Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial Pada Siswall SMPN I Medan

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Junius F.A. Simarmata

Tempat/Tanggal Lahir : Pasirpengaraian, 15 Oktober 1994

Agama : Katolik

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Bunga Terompet Perum. Sejahterah Indah II Blok M.20, Medan

Riwayat Pendidikan : 1. SD 005 Pasirpengaraian,Riau 2. SMPN 1 Pasirpengaraian, Riau 3. SMA Santa Maria Pekanbaru, Riau


(2)

Siswa/i SMPN 1 Medan

I.Identitas Responden

Sekolah/institusi:

Tanggal Hari Ini:

Nama:

Umur:

Tanggal Lahir:

Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan (Centang salah satu)

II.Pertanyaan (Centang salah satu pada kotak yang telah disediakan)

1.Apakah Anda Merokok? Ya

Tidak

2.Apakah Anda pernah/sedang menderita penyakit Ya Paru kronis selain asma?

Tidak

3.Pernahkah Anda mengalami mengi/’bengek’ Ya atau suara-suara seperti bersiul di dada pada

waktu yang telah lalu? Tidak

JIKA ANDA TELAH MENJAWAB “TIDAK” SILAHKAN LANGSUNG KE PERTANYAAN KE-8

hari bulan tahun

tahun

hari bulan tahun


(3)

4. Pernahkah anda mengalami mengi/’bengek’ Ya atau suara-suara seperti bersiul di dada pada

12 bulan terakhir? Tidak

JIKA ANDA TELAH MENJAWAB “TIDAK” SILAHKAN LANGSUNG KE PERTANYAAN KE-8

5.Berapa banyak serangan mengi/”bengek” Tidak Ada yang telah Anda alami dalam periode 1-3 kali

12 bulan terakhir? 4-12 kali

>12 kali

6.Dalam 12 bulan terakhir, seberapa sering tidur malam hari Anda terganggu oleh karena Serangan nafas/mengi/bengek?

Tidak pernah terbangun Kurang dari 1x/minggu Lebih dari 1x/minggu

7.Dalam 12 bulan terakhir,apakah Ya

serangan nafas/mengi/bengek Anda

begitu parah sehingga menganggu Tidak

bicara Anda?

8.Pernahkah anda mengalami/menderita asma? Ya Tidak

9.Dalam periode 12 bulan terakhir,apakah Ya dada /paru-paru Anda terdengar seperti

bersiul/menciut ketika bernafas pada waktu Tidak olahraga atau setelah olahraga?

10.Dalam periode 12 bulan terakhir,apakah Ya Anda mengalami batuk kering yang bukan


(4)

JIKA ANDA TELAH MENJAWAB “TIDAK” SILAHKAN LANGSUNG

KE PERTANYAAN KE-16

12.Dalam periode 12 bulan terakhir,apakah

Anda mengalami bersin-bersin,hidung meler, Ya Hidung tersumbat ketika Anda TIDAK

menderita penyakit flu ataupun pilek? Tidak

JIKA ANDA TELAH MENJAWAB “TIDAK” SILAHKAN LANGSUNG KE PERTANYAAN KE-16

13.Dalam periode 12 bulan terakhir,apakah Ya masalah di hidung Anda disertai dengan mata

berair dan gatal-gatal? Tidak

14.Dalam periode 12 bulan terakhir,bulan berapakah Anda mengalami masalah hidung tersebut?

Januari Mei September

Februari Juni Oktober

Maret Juli November

April Agustus Desember

15.Dalam periode 12 bulan terakhir,seberapa menganggukah masalah hidung Anda terhadap aktifitas sehari-hari Anda?

Tidak menganggu Sedikit menganggu Cukup menganggu Sangat menganggu

16.Apakah Anda pernah mengalami Ya

Rinitis alergi atau alergi hidung/hidung sensitif? Tidak


(5)

Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Salam sejahtera,

Saudara/i yang saya hormati, nama saya Junius F.A. Simarmata, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk melengkapi Karya Tulis Ilmiah yang menjadi kewajiban saya untuk menyelesaikan pendidikan dokter di FK USU. Adapun penelitian saya berjudul “Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial pada Siswa/i SMPN 1 Medan”.

Dalam penelitian ini, adapun langkah penelitian saya adalah sebagai berikut:

1. Penjelasan singkat kepada siswa/i SMPN 1 Medan dan persetujuan tertulis bagi mahasiswa/i untuk ikut dalam penelitian ini.

2. Pemberian kuesioner penelitian untuk selanjutnya diisi dan dikembalikan ke peneliti

Tidak ada biaya apapun yang akan dikenakan pada penelitian ini. Partisipasi penelitian ini bersifat bebas, tanpa ada paksaan dan Saudara/i berhak untuk menolak berpartisipasi tanpa dikenakan sanksi apapun. Apabila Saudara membutuhkan penjelasan lebih lanjut, maka dapat menghubungi saya:

Nama : Junius F.A. Simarmata

Alamat : Jalan Bunga Terompet Perum. Sejahterah Indah II Blok M.20, Medan

No. HP : 081261373624

Demikianlah penjelasan ini saya sampaikan. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Saudara/i dapat membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran ini sebagai tanda persetujuan.Atas partisipasi dan kesediaan Saudara/i, saya ucapkan terima kasih.


(6)

Junius F.A.Simarmata NIM: 120100267


(7)

(8)

(INFORMED CONSENT)

Medan, 2015

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama: Kelas:

dengan ini memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul ‘Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Asma pada Siswa/i SMPN 1 Medan” dilakukan oleh Saudara Junius F.A. Simarmata, mahasiswa FK USU 2012; NIM 120100267 setelah diberikan penjelasan singkat mengenai penelitian yang akan dilakukan.

Medan, 2015 Responden,

(………...)


(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

Lampiran 8

NAMA JENIS KELAMIN RINITIS ALERGI ASMA BRONKIAL

F Laki-laki Tidak Tidak

ZLN Perempuan Tidak Tidak

VAPH Perempuan Tidak Tidak

MG Perempuan Tidak Tidak

RAS Laki-laki Tidak Tidak

RRHN Laki-laki Tidak Tidak

ESKS Perempuan Tidak Tidak

JH Perempuan Tidak Tidak

NSA Perempuan Tidak Tidak

MHFH Laki-laki Ya Ya

AAA Laki-laki Tidak Tidak

DR Laki-laki Ya Tidak

MYF Laki-laki Tidak Tidak

AHRN Laki-laki Ya Tidak

SHAH Laki-laki Tidak Tidak

RDAN Perempuan Ya Tidak

KSN Perempuan Ya Tidak

PSQS Perempuan Tidak Tidak

DF Perempuan Tidak Tidak

NAZ Perempuan Tidak Tidak

IAB Perempuan Tidak Tidak

SDT Perempuan Tidak Tidak

PAJ Perempuan Tidak Tidak

DLS Perempuan Ya Ya

EPSP Perempuan Ya Ya

SN Perempuan Tidak Tidak

FW Perempuan Ya Tidak

TO Perempuan Ya Tidak

SAT Perempuan Ya Tidak

EYA Perempuan Tidak Tidak

MLA Perempuan Tidak Tidak

JS Perempuan Tidak Tidak

ASIS Perempuan Tidak Tidak

CPSW Perempuan Tidak Tidak

MRT Laki-laki Tidak Tidak

LSL Laki-laki Ya Tidak

ASM Laki-laki Tidak Tidak

FSM Laki-laki Tidak Tidak

AAF Laki-laki Tidak Tidak

RMS Laki-laki Ya Ya

MGA Laki-laki Ya Tidak


(14)

FTH Laki-laki Tidak Tidak

NBG Perempuan Tidak Tidak

AP Laki-laki Tidak Tidak

MRS Laki-laki Tidak Tidak

YEM Perempuan Ya Ya

ASN Perempuan Tidak Tidak

KM Perempuan Tidak Tidak

APNS Perempuan Ya Tidak

AAW Perempuan Tidak Tidak

FSHB Perempuan Tidak Tidak

REPP Laki-laki Tidak Tidak

YDG Laki-laki Ya Tidak

NR Perempuan Tidak Tidak

LAL Laki-laki Ya Tidak

FS Perempuan Tidak Tidak

NSDF Perempuan Ya Ya

FRA Laki-laki Tidak Tidak

FSK Perempuan Tidak Tidak

CEF Perempuan Tidak Tidak

RFLG Laki-laki Tidak Tidak

RNS Laki-laki Ya Ya

MFI Perempuan Ya Tidak

MZS Laki-laki Tidak Tidak

ARG Perempuan Tidak Ya

RQA Laki-laki Ya Tidak

NRN Laki-laki Tidak Tidak

JSP Perempuan Tidak Tidak

PCN Perempuan Tidak Tidak

MNSH Perempuan Tidak Tidak

MLF Perempuan Tidak Tidak

SFR Perempuan Tidak Tidak

MRA Laki-laki Ya Ya

APA Laki-laki Ya Tidak

RFMZ Laki-laki Tidak Tidak

KML Laki-laki Tidak Tidak

NSY Perempuan Tidak Tidak

SHH Perempuan Tidak Tidak

MSYI Perempuan Tidak Tidak

AHHH Laki-laki Tidak Tidak

ANFZ Laki-laki Tidak Tidak

ADH Perempuan Tidak Tidak

THS Perempuan Tidak Tidak

ULAT Perempuan Tidak Tidak

KVG Perempuan Tidak Tidak


(15)

