2.2 Rinitis Alergi
2.2.1. Definisi Rinitis alergi adalah penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh
immunoglobulin Ig E pada mukosa hidung akibat terpaparnya suatu aero-alergen pada individu yang sensitif WAO, 2012
2.2.2 Klasifikasi Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan terdapatnya gejala WHO, 2000:
1. Intermitten, bila gejala terdapat: o Kurang dari 4 hari per minggu
o Atau bila kurang dari 4 minggu per tahun 2. Persisten, bila gejala terdapat:
o Lebih dari 4 hari per minggu o Dan bila lebih dari 4 minggu per tahun
Berdasarkan beratnya gejala: 1. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut:
2. Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut diatas.
2.2.3. Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis Partikel udara yang terhirup akan terdeposit pada lapisan mukosa hidung.
Partikel udara yang terhirup berdifusi ke nasal mukosa. Rinitis alergi terjadi pada individu yang mempunyai faktor prediposisi genetik untuk memproduksi antibodi
IgE terhada alergen. Alergen tersebut biasanya tersebar melalui udara sehingga sering disebut aero-alergen. Alergen yang sering menyebabkan reaksi rinitis alergi
pada individu atopi adalah serbuk tanaman, spora jamur, tungau , bulu binatang dan debu-debu yang mengandung partikel-partikel sisa binatang kecil dan
Universitas Sumatera Utara
berbagai macam aero-alergen lainnya. Ketika alergen tersebut mengenai individu yang tersensitisasi maka akan terjadi rinitis alergi. Reaksi alergi pada rintis alergi
terbagi atas dua fase yakni fase cepat dan fase lambat. Alergen yang menempel
pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai
fagosit dan sel penyaji antigen Antigen Presenting Cell atau APC diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan
molekul HLA Human Leucocyte Antigen kelas II membentuk kompleks MHC Major Histocompatibility Complex kelas II yang kemudian dipresentasikan pada
sel Th0 T helper 0. Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 IL1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1
dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit dan sel basofil sel mediator sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi
Small, 2011. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi pecahnya dinding sel mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk Performed Mediator terutama histamin. Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
PGD2, leukotrien D4 LTD4, leukotrien C4 LTC4, bradikinin, Platelet Activating Factor
PAF dan berbagai sitokin. Adanya degranulasi sel mast dan
terlepasnya berbagai mediator seperti histamine, leukotrien, prostaglandin, bradikinin pada reaksi fase cepat akan menyebabkan gejala bersin-bersin, gatal-
gatal, adanya sekret encer simetris kedua lubang hidung . . Ciri alergi
rhinitis adalah hubungan temporal antara gejala tersebut dan paparan ke alergen Huriyati, 2012.
Universitas Sumatera Utara
RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini
akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalh akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
ECP, Eosinophilic Derived Protein EDP dan lain-lain. Pada fase ini, selain faktor spesifik alergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi Nguyen, 2009.
2.2.4. Diagnosis Penegakan diagnosis diagnosis rinitis alergi terdiri atas tiga tahapan yakni
anamnesis, pemeriksaan fisik dan bila peru dilakukan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan
dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan gejalanya berapa lama, durasi, kapan timbul keluhan dan
mencari faktor yang mungkin mencetuskan terjadinya rinitis alergi. Selain itu keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja, pekerjaan pasien serta riwayat
pengobatan dan alergi orang tua Krouse, 2006. Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya
adanya rinore cairan hidung yang bening encer, bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap
atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia penurunan atau hilangnya
ketajaman penciuman dan batuk kronik Krouse, 2006. Pemeriksaan fisik dilakukan pada telinga, hidung, dan tenggorokan,tetai
harus fokus dengan visualisasi yang baik dari rongga hidung. Pada pemeriksaan lokal hidung rinoskopi anterior diperhatikan adanya edema dari konka media
atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat dan edema. Pada
Universitas Sumatera Utara
fase peradangan akut rinitis alergi, mukosa hidung mungkin tampak pucat dan biru, sedangkan pada fase kronis biasanya eritematosa.Selain itu juga diperhatikan
apakah ada deviasi septum, benda asing ataupun polip pada hidung yang mungkin terjadi, mengi, fase ekspirasi yang berkepanjangan, injeksi konjungtiva, dan mata
berair. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tentu saja hal ini
harus dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada. Adapun pemeriksaan penunjangnya adalah:
