tahanan dari tracheobronchial tree dan paru, sehingga tidak respon terhadap
anestesi topikal dan bronkodilator inhalasi.
Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rinitis alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu
adalah refleks nasobronkial dan bronkial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui
jalur saraf parasimpatis disebut refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat disebut refleks bronk
ial O’Hollaren, 2005.
2.5. Pengaruh Rinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma
Hubungan yang sangat erat antara rinitis alergi dan asma dapat dijadikan sebagai pertimbangan demi tercapainya hasil pengobatan yang lebih baik. Beta 2
agonis telah diketahui sangat efektif pada pasien asma tetapi tidak mempunyai efek sama sekali pada rinitis alergi. Begitupun, anti-histamin efektif pada rinitis
alergi tetapi tidak salah satu obat yang digunakan untuk asma. Meskipun demikian telah didokumentasikan bahwa dengan mengobati rinitis alergi sangat
mempengaruhi dengan tingkat keparahan dari gejala asma. Intranasal beclomethasone 326 mg per hari and fluticasone propionate 200 mg per hari telah
terbukti dapat mengurangi secara signifikan hiperresponsif bronkus pada pasien asma. Selain itu intranasal beclomethasone 200 mg dua kali sehari terbukti
mengurangi hiperresponsif bronkus pada induksi metakolin. Meskipun anti- histamin bukan merupakan bagian dari pengobatan asma tetapi mempunyai efek
tidak langsung pada asma. Sebuah penelitian placebo-controlled trial menyatakan bahwa sebanyak 186 pasien dengan rinitis musiman dan asma, pemberian
Cetirizine 10 mg terbukti telah dapat mengurangi secara signifikan gejala asma selama musim serbuk sari Pawankar, 2003.
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rinitis alergi komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan
mekanisme kunci dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan
Universitas Sumatera Utara
rinitis alergi dan asma mulai ramai diperbincangkan dan diteliti. Selain anti- inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti dalam penatalaksanaan rhinitis
dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah kortikosteroid intranasal, LTRA Leukotriene Receptor Antagonist, PDE-4 Phosphodiesteras e-
4 inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma.
Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rinitis alergi seperti anti histamin dan cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran
pernafasan bagian bawah. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap allergen seperti metakolin dan memperbaiki
toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik dan telah dinyatakan
aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinofil pada darah dan sputum,
menurunkan perekrutan eosinofil dari sumsum tulang, dan meningkatkan produksi nitric oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast®
merupakan salah satu contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rinitis alergi dan asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru
pada penderita rinitis, juga menurunkan gejala rinitis harian pada penderita rinitis alergi dan asma Pawankar, 2003.
2.6. Penatalaksanaan Asma dengan Rinitis Alergi di Indonesia