Studi Persepsi Pedagang Dan Pengunjung Tentang Kegiatan Perdagangan Kaki Lima Di Kawasan Gasibu Dan Sekitarnya Serta Penataan Fisik Kegiatan Perdagangan Di Kawasan Tersebut Sebagai Wisata Belanja Temporer
ii
ABSTRAK
STUDI PERSEPSI PEDAGANG DAN PENGUNJUNG TENTANG KEGIATAN PERDAGANGAN KAKI LIMA DI KAWASAN GASIBU DAN SEKITARNYA SERTA PENATAAN FISIK KEGIATAN PERDAGANGAN DI KAWASAN TERSEBUT SEBAGAI WISATA BELANJA TEMPORER
Lapangan Gasibu pada masa lalu dikenal dengan nama Wilhelmina Plain yang digunakan sebagai tempat latihan sepak bola. Kini Lapangan Gasibu selain sebagai tempat olahraga memiliki fungsi lainnya sebagai sarana perekonomian berupa pasar kaget yang terjadi pada setiap hari Minggu pagi. Keberadaan pedagang semakin lama semakin luas hingga mencapai Kawasan Gasibu dan sekitarnya yang menimbulkan masalah berupa ketidakteraturannya para pedagang di Kawasan Gasibu. Oleh karena itu perlu adanya penataan pedagang yang ada di Kawasan Gasibu dan sekitarnya sebagai wisata belanja temporer guna menata pedagang di Kawasan Gasibu.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pedagang dan pengunjung tentang kegiatan kaki lima di Kawasan Gasibu dan sekitarnya serta penataan fisik kegiatan perdagangan di kawasan tersebut sebagai wisata belanja temporer. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sasaran yang harus dicapai yaitu, Mengidentifikasi persesi pedagang di Kawasan Gasibu, Mengidentifikasi persepsi pengunjung di Kawasan Gasibu, Mengeksplorasi penataan pedagang berdasarkan harapan pedagang, Mengeksplorasi penataan pedagang berdasarkan harapan pengunjung, Memberi rekomendasi penataan pedagang kaki lima di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi. Untuk mendukung sasaran-sasaran tersebut di atas, maka dalam studi ini dilakukan survei primer yang berupa observasi lapangan dan penyebaran keusioner sedangkan survei sekunder dilakukan untuk mencari informasi mengenai Kawasan Gasibu.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa sebagian besar pedagang lebih menginginkan penataan pedagang dengan cara tetap dicampur dengan jenis dagangan lain sedangkan hal tersebut berbeda dengan penataan pedagang berdasarkan harapan pengunjung, dimana pengunjung lebih menginginkan penataan pedagang dengan cara tetap dicampur dengan jenis dagangan lain. Sedangkan usulan penataan fisik kegiatan perdagangan di Kawasan Gasibu dan sekitarnya yaitu perlu adanya penataan perdagangan di Kawasan Gasibu yang berupa pengelompokan pedagang, pengaturan sirkulasi pengunjung, penataan/pengadaan tempat parkir, dan pembatasan lokasi pedagang.
(2)
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pembuka dari laporan penulisan tugas akhir. Isi dari bab ini adalah hal-hal yang berkaitan langsung dengan kegiatan penelitian yang telah dilakukan, yaitu meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika pembahasan.
1.1 Latar belakang
Di Kota Bandung terdapat Kawasan Gasibu yang ramai dikunjungi oleh penduduk pada hari Minggu pagi. Nama Gasibu merupakan kependekan dari Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara. Pada Tahun1953, pencinta sepak bola kerap menggelar pertandingan antar persatuan sepak bola di Lapangan Badaksinga. Di Badaksinga dibangun proyek air bersih (sekarang Perusahaan Daerah Air Minum). Penduduk yang aktif dalam persatuan sepak bola tersebut meminta izin menggunakan Lapangan Wilhelmina Plain menjadi tempat latihan sepak bola. Perubahan nama Lapangan Wilhelmina Plain menjadi Lapangan Gasibu dikarenakan masyarakat pada waktu itu terbiasa menyebut nama tersebut dari singkatan club sepak bola “Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara” yang disingkat menjadi GASIBU.
Lapangan Gasibu terletak di Kelurahan Citarum, Kecamatan Coblong, Wilayah Pengembangan Cibeunying Kota Bandung. Sebelah Utara berbatasan Jalan Gazebo, sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Sentot Alibasa, sebelah Selatan Jalan Diponegoro persis di depan Gedung Sate, dan sebelah Barat berbatasan dengan Surapati.
Pada hari Minggu pagi Lapangan Gasibu ramai dikunjungi oleh penduduk Kota Bandung dengan tujuan berbelanja dikarenakan Lapangan tersebut sangat ramai oleh pedagang kaki lima yang menjajakan jualannya pada hari Minggu pagi. Rupanya keberadaan pedagang kaki lima tersebut mengundang perhatian masyarakat Kota Bandung untuk datang berbelanja maupun hanya sekedar jalan-jalan di Gasibu.
(3)
Sebenarnya fungsi awal Lapangan Gasibu adalah sebagai Ruang Terbuka Hijau dan tempat olahraga bagi penduduk Kota Bandung, dimana penduduk ramai mengunjungi lapangan ini pada hari Minggu pagi untuk melakukan olahraga seperti senam, jogging, main bola, main bulu tangkis dan sebagainya. Setelah melakukan aktivitas biasanya pengunjung membeli mimuman dan makanan yang dijajakan oleh pedagang asongan yang ada di sekitar Lapangan Gasibu. Keadaan tersebut ternyata mengundang perhatian pedagang asongan yang lain untuk menawarkan dagangannya pada hari Minggu pagi.
Awal mula keberadaan pedagang kaki lima di Lapangan Gasibu, dimulai dari banyaknya penduduk yang berkunjung ke kawasan ini karena melakukan aktivitas seperti olahraga dan menyaksikan pertunjukan musik, sekumpulan orang di Lapangan Gasibu tersebut membuat para pedagang tertarik untuk berdagang di sekitar Lapangan Gasibu. Sejak dipadatinya Kawasan Gasibu oleh pedagang kaki lima pada setiap hari Minggu, lalu lintas di kawasan tersebut menjadi padat dan macet karena badan jalan bukan hanya digunakan kendaraan dan pejalan kaki tapi digunakan juga oleh pedagang untuk berjualan.
Kegiatan perdagangan temporer yang dulunya hanya ada di Lapangan Gasibu kini telah meluas hingga mencakup kawasan sekitarnya. Kawasan sekitar Gasibu terdiri dari beberapa lokasi antara lain: Monumen dan Taman Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Universitas Padjadjaran, Gedung sate, Museum Pos dan Giro, dan Museum Geologi. Dari beberapa jalan yang ada di sekitar kawasan tersebut yang dipakai oleh pedagang untuk berjualan adalah: Jalan Japati Barat, Jalan Japati Timur, sebagian Jalan Surapati, Jalan Sentot Alibasa, Jalan Gazebo, dan sebagian Jalan Diponegoro.
Kawasan Gasibu dijadikan salah satu tujuan wisata belanja bagi penduduk Kota Bandung, karena kawasan tersebut ramai oleh pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya dengan harga yang murah. Karena minat pengunjung semakin tinggi terhadap Kawasan Gasibu, maka kawasan tersebut semakin lama-semakin padat dan hampir tidak ada lahan yang kosong jika pada hari Minggu pagi. Hal ini menyebabkan kawasan tersebut semakin padat dan semrawut. Pada dasarnya aktivitas pedagang kali lima yang ada di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi sudah sulit untuk dihilangkan, dikarenakan hal tersebut sudah lama
(4)
berlangsung dan sudah jadi kebiasaan masyarakat Kota Bandung datang di kawasan tersebut untuk berbelanja dan menikmati suasana yang berbeda pada saat hari-hari lain.
Dalam RIPP Kota Bandung dan Dinas Pariwisata Kota Bandung, 2007, Kawasan Gasibu tidak termasuk dalam wilayah wisata belanja yang ada di Kota Bandung. Namun kenyataannya masyarakat Kota Bandung sudah menganggap Kawasan Gasibu sebagai salah satu wisata belanja yang ada di Kota Bandung yang rutin dikunjungi oleh penduduk Kota Bandung maupun penduduk dari diluar Kota Bandung. Berdasarkan pernyataan Kasubbid Hukum dan Humas PD Pasar Bermartabat Kota Bandung, Tjipto Susanto (Tribun Jabar, senin, 1-6-2010) bahwa kegiatan perdagangan di Kawasan Gasibu tidak masuk ke dalam daftar 37 pasar yang ada di Kota Bandung, oleh karena itu para pedagang yang ada di Kawasan Gasibu tidak dipungut retribusi dari PD Pasar Kota Bandung ataupun pengelola Kawasan Gasibu melainkan retribusi tersebut dikeluarkan oleh Dinas Kebersihan Kota Bandung maupun preman yang ada di sekitas Kawasan Gasibu.
Namun terlepas dari itu semua, kegiatan perdagangan di Kawasan Gasibu telah memberikan kontribusi besar dalam perekonomian setiap pekannya. Baik itu kontribusi bagi pedagangnya sebagai tempat mencari nafkah, kontribusi yang berasal dari biaya retribusi yang masuk ke kas Pemda, atau kontribusi bagi konsumen yang mendapatkan penawaran produk dengan harga yang relatif terjangkau. Di sisi lain, keberadaan pasar eceran pekanan Gasibu, banyak meresahkan pihak-pihak yang merasa terancam dengan keberadaan kegiatan jenis ini. Banyak hal yang harus diamati mengenai tempat ini sebab bukan hanya efek negatif saja yang ditimbulkan, namun ternyata efek positif bagi beberapa pihak juga dapat dirasakan dengan jelas seperti peningkatan pendapatan bagi pedagangnya dan keuntungan pengunjung karena mendapatkan barang dengan harga yang terjangkau.
Masalah lain yang timbul di Kawasan Gasibu adalah belum adanya penataan pedagang, sehingga pengunjung yang datang susah untuk menjangkau kawasan tersebut secara keseluruhan karena disebabkan kepadatan pengunjung maupun keberadaan pedagang yang mengganggu karena memakai sebagian ruas jalan untuk berjualan. Untuk mengurangi masalah yang terjadi maka perlu
(5)
dilakukan penataan pedagang yang ada di Kawasan Gasibu. Hal ini dilakukan untuk menertibkan pedagang supaya kepadatan yang ada bisa berkurang dan pengunjung yang ada bisa lebih tertib.
Belakangan ini kegiatan yang menjadi wisata belanja temporer seperti di Kawasan Gasibu marak muncul di Kota Bandung diantaranya kegiatan perdagangan yang ada di Tegal Lega, kegiatan perdagangan yang ada di Jalan Soekarno Hatta, dan masih ada beberapa lokasi serupa yang ada di Kota Bandung. Dalam penelitian ini Kawasan Gasibu menjadi prioritas untuk ditata karena kawasan tersebut terletak dengan pusat Pemerintahan Propinsi Jawa Barat dan salah satu Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Kota Bandung (Dinas Pertamanan: 2000). Selain itu Gedung Sate yang tepat berada di depan Lapangan Gasibu merupakan Land mark Kota Bandung dan lokasi ini merupakan salah satu pintu masuk menuju Kota Bandung. Namun kawasan tersebut berubah fungsi menjadi kawasan perdagangan pada hari Minggu pagi yang menimbulkan berbagai masalah seperti kemacetan, kepadatan pengunjung, suasana kotor, dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan rujukan dilakukannya penataan kegiatan perdagangan tersebut sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi semua belah pihak seperti pedagang, pengunjung, pengguna jalan, masyarakat setempat dan pemerintah Kota Bandung.
1.2 Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang studi, Kawasan Gasibu merupakan salah satu tujuan wisata belanja temporer penduduk Kota Bandung. Pada waktu-waktu tertentu, terutama pada hari Minggu pagi, lokasi tersebut ramai dikunjungi oleh berbagai golongan penduduk dan menimbulkan suasana yang berbeda dengan hari-hari lainnya. Hal ini juga tidak terlepas dari keberadaan lokasi tersebut yang memiliki aksesibilitas tinggi serta dekat dengan lingkungan perumahan dan pendidikan.
Kegiatan yang dilakukan oleh penduduk lebih banyak berupa berbelanja, olahraga, seperti lari pagi, senam, bermain sepak bola, bola volli, bulu tangkis dan lain-lain. Pada dasarnya lokasi tersebut setiap hari Minggu pagi sangat padat, sehingga pengunjung hampir tidak dapat melakukan kegiatan rekreasi atau
(6)
olahraga dengan sempurna. Suasana padat tersebut terlihat cukup mengganggu bagi pengunjung dan masyarakat yang sekedar melintasi kawasan tesebut. Adapun hal yang mengganggu diantaranya adalah seperti keramaian yang ditimbulkan oleh pedagang kaki lima yang memakai sebagian ruas jalan untuk berjualan. Selanjutnya timbul pula kemacetan lalu lintas, polusi dan suasana kotor di sekitar Kawasan Gasibu. Tetapi pada kenyataannya, meskipun pengunjung mengalami kendala ketika melakukan kegiatan rekreasi, lokasi tersebut tetap saja ramai dikunjungi oleh penduduk Kota Bandung.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penataan pedagang di Kawasan Gasibu, jika kegiatan pergadangan ini tidak dilakukan penataan maka akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi, seperti menimbulkan kemacetan yang parah dibagian Jalan Surapati yang merupakan kelas jalan arteri primer yang berfungsi melayani pergerakan kendaraan dengan ciri perjalanan jarak jauh atau lintas propinsi. Selain untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, penataan pedagang juga dilakukan untuk mengurangi kepadatan pengunjung yang ada di kawasan tersebut, sehingga pengunjung yang datang lebih tertib dan lebih nyaman sewaktu berbelanja. Mengingat pentingnya penataan pedagang yang ada di Kawasan Gasibu maka muncul beberapa pertanyaan penelitan yaitu:
1. Bagaimanakah persepsi pedagang tentang kegiatan perdagangan dan penataan pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi?
2. Bagaimanakah persepsi pengunjung terhadap penataan pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi?
3. Bagaimanakah penataan pedagang berdasarkan harapan pedagang di Kawasan Gasibu?
4. Bagaimanakah penataan pedagang di Kawasan Gasibu berdasarkan harapan pengunjung pada hari Minggu pagi?
5. Bagaimanakah rekomendasi untuk penataan fisik kegiatan perdagangan kaki lima di Kawasan Gasibu dan sekitarnya pada hari Minggu pagi?
(7)
1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan adalah apa yang inginkan dalam penelitian, sedangkan sasaran adalah langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan dan sasaran penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan
Tujuan studi ini adalah mengetahui persepsi pedagang dan pengunjung tentang kegiatan kaki lima di Kawasan Gasibu dan sekitarnya serta penataan fisik kegiatan perdagangan di kawasan tersebut sebagai wisata belanja temporer.
1.3.2 Sasaran
Adapun sasaran dari studi ini adalah:
1. Mengidentifikasi persepsi pedagang di Kawasan Gasibu 2. Mengidentifikasi persepsi pengunjung di Kawasan Gasibu
3. Mengeksplorasi penataan pedagang berdasarkan harapan pedagang 4. Mengeksplorasi penataan pedagang berdasarkan harapan pengunjung 5. Memberi rekomendasi penataan pedagang kaki lima di Kawasan Gasibu
pada hari Minggu pagi
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi. Ruang lingkup wilayah menjelaskan batasan-batasan wilayah studi, sedangkan ruang lingkup analisis menjelaskan tetang jenis dan kedalaman analisis.
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Lokasi yang dipilih sebagai wilayah studi adalah Lapangan Gasibu dan sekitarnya yang ramai dikunjungi oleh penduduk oleh Kota Bandung untuk berbelanja pada hari Minggu pagi. Fasilitas rekreasi tersebut selanjutnya dinamakan dengan Kawasan Gasibu yang terletak di Kelurahan Citarum, Kecamatan Coblong, Wilayah Pengembangan Cibeuying, Kota Bandung. Batas-batas lokasi adalah sebagai berikut:
(8)
• Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Haurpancuh dan perumahan penduduk di sekitar Kelurahan Sekeloa.
• Sebelah timur berbatasan dengan, PT Telekomunikasi Indonesia, Jalan Sentot Alibasa.
• Sebelah selatan berbatasan dengan Gedung Sate.
• Sebelah barat berbatasan dengan Universitas Padjadjaran, perumahan disekitar Jalan Aria Jipang, Jalan Bagus Rangin dan Jalan Singa Perbangsa.
Namun lokasi yang ditempati pedagang pada hari Minggu pagi ada 3 kawasan yaitu: Kawasan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Kawasan Lapangan Gasibu, dan Kawasan Jalan diponegoro. Maka dari itu, untuk mempermudah dalam menentukan penataan pedagang, kawasan yang ditempati pedagang akan dibagi menjadi 3 (tiga) zona yaitu zona 1 ( Kawasan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, zona 2 (Kawasan Lapangan Gasibu), zona 3 (Kawasan Jalan Diponegoro)
Disekitar Kawasan Gasibu terdiri dari lingkungan perumahan, perkantoran dan pendidikan. Selain itu Kawasan Gasibu merupakan lokasi mudah dicapai, karena terletak dengan jalan raya dan dilalui oleh berbagai rute angkutan kota. Berikut dapat dilihat Peta orientasi wilayah studi pada gambar 1.1 dan peta Kawana Gasibu pada gambar 1.2 di bawah ini.
(9)
(10)
(11)
1.4.2 Ruang Lingkup Materi
Kegiatan perdagangan yang ada di Kawasan Gasibu dan sekitarnya hanya berlangsung pada hari Minggu saja, oleh karena itu penelitian ini mengkhususkan pada hari Minggu saja sesuai dengan jam keberadaan kegiatan perdagangan yaitu mulai jam 06.00 pagi sampai 12.00 siang. Adapun kajian-kajian teori maupun substansi yang mendukung tercapainya tujuan dan sasaran penelitian, yaitu mencakup:
a) Materi pendukung dalam melakukan kajian; terdiri dari definisi pariwisata, konsep penataan PKL, dan materi pendukung lainnya dalam mempermudah pencapaian tujuan dan sasaran.
b) Fokus kajian atau pembahasan dalam studi ini dibatasi beberapa aspek, yaitu:
1. Karakteristik Pedagang 2. Karakteristik Pengunjung
3. Persepsi Pedagang terhadap kegiatan di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi
4. Persepsi pengunjung terhadap kegiatan di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi
5. Penataan pedagang berdasarkan harapan pedagang 6. Penataan pedagang berdasarkan harapan pengunjung
7. Usulan penataan pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi • Pengelompokan pedagang berdasarkan jenis dagangan
• Pengaturan jalur pergerakan pengunjung • Penempatan tempat parkir
• Pembatasan lokasi pedagang
1.5 Metodologi Penelitian 1.5.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk meneliti sekelompok manusia, suatu objek, atau suatu kondisi pada masa sekarang. Analisis ini digunakan untuk memberikan deskripsi, gambaran, mengenai fakta-fakta atas fenomena yang sedang diamati dalam studi.
(12)
Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang menggambarkan Kawasan Gasibu.
1.5.2 Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dan informasi, pengumpulannya dilakukan dengan cara survey primer dan survey skunder. Berikut ini adalah survey yang dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tersebut:
A. Survey Primer
1. Observasi lapangan dengan melihat kondisi eksisting Kawasan Gasibu untuk mendapatkan fakta yang ada di lokasi studi.
2. Wawancara kepada pihak pengelola Kawasan Gasibu, dalam hal ini dinas pertamanan Kota Bandung, dilakukan untuk mendapatkan keterangan kepemilikan dan pengelolaan Lapangan Gasibu dan sekitarnya. Selanjutnya dilakukan juga wawancara langsung dengan bagian Perencanaan Dinas Pertamanan Kota Bandung, guna mendapatkan data dan informasi mengenai Kawasan Gasibu.
3. Menyebarkan kuesioner kepada pedagang kaki lima dan pengunjung yang ada di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi, untuk mendapatkan data yang lebih akurat mengenai Kawasan Gasibu.
4. Dokumentasi, berupa pengambilan gambar di Kawasan Gasibu, yang bertujuan untuk melihat kondisi eksisting lokasi studi.
B. Survey Sekunder
Survey sekunder dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai dinas, instansi, atau lembaga yang terkait. Adapun survey sekunder lain yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Survey ini dilakukan untuk mengkaji teori dan informasi yang berhubungan dengan penataan serta teori lain yang berhubungan dengan kepariwisataan.
(13)
1.5.3 Teknik Sampling
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak sederhana (random sampling). Metode pengambilan sampel acak sederhana adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel dari populasi dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk diambil sebagai sampel. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua anggota populasi menjadi anggota dari kerangka sampel (Sugiarto, 2003).
Dalam menentukan ukuran jumlah sampel dilakukan dengan mengacu pada pendapat Slovin (Umar, 2005) sesuai dengan rumus:
Keterangan
n = jumlah sample N = jumlah populasi 1 = konstanta
E = error( kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sample yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, misalnya 0,1)
Diketahui jumlah (N) pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu berjumlah 8.501 pedagang (perhitungan pedagang, 14 Maret 2010) dan (N) pengunjung Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi sekitar 20.000 pengunjung (dalam Ferda Yerina: 2000,10), maka:
• Pedagang
8.501
n =
1+(8.501(0,1) 2
)
=
98,83 100Jadi responden yang dipilih untuk penyebaran kuesioner pedagang sebanyak 100 responden.
N
n=
(14)
• Pengunjung
20.000
n =
1+(20.000(0,1) 2
)
=
200Jadi responden yang dipilih untuk penyebaran kuesioner pengunjung sebanyak 200 responden.
1.5.4 Metode Analisis
Metode analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif dan metode analisis Crosstab. Metode analisis kualitatif digunakan menganalisis kondisi eksisting kawasan pariwisata, analisis karakteristik pedagang dan pengunjung, dan analisis penataan di kawasan pariwisata, dimana data ini bersifat monografis atau dalam bentuk kasus-kasus yang tidak disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris. Sedangkan metode analisis Crosstab digunakan untuk melakukan tabulasi silang antara karakteristik pengunjung dan pedagang dengan persepsi pengunjung dan pedagang terhadap Kawasan Gasibu melalui perangkat lunak yang dinakaman SPSS, setelah itu baru dilakukan analisis deskriptif.
