KEPULAUAN LABENGKE

KEPULAUAN LABENGKE

Zamrud dalam Kemilau Safir Laut Banda

Oleh: Imtihanah dan Surono

Ketika kami menginjakkan kaki di atas butiran

Hari yang Cerah

pasir putih berkilauan oleh cahaya mentari pagi Pagi di bulan itu sungguh menyenangkan. di Pulau Labengke, kubayangkan Leonardo di

Langit biru cerah dengan ornamen gumpalan awan Caprio dalam film Beach (2000) menepi di pantai

putih menggantung. Mentari pagi memancarkan Pulau Phi phi, Thailand. Namun, pulau yang kami

cahayanya yang hangat, sumber kehidupan bagi datangi ini tak berpenghuni dan tertutup oleh

makhluk hidup di bumi. Masih pukul enam, tetapi hijaunya tumbuhan. Pulau ini beserta pulau-

cuaca kota Kendari dalam terpaan hangat mentari pulau di sekitarnya yang bermorfologi khas,

pagi telah membuat kami mulai berkeringat. Udara menampilkan bercak hijau yang indah dalam

tepi laut terasa segar saat terhirup dan masuk ke rendaman air laut berwarna biru safir atau hijau

rongga paru-paru, mengurangi gerah yang kami torqouise. Inilah salah satu surga di tepian Laut

rasakan.

Banda yang luas membiru itu. Pagi itu kami sudah mengadakan janji bertemu

Nurdin, Mudin, dan Hendra di pelabuhan Johnson

32 GEO MAGZ Juni 2013 32 GEO MAGZ Juni 2013

Pukul 6 kami sudah berkumpul di pelabuhan Johnson , Teluk Kendari. Tampak kapal-kapal kayu warna-warni berbagai ukuran, berjajar. Salah satu di antaranya bernama Bintang Samudra, kapal kayu berwarna putih dengan panjang tidak kurang dari

15 m menyambut kedatangan kami. Dengan sedikit bergegas mengingat matahari terus meninggi, kami berlima naik ke atas Bintang Samudra.

Semua perbekalan telah siap di perahu motor. Biskuit dan makanan kecil lainnya seperti kacang dan keripik tersimpan dalam satu kardus. Di lambung kapal, di bawah tempat kami duduk, tersimpan peralatan dapur seperti gelas, sendok, piring, wajan penggorengan, panci, dan kompor. Tumpukan nasi kotak untuk makan siang pun sudah tersedia. Tidak lupa beras, ikan segar dalam taburan es, kecap, air mineral, dan juga satu dus mie instan untuk perbekalan kami menginap semalam di pulau yang akan kami singgahi.

Dalam waktu setengah jam, kami sudah keluar dari Teluk Kendari dan memasuki perairan bebas. Angin bertiup kencang membawa gelombang laut cukup besar. Hantaman gelombang mulai membuat perahu motor bergoyang keras. Semua penumpang mulai memakai pelampung yang tersedia di perahu motor. Benar kata Mudin, tidak sampai tiga jam kami sudah sampai di Kepulauan Labengke. Terlihat pulau- pulau kecil menonjol di atas permukaan laut. Semua pulau itu dibentuk oleh batugamping.

Kepulauan Batugamping Labengke

Di timur laut kota Kendari, di lepas pantai timur Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat gugusan pulau yang mempunyai morfologi bukit kars dengan

Siluet pulau batugamping saat matahari terbit. Foto: Imtihanah.

ketinggian beberapa meter hingga puluhan meter di atas permukaan laut. Dengan gambaran khas pulau-pulau kecil, bebatuan pulau tampak tergerus

untuk berlayar ke Kepulauan Labengke. Nurdin, oleh derasnya arus dan gelombang. Pulau-pulau ini mantan pelayar yang akan memandu kami menuju dibentuk oleh batugamping terumbu yang berwarna ke Kepulauan Labengke, Mudin, pemilik kapal kayu putih, kelabu hingga kecoklatan, bersifat sarang merangkap juru mudi, dan Hendra, anak muda yang atau berongga, di dalamnya dijumpai fosil koral, bertugas sebagai navigator.

ganggang dan cangkang moluska.

Awalnya Mudin ingin pelayaran ini dimulai pukul Runtunan batugamping oolit dan kalsilutit

5 pagi. Alasannya gelombang laut masih rendah, tersebar luas di sekitar Kepulauan Labengke dan sehingga pelayaran ke Kepulauan Labengke dapat Tanjung Tampakura. Dalam publikasi yang berjudul ditempuh lebih cepat. Tapi, pukul 5 rasanya masih Tinjauan Stratigrafi Lengan Tenggara Sulawesi, terlalu pagi, akhirnya disepakati pukul 6.

Rusmana dan Sukarna, 1985, memperkenalkan nama Pelabuhan Johnson adalah sebutan yang Formasi Tampakura untuk runtunan batugamping

diberikan oleh penduduk setempat bagi satu bagian ini. Lebih dari satu dekade kemudian, Surono,

perlapisan berkisar antara 15 o sampai 55 o . Total

nanno (Coronocyclus netecens dan Cyclicargolithus ketebalan formasi ini di Pulau Labengke mencapai floridanus ), moluska, ganggang, koral, dan echinoid. 400 m. Fosil foraminifera menunjukkan umur Eosen akhir-

Labengke adalah pulau terbesar dari gugusan Oligosen Awal. Fosil nano menunjukkan kisaran umur pulau-pulau batugamping tersebut. Di sekitarnya

lebih panjang, yakni Eosen Tengah-Miosen Tengah. berserakan pulau lainnya yang berukuran lebih Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Formasi

kecil, seperti Pulau Labengke Kecil, Bae, dan

Tampakura berumur Eosen Akhir- Oligosen Awal Muang. Di bagian utaranya terdapat juga pulau- (55,8 – 23,03 juta tahun).

pulau kecil, antara lain Pulau Tarape dan Ambokita. Secara litologi, Formasi Tampakura terdiri atas Meskipun di peta semua pulau itu sebagian besar oolit , mudstone, wackstone, packstone, framestone diberi nama, tetapi yang dikenali oleh para pelayar dan sisipan batupasir, serpih, lanau, dan napal di bahkan penduduk setempat hanya pulau-pulau yang bagian bawah. Bagian bawah Formasi Tampakura berukuran relatif besar saja, termasuk yang dikenali