dilakukan oleh Shahrur. Dan inilah alasan kuat penulis untuk mencoba mendalami pemikiran Shahrur yang penulis angkat dalam sebuah skripsi.
Berangkat dari latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur terutama dalam masalah waris. Untuk
itulah, judul skripsi ini adalah : TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHANMMAD SHAHRUR DALAM HUKUM
WARIS.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat sangat luasnya cakupan teori batas yang digagas oleh Muhammad Shahrur, yakni mencakup hampir seluruh masalah hukum Islam, maka pembahasan
skripsi ini, penulis akan membatasi pada permasalahan di sekitar bagian waris saja, namun tidak menutup kemungkinan, untuk memperjelas pembahasan ini, penulis akan
menambahkan dengan permasalahan tersebut. Sebagai pembatas masalah, penulis akan mengarahkan pembahasan pada bagaimana teori
batas ini dipergunakan menyelesaikan permasalahan waris yang selama ini menjadi polemik antara penganut tekstual dan kontekstual.
Adapun masalah dalam pembahasan ini yang penulis jadikan acuan dalam penjabaran dan penguraian agar tidak keluar dari permasalahan dan pembahasan dari skripsi ini
adalah Apa dan bagaimana sebenarnya konsep teori yang ditawarkan oleh Muhammad Shahrur serta mplemetasinya dalam permasalahan waris?.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui alasan dan latar belakang pemikiran Muhammad Shahrur
sehingga memunculkan teori batas tersebut. 2.
Mengetahui pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris secara keseluruhan.
3. Untuk mengetahui apakah tawaran yang diberikan Muhammad Shahrur
mampu mengetengahkan problematika antara tekstual dan kotekstual dalam permasalahan warisan.
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Bagi para akademisi dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide atau gagasan untuk menambah literatur atau bahan, referensi pada Perpustakaan
Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah dan tentunya sumbangsih dalam bidang pendidikan.
2. Bagi para desition maker dalam merumuskan hukum waris di Indonesia, dapat
menambah referensi dalam menetapkan hukum. Bahwa dalam menetapkan hukum tidak hanya berpatokan pada teks nash semata, akan tetapi juga
melihat sosio-kultural yang berkembang di masyarakat. 3.
Manfaat bagi penulis adalah dapat menambah wawasan mengenai hukum waris serta teori-teoti yang dikembangkan oleh pemikir Islam.
Metode Penelitian Metodologi penelitian
Dari jenis data penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian
kepustakaan library research, dengan menggali sumber-sumber primer. Dan untuk lebih mempertajam yang dibahas, penulis menggunakan metode
deskriptif-analaitis. Deskriptif disini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendiskripsikan pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur tentang tema yang diangkat. Analitis berarti
menganalisa pemikiran-pemikiran Shahrur apakah bisa dijadikan sebagai tawaran alternatif baru dalam menafsirkan teks waris.
Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan memamfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam masalah ini adalah buku
al-Kitab wa al-Qurán: Qiraáh Muashirah, Nahw Usul Jadidah Lil al-Fiqih al-Islami, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer dan Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer
yang dikarang oleh Muhammad Shahrur. Adapun sumber sekundernya adalah data-data yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas.
Teknik analisis data
Analisis data menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif Qualitative Content Analysis
. Dalam analisis ini semua data yang dianalisis berupa teks. Dalam hal ini berupa teks-teks pemikiran Muhammad Shahrur. Analisis isi kualitatif digunakan
untuk menemukan, mengindetifikasi dan menganalisis teks atau dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansi teks atau dokumen tersebut.
Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab. Adapun rincian sistematika penulisan yang penulis susun adalah:
BAB I adalah pendahuluan meliputi dari latarbelakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan ditutup
dengan sistematika penulisan. BAB II akan mengulas profil dari Muhammad Shahrur. Dalam bab ini akan dijelaskan
latar belakang kehidupan, pendidikan, karir akademik dan birokrasi serta karya-karya Muhammad Shahrur.
BAB III akan membahas tentang teori batas, meliputi pengertian, konsep dan cakupan teori tersebut dalam hukum Islam. Serta bagaimana sebenarnya konsep teori batas yang
digagas oleh Muhammad Shahrur. BAB IV akan mempertajam pembahasan ini, dengan mengolaborasikan
pemikiran Shahrur dalam waris. Kemudian mencoba menggali tawaran Shahrur dalam masalah waris dengan menggunakan teori batas. Kemudian ditutup dengan sebuah
analisis penulis. BAB V sebagai penutup. Seluruh pembahasan diatas kemudian diikat dalam
beberapa kesimpulan dan “dibubuhi” beberapa saran yang penulis ajukan dalam bagian ini.
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR
A. Biografi Muhammad Shahrur dan Latar Belakang Sosialnya
Syria dengan ibukota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya dan intelektual.
Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah. Syria pernah mengalami problematika modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi
Barat. Problema ini muncul disebabkan dampak dari invansi Prancis dan gerakan modernisasi Turki. Selain itu, Syria pernah menjadi region dari dinasti Utsmaniyyah.
Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi dan Thahir al-Jaza’ri yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria
12
. Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentangan umat Islam dari
kecendrungan Tanzimat yang sekular dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus mampu meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas
dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinil dalam al-Qur’an dan Al-Sunah dengan menekankan
ijtihat
13
. Ide al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh Thaha al-Jaza’iri. Kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari sinilah kemudian
terlihat iklim intelektual Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal
kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria
12
Lihat. http:www.islamensipatoris.com.
13
Ibid
lebih nyata dan menjanjikan dibanding negara-negara Arab lainnya, karena tidak semua negara Arab menerima ide mengenai pembaharuan dalam Islam, misalnya yang harus
diterima Fazlur Rahman
14
dan Nasr Hamid Abu Zayd
15
yang harus hengkang dari negaranya masing-masing. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti bahwa Syria
merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam pemikiran Islam. Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir
dilahirkan di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938 M
16
. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun
17
. Dalam kehidupan pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari
Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menikah adalah Tariq beristrikan Rihab, Lays beristrikan Olga, dan Rima
bersuamikan Luis. Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling
tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya.
Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan Tsanawiyah ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan ‘Abdurrahman al-
Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan
14
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad Bandung: Pustaka, 2003 hal. vii
15
Nasr Hamid Abu Zayd, karena pemikiran kontroversialnya, harus hengkang dari negerinya ke Universitas Laiden, Belanda, Lihat. Hamid Abu Zayd al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi
Iswandi, dkk Bandung, RqiS, 2003 hal. 18
16
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. Damaskus: al-Ahali li al- Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999, hal.823
17
Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003, hal.43.
Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil Hadanah Madaniyah di Moskow.
Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas
Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur
berhak melakukan penelitian pada Imparsial College, London, Inggris. Karena pada tahun itu, terjadi konflik politik antara Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris
18
. Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan
program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika Pertanahan Soil mechanich dan teknik pembangunan Fondation Engineering di
Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus , kota
kelahirannya. Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil,
akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri bahasa Arab yaitu bahasa Rusia dan
bahasa Inggris.
18
Data ini diperoleh dari makalah yang ditulis oleh Yusron Wahab, Reading al-Kitab Versi Shahrur,
Makalah tidak diterbitkan.
Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.
Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk
mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang
pemikiran keislaman
19
. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil
program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al- Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada
tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa
20
. Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai
merasakan “benturan peradaban” antara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena sosial-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah,
Shahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran Marxisme. Sungguhpun ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut
21
. Namun demikian ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel
22
–terutama dialektikanya- dan Alfred North White Head
23
.
19
Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron Syamsuddin,dkk, ed, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hal. 124.
20
Ibid. hal. 129.
21
Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan” Dalam Charles Kurzman ed, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum
Jakarta: Paramadina, 2001, hal. 210.
22
Hegel adalah filsuf yang berasal dari Jerman, nama lengkapnya George Wilhelm Friedrich Hegel, dilahirkan pada tanggal 27 Agustus di Stuttgart dan meninggal pada tanggal 14 November 1831.
Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami perbenturan kultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai
pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan,
baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh Shahrur.
Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur
mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema
terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang belum
terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai
tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan “fase pencerahan” dalam
diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan kecenderungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase tersebut
Pendidikan filsafat dan teologi di peroleh Hegel dari Universitas Tubingen, Jerman. Dari Tubingen, Hegel lalu pindah ke Switzerland dan memperdalam filsafat pengetahuan di Frankfurt. Karir akademisnya
menanjak ketika ia mengajar di Universitas Jena dan pada tahun 1805 Hegel diangkat menjadi Profesor Filsafat. Lih. Donny Gahral Adian, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hal.
26.
23
Ahmad Fawaid Sjadzali, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah dikuitp dari http:www.islamlib.com.
menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang rahasia bahasa Arab.
B. Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur
Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan
pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi seluruh kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak
dari pada Landasan Metodologis. Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai
dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an majhad lughawi, karena ia disamping sebagai eksak teknik sipil, ia juga seorang ahli filsafat bahasa
24
. Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalami bahasa
Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bisa diremehkan, terutama sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam
menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern.
Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj at-tarikh al-ilmi metode histories ilmiah
25
. Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam
pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.
24
Abdul Mustaqim, Op Cit. hal. 129
25
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. Damaskus: al-Ahali li al- Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999, hal 741.
Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua
tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi
26
. Sintesa tersebut secara garis besar memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah
suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas sosial, dan struktur bahasa selalu berkaitan dengan fungsi iblaqh fungsi penyampai, serta adanya korelasi antara bahasa
dan pemikiran. Dari Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut :
1. Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem anna al-lughah nizam 2. Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait
dengan kontek dimana bahasa itu disampaikan. 3.
Ada keterkaitan at-talazum antara bahasa dan pemikiran
27
. Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap al-
Qur’an secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut: Bahasa sebagai medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya keterkaitan antara
ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu melalui suara untuk mengkomunikasikan tujuan-tujuan pikirannya kepada orang lain.
Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi
pengatahuan abstrak.
26
Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, hal. 26.
27
Abdul Mustaqim, Op Cit hal. 126
Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan
pengetahuan manusia. Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian membangun teori batas
teori hudud , yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas yakni al-hanif dan al-
istiqamah. C.
Karir dan Karya Muhammad Shahrur a. Karir Akademis dan Pemeritahan Muhammad Shahrur
Setelah menyelesaikan program doktoralnya di Dublin, Shahrur menjadi salah satu staf pengajar di Universitas Damaskus di Syria. Di universitas inilah Shahrur memulai karir
akademiknya. Disamping menjadi dosen, Shahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun
1982-1983, Shahrur dikirim pihak Universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di fakultas, Shahrur
membuka biro konsultan teknik an engineering consultancy dar al-istisyarat al- handasiyah
di Damaskus
28
. Tidak ada data dan penjelasan yang penulis dapatkan dari karir Shahrur dalam
bidang pemerintahan. Karir Shahrur hanya berada dalam lingkup akademis, yakni sebagai dosen di Universitasnya.
b. Karya-karyanya
28
Ahmad Fawaid Sjadzali, Op Cit.
Syria merupakan negara yang sangat kondusif dalam menyokong aktualisasi ide- ide dan pemikiran Shahrur sehingga ia menjadi muslim moderen yang cukup produktif.
Produktifitasnya terlihat ketika Shahrur menghasilkan berbagai karya tulis yang dibukukannya. Buku pertama yang ia terbitkan adalah al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah
al-Mu’asirah pada tahun 1990. Buku tersebut merupakan hasil pengendapan pemikiran
yang cukup panjang, sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980, Shahrur merasa kajian keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan hasil dan tidak
ada teori baru yang diperoleh. Karena dirinya merasa terkungkung dalam kerangkeng literatur-literatur keislaman klasik yang cenderung memandang Islam sebagai ideologi,
baik dalam bentuk pemikiran kalam atau fiqih. Sebagai implikasinya, pemikiran keislaman mengalami kejumudan dan tidak bergerak sama sekali, karena selama ini
pemikiran keislaman dianggap final
29
. Menurut Eickelman-Piscatori, sebagaimana dikutif Bisri Efendi, buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap
kebijakan agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak toleran
30
. Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirasat
Islamiyah Mua’sirah fi al-Daulah wa al-Mujtama. Dalam buku ini Shahrur secara
spesifik menguraikan dan membahas tema-tema sosial-politik yang berkait erat dengan permasalahan masyarakat al-mujtama’ dengan negara al-Daulah, tetapi tetap pada
tawaran metodologisnya dalam memahami al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam buku pertamanya. Secara tegas dan konsisten Shahrur membangun konsep keluarga,
masyarakat, negara, dan tindakan kesewenang-wanangan al-Istibdad dalam prespektif
29
Abdul Mustaqim Loc It hal 124
30
Bisri Efendi, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, Dalam Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela,
Yogyakarta: LKIS, 1999, hal.xviii.
al-Qur’an . Dalam buku inipun Shahrur menjelaskan dan menguraikan berbagai tanggapan terhadap buku pertamanya di samping menegaskan bahwa ia berbeda dengan
mereka dalam metodologi. Di tahun 1996 Shahrur meluncurkan buku ketiganya yang berjudul al-Islam wa
al-Iman: Manzumah al-Qiyam. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh al-Ahali Publishing
House. Dalam buku ini Shahrur mencoba untuk mengkaji konsep-konsep klasik mengenai rukun Islam dan rukum iman, suatu yang penting dalam Islam. Setelah
mengkaji cukup lama terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang berkaitan dengan kedua konsep diatas, Shahrur menemukan pemahaman yang berbeda dengan ulama terdahulu
31
. Selain kedua konsep di atas, buku ini berbicara tentang kebebasan manusia, perbudakan dan
tentang ritual ibadah yang terangkum dalam konsep al-Ibad wa al-‘Abid. Hal lain yang menjadi kajian buku ini tentang hubungan anak dan orang tua dan terakhir tentang
sejarah monoteisme dalam al-Qur’an
32
. Buku terakhir Shahrur adalah, Nahw Usul Jadidah LiI al-Fiqh al-Islami, ditulis
pada tahun 2000. Khusus dalam buku ini, melalui refleksi yang sangat mendasar, ia menyuguhkan satu model pembacaan, khususnya yang terkait dengan isu-isu perempuan,
soal waris, wasiat, poligami, dan kepemimpinan, yang masih aktual dan belum terpecahkan secara komprehensif hingga dewasa ini
33
.
31
Lima rukun Islam yang selama ini diyakini oleh umat Islam, seperti : membaca dua kalimat syahadat, mengerjakan sholat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan dan pergi haji bagi yang mampu
ternyata dipahami Shahrur sebagai rukun iman bukan rukun Islam. Sedangkan rukun Islam oleh Shahrur adalah percaya kepada Allah, Percaya kepada hari akhir dan beramal soleh. Lih. Dr. Muhammad Shahrur,
Islam dan Iman: Aturan-aturan pokok, terj. M. Zaid Su’di, hal. 22.,
32
Ibid, hal. 23-24
33
Dr. Ir. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, hal. Xv.
Dalam bidang teknik sipil sebagai latar belakan pendidikannya, Shahrur menerbitkan beberapa buku antara lain: Handasah al-Asasiyah tiga Juz, Handasah al-Turabiyah.
Selain dalam bentuk buku Shahrur juga menulis di majalah dan jurnal antara lain dapat dijumpai Muslim Politic Report 14 Agustus 1997 dengan judul : “The Devine Text and
Pluralism in Moslem Socities” dan “Islam in The 1995 Beijing World Conference On
Women” dalam Kuwait Newspaper. Artikel terakhir telah dimuat dalam buku Islam
Liberal yang diedit oleh Charles Khuzman.
BAB III
TEORI BATAS HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Teori Batas Hukum
Islam
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang diusung Shahrur dalam karyanya yang monumental sekaligus kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: al-
Qira’ah al-Mu’asirah adalah teori limit Teori Batas Nazariyyat al-Hudud. Shahrur
menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihat, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamat ayat-ayat yang berisi pesan hukum
dalam al-Qur’an. Abdullah Ahmed an-Naim menerangkan bahwa konsep hudud meskipun diambil
dari al-Qur’an, tetapi masih memunculkan masalah definisi yang serius
34
. Al-Qur’an sebagai teks keagamaan hanya memberikan sedikit tuntunan dalam ayat-ayat yang
relevan mengenai definisi yang sah dan unsur-unsur yang spesifik. Dalam persoalan hudud al-Qur’an telah menyebutkan terutama perilaku zina, pencurian dan tuduhan zina.
Bagi pezina, hukuman itu berupa cambuk 100 kali, untuk pencuri hukumannya potong tangan, dan tuduhan zina hukumannya cambuk 800 kali
35
. Dalam “yuresprudensi” Islam, istilah hukuman tersebut adalah hadd yang secara literal berarti “batas, batasan, atau
34
Abdullah Ahmed an-Naim, ” Dekonstruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin Arrani Yogyakarta: LKiS, 1997 hal. 28
35
Asghar Ali Engineer, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 hal. 255
faktor-faktor yang membatasi”. Hukuman ini membatasi tindakan kejahatan, karenanya hukuman itu disebut hudud.
Teori limit hudud yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi didalamnya terdapat wilayah ijtihat yang
bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis. Shahrur membangun teorinya berdasarkan pengalaman dalam dunia teknik. Latar
belakang bagaimana ia menyusun teori batasnya berawal dari kuliah yang ia berikan kepada mahasiswanya. Ia menuturkan:
“Suatu hari sebuah ide muncul dalam kepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah teknik jurusan di Teknik Sipil tentang bagaimana membuat jalan padat. Kami sedang
melakukan apa yang disebut sebagai ‘uji keamanan’, yang kami gunakan sebagai contoh dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul. Dalam ujian ini kami
mengeluarkan dan menambahkan tanah. Kami mendapatkan sumbu x dan sumbu y, sebuah hiperbola. Kami menemui resiko yang mendasar. Lalu kami menggambarkan
sebuah kurva dan meletakkan garis di atasnya. Garis ini adalah batas maksimum. Kemudian timbul ide dalam pikiran saya tentang ‘batas Tuhan’ hududullah. Sampai
disini, saya kembali kerumah dan membuka al-Qur’an. Dalam matematika kita hanya mendapatkan lima cara menyuguhkan batas limit. Saya menemukan lima kasus dalam
menampung ide tentang batas hukum Tuhan. Pemahaman yang sudah umum adalah bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah laku secara tepat, tetapi hanya
menciptakan batas-batas yang di dalamnya masyarakat dapat menyusun aturan-aturan dan hukum mereka sendiri. Saya telah menulis ide tentang integritaskeutuhan al-
istiqamah dan aturan moral atau etika yang universal. Pada awalnya ide ini hanya
menjadi catatan saya dalam pembahasan terakhir dalam buku saya, tetapi saya melihat bahwa teori ini merupakan perwujudan ide utama saya, maka saya mengoreksi semua
yang telah saya tulis tentang hududullah di buku agar pembahasan menjadi konsiten. Hingga saya menilai bahwa pendapat saya telah benar
36
.
Berawal dari pengalaman inilah kemudian Shahrur kemudian merumuskan teori batasnya. Shahrur menandaskan bahwa jalan lurus yang telah disediakan Tuhan bagi
manusia agar mereka dapat bergerak sepanjang jalan lengkung di dalam teori batas Tuhan, sesuai dengan hukum manusia yang diperkenankan di antara batas-batas hudud
bahwa al-kitab telah menetapkan seluruh tindakan manusia dan fenomena alam. Karena itu, dia menegaskan bahwa variasi hukuman yang secara rinci disebut dalam al-Qur’an
menandaskan batas tertinggi, bukan menggambarkan hukuman yang mutlak. Demikian pula al-Kitab telah menetapkan sejumlah hukuman minimum bagi berbagai kejahatan.
Shahrur merumuskan teori hududnya berangkat dari Q.S. an-Nisa: 13-14 yang terkait dengan pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat tilka hududullah dan pada ayat
14 terdapat kalimat wa yata’adda hududahu. Kata “hudud” disini berbentuk jamak plural
bentuk mufrodnya hadd artinya batas limit. Pemakian bentuk plural di sini menandakan bahwa hadd yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia
memiliki keleluasaan untuk memilih batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan dan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama ini masih berada dalam koridor batasan
36
Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, hal. 17-18
tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika manusia melampaui batasan-batasan tersebut
37
. Menurut Shahrur, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa masalah
pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan hudud hukum syariat yang ditentukan oleh Allah. Redaksi tilka hududallah merujuk pada penjelasan
ayat 11-12, dan pada saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang dimaksud berasal dari Allah.
Pada ayat 14, kalimat wa yata’adda hududahu berarti melanggar batas-batas hukum Tuhan. Penggunaan terma “hudud” di sini dinisbatkan kepada damir mufrat kata ganti
tunggal “hu” dia yang merujuk kepada Tuhan Allah saja. Sedangkan penggalan ayat sebelumnya yang berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya ta’adda hududahu
menegaskan bahwa perbuatan maksiat menolak untuk melaksanakan dapat dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran hukum hanya terjadi pada Tuhan saja,
karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik Allah. Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada
nabi Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad mempunyai otoritas penentuan hukum ini, niscaya ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya
ta’adda hududahuma dengan menggunakan kata ganti huma, tetapi ternyata tidak
demikian
38
.
37
Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas Nazariyyah al-Hudud Muhammad Shahrur Dalam Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-
Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003 hal. 152.
38
Ibid, hal. 152-153
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semua syariat ketentuan hukum yang berasal dari nabi Muhammad bersifat temporal marhali dan tidak ada
keharusan untuk memberlakukannya hingga akhir zaman. Pada tataran ini tersembunyi rahasia dan hikmah bahwa adanya Sunnah untuk diakui pada satu sisi, sedangkan pada
sisi lain adanya posisi Nabi sebagai suri tauladan untuk berijtihat dalam lingkup batasan ketentuan Allah dan disesuaikan dengan kondisi obyektif sejarah manusia.
Sebagaimana disebut di atas bahwa otoritas penentuan hukum syariat hanya dimiliki Allah saja, karena itu Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga
akhir zaman. Asumsi ini meniscayakan bahwa hukum yang bersumber dari Tuhan memiliki sifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai di setiap waktu
dan tempat shallih li kulli zaman wa makan. Konsekuensinya, hukum tidak boleh bersifat “tunggal” dengan satu pemahaman dan
prespektif. Hukum Tuhan harus sesuai dengan kecenderungan manusia yang selalu berubah, maju, dan berkembang. Maka dalam al-Qur’an akan selalu dijumpai bahwa
syari’at hanya menentukan batasan-batasan hudud saja, ada yang berupa batasan maksimal al-had al-a’la atau batasan minimal al-had al adna maupun variasi
keduanya. Ajaran syariat yang disampaikan kepada Rasullah bersifat hududiyah, berbeda dengan syariat para rasul yang disampaikan sebelumnya yang a’iniyyah. Periode
kerasulan Muhammad SAW merupakan babak baru syariat moderen bagi generasi kontemporer
39
.
39
Ibid, hal. 153
Berdasarkan presfektif diatas, Shahrur kemudian mengenalkan apa yang disebut dengan teori batas. Ia menyatakan bahwa Allah Swt. telah menetapkan konsep-konsep hukum
yang maksimum dan yang minimum, al-istiqamah straightness dan al-hanifiyyah curvature, sedangkan ijtihat manusia bergerak dalam dua batasan tersebut.
Dalam batas-batas hukum ini, masyarakat manusia tidak hanya bebas, tetapi diwajibkan untuk mengembangkan dan mengadopsi hukum mereka menurut kesepakatan dan
keadaan sosial politik masyarakat mereka. Shahrur melihat teori batasnya menampakkan sisi moderen dari apa yang dia pandang sebagai prinsip inti al-Qur’an: Syura
Musyawarahkonsultasi sebagai contoh, adalah tuntutan untuk menjawab persoalan hukum bagi kebijakan moderen dalam batas yang ditentukan Allah. Hasil yang didapat
dari proses musyawarah ini hendaknya bersifat relatif terhadap lingkup khusus –keadaan khusus secara sosial, ekonomi dan politik- pada masing-masing komunitas politik.
Pendirian politik Shahrur secara jelas juga tampak sebagaimana yang dia simpulkan bahwa “pada masa kita, musyawarah yang asli berari dengan pluralisme dan
demokrasi”
40
.
B. Sumber-sumber Teori Batas
Dalam merumuskan teori batas yang digagas oleh Shahrur, beliau mendasarkan teorinya pada dua hal, yaitu :
a. Dalil ayat-ayat al-Qura’an
40
Muhammad Shahrur, al-Kitab Op Cit, hal. 18
Shahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada al-Qur’an surat an- Nisa ayat 13-14 yaitu:
+, -
.
+.123 456
7 .
4 89 :
; =?8 A
BC?8 DEF
F1C H C I
K K
L 2
M 7
.N OP
=N O5Q7.R
DEF
Artinya: Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannaya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan bagiannya siksa yang menghinakan
QS. An-Nisa: 13-14
Shahrur mencermati penggalan ayat tilka hududallah yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah
semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum haq at-tasyri’ hanya milik Allah, sedangkan Muhammad walau beridentitas sebagai nabi dan rasul, pada hakikatnya
bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh as-syari’. Dalam pandangan Shahrur, Muhammad adalah pelopor ijtihat dalam Islam. Pendapat ini
didasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya wa ya ta’adda hududahu yang
berarti “dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya”. Kata ganti dhamir “hu” pada penggalan ayat diatas menunjuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap
akan lebih menegaskan pemahaman ini “dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya serta melanggar ketetapan hukum-Nya”
41
. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum ada pada Allah saja.
Seandainya nabi Muhammad berhak dan mempunyai otoritas tasyri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi “wa ya ta’adda hududahuma” yang artinya “ dan melanggar
batas-batas hukum keduanya Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari nabi
tidak semuanya identik dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman,
dan peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak mengikat hingga akhir zaman.
Dari sinilah menurut Shahrur, letak keutamaan Muhammad sebagai nabi, beliau adalah uswatun hasanah dengan pengertian teladan dalam berijtihat dan penerapannya. Shahrur
mengajukan motivasi kepada para cendikiawan muslim untuk tidak ragu berijtihat meskipun masalah-masalah hukum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits
nabi. Bagi Shahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai ketentuan situasi dan kondisi yang di latarbelakangi kemajuan ilmu pengtahuan, merupakan alasan
utama pemberlakuan ijtihat.
41
Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas Nazariyyah al-Hudud Muhammad Shahrur Dalam Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-
Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003 hal. 157
b. Analisis Matematis Mathematic Analisys