1.5.5 Variabel Penelitian
Variabel yang akan dijadikan dasar dalam analisis penataan pedagang kaki lima yang ada di Kawasan Gasibu setiap hari Minggu pagi yaitu:
Tabel I.1 Variabel yang diteliti
No Variabel Komponen
1 Karakteristik
Pedagang
1. Jenis kelamin 2. Status perkawinan 3. Umur
4. Tingkat pendidikan 5. Pendapatan
6. Jarak tempat tinggal 7. Lama Perjalanan 8. Jam keberangkatan 9. Motivasi
1. Jenis kelamin 2. Status perkawinan
(15)
No Variabel Komponen Pengunjung 3. Umur
4. Tingkat pendidikan 5. Pendapatan
6. Jarak tempat tinggal 7. Lama perjalanan 8. Jam keberangkatan 9. Pekerjaan
10. Tujuan kunjungan 11. Moda yang digunakan 12. Waktu yang dibutuhkan 13. Teman Perjalanan 14. Biaya yang dikeluarkan
2 Jenis Dagangan
1. Kel. Tekstil 2. Kel. Aksesoris 3. Kel.Hiburan
4. Kel.Peralatan rumah tangga 5. Kel. Jajanan
6. Kel. Alas kaki & tas 7. Kel. Mainan 8. Kel. Sayur-sayuran 9. Kel. Hewan
3 Alasan Memilih Lokasi Jualan
1. Banyak pengunjungnya 2. Tempatnya luas 3. Lokasi strategis 4. Sudah ada langganan 5. Lebih laku
6. Dekat dengan tempat tinggal 7. Lain-lain
4 Alasan Kunjungan
1. Lebih nyaman 2. Lebih aman
3. Ramai dikunjungi orang 4. Lokasi yang strategis 5. Dekat dengan rumah 6. Banyak kegiatan lain 7. Tidak ada pilihan lain
4 Persepsi
Pedagang
1. Pengaruh terhadap perekonomian keluarga
2. Persepsi Terhadap pengunjung 3. Kegiatan dalam mengatasi kepadatan
pengunjung
4. Penataan pedagang yang diinginkan
Pengunjung
1. Hambatan 2. Kondisi lalu lintas 3. Penyebab kemacetan 4. Aksesibilitas
5. Keberadaan kawasan Gasibu 6. Keberadaan pedagang di Kawasan
Gasibu
7. Kegiatan dalam mengatasi kepadatan pengunjung
8. penataan pedagang yang diinginkan
5 Penataan fisik kegiatan perdagangan
1. Berdasarkan keinginan pedagang 2. Berdasarkan Keinginan Pengunjung 3. Usulan rekomendasi penataan
(16)
1.6 Manfaat Penelitian
Secara umum dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan atau input bagi pihak yang berkepentingan dalam peningkatan kepuasan terhadap pengunjung yang datang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi, dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca, khususnya tentang penataan pedagang kaki lima.
(17)
1.7 Kerangka Pemikiran
Di bawah ini adalah gambar kerangka pemikiran yang merupakan alur dari kajian penelitian yang dilakukan pada studi ini.
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi padat oleh pengunjung dan pedagang yang menimbulkan kesemrawutan
ISSU:
Tidak adanya penataan pedagang di Kawasan Gasibu setiap hari Minggu pagi.
Karakteristik Pedagang Kawasan Gasibu
Karakteristik Pengunjung Kawasan Gasibu
Pedagang
Pengunjung
Analisis penataan pedagang yang ada di Kawasan Gasibu
dan sekitarnya
USULAN PENATAAN Usulan penataan
pedagang berdasarkan harapan pedagang
Usulan Penataan pedagang berdasarkan
harapan pengunjung
Teori penataan
Persepsi pedagang kaki lima terhadap Kawasan
Gasibu
Persepsi pengunjung Kawasan Gasibu pada
(18)
1.8 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan laporan tugas akhir ini secara keseluruhan dibagi kedalam lima bab pembahasan, dengan sistem penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pembuka dari laporan penulisan tugas akhir. Bab ini berisikan hal-hal yang berkaitan langsung dengan kegiatan penelitian yang telah dilakukan. Adapun hal-hal yang terdapat dalam bab ini meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika pembahasan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas mengenai berbagai kajian literatur serta teori-teori yang mendukung tujuan dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan pustaka bermanfaat untuk menghasilkan petunjuk kepada peneliti untuk dapat memecahkan persoalan yang dihadapi didalam penelitian secara ilmiah. Dalam penelitian ini, literatur yang akan dikaji adalah definisi penataan ruang, berbagai variabel pariwisata, definisi pedagang kaki lima, definisi pariwisata belanja, serta definisi temporer.
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
Bab ini memberikan pembahasan mengenai gambaran umum wilayah Kota Bandung sebagai wilayah kajian terletaknya Kawasan Gasibu, selain itu juga diulas gambaran umum Kawasan Gasibu. Bab ini juga membahas gambaran umum mengenai obyek yang diteliti yaitu Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi.
(19)
BAB IV ANALISIS PERSEPSI PEDAGANG DAN PENGUNJUNG SERTA PENATAAN FISIK PERDAGANGAN KAKI LIMA YANG ADA DI KAWASAN GASIBU DAN SEKITARNYA PADA HARI MINGGU PAGI
Bab ini akan membahas mengenai analisis persepsi pedagang dan persepsi pengunjung terhadap Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi. Bab ini juga membahas analisis penataan pedagang kaki lima di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi berdasarkan persepsi pedagang dan pengunjung. Namun pembahasan pokok pada bab ini adalah mengenai rekomendasi penataan fisik pedagang di Kawasan Gasibu dan sekitarnya pada hari Minggu pagi dengan 4 (empat) kategori pengembangan kriteria penataan yaitu pengelompokan pedagang berdasarkan jenis dagangan, pengaturan pergerakan pengunjung, penempatan tempat parkir pengunjung, dan pembatasan jumlah pedagang.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Setelah melakukan identifikasi dan analisis mengenai penataan pedagang kaki lima yang ada di Kawasan Gasibu dan sekitarnya, maka dalam bab ini penulis menutup dengan kesimpulan disertai dengan rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Bab ini juga memberikan kelemahan penelitian dan anjuran studi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas mengenai berbagai kajian literatur serta teori-teori yang mendukung tujuan dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan pustaka bermanfaat untuk menghasilkan petunjuk kepada peneliti untuk dapat memecahkan persoalan yang dihadapi didalam penelitian secara ilmiah. Dalam penelitian ini, literatur yang akan dikaji adalah definisi penataan, definisi PKL, definisi wisata belanja, serta definisi temporer.
2.1 Persepsi
Persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi). Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk indrawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Murphy (1985:11), persepsi merupakan pandangan, penangkapan seseorang tentang sesuatu yang dipengaruhi oleh informasi yang diterima dan interprestasinya terhadap informasi tersebut. Persepsi terhadap alternatif hiburan dan macam-macam tujuan wisata dikondisikan oleh tiga elemen penting, yaitu pengalaman pribadi, preferensi dan cerita dari orang lain.
2.2 Penataan
Menurut kamus penataan ruang penataan adalah proses perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan yang berasaskan pemanfaatan untuk semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta keterbukaan, persamaan keadilan dan perlindungan hukum (Kamus Tata Ruang, Dirjen Cipta karya Departemen Pekerjaan Umum, Edisi I, 1997). Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tetang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses
(21)
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 ayat 5).
2.2.1 Latar Belakang dan Fungsi Penataan Ruang
Agar lokasi lokasi perdagangan sesuai dengan lokasi kegiatan lainnya serta agar seluruh kegiatan masyarakat dapat memberikan hasil yang optimal, maka lokasi perdagangan bersama lokasi kegiatan lainnya perlu ditata melalui kegiatan yang dalam Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 tentang penataan ruang, disebut pula penataan ruang yang mencakup penataan pemanfaatan berbagai sumber daya yang didalamnya, seperti lokasi perumahan dekat dengan pusat kegiatan, seperti kegiatan perdagangan, kegiatan pendidikan, pemerintahan, kesehatan, peribadatan dan olahraga.
Dalam pemanfaatan ruang yang tidak tertata dengan baik dapat terjadi berbagai konflik yang merugikan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat serta kerusakan lingkungan. Konflik dan kerusakan lingkungan akan meningkat jumlah maupun intensitasnya sejalan dangan meningkatnya macam, jumlah atau mutu kebutuhan dan kegiatan yang memerlukan ruang. Konflik dapat terjadi dalam skala mikro maupun makro, mulai konflik antar perorangan dan antar kelompok sampai antar bangsa atau antar negara yang terkadang berakhir dengan adu kekuatan.
Selain konflik, terdapat pula berbagai dampak buruk pemanfaatan ruang yang kurang serasi. Sebagai contoh, pernah ada transmigrasi di Kalimantan Timur yang disarankan untuk pindah karena dibawah lahaan yang mereka tempari terdapat endapan batu bara. Di Medan pernah terdapat bangunan bertingkat yang harus dipotong karena membahayakan pesawat terbang yang mendarat dan tinggal landas di Bandara Polonia. Awal tahun 2002 ramai dibicarakan banjir besar di berbagai tempat. Banjir di Jakarta yang berlangsung lebih dari dua minggu, selain akibar hujan terus menerus, diperkirakan banjir tersebut diakibatkan pembangunan di lereng gunung antara Bogor dan Puncak, pembangunan rumah-rumah liar di bantaran sungaidi Jakarta serta penimbunan situ dan rawa penampungan air hujan untuk real estate di wilaya Jabotabek.
(22)
Selain itu, ada pula masalah yang timbul antara keterkaitan yang kurang serasi antara berbagai kegiatan yang terjadi diberdagai lokasi,yang menimbulkan arus lalu lintas dan barang dan alat angkunya. Sehubungan dengan hal itu kemacetan lalu lintas merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan, terutama di dalam dan di sekitar kota-kota besar.
Semua itu mestinya dapat dihindari melalui penataan ruang yang efektif. Jadi penataan ruang tidak lain dari usaha atau cara untuk memanfaatkan ruang dan sumberdaya di dalamnya dengan sebaik-baiknya, agar memberi keuntungan maksimal bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat dengan dampak negatif sekecil mungkin. Penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan lingkungan serasi, seimbang dan lestari serta menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran, kesehatan dan efisiensi, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.2.2 Penataan Ruang Sebagai Proses yang Berkelanjutan
Penataan ruang merupakan proses yang meliputi tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian dalam pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang sebagai acuan tahap berikutnya. Perencanaan tata ruang didasarkan pada perkiraan kebutuhan dan keadaan masyarakat masa mendatang yang tidak terlalu tepat di prediksi. Peninjauan kembali rencana tata ruang dapat berakibat mengubah pemanfaatan ruang yang sudah dilaksanakan maupun yang masih berupa rencana.
Selain itu, penataan ruang juga mengkin perlu perubahan pemanfaatan ruang dengan memindahkan kegiatan lama yang kurang sesuai dengan lingkungan dan mengganti dengan yang baru. Contoh di Osaka Jepang terdapat areal industri yang cukup luas dikelilingi areal perumahan, sebagai akibatnya justru menimbulkan berbagai gangguan bagi masyarakat dan lingkungan. Pemerintah kota memutuskan untuk memindahkan industri tersebut ke tempat lain. Di lokasi tempat industri tersebut dibangun perumahan bertingkat tinggi dengan taman luas, jaringan jalan serta berbagai fasilitas lingkungan yang diperlukan sesuai dengan rencana tata ruang yang terakhir.
Di Indonesia hal itu pernah dilakukan, antara lain program perbaikan kampung, program peremajaan perumahan kumuh serta tukar guling aset
(23)
pemerintah dengan swasta untuk bangunan komersial. Selain itu adapula pemindahan perumahan karena akan dibangun proyek nasional yang penting. Di Jakarta misalnya, terjadi pemindahan penduduk dari Senayan ke Tebet dan Slipi saat di Senayan akan dibangun fasilitas olahraga untuk penyelenggaraan Asean Games.
2.2.3 Konsep Penataan PKL
Konsep pola penataan PKL didasarkan atas: (1) paduan kepentingan PKL, Warga Masyarakat Kota, dan Pemkot menurut tinjauan aspek ekonomi, sosial dan hukum, (2) tingkat keterkaitan usaha PKL dengan lingkungan dan pembeli, dan (4) rencana pembelian. Konsep pola penataannya dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel II.1
Konsep Pola Penataan PKL Berdasarkan Tinjauan Aspek Ekonomi, Sosial dan Hukum
Keinginan PKL
Keinginan
Warga Keinginan Pemkot Konsep Penataan
1 2 3 4
Tinjauan Aspek Ekonomi Kesempatan berusaha
dalam perdagangan barang dan jasa yang dijamin oleh Pemerintah dengan Jaminan perlindungan, pembinaan dan pengaturan
- Terpenuhinya beberapa kebutuhan dari
pelayanan PKL
- Terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat kota
- Terciptanya usaha mandiri sebagai bentuk kreatifitas usaha rakyat kecil - Terciptanya lapangan
kerja di sektor informal yang dapat mengurangi angka pengangguran
Memberdayakan usaha sektor informal PKL dengan jaminan perlindungan, pembinaan dan pengaturan usaha agar lebih berdaya guna dan berhasil guna serta dapat
meningkatkan kesejahteraan PKL khususnya dan masyarakat kota umumnya. Mendapat penghasilan
yang cukup dari usaha sektor informal PKL
Pendapatan bagi warga sekitar lokasi PKL - Meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota yang signifikan.
- Peningkatan kesejahteraan warga kota.
- Restribusi untuk sumber PAD
Pemkot beserta seluruh elemen masyarakat mendukung usaha PKL dengan menciptakan kondisi yang kondusif dan melakukan pembinaan
dan upaya mengembangkan kemampuan manajerial, agar usaha PKL lebih berkembang Usaha PKL menjadi
pekerjaan pokok yang berkembang
Layanan jasa PKL lebih baik Dan memuaskan
- Prospek pertumbuhan ekonomi kota terjamin
- Beban sosial Pemkot lebih ringan.
Pemkot beserta stakeholders kota menjalin kerjasama dalam permodalan dan kemitraan usaha dengan PKL yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Tinjauan Aspek Sosial Alternatif usaha bagi
mereka yang tidak memiliki kesempatan
Peluang kerja di luar sektor formal
Sebagai katup pengaman sosial, khususnya dalam
Memberdayakan usaha PKL agar dapat menampung tenaga kerja
(24)
Keinginan PKL
Keinginan
Warga Keinginan Pemkot Konsep Penataan
1 2 3 4
bekerja di sektor formal. mengurangi pengangguran Bekerja dengan damai
tanpa ada konflik lingkungan
Lingkungan asri dan aman
Program SALA BERSERI menuju TRI KRIDA UTAMA berjalan dengan baik
- Penyuluhan tentang waktu usaha, tempat usaha dan sarana usaha yang menjamin keindahan dan keamanan yang mendukung program Pemkot.
- Penyuluhan sadarkum sebagai pembinaan non-phisik, agar PKL dapat menjalin hubungan serasi dengan lingkunganan tempat usaha dengan prinsip tidak ada yang merasa dirugikan.
Tempat usaha yang strategis yang marketable
- Mudah untuk memenuhi kebutuhan dari layanan PKL - Kota tetap asri dan kehidupan masyarakat aman, dan tertib Terjaminnya kehidupan perkotaan yang tertib, aman dan damai bagi seluruh warga kota dan warga pengunjung.
- Penyuluhan Sadarkum sebagai pembinaan non-phisik agar PKL
bertanggungjawab terhadap ketertiban kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan di sekitar tempat usaha
- Pengaturan tempat usaha PKL yang menjamin ketertiban, keamanan dan keindahan kota, serta menunjang program pemerintah menjadikan Kota Sala sebagai kota budaya, pariwisata dan olahraga.
Tinjauan Aspek Hukum Kepastian hukum atas
usaha dan lokasi tempat berdagang yang tidak akan digusur serta memiliki akses untuk mencari modal dari lembaga pembiayaan formal (Bank)
- Lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kota yang asri dan tertib - Tersedianya fasilitas
umum yang memadai
- Mengarahkan usaha sektor informal menjadi sektor formal
- Ketaatan warga kota terhadap
peraturanperaturan yang berlaku, seperti PERDA, RUTRK dan program SALA BERSERI.
- Menjamin pelayanan untuk seluruh warga kota dalam
mendapatkan fasilitas umum
- Program legalisasi usaha dan penempatan lokasi tanah kekayaan negara dengan menerbitkan ijin
- Menyusun Perda dan atau peraturan-peraturan lainnya tentang penataan PKL yang mengakomodasi
kepentingan para PKL dan warga kota, sehingga lebih solutif dan akseptabel
(25)
Tabel II.2
Penataan Penempatan Lokasi Usaha
Menurut Tingkat Keterkaitan Usaha Dengan Lingkungan dan Pembeli Tingkat
Keterikatan dengan Pembeli
Contoh
Jenis Usaha Konsep Penataan
Keterikatan dengan lingkungan dan pembeli tinggi Jasa, fotokopi, rental komputer, Jasa penjilidan karya ilmiah, Warung Makan tidak terkenal, Bumbon
1. Lokasi usaha dekat dengan pembeli
2. Jam usaha sesuai dengan aktivitas lingkungan dan pembeli
3. Memerlukan lahan sesuai jenis dan besarnya usaha . 4. Kadang memerlukan bangunan permanen yang
menjamin keamanan atas peralatan usaha, kadang tidak sesuai karakteristik usaha.
5. ada yang memerlukan aliran listrik sebagai penunjang aktivitas usaha.
6. Memerlukan sarana toilet umum 7. sebagian memerlukan lahan parkir.
8. Dapat diformat pada konsep penataan kawasan tetapi bersifat menyebar, bukan model pasar.
9. Memerlukan modal cukup besar. Keterikatan dengan lingkungan dan pembeli tidak tinggi Warung makan dan minuman terkenal, Warung Rokok, Kios penjual koran, Kios Bensin, Tambal ban,
1. Lokasi usaha tidak mutlak harus berdekatan dengan lokasi pembeli
2. Sebagian memerlukan tempat strategis sering dilewati dan dilihat pembeli serta mudah diakses dan sebagian tidak terlalu membutuhkan.
3. Jam usaha sesuai keinginan PKL.
4. Memerlukan lahan usaha variatif sesuai jenis dan besarnya usaha. Untuk warung makan perlu minimal 1,5 x 3 m, dan untuk usaha lain sesuai dengan kebutuhan.
5. Sarana usaha dapat berupa gerobak dorong atau bangunan knock down atau bangunan semi pernanen dan permanen sesuai jenis usaha.
6. Sebagian memerlukan lahan parkir minimal 1 x 3 meter. 7. Tidak dapat diformat pada penataan model konsep
kawasan.
8. Sebagian memerlukan modal besar, dan sebagian tidak. Sumber:Budi Sutrisno, Joko Suwandi, dan Sundari, 2007,172
Tabel II.3
Konsep Penataan Lokasi Usaha PKL Menurut Rencana Pembelian Jenis Pembeli Contoh Jenis Usaha Konsep Penataan Pembeli pada usaha
PKL tidak merencanakan pembelian terlebih dahulu dan tidak pilihpilih pedagang/ incidental buyers.
Semua jenis usaha terutama untuk memenuhi kebutuhan sangat mendesak dan harus segera dipenuhi saat itu. Contoh; tambal ban, bengkel, kios bensin, kios rokok, kios koran, stan voucher, kios sebagian warung makanan dan minuman siap saji,
Tempat usaha dilalui banyak orang, seperti tepi jalan umum, tempat keramaian (sekolah, tempat hiburan/olahraga, lingkungan pusat perbelanjaan, pasar, dll) dengan pola penataan dengan sarana
berdagang yang tidak merusak keindahan dan tidak menimbulkan kemacetan, dengan rincian:
1. Lokasi usaha strategis, sering dilewati calon konsumen dan menyebar (tidak diformat dalam satu kawasan) sesuai potensidan tidak mengakibatkan kemacetan dan merusak keindahan lingkungan.
2. Sarana dagang berupa gerobak dorong dengan etalase yang menarik dan mobile.
(26)
Jenis Pembeli Contoh Jenis Usaha Konsep Penataan kios kios pakaian, dan
sebagainya
3. Jam usaha tidak dibatasi disesuaikan dengan keinginan PKL
4. Tidak disediakan lahan parkir khusus.
5. Secara rutin diberikan penyuluhan dan pembinaan kepada PKL untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kesadaran PKL atas kebersihan lingkungan, keamanan dan ketertiban
Pembeli merencanakan pembelian terlebih dahulu sebelumnya, sehingga telah memiliki gambaran pedagang mana yang akan dituju /Planned buyers
Semua jenis PKL yang memiliki kekhasan/ spesifikasi produk Contoh : Klitikan, warung makanan & minuman terkenal, jasa reparasi, bengkel terkenal, pedagang kemasan, foto copy, penjilidan, rental komputer
Menggunakan penataan model kawasan dengan akses jalan dan transportasi yang mendukung, dengan rincian :
1. Lokasi usaha dikonsep dengan model kawasan, sehingga tidak mutlak harus berdekatan dengan lokasi konsumen.
2. Tempat usaha mudah diakses pembeli.
3. Jam usaha dapat dibatasi atau tidak dibatasi sesuai keinginan PKL.
4. Lahan usaha disediakan dengan luas tertentu sesuai jenis usaha, seperti untuk warung makan memerlukan minimal 1,5 x 3 meter, sedangkan untuk usaha yang lain menyesuaikan dengan kebutuhan.
5. Sarana usaha dapat berupa gerobak dorong atau bangunan knock down atau bangunan semi permanen 6. Disediakan aliran listrik bagi yang butuh
7. Disediakan sarana air bersih dan toilet. 8. Disediakan lahan parkir yang cukup.
9. Secara rutin diberikan penyuluhan dan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kesadaran PKL atas kebersihan lingkungan, keamanan dan ketertiban.
Sumber:Budi Sutrisno, Joko Suwandi, dan Sundari, 2007,173
2.2.4 Penataan Pedagang Berdasarkan Teori Penataan Pasar Tradisional Sebagai perancangan atau penataan fasilitas publik pada umumnya, proses penataan pembangunan pasar sangat terikat pada teori, standar dan pengaturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga unsur ini tergabung dalam kajian pasar tradisional yang berfungsi sebagai panduan bagi penataan pasar trasional. Secara garis besar kajian ini terdiri dari kajian non fisik dan fisik.
2.2.4.1Non Fisik
A. Pengertian pasar
Brian Berry dalam bukunya Geografi of Market (dalam Astonik, 1967) menyatakan bahwa pasar adalah tempat dimana terjadi proses tukar menukar. Proses ini terjadi bila ada komunikasi antara penjual dan pembeli dan diakhiri dengan keputusan untuk membeli barang tersebut. Pasar akan selalu mengalami perubahan, terutama secara fisik, mengikuti perubahan tingkah laku penggunanya.
(27)
Menurut Alice G. Dewey (dalam Astonik, 2008) perkembangan fisik pasar berasal dari pertukaran barang antara pihak yang saling membutuhkan di suatu tempat tertentu dan pada waktu tertentu, yang kemudian berkembang menjadi sekumpulan pedagang yang mengambil tempat tertentu dengan menyediakan fasilitasnya sendiri. Perkembangan pasar di Indonesia pada umumnya bermula dari pasar tradisional, yang kemudian seiring dengan waktu berubah menjadi pasar modern. Menurut Bagoes P. Winyomartono (dalam Astonik, 2008) pasar tradisional adalah kejadian yang berkembang secara priodik, dimana yang menjadi sentral adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Pasar berasal dari kata peken yang berarti kumpul. Fungsi ekonomi pasar terjadi saat jual beli, dan fungsi sosial pasar terjadi saat tawar menawar.
Berdasarkan jumlah penduduk yang dilayaninya, pasar dikelompokan ke dalam tiga kelas, yaitu:
• Pasar lingkungan, melayani penduduk yang diataranya sampai dengan 30.000 jiwa.
• Pasar wilayah, melayani penduduk antara 30.000 – 120.000 jiwa. • Pasar induk, melayani penduduk di atas 120.000 jiwa.
Berdasarkan jenis kegiatannya pasar dikelompokan kedalam tiga jenis, yaitu:
• Pasar Grosir, adalah pasar dimana dalam kegiatannya terdapat permintaan
dan penawaran barang dan jasa dalam jumlah besar.
• Pasar Induk, adalah pasar yang dalam kegiatannya merupakan pusat pengumpulan, pelelangan dan penyimpanan bahan-bahan pangan untuk disalurkan ke pasar lain.
• Pasar Eceran, adalah pasar yang dalam kegiatannya terdapat permintaan dan penawaran barang dan jasa secara eceran.
B. Komoditas Pasar Tradisional
Penempatan dan pengaturan komoditas pasar merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penataan pasar tradisional. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penempatan komoditas pasar antara lain adalah:
(28)
• Pemisahan yang jelas antara komoditas yang menghasilkan bau dan yang tidak tidak menghasilkan bau
• Penempatan komoditas yang bersifat massal, seperti beras, dan gula pada bagian yang berdekatan dengan loading dock untuk memudahkan proses bongkar muat dan tidak mengganggu kegiatan pasar lainnya.
Penempatan masing-masing komoditas ini berkaitan erat dengan sistem utilitas (drainase dan sirkulasi udara) di dalam pasar. Pengelompokan komoditas ini juga memberikan keuntungan pada proses perencanaan pasar. Misalnya dengan ditentukannya lokasi pasar basah dan pasar kering maka air bersih dan pembuangan air kotor dapat ditentukan, sehingga diperoleh efisiensi pada pemipaan. Komoditas kebutuhan sehari-hari merupakan magnet utama dalam sebuah pasar, sedangkan komoditas sekunder dan tersier hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu. Agar pengunjung dapat terdistribudi dengan baik dan tidak terpusat hanya dibagian komoditas sehari-hari, maka komoditas primer ini ditempatkan di akhir jalur sirkulasi. Jalur sirkulasi sebelum menuju komoditas lainnya yang lebih bersifat kebutuhan sekunder, tesier ( barang mewah, seperti elektronik) dan kebutuhan berkala (toko kelontong)
2.2.4.2Fisik
A. Sirkulasi Pejalan Kaki
Kondisi pasar di Indonesia sangat unik, terutama dengan perilaku pengguna dalam kegiatan jual beli. Toko/kios seringkali menempatkan barang dagangannya di luar kios yang dimiliknya (ekspansi), sehingga mengurangi area jalur pejalan kaki (pedestrain) untuk pembeli. Kondisi ini mengganggu sistem sirkulasi yang berpotensi menimbulkan kemacetan dan penumpukan sirkulasi pembeli pada satu area tertentu. Akibatnya pembeli tidak bisa melihat, memilih, menawar dan membeli dengan leluasa ( Astonik, 2008)
Keleluasan ruang sirkulasi terkait dengan teritori ruang, dimana teritori adalah wilayah kekuasaan yang menjadi hak milih seseorang atau kelompok orang agar dapat melakukan kegiatan dengan leluasa. Teritori ini menyangkut masalah kepemilikan, penggunaan, pengawasan dan pemeliharaan suatu tempat (J.S. Nimpoeno, 1996).
(29)
Teritori yang terbentuk pada pasar secara umum adalah:
• Teritori utama, yaitu, teritori yang kepemilikannya tunggal, misalnya ruang pamer toko
• Teritori sekunder, yaitu teritori yang lebih longgar pemakaian dan pengawasannya, misalnya area tawar menawar
• Teritori umum, yaitu teritori yang dapat dimanfaatkan oleh semua pengguna, misalnya jalur sirkulasi
Untuk kegiatan pejalan kaki dibutuhkan lebar jalan minimal 2 X 875 =1750 mm ditambah ruang pandang, ruang transaksi dan sosial (jual-beli, tawar-menawar) dan sebagainya sampai 1200 mm (2 sisi) sehingga total lebar jalur adalah 1750 =1200 = 2950 mm. Untuk kios/toko ditambah dengan ruang perluasan (ekspansi) sampai dengan 900 mm/kios.
B. Dimensi Ruang
Dimensi ruang berkaitan erat dengan teori jarak sosial dan teoti kesesakan. Menurut Edward T. White dalam Astonik, 2008, jarak sosial mata social distance terbagi kedalam empat kelompok, yaitu:
• Jarak yang intim, antara 15-45 cm, untuk ucapan yang intim.
• Jarak pribadi, antara 45-120 cm, yang bersangkutan dengan urusan pribadi • Jarak sosial, antara antara 120-360 cm, untuk urusan formal
• Jarak publik, diatas 360 cm, untuk berbicara di depan publik
Teori kesesakan adalah adanya peningkatan suatu hubungan timbal balik antar pengguna yang tidak terkendali pada suatu tempat. Kesesakan merupakan kesenjangan antara luas ruang dengan jumlah pengguna. Pengurangan luasan ruang akan mengakibatkan kekacauan pada perilaku, yang berakibat pada tekanan jiwa. Menurut Paul A. Bell 1976, akibat tekanan sosial yang berat akan berpengaruh pada perubahan perilaku sosial, seperti daya tarik pribadi, penarikan diri, perilaku menyimpang dan penyerangan. Setiap orang memiliki naluri untuk menghindari kesesakan untuk mengatur diri dalam berinteraksi sosial guna mendapatkan rasa aman. Kesesakan yang eringkali dihindari antara lain adalah:
• Gerak orang lain yang tidak diinginkan
(30)
• Hubungan antar manusia yang tidak diinginkan
• Jumlah kegiatan yang berlebihan
• Tata tertib yang terlalu berat
Standar kebutuhan ruang perorang pada lokasi pertokoan dan sarana penunjang pertokoan minimal adalah 5 m²/orang. Tinggi lantai berpengaruh juga pada persepsi tentang kesesakan. Karena itu ditetapkan standar yang mengatur batas ketentuan ketinggian yang diizinkan untuk bangunan-bangunan umum oleh pemerintah setempat. Untuk tempat jual beli, tinggi ruang minimal adalah 3 m.
C. Pintu Masuk Dan Pintu Keluar
Pada bangunan dengan luas lebih dari 1500 m² dan seluruh lantai tersebut dipergunakan seluas-luasnya maka harus dilengkapi dengan beberapa pintu masuk dan pintu keluar yang letaknya dapat dijangkau dengan mudah. Jarak dari pintu masuk ke semua arah jurusan minimal 25 m, lebar selasar harus disesuaikan sehingga bisa dilalui oleh alat pemadam kebakaran,jari-jari tikungan untuk berbelok pada ruang luar ± 17 m dan jalan tersebut dapat menahan beban ± 10,1 ton.
D. Fasilitas Dukungan Keselamatan
Ancaman utama terhadap keselamatan pengguna gedung pertokoan adalah bahaya kebakaran. Bahaya kebakaran bagi pengguna dipisahkan dalam tiga bantukancaman, yaitu bahaya akibat panas, bahaya akibat asap, dan bahaya akibat gas beracun. Bahaya akibat panas kebakaran akan menurunkan kemampuan fisik manusia sebelu terbakar; bahaya akibat asap akan mengurangi jarak pandang sehingga waktu untuk menyelamatkan diri terhambat; bahaya akibat kandungan gas beracun akan menurunkan fungsi organ penting manusia.
Untuk itu, maka setiap bangunan publik, termasuk kawasan pertokoan harus memiliki sistem evaluasi kebakaran. Sistem evaluasi kebakaran pada bangunan adalah sistem yang mampu memindahkan/ mengungsi pemakai dari dalam bangunan yang terbakar menuju tempat aman, baik di dalam (sementara) maupun di luar bangunan. Keberhasilan suatu sistem evaluasi kebakaran di pengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
(31)
• Sistem proteksi aktif, yaitu keberadaan sistem pemadam kebakaran seperti sprinkler, hidrant, alarm dan sebagainya.
• Sistem proteksi pasif, yaitu terkait dengan desain bangunan
• Manajemen penyelamatan dari bahaya kebakaran.
Salah satu bentuk sistem proteksi pasif adalah sarana jalan keluar/evaluasi. standar kontruksi bangunan Indonesia (SKBI) menjelaskan bahwa jalan keluar adalah sarana menyelamatan dari dalam bangunan ke luar, baik secara vertikal maupun horizontal, yang dapat berupa bukaan pintu, tangga pelindung/tangga kebakaran, lorong/koridor atau kombinasinya. Penempatan sarana jalan harus jelas terlihat, mudah ditemukan dan dapat dicapai tampa hambatan.
Rute/jalur penyelamatan (horizontal) di dalam bangunan harus dirancang sedemikian rupa agar pengguna bangunan dapat keluar dengan cepat pada keadaan darurat. Jarak pencapaian maksimum jalan keluar untuk bangunan komersial (termasuk pertokoan dan perkantoran) yang disyaratkan oleh SKBI adalah 45 m untuk ruangan yang tidak memiliki sprinkler dan 60 m untuk ruang dengan fasilitas sprinkler. Jarak pencapaian ini diukur dengan dari titik terjauh di dalam ruangan menuju daerah aman di lantai yang sama.
2.3 Pedagang Kaki Lima (PKL) 2.3.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima
PKL adalah setiap orang yang menawarkan atau menjual barang dan jasa dengan cara berkeliling (Wawoerontoe, 1995). Istilah kaki lima yang selama ini dikenal dari pengertian trotoar yang dahulu berukuran 5 kaki (5 kaki = 1,5 meter). Biasanya PKL mengisi pusat-pusat keramaian seperti pusat kota, pusat perdagangan, pusat rekreasi, hiburan, dan sebagainya (Ardiyanto, 1998). Jadi PKL merupakan semua bentuk usaha atau pekerjaan yang berupa kegiatan ekonomi yang dilakukan di tempat-tempat atau tepi jalan-jalan umum yang pada dasarnya tidak diperuntukan bagi kegiatan ekonomi.
(32)
2.3.2 Penggolongan Pedagang Kaki Lima
Aktivitas sektor informal dapat dikategorikan berdasarkan sarana fisik yang di peruntukan dalam usanya. Sarana fisik tersebut dikelompokan berdasarkan:
1. Jenis barang dan jasa 2. Jenis ruang usaha
3. Jenis sarana usaha dan ukuran ruangnya.
Sarana fisik yang digunakan PKL dalam mendukung aktivitas perdagangannya sehari-hari dapat dilihat sebagai berikut:
2.3.2.1 Jenis Barang dan Jasa
Kategori aktivitas jasa sektor informal berdasarkan jenis barang dan jasa yang dijajakan, yaitu:
• Makanan dan minuman
• Kelontong
• Pakaian/tekstil
• Buah-buahan
• Rokok/obat-obatan
• Majalah/koran
• Jasa perorangan
Jenis barang dan jasa tersebut dapat dikelompokan kembali menjadi tiga macam kebutuhan, yaitu:
• Kebutuhan primer terdiri dari makanan dan minuman
• Kebutuhan sekunder terdiri dari kelontong, pakaian/tekstil, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan majalah/koran
• Kebutuhan jasa yaitu jasa perorangan
Setiap jenis barang dan jasa tersebut dapat diperinci lebih jauh, misalnya saja kelontong terdiri dari alat-alat rumah tangga, mainan anak, barang elektronik, aksesoris dan sebagainya. Demikian pula jasa perorangan dapat berupa tukang stempel tukang kunci, reparasi jam, tambal ban dan sebagainya.
(33)
2.3.2.2Jenis Ruang Usaha
Aktivitas jasa sektor informal menempati ruang yang terdiri dari ruang umum dan ruang privat. Uraian dari kedua jenis tersebut adalah sebagai berikiut:
Ruang Umum
Jenis ruang yang dimiliki oleh pemerintah sebagai ruang yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat luas. Contoh ruang umum adalah taman kota, trotoar, ruang terbuka, lapangan dan sebagainya. Termasuk pula fasilitas/sarana yang terdapat di ruang umum seperti halte, jembatan penyebrangan dan sebagainya.
Ruang Privat
Jenis rung yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, misalnya lahan pribadi yang dimiliki oleh pemilik pertokoan, perkantoran dan sebagainya.
2.3.2.3Jenis Sarana Usaha dan Ukuran Ruangnya
Aktivitas jasa sektor informal dapat dikelompokan berdasarkan jenis usahanya, yaitu:
Gerobak/kereta dorong
Bentuk aktivitas jasa sektor informal yang menggunakan gerobak/kereta dorong dibagi atas dua macam yaitu gerobak/kereta dorong yang tampa atap dan gerobak/kereta dorong yang menggunakan atap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh panas, debu, hujan dan sebagainya.
Pikulan
Bentuk aktivitas jasa sektor informal yang menggunakan sebuah atau dua buah keranjang dengan cara dipikul. Bentuk pikulan ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas jasa informal keliling atau semi menetap, biasanya dijumpai pada jenis makanan dan minuman.
Warung semi permanen
Bentuk aktivitas jasa informal yang terdiri atas beberapa gerobak/kereta dorong yang telah diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan bangku-bangku panjang dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain terpal, plastik atau bahan kain lainnya yang tidak tembus air.
(34)
Jongko/meja
Bentuk aktivitas jasa informal yang menggunakan jongko/meja sebagai sarana usahanya. Bentuknya ada yang tampa atap dan ada pula yang beratap untuk melindungi pengaruh dari luar. Berdasarkan sarana usaha tersebut maka jasa sektor informal ini tergolong memiliki aktivitas jasa menetap. Kios
Bentuk aktivitas jasa informal yang menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen. Para penjajanya juga biasanya bertempat tinggal di dalamnya. Berdasarkan sarana usaha tersebut maka aktivitas jasa sektor informal ini digolongkan sebagai aktivitas jasa menetap.
2.3.2.4Ciri-ciri Pedagang Kaki Lima
Ciri-ciri pedagang kaki lima (Gusmulyadi, 1994). Dapat didefinisikan berdagasarkan pada barang dan jasa yang diperdagangkan. Ciri-ciri tersebut sebagai berikut:
1. Penggolongan pedagang kaki lima didasarkan pada jenis-jenis barang dan jasa meliputi:
a) Makanan dan minuman, berlokasi di sekitar kawasan perdagangan,
rekreasi dan hiburan
b) Rokok dan obat-obatan, berlokasi di kawasan perdagangan, rekreasi, dan hiburan.
c) Buah-buahan, berlokasi di kawasan perdagangan, rekreasi dan hiburan d) Pakaian dan perlengkapannya,berlokasi di kawasan perdagangan, rekreasi
dan hiburan
e) Buku, surat kabar dan majalah, berlokasi di sekitar kawasan perkantoran rekreasi dan hiburan
f) Jasa dan perlengkapan kantor berlokasi di sekitar kawasan perdagangan dan perkantoran
g) Barang seni dan barang kerajinan, berlokasi disekitar kawasan
perkantoran, rekreasi dan hiburan
(35)
i) Bensin dan tambal ban, berlokasi di sekitar perdagangan dan perkantoran 2. Pola penampilan atau sarana berdagang yaitu: Gerobak/kereta dorong,
pikulan, warung semi permanen, gelasan/alas, jongko/meja, dan kios. 3. Sifat barang dagangan , yang digolongkan atas 2 golongan, yaitu:
a) Barang keping, biasanya dengan jenis barang yang dimilki sifat yang tahan lama seperti tekstil dan obat-obatan
b) Barang basah, umumnya barang jenis ini tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama seperti minuman dan makanan
4. Sifat pelayanan pedagang kaki lima tergantung pada sifat dan komunitas barang yang meliputi:
a) Pedagang menetap (static), yaitu suatu bentuk pedagang kaki lima yang mempunyai cara/sifat dalam melayani konsumennya dengan menetap disuatu lokasi tertentu. Dalam hal ini pembeli/konsumen harus datang sendiri ke lokasi tersebut.
b) Pedagang semi menetap (semi static), yaitu suatu bentuk pedagang kaki lima yang mempunyai cara/sifat dalam melayani konsumen dengan menetap sementara hanya pada saat-saat tertentu saja. Dalam hal ini akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli (hari minggu/libur). c) Pedagang keliling (mobile), yaitu suatu bentuk pedagang kaki lima yang
mempunyai cara/sifat dalam melayani konsumennya untuk selalu berusaha mendatangi atau mengejar konsumen. Biasanya sifat pedagang ini mempunyai volume dagangan kecil.
Adapula definisi pedagang kaki lima menurut Hidayat (1991) yang mencirikan PKL seperti:
1. Kegiatan usaha yang tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya kegiatan usaha ini tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor informal
2. Pada umumnya unit usaha tersebut tidak memiliki izin usaha
3. Umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi
lemah tidak sampai ke sektor ini
4. Pada kegiatan yang tidak teratur, baik dari segi waktu maupun tempat melakukan usahanya dan umumnya tidak memiliki izin usaha.
(36)
5. Teknologi yang digunakan masih bersifat primitif
6. Ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan usahanya tidak perlu pendidikan formal, tetapi dari pengalaman sambil bekerja dapat dipakai
7. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak perlu
pendidikan formal karena pendidikannya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja
8. Sumber dana biasanya diperoleh dari pinjaman (lembaga keuangan tidak resmi) atau milik sendiri
9. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota atau desa berpenghasilan rendah dan kadang-kadan juga berpenghasilan menengan.
10.Unit usaha mudah keluar dan masuk dari sub sektor yang satu ke sub sektor yang lain.
2.3.3 Penyebaran Fisik Sektor Informal
Aktivitas jasa sektor informal dapat ditinjau dari sudut pola penyebarannya. Ada dua pola umum penyebaran fisik aktivitas sektor informal, yaitu
2.3.3.1Pola Penyebaran Memanjang ( Linier Concentrations)
Pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Aktivitas sektor informal dengan pola penyebaran memanjang terjadi disepanjang/pinggir jalan utama atau pada jalan-jalan penghubung. Alasan pedagang kaki lima memilih lokasi tersebut adalah karena aksesibilitas yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen. Aksesibilitas dengan pola penyebaran memanjang biasanya terdiri dari barang kelontong, pakaian/tekstil, majalah/koran dan sebagainya.
2.3.3.2Pola Penyebaran Mengelompok (focus aglomeration)
Aktivitas sektor informal dengan pola penyebaran ini dijumpai pada ruang-ruang terbuka seperti taman, lapangan dan sebagainya. Pola penyebaran mengelompok ini dipengaruhi oleh pertimbangan faktor aglomerasi yaitu
(37)
keinginan para pedagang untuk melakukan pemusatan/pengelompokan pedagang sejenis dengan sifat dan komunitas sama untuk lebih menarik minat pembeli. Aktivitas dengan pola penyebaran seperti ini biasanya terdiri dari pedagang jenis makanan dan minuman.
Pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar dibidang penyerapan tenaga kerja, pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan. Potensi yang positif ini bila dikembangkan dengan baik bisa ditingkatkan menjadi pengusaha kecil, sehingga memiliki potensi yang besar dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi terbuka, transparan, adil dan demokratis serta akan memberikan kentribusi yang cukup baik terhadap perekonomian daerah dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi perdagangan, misalnya para pekerja disektor informal (pedagang kaki lima) berperan dalam membantu kelancaran distribusi usaha perdagangan dan industri.
2.3.4 Pola Kegiatan Pedagang Kaki Lima
Secara umum pola kegiatan pedagang kaki lima (Gusmulyadi, 1994) dikelompokan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Pola pembanding, pola dimana para pedagang cenderung menuju
kawasan-kawasan yang mempunyai kegiatan sama jenisnya dengan usaha yang dilakukan, misalnya penjualan jenis bumbu masakan atau sayur-sayuran di sekitar pasar.
2. Pola komplementer, pola dimana pedagang kaki lima disuatu lokasi
membuka peluang untuk menumbuhkan jenis-jenis sektor informal lainnya seperti pedagang kaka lima yang menjuan makanan/minuman.
3. Pola bebas, dimana pola ini berkaitan dengan pedagang kaki lima di suatu
lokasi hanya sekedar agar mudah untuk dikenali.
Permasalahan pedagang kaki lima dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu permasalahan yang ditimbulkan oleh pedagang kaki lima terhadap lingkungan sekitarnya dan permasalahan yang dihadapi oleh pedagang kaki lima dalam melakukan kegiatan usahanya. Permasalahan yang ditimbulkan olen pedagang kaki lima terhadap lingkungan antara lain menggangu ketertiban dan kelancaran lalu lintas, keindahan dan kebersihan serta kenyamanan dan keamanan
(38)
lingkungan. Permasalahan yang dihadapi pedagang kaki lima dalam melakukan usahanya dapat dibedakan 2 (dua) permasalahan, yaitu:
1. Permasalahan eksternal PKL, yaitu:
a) Banyaknya pesaing dalam usaha sejenis
b) Sarana dan prasarana usaha yang tidak memadai
c) Belum adanya pembinaan
d) Akes terhadap kredit yang masih sukar dan terbatas 2. Permasalahan internal PKL, yaitu:
a) Lemah dalam struktur pemodalan
b) Lemah dalam bidang organisasi dan manajemen
c) Terbatas dalam jumlah komoditi yang dijual d) Tidak ada kerja sama usaha
e) Pendidikan dan keterampilan usaha yang rendah
f) Kualitas sumberdaya manusia yang kurang memadai
2.3.5 Keberhasilan Kota Dalam Usaha Penanganan Pedagang Kaki lima Pedagang kaki lima dalam menjalankan aktivitasnya umumnya menggunakan area publik yang bukan peruntukannya sehingga menimbulakan masalah-masalah bagi wajah kota seperti kesemrawutan dan kemacetan. Dari aktivitas ini menimbulkan konflik kepentingan yang terjadi karena PKL menggunakan trotoar sebagai area berdagang. Penggunaan trotoar sebagai area bergadang tersebut tentu saja menyebabkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki dan tidak sedikit dari aktivitasnya yang menempati kawasan-kawasan tertentu yang dianggap strategis justru seringkali menimbulkan kemacetan lalu lintas. Penanganan masalah PKL ini juga merupakan masalah yang penanganannya tidak hanya dengan cara penggusuran atau relokasi, sebab selain sulit menemukan tempat baru untuk menempatkan para PKL tersebut, juga masalah yang sering terjadi adalah PKL yang tidak bisa diatur dan sulit untuk diajak bekerjasama dengan pemerintah dalam usaha penataan kawasan perkotaan.
Umumnya PKL yang tidak bisa bekerjasama ini sudah merasa cukup menguntungankan berdagang di trotoar, ataupun tempat umum lain seperti taman sehingga tidak tersedia untuk dipindahkan ke tempat baru yang di sediakan oleh
(39)
pemerintah. Berikut ini terdapat beberapa contoh penataan kawasan yang berhasil dilakukan oleh pemerintah dibeberapa kota berikut ini:
1. Penataan Kawasan PKL di Trunojoyo Malang, Jawa Timur (Wikantiyoso,
2009)
Permasalah PKL Trunojoyo Malang Jawa Timur adalah masalah penggunaan RTH (Ruang Terbuka Hijau) sebagai area berdagang PKL. Pemerintah Kota Malang dalam usahanya mengembalikan ruang terbuka hijau pada fungsinya yaitu sebagai jantung kota atau paru-paru kota dan juga sebagai tempat yang nyaman untuk digunakan masyarakat untuk bersantai. Dalam usaha ini pemerintah menyadari bahwa penanganan PKL yang sudah menempati lokasi ini sejak 10 tahun terakhir bukan sebatas melakukan penggusuran tetapi juga harus menyediakan tempat yang baru bagi PKL untuk tetap dapat mencari sumber penghidupannya tersebut. Untuk menemukan lokasi yang baru juga menjadi pekerjaan yang sulit bagi pemerintah karena ketidaktersediaannya lahan untuk lokasi berdagang, ataupun juga jika ada lokasi baru itu merupakan tempat yang cukup jauh sehingga PKL tidak ingin berpindah dengan alasan tempat baru tersebut tidak strategis, jauh dari jangkauan masyarakat dan juga aksesibilitasnya untuk mencapai lokasi baru tersebutntidak memadai dan tidak seramai lokasi yang lama.
Dalam melakukan penataan PKL di Trunojoyo ini pemerintah mengambil pendekatan yang sangat kekeluargaan yaitu dengan mendatangi lokasi tersebut dan berbicara secara proaktif dengan PKL untuk bisa menggali harapan-harapan dari PKL sehingga bisa diambil jalan terbaik agar ruang terbuka hijau tetap seperti fungsinya dan juga PKL tidak kehilangan lahan pencaharian nafkahnya. Dari pendekatan tersebut ditemukan harapan PKL yaitu tidak bersedia dipindahkan akan tetapi bersedia di tata oleh pemerintah dengan cara apapun. Berdasarkan hasil pembicaraan tersebut akhirnya pemerintah membuat satu konsep penataan yang baik diharapkan tidak merugikan salah satu pihak yaitu dengan menggunakan tenda bongkar pasang yang disediakan oleh pemerintah dan disewakan pada PKL dengan harga terjangkau. Dengan konsep tenda bongkar pasang ini dianggap sebagai solusi yang baik karena PKL diijinkan dapat terus
(40)
berjualan di lokasi tersebut, dan secara estetika kawasan menjadi lebih rapi dari sebelumnya.
2. Penataan Kawasan PKL di Kawasan Blok M Kebayoran baru, Jakarta
Selatan (Pemerintah Kotamadya Jakarta Selatan, 2009)
Permasalahan PKL di Kawasan Blok M Kebayoran Baru Jakarta Selatan juga sama seperti permasalahan-permasalahan yang timbulkan oleh PKL di kawasan atau di kota lain. Permasalahan seperti kesemrawutan, kemacetan, dan kepadatan kawasan. Pemerintah Kota Jakarta Selatan dalam menangani penataan PKL di kawasan ini mengambil tindakan aktif dengan pemasukan program penataan ulang kawasan ini dalam RPJMD ( Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah) DKI Jakarta 2007-2012.
Konsep penanganan PKL ini dilakukan dengan cara tidak melakukan relokasi PKL akan tetapi membuat konsep penataan penetapan keseragaman sarana berdagang dan penetapan blok berdagang digolongkan berdasarkan jenis barang dagangannya agar kawasan ini menjadi lebih rapi. Selain penetapan blok berdagang dengan penggolongan jenis barang dagangan tersebut pemerintah juga menetapkan akan diprioritaskan lantai satu beberapa bangunan pertokoan yang ada sebagai tempat PKL. Hal ini dilakukan karena kawasan ini memang merupakan kawasan yang cukup padat dengan berbagai aktivitas seperti pendidikan, pusat bisnis, transportasi, hiburan dan juga merupakan sentra perdagangan. Oleh sebab itu pemerintah berinisiatif untuk membiarkan kegiatan PKL di kawasan ini tetap berlangsung tetapi dibuat satu penataan ulang kawasan dengan cara menetapkan keseragaman sarana berdagang dan penetapan blok bagi PKL. Hasil dari penataan tersebut, kawasan lebih rapi, indah dan nyaman.
3. Penataan Kawasan PKL di Kawasan Nusa Indah dan Pasar Sudirman
Pontianak (Pemerintah Kota Pontianak, 2009)
Permasalahan penanganan PKL di Kota Pontianak semakin menunjukan kemajuan kearah yang lebih baik yaitu dengan program penempatan PKL pada lokasi yang menjadi fasilitas umum yang aktivitasnya hanya berlangsung dari pagi sampai sore dan malam harinya dapat digunakan sebagai kawasan kuliner.
(41)
Penempatan kawasan ini dianjurkan oleh pemerintah untuk digunakan PKL dalam beraktivitas secara gratis.
Sebagai langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membuat konsep penataan pada kawasan tersebut dan kemudian dibicarakan langsung dengan PKL yang ada. Konsep penataan kawasan kuliner ini dibuat dan
diharapkan dapat memberikan keunikan bagi image Kota Pontianak dan
memberikan wadah bagi alternatif lapangan usaha dan juga untuk interaksi sosial masyarakat dengan menggunakan cara pendekatan akomodatif. Dalam mewujudkan konsep tersebut, pemerintah terlebih dahulu melakukan survey kelayakan dan sosialisasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar kawasan tersebut sehingga dapat dinilai kawasan tersebut layak untuk dijadikan kawasan perdagangan yaitu kuliner.
Dengan melakukan pendekatan akomodatif yang diusung oleh pemerintah tentu saja pemerintah juga harus menyediakan sarana ataupun fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti: lampu penerangan, perbaikan jalan, sistem drainase, tenda bongkar pasang, tempat sampah serta lokasi parkir. Dengan konsep disertai dengan ketersediaan pemerintah dalam menyediakan langsung fasilitas-fasilitas tersebut akhirnya disetujui oleh PKL yang menyambut baik konsep tersebut dan bersedia untuk pindah lokasi berdagang dari lokasi lama ke lokasi baru tersebut.
2.4 Pengertian Pariwisata 2.4.1 Definisi Pariwisata
Apabila ditinjau secara etimologi (Yoeti, 1996), pariwisata berasal dari bahasa Sansakerta yang mempunyai arti sama dengan pengertian tour yaitu perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kata “pariwisata” terdiri dari dua suku kata yaitu “Pari” dan “Wisata”.
• Pari, berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar, lengkap. • Wisata, berarti perjalanan, berpergian.
Kepariwisataan itu sendiri merupakan pengertian jamak yang diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata, dimana dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah tourism.
(42)
2.5 Pariwisata Belanja
2.5.1 Pengertian Pariwisata Belanja
Pariwisata belanja mempunyai dua kata yaitu pariwisata dan belanja. Pengertian pariwisata menurut Yoeti Oka (1996), merupakan suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (business) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Sedangkan pengertian belanja adalah uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan atau kebutuhan (www.KamusBahasaIndonesia.ogr).
Dalam pengertiannya maka terdapat definisi mengenai wisata belanja adalah perjalanan wisatawan ke suatu destinasi wisata, yang memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang belanja (disposable income) serta kemauan untuk membelanjakannya (www.budpar.go.id).
Jenis dan macam-macam periwisata belanja yang ada di Indonesia, antara lain:
1. Cibaduyut, Bandung (sentra sepatu)
Cibaduyut sudah terkenal di seluruh nusantara sebagai sentra pembuatan sepatu yang ada di Kota Bandung. Di Cibaduyut kita bisa mendapatkan sepatu berkualitas tinggi dengan harga yang tejangkau.
2. Cihampelas, Bandung ( sentra jeans)
Cihampelas adalah surganya belanja jeans di Kota Bandung. Di sepanjang jalan ini ramai oleh pusat pertokoan yang dikenal sebagai sentra jeans di Bandung.
3. Jl. H. Juanda, Bandung ( Kumpulan Factory Outlet di Kota Bandung)
Di Jl. H Juanda pengunjung bisa menikmati surganya belanja. karena di jalan inilah berderet Factory Outlet. Mulai dari Coconela, Grande, Jetset, Blossom, Glamor, Donatello, Raffles City, serta beberapa Factory Outlet yang ikut melengkapi wilayah Dago ini sebagai tempat wisata belanja yang ada di Kota Bandung.
(43)
Tanah Abang adalah salah satu pusat grosir terbesar di Asia Tenggara yang menyiapkan pakaian jadi maupun yang belum jadi. Sebagai tempat wisata belanja Terbesar di Indonesia, Tanah Abang di kunjungi dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan menengah ke bawah sampai menengah ke atas.
5. Pasar Glodok, Jakarta
Selain Tanah Abang, di Jakarta ada sebuah pusat pedagangan yang sering dikunjungi oleh penyuka wisata belanja, yakni pasar Glodok. Pasar yang dikenal orang sebagai sentra penjual aneka barang elektronik butan dan luar negri di Jakarta Barat ini telah ada sejah zaman Belanda.
6. Kawasan Malioboro, Yogyakarta
Di Kota Yogyakarta, dimana banyak orang menyebut kota ini memiliki sejuta kenangan, terdapat satu kawasan belanja legendaris, yakni Malioboro. Penamaan Maliboro diadopsi dari nama seorang kolonial inggris yang pernah menduduki Yogyakarta pada tahun 1811-1816 M, yakni Marlborough.
7. Pasar Klewer, Solo
Pasar klewer merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di Solo, Surakarta, Jawa Tengah. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini merupakan pusar perbalanjaan kain batik terlengkap, sehingga menjadi tempat rujukan kulakan pada pedagang, baik dari Yogyakarta, Surabaya, Solo dll.
2.6 Temporer/Temporary
Menurut kamus Oxford temporer/temporary adalah for only a short time (Oxford, 427). Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia temporer adalah sesuatu yang sifatnya untuk sementara waktu/bersifat tidak permanen (www.KamusBahasaIndonesia.org).
Suatu kegiatan dalam ruang memiliki ketergantungan terhadap waktu. Kegiatan sehubungan dengan waktu dapat dibedakan menurut jam kerja, jam aktivitas siang dan malam serta hari libur atau hari kerja. Kegiatan bertujuan dengan memanfaatkan sarana ruang publik sebagai wadah sangat bergantung pada
(1)
tampung tempat parkir ini, bisa menampung kendaraan bermotor sampai 500 kendaraan dan sekitar 50 kendaraan beroda empat.
• Titik dua
Tempat parkir pada titik dua terletak di samping Museum Pos dan Giro sebelah Selatan yang merupakan jalan penghubung antara Jalan Cimandiri dan Jalan Cilaki. Tempat parkir ini diperuntukan bagi pengunjung yang datang dari arah selatan Kawasan Gasibu yang melaluri Jalan Cimanuk. Daya tampung tempat parkir ini bisa menampung hingga 400 kendaraan bermotor, namun tempat parkir ini tidak bisa ditempati untuk memarkir kendaraan beroda empat karena lokasinya yang kurang memadai, untuk itu bagi pengunjung yang datang dari arah selatan yang menggunakan mobil atau kendaraan beroda empat dianjurkan untuk memarkir kendaraannya di tempat parkir titik satu dan titik tiga karena tempat parkir tersebut memiliki lokasi yang cukup luas untuk memarkir kendaraan beroda empat. • Titik tiga
Tempat parkir pada titik tiga terletak di sebelah Timur Jalan Diponegoro atau dari arah Pusda’i. Tempat parkir ini bertujuan untuk menampung kendaraan pengunjung yang datang dari arah Timur Kawasan Zona 3 (tiga) atau Kawasan Gasibu pada umumnya. Daya tampung tempat parkir ini bisa menampung hingga 500 kendaraan bermotor dan sekitar 70 kendaraan beroda empat.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Setelah melakukan identifikasi dan analisis mengenai penataan pedagang kaki lima di Kawasan Gasibu dan sekitarnya pada hari Minggu pagi sebagai wisata belanja temporer, maka dalam bab ini penulis menutup dengan kesimpulan disertai dengan rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Bab ini juga memberikan kelemahan penelitian dan anjuran studi lanjutan untuk penelitian-penelitian lain yang akan dilakukan.
5.1 Kesimpulan
Jenis dagangan yang dijual oleh pedagang bermacam-macam seperti makanan, pakaian, aksesoris, peralatan rumah tangga, sayur-sayuran, alas kaki, buku dan lain sebagainya, dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda pula berdasarkan jenis dagangannya. Sedangkan motifasi pedagang untuk berjualan di Kawasan Gasibu sebagian besar adalah karena mata pencaharian mereka pada dasarnya memang pedagang, dengan alasan memilih Gasibu karena kawasan tersebut memiliki pengunjung yang banyak jika hari Minggu pagi.
Mayoritas pengunjung Kawasan Gasibu adalah kelompok usia muda dengan tingkat pendidikan pengunjung relatif tinggi , namun memiliki pendapatan rata-rata yang relatif rendah. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar pengunjung merupakan kalangan pelajar dan mahasiswa yang tidak memiliki penghasilan. Pengunjung yang datang tidak hanya berasal dari daerah di sekitar Kawasan Gasibu, namun ada juga yang berasal dari kecamatan lain bahkan dari luar Kota Bandung yang mengakibatkan tidak tertampungnya pengunjung di Kawasan tersebut. Mayoritas pengunjung yang datang di Kawasan Gasibu menggunakan angkutan umum dan berjalan kaki, karena pengunjung yang datang dengan menggunakan kendaraan pribadi mengalami kesulitan untuk memarkir kendaraannya karena tidak tersedianya tempat parkir yang memadai, dimana tempat parkir yang biasa ditempati oleh pengunjung untuk memarkir kendaraannya sebagian besar menggunakan sebagian ruas jalan untuk memarkir kendaraan mereka.
(3)
Melihat apa yang ditemukan dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan untuk merangkum kajian-kajian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Berdasarkan persepsi pedagang, sebagian besar pedagang merasakan bahwa bentuk pengaruh Kawasan Gasibu terhadap pendapatan mereka adalah bisa menyekolahkan anak (43%). Sedangkan dengan adanya pengunjung yang banyak dapat memberikan keuntungan yang cukup besar terhadap pendapatan mereka. Namun sebagian besar pedagang tidak setuju (98%) jika suatu saat dilakukan penataan pedagang di Kawasan Gasibu, dimana pedagang lebih menginginkan dilakukan pengaturan alur pergerakan pengunjung (66%) dibandingkan dengan penataan pedagang .
2. Berdasarkan persepsi pengunjung, bahwa hambatan yang paling dirasakan ketika berkunjung di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi adalah kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh pedagang (68%). Hal tersebut terlihat dari persepsi pengunjung terhadap lalu lintas di Kawasan Gasibu sebagian besar mengatakan bahwa kondisi lalu lintas di kawasan tersebut sangat macet (73%). Penyebab kemacetan lalu lintas di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi sebagian besar disebabkan oleh pedagang yang memakai badan jalan untuk berjualan (63%). Salah satu penyebab kepadatan pengunjung di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi adalah tingkat aksesilitas ke kawasan tersebut cukup tinggi (61%) sehingga pengunjung lebih mudah untuk berkunjung di Kawasan tersebut. Dengan adanya pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi ternyata memberikan keuntungan kepada masyarakat Kota Bandung, dimana pengunjung bisa mendapatkan barang-barang dengan harga yang terjangkau (42%). Namun dengan adanya pedagang yang berlebihan sebagian besar pengunjung merasa terganggu (59%), mengingat fungsi Kawasan Gasibu yang sebenarnya adalah salah satu RTH yang ada di Kota Bandung yang rutin digunakan oleh masyarakat untuk olagraga maupun rekreasi. Oleh karena itu, sebagian besar pengunjung menginginkan dilakukan penataan pedagang untuk mengatasi
(4)
permasalah yang ada di Kawasan Gasibu dan sekitarnya setiap hari Minggu pagi (44%).
3. Sebagian besar pedagang tidak setuju jika dilakukan penataan pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi (81%), sedangkan untuk jenis penataan, pedagang lebih memilih penataan pedagang dengan cara tetap dicampur dengan jenis dagangan lain (91%).
4. Sebagian besar pengunjung Kawasan Gasibu setuju jika suatu saat dilakukan
penataan pedagang di Kawasan Gasibu pada hari Minggu pagi (78%), dengan penataan pedagang yaitu dengan cara pengelompokan pedagang berdasarkan jenis dagangan (73%).
5. Penataan pedagang di Kawasan Gasibu terbagi dalam tiga zona yaitu zona satu (Kawasan Taman Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat), zona dua ( Kawasan Lapangan Gasibu) dan zona tiga (Kawasan Jalan Diponegoro) dengan penataan pedagang yang mengkaji 4 (empat) aspek yaitu: (1) Pengelompokan pedagang berdasarkan jenis dagangan, (2) Pengaturan alur pergerakan pengunjung, (3) Penempatan tempat parkir pengunjung, dan (4) Pembatasan lokasi pedagang.
5.2 Rekomendasi
Dari temuan studi di atas, maka dihasilkan beberapa rekomendasi yang dapat diajukan untuk perbaikan kondisi Kawasan Gasibu dimasa yang akan datang. Berikut ini adalah rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan :
1. Sebaiknya pihak pengelola dan pemerintah Kota Bandung menyediakan fasilitas untuk pedagang berupa tenda bongkar pasang dan disewakan ke pedagang, sehingga keberadaan pedagang tersebut dapat memberikan pemasukan bagi pihak pengelola maupun pemerintah Kota Bandung dari hasil penyewaan tenda bongkar pasang tersebut.
(5)
2. Pemerintah Kota Bandung agar lebih memperhatikan fasilitas parkir bagi pengunjung di Kawasan Gasibu.
3. Daya tampung Kawasan Gasibu cukup terbatas, oleh karena itu untuk menampung pedagang dan pengunjung yang datang dari berbagai daerah sebaiknya pemerintah Kota Bandung menyediakan lokasi yang dapat dijadikan pasar kaget setiap hari Minggu, sehingga pengunjung mempunyai banyak pilihan.
5.3 Kelemahan Studi
Penelitian yang dilakukan mempunyai beberapa kelemahan, dan hal ini harus dihindari karena untuk kesempurnaan studi yang akan dilakukan. Berikut adalah kelemahan studi yang telah dilakukan :
1. Tidak terdapat jumlah pasti dari pedagang maupun pengunjung yang datang ke Kawasan Gasibu dan sekitarnya, sehingga saat melakukan survey primer, pengambilan sampel hanya didasarkan pada perkiraan jumlah pengunjung saja.
2. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, sehingga tidak diketahui alasan apa yang menyebabkan seorang responden layak dijadikan sampel dalam penelitian pada hari Minggu pagi.
3. Kuesioner sebagian besar merupakan isian tertutup (multiple choise), bukan isian terbuka. Dengan demikian maka jawaban-jawaban responden terbatas pada pilihan-pilihan jawaban yang sudah disediakan.
4. Dalam studi ini hanya melibatkan antara dua pihak yaitu pedagang dan pengunjung. Sedangkan pihak-pihak yang belum terlibat masih banyak seperti pemerintah Kota Bandung sebagai pemegang kendali dan pihak pengelola sebagai pengurus Kawasan Gasibu.
(6)
5. Penataan hanya sebatas usulan rencana saja tidak termasuk pemanfaatan dan pengendalian.
5.4 Saran Untuk Studi Lanjutan
Dengan berbagai keterbatasan studi yang ada, studi lanjutan yang disarankan adalah :
1. Perlu dilakuakan studi khusus terkait dengan pengalihan kendaraan yang melintas di Kawasan Gasibu dan sekitarnya pada hari Minggu pagi, dengan tujuan memberikan kenyamanan terhadap pengguna jalan yang hanya sekedar melintas di Kawasan tersebut.
2. Untuk penataan lebih lanjut dibutuhkan beberapa bidang keilmuan seperti Arsitektur sehingga dapat memberikan penataan dan pemetaan pedagang yang lebih jelas.