Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam Al-Qur’an

BAB IV IMPLEMENTASI TEORI BATAS DALAM HUKUM WARIS

A. Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam Al-Qur’an

Waris adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para hali waris 54 . Dalam Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan tirkah pewaris yang menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing. Dalam al-Qur’an, menurut bahasa kata waris berasal dari kata “warasa”yang memiliki beberapa arti: 1. Berarti pengganti QS. Al-Naml:16 Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang sesuatu burung dan kami diberi segala sesuatu, sesungguhnya ini benar-benar suatu karunia yang nyata”QS. Al-Naml: 16 2. Berarti memberi QS. Az-Zumar :74 54 Faturrahman, Ilmu Waris, Bandung, Al-ma’arif, 1971 hal 36 Artinya: “Mereka berkata: Puji-pjian bagi Allah yang telah menepati janji- Nya dan telah mewariskan memberikan bumi kepada kami, kami tetap tinggal dalam surga, menurut kehendak kami, maka inlah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal”QS. Az-Zumar: 74 3. Berarti mewarisi QS. Maryam :6 Artinya : “Yang akan mewarisi dan diwarisi keluarga Ya’kub, dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang disukai. QS. Maryam, 19:16 Sedangkan M. Idris Ramulyo mendefinisikan, warisan adalah harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia, dapat berupa : 1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau aktiva 2. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayar saat meninggal dunia atau pasiva 55 Sedangkan dalam KHI Kompilasi Hukum Islam didefinisikan, harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan ahli waris adalah orang yang mewarisi harta peniggalan muwarris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah keturunan dan hubungan hak perwalian dengan si muwaris 56 . 55 M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Ind. Hill Co, 1987, hal 48-49 56 Faturrahman, Loc. It Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jama’ dari kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah di bakukan dalam al-Qur’an. Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12, Allah dengan jelas mengatur tentang ketentuan- ketentuan warisan yang menjadi hal ahli waris. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah untuk menjawab kesewenang-wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi yang ingin menguasai kekeyaan peninggalannya ketika Sa’ad tewas di medan peperangan. ”Ata” meriwayatkan: ”Sa’ad Ibn Abi al-Rabi tewas di medan peperangan sebagai syuhid meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kemudian saudara laki- lakinya mengambil harta peninggalannya seluruhnya. Maka datanglah istri Sa’ad, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, ini adalah dua anak Sa’ad dan Sa’ad telah meninggal di medan peperangan, pamannya telah mengambil harta kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah SAW : “Kembalilah kamu, barangkali Allah memberi keputusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah istri Sa’ad tersebut setelah itu dan menangis. Maka turunlah ayat ini QS. An-Nisa, 4: 11-12 maka Rasulullah SAW memanggil pamannya dan bersabda : “berilah kedua anak perempuan Sa’ad dua pertiga al-sulusain, ibunya seperdelapan al-sumua dan sisanya untuk kamu” 57 . 57 Al-Nawawi, al-Tfasir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, Semarang, Usaha Keluarga, terj hal. 141-142 Turunnya ayat tersebut, merupakan awal penentuan bagian waris dalam Islam 58 . Memang jika melihat sejarah pada zaman jahiliyah sebab-sebab mempusakai ada tiga yaitu: 1. Adanya pertalian kerabat Qarabah 2. Adanya janji pra setia Muhallafah, dan 3. Adanya pengangkatan anak tabanny atau adopsi 59 Adapun tentang ketentuan dalam hukum waris Islam, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak perempuan, Ash-Shabuni memberikan alasan yang berdasarkan banyak hikmah, diantaranya : a. Kebutuhan wanita sudah tercukupi, nafkahnya merupakan kewajiban kaum kerabatnya, ayah-ibunya, anak-anaknya dan lain sebagainya dari kerabat yang paling dekat dengannya, yang demikian ini di dasarkan pada banyak hikmah syariat yang agung, agar orang yang memiliki kelapangan mengeluarkan infaq dari kelapangan itu b. Wanita tidak dibebani memberikan infaq kepada seseorang. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarga yang ada dalam tanggungannya, seperti anak, keluarga dan siapapun yang memang haru diberi nafkah c. Laki-laki harus menyerahkan mahar kepada istri dan berkewajiban memberikan makanan dan pakaian bagi istri dan anak-anaknya 58 Ibid 59 Faturrahman, Op. Cit

d. Laki-laki harus menjamin biaya sekolah anak-anaknya, pengobatan istri dan