MHGE Laki-laki Tidak Tidak

DANA Laki-laki Tidak Tidak

ADNF Laki-laki Ya Tidak

MHFR Laki-laki Tidak Ya

MHSL Laki-laki Ya Ya

MSAP Laki-laki Tidak Tidak

NRIB Laki-laki Tidak Tidak

RDG Laki-laki Tidak Ya

PTN Laki-laki Tidak Tidak

KDSD Laki-laki Tidak Tidak

NAZS Perempuan Tidak Tidak

FASZS Perempuan Tidak Tidak

NAJS Perempuan Tidak Tidak

ATYN Perempuan Tidak Tidak

AYTR Perempuan Tidak Tidak

ACLT Laki-laki Tidak Tidak

ABDH Laki-laki Tidak Tidak

MNHS Laki-laki Tidak Tidak

GKYK Laki-laki Ya Ya

RDAA Laki-laki Tidak Tidak

MLKS Perempuan Tidak Tidak

ANRD Perempuan Tidak Ya

DMSP Perempuan Ya Ya

RLAU Perempuan Ya Ya

DOFM Perempuan Tidak Tidak

DNNG Laki-laki Tidak Tidak

FYYF Perempuan Tidak Tidak

MFSD Perempuan Tidak Tidak

DAYU Perempuan Tidak Tidak

ALDA Laki-laki Tidak Tidak

SYKM Perempuan Tidak Tidak

REJB Laki-laki Tidak Tidak

FYYF Perempuan Tidak Tidak

NFSD Perempuan Tidak Tidak

DAYU Perempuan Tidak Tidak

ALDY Laki-laki Tidak Tidak

SYKM Perempuan Tidak Tidak

ARBM Perempuan Tidak Tidak

KASU Laki-laki Tidak Tidak

IRYM Laki-laki Tidak Tidak

NSYM Laki-laki Tidak Tidak

RAAM Laki-laki Tidak Tidak

NCTS Laki-laki Tidak Tidak


(16)

RNAB Laki-laki Ya Ya

ADNF Laki-laki Tidak Ya

DIMS Laki-laki Ya Tidak

AQNA Perempuan Tidak Tidak

LNSS Perempuan Tidak Tidak

RAHN Perempuan Tidak Tidak

AZBA Perempuan Tidak Ya

FARA Laki-laki Tidak Ya

SAPW Laki-laki Ya Tidak

ADIK Laki-laki Tidak Tidak

JOPA Laki-laki Tidak Tidak

AMUS Laki-laki Ya Ya

ANEN Laki-laki Tidak Tidak

BALN Laki-laki Tidak Tidak

MLUA Laki-laki Tidak Tidak

FATA Perempuan Tidak Tidak

AZYU Laki-laki Tidak Tidak

CHZR Perempuan Tidak Tidak

NAZS Perempuan Ya Ya

YASM Perempuan Ya Tidak

WIND Perempuan Tidak Tidak

AURN Perempuan Tidak Tidak

MUAR Laki-laki Tidak Tidak

KHAZ Perempuan Tidak Tidak

ALHT Perempuan Tidak Tidak

ALSH Perempuan Tidak Tidak

FRAL Perempuan Tidak Tidak

Total 172


(17)

Lampiran 9

OUTPUT SPSS Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 84 48.8 48.8 48.8

Perempuan 88 51.2 51.2 100.0

Total 172 100.0 100.0

Rinitis Alergi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 36 20.9 20.9 20.9

Tidak 136 79.1 79.1 100.0

Total 172 100.0 100.0

Asma Bronkial

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 25 14.5 14.5 14.5

Tidak 147 85.5 85.5 100.0

Total 172 100.0 100.0

Jenis Kelamin * Rinitis Alergi Crosstabulation Count

Rinitis Alergi

Total


(18)

Total

Ya Tidak

Jenis Kelamin Laki-laki 21 63 84

Perempuan 15 73 88

Total 36 136 172

Jenis Kelamin * Asma Bronkial Crosstabulation Count

Asma Bronkial

Total

Ya Tidak

Jenis Kelamin Laki-laki 13 71 84

Perempuan 12 76 88

Total 25 147 172

Rinitis Alergi * Asma Bronkial Crosstabulation Count

Asma Bronkial

Total

Ya Tidak

Rinitis Alergi Ya 16 20 36

Tidak 9 127 136

Total 25 147 172


(19)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 32.788a 1 .000

Continuity Correctionb 29.813 1 .000

Likelihood Ratio 26.877 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 32.597 1 .000

N of Valid Casesb 172

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.23. b. Computed only for a 2x2 table


(20)

DAFTAR PUSTAKA

AAAAI, 2001. American Academy of Allergy Asthma and Immunology: Journals Avaiable from: http://www.aaaai.org/ [Accesed 5 Mey 2015]

Baratawijaya, K. G., et al, 2006. Allergy and asthma: The Scenario in Indonesia. Dalam: Shaikh, W., A., eds. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers, 707-736

Barr, J. G., Al-Reefy, H., Fox, A. T., & Hopkins, C., 2014. Allergic Rhinitis in Children. BMJ, 1-8.

Bergeronet, C., et al, 2005. Relationship Between Asthma and Rhinitis: Epidemiologic, Pathophysiologic, and Therapeutic Aspects. Allergy, Asthma & Clinical Immunology, 1: 81-87

Casale T.B., Amin B.V., 2001. Allergic Rhinitis_Asthma Interrelationships. Clin Rev Allergy Immunol, 21: 27-49

Corren, J., Togias, A., Bousquet, J., 2003 . Lung Biology in Health and Disease. :upper and lower respiratory disease. New York: 181.

Cummings, C. W., 2005. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Elsevier 351-634.

Fornadley, J. A., 2002. Skin Testing in the Diagnosis of Inhalant Allergy. In: Krouse JH, Chadwick SJ, et al editors. Allergy and Immunology, an Otolaryngologic Approach. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins, 114-23.

Gaga, M., Lambrou, P., Papageorgiou, N., et al. 2000. Eosinophilsare a feature of upper and lower airway pathology in non-atopic asthma, irrespective of the presence of rhinitis. Clin Exp Allergy: 30: 663–9.

Ghazali, M.V., Sastroasmoro, S., Soejarwo, S.R., Soelaryo, T., Pramulyo, H.S., 2002. Study Cross Sectional. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S., eds. Dasar Metodologi Klinis. Jakarta: Sagung Seto, 97-106

Global Initiative for Asthma, 2007. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Available from: www.ginaasthma.org. [Accesed 20 October 2015.


(21)

43

Huriyati, E., & Hafiz A., 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi. RSUP Dr. M. Djamil Padang, 1-14.

ISAAC Steering Committee, 1993. Manual International Study of Asthma and Allergies in Chilhod. ISSAAC Phase One: p 24-30.

Junqueira, L.C., 2005. Basic Histology Text and Atlas. UK: The McGraw−Hill. Jeffery, P. K., & Haahtela, T., 2006. Allergic Rhinitis and Asthma: Inflammation

in a One-airway Condition. BMC Pulmonary Medicine , 1471-2466. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1023/MENKES/SK/XI/2 008.2008, Available from:

http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%201023XI- 08%20pengendalian%20asma.pdf. ( Accessed 17 April 2015).d

Kholid, Y., 2013.Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Rinitis Alergi pada Usia 13-14 Tahun di Ciputat Timur dengan Menggunakan Kuesioner ISAAC (Skripsi). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Kim H., et al, 2008. The Link Between Allergic Rhinitis and Asthma: A Role for Antileukotrienes? -. Respir J, 15: 91–98.

Kim H., Kaplan A., 2008. Treatment and management of allergic rhinitis. Clinical Focus, 1-4.

Krouse, J. H., 2006. Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 63-351.

Management of Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2001. Available from: http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG.pdf. (Accessed 9 May 2015). Mc.Lane., 2000. Integrated Response of The Upper and Lower Respiratory Tract

of Asthmatic Subjects to Frigid Air. journal of applied physiology ,88.

Mehta, P. 2014 . Allergic Rhinitis and Bronchial Asthma. Journal of the Association of Physicians of India , VOL . 62.

Mintz, M. L. 2006. Disorders of the Respiratory Tract: Common Challenges in Primary. New Jersey: Humana Press.


(22)

Nguyen, Q. A., 2009. Allergic Rhinitis. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/834281-overview. Article last update June 1, 2009. [Accesed September 2015].

PERSI, 2007. Rhinitis Alergi, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI). Available from:

www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=905&tbl=kesling. (Accessed 22 April 2015).

O’Hollaren, M. T., 2005. The Upper and Lower Airway ?. Available from: http://cme.medscape.com/viewarticle/520119_print. (Accessed 12 April 2015).

Pascual, R. M., Johnson, J.J., & Peters, S.P., 2008. Asthma: Clinical Presentation. In: A. P. Fishman, J. A. Elias, J. A. Fishman, M. A. Grippi, R. M. Senior, & A. I. Pack, Fishman’s Pulmonary Disease and Disorders. 4th ed.Philadelphia: McGraw-Hill, 815-818.

Pawankar, R., 2003. Allergic Rhinitis and Asthma : From the Link to Emerging. Indian J Chest Dis Allied Sci , 179-189.

Pawankar R., 2004. Allergic Rhinitis and Asthma. The Link, The New ARIA Classification and Global Approaches to Treatment. Curr Opin Allergy Clin Immunol, 4 (1).

Pawankar R., 2006. Allergic Rhinitis and Asthma: Are They Manifestation of One Syndrome? Clin Exp Allergy, 36:1-4.

Rajendran, 2009. Hubungan Rinitis Alergi dengan Asma Bronkial (skripsi). Medan: Pendidikan Dokter Universitas Sumatera Utara.

Sarwono, J., 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha.

Scadding, G. K., 2008. Rhinitis and Sinusitis. In R. K. Albert, S. G. Spiro, & J. R. Jett, Clinical Respiratory Medicine . Philadelphia: Mosby Elsevier. 409-423 Shier, Butler, & Lewis. 2001. Human Anatomy and Physiology. UK: The

McGraw−Hill.

Slavin R. G., 2008. The Upper and Lower Airways: The Epidemiological and Pathophy siological Connection. Allergy Asthma Proc, (29): 553-556.


(23)

45

Small, P., & Kim, H. 2011. Allergic rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology , 7(Suppl 1):S3.

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sundaru, H., 2005. Perbandingan prevalens dan Derajat Berat Asma Antara Daerah Urban dan Rural pada Siswa Sekolah Usia 13-14 Tahin

(Disertasi).Jakarta: Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Thomas M., 2006. Allergic Rhinitis: Evidence for Impact on Asthma. BMC Pulm Med, 6 (Suppl I): S4.

Wahyuni, A. S., & Azhar, C., 2011. Statistika Kedokteran. Jakarta: Bamboedoea Communication.

Wold Allergic Organization, 2012. Allergic Rhinitis. New York: Worl Allergi

Organization. Available from:

http://www.worldallergy.org/public/allergic_diseases_center/rhinitis/rhinitis.p hp. [Accessed 5 Mey 2015]

WHO ARIA, 2008. Allergic Rhinitis and Impacts on Asthma. Available from:

http://www.whiar.org [Accesed 5 Juni 2015].

Yunus, F., Ratnawati, Rasmin, M., Mangunegoro, H., Jusuf, A., Bachtiar, A., 2003. Asthma prevalence among High School Student in East Jakarta 2001 based on ISAAC questionaire. Med J Univ Indonesia. Jakarta; 12:133-9. Zulfikar, T., Yunus, F., & Wiyono, W. H. 2011. Prevalens Asma Berdasarkan

Kuesioner ISAAC dan Hubungan dengan Faktor yang Mempengaruhi Asma Pada Siswa SLTP di Daerah Padat Penduduk Jakarta Barat Tahun 2008. J Respir Indo 31 (4) .


(24)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang dampak rinitis alergi terhadap asma bronkial.

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Rinitis Alergi dengan Asma Bronkial

3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Independen

yang ditetapkan sebagai variabel independen siswa/i SMPN 1 Medan yang menderita rinitis alergi.

3.2.2. Variabel Dependen

yang ditetapkan sebagai variabel dependen siswa/i SMPN 1 Medan yang menderita asma bronkial.


(25)

28

3.2.3. Definsi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional N

o

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1 . Rinitis Alergi

Sebuah gangguan

hidung yang

dihasilkan dari reaksi imunologis IgE setelah paparan alergen dengan gejala utama adalah pilek,hidung gatal, sumbatan dan bersin yang reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan (WAO, 2012). Wawanc -ara Kuesio-ner siswa/i positif menderita rintis alergi(Ya, pada pertanyaa n ke-12 atau pertanyaa n ke-16 Nominal 2 . Asma bronkial

Obstruksi reversible saluran nafas yang menyebabkan

mengi,kesulitan bernafas dan batuk-batuk (WAO, 2012).

Wawanc -ara Kuesio-ner siswa/i positif menderit-a asma bronkial( Ya pada pertanyaa n ke-3 atau pertanyaa n ke-8,9 &


(26)

3.3. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori dan penelitian yang sudah ada, terdapat hubungan antara rinitis alergi dan asma bronkial.


(27)

30

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik secara cross sectional. Yang bertujuan untuk mengetahui jumlah penderita rinitis alergi yang juga menderita asma bronkial pada siswa/i SMPN 1 Medan. Untuk mengetahui jumlah penderita rinitis alergi tanpa menderita asma bronkial pada siswa/i SMPN 1 Medan

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2015 pada siswa/i SMPN 1 Medan yang menderita rinitis alergi dan asma bronkial. Penelitian akan dilakukan setelah mendapat ethical clearance dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Tempat penelitian dilakukan di siswa/i SMPN 1 Medan

Tabel 4.1. Jadwal Kegiatan

Alur Kegiatan Penelitian

Bulan

Apr

il

Me

i

Juni Juli Agustus Septembe r Okte

obe

r

Nove

mbe

r De

se mber Penyusunan Proposal Seminar Proposal Pelaksanaan Kegiatan Analisis Hasil Menulis Laporan Hasil


(28)

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi didefinisikan sebagai seperangkat unit analisis yang lengkap yang sedang diteliti, Sample merupakan sub dari seperangkat elemen yang dipilih untuk dipelajari (Sarwono, 2006).

4.3.1. Populasi 1.Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah siswa/i SMPN 1 Medan 2.Sampel Penelitian

Sampel penelitian siswa/i SMPN 1 Medan yang berusia 13-14 tahun dengan besar sampel minimal 167 orang berdasarkan perhitungan besar sampel.

4.3.2. Cara Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan dengan cara Consecutive Sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi.

4.3.3. Estimasi Besar Sampel

� ={ √� − � +� − � √� − � }

N = Besar sample minimum � �

= Nilai distribusi normal baku (table Z) pada tertentu = Nilai distribusi normal baku (table Z) pada tertentu P0 = Proporsi di populasi

Pa = Perkiraan proporsi di populasi Pa-P0= Selisih proporsi

N=

,9 √ , , + , √ , , �2


(29)

32

N=167 Responden

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1. Kriteria Inklusi

a.Koperatif dan dapat diwawancarai

b.Bersedia mengikuti penelitian dengan menyetujui informed consent 4.4.2. Kriteria Eksklusi

a. Siswa/i yang merokok

b.Mempunyai riwayat penyakit paru kronis selain Asma Bronkial

4.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini mengunakan data primer yakni diambil dari hasil kesimpulan kuesioner terstruktur dan valid untuk siswa/i SMPN 1 Medan penderita rinitis alergi dan asma bronkial dari Juli 2015 sampai Desember 2015.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data 4.4.1. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Proses ini meliputi: a. Editing

Pada tahap ini data diperiksa ketepatan dan kelengkapannya, dan apabila ada data yang belum lengkap ataupun ada kesalahan data maka dilengkapi dengan mewawancarai ulang responden.

b. Coding

Data yang sudah terkumpul kemudian dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya, lalu diberi kode secara manual oleh peneliti sebelum diolah dengan komputer.

c. Entry


(30)

d. Cleaning data

Semua data yang sudah dimasukkan ke dalam komputer diperiksa kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memasukkan data.

e. Saving

Data selanjutnya disimpan dan siap untuk dianalisis.

4.4.2. Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2013).

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan bantuan Stastistical Package for the Social Science version 16 (SPSS 16), dan kemudian di analisa dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.


(31)

34

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang hubungan rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial dilakukan di SMP Negeri 1 yang terletak di Jalan Bunga Asoka no 6, Kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, Kode Pos: 20113, No. Telp : 061822240. Sekolah ini pada peta dunia terdapat di Lintang 3.597031, Bujur 98.66683999999998, Ketinggian 24.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas VII SMP Negeri 1 pada tahun 2015 sebenyak 176 orang. Dari keseluruhan responden yang ada, 4 orang dikeluarkan dari total responden karena syarat kriteria eksklusi terpenuhi sehingga jumlah responden 172 orang. Berdasarkan data responden, diperoleh karakteristiknya meliputi jenis kelamin, kejadian rinitis alergi, dan kejadian asma bronkial. Data lengkap mengenai karakteristik responden tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1 Distribusi Responden Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N %

Laki-laki 84 48.8

Perempuan 88 51.2

Total 172 100

Keterangan: n= Frekuensi, % = Persentase

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki adalah 84 responden (48.8%) dan responden yang berjenis kelamin perempuan adalah 88 responden (51.2%).


(32)

Hasil analisis pada tabel 5.2 didapatkan jumlah responden yang menderita rinitis alergi sejumlah 36 (20.9%) dan jumlah responden yang tidak menderita rinitis alergi sejumlah 136 (79.1%).

Tabel 5.2 Distribusi Responden Rinitis Alergi

Rinitis Alergi N %

Ya Tidak

36 136

20.9 79.1

Total 172 100

Keterangan: n= Frekuensi, % = Persentase

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat jumlah responden yang menderita asma bronkial sebanyak 25 (14.5%) dan responden yang tidak menderita asma bronkial sebanyak 147 (85.5%).

Tabel 5.3 Distribusi Responden Asma Bronkial

Asma Bronkial N %

Ya Tidak

25 147

14.5 85.5

Total 172 100

Keterangan: n= Frekuensi, % = Persentase

Berdasarkan table 5.4 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rinitis alergi berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 21 orang dari total jumlah 36 responden yang menderita rinitis alergi. Sedangkan penderita rinitis alergi berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 15 orang. Proporsi dari kedua jenis kelamin adalah masing-masing 58,3% untuk laki-laki dan 41,7% untuk perempuan.


(33)

36

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Terhadap Rinitis Alergi

Jenis Kelamin Rinitis Alergi

Ya Tidak Total

Laki-Laki 21 63 84

Perempuan 15 73 88

Total 36 136 172

Pada table 5.5 dapat disimpulkan bahwa jumlah penderita asma bronkial berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 13 orang dari total jumlah 25 responden yang menderita asma bronkial. Sedangkan penderita berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 12 orang. Proporsi dari kedua jenis kelamin adalah masing-masing 52% untuk laki-laki dan 48% untuk perempuan.

Tabel 5.5 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Terhadap Asma Bronkial

Jenis Kelamin

Asma Bronkial

Ya Tidak Total

Laki-Laki 13 71 84

Perempuan 12 76 88

Total 25 147 172


(34)

5.1.3 Hasil Analisis Statistik

Hubungan rinitis alergi dengan kajadian asma bronkial dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6.Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial Asma Bronkial

Jumlah

(+) (-)

Rinitis Alergi

(+) 16 (64%) 20 (13.6%) 36 (20.9%)

(-) 9 (36%) 127 (86.4%) 136 (79.1%)

Total 25 (100%) 147 (100%) 172(100%)

Berdasarkan Tabel 5.6. tampak penderita asma bronkial yang juga menderita rinitis alergi bronkial sebanyak 16 responden (64%), sedangkan penderita asma bronkial tanpa disertai rinitis alergi sebanyak 20 responden (36%). Dengan menggunakan SPSS Windows, uji statistik dengan “Chi-Square” menunjukan perbedaan bermakna (P < 0,05) yaitu nilai p value adalah 0,001. Hal ini berarti terdapat hubungan antara rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial.

5.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan secara studi potong lintang di Kota Medan.Desain ini dipilih karena dapat meneliti berbagai variabel sekaligus, relatif mudah dilakukan, murah, tidak terancam drop out dan hasilnya yang cepat diperoleh. Desain penelitian ini tidak menggunakan kontrol sebagai pembanding, tetapi perbandingan hanya dilakukan intern antara responden sendiri yaitu kelompok faktor risiko dibanding kelompok tanpa faktor risiko.Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bertujuan menentukan hubungan rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial.Desain tersebut dapat digunakan untuk menncari hubungan antara gejala pada saluran nafas dan gejala pada saluran nafas bawah.Hal ini dapat dihubungkan dan dianalisis secara statistik antara variabel bebas dan variabel tergantung (Ghazali, 2002).

Penelitian ini menggunakan kuesioner ISAAC sebagai tolok ukur menentukan variabel bebas dan variabel tergantung. Pemilihan kuesioner ISAAC


(35)

38

dalam penelitian ini bertujuan agar pengisian dapat dilakukan secara mudah dengan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan istilah medis yang mudah dimengerti. Penggunaan kuesioner yang berisi gejala rintis alergi dan gejala asma ini menjadi tulang punggung dalam penelitian ini. Cara ini memungkinkan memperoleh sampel penelitian yang cukup besar dengan biaya yang relatif murah dan waktu yang singkat (Zulfikar, 2008).

Kuesioner ISAAC telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Banyak penelitian telah menggunakan kuesioner ISAAC dalam penelitiannya. Kuesioner ISAAC memiliki nilai sensitivitas 90%, spesifitas 83,58%, nilai prediksi positif (NPP) 68,12% dan nilai prediksi negatif (NPN) 95,73% (Yunus, 2001). Kuesioner ini juga telah diuji di 56 negara di 156 pusat asma yang mempunyai lingkungan dan bahasa yang berbeda.

Penelitian ini dilakukan di Medan pada bulan Oktober, dalam penelitian ini subjek penelitian diberi penjelasan singkat mengenai gambaran dan pengertian penyakit rinitis alergi dan penyakit asma bronkial serta cara pengisian kuesioner untuk mempermudah responden dalam menjawab kuesioner. Untuk meningkatkan ketepatan jawaban dan menghindari kerancuan, pengisian kuesioner dapat dilakukan di rumah masing dan boleh menanyakan ke orang tua masing-masing dan diserahkan keesokan hari melalui guru sekolah. Selain itu desain kuesioner ISAAC yang dibagikan dirancang untuk menghindari cara pengisian yang salah atau penyangkalan responden dalam pengisian kuesioner.

Prevalensi kejadian rinitis alergi dan asma bronkial telah banyak diteliti oleh banyak pihak, baik di dunia ataupun berbagai daerah di Indonesia. Dalam penelitian ini prevalensi rinitis alergi pada anak usia 13-14 tahun adalah sebesar 20,9%. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 2006 oleh Baratawijaya dkk melalui studi ISAAC mendapatkan hasil 26,71%. Perbedaan yang tidak cukup jauh ini mungkin disebabkan karena tempat dilakukan survei sama-sama di kota besar atau daerah urban dengan pandangan bawah tingkat polusi lingkungan, tingkat pendidikan dan status nutrisi yang sama.


(36)

berbeda yakni sebesar 25,2 % di Ciputat. Penelitian dengan metode berbeda juga pernah dilakukan di Medan pada kelompok usia dewasa dan mendapati prevalensi rinitis alergi sebesar 38,2% (Rajendran, 2009). Hal ini tentu saja membuktikan bahwa rinitis alergi merupakan penyakit kronik pada saluran nafas atas yang tetap ada sampai usia dewasa dan berhubungan dengan penyakit-penyakit terkait immunologis lainnya.

Selain itu dalam penelitian ini juga didapati prevalensi asma bronkial pada anak usia 13-14 tahun yakni sebesar 14,6%. Hasil ini tidak jauh berbeda juga dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur pada usia 13-14 tahun dengan studi ISAAC yaknis sebesar 13,1% (Yunus F. Dkk , 2001). Demikian juga jika dibandingkan dengan penelitian anak usia 13-14 tahun di Jakarta Pusat tahun 2004 oleh Sundaru mendapatkan prevalensi asma sebesar 12,5%. Perbedaan yang tidak cukup jauh ini mungkin disebabkan oleh kesamaan karakteristik responden, karakteristik lokasi penelitian dan kesamaan desain dan metode yang dilakukan oleh peneliti. Beberapa faktor dapat mempengaruhi tingginya prevalensi asma di kota besar antara lain lingkungan, gaya hidup, pajanan alergen, geografis, dan polusi udara.

Banyak juga penelitian yang ingin menghubungkan rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial, pada penelitian ini didapati responden yang menderita asma bronkial dan juga menderita rinitis alergi sebanyak 16 responden (64%). Secara statistik menggunakan uji Chi-Square didapati hubungan yang bermakna (P<0.05) yakni nilai P value 0.001 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Hasil analisis ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosamarlina pada tahun 2008 di Jakarta yang menyatakan hubungan yang bermakna antara rinitis alergi dan asma bronkial. Demikian pula dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rajendran pada tahun 2009 di Medan yang menyatakan hubungan yang bermakna rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial.

Rinitis alergi dan asma dapat terjadi bersamaan dan paling sering ditemukan pada anak. Faktor yang sangat berperan pada kedua penyakit ini adalah prediposisi genetik yang sama. Selain itu prediposisi lain yang turut berperan adalah mukosa saluran napas yang sama, proses inflamassi yang serupa. Reaksi


(37)

40

alergi karena paparan alergi pada hidung dapat mencetuskan gejala asma sehingga pengobatan rinitis yang efektif akan memperbaiki gejala asma dan pada akhirnya akan meningkatan produktifitas dan kualitas hidup individu penderita rinitis alergi dan asma bronkial (Zulfikar, 2011).

Saluran pernapasan atas dan bawah merupakan satu saluran yang sama dan berkesinambungan dengan peradangan sebagai proses inti patologis yang mempengaruhi seluruh sistem. Jaringan limfoid mukosa (MALT) memainkan peran kunci dalam kaskade inflamasi yang mencirikan rinitis dan asma dimana mediator-mediator inflamasi dapat didistribusikan di hidung dan cabang-cabang bronkial. Perbedaan utama antara hidung dengan bronkus adalah tingginya tingkat vaskularisasi di hidung sementara pada saluran nafas bawah adanya otot polos. Hidung memainkan peran penting sebagai penghalang fisik, penghangat dan pelembab udara yang dihirup dan diteruskan ke saluran nafas bawah dan ini adalah fungsi kunci yang dapat memiliki implikasi di saluran pernafasan bawah jika tidak berfungsi sebagai mana mestinya (Mc Lane, 2000).

Perubahan respon inflamasi pada penderita rinitis alergi dan asma bronkial dapat dideteksi baik di saluran nafas atas dan saluran nafas bawah meskipun belum dijumpai gejala klinis. Pada penderita rinitis, radang saluran napas bagian bawah dapat ditunjukkan oleh peningkatan kadar eNO(nitrit oksida) dan eosinofil yang ditemukan di induksi dahak, cairan bronchoalveolar lavage dan biopsi bronkial. Demikian pula, pada pasien dengan asma, biopsi hidung menunjukkan peradangan eosinofilik, bahkan pada mereka yang tidak memiliki gejala dari rinitis. Setelah dilakukan uji provokasi alergen langsung di salah satu bagian dari napas, respon inflamasi dapat ditampilkan di kedua saluran nafas dalam waktu 24-48 jam (Gaga , 2000).

Studi klinis menunjukkan bahwa 80%-100% dari pasien dengan asma memiliki rhinitis dan 50% dari pasien dengan rinitis memiliki asma, dan sudah jelas bahwa baik adanya rinitis alergi dikaitkan dengan hasil buruk asma (Corren, 2003).


(38)

Universitas Sumatera Utara BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Secara statistik dengan menggunakan uji Chi Square didapati hubungan yang bermakna antara rinitis alergi dengan asma bronkial (p < 0.001).

6.2. Saran

1.Pada penderita rinitis alergi perlu dievaluasi dan di follow kedepannya kemungkinan terjadinya asma bronkial.

2.Pada penderita asma bronkial perlu dievaluasi kemungkinan penyakit rinitis alergi sebab adanya rinitis alergi dapat memperburuk gejala dari asma bronkial.

3.Bagi peneliti yang lain agar dapat menelaah lebih jauh faktor-faktor yang lain yang dapat mempengaruhi hubungan rintitis alergi dengan asma bronkial seperti genetik,lingkungan, aero-allergen dan lain lain.


(39)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Nafas

Saluran pernafasan manusia secara anatomis terbagi atas dua yakni saluran nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah. Saluran nafas atas terdiri atas hidung, rongga hidung, faring, laring dan bagian atas trakea. Sedangkan saluran nafas bagian bawah terdiri atas bagian bawah trakea, bronkus berserta cabang-cabang kecilnya dan alveolus (Junqueira, 2005).

2.1.1.Saluran Nafas Atas

Saluran nafas atas dimulai dari hidung yang tersusun atas tulang keras dan tulang lunak yang dilapisi oleh kulit. Lubang hidung sebagai saluran teratas keluar masuknya udara terdapat bulu hidung yang dapat menyaring udara dari partikel-partikel besar seperti debu.Rongga hidung kanan dan kiri dibatasi oleh septum nasalis. Mukosa hidung dilapisi oleh epitel ber-silia dengan sel goblet penghasil mukus. Selain itu terdapat semacam lipatan mukosa yang disebut dengan concha nasalis terbagi atas concha atas, tengah dan bawah. Concha ini meningkatkan area kontak dengan udara yang masuk dengan mukosa hidung. Hal ini bertujuan untuk menjamin kehangatan dan kelembaban udara yang akan masuk ke saluran nafaas lebih bawah. Selain itu terdapat pula reseptor penciuman yang sangat peka terhadap odoran (Junqueira, 2005).

Setelah itu hidung udara akan melalui faring yang terbagi atas tiga bagian nasofaring, orofaring, dan laringofaring.Selanjutnya udara akan melalui laring. Selain meyalurkan udara dari atas menuju ke trakea pada laring juga terdapat pita suara untuk menghasilkan suara (Mintz, 2006).


(40)

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Nafas Atas (Mintz, 2006)

2.1.2.Saluran Nafas Bawah

Saluran nafas bawah merupakan lanjutan dari saluran nafas atas.Saluran nafas bawah dimulai dari bagian bawah trakea tepatnya setelah bagian pita suara.Trakea mempunyai panjang sekitar 10-13 cm yang selanjutnya bersambung ke bronkus utama.Trakea dilapisi epitel bersilia dengan sel goblet. Selain itu trakea dibentuk oleh cincin cartilage yang berbentuk huruf C. Selanjutnya trakea bersambung ke bronkus utama. Bronkus utama terbagi atas bronkus kanan dan bronkus kiri yang akan masuk ke paru. Setiap bronkus utama akan bercabang menjadi bronkus sekunder yang akan masuk ke setiap lobus baik paru kanan dan paru kiri. Bronkus-bronkus sekunder akan bercabang lagi menjadi bronkial-bronkial kecil yang akan berakhir pada alveolus-alveolus paru (Shier et al, 2001).


(41)

7

2.2 Rinitis Alergi 2.2.1. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh immunoglobulin (Ig) E pada mukosa hidung akibat terpaparnya suatu aero-alergen pada individu yang sensitif (WAO, 2012)

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan terdapatnya gejala (WHO, 2000): 1. Intermitten, bila gejala terdapat:

o Kurang dari 4 hari per minggu

o Atau bila kurang dari 4 minggu per tahun 2. Persisten, bila gejala terdapat:

o Lebih dari 4 hari per minggu

o Dan bila lebih dari 4 minggu per tahun

Berdasarkan beratnya gejala:

1. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut:

2. Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut diatas.

2.2.3. Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis

Partikel udara yang terhirup akan terdeposit pada lapisan mukosa hidung. Partikel udara yang terhirup berdifusi ke nasal mukosa. Rinitis alergi terjadi pada individu yang mempunyai faktor prediposisi genetik untuk memproduksi antibodi IgE terhada alergen. Alergen tersebut biasanya tersebar melalui udara sehingga sering disebut aero-alergen. Alergen yang sering menyebabkan reaksi rinitis alergi


(42)

berbagai macam aero-alergen lainnya. Ketika alergen tersebut mengenai individu yang tersensitisasi maka akan terjadi rinitis alergi. Reaksi alergi pada rintis alergi

terbagi atas dua fase yakni fase cepat dan fase lambat. Alergen yang menempel

pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell atau APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit dan sel basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi (Small, 2011).

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin. Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet

Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Adanya degranulasi sel mast dan

terlepasnya berbagai mediator seperti histamine, leukotrien, prostaglandin, bradikinin pada reaksi fase cepat akan menyebabkan gejala bersin-bersin,

gatal-gatal, adanya sekret encer simetris kedua lubang hidung. ). Ciri alergi

rhinitis adalah hubungan temporal antara gejala tersebut dan paparan ke alergen (Huriyati, 2012).


(43)

9

RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalh akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Nguyen, 2009).

2.2.4. Diagnosis

Penegakan diagnosis diagnosis rinitis alergi terdiri atas tiga tahapan yakni anamnesis, pemeriksaan fisik dan bila peru dilakukan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan gejalanya berapa lama, durasi, kapan timbul keluhan dan mencari faktor yang mungkin mencetuskan terjadinya rinitis alergi. Selain itu keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja, pekerjaan pasien serta riwayat pengobatan dan alergi orang tua (Krouse, 2006).

Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk kronik (Krouse, 2006).

Pemeriksaan fisik dilakukan pada telinga, hidung, dan tenggorokan,tetai harus fokus dengan visualisasi yang baik dari rongga hidung. Pada pemeriksaan


(44)

fase peradangan akut rinitis alergi, mukosa hidung mungkin tampak pucat dan biru, sedangkan pada fase kronis biasanya eritematosa.Selain itu juga diperhatikan apakah ada deviasi septum, benda asing ataupun polip pada hidung yang mungkin terjadi, mengi, fase ekspirasi yang berkepanjangan, injeksi konjungtiva, dan mata berair.

Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tentu saja hal ini harus dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada. Adapun pemeriksaan penunjangnya adalah:

1. Uji tusukan kulit (Skin Prick Test).

Tes ini dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia.Pengujian kulit membawa risiko reaksi sistemik oleh karena itu harus dihindari pada pasien dengan gejala yang berat atau gejala yang sedang berlangsung, adanya gejala asma yang tidak stabil, serta wanita yang sedang hamil.Sekitar 20 alergen dapat diuji dalam tes tusukan kulit. Alergen dan larutan kontrol garam negatif dimasukkan ke dalam kulit melalui jarum suntik. Tempat yang paling umum digunakan untuk pengujian adalah lengan pasien. Kontrol saline digunakan untuk memastikan reaksi pasien bukan hanya hasil dari dermatographism. Setelah alergen disuntikkan, itu akan mengikat setiap sel mast yang memiliki reseptor IgE spesifik, menyebabkan sel mast akan ter-degranulasi dan melepaskan histamin, menyebabkan wheal terbentuk. Diameter wheal diukur setelah 15 sampai 20 menit dan tes dianggap positif jika wheal yang terbentuk oleh antigen adalah 3 mm lebih besar dari wheal terbentu oleh kontrol garam dan memiliki eritema sekitarnya. Ada lima alergen ekstrak telah dibakukan di Amerika Serikat, termasuk ragweed serbuk sari, bulu kucing, tungau debu rumah, hymenoptera racun, dan beberapa rumput. Semua ekstrak


(45)

11

alergen lainnya diuji tidak tentu direproduksi. Hasil tes tusukan kulit dapat dipengaruhi oleh obat-obatan tertentu, seperti antihistamin atau obat dengan sifat antihistamin,seperti antidepresan trisiklik. Untuk hasil terbaik, obat tersebut harus dihentikan setidaknya 4 hari sebelum pengujian untuk antihistamin generasi pertama dan setidaknya 10 hari sebelum pengujian antihistamin generasi kedua. Tes kulit intradermal lebih spesifik, tetapi kurang sensitif dibandingkan tes tusukan kulit. Hal ini biasanya dilakukan ketika hasil tes tusukan kulit yang negatif, namun masih ada kecurigaan klinis yang tinggi alergi. Paling sering, hal itu dilakukan untuk racun dan pengujian alergi penisilin. Dalam hal ini, 0,01-0,02 mL alergen disuntikkan intrakutan dengan jarum kecil, selanjutnya wheal yang diukur dalam waktu sekitar 15 sampai 20 menit (Forndley, 2002).

