Karakteristik Penderita Skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012

(1)

ABSTRAK

Skabies merupakan penyakit infes tasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varietas hominis, biasanya terjadi di daerah yang sanitasi dan higienitas lingkungannya buruk . Skabies dapat menyerang siapa saja, namun lebih banyak ditemukan pada anak -anak usia sekolah dan yang berjenis kelamin laki-laki.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita skabies. Populasi adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010-2012. Sampel diperoleh dengan menggunakan metode total sampling. Data dikumpulkan melalui pencatatan rekam medik responden dan diolah secara statistik.

Hasil penelitian dari 226 penderita skabies didapatkan 129 penderita berjenis kelamin laki-laki (57,1%), 95 penderita adalah anak -anak dengan usia 6-18 tahun (57,1%), 82 penderita adalah pelajar (36,3%), dan 6-183 penderita berasal dari Kota Medan (81%).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa skabies umumnya terjadi pada laki-laki dan usia anak-anak (6-18 tahun). Hal ini mungkin karena laki-laki kurang telaten menjaga kebersihan dirinya sendiri dan anak -anak yang belum mengetahui cara untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri secara mandiri atau kurang menyadari tentang pentingny a kebersihan pribadi.


(2)

ABSTRACT

Scabies is an infestation of ectoparasites on human disease caused by Sarcoptes scabiei variety hominis, usually occur s in areas with poor sanitation and inadequate hygiene enviro nment. Scabies can attack anyone, but is more commonly found in school -age children and males.

This study is a descriptive study with cross -sectional design which aims to determine the characteristics of patients with scabies. The population was all patients who were diagnosed with scabies in Haji Adam Malik General Hospital Medan from 2010 until 2012. Samples were taken by total sampling method. Data was taken from patients’ medical records and processed statistically.

The result of this study with 226 pat ients showed that 129 patients were males (57,1%), 95 patients were children aged 6 -18 years (57,1%), 82 patients were students (36.3 %), and 183 patients were residents of Medan (81 %).

Based on these results, it can be concluded that scabies usually occu rs in males and in children aged 6-18 years. This is possibly because men rarely keep themselves clean in comparison to women, and children are of age where they do not yet know how to keep themselves clean or less aware of it.


(3)

KARAKTERISTIK PENDERITA SKABIES DI

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2012

Oleh:

BENNY ROLAND NABABAN

100100320

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(4)

KARAKTERISTIK PENDERITA SKABIES DI

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 -2012

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

BENNY ROLAND NABABAN

100100320

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(5)

(6)

ABSTRAK

Skabies merupakan penyakit infes tasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varietas hominis, biasanya terjadi di daerah yang sanitasi dan higienitas lingkungannya buruk . Skabies dapat menyerang siapa saja, namun lebih banyak ditemukan pada anak -anak usia sekolah dan yang berjenis kelamin laki-laki.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita skabies. Populasi adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010-2012. Sampel diperoleh dengan menggunakan metode total sampling. Data dikumpulkan melalui pencatatan rekam medik responden dan diolah secara statistik.

Hasil penelitian dari 226 penderita skabies didapatkan 129 penderita berjenis kelamin laki-laki (57,1%), 95 penderita adalah anak -anak dengan usia 6-18 tahun (57,1%), 82 penderita adalah pelajar (36,3%), dan 6-183 penderita berasal dari Kota Medan (81%).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa skabies umumnya terjadi pada laki-laki dan usia anak-anak (6-18 tahun). Hal ini mungkin karena laki-laki kurang telaten menjaga kebersihan dirinya sendiri dan anak -anak yang belum mengetahui cara untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri secara mandiri atau kurang menyadari tentang pentingny a kebersihan pribadi.


(7)

ABSTRACT

Scabies is an infestation of ectoparasites on human disease caused by Sarcoptes scabiei variety hominis, usually occur s in areas with poor sanitation and inadequate hygiene enviro nment. Scabies can attack anyone, but is more commonly found in school -age children and males.

This study is a descriptive study with cross -sectional design which aims to determine the characteristics of patients with scabies. The population was all patients who were diagnosed with scabies in Haji Adam Malik General Hospital Medan from 2010 until 2012. Samples were taken by total sampling method. Data was taken from patients’ medical records and processed statistically.

The result of this study with 226 pat ients showed that 129 patients were males (57,1%), 95 patients were children aged 6 -18 years (57,1%), 82 patients were students (36.3 %), and 183 patients were residents of Medan (81 %).

Based on these results, it can be concluded that scabies usually occu rs in males and in children aged 6-18 years. This is possibly because men rarely keep themselves clean in comparison to women, and children are of age where they do not yet know how to keep themselves clean or less aware of it.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa di Surga dan juga Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan karunia -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Karakteristik Penderita Skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010 -2012”. Penulisan skripsi ini ditujukan sebagai tugas akhir dalam pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengakui adanya kekurangan dalam tulisan ini sehingga laporan hasil penelitian ini tidak mungkin disebut sebagai suatu karya yang sempurna. Kekurangan dan ketidaksempurnaan tulisan ini tidak lepas dari berbagai macam rintangan dan halangan yang selalu datang baik sec ara pribadi pada penulis maupun dalam masalah teknis pengerjaan. Penulis rasakan semua itu sebagai suatu ujian dan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupan penulis yang kelak dapat memberi manfaat di kemudian hari.

Oleh karena kekurangan pada diri penulis dalam merampungkan karya tulis ini, maka semua itu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyamp aikan ucapan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakult as Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukka n kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Djohan, SpKK dan dr. Anita Rosari Dalimunthe, MKed (PD), SpPD , sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan masukkan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.


(9)

4. Pimpinan dan pegawai -pegawai Instalasi Rekam Medik RSUP H. A dam Malik Medan yang telah banyak membantu dalam hal menyediakan fasilitas rekam medik dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

5. Seluruh pegawai dan staf pengajar bagian IKK Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini. 6. Teman kelompok KTI dengan dosen pembimbing dr. Sunna Vyatra

Hutagalung, MS, Nurma Sheila yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

7. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Kedokteran USU, Rachmat Kurniawan A. P dan Billi yang juga telah membantu saya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

8. Abang Robby Oscar Sitohang (Senior Fakultas Kedokteran USU angkatan 2009) yang telah banyak membantu memberikan ide dan sarannya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

9. Abang Axel Ivander Nainggolan (Senior Fakultas Kedokteran USU angkatan 2007) yang telah banyak membantu memberikan ide, saran, d an kritiknya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

10. Terima kasih juga yang sebesar -besarnya kepada kedua orang tua saya, dr. Kristo A. Nababan, SpKK dan dr. Donna E. Sianturi, yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan jug a semangat dalam menyelesaikan studi saya termasuk dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya tuliskan yang telah memberikan bantuan kepada saya dalam pengerjaan karya tulis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa selalu membalas semua kebaikan yang selama ini di berikan kepada penulis dan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Desember 2013


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK... ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... ... iv

DAFTAR ISI ... ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ... ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... . ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... . ... 1

1.1. Latar Belakang... ... 1

1.2. Rumusan Masalah... ... 2

1.3. Tujuan Penelitian... ... 3

1.3.1. Tujuan Umum... ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus... ... 3

1.4. Manfaat Penelitian... ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... ... 4

2.1. Skabies.. ... 4

2.1.1. Sinonim ... 4

2.1.2. Definisi ... 4

2.1.3. Epidemiologi ... 4

2.1.4. Etiologi ... 4

2.1.5. Klasifikasi ... 7

2.1.6. Patogenesis ... 8


(11)

2.1.8. Gejala Klinis ... 10

2.1.9. Diagnosis ... 12

2.1.10. Pembantu Diagnosis ... 13

2.1.11. Diagnosis Banding ... 15

2.1.12. Pengobatan ... 16

2.1.13. Komplikasi ... 18

2.1.14. Prognosis ... 18

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 19

3.1. Kerangka Konsep ... 19

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 19

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 21

4.1. Jenis Penelitian ... 21

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 21

4.3.1. Populasi Penelitian ... 21

4.3.2. Sampel Penelitian ... 21

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4.4.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 22

4.4.2. Instrumen Penelitian ... 22

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 22

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 23

5.1. Hasil Penelitian ... 23

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 23

5.1.2. Karakteristik Individu ... 23


(12)

5.1.2.2. Jenis Kelamin Penderita Kasus ... 24

5.1.2.3. Pekerjaan Penderita Kasus ... 25

5.1.2.4. Asal Daerah Penderita Kasus ... 26

5.2. Pembahasan... 27

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

6.1. Kesimpulan ... 31

6.2. Saran ... 32


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita ... 23

5.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita ... 24

5.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita ... 25


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Bentuk Dewasa Sarcoptes scabiei... 5

2.2. Siklus HidupSarcoptes scabiei ... 6

2.3. Gejala Klinis Sarcoptes scabiei... 11

5.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita ... 24

5.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita ... 25

5.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita ... 26


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Ethical Clearance Lampiran 4 Surat Selesai Penelitian Lampiran 4 Data Induk


(16)

DAFTAR SINGKATAN

KSDAI Kelompok Studi Dermatologi An ak Indonesia

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skabies pertama kali dilukiskan di Old Testament oleh Aristoteles. Nama Sarcoptes scabiei berasal dari bahasa Yunani “sarx” yang berarti daging dan “koptein” yang berarti irisan/potongan, serta dari bahasa Latin “scabere” yang berarti garukan (Hicks dan Elston, 2009).

Skabies merupakan penyakit infestasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan Sarcoptes scabiei varietas hominis (Harahap M., 2000). Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik, atau gatal agogo. Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi (Handoko, 2009).

Insidens skabies di negara berkem bang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10 -15 tahun (Harahap M., 2000).

Skabies dapat diderita semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin, akan tetapi lebih sering ditemukan pada anak -anak usia sekolah dan dewasa muda/remaja (Murtiastutik D., 2008). Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun 2001 dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, diperoleh sebanyak 892 penderita skabies dengan insiden tertinggi pada kelompok usia sekolah (5 -14 tahun) sebesar 54,6% serta penderita berjenis kelamin laki -laki lebih banyak daripada perempuan yakni sebesar 63,4%. Hal ini sesuai dengan fakto r predisposisi pada anak usia sekolah yang memiliki kemungkinan pajanan di luar rumah lebih besar, dengan anak laki -laki memiliki frekuensi kegiatan di luar rumah lebih banyak daripada anak perempuan (Tabri F., 2003).

Proporsi penyakit paling tinggi terda pat di negara-negara tropis yang merupakan tempat di mana penyakit skabies itu endemik. Di wilayah lain selain negara-negara tropis, dijumpai sedikit bukti dari prevalensi penyakit ini. Jumlah yang paling tinggi dari penyakit muncul pada kondisi tempat tin ggal yang ramai, seperti kos dan asrama (Leone P.A., 2007). Sebuah teori epidemiologi di UK


(18)

menunjukkan skabies lebih banyak terdapat di area kota dan lebih sering terjadi pada musim dingin ketimbang pada musim panas. Hal ini terdapat di area kota dan insidennya meningkat selama musim dingin (Chosidow O., 2006).

Skabies menular dengan dua cara yaitu secara kontak langsung dan tidak langsung. Kontak langsung terjadi ketika adanya kontak dengan kulit penderita, misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hub ungan seksual. Sedangkan kontak tidak langsung melalui benda yang telah dipakai oleh penderita seperti pakaian, handuk, bantal, dan lain -lain (Handoko, 2009). Hal lain yang dapat mempermudah penyebaran adalah keadaan penyediaan air bersih yang jumlahnya kurang. Oleh sebab itu, skabies banyak didapat juga sewaktu terjadi peperangan (Slamet, 2009).

Faktor predisposisi paling banyak dari penyakit skabies adalah keramaian, imigrasi, higienitas yang buruk, status gizi buruk, tunawisma, demensia, dan kontak seksual. Beberapa literatur melaporkan, skabies bisa menggambarkan sebuah ancaman di suatu institusi, seperti rumah sakit, penjara, taman kanak -kanak, panti jompo, dan fasilitas perawatan jangka panjang (Hicks dan Elston, 2009).

Pasien yang menderita skabies bu tuh penjelasan tahap demi tahap dalam menggunakan terapi yang spesifik, dimana pada anggota keluarga yang tidak punya keluhan dan tidak mengalami kontak langsung dengan penderita juga membutuhkan pengobatan. Kemudian pasien perlu tahu bagaimana menjaga kebersihan lingkungannya dan juga termasuk mengelola pakaian, selimut, handuk, lantai, matras, tempat pakaian, dll (Wolf R, 2010).

Dari uraian di atas, peneliti ingin meneliti tentang karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010 -2012.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan penelitian untuk menjawab pertanyaan yaitu bagaimana karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010 -2012?


(19)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan usia.

2. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan jenis kelamin.

3. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan pekerjaan.

4. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan asal daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies terutama

siapa saja yang dapat terkena penyakit skabies.

2. Memberikan informasi penyakit skabies kepada RSUP H. Adam Malik Medan yang mungkin bermanfaat dalam perencanaan obat.

3. Menambah wawasan peneliti tentang penelitian, serta pengetahuan tentang penyakit skabies.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies 2.1.1. Sinonim

The itch, gudik, budukan, atau gatal agogo (Handoko, 2009).

2.1.2. Definisi

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung (Harahap M., 2000).

2.1.3. Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua u mur. Insidens sama pada pria dan wanita (Harahap M., 2000).

Insidens skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang le bih 10-15 tahun (Harahap M., 2000).

Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, dan derajat sensitasi individual (Harahap M., 2000).

2.1.4. Etiologi

Tungau Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda , kelas Arachnida, ordoAcarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Selain itu terdapat Sarcoptes scabiei yang lain, misalnya pada kambing dan babi (Handoko, 2009). Skabies pada anjing dapat juga ditularkan kepada manusia dalam kondisi tertentu (Sembel, 2009).


(21)

Secara morfologi, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil berbentuk oval, memiliki punggung yang cembung, dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran tungau betina berkisar antara 330–450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil, yakni 200 -240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di d epan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2009).

Gambar 2.1. Bentuk DewasaSarcoptes scabiei. (Chosidow O., 2006)

Siklus hidup tungau ini adalah sebagai berikut: setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina . Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk: jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Handoko, 2009 dan Stone S .P.et al, 2008).


(22)

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau skabies betina membuat liang di dalam epidermis dan meletakkan telur -telurnya di dalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya yaitu kawin dengan tungau betina , dan setelah melaksanakan tugasnya masing -masing mereka akan mati (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2 -3 hari dan pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80% (Harahap M., 2000).

Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di rumah -rumah yang dihuni oleh banyak orang (Sembel, 2009).

Individu yang menderita HIV, orang tua, dan pasien dengan medication-induced immunosupression beresiko terkena skabies, meskipun telah dilaporkan telah terjadi di antara warga Australia yang imunokompeten ( Stone SP et al, 2008).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei


(23)

2.1.5. Klasifikasi

Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Harahap M., 2000):

1. Skabies pada orang bersih

Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya baik sering salah didiagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

2. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasu k seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo,ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka.

3. Skabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubun gan erat dengan hewan tersebut, mis. peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat -tempat kontak. Lesi akan sembuh sendiri bila m enjauhi hewan tersebut dan mandi bersih -bersih.

4. Skabies noduler

Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan corticosteroid.


(24)

5. Skabies inkognito

Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin dis ebabkan oleh karena penurunan respons imun seluler.

6. Skabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

7. Skabies krustosa (Norwegian scabies)

Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata, dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, siku, lutut, telapak tangan, dan kaki ya ng dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau sehingga dapat berkembang biak dengan mudah.

2.1.6. Patogenesis

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garuk an. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira -kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu dijumpai kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urticaria, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder (Handoko, 2009).


(25)

Tungau dapat hidup di dalam terowongan di tempat predileksi, yaitu jari tangan, pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depa n, umbilicus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki, dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi , skabies dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki (Harahap M., 2000).

Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abu-abu dengan panjang yang bervariasi, rata -rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil (Sutanto I. et al, 2009). Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea (Harahap M., 2000).

Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respons imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh bahaya karena terowongannya akan digaruk dan tungau -tungau serta telur mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes mengendalikan populasi tungau dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah tungau betina dewasa pada kulitnya tidak lebih dari selusin (Graham -Brown dan Burns, 2005).

2.1.7. Cara Penularan

1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan berhubungan seksual.

2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan lain-lain.

Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes scabiei var. animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan, misalnya anjing (Handoko, 2009).


(26)

2.1.8. Gejala Klinis

Gatal merupakan gejala utama sebel um gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pad a skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang dewasa, gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, sekeliling sik u, areola mammae, permukaan depan pergelangan tangan, skrotum, dan penis (Johnston G dan Sladden M, 2005).

Pada bayi dan anak-anak, lesi biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki. Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan vesikopustul. Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak kaki (Johnston G. dan Sladden M ., 2005).

Ada 4 tanda kardinal gejala skabies:

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya , sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).

c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih keabuabuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata -rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul, atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan st ratum korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat


(27)

ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. D apat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut (Handoko, 2009).

Gambar 2.3. Gejala KlinisSarcoptes scabiei. Keterangan gambar:

(A, F, dan H). Sela-sela Jari Tangan. (B). Bawah Ketiak.

(C).Areola Mammae. (D). Penis.

(E). Telapak Kaki Pada Bayi.

(G). Permukaan Depan Pergelangan Tangan.


(28)

2.1.9. Diagnosis

Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus skabies terinfeksi sekunder oleh Streptococcus aureus atauStaphylococcus pyogenes (Harahap M., 2000).

Diagnosis ditegakkan atas dasar:

1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampakvesikula, papula, atau pustula.

2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah, dan genitalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita immunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.

3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang efektif.

4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.

Diagnosis pasti baru dapat ditega kkan bila ditemukan kutu dewasa, telur, larva dari dalam terowongan. Cara mendapatkannya adalah dengan membuka terowongan dan mengambil parasit dengan menggunakan pisau bedah atau jarum steril. Kutu betina akan tampak sebagai bintik kecil gelap atau keabua n di bawah vesikula. Di bawah mikroskop dapat terlihat bintik mengkilat dengan pinggiran hitam.


(29)

Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immersi pada lesi dan epidermis di atasnya dikerok secara perlahan -lahan. Tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak ditemukan kutu, kemudian berturut -turut siku, genital, akhirnya aksila (Harahap M., 2000).

2.1.10. Pembantu Diagnosis

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan b eberapa cara, antara lain (Murtiastutik D., 2008):

1. Kerokan kulit.

Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20x atau 100x dapat dilihat tungau, telur, ataufecal pellet.

2. Mengambil tungau dengan jarum.

Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

3. Epidermal shave biopsy.

Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari telunjuk, dengan hati -hati diiris puncak lesi dengan skalpel nomor 15 yang dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan atau tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.


(30)

4. Kuretase terowongan.

Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek atau ditetesi minyak mineral.

5. Tes tinta Burowi.

Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia segera dihapus dengan alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik, berkelok -kelok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-koperatif.

6. Tetrasiklin topikal.

Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah dikeringkan selama 5 menit, hapus larutan tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui kerusakan stratum korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu Wood, sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

7. Apusan kulit.

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakk an di atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan mikroskop.

8. Biopsi plong (punch biopsy)

Biopsi berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau telur. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa j umlah tungau hidup pada penderita dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang meradang. Secara umum digunakan punch


(31)

biopsy, tetapi epidermal shave biopsy adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik lokal p ada penderita yang tidak kooperatif.

2.1.11. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari skabies terbagi atas 5 (Karthikeyan K., 2007): 1. Papular Urtikaria.

Biasanya terjadi pada anak -anak berumur diantara 2 -10 tahun. Yang membedakannya dari skabies adalah ketidakhadiran terowongan pada lesinya. Dan lagi pada umumnya tidak terdapat karakteristik gatal pada skabies.

2. Atopic Dermatitis.

Terdapat gatal dan erupsi vesikopapular yang predominan di fleksor. Yang membedakannya dengan skabies adalah adanya terowongan dan pembungkusan ruang jaringan.

3. Lichen Planus.

Ditandai dengan sebuah gatal di lengan bawah, kaki, dan punggung. Selain gatal, simetris dari lesi, dan kejadian lesinya, penyakit ini tidak menyerupai skabies.

4. Dermatitis Herpetiformis.

Ditandai dengan gatal yang kronis, simetris, dan erupsi vesikopapular yang meliputi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Gatal bersifat persisten dan hadir terus setiap hari. Penyakit ini sering salah didiagnosis sebagai skabies, meskipun jarang terjadi.

5. Infantile Acropustulosis.

Penyakit ini bisa dibedakan dengan skabies dengan tidak adanya lesi pada jaringancutaneousdi badan, dan juga tidak adanya gatal.


(32)

2.1.12. Pengobatan

Merupakan hal yang penting untuk menerangkan kepada pasien dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara memakai obat -obatan yang digunakan, dan lebih baik lagi bila disertai penjelasan tertulis. Semua anggota keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien, hendaknya secara simultan diobati juga. Obat -obat topikal harus dioleskan mulai daerah leher sampai jari kaki, dan pasien diingatkan untuk tidak membasuh tangannya sesudah melakukan pengobatan (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Pada bayi, orang-orang lanjut usia, dan orang -orang dengan immunokompromasi, terowongan tungau dapat terjadi pada kepala dan leher, sehingga pemakaian obat perlu diperluas pada daerah itu. Sesudah pengobatan, rasa gatal tidak dapat segera hilang, tetapi pelan -pelan akan terjadi perbaikan dalam waktu 2-3 minggu, saat epidermis superfisial yan g mengandung tungau alergenik terkelupas (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah (Handoko, 2009).

Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu: 1. Permetrin.

Dalam bentuk krim 5% sebagai dosis tunggal. Penggunaannya selama 8-12 jam dan kemudian dicuci bersih -bersih. Obat ini dilaporkan efektif untuk skabies. Pengobatan pada skabies krustosa sama dengan skabies klasik, hanya perlu ditambahkan salep keratolitik. Bila didapatkan infeksi sekunder perlu diberikan antibiotik sistemik (Harahap M., 2000). Tidak dianjurkan pa da bayi di bawah umur 2 bulan (Handoko, 2009).


(33)

2. Malathion.

Malathion 0,5% dengan dasar air digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian (Harahap M., 2000).

3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25%).

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang -kadang makin gatal setelah dipakai (Handoko, 2009).

4. Sulfur.

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam (Harahap M., 2000). Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi (Handoko, 2009).

5. Monosulfiran.

Tersedia dalam bentuk lotion 25%, yang sebelum digunakan harus ditambah 2-3 bagian dari air dan di gunakan selama 2-3 hari. Selama pengobatan, penderita tidak boleh minum alkohol karena dapat menyebabkan keringat yang berlebihan dan takikardi (Harahap M., 2000).

6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan).

Kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian (Handoko, 2009).


(34)

7. Krotamiton.

Krotamiton 10 % dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra (Handoko, 2009).

2.1.13. Komplikasi

Komplikasi pada skabies yang sering dijumpai adalah infeksi sekunder, seperti lesi impetiginosa, ektima, furunkulosis, dan selulitis. Kadang -kadang dapat timbul infeksi sekunder sistemik, yang memberatkan perjalana n penyakit. Stafilokok dan streptokok yang berada dalam lesi skabies dapat menyebabkan pielonefritis, abses interna, pneumonia piogenik, dan septikemia (Soedarto M., 2005).

2.1.14. Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan memberi prognosis yang baik (Handoko, 2009).


(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies 2.1.1. Sinonim

The itch, gudik, budukan, atau gatal agogo (Handoko, 2009).

2.1.2. Definisi

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung (Harahap M., 2000).

2.1.3. Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua u mur. Insidens sama pada pria dan wanita (Harahap M., 2000).

Insidens skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang le bih 10-15 tahun (Harahap M., 2000).

Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, dan derajat sensitasi individual (Harahap M., 2000).

2.1.4. Etiologi

Tungau Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda , kelas Arachnida, ordoAcarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Selain itu terdapat Sarcoptes scabiei yang lain, misalnya pada kambing dan babi (Handoko, 2009). Skabies pada anjing dapat juga ditularkan kepada manusia dalam kondisi tertentu (Sembel, 2009).


(36)

Secara morfologi, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil berbentuk oval, memiliki punggung yang cembung, dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran tungau betina berkisar antara 330–450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil, yakni 200 -240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di d epan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2009).

Gambar 2.1. Bentuk DewasaSarcoptes scabiei. (Chosidow O., 2006)

Siklus hidup tungau ini adalah sebagai berikut: setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina . Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk: jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Handoko, 2009 dan Stone S .P.et al, 2008).


(37)

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau skabies betina membuat liang di dalam epidermis dan meletakkan telur -telurnya di dalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya yaitu kawin dengan tungau betina , dan setelah melaksanakan tugasnya masing -masing mereka akan mati (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2 -3 hari dan pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80% (Harahap M., 2000).

Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di rumah -rumah yang dihuni oleh banyak orang (Sembel, 2009).

Individu yang menderita HIV, orang tua, dan pasien dengan medication-induced immunosupression beresiko terkena skabies, meskipun telah dilaporkan telah terjadi di antara warga Australia yang imunokompeten ( Stone SP et al, 2008).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei


(38)

2.1.5. Klasifikasi

Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Harahap M., 2000):

1. Skabies pada orang bersih

Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya baik sering salah didiagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

2. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasu k seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo,ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka.

3. Skabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubun gan erat dengan hewan tersebut, mis. peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat -tempat kontak. Lesi akan sembuh sendiri bila m enjauhi hewan tersebut dan mandi bersih -bersih.

4. Skabies noduler

Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan corticosteroid.


(39)

5. Skabies inkognito

Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin dis ebabkan oleh karena penurunan respons imun seluler.

6. Skabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

7. Skabies krustosa (Norwegian scabies)

Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata, dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, siku, lutut, telapak tangan, dan kaki ya ng dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau sehingga dapat berkembang biak dengan mudah.

2.1.6. Patogenesis

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garuk an. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira -kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu dijumpai kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urticaria, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder (Handoko, 2009).


(40)

Tungau dapat hidup di dalam terowongan di tempat predileksi, yaitu jari tangan, pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depa n, umbilicus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki, dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi , skabies dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki (Harahap M., 2000).

Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abu-abu dengan panjang yang bervariasi, rata -rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil (Sutanto I. et al, 2009). Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea (Harahap M., 2000).

Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respons imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh bahaya karena terowongannya akan digaruk dan tungau -tungau serta telur mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes mengendalikan populasi tungau dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah tungau betina dewasa pada kulitnya tidak lebih dari selusin (Graham -Brown dan Burns, 2005).

2.1.7. Cara Penularan

1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan berhubungan seksual.

2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan lain-lain.

Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes scabiei var. animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan, misalnya anjing (Handoko, 2009).


(41)

2.1.8. Gejala Klinis

Gatal merupakan gejala utama sebel um gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pad a skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang dewasa, gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, sekeliling sik u, areola mammae, permukaan depan pergelangan tangan, skrotum, dan penis (Johnston G dan Sladden M, 2005).

Pada bayi dan anak-anak, lesi biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki. Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan vesikopustul. Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak kaki (Johnston G. dan Sladden M ., 2005).

Ada 4 tanda kardinal gejala skabies:

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya , sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).

c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih keabuabuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata -rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul, atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan st ratum korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat


(42)

ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. D apat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut (Handoko, 2009).

Gambar 2.3. Gejala KlinisSarcoptes scabiei. Keterangan gambar:

(A, F, dan H). Sela-sela Jari Tangan. (B). Bawah Ketiak.

(C).Areola Mammae. (D). Penis.

(E). Telapak Kaki Pada Bayi.

(G). Permukaan Depan Pergelangan Tangan.


(43)

2.1.9. Diagnosis

Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus skabies terinfeksi sekunder oleh Streptococcus aureus atauStaphylococcus pyogenes (Harahap M., 2000).

Diagnosis ditegakkan atas dasar:

1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampakvesikula, papula, atau pustula.

2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah, dan genitalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita immunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.

3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang efektif.

4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.

Diagnosis pasti baru dapat ditega kkan bila ditemukan kutu dewasa, telur, larva dari dalam terowongan. Cara mendapatkannya adalah dengan membuka terowongan dan mengambil parasit dengan menggunakan pisau bedah atau jarum steril. Kutu betina akan tampak sebagai bintik kecil gelap atau keabua n di bawah vesikula. Di bawah mikroskop dapat terlihat bintik mengkilat dengan pinggiran hitam.


(44)

Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immersi pada lesi dan epidermis di atasnya dikerok secara perlahan -lahan. Tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak ditemukan kutu, kemudian berturut -turut siku, genital, akhirnya aksila (Harahap M., 2000).

2.1.10. Pembantu Diagnosis

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan b eberapa cara, antara lain (Murtiastutik D., 2008):

1. Kerokan kulit.

Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20x atau 100x dapat dilihat tungau, telur, ataufecal pellet.

2. Mengambil tungau dengan jarum.

Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

3. Epidermal shave biopsy.

Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari telunjuk, dengan hati -hati diiris puncak lesi dengan skalpel nomor 15 yang dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan atau tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.


(45)

4. Kuretase terowongan.

Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek atau ditetesi minyak mineral.

5. Tes tinta Burowi.

Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia segera dihapus dengan alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik, berkelok -kelok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-koperatif.

6. Tetrasiklin topikal.

Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah dikeringkan selama 5 menit, hapus larutan tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui kerusakan stratum korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu Wood, sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

7. Apusan kulit.

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakk an di atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan mikroskop.

8. Biopsi plong (punch biopsy)

Biopsi berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau telur. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa j umlah tungau hidup pada penderita dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang meradang. Secara umum digunakan punch


(46)

biopsy, tetapi epidermal shave biopsy adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik lokal p ada penderita yang tidak kooperatif.

2.1.11. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari skabies terbagi atas 5 (Karthikeyan K., 2007): 1. Papular Urtikaria.

Biasanya terjadi pada anak -anak berumur diantara 2 -10 tahun. Yang membedakannya dari skabies adalah ketidakhadiran terowongan pada lesinya. Dan lagi pada umumnya tidak terdapat karakteristik gatal pada skabies.

2. Atopic Dermatitis.

Terdapat gatal dan erupsi vesikopapular yang predominan di fleksor. Yang membedakannya dengan skabies adalah adanya terowongan dan pembungkusan ruang jaringan.

3. Lichen Planus.

Ditandai dengan sebuah gatal di lengan bawah, kaki, dan punggung. Selain gatal, simetris dari lesi, dan kejadian lesinya, penyakit ini tidak menyerupai skabies.

4. Dermatitis Herpetiformis.

Ditandai dengan gatal yang kronis, simetris, dan erupsi vesikopapular yang meliputi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Gatal bersifat persisten dan hadir terus setiap hari. Penyakit ini sering salah didiagnosis sebagai skabies, meskipun jarang terjadi.

5. Infantile Acropustulosis.

Penyakit ini bisa dibedakan dengan skabies dengan tidak adanya lesi pada jaringancutaneousdi badan, dan juga tidak adanya gatal.


(47)

2.1.12. Pengobatan

Merupakan hal yang penting untuk menerangkan kepada pasien dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara memakai obat -obatan yang digunakan, dan lebih baik lagi bila disertai penjelasan tertulis. Semua anggota keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien, hendaknya secara simultan diobati juga. Obat -obat topikal harus dioleskan mulai daerah leher sampai jari kaki, dan pasien diingatkan untuk tidak membasuh tangannya sesudah melakukan pengobatan (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Pada bayi, orang-orang lanjut usia, dan orang -orang dengan immunokompromasi, terowongan tungau dapat terjadi pada kepala dan leher, sehingga pemakaian obat perlu diperluas pada daerah itu. Sesudah pengobatan, rasa gatal tidak dapat segera hilang, tetapi pelan -pelan akan terjadi perbaikan dalam waktu 2-3 minggu, saat epidermis superfisial yan g mengandung tungau alergenik terkelupas (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah (Handoko, 2009).

Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu: 1. Permetrin.

Dalam bentuk krim 5% sebagai dosis tunggal. Penggunaannya selama 8-12 jam dan kemudian dicuci bersih -bersih. Obat ini dilaporkan efektif untuk skabies. Pengobatan pada skabies krustosa sama dengan skabies klasik, hanya perlu ditambahkan salep keratolitik. Bila didapatkan infeksi sekunder perlu diberikan antibiotik sistemik (Harahap M., 2000). Tidak dianjurkan pa da bayi di bawah umur 2 bulan (Handoko, 2009).


(48)

2. Malathion.

Malathion 0,5% dengan dasar air digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian (Harahap M., 2000).

3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25%).

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang -kadang makin gatal setelah dipakai (Handoko, 2009).

4. Sulfur.

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam (Harahap M., 2000). Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi (Handoko, 2009).

5. Monosulfiran.

Tersedia dalam bentuk lotion 25%, yang sebelum digunakan harus ditambah 2-3 bagian dari air dan di gunakan selama 2-3 hari. Selama pengobatan, penderita tidak boleh minum alkohol karena dapat menyebabkan keringat yang berlebihan dan takikardi (Harahap M., 2000).

6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan).

Kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian (Handoko, 2009).


(49)

7. Krotamiton.

Krotamiton 10 % dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra (Handoko, 2009).

2.1.13. Komplikasi

Komplikasi pada skabies yang sering dijumpai adalah infeksi sekunder, seperti lesi impetiginosa, ektima, furunkulosis, dan selulitis. Kadang -kadang dapat timbul infeksi sekunder sistemik, yang memberatkan perjalana n penyakit. Stafilokok dan streptokok yang berada dalam lesi skabies dapat menyebabkan pielonefritis, abses interna, pneumonia piogenik, dan septikemia (Soedarto M., 2005).

2.1.14. Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan memberi prognosis yang baik (Handoko, 2009).


(50)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel dan Definisi Operasional Variabel:

Karakteristik-karakteristik pada penderita skabies, seperti: usia penderita (seluruh kelompok umur), jenis kelamin, pekerjaan, dan asal daerah penderita skabies.

Definisi Operasional:

Variabel Definisi Alat

Ukur

Kategori Skala

Penguku ran Usia Usia penderita

skabies yang tercantum pada

rekam medik.

Rekam Medik.

- Balita: 0-5 tahun. - Anak-Anak: 6-16 tahun. - Dewasa Muda: 17-35 tahun.

- Dewasa: 36-65 tahun.

Interval Karakteristik Penderita:

1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Pekerjaan 4. Asal Daerah


(51)

- Lanjut Usia: >65 tahun. Jenis Kelamin Jenis kelamin penderita skabies yang tercantum pada rekam medik. Rekam Medik. - Laki-laki. - Perempuan. Nominal Pekerjaan Pekerjaan penderita skabies yang tercantum pada rekam medik. Rekam Medik.

- Belum Sekolah. - Pelajar.

- Mahasiswa. - PNS. - Wiraswasta. - Tidak Bekerja.

Nominal

Asal Daerah Wilayah atau tempat tinggal penderita skabies yang tercantum pada rekam medik. Rekam Medik - Medan. - Luar Medan.


(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita skabies yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010 -2012 melalui data rekam medik.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari awal bulan Agustus sampai akhir bulan Agustus 2013. Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Berdasarkan survei awal penelitian yang telah dilakukan, banyak dijumpai penderita skabies dalam data rekam medik.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang berobat ke poli bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010-2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita yang didiagosis skabies yang terdapat dalam rekam medik yang diambil dengan menggunakan metode Total Sampling yaitu dengan mengambil seluruh nomor rekam medik dalam seluruh nomor rekam medik yang didiagnosis skabies .


(53)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

4.4.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu dengan menggunakan rekam medik pasien penderita skabies yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010 -2012.

4.4.2. Instrumen Penelitian 1. Rekam medik.

2. Program komputerisasi.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan, kemudian diolah dengan sistem komp uterisasi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menilai karakteristik penderita skabies berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan asal daerah berdasarkan data yang diambil dari bagian rekam medik di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010 -2012. Hasil dari analisa data tersebut akan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi frekuensi dan proporsi.


(54)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik yang terletak d i Jl. Bunga Lau No. 17 Medan merupakan rumah sakit tipe A di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan pusat rujukan untuk wilayah Sumatera. Penelitian dilakukan di Ruang Rekam Medik rumah sakit ini.

5.1.2. Karakteristik Individu 5.1.2.1. Usia Penderita Kasus

Tabel 5.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita

Usia Pasien Jumlah (Orang) Persentase (%)

0-5 Tahun 41 18.1

6-16 Tahun 81 35.8

17-35 Tahun 55 24.3

36-65 Tahun 43 19.0

>65 Tahun 6 2.7

TOTAL 226 100.0

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah kasus berdasarkan usia penderita, yang berusia 6-16 tahun (Anak-Anak) paling banyak kasusnya yaitu 81 kasus (35,8%), disusul berturut -turut yang berusia 17-35 tahun (Dewasa Muda) 55 kasus (24,3%), usia 36 -65 tahun (Dewasa) 43 kasus (19,0%), usia 0 -5 tahun (Balita) 41 kasus (18,1%), dan yang paling sedikit kasusnya yaitu yang berusia >65 tahun (Lanjut Usia) sebanyak 6 kasus (2,7%).


(55)

Gambar 5.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita.

5.1.2.2. Jenis Kelamin Penderita Kasus

Tabel 5.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Jenis Kelamin Penderita Jumlah (Orang) Persentase (%)

Laki-Laki 129 57.1

Perempuan 97 42.9

TOTAL 226 100.0

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah kasus berdasarkan jenis kelamin penderita, yang berjenis kelamin laki-laki paling banyak kasusnya yaitu 129 kasus (57,1%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 97 kasus (42,9%).


(56)

Gambar 5.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita.

5.1.2.3. Pekerjaan Penderita Kasus

Tabel 5.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita Pekerjaan Penderita Jumlah (Orang) Persentase (%)

Belum Sekolah 43 19.0

Pelajar 82 36.3

Mahasiswa 20 8.8

PNS 28 12.4

Wiraswasta 35 15.5

Tidak Bekerja 18 8.0

TOTAL 226 100.0

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah kasus berdasarkan pekerjaan penderita, yang masih pelajar paling banyak kasusnya yaitu 82 kasus (36,3%), disusul berturut-turut yang belum sekolah 43 kasus (19,0%), wiraswasta 35 kasus (15,5%), PNS 28 kasus (12,4%), mahasiswa 20 k asus (8,8%), dan yang paling sedikit kasusnya yaitu yang tidak bekerja sebanyak 18 kasus (8,0%).


(57)

Gambar 5.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita.

5.1.2.4. Asal Daerah Penderita Kasus

Tabel 5.4 Distribusi Kasus Berdasarkan Asal Daerah Pend erita Asal Daerah Penderita Jumlah (Orang) Persentase (%)

Medan 183 81.0

Luar Medan 43 19.0

TOTAL 226 100.0

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah kasus berdasarkan asal daerah penderita, yang berasal dari medan paling banyak kasusnya yaitu 183 kasus (81,0%), sedangkan yang berasal dari luar medan berjumlah 43 kasus (19,0%).


(58)

Gambar 5.4. Distribusi Kasus Berdasarkan Asal Daerah Penderita.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Usia Penderita

Berdasarkan Tabel 5.1. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan usia 6-16 tahun (anak-anak) paling banyak kasusnya yaitu 81 kasus (35,8%), sedangkan yang paling sedikit adalah usia >65 tahun (lanjut usia) yaitu 6 kasus (2,7%). Hasil ini mungkin saja terjadi dikarenakan di s ekitar RSUP H. Adam Malik Medan banyak terdapat pesantren yang kebanyakan penghuninya masih anak-anak dengan kemungkinan penularan skabies cukup signifikan , dan mungkin membuat mereka lebih memilih berobat ke rumah sakit ini daripada ke tempat -tempat pengobatan yang lain, seperti ke puskesmas dan lain sebagainya karena letaknya yang dekat dengan pesantren mereka.

Hasil penelitian ini sesuai dengan survey yang dilakukan pada tahun 2009 di Pulau Pinang, Malaysia, yang menemukan bahwa rasio infestasi untuk s kabies paling banyak terjadi pada kelompok usia anak -anak (Muhammad Zayyid et all, 2010).


(59)

5.2.2. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita

Berdasarkan Tabel 5.2. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan penderitanya berjenis kelamin laki-laki yang paling banyak yaitu 129 kasus (57,1%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 97 kasus (42,9%).

Temuan pada survey ini sesuai dengan survey yang juga dilakukan pada tahun 2009 di Pulau Pinang, Malaysia, dijumpai bahwa r asio infestasi untuk skabies lebih banyak terjadi pada anak laki -laki (50%) dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan (16%) (Muhammad Zayyid et all, 2010). Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki -laki umumnya kurang memperhatikan kebersihan dirinya, misalnya pemakaian bersama memakai handuk dan pakaian, berjabat tangan dengan yang sudah terkena penyakit skabies, tidur bersama dengan yang sudah terkena penyakit skabies, dan sebagainya.

Namun pada beberapa survey terdahulu yang lain, juga didapati d ata yang berbanding terbalik. Salah satunya d ari studi 200 pasien rawat jalan Dermatologi di Sirte, Libya pada tahun 2009, dengan diagnosis skabies , dimana ditemukan paling banyak kasusnya pada pasien perempuan yaitu 59% (Gilmore SJ, 2011). Sama seperti penelitian Gilmore SJ, di dalam studi berbasis populasi yang dilakukan sebuah komunitas International Alliance for the Control of Scabies (IACS) di pedesaan Brasil pada November 2012, prevalensi kasus skabies juga didapati sekitar tiga kali lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki (Heukelbach J et all, 2013). Hal ini tidak sesuai dengan hasil survey yang didapatkan pada penderita skabies di RSUP H. Adam Malik pada studi ini. Perbedaan hasil survey ini bisa saja terjadi, mungkin berkaitan d engan tingkat kebersihan dan kebiasaan hidup dari tiap -tiap individu di daerah yang diteliti.


(60)

5.2.3. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Pekerjaan Penderita Berdasarkan Tabel 5.3. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan penderitanya masih pelajar paling banyak yaitu 82 kasus (36,3%), dimana jumlah yang paling banyak sampai yang paling sedikit masing -masing adalah SD 44 kasus (53,7%), SMA 21 kasus (25,6%), dan SMP 17 kasus (20,7%). Hasil ini mungkin saja terjadi dikarenakan di sekitar RSUP H. A dam Malik Medan banyak terdapat pesantren yang kebanyakan penghuninya masih anak -anak, dan mungkin membuat mereka lebih memilih berobat ke rumah sakit ini daripada ke tempat -tempat pengobatan yang lain, seperti ke puskesmas dan lain sebagainya karena letaknya yang dekat dengan pesantren mereka.

Temuan ini berbeda dengan s ebuah studi dari tahun 1980 -an di Bangladesh yang justru menggambarkan sebuah kejadian skabies yang sangat tinggi pada anak-anak prasekolah atau anak-anak yang belum sekolah, setidaknya terdapat satu serangan per tahun (Stanton Bet all, 1987).

Tetapi temuan ini sesuai dengan hasil survey yang diperoleh pada sebuah penelitian di Brasil pada tahun 1997-2005 yang menunjukkan prevalensi skabies lebih tinggi terjadi pada kelompok usia sekolah. Ini sesuai dengan hipotesis bahwa infeksi peyakit ini lebih tinggi ditularkan pada kelompok usia ini karena kontak pribadi dan sosialisasi yang lebih besar. Diperkirakan bahwa rumah tangga yang mengandung kelompok usia lainnya dapat terinfeksi melalui adanya kontak dengan anak-anak usia sekolah (Heukelbach J et all, 2005).

5.2.4. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Asal Daerah Penderita Berdasarkan Tabel 5.4. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan penderitanya berasal dari daerah Medan paling b anyak yaitu 183 kasus (81%), dimana paling banyak terdapat di Kecamatan Medan -Tuntungan yaitu 66 kasus (29,2%) dan paling sedikit terdapat di Kecamatan Medan -Barat dan Medan-Perjuangan yang masing-masing 1 kasus (0,4%). Hasil ini bisa terjadi karena daerah kecamatan Medan-Tuntungan sangat dekat ke RSUP H. Adam Malik


(61)

Medan sehingga memungkinkan penderita skabies langsung berobat ke sana dan di daerah Medan-Tuntungan juga banyak terdapat pesantren yang merupakan salah satu tempat paling banyak untuk terjadin ya penularan skabies ini.

Sedangkan yang berasal dari luar Medan paling sedikit kasusnya yaitu 43 kasus (19,%), dimana paling banyak terdapat di Deli Serdang yaitu 22 kasus (9,7%) dan yang paling sedikit terdapat di Kisaran, Langkat, Pematang Siantar, dan Sidikalang masing-masing yang masing-masing 1 kasus (0,4% kasus/daerah). Hasil ini juga bisa terjadi karena Deli Serdang juga masih dekat ke RSUP H. Adam Malik Medan sehingga memungkinkan penderita skabies bisa langsung berobat ke sana. Pada umumnya , masyarakat lebih memilih berobat ke pusat pelayanan kesehatan yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya untuk pengobatan skabies yang dalam keseharian nya memang bukanlah tergolong kasus emergensi dan jarang yang memerlukan rujuk khusus. Sehingga untuk pemetaa n jumlah penderita terbanyak di seluruh wilayah Sumatera Utara mungkin kurang representatif bila hanya menggunakan rekam medi k di RSUP H. Adam Malik Medan.


(62)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari 226 kasus yang didiagnosis menderita skabies di RSUP H.Adam Malik, pada tahun 2010-2012, didapati karakteristik bahwa jumlah kasus dengan usia 6-16 tahun (anak-anak) paling banyak kasusnya yaitu 81 kasus (35,8%), sedangkan yang paling sedikit adala h usia >65 tahun (lanjut usia) yaitu 6 kasus (2,7%) dari total seluruh kasus.

2. Untuk karakteristik penderita skabies berdasarkan jenis kelamin , didapati penderita berjenis kelamin laki-laki yang paling banyak yaitu 129 kasus (57,1%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 97 kasus (42,9%).

3. Untuk karakteristik penderita skabies berdasarkan pekerjaannya, didapati bahwa yang masih pelajar paling banyak kasusnya yaitu 82 kasus (36,3%), sedangkan yang paling sedikit adalah penderita yang tidak bekerja yang berjumlah 18 kasus (8,0%).

4. Untuk karakteristik penderita skabies berdasarkan asal daerah, didapati yang berasal dari daerah medan paling banyak kasusnya yaitu 183 kasus (81%), sedangkan yang berasal dari luar Medan paling sedikit kasusnya yaitu 43 kasus (19,%).


(63)

6.2. Saran

1. Kepada penanggungjawab program kesehatan penyakit menular disarankan melakukan penyuluhan tentang penyakit ini dan lebih memperhatikan kesehatan masyarakatnya. Disarankan untuk membuat program menyeluruh untuk memberantas rantai penularan penyakit ini; seperti menggalakkan gaya hidup bersih dan sehat, dan memberikan pengobatan yang tepat dan tuntas yang ditargetkan bukan hanya kepada penderita tetapi juga keluarga dekatnya/yang memiliki kontak erat dengan penderita.

2. Masyarakat disarankan untuk ikut serta dalam pen anggulangan penyakit ini, seperti membersihkan lingkungan mereka masing -masing, menjaga higiene dan sanitasi pribadi, serta membawa anggota keluarganya yang sakit untuk berobat.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Chosidow O., 2006. Scabies. The New England Journal of Medicine, 354: 1718 -1727.

Currie B.J. and McCarthy J.S., 2010. Permethrin and Ivermectin for Scabies. The New England Journal of Medicine, 362: 717 -725.

Graham-Brown R. and Burns T., 2005. Infeksi Ektoparasit. In: Lecture Notes on Dermatology 8th edition. Erlangga, Jakarta: 297 -300.

Gilmore SJ. Control strategies for endemic childhood scabies. PLoS One. Jan 25 2011;6(1):e15990. Available from: http://emedicine.medscape.com/article /1109204-overview#a0156 [Accessed on 16 November 2013].

Handoko R.P., 2009. Skabies. In: Djuanda A., Hamzah M., and Aisah S. Ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 122-125.

Harahap M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta : 109 -113.

Heukelbach J, Mazigo H.D, Ugbomoiko U.S. Impact of Scabies in Resource -poor Communities. Curr Opin Infect Dis. 2013;26(2):127 -132. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/805779_3 [Accessed on 24 November 2013].

Heukelbach J, Wilcke T, Winter B, Feldmeier H. Epidemiology and morbidity of scabies and pediculosis capitis in resource -poor communities in Brazil. Br J

Dermatol 2005;153:150–156. Available from:

http://www.medscape.com/view article/805779_4 [Accessed on 24 November 2013].


(1)

133. AFD 73 th Pr PNS Padang Lawas Utara

134. AFE 40 th Pr Wiraswasta Medan-Sunggal

135. AFF 10 th Lk Pelajar Medan-Area

136. AFG 17 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

137. AFH 43 th Pr PNS Medan-Tuntungan

138. AFI 40 th Pr Wiraswasta Medan-Tuntungan

139. AFJ 40 th Lk PNS Medan-Selayang

140. AFK 43 th Lk PNS Medan-Tuntungan

141. AFL 43 th Pr PNS Deli Serdang

142. AFM 14 th Lk Pelajar Medan-Timur

143. AFN 38 th Pr Wiraswasta Medan-Johor

144. AFO 17 th Pr Mahasiswa Medan-Selayang

145. AFP 25 th Pr PNS Medan-Timur

146. AFQ 9 th Lk Pelajar Medan-Area

147. AFR 14 th Lk Pelajar Padang

Sidempuan Utara

148. AFS 11 th Lk Pelajar Deli Serdang

149. AFT 46 th Pr Tidak Bekerja Medan-Maimun 150. AFU 42 th Pr Tidak Bekerja Medan-Tuntungan 151. AFV 45 th Lk Wiraswasta Medan-Tuntungan

152. AFW 12 th Lk Pelajar Deli Serdang

153. AFX 8 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

154. AFY 13 th Pr Pelajar Medan-Tuntungan

155. AFZ 18 th Lk Mahasiswa Medan-Tuntungan 156. AGA 44 th Pr Tidak Bekerja Deli Serdang

157. AGB 17 th Pr Pelajar Medan-Tuntungan

158. AGC 41 th Pr Tidak Bekerja Deli Serdang

159. AGD 19 th Pr Mahasiswa Medan-Johor

160. AGE 15 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

161. AGF 10 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

162. AGG 51 th Lk Wiraswasta Medan-Kota

163. AGH 70 th Pr Tidak Bekerja Langkat

164. AGI 23 th Pr PNS Medan-Tuntungan

165. AGJ 12 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

166. AGK 29 th Pr Wiraswasta Medan-Area

167. AGL 42 th Pr Wiraswasta Medan-Selayang

168. AGM 9 th Lk Pelajar Medan-Selayang

169. AGN 7 th Lk Belum Sekolah Medan-Sunggal 170. AGO 3 th Pr Belum Sekolah Medan-Selayang 171. AGP 2 th Lk Belum Sekolah Medan-Tuntungan

172. AGQ 20 th Lk Mahasiswa Medan-Selayang

173. AGR 51 th Lk PNS Medan-Tuntungan

174. AGS 13 th Pr Pelajar Deli Serdang

175. AGT 9 th Lk Pelajar Medan-Sunggal


(2)

177. AGV 5 bln Pr Belum Sekolah Medan-Tuntungan 178. AGW 20 th Lk Mahasiswa Medan-Tuntungan 179. AGX 2 th Lk Belum Sekolah Medan-Johor 180. AGY 5 th Lk Belum Sekolah Deli Serdang 181. AGZ 31 th Lk Tidak Bekerja Medan-Sunggal

182. AHA 11 th Lk Pelajar Medan-Area

183. AHB 9 th Pr Pelajar Medan-Area

184. AHC 32 th Lk Wiraswasta Medan-Amplas

185. AHD 26 th Lk Wiraswasta Medan-Denai

186. AHE 10 th Lk Pelajar Medan-Kota

187. AHF 11 th Lk Pelajar Medan-Denai

188. AHG 18 th Lk Wiraswasta Binjai Kota

189. AHH 4 th Lk Belum Sekolah Medan-Sunggal 190. AHI 36 th Pr Wiraswasta Medan-Selayang 191. AHJ 39 th Lk Tidak Bekerja Medan-Tuntungan

192. AHK 12 th Lk Pelajar Medan-Amplas

193. AHL 15 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

194. AHM 19 th Pr Tidak Bekerja Medan-Tembung

195. AHN 9 th Lk Pelajar Medan-Selayang

196. AHO 11 th Pr Pelajar Medan-Polonia

197. AHP 8 th Lk Pelajar Medan-Kota

198. AHQ 5 th Lk Belum Sekolah Medan-Tuntungan

199. AHR 12 th Pr Pelajar Medan-Tembung

200. AHS 18 th Lk Wiraswasta Medan-Johor

201. AHT 47 th Pr Wiraswasta Medan-Johor

202. AHU 15 th Lk Pelajar Medan-Helvetia

203. AHV 27 th Lk Wiraswasta Medan-Tuntungan

204. AHW 48 th Lk PNS Padang

Sidempuan Utara 205. AHX 19 th Lk Mahasiswa Serdang Bedagai 206. AHY 23 th Pr Wiraswasta Serdang Bedagai 207. AHZ 3 th Pr Belum Sekolah Medan-Johor 208. AIA 68 th Lk Tidak Bekerja Medan-Tuntungan

209. AIB 16 th Lk Pelajar Medan-Kota

210. AIC 18 th Lk Mahasiswa Medan-Tuntungan

211. AID 43 th Pr PNS Medan-Tuntungan

212. AIE 4 th Pr Belum Sekolah Medan-Tuntungan

213. AIF 31 th Pr PNS Serdang Bedagai

214. AIG 43 th Lk PNS Medan-Tuntungan

215. AIH 35 th Lk Wiraswasta Medan-Selayang

216. AII 49 th Lk Wiraswasta Medan-Sunggal

217. AIJ 8 th Lk Pelajar Medan-Amplas

218. AIK 40 th Lk PNS Padang Lawas

Utara

219. AIL 67 th Lk Wiraswasta Medan-Area


(3)

221. AIN 5 th Pr Belum Sekolah Medan-Polonia

222. AIO 20 th Lk Mahasiswa Deli Serdang

223. AIP 23 th Lk Wiraswasta Medan-Helvetia 224. AIQ 30 th Pr Tidak Bekerja Medan-Selayang 225. AIR 46 th Pr Tidak Bekerja Medan-Petisah 226. AIS 52 th Pr Tidak Bekerja Medan-Selayang


(4)

HASIL UJI STATISTIK

Usia Penderita

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Balita = 0-5 Tahun 41 18.1 18.1 18.1

Anak-Anak = 6-16 Tahun 81 35.8 35.8 54.0 Dewasa Muda = 17-35

Tahun

55 24.3 24.3 78.3

Dewasa = 36-65 Tahun 43 19.0 19.0 97.3 Lanjut Usia = >65 Tahun 6 2.7 2.7 100.0

Total 226 100.0 100.0

Jenis Kelamin Penderita

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Laki-Laki 129 57.1 57.1 57.1

Perempuan 97 42.9 42.9 100.0

Total 226 100.0 100.0

Pekerjaan Penderita

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Belum Sekolah 43 19.0 19.0 19.0

Pelajar 82 36.3 36.3 55.3

Mahasiswa 20 8.8 8.8 64.2

PNS 28 12.4 12.4 76.5

Wiraswasta 35 15.5 15.5 92.0

Tidak Bekerja 18 8.0 8.0 100.0


(5)

AsalDaerahPenderita

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Medan Tuntungan 66 29.2 29.2 29.2

Deli Serdang 22 9.7 9.7 38.9

Medan Helvetia 3 1.3 1.3 40.3

Medan Sunggal 17 7.5 7.5 47.8

Medan Polonia 8 3.5 3.5 51.3

Medan Baru 7 3.1 3.1 54.4

Medan Selayang 23 10.2 10.2 64.6

Medan Maimun 4 1.8 1.8 66.4

Medan Johor 22 9.7 9.7 76.1

Pematang Siantar 1 .4 .4 76.5

Sidikalang 1 .4 .4 77.0

Medan Timur 3 1.3 1.3 78.3

Medan Area 7 3.1 3.1 81.4

Medan Perjuangan 1 .4 .4 81.9

Medan Barat 1 .4 .4 82.3

Padang Lawas Utara 4 1.8 1.8 84.1

Medan Denai 5 2.2 2.2 86.3

Toba Samosir 2 .9 .9 87.2

Medan Tembung 2 .9 .9 88.1

Medan Amplas 7 3.1 3.1 91.2

Medan Petisah 3 1.3 1.3 92.5

Binjai Kota 5 2.2 2.2 94.7

Kisaran 1 .4 .4 95.1

Padang Sidempuan Utara 2 .9 .9 96.0

Medan Kota 4 1.8 1.8 97.8


(6)

Serdang Bedagai 4 1.8 1.8 100.0