Identifikasi Dan Pola Kepekaan Bakteri Yang Diisolasi Dari Urin Pasien Suspek Infeksi Saluran Kemih Di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

IDENTIFIKASI DAN POLA KEPEKAAN BAKTERI YANG DIISOLASI DARI URIN PASIEN SUSPEK INFEKSI SALURAN KEMIH

DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

Oleh :

ESTERIDA SIMANJUNTAK 110100141

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

IDENTIFIKASI DAN POLA KEPEKAAN BAKTERI YANG DIISOLASI DARI URIN PASIEN SUSPEK INFEKSI SALURAN KEMIH

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

Esterida Simanjuntak 110100141

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI DAN POLA KEPEKAAN BAKTERI YANG DIISOLASI DARI URIN PASIEN SUSPEK INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : ESTERIDA SIMANJUNTAK

NIM ` : 110100141

Pembimbing, Penguji I,

dr. Evita Mayasari, M.Kes. Prof. dr. Bidasari Lubis, Sp. A (K) NIP. 197710182003122003 NIP. 195303151979122001

Penguji II,

dr. Syamsul Bihar, Sp. P NIP. 198212192008121004

Medan, Januari 2015 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD., KGEH NIP. 195402201980111001


(4)

ABSTRAK

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di masyarakat. Bakteri merupakan penyebab utama dari ISK, sehingga pasien dengan diagnosis ISK mendapatkan antibiotik sebagai terapi pengobatan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran dapat mengakibatkan bakteri resistan terhadap beberapa antibiotik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi bakteri penyebab ISK serta bagaimana pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel merupakan urin pasien suspek ISK yang didapat dari RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel sebanyak 45 yang kemudian diidentifikasi secara konvensional dan diuji pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik dengan metode difusi cakram.

Pada penelitian ini didapati bakteri gram negatif sebagai penyebab utama ISK (95,4%) yang terdiri atas Escherichia coli (55,6%), Klebsiella pneumoniae (20%), Acinetobacter sp. (8,9%). Berdasarkan uji pola kepekaan ditemukan E.coli sensitif terhadap amikacin (70,8%) dan chloramphenicol (66,7%). K. pneumoniae sensitif terhadap amikacin (100%), chloramphenicol (88,9%) dan tazobactam (77,8%) sedangkan Acinetobacter sp. sensitif terhadap amikacin (100%) dan meropenem (100%).

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disimpulkan E. coli merupakan penyebab utama ISK dan rata-rata bakteri gram negatif sensitif terhadap amikacin, chloramphenicol, dan tazobactam. Penelitian pola kepekaan bakteri terhadap antibiotika perlu dilakukan tiap periode waktu diakibatkan adanya perubahan pola kepekaan sehingga dapat mempermudah pengobatan serta mengurangi resistansi bakteri.


(5)

ABSTRACT

Urinary tract infection (UTI) is one of the most common infectious diseases. Bacterial infection is a common cause of UTI, therefore patients with urinary tract infection need antibiotic treatment for this disease. On the other hand, ineffective use of the antibiotics may impact to the formation of multidrug resistant strain of bacteria.

The aim of this study is to determine prevalence and sensivity pattern of bacteria isolated from UTI suspected patients.

This is a descriptive study with cross sectional method. Forty-five urine samples were collected from UTI suspected patients in RSUP H. Adam Malik Medan. We were use a conventional method to identify the bacteria and a disc diffusion method for the antimicrobial sensitivity test.

Gram negative bacteria were the common cause of UTI in this study, which consists of Escherichia coli (55,6%), Klebsiella pneumoniae (20%), Acinetobacter sp. (8,9%). E.coli isolates were sensitive to amikacin (70,8%) and chloramphenicol (66,7%). K. pneumoniae isolates were sensitive to amikacin (100%), chloramphenicol (88,9%) and tazobactam (77,8%). Acinetobacter sp. isolates were sensitive to amikacin (100%) and meropenem (100%).

Based on the results, it is concluded that E. coli is a major cause of UTI and most of gram-negative bacteria are sensitive to amikacin, chloramphenicol, and tazobactam.

In this study, we try to emphasize the importance of a regular antimicrobial sensitivity test in hospital settings due to a change in the pattern of sensitivity, as to facilitate treatment and reduce bacterial resistance.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur, peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, dan anugerahnya, peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran USU. Adapun judul yang dipilih adalah “ Identifikasi dan Pola Kepekaan Bakteri yang Diisolasi dari Urin Pasien Suspek Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan”.

Dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini, peneliti mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD., KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. dr. Evita Mayasari, M. Kes. selaku dosen pembimbing peneliti yang selalu sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan, bimbingan, serta ilmu yang bermanfaat bagi peneliti dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini.

3. Prof. dr. Bidasari Lubis, Sp. A.(K) selaku dosen penguji I dan dr. Syamsul Bihar, Sp. P. selaku dosen penguji II yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran dan arahan untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah. 4. dr. Cherry Siregar M.Kes yang telah membantu peneliti selama proses

penelitian

5. Orang tua peneliti yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

6. Teman-teman peneliti yang membantu serta memberikan semangat kepada peneliti selama proses penelitian.

Peneliti menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman peneliti. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat berarti untuk menyempurnakan penelitian ini.

Medan, Desember 2014


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Infeksi Saluran Kemih ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Epidemiologi ... 5

2.1.3. Etiologi ... 6

2.1.4. Patogenesis ... 6

2.1.5. Manifestasi Klinis ... 7

2.1.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ... 7

2.1.7. Penatalaksanaan ... 8

2.2 Bakteri ... 9

2.2.1. Definisi ... 9

2.2.2. Klasifikasi Sesuai Pewarnaan Gram ... 9

2.2.2.1. Bakteri Gram Positif ... 10

2.2.2.2. Bakteri Gram Negatif ... 11


(8)

2.3. Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih ... 13

2.3.1. Bakteri Gram Positif ... 13

2.3.1.1. Staphylococcus aureus ... 13

2.3.1.2. Staphylococcus epidermidis ... 14

2.3.1.3. Staphylococcus saphrophyticus ... 15

2.3.1.4. Enterococci ... 15

2.3.2. Bakteri Gram Negatif ... 17

2.3.2.1. Escherichia coli ... 17

2.3.2.2. Klebsiella pneumonia ... 18

2.3.2.3. Pseudomonas aeruginosa ... 18

2.4. Resistansi Bakteri Terhadap Antibiotik ... 19

2.4.1. Mekanisme Resistansi Bakteri Terhadap Antibiotik ... 20

2.4.2. Uji Resistansi ... 20

BAB3KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 22

3.1. Kerangka Konsep ... 22

3.2. Definisi Operasional ... 23

BAB 4METODOLOGI PENELITIAN ... 24

4.1. Jenis Penelitian ... 24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4.3.1. Populasi Penelitian ... 24

4.3.2. Sampel Penelitian ... 24

4.4. Teknik Pengambilan Data ... 26

4.5. Alat dan Bahan ... 26

4.5.1. Alat ... 26

4.5.2. Bahan ... 26

4.6. Prosedur dan Teknik Penelitian ... 27

4.6.1. Persiapan Sampel ... 27

4.6.2. Uji Identifikasi Bakteri ... 28

4.6.3. Pola Kepekaan ... 28

4.7. Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 29

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Hasil Penelitian ... 30


(9)

5.1.1. Deskripsi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih ... 31

5.1.2. Deskripsi Pola Kepekaan Bakteri ... 32

5.2. Pembahasan ... 38

5.2.1. Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih ... 38

5.2.2. Pola Kepekaan Bakteri Penyebab Infeksi saluran Kemih ... 40

5.2.2.1. Escherichia coli ... 40

5.2.2.2. Klebsiella pneumoniae ... 41

5.2.2.3. Acinetobacter sp ... 42

5.2.2.4. Enterobacter cloacae ... 43

5.2.2.5. Pseudomonas sp. ... 44

5.2.2.6. Providencia stuartii ... 44

5.2.2.7. Enterococcus faecalis dan Staphylococcus sciuri ... 45

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1. Kesimpulan ... 46

6.2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

Gambar 2.1 Kultur Staphylococcus aureus dengan warna koloni kuning

pada agar darah... 14 Gambar 2.2 Pewarnaan gram pada Escherichia coli ... 17 Gambar 2.3 Pigmen pycosianin (biru-hijau) yang dihasilkan oleh Pseudomonas

aeruginosa menyebar pada agar ... 19 Gambar 2.4 Contoh Agar Diffusion Test terlihat adanya Zona inhibisi di sekitar

disk ... 21 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 22


(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 3.1. Definisi Operasional... 23 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin... 31 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasrakan Usia Sampel ... 31 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Gejala Klinis Sampel . 31 Tabel 5.4. Frekuensi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih... 31 Tabel 5.5. Distribusi Escherichia coli berdasarkan pola kepekaannya

terhadap beberapa antibiotika... 32 Tabel 5.6. Distribusi Klebsiella pneumoniae berdasarkan pola kepekaannya

terhadap beberapa antibiotika ... 33 Tabel 5.7. Distribusi Acinetobacter sp. berdasarkan pola kepekaannya

terhadap beberapa antibiotika... 34 Tabel 5.8. Distribusi Enterobacter cloacae berdasarkan pola kepekaannya

terhadap beberapa antibiotika... 35 Tabel 5.9. Distribusi Pseudomos sp. berdasarkan pola kepekaannya terhadap

beberapa antibiotika ... 36 Tabel 5.10. Distribusi Providencia stuartii berdasarkan pola kepekaannya

terhadap beberapa antibiotika... 36 Tabel 5.11. Distribusi Enterococcus faecalis berdasarkan pola kepekaannya

terhadap beberapa antibiotika... 37 Tabel 5.12. Distribusi Staphylococcus sciuri berdasarkan pola kepekaannya


(12)

DAFTAR SINGKATAN

CDC : Center for Disease Control and Prevention CFU : Colony Forming Unit

DNA : Deoxyribose Nucleic Acid ESBL : Extended Spectrum β-lactamase ISK : Infeksi Saluran Kemih

IUGA : International Urogynecological association MHA : Mueller Hinton Agar


(13)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar riwayat hidup peneliti

Lampiran 2. Data induk penelitian

Lampiran 3. Hasil pengolahan data penelitian dengan software komputer Lampiran 4. Dokumentasi penelitian

Lampiran 5. Surat Ethical clearance

Lampiran 6. Surat izin penelitian dari RSUP H. Adam Malik Medan

Lampiran 7. Surat keterangan selesai penelitian dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU


(14)

ABSTRAK

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di masyarakat. Bakteri merupakan penyebab utama dari ISK, sehingga pasien dengan diagnosis ISK mendapatkan antibiotik sebagai terapi pengobatan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran dapat mengakibatkan bakteri resistan terhadap beberapa antibiotik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi bakteri penyebab ISK serta bagaimana pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel merupakan urin pasien suspek ISK yang didapat dari RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel sebanyak 45 yang kemudian diidentifikasi secara konvensional dan diuji pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik dengan metode difusi cakram.

Pada penelitian ini didapati bakteri gram negatif sebagai penyebab utama ISK (95,4%) yang terdiri atas Escherichia coli (55,6%), Klebsiella pneumoniae (20%), Acinetobacter sp. (8,9%). Berdasarkan uji pola kepekaan ditemukan E.coli sensitif terhadap amikacin (70,8%) dan chloramphenicol (66,7%). K. pneumoniae sensitif terhadap amikacin (100%), chloramphenicol (88,9%) dan tazobactam (77,8%) sedangkan Acinetobacter sp. sensitif terhadap amikacin (100%) dan meropenem (100%).

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disimpulkan E. coli merupakan penyebab utama ISK dan rata-rata bakteri gram negatif sensitif terhadap amikacin, chloramphenicol, dan tazobactam. Penelitian pola kepekaan bakteri terhadap antibiotika perlu dilakukan tiap periode waktu diakibatkan adanya perubahan pola kepekaan sehingga dapat mempermudah pengobatan serta mengurangi resistansi bakteri.


(15)

ABSTRACT

Urinary tract infection (UTI) is one of the most common infectious diseases. Bacterial infection is a common cause of UTI, therefore patients with urinary tract infection need antibiotic treatment for this disease. On the other hand, ineffective use of the antibiotics may impact to the formation of multidrug resistant strain of bacteria.

The aim of this study is to determine prevalence and sensivity pattern of bacteria isolated from UTI suspected patients.

This is a descriptive study with cross sectional method. Forty-five urine samples were collected from UTI suspected patients in RSUP H. Adam Malik Medan. We were use a conventional method to identify the bacteria and a disc diffusion method for the antimicrobial sensitivity test.

Gram negative bacteria were the common cause of UTI in this study, which consists of Escherichia coli (55,6%), Klebsiella pneumoniae (20%), Acinetobacter sp. (8,9%). E.coli isolates were sensitive to amikacin (70,8%) and chloramphenicol (66,7%). K. pneumoniae isolates were sensitive to amikacin (100%), chloramphenicol (88,9%) and tazobactam (77,8%). Acinetobacter sp. isolates were sensitive to amikacin (100%) and meropenem (100%).

Based on the results, it is concluded that E. coli is a major cause of UTI and most of gram-negative bacteria are sensitive to amikacin, chloramphenicol, and tazobactam.

In this study, we try to emphasize the importance of a regular antimicrobial sensitivity test in hospital settings due to a change in the pattern of sensitivity, as to facilitate treatment and reduce bacterial resistance.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin (Sukandar, 2009). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di kalangan masyarakat dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering muncul (Nerurka et al, 2012).

Menurut Stamm W.E. dalam Kothari (2008), sebanyak 150 juta penduduk dunia didiagnosa dengan infeksi saluran kemih tiap tahunnya dan menghabiskan biaya lebih dari 6 miliar Dolar AS untuk pengobatannya. Sebuah data epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35% wanita dewasa pernah mengalami penyakit infeksi saluran kemih pada masa hidupnya (Sukandar, 2009). Pada ibu hamil diketahui prevalensi infeksi saluran kemih memiliki rata-rata 10% (Ocviyanti dan Fernando, 2012)

Pada keadaan saluran kemih yang normal, tidak ditemukan adanya mikroorganisme baik bakteri, virus ataupun mikroorganime lain (Kumala et al, 2009). Tetapi pada infeksi saluran kemih ditemukan bakteriuria. Bakteriuria merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya bakteri dalam urin. Bakteriuria ini dikatakan bermakna jika menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 cfu/ml (Sukandar, 2009).

Bakteri utama penyebab bakteriuria pada penyakit infeksi saluran kemih yang didapat di urin adalah Escherichia coli yang diikuti oleh Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus spp kemudian beberapa bakteri lain seperti Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa dan beberapa bakteri lainnya (Behzadi, 2010).

Sesuai dengan penyebabnya yang merupakan bakteriuria, maka pengobatan dari penyakit infeksi saluran kemih ini sendiri menggunakan antibiotik (antimikroba) yang disesuaikan dengan bakteri penyebabnya. Dengan adanya indikasi demikian pasien sering kali menerima pengobatan dengan menggunakan antibiotik jangka panjang, sehingga sering ditemukan adanya


(17)

beberapa bakteri resistan terhadap beberapa antibiotik (Mardiastuti H.W. et al, 2007).

Resistansi bakteri ini merupakan salah satu masalah dunia. Tiap tahun jumlah bakteri yang mengalami resistansi selalu mengalami peningkatan. Amerika Serikat sendiri tercatat sekurang-kurangnya 2 juta masyarakatnya mendapatkan penyakit dengan bakteri penyebabnya telah mengalami resistansi terhadap beberapa antibiotik, dan sekitar 23.000 penduduknya meninggal akibat bakteri resistan (Center For Disease Control and Prevention (CDC), 2013). Di beberapa negara Asia seperti China, Taiwan, Hongkong, Fillipina dan Singapura ditemukan prevalensi bakteri seperti Staphylococcus aureus yang telah resistan terhadap beberapa antibiotik cukup tinggi, dengan angka prevalensinya di China (20%), Taiwan (60%), Hongkong (70%), Fillipina (5%) dan Singapura (60%). Beberapa bakteri lain selain Staphylococcus aureus, seperti Escherichia coli, Klebsiella spp., Serratia spp., C.freundii, Morganella spp juga menunjukkan angka resistensi yang cukup tinggi ( Mardiastuti H.W. et al, 2007).

Menurut Refdanita (2004) pada penelitiannya di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, bahwa bakteri patogen seperti Pseudomonas sp, Klebsiella sp, Escherichia coli, Streptococcus β haemolyticus, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus, memiliki resistansi yang tinggi terhadap beberapa antibiotik seperti amoksisilin, penisilin G, tetrasiklin, dan kloramfenikol.

Semakin meningkatnya angka resistansi ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Peresepan dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka ini. Selain itu sifat dari bakterinya sendiri diduga juga memiliki peranan penting dalam proses resistansi bakteri, adanya mutasi genetik dari bakteri yang bertujuan untuk melindungi diri ataupun sebagai mekanisme pertahanan tubuhnya dapat mengakibatkan resistansi (CDC, 2013).

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi secara langsung bakteri utama penyebab infeksi saluran kemih di RSUP Adam Malik Medan serta menguji bagaimana tingkat kepekaan bakteri tersebut terhadap beberapa antibiotik. Oleh karena semakin meningkatnya bakteri yang resistan terhadap


(18)

beberapa antibiotik tiap periode waktu maka diperlukan adanya data mengenai bakteri yang telah resistan, sehingga dapat mempermudah pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana identifikasi bakteri yang diisolasi dari urin pasien suspek infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Adam Malik Medan serta pola kepekaannya?”.

1.3 Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang diisolasi dari urin pasien suspek infeksi saluran kemih serta mengetahui bagaimana pola kepekaan bakteri tersebut pada pasien dengan suspek infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi bakteri utama penyebab infeksi saluran kemih pada pasien dengan suspek infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

2. Mengetahui bakteri apa saja yang sudah resisten terhadap beberapa antibiotik pada pasien dengan suspek infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Ilmu Kedokteran dan juga memperluas pemahaman peneliti tentang bakteri penyebab infeksi saluran kemih dan bagaimana pola kepekaannya.


(19)

2. Bagi Pelayanan Kesehatan

Data dari penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi para pelayan kesehatan tentang bakteri utama penyebab infeksi saluran kemih. Serta mempermudah para praktisi kesehatan dalam memberikan pengobatan dengan menggunakan antibiotik yang sesuai.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih 2.1.1. Definisi

Infeksi saluran kemih merupakan istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Bakteri yang didapati di urin disebut bakteriuria. Bakteriuria ini dikatakan bermakna jika menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 cfu (colony forming units) / ml pada biakan urin. Bakteriuria bermakna yang tanpa disertai manifestasi presentasi klinis infeksi saluran kemih disebut bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna yang disertai dengan presentasi klinis ISK disebut bakteriuria bermakna simtomatik. Infeksi saluran kemih ini bisa muncul dimana saja di sepanjang saluran kemih (IUGA, 2012). Sesuai dengan letaknya infeksi saluran kemih dapat dibagi dua, infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah. Infeksi saluran kemih atas pada wanita meliputi sistitis, sindrom uretra akut. Pada lelaki meliputi sistitis, prostatis, epididimis, dan uretritis. Contoh infeksi saluran kemih atas adalah pielonefritis (Sukandar, 2009).

2.1.2. Epidemiologi

Pada wanita, infeksi saluran kemih asimtomatik meningkat disertai dengan pertambahan usia. Beberapa data pada pria juga menunjukkan peningkatan infeksi saluran kemih dengan pertambahan usia, tetapi prevalensinya selalu berada di bawah wanita dengan usia yang sama. Pada wanita dengan usia di bawah 50 tahun dengan beberapa gejala-gejala infeksi saluran kemih lebih dominan memiliki bakteriuria ( Scottish Intercolegiate Guideline Network, 2012).


(21)

2.1.3. Etiologi

Pada umumnya infeksi saluran kemih disebabkan mikroorganisme tunggal seperti (Sukandar, 2009) :

a. Escherichia coli, merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari pasien infeksi saluran kemih baik simtomatik maupun asimtomatik.

b. Mikroorganisme lain seperti Proteus sp., Klebsiella sp. dan Staphylococcus.

c. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas sp. dan mikroorganisme lain jarang dijumpai.

2.1.4. Patogenesis

Patogenesis bakteriuria asimtomatik menjadi simtomatik dengan presentasi klinis infeksi saluran kemih tergantung dari patogenisitas bakteri dan pasien sendiri (Sukandar, 2009). Peranan patogenisitas bakteri meliputi :

a. Bacterial Attachment of mucosa

Penelitian menunjukkan bahwa fimbriae merupakan salah satu pelengkap patogenisitas yang mempunyai kemampuan melekat pada permukaan mukosa saluran kemih.

b. Faktor Virulensi Lainnya

Kemampuan mikroorganisme atau bakteri untuk melekat pada sel inang tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non fimbriae. c. Faktor Virulensi Variasi Fase

Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan tergantung dari respon faktor luar. Konsep ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih.

Sementara itu dari pasien sendiri yang dikatakan sebagai Peranan Faktor Tuan Rumah (host) adalah:


(22)

Faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering kambuh bila sudah terdapat kelainan pada struktur anatomi saluran kemih.

b. Status Immunologi Pasien

Penelitian mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap infeksi saluran kemih. Penelitian lain juga melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan diduga mempunyai peranan penting untuk kepekaan terhadap infeksi saluran kemih rekuren.

2.1.5. Manifestasi Klinis

Pada infeksi saluran kemih atas yaitu pielonefritis akut presentasi klinisnya berupa panas tinggi dengan suhu 39,5°-40,5°C, hal ini juga disertai dengan menggigil dan sakit pinggang. Presentasi dari pieolonefritis ini sering diawali dengan infeksi saluran kemih bawah (sistitis). Pada infeksi saluran kemih bawah (sistitis) manifestasinya dapat berupa sakit suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, dan stranguria. Pada sindroma uretra akut, manifestasi klinisnya sulit dibedakan dengan sistitis. Sindroma ini sering ditemukan pada perempuan usia 20-50 tahun (Sukandar, 2009).

2.1.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Menentukan jumlah dan jenis bakteri di urin merupakan suatu prosedur yang sangat penting dalam penentuan diagnosis. Pada pasien simtomatik, bakteri di urin ditemukan dengan jumlah yang sangat besar (≥105cfu/ml). Sedangkan pada pasien asimtomatik, dua spesimen urine berturut turut harus diperiksa secara bakteriologis sebelum diberi terapi, dan ≥10 5 bakteri per milliliter harus dapat dibuktikan pada kedua spesimen (Fauci et al, 2008).

Pada beberapa keadaan seperti pemakaian antibiotik, konsentrasi urea yang tinggi, osmolaritas yang tinggi, dan pH urine yang rendah dapat mengakibatkan terhambatnya multiplikasi dari bakteri sehingga didapatkan


(23)

jumlah koloni bakteri yang sedikit walaupun terdapat infeksi. Dengan alasan demikian, cairan antiseptik tidak boleh digunakan untuk mencuci daerah periurethral sebelum pengambilan spesimen. Penggunaan diuretik dan baru berkemih juga mengurangi jumlah bakteri dalam urine (Fauci et al, 2008 ).

Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin dilakukan, harus berdasarkan indikasi yang kuat seperti : infeksi saluran kemih kambuh, pasien laki laki, gejala urologik, hematuria persisten, mikroorganisme yang jarang, infeksi saluran kemih berulang dengan interval ≤6 minggu (Sukandar, 2009).

Beberapa renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi

infeksi saluran kemih adalah (Sukandar 2009) : a). Ultrasonografi (USG), b). Radiografi yang meliputi Foto Polos Perut, Pielografi IV dan Micturating

cystogram, serta c). Isotop Scanning.

2.1.7. Penatalaksanaan Infeksi saluran kemih bawah

Prinsip manajemen infeksi saluran kemih bawah meliputi intake cairan yang banyak, antibiotik yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi urin :

a. Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan penggunaan antibiotik tunggal, seperti ampisilin 3 gram, trimetropim 200mg

b. Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (leukosuria) diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari

c. Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang tanpa leukosuria.

Infeksi saluran kemih atas

Pada umumnya, pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral paling sedikit 48


(24)

jam. The Infectious Disease Of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui mikroorganisme sebagai penyebabnya yaitu : Fluorokuinolon, Aminoglikosida dengan atau tanpa Ampisilin, Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa Aminiglikosida (Sukandar 2009).

2.2 Bakteri 2.2.1. Definisi

Bakteri merupakan salah satu anggota dari organisme prokariot. Bakteri memiliki Deoxyribose Nucleic Acid (DNA) yang berbentuk lingkaran dengan keliling sekitar 1 mm yang merupakan kromosom prokariot dan tidak mempunyai membran nukelus. DNA ini disimpan dalam sebuah area khusus yang disebut nukeloid. Bakteri memiliki kemampuan untuk bertukar informasi genetik. Informasi ini dapat dibawa oleh plasmid, elemen genetik kecil dan khusus yang mampu bereplikasi. Salah satu yang menjadi perhatian khusus pada plasmid adalah adanya plasmid resistan obat yang dapat membuat bakteri lain menjadi resistan terhadap pengobatan dengan menggunakan antibiotik (Brooks et al, 2008).

2.2.2. Klasifikasi Sesuai Pewarnaan Gram

Bakteri pada dasarnya dapat diklasifikasikan atas beberapa kriteria, baik dari ada tidaknya dinding sel dan dari pewarnaan gram. Pewarnaan gram merupakan sebuah prosedur yang telah banyak digunakan. Pewarnaan ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Hans Christian Gram, penelitiannya menemukan sebuah prosedur sehingga bakteri dapat dibedakan atas dua kelas besar, yaitu bakteri gram positif dan gram negatif. Perbedaan hasil pewarnaan ini memberikan informasi bahwa pembagian ini memiliki perbedaan yang fundamental pada struktur kimia dari dindingnya. Prosedur dari pewarnaan gram ini dimulai dengan primary stain dengan pemberian pewarna basa kristal violet. Hal ini bertujuan untuk memberi warna pada seluruh sel. Kemudian larutan iodine ditambahkan, maka semua bakteri akan berwarna biru pada fase ini. Lalu sediaan ditambahkan alkohol 95%, larutan ini berfungsi sebagai decolorizing agents dan akan


(25)

membersihkan iodine dari gram negatif tetapi tidak dari gram positif. Langkah terakhir dari pewarnaan ini adalah counterstain dengan menggunakan safranin merah, pewarnaan ini dimaksudkan agar bakteri gram negatif mendapatkan warna yang baru dari kontras. Maka dari hasil pewarnaan ini akan didapatkan bakteri gram negatif berwarna merah sedangkan bakteri gram positif berwarna biru keunguan. Perbedaan warna ini diakibatkan adanya perbedaan struktur kimia dari dinding sel bakteri (Nester et al, 2004).

2.2.2.1. Bakteri Gram Positif

Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang tebal berupa peptidoglikan yang mengandung asam teikoat dan asam teikuronat, selain itu beberapa sel gram positif mengandung molekul polasakarida. Asam teikoat dan asam teikuronat merupakan polimer yang larut dalam air, mengandung residu ribitol atau gliserol yang bergabung melalui ikatan fosfodiester dan membawa satu atau lebih pengganti asam amino atau gula. Terdapat dua jenis asam teikoat yaitu asam teikoat dinding sel yang secara kovalen berikatan dengan peptidoglikan dan asam teikoat membran (lipoteikoat) yang secara kovalen berikatan dengan glikolipid membran dan terkonsentrasi di mesosom. Beberapa bakteri gram positif tidak memiliki asam teikot dinding sel tetapi seluruh spesiesnya positif memiliki asam teikoat membran (Brooks et al, 2008).

Fungsi dari asam teikoat masih menjadi spekulasi pada ahli sampai sekarang. Asam teikoat mengikat ion magnesium dan bisa jadi berperan dalam menyediakan ion magnesium ke dalam sel selain itu mereka juga berperan dalam fungsi normal selubung sel. Sedangkan asam teikoat membran atau lipoteikoat melekatkan dinding sel ke membran sel (Brooks et al, 2008). Asam teikoat dan asam lipoteikoat kedua-duanya menempel di atas lapisan peptidoglikan dikarenakan keduanya bermuatan negatif sehingga memberikan sel polaritas yang negatif (Nester et al, 2004).

Bakteri gram positif ini meliputi : bakteri gram positif pembentuk spora (Bacillus, Klostridium) dan bakteri gram positif tidak membentuk spora


(26)

(Corynebacterium, Propionbacterium, Listeria, Erisepelothrix, Actinomycetes) (Brooks et al, 2008).

2.2.2.2. Bakteri Gram Negatif

Dinding sel dari bakteri gram negatif jauh lebih kompleks dari gram positif. Bakteri ini hanya mengandung sebuah lapisan tipis peptidoglikan (Nester et al, 2004). Dinding sel gram negatif mengandung tiga komponen yang terletak di luar lapisan peptidoglikan yaitu : lipoprotein, membran luar, dan lipopolisakarida. Lipoprotein, dilihat dari jumlahnya, merupakan protein yang paling banyak ditemukan pada sel gram negatif. Fungsi dari lipoprotein ini adalah untuk menstabilkan membran luar dan merekatkannya ke lapisan peptidoglikan (Brooks et al, 2008).

Membran luar merupakan sebuah struktur berlapis ganda, lapisan sebelah dalamnya memiliki komposisi yang serupa dengan membran sitoplasma. Kemampuan membran luar untuk mengeluarkan molekul hidrofobik adalah sebuah ciri yang tidak biasa dijumpai pada membran membran biologis dan berfungsi untuk melindungi sel dari garam empedu. Membran luar memiliki suatu jalur khusus yang terdiri dari molekul protein yang disebut porin yang memungkinkan difusi pasif komponen hidrofilik seperti gula, asam amino, dan beberapa jenis amino lain (Brooks et al, 2008). Lipopolisakarida, pada bakteri gram negatif tersusun atas lipid kompleks yang disebut lipid A, yang padanya melekat sebuah polisakarida yang terbentuk dari sebuah inti dan rangkaian terminal dari unit yang berulang. Kehadiran lipopolisakarida dibutuhkan untuk fungsi banyak protein pada membran luar. Lipid A tersusun atas disakarida glukosamin disakarida yang terfosforilasi yang padanya melekat sejumlah rantai panjang asam lemak. Lipopolisakarida yang sangat beracun bagi hewan disebut endotoksin pada bakteri gram negatif karena terikat kuat pada permukaan sel dan akan dilepaskan saat sel mengalami lisis. Lipopolisakarida dipecah menjadi lipid A dan polisakarida. Polisakarida merupakan antigen utama permukaan pada sel bakteri yang disebut antigen O. Ruang antara membran bagian dalam dan bagian


(27)

luar disebut periplasma, berisi lapisan murein dan suatu larutan protein mirip gel (Brooks et al, 2008).

Beberapa contoh dari bakteri gram negatif ini adalah Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Vibrio, Campylobacter, Helicobacter, Hemophilus, Bordetella, Brucella, Yersinia, Neisseri (Brooks et al, 2008).

2.2.3. Pertumbuhan dan Reproduksi

Bakteri secara umum berkembang dengan pembelahan biner, setelah sebuah sel bakteri besarnya bertambah dan seluruh bagiannya telah digandakan, maka bakteri tersebut akan membelah. Satu sel akan membelah menjadi dua, kemudian dua menjadi empat, dan empat menjadi delapan dan seterusnya. Dengan kata lain peningkatan jumlah sel adalah eksponensial. Waktu bagi bakteri untuk memperbanyak jumlahnya tergantung pada berapa kondisi seperti spesies organismenya dan kondisi bakteri tersebut tumbuh, berupa nutrisi dan lingkungannya (Nester et al, 2004).