1. Uji tusukan kulit Skin Prick Test.
Tes ini dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk
anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa
dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia.Pengujian kulit membawa risiko reaksi sistemik
oleh karena itu harus dihindari pada pasien dengan gejala yang berat atau gejala yang sedang berlangsung, adanya gejala asma yang tidak
stabil, serta wanita yang sedang hamil.Sekitar 20 alergen dapat diuji dalam tes tusukan kulit. Alergen dan larutan kontrol garam negatif
dimasukkan ke dalam kulit melalui jarum suntik. Tempat yang paling umum digunakan untuk pengujian adalah lengan pasien. Kontrol saline
digunakan untuk memastikan reaksi pasien bukan hanya hasil dari dermatographism. Setelah alergen disuntikkan, itu akan mengikat
setiap sel mast yang memiliki reseptor IgE spesifik, menyebabkan sel mast akan ter-degranulasi dan melepaskan histamin, menyebabkan
wheal terbentuk. Diameter wheal diukur setelah 15 sampai 20 menit dan tes dianggap positif jika wheal yang terbentuk oleh antigen adalah
3 mm lebih besar dari wheal terbentu oleh kontrol garam dan memiliki eritema sekitarnya. Ada lima alergen ekstrak telah dibakukan di
Amerika Serikat, termasuk ragweed serbuk sari, bulu kucing, tungau debu rumah, hymenoptera racun, dan beberapa rumput. Semua ekstrak
Universitas Sumatera Utara
alergen lainnya diuji tidak tentu direproduksi. Hasil tes tusukan kulit dapat dipengaruhi oleh obat-obatan tertentu, seperti antihistamin atau
obat dengan sifat antihistamin,seperti antidepresan trisiklik. Untuk hasil terbaik, obat tersebut harus dihentikan setidaknya 4 hari sebelum
pengujian untuk antihistamin generasi pertama dan setidaknya 10 hari sebelum pengujian antihistamin generasi kedua. Tes kulit intradermal
lebih spesifik, tetapi kurang sensitif dibandingkan tes tusukan kulit. Hal ini biasanya dilakukan ketika hasil tes tusukan kulit yang negatif,
namun masih ada kecurigaan klinis yang tinggi alergi. Paling sering, hal itu dilakukan untuk racun dan pengujian alergi penisilin. Dalam hal
ini, 0,01-0,02 mL alergen disuntikkan intrakutan dengan jarum kecil, selanjutnya wheal yang diukur dalam waktu sekitar 15 sampai 20
menit Forndley, 2002. 2.
IgE serum total. Kadar meningkat hanya didapati pada 60 penderita rinitis alergi dan
75 penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan
menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik Cummings,
2005 3.
IgE serum spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis
rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST
Radioallergosorbent test pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga
pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia
CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3
hari menjadi kurang dari 3 jam saja Cummings, 2005.
Universitas Sumatera Utara
4. Tes provokasi hidung Nasal Challenge Test.
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu
negatif Krouse, 2006. 5.
Foto polos sinus paranasalCT ScanMRI. Sebenarnya penggunaan terbatas dalam mendiagnosis rinitis alergi.
Pada tomogaphy scan dapat berguna ketika diagnosis diragukan, tetapi hanya harus dilakukan setelah rujukan spesialis.Selain itu pemeriksaan
radiologis dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi
dan jika direncanakan tindakan operasi Krouse, 2006.
2.2.5. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan untuk rinitis alergi adalah untuk menghilangkan gejala.
Pilihan terapi yang tersedia untuk mencapai tujuan ini mencakup langkah-langkah menghindari paparan alergen, antihistamin ora,l intranasal kortikosteroid,
antagonis reseptor leukotrien, dan imunoterapi alergen selain itu terapi yang mungkin berguna pada pasien tertentu termasuk dekongestan dan kortikosteroid
oral. Jika gejala pasien terus berlangsung meskipun dengan pengobatan yang tepat rujukan untuk ahli alergi harus dipertimbangkan Barr, 2014.
2.3. Asma Bronkial