2. IgE serum total.

Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik (Cummings, 2005)

3. IgE serum spesifik.

Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3


(46)

4. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).

Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif (Krouse, 2006).

5. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRI.

Sebenarnya penggunaan terbatas dalam mendiagnosis rinitis alergi. Pada tomogaphy scan dapat berguna ketika diagnosis diragukan, tetapi hanya harus dilakukan setelah rujukan spesialis.Selain itu pemeriksaan radiologis dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi (Krouse, 2006).

2.2.5. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan untuk rinitis alergi adalah untuk menghilangkan gejala. Pilihan terapi yang tersedia untuk mencapai tujuan ini mencakup langkah-langkah menghindari paparan alergen, antihistamin ora,l intranasal kortikosteroid, antagonis reseptor leukotrien, dan imunoterapi alergen selain itu terapi yang mungkin berguna pada pasien tertentu termasuk dekongestan dan kortikosteroid oral. Jika gejala pasien terus berlangsung meskipun dengan pengobatan yang tepat rujukan untuk ahli alergi harus dipertimbangkan (Barr, 2014).

2.3. Asma Bronkial 2.3.1. Definsi

Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada bronkus disertai dengan hiper-responsif dan hipersensitivitas dari bronkus (WAO, 2012).

2.3.2. Klasifikasi

Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) tahun 2007, klasifikasi beratnya asma bronkial dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

Derajat 1: Asma berjeda (Intermitten). Ditemukan gejala asma kurang dari 1 kali seminggu, asimtomatik dan terdapat arus puncak ekspirasi (APE) diantara


(47)

13

serangan normal. Frekuensi serangan malam kurang dari 2 kali sebulan. APE lebih besar atau sama dengan 80% prediksi, dengan variasi kurang dari 20%.

Derajat 2: Asma menetap ringan (Mild Persistent). Gejala asma 1 kali atau lebih dalam seminggu, tapi kurang dari 1 kali sehari. Frekuensi serangan lebih dari 2 kali sebulan. APE lebih besar atau sama dengan 80% prediksi, variasi 20-30%.

Derajat 3: Asma menetap sedang (Moderate Persistent). Gejala asma tiap hari, menggunakan B2-agonist tiap hari, aktivitas terganggu hanya saat serangan. Frekuensi serangan malam lebih dari 1 kali seminggu, APE lebih dari 60% dan kurang dari 80% prediksi, variasi lebih dari 30%.

Derajat 4: Asma menetap berat (Severe Persistent). Gejala asma terus menerus, aktivitas fisik terbatas, frekuensi serangan sering, APE kurang atau sama dari 60% prediksi, variasi lebih dari 30%.

2.3.3. Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis

Faktor utama yang mendasari asma pada anak-anak dan pada populasi dewasa adalah sebuah mekanisme yang sama yakni adanya peradangan saluran napas dan edema, hiperresponsif saluran nafas, dan adanya pembentukan lendir yang berlebihan.Unsur-unsur ini menyebabkan keterbatasan aliran udara yang reversibel.Namun, seiring berjalannya waktu saluran napas akan mengalami remodelling, menyebabkan obstruksi aliran udara menjadi semakin berat (Mintz, 2006).

Peradangan saluran napas merupakan fase pertama dalam mekanisme patofisiologi yang mengarah ke asma. Dalam kasus asma, riwayat

atopi sering

terlibat. Saluran udara dari individu atopik telah peka terhadap berbagai antigen di lingkungan. Untuk alasan yang tidak diketahui, saluran udara ini memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi, seperti sel mast, eosinofil, dan diaktifkan sel T helper.Setelah terjadi kembali paparan alergen, IgE antibodi pada sel mast


(48)

mediator inflamasi yang membuka tautan antara sel-sel epitel yang garis jalan napas. Sel mast melepaskan interleukin-4 dan pro-inflamasi sitokin lainnya, yang merangsang proliferasi sel-T. Pro-inflamasi ini juga akan merangsang aktifasi interleukin-5, yang mengarah untuk perekrutan lebih banyak eosinofil, sel yang memainkan peran utama dalam patogenesis asma . Kemokin dirilis oleh sel mast merangsang perekrutan neutrofil, yang membantu dalam peradangan dan kerusakan pada saluran udara. Terakhir, sel mast juga melepaskan histamin dan leukotrien,yang mengarah pada bronkospasme yang terjadi selama episode asma . Itu terjadi ketika alergen mampu masuk ke dalam mukosa di mana ia dapat mengaktifkan sel-sel mast dan eosinofil yang banyak. Aktivasi lanjut menyebabkan peningkatan pelepasan vasoaktif dan mediator inflamasi. Selain merangsang pelepasan mediator, antigen mampu langsung merangsang reseptor pada saraf vagus, yang menyebabkan bronkokonstriksi yang berlebihan. Proses yang dijelaskan dalam alinea ini merupakan fase akut dari serangan asma dan biasanya berlangsung 15 sampai 30 menit. Hasil akhir yang terjadi terhadap respon peradangan ini sangat merugikan termasuk edema jalan napas, bronkokonstriksi, produksi lendir, dan meningkat permeabilitas vaskuler (Mintz, 2006).

Tahap akhir dari reaksi asma dimulai beberapa jam setelah awitan awal dan dapat bertahan selama satu hari atau lebih. Kemokin dan sitokin dilepaskan selama fase akut masuknya leukosit, yaitu neutrofil, basofil, dan eosinofil, yang melepaskan mediator mereka sendiri. Mediator ini mengakibatkan bronkokonstriksi dan edema saluran napas lebih lanjut, sehingga memperpanjang proses asma (Mintz, 2006).

Seiring berjalannya waktu, asma dapat menyebabkan remodeling saluran napas permanen, terutama ketika asma tidak terkontrol dengan baik. Salah satu aspek dari respon remodeling adalah penebalan dinding saluran napas. Konsekuensi klinis ini tidak sepenuhnya dipahami, namun beberapa penelitian telah menghubungkan peningkatan ketebalan saluran napas dengan peningkatan keparahan penyakit. Ini juga telah menunjukkan bahwa peningkatan Ketebalan dinding meningkatkan penyempitan saluran udara yang sudah terjadi pada asma,


(49)

15

sehingga menyebabkan peningkatan bronkospasme. Fibrosis subepitel adalah aspek lain diamati pada remodeling saluran napas yang telah menunjukkan korelasi dengan tingkat keparahan penyakit. Fibrosis juga telah dikaitkan dalam laporan penurunan nilai ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) serta peningkatan frekuensi dan durasi gejala asma. Hipersekresi mukus dan lendir serta metaplasia kelenjar adalah cara ketiga yang menunjukan bahwa remodeling saluran napas terjadi. Akibatnya, dari waktu ke waktu, saluran udara lebih terhambat dan lebih rentan terhadap lendir plugging, sehingga membuatnya lebih sulit untuk pulih dari setiap eksaserbasi (Jeffery, 2004).

2.3.4. Diagnosis

Diagnosis asma dibuat secara klinis, biasanya berdasarkan riwayat gejala khas, bukti objektif obstruksi aliran udara . Diagnosis asma biasanya dibuat secara akurat, meskipun tingkat akurasi diagnostik mungkin tergantung usia pasien. Misalnya, diagnosis asma pada orang dewasa muda biasanya tidak sulit. Dengan meningkatnya usia, diagnosis asma bronkial akan semakin sulit karena ada beberapa kondisi lain yang meniru asma atau mengacaukan presentasi klinis. Penyakit kardiovaskular dan bentuk lain dari penyakit paru-paru kronis yang lebih umum, dan diagnosis diferensial gejala dada episodik lebih luas. Temuan komponen ireversibel obstruksi jalan napas pada penderita asma menambah tantangan membedakan antara asma dan penyakit paru obstruktif kronik yang terkait dengan tembakau (PPOK). Manifestasi klinis dan laboratorium berikut penting dalam pertimbangan diagnosis asma (Pascual, 2008).

Riwayat perjalanan penyakit mesti digali sampai klinisi mendapat pola kejadian asma, presipitasi atau faktor yang memberatkan, dan profil dari eksaserbasi khas. Hal ini merupakan elemen penting dari evaluasi klinis. Selama episode akut, keluhan biasa termasuk mengi dan sensasi sesak dada. Sesak napas mungkin juga terjadi, meskipun gejala ini sering diartikan sebagai sensasi memiliki kesulitan inspirasi.Batuk kronis juga merupakan gejala yang sering pada


(50)

gejala terjadi bervariasi dalam populasi asma. Meskipun tidak ada gejala tunggal spesifik untuk asma, mengi adalah tanda yang berguna, karena sebagian besar penderita asma mengeluh episode mengi, dan nonasthmatics jarang melaporkan gejala mengi. Gejala Dada yang bervariasi oleh musim dan disertai dengan gejala iritasi selaput lendir lainnya, seperti konjungtivitis dan rhinitis, khas bersamaan terjadi dengan asma alergi. Sedangkan serbuk sari dan beberapa spora jamur yang cenderung memprovokasi gejala musiman, alergen dalam ruangan, seperti tungau debu rumah, kecoa, dan protein bulu binatang cenderung menghasilkan gejala terus menerus. Gejala yang dapat terjadi setiap saat.Infeksi virus pernapasan adalah penyebab umum dari eksaserbasi asma pada orang dewasa. Virus yang paling umum terlibat adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus, virus influenza, dan virus parainfluenza. Mycoplasma dan Chlamydia juga terkait dengan eksaserbasi asma dan infeksi bakteri lainnya.Perlu dicatat bahwa virus infeksi pernafasan dapat membangkitkan peningkatan respon saluran napas pada orang sehat, menyebabkan diri terbatas karena episode sesak dada, batuk, dan mengi yang mungkin terjadi selama 8 sampai 12 minggu. Meskipun episode ini sering didiagnosis asma, hilangnya gejala setelah 8 sampai 12 minggu menunjukkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh sementara, peningkatan postviral di respon saluran napas (Rajendran, 2009).

Pada pemeriksaan fisik, Mengi merupakan temuan fisik yang paling khas pada asma disebabkan oleh aliran udara turbulen melalui penyempitan saluran udara. Pada asma, mengi biasanya hadir selama ekspirasi, meskipun mungkin hadir selama inspirasi juga. Kualitas mengi tidak harus dianggap prediksi dari derajat obstruksi pada pasien asma. Pasien yang tidak menunjukkan gejala, atau yang mengeluh hanya batuk, mungkin menunjukkan expiratory wheezing akhir, meskipun hal tersebut tidak spesifik. Tanda-tanda klinis dari rhinitis, sinusitis, dan polip hidung adalah terlihat lebih umum pada pasien dengan asma dibandingkan pada merekac dengan gangguan kronis lainnya atau kongestif gagal jantung. Penyakit sinus kronis mungkin sulit untuk mendiagnosa atas dasar klinis; pencitraan mungkin diperlukan.Penurunan berat badan ditandai atau wasting yang parah tidak terlihat di asma tetapi umumnya terjadi pada emfisema berat. Tanda


(51)

17

hiperinflasi dan napas berkurang dan suara biasanya diamati selama eksaserbasi akut. Penggunaan otot aksesori pernapasan dan adanya pulsus paradoksus adalah tanda-tanda obstruksi jalan napas berat dan biasanya diamati selama episode akut. Karena upaya ventilasi dapat berkurang seiring dengan kelelahan otot pernafasan, tidak adanya pulsus paradoksus tidak menghilangkan sangkaan adanya obstruksi jalan napas yang berat. Stridor, suara inspirasi bernada tinggi,terdengar jelas dengan auskultasi di atas saluran napas atas, dan harus mendorong pencarian lebih lanjut untuk penyebab obstruksi jalan napas bagian atas, termasuk disfungsi pita suara, trakea atau bronkus stenosis, kelumpuhan pita suara, tumor atas-napas, dan penyempitan saluran napas karena pembesaran tiroid (Pascual, 2008).

Penggunaan studi laboratorium dalam diagnosis asma sebagian besar terbatas pada spirometri. Pengujian kulit dan tes serologi juga dapat berguna dalam mendefinisikan pemicu alergi dari asma pada beberapa pasien, meskipun riwayat klinis sering memberikan informasi lebih lanjut klinis yang relevan mengenai hubungan antara gejala dan eksposur. Radiografi studi, tes darah, dan studi fungsi paru-paru lebih luas digunakan untuk mengecualikan kondisi lain yang dapat meniru asma atau mempersulit presentasi klinis (Pascual, 2008).

Tes fungsi paru penting untuk mengkonfirmasi diagnosis asma, tingkat keparahan penyakit, dan memantau respon terhadap terapi. Diagnosis asma biasanya dikonfirmasi oleh demonstrasi obstruksi aliran udara dengan spirometri. Selain itu, harus ada menjadi bukti perbaikan yang signifikan dalam 1 detik. Volume (FEV1) akut setelah pemberian bronkodilator, atau dengan pengukuran berulang dari waktu ke waktu. Sayangnya, tidak ada kriteria standar untuk menilai tingkat reversibilitas setelah pemberian bronkodilator untuk tujuan diagnostik. Meskipun peningkatan post-bronchodilator di FEV1 lebih besar dari 12 persen sering dianggap bukti obstruksi jalan napas reversibel, tingkat ini adalah tidak memiliki sensitivitas atau spesifisitas untuk mendeteksi asma.Pengalaman klinisi telah menunjukkan bahwa ada tumpang tindih substansial dalam tingkat bronkodilator reversibility ketika membandingkan pasien asma untuk


(52)

menegaskan reversibilitas obstruksi jalan napas dan meng-indikasikan asma, temuan ini tidak mengesampingkan PPOK (GINA, 2007).

2.3.5. Penatalaksanaan

Keberhasilan pengelolaan pasien asma membutuhkan dua prinsip dasar. Pertama, heterogenitas asma yang cukup variatif sehubungan dengan etiologi, presentasi klinis, keparahan, dan respon terhadap terapi. Karena heterogenitas ini, tidak mungkin bahwa satu pendekatan manajemen akan bekerja untuk semua pasien. Dengan demikian, terapi harus disesuaikan dengan masing-masing pasien. Kedua, prinsip mengakui bahwa dalam setiap pasien, tingkat keparahan gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, beberapa pasien mungkin mengalami remisi gejala selama masa remaja, bisa terjadi keparahan yang lebih besar di kemudian hari ketika pasien dewasa. Dengan demikian, pasien harus dimonitor secara teratur, dan pengobatan harus dimodifikasi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pasien. (Pawankar, 2004).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa edukasi pasien dan program pengendalian lingkungan efektif dalam mengurangi morbiditas asma, meskipun penelitian tambahan diperlukan untuk lebih menentukan metode mana yang paling efektif dan yang pasien yang paling menguntungkan (Mintz, 2006).

Pedoman saat ini menganjurkan mengklasifikasikan asma menurut keparahan klinis menggunakan gejala, fungsi paru-paru, dan penggunaan obat-obatan sebagai variabel. Obat yang tersedia saat ini untuk mengobati asma yang diklasifikasikan sebagai obat kontrol jangka panjang atau "pengendali" dan obat short-acting atau "penghilang" atas dasar efek utama farmakodinamik dan klinis mereka. Dengan demikian, bronkodilator short-acting seperti agonis beta dihirup atau antikolinergik dianggap obat bantuan cepat. Kortikosteroid, long-acting agonis beta, leukotrien inhibitor jalur, natrium kromolin, nedokromil natrium, berkelanjutan-release teofilin, dan omalizumab dianggap obat kontrol jangka panjang, karena mereka digunakan untuk mencapai dan mempertahankan kontrol gejala dan biasanya digunakan setiap hari dalam jangka panjang (Mintz, 2006).


(53)

19

2.4. Mekanisme yang Mendasari Hubungan antara Rinitis Alergi dan Asma Bronkial

2.4.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis

Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan langsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma (Slavin, 2008).

Rinitis alergi dan asma bronkial, keduanya merupakan manifestasi dari adanya proses inflamasi di si stem saluran nafas yang berkelanjutan (Continous Airway System.Banyak kelainan yang bisa terjadi pada saluran nafas yang dapat menganggu proses pertukaran udara, salah satunya adalah obstruksi.Sumbatan atau obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi berlebihan,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol, ketika terpapar suatu alergen maka mukosa hidung mengalami hiperaktifitas, sel goblet menghasilkan sekret lebih banyak serta adanya vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Ketika terjadi serangan otot polos pada bronkus mengalami konstriksi sehingga resistensi jalan nafas meningkat dan menganggu pertukaran keluar masuk udara.Berbeda dengan rhinitis yang tidak mengancam jiwa pada serangan asma dengan obstruksi total bronkus dapat mengancam jiwa penderita (Slavin, 2008).

Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan


(54)

diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas (Pawankar, 2004).

Secara fisiologis, asma dan rinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang (Thomas, 2006).

Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homeostatik di saluran nafas bawah (Casale, 2001).

Paparan alergen pada hidung akan menginduksi teraktifasinya sel-sel inflamasi di saluran nafas atas ataupun lebih rendah dan sebaliknya. Mengobati hidung dapat mempengaruhi peradangan di saluran napas bagian bawah. Fase awal khas dan fase akhir yang umum dan sesuai untuk kedua penyakit saluran nafas rhinitis dan asma. Studi pada pasien dengan rhinitis alergi menunjukan adanya hiperresponsif bronkial dan peningkatan sel-sel peradangan. Paparan alergen pada hidung selanjutnya akan meningkatkan pengeluaran eosinofil. Eosinofil telah terbukti banyak dalam mukosa hidung pasien dengan asma, bahkan dalam ketiadaan gejala rinitis (Casale, 2001).

Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.


(55)

21

2.4.2. Hubungan Imunopatologis

Mukosa saluran nafas kaya akan sel mast yang sangat penting sebagai efektor dan sistem imun saluran nafas. Sel mast menyimpan berbagai mediator inflammasi diantaranya histamine,heparin dan berbagai jenis leukotrine. Histamin berfungsi meningkatkan permeabilitas vaskular,sebagai protease dan sebagai eosinofil chemotactic factor.Sel mast berasal dari sel progenitor sumsum tulang. Sel progenitor tersebut bersirkulasi melalui darah dan masuk ke jaringan-jaringan dan nantinya ber-proliferasi dan berkembang (Junquiera, 2005).

Pada permukaan sel mast terdapat reseptor spesifik immunoglobulin E (IgE).Ketika IgE berikatan pada reseptornya pada sel mast akan menyebabkan keluarnya granul-granul mediator inflammasi pada sel mast.Adanya sel mast pada saluran nafas ini secara signifikan menyebabkan hubungan immunopatologis naso-bronki sangat erat melalui respon pelepasan cytokine pada proses alergi dan inflammasi.Selain itu pada saluran nafas terdapat pula jaringan lymphoid yakni mucosal associated lymphoid tissue (MALT) yang tersebar banyak mulai dari hidung dan bronkus (Junquiera, 2005).

Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif (Bergeronet, 2005).

Pada asma bronkial ada beberapa mediator yang berperan penting. Kemokin seperti thymus and activation-regulated chemokines (TARC) dan


(56)

dan prostaglandin D2 berperan dalam proses penyempitan dan hiperesponsive saluran nafas pada patofisiologi terjadinya asma (Cummings, 2005).

Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama (Cummings, 2005).

Mediator inflammasi dari saluran nafas atas dapat mencapai saluran nafas bawah melalui aliran nafas itu sendiri.Selain itu mediator inflammasi juga dapat mencapai saluran nafas bawah melalui darah. Mediator inflammasi seperti histamine,leukotrien, dan beberapa sitokin mempunyai kemamuan untuk beredar melalui sirkulasi darah.Meskipun demikian kebanyakan dari sitokin tersebut memiliki waktu paruh yang singkat.Peneliti menemukan bahwa mediator inflammasi seperti IL-5 dan GM-CSF pada paru dapat sampai ke sumsum tulang dimana akan merangsang pelepasan sel-sel progenitor ke sirkulasi dan ke target organ.Ini terbukti setelah pemaparan antigen atau allergen menunjukan peningkatan produksi sel T pada sumsum tulang dan peningkatan affinitas dari reseptor IL-5 yang erat kaitannya dengan peningkatan jumlah sel progenitor eosinofil (Mehta, 2014).

2.4.3. Refleks-Refleks Neural

Setiap inflamasi pada hidung, ada efek yang terjadi bersamaan pada daerah bronkus. Dari penelitian yang dilakukan oleh Fontanari dkk, yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat dingin (es). Didapatkan meningkatnya


(57)

23

tahanan dari tracheobronchial tree dan paru, sehingga tidak respon terhadap anestesi topikal dan bronkodilator inhalasi.

Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rinitis alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks nasobronkial dan bronkial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat disebut refleks bronkial (O’Hollaren, 2005).

2.5. Pengaruh Rinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma

Hubungan yang sangat erat antara rinitis alergi dan asma dapat dijadikan sebagai pertimbangan demi tercapainya hasil pengobatan yang lebih baik. Beta 2 agonis telah diketahui sangat efektif pada pasien asma tetapi tidak mempunyai efek sama sekali pada rinitis alergi. Begitupun, anti-histamin efektif pada rinitis alergi tetapi tidak salah satu obat yang digunakan untuk asma. Meskipun demikian telah didokumentasikan bahwa dengan mengobati rinitis alergi sangat mempengaruhi dengan tingkat keparahan dari gejala asma. Intranasal beclomethasone 326 mg per hari and fluticasone propionate 200 mg per hari telah terbukti dapat mengurangi secara signifikan hiperresponsif bronkus pada pasien asma. Selain itu intranasal beclomethasone 200 mg dua kali sehari terbukti mengurangi hiperresponsif bronkus pada induksi metakolin. Meskipun anti-histamin bukan merupakan bagian dari pengobatan asma tetapi mempunyai efek tidak langsung pada asma. Sebuah penelitian placebo-controlled trial menyatakan bahwa sebanyak 186 pasien dengan rinitis musiman dan asma, pemberian Cetirizine 10 mg terbukti telah dapat mengurangi secara signifikan gejala asma selama musim serbuk sari (Pawankar, 2003).

Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rinitis alergi komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan


(58)

rinitis alergi dan asma mulai ramai diperbincangkan dan diteliti. Selain anti-inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4 (Phosphodiesteras e-4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma. Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rinitis alergi seperti anti histamin dan cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinofil pada darah dan sputum, menurunkan perekrutan eosinofil dari sumsum tulang, dan meningkatkan produksi nitric oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast® merupakan salah satu contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rinitis alergi dan asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rinitis, juga menurunkan gejala rinitis harian pada penderita rinitis alergi dan asma (Pawankar, 2003).

2.6. Penatalaksanaan Asma dengan Rinitis Alergi di Indonesia

Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rinitis alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen, penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rinitis maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rinitis dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk


(59)

25

mengatasi gejala asma saja atau rinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk rinitis alergi.

Metode imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas 5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara 5-2 0 Âμg, sedangkan preparat oral memiliki dosis 50-100 kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rinitis alergi di Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui mengenai hubungan rhinitis dan asma, dan akan sangat menguntungkan apabila pengetahuan tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma (Small, 2011).

Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana


(60)

dicantumkan farmakoterapi untuk rinitis alergi, sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global, dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum, hanya mengenai rinitis alergi serta komorbiditas dan tata laksana yang dikombinasikan.


(1)

vii

2.3.2. Klasifikasi……….….. 13

2.3.3. Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis………..….…. 13

2.3.4. Diagnosis………....…………...………... 15

2.3.5. Penatalaksanaan………....………..…....…...…. 18

2.4. Mekanisme yang Mendasari Hubungan antara Rinitis Alergi dan Asma Bronkial………...….…. 19

2.4.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis………..…. 19

2.4.2. Hubungan Imunopatologis………..………. 21

2.4.3. Refleks-Refleks Neural………... 23

2.5. Pengaruh Rinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma... 23

2.6. Penatalaksanaan Asma dengan Rinitis Alergi di Indonesia..…. 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINSI OPERASIONAL...… 27

3.1. Kerangka Konsep Penelitian……… 27

3.2. Variabel dan Definisi Operasional………...… 27

3.2.1. Variabel Independen………..…… 27

3.2.2. Variabel Dependen………...……….. 27

3.2.3. Definsi Operasional………...…. 28

3.2.4. Hipotesis………...….. 29

BAB 4 METODE PENELITIAN………….………..… 30

4.1. Jenis penelitian………. 30

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian……….…. 30

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………. 30

4.3.1. Populasi………... 31

4.3.2. Cara Pemilihan Sampel………...… 31

4.3.3. Estimasi Besar Sampel……….... 31

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……… 32

4.4.1.Kriteria Inklusi……… 32

4.4.2.Kriteria Eksklusi………. 32

4.5. Teknik Pengumpulan Data ………...………... 32


(2)

4.6. Pengolahan dan Analisa Data………... 32

4.4.1.Pengolahan Data………... 32

4.4.2.Analisis Data……….... 33

BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN...34

5.1. Hasil Penelitian...34

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...34

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden...34

5.1.3. Hasil Analisis Statistik...34

5.2. Pembahasan...37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...41

6.1. Kesimpulan...41

6.2. Saran...41

DAFTAR PUSTAKA………....…………. 42

LAMPIRAN


(3)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Definisi Operasional………... 28

4.1. Jadwal Kegiatan………... 30

5.1. Distribusi Responden Jenis Kelamin... 34

5.2. Distribusi Responden Rinitis Alergi... 35

5.3. Distribusi Responden Asma Bronkial... 35

5.4. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Terhadap Rinitis Alergi...35

5.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Terhadap Asma Bronkial...36

5.6. Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial... 37


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Saluran Nafas Atas ……….5 Gambar 2.2. Saluran Nafas Bawah ……….6


(5)

xi

DAFTAR SINGKATAN

WAO : World Allergy Organization

PERSI : Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Curiculum Vitae Lampiran 2. Kuesioner Penelitian

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 5.Izin Komisi Etik FK USU Lampiran 6.Izin Penelitian MEU

Lampiran 7.Izin Penelitian SMPN 1 Medan Lampiran 8.Data Induk

Lampiran 9.Output SPSS