Dengan diketahuinya bahwa lingkungan dan faktor nutrisi mempengaruhi pertumbuhan dari prokariot, menjadi sangat mungkin untuk menyediakan sebuah kondisi untuk penanaman bakteri. Dengan adanya keanekaragaman dari bakteri sehingga berbagai media dapat digunakan untuk kultur bakteri. Beberapa tipe dari media kompleks adalah media yang sering digunakan. Media kompleks mengandung beberapa jenis komposisi seperti jus daging dan protein yang sudah diproses yang memungkinkan bakteri tumbuh. Komposisi yang sering digunakan adalah pepton di mana protein ini diambil dari beberapa sumber yang telah dihidrolisis sebelumnya menjadi asam amino. Ekstrak merupakan komponen yang larut dalam air dari sebuah substansi contohnya adalah ekstrak dari daging sapi berupa ekstrak air. Medium yang paling sering digunakan adalah nutrient broth yang terdiri dari 5 gram pepton dan 3 gram ekstrak daging sapi. Jika agar ditambahkan maka nutrien agar akan terbentuk. Selain itu terdapat juga media lain yaitu blood agar, chocolate agar. Beberapa bakteri memiliki media khusus untuk pembiakannya seperti MC.Conkey agar yang digunakan untuk isolasi


(28)

bakteri gram negatif dan Thayer Marthin untuk bakteri Neisseria Gonorrheae (Nester et al, 2004).

2.3. Bakteri Penyebab ISK 2.3.1. Bakteri Gram Positif

Beberapa bakteri gram postif dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran kemih seperti : Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus saprophyticus, dan Enterococci (Creighton University, 2004).

2.3.1.1. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dengan sel sferis atau berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0,5-1 μm, tidak membentuk spora dan dapat hidup dalam keadaan fakultatif aerob. Bakteri ini memiliki reaksi katalase dan koagulase yang positif, yang membedakannya dari bakteri lain (Buyser et al, 2009). Bakteri ini menghasilkan koagulase yang merupakan suatu protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat atau sitrat. Selain itu, bakteri ini juga memiliki faktor penggumpal yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen (Brooks et al, 2008).

Bakteri ini cepat berkembang pada suhu 37°C tetapi suhu terbaik untuk menghasilkan pigmen adalah 20-25°C dengan pH 6-7. Koloninya pada medium padat bentuk bulat, halus, meninggi dan berkilau. Koloni bakteri ini biasanya membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning tua kecokelatan. Bakteri Staphylococcus aureus ini relatif resistan terhadap pengeringan panas (tahan pada suhu 50°C selama 30 menit), dan pada Natrium Klorida 9% tetapi bakteri ini mudah dihambat oleh bahan kimia tertentu seperti heksaklorofen 3%. (Brooks et al, 2008).


(29)

Gambar 2.1. Kultur Staphlococcus aureus dengan warna koloni kuning pada agar darah (Kayser et al, 2005)

Bakteri ini memiliki sensitivitas yang berbeda-beda pada beberapa antibiotik, berikut beberapa strain yang resistan terhadap antibiotik (Brooks et al, 2008) :

a. Organisme vancomycin-intermediate Staphylococcus aureus (VISA), yang diisolasi dari pasien dengan pengobatan Vancomycin jangka panjang. Mekanisme resistansi ini berhubungan dengan peningkatan sintesis dinding sel serta perubahan dinding sel.

b. Strain vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA) yang resistan terhadap antibiotik Vancomycin dengan adanya gen vanA dan gen mecA c. Strain yang sifat resistansinya diperantarai plasmid, terutama resistan

terhadap tetrasiklin, eritromisin dan aminogilikosida, sering terjadi pada staphylococcus.

2.3.1.2. Staphylococcus epidermidis

Bakteri ini merupakan salah satu bakteri spesies Staphylococcus, secara umum bentuk dari bakteri ini hampir sama dengan Staphylococcus aureus. Bakteri ini merupakan flora normal di kulit manusia (Brooks et al, 2008).

Koloni dari bakteri ini berwarna abu-abu hingga putih, banyak koloni menghasilkan pigmen setelah di inkubasi lama ini dikarenakan pigmen tidak dapat dihasilkan pada keadaan anaerob (Brooks et al, 2008).


(30)

Seperti bakteri Staphylococcus lainnya bakteri ini relatif resistan pada pengeringan panas (tahan pada suhu 50°C selama 30 menit), dan pada natrium klorida 9% tetapi bakteri ini mudah dihambat oleh bahan kimia tertentu seperti heksaklorofen 3%. (Brooks et al, 2008). Penelitian mendapatkan bahwa bakteri ini telah mengalami multi drug resistance, seperti pada antibiotik klindamisin, klorampenicol, cotrimoxazole, ciproflaxin, cefixitin, aminoglikosida (Barros et al, 2012).

2.3.1.3. Staphylococcus saphrophyticus

Bakteri ini termasuk dalam bakteri Staphylococcus dengan koagulase negatif, tidak berpigmen, dan nonhemolitik. Merupakan salah satu flora normal tubuh yang sering menyebabkan infeksi saluran kemih pada wanita dewasa (Brooks et al, 2008). Secara morfologi bakteri ini memiliki bentuk yang sama dengan bakteri Staphylococcus aureus.

Bakteri ini cepat berkembang pada suhu 37°C tetapi suhu terbaik untuk menghasilkan pigmen adalah 20-25°C dengan pH 6-7. Koloninya pada medium padat bentuk bulat, halus, meninggi dan berkilau (Brooks et al, 2008). Bakteri Staphylococcus saprophyticus ini dapat tumbuh pada medium yang mengandung sulfat sebagai sumber nitrogen, tetapi bakteri ini tidak dapat memperoleh amonia dari reduksi nitrat ataupun nitrit. Bakteri ini mendapatkan amonia dari urea yang dihidrolisa oleh urease. Urease dari bakteri inilah yang berperan dalam patogenesis infeksi saluran kemih (Kuroda et al, 2005).

Menurut beberapa penelitian, bakteri ini diketahui telah resistan terhadap antibiotik novobiocin (Raz et al, 2005).

2.3.1.4. Enterococci

Bakteri ini merupakan kokus tunggal yang berbentuk batang atau ovoid dan tersusun seperti rantai (Brooks et al 2008). Bakteri ini juga menghasilkan asam laktat sebagai hasil utama dari fermentasinya. Bakteri ini dapat tumbuh dengan adanya O2 (fakultatif anaerob), tetapi sebagai bakteri pefermentasi, bakteri


(31)

ini tidak mendapatkan keuntungan dari O2 ini dikarenakan bakteri ini tidak memiliki enzim katalase (Nester et al, 2005). Enterococci adalah golongan bakteri nonmotil yang sering disebut sebagai grup antigen D (Kaysar et al, 2005)

Enterococcus tumbuh paling baik pada suhu 15°C dan 45°C. Bakteri ini dapat tumbuh pada agar dengan konsentrasi natrium klorida yang tinggi (6,5%), dalam metilen biru (0,1%), dan dalam empedu-eskulin dan pada pH 9 (Kayser et al, 2005).

Masalah utama pada bakteri ini adalah resistansi, bakteri ini diketahui resistan terhadap beberapa antibiotik, antara lain:

a. Resistansi Intrinsik

Enterococcus secara intrinsik resistan pada sefalosporin, penisilin resistin-penisilinase, dan monobaktam (Brooks et al , 2008).

b. Resistensi pada Aminoglikosida

Terhadap antibiotik aminoglikosida seperti streptomicin atau gentamicin bakteri ini memiliki resistansi tingkat rendah. Tetapi ada beberapa Enterecoccus tingkat resistansi yang tinggi, hal ini diakibatkan adanya modifikasi enzim aminoglikosida enterokokus ( enterococcal aminoglycoside – modifying enzyme) (Brooks et al, 2008).

c. Resistansi terhadap Vancomycin

Vancomycin mengganggu sintesis dinding sel dengan cara berinteraksi dengan D-alanil-D-alanin pada rantai pentapeptida prekursor peptidoglikan . Sedangkan penentu resistansi yang pernah diteliti adalah operon VanA. Ini merupakan suatu sistem gen yang terbungkus di dalam plasmid yang dapat mentransfer sendiri (self transable plasmid) (Brooks et al, 2008).

d. Resistansi terhadap antibiotik β-Laktam

Dengan adanya protein pengikat penisilin pada bakteri ini menyebabkan

afinitas bakteri ini pada antibiotik β-Laktam sangat rendah (Nester et al, 2005)


(32)

Resistansi terhadap antibiotik ini dikarenakan enterokokus dapat menggunakan folat eksogen yang tersedia secara in-vivo yang tidak dapat dihambat oleh antibiotik ini (Brooks et al, 2008).

2.3.2. Bakteri Gram Negatif

Beberapa bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih yaitu : Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.

2.3.2.1. Escherichia coli

Esherichia coli merupakan bakteri gram negatif genus dari Enterobacteriaceae yang memiliki beberapa sifat yaitu : berbentuk batang, bersifat motil dengan flagel peritrik. Bakteri ini merupakan salah satu flora normal tubuh manusia, biasanya ditemukan pada saluran pencernaan. Selain itu bakteri ini secara khas menunjukkan hasil positif pada tes indol, lisin dekarboksilase, fermentasi mannitol, dan menghasilkan gas dari glukosa (Brooks et al, 2008).

Escherichia coli pada media pembiakan membentuk koloni yang sirkular, konveks, dan halus dengan tepi yang tegas. Beberapa media biakan sering digunakan pada bakteri ini seperti : Triptofan, MacConkey, Eosin-metilen biru (EMB), dan Voges-Proskauer (Brooks et al, 2008).


(33)

Escherichia coli merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae penghasil extended-spectrum-β laktamase (ESBL). Produksi ESBL ini mengakibatkan Escherichia coli resistan pada antibiotik seperti penisilin dan cephalosporin (CDC, 2013)

2.3.2.2. Klebsiella pneumoniae

Sama halnya dengan Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae yang memiliki bentuk seperti batang yang pendek tetapi kapsul pada Klebsiella lebih besar dan teratur serta bersifat nonmotil, tumbuh dengan sifat fakultatif anaerob (Brooks et al, 2008). Klebsilla menunjukkan reaksi positif pada produksi urase, reaksi katalase, fermentasi dari glukosa, laktosa, sukrosa tetapi bakteri ini memberikan hasil yang negatif pada tes indol (Sikarwar dan Batra, 2011).

Koloni pada biakan Klebsiella besar, mukoid dan cenderung bersatu pada inkubasi yang lama. Beberapa media biakan sering digunakan pada bakteri ini seperti : Triptofan, MacConkey, Eosin-metilen biru (EMB), dan Voges-Proskauer (Brooks et al, 2008).

Bakteri ini memiliki sensitivitas/ kepekaan yang tinggi pada antibiotik yaitu : ceftriakson, amikacin, dan sefotaksim. Klebsiella memiliki resistansi tinggi pada beberapa antibiotik yaitu : chlorampenicol, penicillin, ampicillin, dan tetracyclin (Refdanita et al, 2004).

2.3.2.3. Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa memiliki bentuk batang, motil serta berukuran sekitar 0,6 x 2 mm. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang dapat muncul dalam bentuk tunggal, berpasangan atau kadang dalam bentuk rantai pendek. Pseudomonas merupakan bakteri yang sering didapat di usus bakteri ini bersifat oksidase positif dan tidak memfermentasi glukosa (Brooks et al 2008).

Bakteri ini merupakan bakteri obligat aerob, yang dapat tumbuh pada banyak jenis biakan, pada suhu 42°C . Pseuodomonas aeruginosa ini membentuk koloni bulat halus dengan warna flouresensi kehijauan. Bakteri ini mnghasilkan


(34)

pioverdi berflouresensi yang memberikan warna hijau pada agar (Brooks et al 2008).

Gambar 2.3. Pigmen piosianin (biru-hijau) yang dihasilkan oleh Pseudomonas aeruginosa menyebar pada agar (Levinson, 2008)

Beberapa strain dari Pseudomonas diketahui telah resistan pada beberapa antibiotik seperti : aminoglikosida, carbapenem, cephalosphorin, fluoroquinolone (CDC, 2013).

2.4. Resistansi Bakteri Terhadap Antibiotik

Resistansi bakteri terhadap antibiotik merupakan suatu masalah dunia, dan sifat resistan ini diketahui dapat menyebar antar negara (CDC, 2013). Dengan adanya masalah resistansi yang meningkat tiap tahunnya hal ini akan membatasi efek dari antibiotik itu sendiri serta memberi keuntungan bagi bakteri lain yang sensitif (Nester et al, 2004). Bakteri yang telah mengalami resistansi diketahui dapat menyebar, bakteri ini dapat menyebar melalui para praktisi kesehatan yang sebelumnya memiliki kontak pada bakteri yang telah resistan (CDC, 2013).

Beberapa hal dilakukan untuk mengetahui bakteri apa yang telah mengalami resistansi. Pada percobaan hal ini dapat diketahui dengan menilai atau membandingkan minimum inhibitory concentration (MIC). MIC merupakan konsentrasi dari antibiotik di mana pada konsentrasi tersebut sudah dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Semakin tinggi nilai dari MIC maka kemungkinan bakteri tersebut telah mengalami resistansi ( Joyner, 2007).


(35)

2.4.1. Mekanisme Resistansi Bakteri Terhadap Antibiotik

Terdapat berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme mengalami resistansi :

a. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif. Contohnya adalah Stafilokokus yang mengalami resistan pada bakteri

penghasil enzim β-Laktamase yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. b. Mikroorganisme mengubah target molekul. Sebuah obat antimikroba

mengenali dan berikatan pada target molekul yang spesifik. Perubahan sedikit pada target yang berasal dari mutasi dapat mencegah obat berikatan.

c. Penurunan ambilan obat. Protein porin yang berada di membran luar dari bakteri gram negatif secara selektif memperbolehkan molekul hidrofobik untuk memasuki sel. Perubahan pada protein ini dapat mengubah permeabilitas dan mencegah beberapa obat memasuki sel.

d. Penurunan eliminasi obat. Sistem yang digunakan oleh bakteri untuk transpor bahan yang telah rusak dikenal sebagai efflux pump. Perubahan yang mengakibatkan peningkatan kerja dari pompa ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat eliminasi dari sebuah organisme pada obat, sehingga mengakibatkan bakteri dapat bertahan pada konsentrasi tinggi dari obat (Nester et al, 2004).

2.4.2. Uji Resistansi

Terdapat dua uji standar yang sering digunakan untuk menentukan level resistansi bakteri pada yaitu (Kayser, 2005) :

A. Dilution Test

Faktor dua seri pengenceran agen secara geometris disediakan pada media nutrisi, diinokulasikan dengan organisme yang akan diuji dan diinkubasikan kemudian konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan ditentukan. Pada agar dilution test piringan nutrien agar yang mengandung antibiotik diinokulasikan dengan organisme yang akan diuji.


(36)

B. Agar Diffusion Test

Pada tes ini dilakukan inokulasi yang difus pada agar nutrien dengan organisme yang akan diuji. Kemudian disk/cakram ataupun kertas filter yang mengandung agen antimikroba diletakkan pada agar kemudian diinkubasikan. Zona inhibisi di sekitar disk memberikan informasi resistansi dari organisme tersebut. Hal ini sangat mungkin karena terdapat hubungan antara log2 MIC dan diameter zona inhibisi.

Gambar 2.4. Contoh Agar Diffusion Test terlihat adanya Zona inhibisi di sekitar disk (Kayser, 2005)


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

URIN PASIEN SUSPEK ISK

POLA KEPEKAAN IDENTIFIKASI BAKTERI

Bakteriuria (+) Bakteriuria (-)


(38)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional

Cara Ukur Alat ukur Skala Ukur Hasil Ukur Urin pasien Suspek ISK Urin pasien dengan diagnosis secara klinis adalah ISK Nominal Identifikasi Bakteri Mengetahui Sebaran bakteri-bakteri penyebab ISK pada u Kultur Identifikasi Metode Konvension al

Nominal Bakteri Penyebab ISK Pola Kepekaan Kemampuan suatu anti bakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengukur diameter zona hambat dan disesuaikan dengan tabel CLSI Agar Diffusion Test Jangka Sorong

Nominal Bakteri Mengalami perubahan pola kepekaan atau tidak yang disesuaikan dengan tabel CLSI


(39)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional atau potong lintang untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi saluran kemih dan pola kepekaannya pada urin pasien suspek ISK.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – September 2014, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Haji Adam Malik dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh urin pasien dengan diagnosis sementaranya adalah infeksi saluran kemih yang dilakukan pemeriksaan urin di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosis sementara infeksi saluran kemih di RSUP Haji Adam Malik Medan, yang telah memenuhi kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah : Kriteria Inklusi :

1. Pasien dengan diagnosis klinisnya adalah infeksi saluran kemih

2. Pasien yang menjalani pemeriksaan urin di laboratorium mikrobiologi RSUP Haji Adam Malik Medan

Kriteria Eksklusi :


(40)

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling di mana semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Adapun jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus estimasi proporsi suatu populasi (Sastroasmoro, 2013) :

�= ��

2 ��

�2 Dengan :

n : Jumlah sampel minimum

��2 : Nilai distribusi normal pada tabel Z dengan nilai α tertentu

p : Proporsi di populasi q : 1- p

d : Perbedaan hasil klinis ( effect size)

Pada penelitian ini tingkat kepercayaan yang dikehendaki adalah 95%

dengan nilai α adalah 5% sehingga diperoleh nilai nilai Zα sebesar 1,96. Nilai P yang digunakan adalah 0,5 maka nilai q adalah 1-0,5 yaitu 0,5. Nilai d pada penelitian ini digunakan 15%. Maka jumlah sampel yang diperlukan sesuai rumus di atas adalah

�= ��

2 ��

�2

�= 1,96 × 1,96 × 0,5 × 0,5

0,15 × 0,15 = 42,6

Maka jumlah sampel yang digunakan adalah 42,6, angka tersebut kemudian dibulatkan menjadi 45 sampel urin.


(41)

4.4. Teknik Pengambilan Data

Pada penelitian ini menggunakan data primer berupa urin pasien suspek ISK yang didapatkan dari Instalasi Klinik Mikrobiologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Sampel segera dibawa dalam wadah khusus ke laboratorium mikrobiologi FK USU di mana kemudian langsung dilakukan uji identifikasi dan uji pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotika.

4.5. Alat dan Bahan 4.5.1. Alat

a. Inkubator b. Lampu Spritus c. Oase (Sengkelit) d. Tabung Kultur e. Jangka Sorong f. Rak Tabung Reaksi g. Tabung Reaksi h. Spidol

i. Pinset 4.5.2. Bahan

a. Mid Portion Urine atau Urin Kateter b. Gentian Violet

c. Safranin d. Alkohol 96% e. Aquadest

f. Media Gula Gula

g. Agar Darah (Blood Agar) h. Urea Broth

i. Media Katalase

j. Meuller Hinton Agar (MHA) k. Cakram Antibiotik

i). Tazobactam ii). Cefuroxime


(42)

iii). Cefepime iv). Amikacin v). Piperacillin vi). Ampicillin vii). Kanamicin vii). Chloramphenicol ix). Tetracyclin x). Ceftazidime xi). Ceftriaxone xii). Cotrimoxazole xiii). Meropenem xvi). Cefotaxime xv). Erithromicin xvi). Ciprofloxacin xvii). Norfloxacin xviii).Ofloxacin xix). Klindamicin xx). Gentamicin

l. Reagens dan media untuk identifikasi metode uji biokimia: TSI Agar, uji Indol, Methyl-red, uji sitrat, Voges-Proskauer, uji motilitas dan uji fermentasi karbohidrat.

4.6. Prosedur dan Teknik Penelitian 4.6.1. Persiapan Sampel

Urin dari pasien suspek ISK yang diambil merupakan urin porsi tengah (mid portion urine) maupun urin kateter. Kemudian urin tersebut ditanam di media pembiakan pada agar darah (blood agar) kemudian setelah bakteri tersebut ditanam dilakukan penghitungan jumlah koloni bakteri tersebut. Apabila

≥105

CFU/ml maka sampel tersebut disebut sebagai bakteriuria bermakna yang kemudian akan dilakukan uji identifikasi bakteri.


(43)

4.6.2. Uji Identifikasi Bakteri

Bakteri yang telah ditanam pada media biakan kemudian akan dilakukan pewarnaan gram untuk menentukan bakteri tersebut merupakan bakteri gram negatif atau positif. Kemudian bakteri tersebut dilakukan pemeriksaan biokimia berupa uji seperti : media gula gula, TSI agar, Uji Urease, Methyl Red, Voges Proskaeur (VP), Uji Katalase, Uji Indol, Uji Citrat, dan Uji Motilitas.

4.6.3. Pola Kepekaan

Adapun prosedur yang digunakan pada uji kepekaan pada penelitian ini adalah :

a. Ambil koloni bakteri yang akan diujikan kepekaannya dan disuspensikan ke dalam NaCl fisiologis dalam tabung reaksi.

b. Kekeruhan bakteri pada tabung tadi disesuaikan dengan standar Mc-Farland 0,5

c. Kemudian kapas lidi steril dicelupkan ke dalam medium cair yang berisi bakteri tersebut

d. Dengan gerakan menekan dan memutar, kapas lidi tersebut diusapkan pada dinding tabung

e. Kapas lidi tersebut kemudian diusapkan pada permukaan lempeng agar Mueller Hinton dan disebarkan secara merata pada permukaan agar tersebut kemudian hal tersebut dilakukan pada arah yang lain sehingga tidak ada zona yang kosong dan betul-betul merata

f. Kemudian letakkan cakram antibiotik pada lempeng agar tersebut dengan menggunakan pinset

g. Lalu diamkan selama 3-5 menit

h. Kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam dengan suhu 37°C

i. Pengukuran diameter zona hambat dengan menggunakan jangka sorong pada zona yang jernih dan kemudian dicatat hasil pemeriksaannya


(44)

4.7. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang telah didapatkan, dilakukan pencatatan, dan dikelompokkan. Kemudian tiap-tiap data tersebut dimasukkan ke dalam komputer yang akan dianalisa menggunakan software komputer, yang disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui identifikasi dan pola kepekaan dari bakteri yang diisolasi dari urin pasien suspek ISK.


(45)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

Proses pengambilan data dalam penelitian ini dimulai pada tanggal 10 September 2014 sampai tanggal 17 Oktober 2014 di RSUP H. Adam Malik Medan dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sampel merupakan urin pasien suspek infeksi saluran kemih, dengan jumlah sampel yang digunakan adalah 45 sampel. Sampel yang digunakan adalah urin pasien dengan bakteriuria signifikan yaitu lebih dari 105 CFU/ml urin.

5.1.1. Karakteristik Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer berupa urin pasien suspek infeksi saluran kemih yang didapatkan dari Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUP. Haji Adam Malik Medan. Jumlah sampel yang digunakan adalah 45 sampel, sampel merupakan urin pasien dengan bakteriuria significant yaitu ≥ 105 CFU/ml urin. Urin pasien suspek infeksi saluran kemih yang didapat kemudian disesuaikan dengan data rekam medisnya sehingga didapat distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan gejala klinisnya, dengan karakteristik sebagai berikut :

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa jumlah sampel berdasarkan jenis kelamin maka didapat laki – laki 35 (77,8%) sampel dan jumlah sampel perempuan 10 (22%) sampel.

Jenis Kelamin n %

Laki-Laki 35 77,8

Perempuan 10 22


(46)

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Usia Sampel

Berdasarkan tabel 5.2 dapat kita lihat bahwa usia yang paling sering mengalami infeksi saluran kemih pada penelitian ini adalah usia diatas 41-60 tahun (46,7%) yang kemudian diikuti usia 61-80 tahun (24,4%) dan pada usia ≤ 40tahun (13,3%).

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Gejala Klinis Sampel

Berdasarkan tabel 5.3 didapatkan gejala klinis sampel adalah nyeri buang air kecil 32 (71,1%), nyeri pinggang 9 (19,9%), polakisuria 4 (8,8%).

5.1.2. Deskripsi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK USU maka didapat bakteri penyebab infeksi saluran kemih sebagai berikut :

Tabel 5.4 Frekuensi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih

Berdasarkan tabel 5.4 maka didapat bakteri penyebab infeksi saluran kemih terbanyak adalah bakteri gram negatif dengan jumlah 43 sampel (95,6%). Adapun

Usia (Tahun) n %

≤20 6 13,3

21-40 6 13,3

41-60 21 46,7

61-80 11 24,4

81- 100 1 2,2

Total 45 100

Gejala Klinis n %

Nyeri Buang Air Kecil 32 71,1

Nyeri Pinggang 9 19,9

Polakisuria 4 8,8


(47)

bakteri gram negatif yang didapat adalah Escherichia coli sebanyak 24 sampel (53,3%) kemudian diikuti oleh Klebsiella pneumoniae sebanyak 9 sampel (20,0%) kemudian Acinetobacter sp. sebanyak 4 sampel (8,9%).

5.1.3 Deskripsi Pola Kepekaan Bakteri

Adapun pola kepekaan dari bakteri yang diteliti adalah sebagai berikut :

Tabel 5.5 Distribusi Escherichia coli berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotika

Berdasarkan tabel 5.5, E. coli sensitif terhadap antibiotik amikacin (70,8%), chloramphenicol (66,7%), tazobactam (58,3%) serta resistan terhadap cefotaxime (95,8%), ciprofloxacin (95,8%), norfloxacin (95,8%), ofloxacin (95,8%) ceftriaxone (91,7%), ceftazidime (91,7%), cefuroxime (91,7%), ampicillin (91,7%), piperacillin (85,7%), tetracyclin (83,3%), cefepime (80,3%), meropenem (58,3%).


(48)

Tabel 5.6 Distribusi Klebsiella pneumoniae berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik

Berdasarkan tabel 5.6 K. pneumoniae sensitif terhadap amikacin (100%), chloramphenicol (88,9%), tazobactam (77,8%), serta resistan terhadap cefuroxime (100%), cefotaxime (100%), ceftriaxone (100%) ampicillin (88,9%), cefepime (77,8%), ciprofloxacin (77,8%), norfloxacin (77,8%), ofloxacin (77,8%), ceftazidime (66,7%), cotrimoxazole (66,7%).


(49)

Tabel 5.7 Distribusi Acinetobacter sp. berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik

Berdasarkan tabel 5.7, Acinetobacter sp. sensitif terhadap antibiotik seperti amikacin (100%), meropenem (100%), dan resistan terhadap cefepime (75%), piperacillin (75%), ceftazidime (75%), ceftriaxone (75%), cefotaxime (75%), ciprofloxacin (75%), norfloxacin (75%), ofloxacin (75%).

Antibiotika

Pola Kepekaan

Sensitif Intermediate Resistan Tazobactam 2 (50,0%) 0 (0,0%) 2 (50,0%) Cefepime 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Amikacin 4 (100,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Piperacillin 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Tetracyclin 2 (50,0%) 1 (25,0%) 1 (25,0%) Ceftazidime 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Ceftriaxone 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Cotrimoxazole 2 (50,0%) 0 (0,0%) 2 (50,0%) Meropenem 4 (100,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Cefotaxime 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Ciprofloxacin 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Norfloxacin 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%) Ofloxacin 1 (25,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%)


(50)

Tabel 5.8 Distribusi Enterobacter cloacae berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotik

Berdasarkan tabel 5.8, E. cloacae sensitif terhadap meropenem (100%), tazobactam (66,7%), cefepime (66,7%), amikacin (66,7%), piperacillin (66,7%), tetracyclin (66,7%), cefotaxime (66,7%), ciprofloxacin (66,7%), norfloxacin (66,7%), ofloxacin (66,7%) serta resistan terhadap cefuroxime (100%), ampicillin (100%), kanamicin (66,7%), chloramphenicol (66,7%), ceftriaxone (66,7%), dan cotrimoxazole (66,7%).

Antibiotika

Pola Kepekaan

Sensitif Intermediate Resistan Tazobactam 2 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%) Cefuroxime 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (100%) Cefepime 2 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%) Amikacin 2 (66,7%) 1 (33,3%) 0 (0,0%) Piperacillin 2 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%) Ampicillin 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (100%) Kanamicin 1 (33,3%) 0 (0,0%) 1(66,7%) Chloramphenicol 1 (33,3%) 0 (0,0%) 2 (66,7%) Tetracyclin 2 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%) Ceftazidime 1 (33,3%) 1 (33,3%) 1 (33,3%) Ceftriaxone 1 (33,3%) 0 (0,00%) 2 (66,7%) Cotrimoxazole 1 (33,3%) 0 (0,0%) 2 (66,7%) Meropenem 3 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Cefotaxime 2 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3,%) Ciprofloxacin 3 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%) Norfloxacin 3 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%) Ofloxacin 3 (66,7%) 0 (0,0%) 1 (33,3%)


(51)

Tabel 5.9 Distribusi Pseudomonas sp. berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotika

Berdasarkan tabel 5.9, Pseudomonas. sp sensitif terhadap tazobactam (100%), dan resistan terhadap cefepime (50%), amikacin (50%), piperacilin (50%), ceftazidime (50%) dan meropenem (50%).

Tabel 5.10 Distribusi Providencia stuartii berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotika

Berdasarkan tabel 5.10, P.stuartii sensitif terhadap tazobactam (100%), amikacin (100%), piperacillin (100%), ceftazidime (100%), meropenem (100%), norfloxacin (100%), ofloxacin (100%). Berdasarkan tabel 5.10. didapati bahwa P.stuartii tidak resistan terhadap tiap antibiotik yang diujikan.

Nama Antibiotika

Pola Kepekaan

Sensitif Intermediate Resistan Tazobactam 2 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Cefepime 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (50,0%) Amikacin 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (50,0%) Piperacillin 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (50,0%) Ceftazidime 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (50,0%) Meropenem 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (50,0%)

Antibiotika

Pola Kepekaan

Sensitif Intermediate Resistan Tazobactam 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Cefepime 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Amikacin 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Piperacillin 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Ceftazidime 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Meropenem 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Ciproflloxacin 0 (0,0%) 1 (100%) 0 (0,0) Norfloxacin 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Ofloxacin 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)


(52)

Tabel 5.11 Distribusi Enterococcus faecalis berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotika

Berdasarkan tabel 5.11, E. faecalis resistan terhadap ampicillin (100%), dan chloramphenicol (100%), ciprofloxacin (100%), norfloxacin (100%), ofloxacin (100%).

Tabel 5.12. Distribusi Staphylococcus sciuri berdasarkan pola kepekaannya terhadap beberapa antibiotika

Berdasarkan tabel 5.12, S. sciuri sensitif terhadap tetracyclin (100%) dan gentamicin (100%), serta resistan pada chloramphenicol (100%), ciprofloxacin (100%), norfloxacin (100%), ofloxacin (100%), klindamicin (100%).

Antibiotika

Pola Kepekaan

Sensitif Intermediate Resistan Ampicillin 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%) Chloramphenicol 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%) Tetracyclin 0 (0,0%) 1 (100%) 0 (0,0%) Erithromicin 0 (0,0%) 1 (100,0%) 0 (0,0%) Ciprofloxacin 0 (0,%) 0 (0,%) 1 (100%) Norfloxacin 0 (0,%) 0 (0,%) 1 (100%) Ofloxacin 0 (0,%) 0 (0,%) 1 (100%)

Antibiotika

Pola Kepekaan

Sensitif Intermediate Resistan Chloramphenicol Tetracyclin 0 (0,0%) 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%) 0 (0,0%) Erithromicin 0 (0,0%) 1 (100%) 0 (0,0%) Ciprofloxacin 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%) Klindamicin 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%) Gentamicin 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) Norfloxacin 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%) Ofloxacin 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (100%)


(53)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih

Pada penelitian ini berdasarkan distribusi sampel (tabel 5.1.) ditemukan jumlah sampel laki – laki yang mengalami infeksi saluran kemih (77,8%) lebih banyak daripada perempuan (22%). Distribusi sampel yang didapatkan pada penelitian ini berbanding terbalik dengan beberapa penelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa perempuan lebih banyak mengalami infeksi saluran kemih (Samirah et al., 2004). Peningkatan jumlah laki - laki dengan infeksi saluran kemih yang cukup signifikan dapat terjadi pada laki - laki dengan usia diatas 50 tahun akibat adanya kecenderungan pada laki - laki umur tersebut untuk mengalami penyakit seperti prostatitis, epidedimitis, orchitis, uretheritis dan penggunaan kateter urin. Apabila infeksi saluran kemih muncul pada laki - laki maka manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan pada perempuan (Brusch, et al., 2014). Dari segi umur pada penelitian ini (tabel 5.2.), usia yang paling sering mengalami infeksi saluran kemih adalah usia 41-60 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Brusch (2014) bahwa laki - laki pada usia di atas 50 tahun lebih sering mengalami infeksi saluran kemih. Selain itu perbedaan karakteristik ini dapat diakibatkan jumlah sampel yang sedikit sehingga kurang menggambarkan distribusi sampel.

Pada tabel 5.3 diketahui bahwa gejala klinis yang paling sering muncul pada pasien infeksi saluran kemih adalah nyeri buang air kecil, yang kemudian diikuti nyeri pinggang dan polakisuria. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya menurut Sukandar (2009) gejala klinis dari infeksi saluran kemih dapat berupa disuria, polakisuria, nyeri pinggang, nokturia, dan stranguria.

Pada tabel 5.4, penelitian ini menunjukkan bakteri yang paling sering mengakibatkan infeksi saluran kemih adalah bakteri gram negatif (95,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama pada penelitian yang dilakukan oleh Behzadi et al. (2010), serta penelitian Endriani et al. (2009) di Pekanbaru yang menemukan bahwa bakteri gram negatif sebagai bakteri penyebab utama infeksi saluran kemih. Sedangkan bakteri gram positif ditemukan dalam jumlah yang sedikit (4,4%) pada penelitian ini, hal ini sesuai dengan penelitian Kothari (2008)


(54)

yang menyebutkan bakteri gram positif merupakan penyebab yang jarang menyebabkan infeksi saluran kemih (4,3%).

Adapun jenis bakteri gram negatif yang menyebabkan infeksi saluran kemih yang diisolasi pada penelitian ini adalah Acinetobacter sp., Enterobacter cloacae, Escherichia coli, Pseudomonas sp., Klebsiella pneumoniae, dan Providencia stuartii.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Escherichia coli merupakan penyebab paling banyak infeksi saluran kemih (55,6%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Ejaz et al. (2011) dimana ditemukan persentase Escherichia coli sebagai penyebab infeksi saluran kemih 544 (27,9%). Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Samirah et al. (2004) di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar (39,4%) serta penelitian Bindu, et al. (2014) yang juga menemukan Escherichia coli sebagai penyebab infeksi saluran kemih (49,16%). Adanya flora normal di saluran cerna yang menginvasi (berpindah) ke uretra dan bermultiplikasi dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih. Salah satu flora normal saluran cerna yang paling banyak adalah Escherichia coli sehingga dengan adanya faktor tersebut bakteri ini sering mengakibatkan infeksi saluran kemih (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2005). Selain faktor diatas adanya fimbriae atau sering disebut pili pada Escherichia coli dapat membantu perlekatan Escherichia coli pada mukosa saluran kemih sehingga dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih (Madappa, 2014)

Bakteri penyebab infeksi saluran kemih lainnya adalah Klebsiella pneumoniae (20%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Samirah et al. (2004) di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar yang menemukan bahwa Klebsiella pneumoniae adalah bakteri terbanyak kedua (26,3%) penyebab infeksi saluran kemih, serta penelitian oleh Kothari (2008) di India sebanyak 90 (16%), penelitian yang dilakukan oleh Bindu, et al. (2014) juga mengemukakan hal yang sama dimana Klebsiella pneumoniae adalah penyebab kedua infeksi saluran kemih. Bakteri gram negatif lainnya seperti Acinetobacter sp., Enterobacter cloacae, Pseudomonas sp., Providencia stuartii, pada penelitian ini ditemukan dengan jumlah yang sedikit dengan jumlah keseluruhan kurang dari 20%.


(55)

Bakteri gram positif yang diisolasi pada penelitian ini ditemukan dalam jumlah yang sedikit (4,4%) adapun bakteri gram positif yang diisolasi adalah Enterococcus faecalis dan Staphylococcus sciuri. Enterococcus faecalis merupakan flora normal saluran cerna yang dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi nasokomial salah satu infeksi yang paling sering adalah infeksi saluran kemih (Kau et al., 2004). Menurut Stephanovic (2003), Staphylococcus sciuri merupakan bakteri yang jarang diisolasi dari sampel urin, namun bakteri ini kemungkinan dapat menyebabkan bakteriuria asimptomatik sekitar 40%. Selain itu, menurut Ahoyo (2013), Staphylococcus sciuri merupakan bakteri yang relatif sering dijumpai di rumah sakit. Staphylococcus sciuri dapat dengan mudah menyebar di lingkungan rumah sakit sehingga isolasi dari bakteri ini dapat menjadi pertanda perlunya memepetahankan higienitas yang terstandar dengan baik (Ahoyo, 2013). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peran Staphylococcus sciuri sebagai uropatogen khususnya pada pasien yang dirawat di rumah sakit (Stepahnovic, S., et al., 2003). Meskipun demikian, frekuensi bakteri gram negatif lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri gram positif sebagai penyebab infeksi saluran kemih (Gul et al., 2004)

5.2.2. Pola Kepekaan Bakteri Penyebab Infeksi saluran Kemih 5.2.2.1. Escherichia coli

Dari penelitian ini didapati Escherichia coli sensitif terhadap beberapa antibiotik yaitu : amikacin (70,8%), chloramphenicol (66,7%) dan tazobactam (58,3%) serta resistan terhadap beberapa antibiotik golongan cephalosphorin (cefotaxime (95,8%), ceftazidime (91,7%), ceftriaxone (91,7%), cefuroxime (91,7%), dan cefepime (80,3%)), antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin (95,8%), norfloxacin (95,8%), ofloxacin (95,8%)) dan beberapa antibiotik seperti ampicillin (91,7%) dan tetracyclin (83,3%). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Samirah et al., (2004) dimana didapati Escherichia coli sensitif terhadap amikacin serta penelitian Bindu, et al. (2014) dimana Escherichia coli sensitif terhadap antibiotik amikacin, gentamicin, dan nitrofurantoin. Menurut penelitian Kumar (2013) didapati bahwa Escherichia coli


(56)

sensitif terhadap beberapa antibiotika seperti tazobactam, amikacin, dan chloramphenicol sedangkan terhadap antibiotik golongan cephalosporin didapati angka resistan yang tinggi. Pada penelitian Ohieku (2013) ditemukan Escherichia coli resistan terhadap antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, pefloxacin, norfloxacin, dan nalidixic acid) hasil tersebut sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini, dimana pada penelitian ini didapati isolat Escherichia coli resistan terhadap antibiotik golongan fluoroquinolone.

Adanya Escherichia coli resistan terhadap antibiotik cephalosporin diakibatkan produksi extended spectrum β lactamase (ESBL) oleh bakteri ini (Kumar, 2013). Enzim ESBL dapat mengakibatkan bakteri resistan terhadap antibiotik golongan cephalosphorin, dimana dengan adanya enzim tersebut maka

bakteri dapat menghidrolisis cincin β–laktam sehingga dapat mengakibatkan bakteri resistan (Brooks, et al., 2008). Pada penelitian ini didapati Escherichia coli resistan terhadap fluoroquinolone dimana Escherichia coli yang resistan terhadap fluoroquinolone dikaitkan dengan adanya penyebaran secara klonal dari plasmid yang telah resistan tetapi faktor lingkungan seperti penggunaan antibiotik yang tidak rasional mungkin berperan dalam peningkatkan angka resistansi E. coli terhadap fluoroquinolone (Ohieku, 2013).

5.2.2.2. Klebsiella pneumoniae

Pada penelitian ini didapati Klebsiella pneumoniae sensitif terhadap amikacin (100%), chloramphenicol (88,9%), dan tazobactam (77,8%) serta resistan terhadap antibiotik golongan cephalosphorin (cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime) dengan persentase masing-masing antibiotik tersebut 100%, antibiotik golongan flouroquinolon (ciprofloxacin, norfloxacin, dan ofloxacin) dengan persentase masing masing (77,8%) serta ampicillin (88,9%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Refdenita et al. di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta (2004) didapati hasil yang berbeda, pada penelitian tersebut didapati Klebsiella pneumoniae sensitif terhadap ceftriaxone, amikacin dan fosfomicin. Hasil yang berbeda juga ditemukan pada penelitian di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo (Samirah, 2004) dimana Klebsiella pneumoniae sensitif terhadap antibiotika golongan cephalosphorin (ceftriaxone, cefotaxime, cefepime),


(57)

norfloxacin, dan ciprofloxacin. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2013) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penelitian ini, dimana Klebsiella pneumoniae sensitif terhadap antibiotik seperti imipinem, amikacin, ampicillin/sulbactam, nitrofurantoin, serta resistan terhadap antibiotik seperti antibiotik golongan cephalosphorin (ceftazidime, cefepime, cefuroxime), ampicillin serta cotrimoxazole. Menurut penelitian Bindu (2014), 50-60% Klebsiella pneumoniae resistan terhadap antibiotik golongan fluoroquinolone (ofloxacin dan ciprofloxacin). Hal ini menunjukkan adanya perubahan pola kepekaaan bakteri terhadap antibiotik dari waktu ke waktu (Refdenita, et al., 2009).

Seperti halnya Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu bakteri penghasil ESBL sehingga Klebsiella pneumoniae resistan terhadap beberapa antibiotik seperti cephalosporin yang diakibatkan adanya produksi ESBL (Kumar, et al., 2013). Adanya perubahan target dan penurunan akumulasi fluoroquinolone yang diakibatkan oleh impermeabilitas dari membran dan ekspresi berlebihan dari pompa efluks merupakan mekanisme resistansi bakteri ini terhadap fluoroquinolone (Ruiz, 2003).

5.2.2.3. Acinetobacter sp

Berdasarkan tabel 5.6. diketahui bahwa bakteri Acinetobacter sp. paling sensitif terhadap antibiotik seperti meropenem, amikacin dengan persentase masing-masing 100%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Aliskan (2008) yang menemukan bahwa Acinetobacter sp. sensitif terhadap antibiotik seperti meropenem (98%). Pada penelitian ini, isolat Acinetobacter sp. resistan terhadap antibiotik golongan cephalosphorin (cefepime, ceftazidime, ceftriaxone dan cefotaxime), golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, norfloxacin dan ofloxacin) serta piperacillin dengan persentase masing-masing antibiotik 75%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shrestha (2013) dimana ditemukan Acinetobacter sp. telah resistan terhadap antibiotik golongan cephalosporin. Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Berry (2013), dimana pada penelitian tersebut diketahui isolat Acinetobacter sp. resistan terhadap antibiotik


(58)

golongan fluoroquinolone seperti ciprofloxacin dan norfloxacin. Sedangkan menurut penelitian Perween et al. (2014), Acinetobacter sp. resistan terhadap meropenem dimana hasil pada penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian ini didapati bahwa Acinetobacter sp. sensitif terhadap meropenem. Hasil di atas menunjukkan bahwa terjadi perubahan pola kepekaan bakteri dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Tingkat resistansi dari bakteri ini semakin meningkat tiap satuan waktu dan menjadi masalah dalam pengobatan (CDC, 2013).

Enzim Acinetobacter-derived cephalosporinases yang dihasilkan oleh bakteri ini dapat menghidrolisis penicillin dan cephalosphorin sehingga meningkatkan angka resistansi bakteri ini terhadap antibiotik golongan cephalosphorin (Manchanda. V, 2010). Serta dengan adanya modifikasi dari DNA-gyrase ataupun topoisomerase IV melalui mutasi gen pada Acinetobacter baumannii yang dapat mengganggu tempat pengikatan dari bakteri ini sehingga dapat mengakibatkan bakteri ini resistan terhadap antibiotik golongan fluoroquinolone (Peleg, et al., 2008).

5.2.2.4. Enterobacter cloacae

Pada tabel 5.7. didapati Enterobacter cloacae sensitif terhadap beberapa antibiotik seperti meropenem (100%), tazobactam, cefepime, amikacin, piperacillin, tetracyclin dan cefotaxime dengan persentase masing–masing (66,7%) serta resistan terhadap ampicillin (100%), cefuroxime (100%), kanamicin, cotrimoxazole, chloramphenicol, ceftriaxone, ciprofloxacin, norfloxacin dan ofloxacin dengan persentase masing-masing antibiotik 66,7%. Hasil ini sedikit berbeda dengan dengan penelitian Esquivel et al. (2008) dimana ditemukan Enterobacter cloacae sensitif terhadap amikacin, ciprofloxacin, cefuroxime, tetracyclin, ceftazidime, dan ceftriaxone serta resistan terhadap ampicillin, piperacillin, dan trimetoprim-sulfametoxazole. Resistansi isolat ini terhadap antibiotik golongan fluoroquinolone semakin meningkat, dimana resistansi isolat ini terhadap antibiotik golongan fluoroquinolone didominasi


(59)

dengan adanya mutasi kromosomal tetapi resistansi ini dapat juga diakibatkan oleh plasmid yang mengkode gen qnr (Paauw et al.¸2006).

5.2.2.5. Pseudomonas sp.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan Pseudomonas sp. sensitif terhadap tazobactam (100%) dan resistan terhadap cefepime, amikacin, piperacillin, ceftazidime, meropenem dengan persentase masing-masing 50%. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Bindu, et al. (2014) dimana didapati Pseudomonas sp. resistan terhadap antibiotik golongan cephalosphorin dan nitrofurantoin. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Samirah et al. (2004) dimana ditemukan Pseudomonas sp. masih sensitif terhadap antibiotik seperti amikacin, cefepime, dibekacin, dan norfloxacin. Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya perubahan patogenesitas dan pola kepekaan bakteri dari waktu ke waktu (Rajat, et al., 2012). Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa isolat ini telah resistan terhadap antibiotik golongan cephalosphorin (cefepime, ceftazidime) hal ini mendukung fakta bahwa Pseudomonas sp. telah mengalami penurunan sensitivitas pada cephalosphorin (Rajat, et al., 2012). Menurut Lambert (2005) adanya resistansi Pseudomonas aeruginosa terhadap semua kelas antibiotik dihubungkan dengan permeabilitas dinding selnya yang rendah sehingga menyebabkan antibiotik tidak dapat terakumulasi dalam bakteri ini. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kombinasi dari terbatasnya permeabilitas dinding luar sel bakteri dengan efisiennya kerja pompa efluks dalam membuang molekul-molekul antibiotik yang menembus dinding sel (Lambert, PA., 2005).

5.2.2.6. Providencia stuartii

Berdasarkan tabel 5.9. Providencia stuartii sensitif terhadap antibiotik tazobactam, amikacin, piperacillin, ceftazidime, meropenem, norfloxacin dan ofloxacin dengan persentase masing–masing 100%. Pada penelitian sebelumnya oleh Tran pada tahun 2010, Providencia stuartii resistan terhadap antibiotik seperti imipenem, cefepime, dan cefoxitin. Adanya resistansi ini diakibatkan mutasi pada protein porin sehingga terjadi penurunan sensitifitas bakteri, tetapi


(60)

secara umum bakteri ini masih sensitif terhadap antibiotik. Pada penelitian ini Providencia stuartii tidak ditemukan resistan terhadap antibiotik yang diujikan, hal ini mungkin diakibatkan oleh jumlah Providencia stuartii yang diisolasi pada penelitian ini hanya satu sehingga kurang menggambarkan pola kepekaannya. 5.2.2.7. Enterococcus faecalis dan Staphylococcus sciuri

Enterococcus faecalis dan Staphylococcus sciuri merupakan bakteri gram positif yang ditemukan pada penelitian ini. Menurut Kau, et al. (2004) infeksi yang disebabkan oleh Enterococcus faecalis merupakan infeksi yang sulit diterapi karena bakteri ini sering kali resistan terhadap berbagai antibiotik. Pada penelitian ini, isolat Enterococcus faecalis resistan terhadap chloramphenicol, ampicillin serta antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, norfloxacin, dan ofloxacin) dengan persentase masing-masing antibiotik 100% sedangkan pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa Enterococcus faecalis sensitif terhadap linezolid, vancomycin, nitrofurantoin, norfloxacin, serta gentamicin. (Srivastava, et al., 2013). Sedangkan isolat Staphylococcus sciuri sensitif terhadap antibiotik seperti tetracyclin, gentamicin masing-masing 100% dan resistan terhadap chloramphenicol, ciprofloxacin, norfloxacin, ofloxacin, dan klindamicin masing-masing 100%. Hasil ini berbeda dengan penelitian Ahoyo et al. (2013) dimana Staphylococcus sciuri sensitif terhadap chloramphenicol, ciprofloxacin dan resistan terhadap penicillin, cotrimoxazole. Sedikitnya jumlah sampel yang berhasil diisolasi pada penelitian ini menyebabkan hasil yang diperoleh belum dapat menggambarkan pola kepekaan kedua jenis bakteri ini pada penderita infeksi saluran kemih.


(61)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dari penelitian ini, maka didapat kesimpulan pada penelitian ini yaitu :

1. Pada penelitian ini didapatkan bahwa bakteri golongan Gram negatif adalah penyebab utama infeksi saluran kemih di RSUP H Adam Malik, dengan tiga bakteri penyebab ISK tersering yaitu Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan Acinetobacter sp.

2. Rata-rata bakteri Gram negatif pada penelitian ini sensitif terhadap antibiotika tazobactam, amikacin, meropenem, piperacillin, dan chloramphenicol. Serta resistan terhadap antibiotika golongan cephalosporin, golongan fluoroquinolone, serta antibiotika golongan penicillin.

3. Pada penelitian ini didapatkan dua bakteri golongan Gram positif penyebab ISK yaitu Enterococcus faecalis dan Staphylococcus sciuri dalam jumlah kecil, dimana Enterococcus faecalis resistan terhadap hampir seluruh antibiotika yang diujikan, sedangkan Staphylococus sciuri sensitif terhadap tetracyclin dan gentamicin.

4. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien infeksi saluran kemih lebih banyak pada laki–laki dibandingkan dengan perempuan, dengan rentang usia terbanyak yaitu diatas 50 tahun, dan gejala klinis terbanyak adalah nyeri buang air kecil/disuria.

6.2. Saran

Setelah pemaparan hasil penelitian ini, maka beberapa saran di bawah ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para pembaca, antara lain:

1. Penelitian untuk identifikasi bakteri penyebab infeksi saluran kemih perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, sehingga dapat melihat gambaran maupun distribusi secara mendalam


(1)

Pola Kepekaan Bakteri Terhadap Ciprofloxacin Crosstabulation

Ciprofloxacin Total

- R

NamaBakteri

Acitenobacter Sp 4 0 4

E. Clocaceae 3 0 3

E. Coli 24 0 24

E. Faecalis 1 0 1

K. Pneumoniae 9 0 9

Providencia Stuartii 1 0 1

Pseudomonas Sp. 2 0 2

S. Sciuri 0 1 1

Total 44 1 45

Norfloxacin Total

- R S

NamaBakteri

Acitenobacter Sp 0 3 1 4

E. Clocaceae 0 1 2 3

E. Coli 0 23 1 24

E. Faecalis 0 1 0 1

K. Pneumoniae 0 7 2 9

Providencia Stuartii 0 0 1 1

Pseudomonas Sp. 1 1 0 2

S. Sciuri 0 1 0 1

Total 1 37 7 45

Pola Kepekaan Bakteri terhadap Ofloxaacin Crosstabulation

Ofloxaacin Total

- R S

NamaBakteri

Acitenobacter Sp 0 3 1 4

E. Clocaceae 0 1 2 3

E. Coli 0 23 1 24

E. Faecalis 0 1 0 1

K. Pneumoniae 0 7 2 9

Providencia Stuartii 0 0 1 1

Pseudomonas Sp. 1 1 0 2

S. Sciuri 0 1 0 1


(2)

NamaBakteri * Oxacillin Crosstabulation Count

Oxacillin Total -

NamaBakteri

Acitenobacter Sp 4 4

E. Clocaceae 3 3

E. Coli 24 24

E. Faecalis 1 1

K. Pneumoniae 9 9

Providencia Stuartii 1 1

Pseudomonas Sp. 2 2

S. Sciuri 1 1

Total 45 45

Pola Kepekaan Bakteri Terhadap Klindamycin Crosstabulation

Klindamycin Total

- R

NamaBakteri

Acitenobacter Sp 4 0 4

E. Clocaceae 3 0 3

E. Coli 24 0 24

E. Faecalis 1 0 1

K. Pneumoniae 9 0 9

Providencia Stuartii 1 0 1

Pseudomonas Sp. 2 0 2

S. Sciuri 0 1 1

Total 44 1 45

Pola Kepekaan Bakteri Terhadap Gentamicin Crosstabulation

Gentamicin Total

- S

NamaBakteri

Acitenobacter Sp 4 0 4

E. Clocaceae 3 0 3

E. Coli 24 0 24

E. Faecalis 1 0 1

K. Pneumoniae 9 0 9

Providencia Stuartii 1 0 1

Pseudomonas Sp. 2 0 2

S. Sciuri 0 1 1


(3)

LAMPIRAN 4 Dokumentasi Penelitian

Uji Identifikasi Bakteri Dengan Uji Biokimia

Contoh Koloni

Acinetobacter sp.

Contoh koloni

Escherichia coli

Hasil Uji Pola Kepekaan

Acinetobacter sp.


(4)

(5)

(6)