Skrining Enterobactericeae Penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase dengan Metode Uji Double Disk Synergy Pada Sampel Urin Pasien Suspek Infeksi Saluran Kemih di RSUP. H. Adam Malik Medan

(1)

SKRINING ENTEROBACTERIACEAE PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETA-LACTAMASE DENGAN METODE UJI DOUBLE

DISK SYNERGY PADA SAMPEL URIN PASIEN SUSPEK INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN

Oleh :

NATALIA RASTA MALEM 110100140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

Skrining Enterobactericeae Penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase dengan Metode Uji Double Disk Synergy Pada Sampel Urin Pasien Suspek

Infeksi Saluran Kemih di RSUP. H. Adam Malik Medan

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

Natalia Rasta Malem 110100140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skrining Enterobacteriaceae Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase dengan Metode Uji Double Disk Synergy Pada Sampel Urin Pasien Suspek Infeksi Saluran Kemih di RSUP.H. Adam Malik Medan

Nama : Natalia Rasta Malem NIM : 110100140

Pembimbing, Penguji I,

dr. Evita Mayasari, M.Kes

NIP. 197710182003122003 NIP. 195303151979122001 Prof.dr. Bidasari Lubis, Sp.A (K)

Penguji II,

NIP. 198212192008121004 dr. Syamsul Bihar, Sp.P

Medan, 6 Januari 2015 Dekan

Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara

NIP. 195402201980111001


(4)

ABSTRAK

Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotika dari golongan penicillin, cephalosporin generasi I,II, III dan monobactam. ESBL paling banyak diisolasi dari Enterobacteriaceae

khususnya E. coli dan K. pneumoniae yang merupakan bakteri penyebab infeksi saluran kemih. Penyebaran Enterobacteriaceae penghasil ESBL diantara bacteria juga dapat terjadi karena adanya mutasi. Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL beragam di berbagai negara termasuk Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang prevalensi, distribusi pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang, Empat puluh lima urin dari pasien suspek infeksi saluran kemih dikumpulkan dengan metode sampel konsekutif. Skrining Enterobacteriaceae penghasil ESBL dilakukan dengan uji Double Disk Synergy dan uji kepekaan antibiotika dengan metode difusi cakram.

Pada penelitian ini,pPrevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah 33,3%. Enterobacteriaceae penghasil ESBL terbanyak adalah E.coli (15,6%) K. pneumoniae (26,7%) dan Enterobacter sp. (11,1%). Hasil uji kepekaan antibiotik menunjukkan E.coli penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam (100%), amikacin (85,7%) dan meropenem (71,5%); K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem(100%), amikacin (83,3%), tetracyclin (66,67%) dan tazobactam (50%) ; Enterobacter sp. penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam (50%), amikacin (50%), tetracyclin (50%), meropenem (50%) ciprofloxacin (50%), norfloxacin (50%) dan ofloxacin (50%) .

Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi Enterobacteriaceae

penghasil ESBL adalah 33,3%. Hasil uji kepekaan antibiotik menunjukkan

Enterobacteriaceae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem, tazobactam dan amikacin. Skrining ESBL sebaiknya rutin dilakukan di rumah sakit untuk mengetahui prevalensi dari waktu ke waktu sehingga membantu pengendalian infeksi yang disebabkan bakteri penghasil ESBL.

Kata kunci: Enterobactericeae, ESBL, Double Disk Synergy, Infeksi Saluran Kemih


(5)

ABSTRACT

Extended Spectrum Beta-Lactamse (ESBL) is an enzyme that is able to hydrolyze penicillins; I,II,III-generation cephalosporins; and aztreonams. ESBL is mostly isolated from E. coli and K. pneumoniae which are the main cause of urinary tract infection. The spread of ESBL-producing Enterobacteriaceae in patients with suspected urinary tract infection may increase among other bacterias. The prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae diverse in various countries including Indonesia.

The purpose of this study is to provide an overview of prevalence and antibiotics susceptibility pattern of ESBL-producing Enterobacteriaceae.

This is a descriptive study with a cross sectional study design. Forty-five urine samples of urinary tract infection suspected patients were taken using consecutive sampling. Screening of ESBL-producing Enterobacteriaceae was using Double Disk Synergy Test and the Antimicrobial Susceptibility Test was using Disk Diffusion Method.

In this study, the prevalence rate of ESBL-producing Enterobacteriaceae

is 33.3%. The most comon ESBL-producing Enterobacteriaceae are E. coli (15.6%), K. pneumoniae (26.7%), and Enterobacter sp. (11.1%). The ESBL-producing E. coli is sensitive to tazobactam (100%), amikacin (85.7%) and meropenem (71.5%). The ESBL-producing K. pneumoniae is sensitive to meropenem (100%), amikacin (83.3%), tetracycline (66.67%) and tazobactam (50%). The ESBL-producing Enterobacter sp. is sensitive to tazobactam (50%), amikacin (50%), tetracycline (50%),meropenem (50%,ciprofloxacin (50%), norfloxacin (50%) dan ofloxacin (50%) .

In conclusion, the prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae was 33.3%. The susceptibility test shows ESBL-producing Enterobacteriaceae is sensitive to meropenem, tazobactam and amikacin. Routine ESBL screening should be perform in hospitals to determine the prevalence of ESBL periodically to help controlling the infections caused by ESBL-producing bacteria.

Key words: Enterobacteriaceae, ESBL, Double Disk Synergy, Urinary Tract Infection


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan kesehatan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Judul yang dipilih adalah “Skrining Enterobacteriaceae Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase dengan Metode Uji Double Disk Synergy pada Sampel Urin Pasien Suspek Infeksi Saluran Kemih diRSUP. H. Adam Malik Medan”, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pembelajaran semester VII di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini, peneliti telah mendapat bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD., KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Evita Mayasari, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan banyak memberikan ilmu, arahan serta masukan kepada peneliti, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Prof. dr. Bidasari Lubis, sp. A(K) selaku dosen penguji I dan dr. Syamsul Bihar Sp.P selaku dosen penguji II yang sudah meluangkan waktu dan pemikiran untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Cherry Siregar, M.Kes yang telah meluangkan waktu untuk turut membantu dalam proses penelitian.

5. Orang tua peneliti, John Piter Barus, S.E., M.Sc. dan Pejoreken Ginting yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun material dan keluarga besar yang telah banyak memberikan motivasi kepada peneliti. 6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan.


(7)

7. Teman-teman peneliti lainnya yang telah banyak memberikan saran dan bantuan kepada peneliti selama penyusunan penelitian

Peneliti menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan akibat keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang berarti guna menyempurnakan penelitian ini.

Akhirnya peneliti mengharapkan semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, bangsa dan negara, serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 10 Desember 2014 Peneliti,

Natalia Rasta Malem NIM. 110100140


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……… i

ABSTRAK ……….. ii

ABSTRACT ……… iii

KATA PENGANTAR ……… iv

DAFTAR ISI ………. vi

DAFTAR TABEL ………. viii

DAFTAR GAMBAR ……… … ix

DAFTAR SINGKATAN ……….. x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

BAB 1 PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 3

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

2.1 Enterobacteriaceae ………... 6

2.1.1 Definisi ……….... 6

2.1.2 Klasifikasi ……… 8

2.1.3 Morfologi ………. 8

2.1.4 Biakan ……….. 8

2.1.5 Sifat Pertumbuhan ……… 8

2.1.6 Struktur Antigenik ……….. 10

2.2 Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik ………. 11

2.3 Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) ……… 13

2.3.1 Karakteristik Biologi ESBL ……… 14

2.3.2 Tipe ESBL ……….. 16

2.3.3 Epidemiologi ESBL ……… 18

2.3.4 Mekanisme Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik Golongan Beta-Laktam ……….. 18

2.3.5 Deteksi ESBL ……….... 18

2.4 Infeksi Saluran Kemih ……… 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL …… 24

3.1 Kerangka Konsep ………... 24


(9)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ……… 27

4.1 Jenis Penelitian ……… 27

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 27

4.2.1 Lokasi Penelitian ……… 28

4.2.2 Waktu Penelitian ……… 28

4.3 Populasi dan Sampel ……….. 28

4.3.1 Populasi ………. 28

4.3.2 Sampel ……… 29

4.4 Teknik Pengambilan Data ………... 29

4.5 Alat dan Bahan ………. 30

4.6 Prosedur dan Teknik Penelitian ………. 31

4.6.1 Skrining ESBL dengan Metode Uji Double Disk Synergy ……... . 31

4.6.2 Prosedur Pengerjaan Pola Kepekaan ………. 31

4.6.3 Metode Analisis Data ... 32

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 33

5.1 Hasil Penelitian ……… 33

5.1.1 Deskripsi Data Penelitian ……… 33

5.1.2 Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan metode Uji Double Disk Synergy ………... 34

5.1.3 Pola kepekaan Antibiotika dari Enterobacteriaceae penghasil ESBL ……….. 36

5.2 Pembahasan ……….. 38

5.2.1 Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan metode Uji Double Disk Synergy pada sampel urin pasien suspek infeksi saluran kemih ……… 40

5.2.2 Pola kepekaan antibiotik dari Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada sampel urin pasien infeksi saluran kemih ……….. 41

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 46

6.1 Kesimpulan ……… 46

6.2 Saran ……….. 46

DAFTAR PUSTAKA …... 47


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Famili, Genus dan Spesies Mikroorganisme (MO) Yang Paling Sering Sebagai Penyebab Infeksi Saluran

Kemih………... 21

Tabel 3.1 Definisi Operasional ………. 25

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 34

Tabel 5.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia ... 34

Tabel 5.3 Hasil Skrining Enterobacteriaceae Penghasil ESBL dengan Metode Uji Double Disk Synergy ………. 35

Tabel 5.4 Pola Kepekaan E. coli penghasil ESBLterhadap Antibiotika 37

Tabel 5.5 Pola Kepekaan K. pneumoniae penghasil ESBL terhadap Antibiotika ……….. 38

Tabel 5.6 Pola Kepekaan Enterobacter sp. penghasil ESBL terhadap Antibiotika………... 39


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1.Struktur antigenik pada Enterobacteriaceae……… 11 Gambar 2.2 Hasil positif Uji Double Disk Synergy ……… 19 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ……… 24


(12)

DAFTAR SINGKATAN

BAK : Buang Air Kecil

CDC : Centers for Disease Control and Prevention

CFU : Colony Forming Unit

CLED : cystine-lactose-electrolyte-deficient CLSI : Clinical Laboratory Standard Institute

E.coli : Escherichia colli

EMB : Eosin Methylen Blue

ESBL : Extended Spectrum Beta-Lactamase H. influenza : Haemophilus influenza

ISK : Infeksi Saluran Kemih

KCN : Kalium sianida

K. pneumoniae : Klebsiella pnuemoniae

MRSA : Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus NICU : