanggung seluruh kebutuhan hidup dan pendidikan si anak sampai ia kawin. Apabila perkawinan orang tuanya putus karena perceraian cerai hidup maka semua anak harus tetap tinggal bersama dengan ayahnya. Sedangkan konsekuensi pada masyarakat matrilineal menyatakan semua anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah milik ibunya. Oleh karena itu, apabila terjadi perceraian semua anak harus tetap tinggal di kerabat ibunya. Pada masyarakat bilateral, semua anak adalah milik kedua orang tuanya sehingga apabila terjadi perceraian, pengurusan dan kedudukan anak dibicarakan secara musyawarah demi kesejahteraan anak. c. Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud harta perkawinan dalam hukum adat adalah : semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri bersangkutan. 28 Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan berumah tangga, harta perkawinan itu oleh Hilman Hadikusuma lebih lanjut digolongkan sebagaimana di bawah ini : a. Harta yang diperolehdikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”. b. Harta yang diperolehdikuasai suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”. c. Harta yang diperolehdikuasai suami dan istri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”. d. Harta yang diperoleh suami atau istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut “hadiah perkawinan”. 29 Pada masyarakat patrilineal, semua harta yang didapat selama perkawinan adalah milik suami sehingga apabila bercerai istri hanya dapat mengambil harta bawaan dan tidak dapat meminta bagiannya atas harta bersama. Pada masyarakat matrilineal, semua harta yang didapat selama perkawinan merupakan milik istri karena harta suami terpisah dari istrinya. Pada masyarakat bilateralparental, semua harta yang didapat selama perkawinan menjadi milik bersama suami istri sehingga apabila bercerai istri masih dapat meminta bagian atas harta bersama tersebut. 28 Ibid, hal. 156. 29 Ibid, hal. 157. C. Ketentuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Karo C. 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan