BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR
A. Biografi Muhammad Shahrur dan Latar Belakang Sosialnya
Syria dengan ibukota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya dan intelektual.
Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah. Syria pernah mengalami problematika modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi
Barat. Problema ini muncul disebabkan dampak dari invansi Prancis dan gerakan modernisasi Turki. Selain itu, Syria pernah menjadi region dari dinasti Utsmaniyyah.
Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi dan Thahir al-Jaza’ri yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria
12
. Reformasi al-Qasimi berorientasi pada pembentangan umat Islam dari
kecendrungan Tanzimat yang sekular dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus mampu meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas
dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinil dalam al-Qur’an dan Al-Sunah dengan menekankan
ijtihat
13
. Ide al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh Thaha al-Jaza’iri. Kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari sinilah kemudian
terlihat iklim intelektual Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal
kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria
12
Lihat. http:www.islamensipatoris.com.
13
Ibid
lebih nyata dan menjanjikan dibanding negara-negara Arab lainnya, karena tidak semua negara Arab menerima ide mengenai pembaharuan dalam Islam, misalnya yang harus
diterima Fazlur Rahman
14
dan Nasr Hamid Abu Zayd
15
yang harus hengkang dari negaranya masing-masing. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti bahwa Syria
merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam pemikiran Islam. Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir
dilahirkan di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938 M
16
. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun
17
. Dalam kehidupan pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari
Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menikah adalah Tariq beristrikan Rihab, Lays beristrikan Olga, dan Rima
bersuamikan Luis. Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling
tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya.
Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan Tsanawiyah ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan ‘Abdurrahman al-
Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan
14
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad Bandung: Pustaka, 2003 hal. vii
15
Nasr Hamid Abu Zayd, karena pemikiran kontroversialnya, harus hengkang dari negerinya ke Universitas Laiden, Belanda, Lihat. Hamid Abu Zayd al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi
Iswandi, dkk Bandung, RqiS, 2003 hal. 18
16
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. Damaskus: al-Ahali li al- Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999, hal.823
17
Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003, hal.43.
Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil Hadanah Madaniyah di Moskow.
Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas
Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur
berhak melakukan penelitian pada Imparsial College, London, Inggris. Karena pada tahun itu, terjadi konflik politik antara Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris
18
. Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan
program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika Pertanahan Soil mechanich dan teknik pembangunan Fondation Engineering di
Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus , kota
kelahirannya. Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil,
akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri bahasa Arab yaitu bahasa Rusia dan
bahasa Inggris.
18
Data ini diperoleh dari makalah yang ditulis oleh Yusron Wahab, Reading al-Kitab Versi Shahrur,
Makalah tidak diterbitkan.
Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.
Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk
mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang
pemikiran keislaman
19
. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil
program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al- Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada
tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa
20
. Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai
merasakan “benturan peradaban” antara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena sosial-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah,
Shahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran Marxisme. Sungguhpun ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut
21
. Namun demikian ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel
22
–terutama dialektikanya- dan Alfred North White Head
23
.
19
Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron Syamsuddin,dkk, ed, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hal. 124.
20
Ibid. hal. 129.
21
Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan” Dalam Charles Kurzman ed, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum
Jakarta: Paramadina, 2001, hal. 210.
22
Hegel adalah filsuf yang berasal dari Jerman, nama lengkapnya George Wilhelm Friedrich Hegel, dilahirkan pada tanggal 27 Agustus di Stuttgart dan meninggal pada tanggal 14 November 1831.
Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami perbenturan kultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai
pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan,
baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh Shahrur.
Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur
mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema
terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang belum
terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai
tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan “fase pencerahan” dalam
diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan kecenderungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase tersebut
Pendidikan filsafat dan teologi di peroleh Hegel dari Universitas Tubingen, Jerman. Dari Tubingen, Hegel lalu pindah ke Switzerland dan memperdalam filsafat pengetahuan di Frankfurt. Karir akademisnya
menanjak ketika ia mengajar di Universitas Jena dan pada tahun 1805 Hegel diangkat menjadi Profesor Filsafat. Lih. Donny Gahral Adian, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hal.
26.
23
Ahmad Fawaid Sjadzali, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah dikuitp dari http:www.islamlib.com.
menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang rahasia bahasa Arab.
B. Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur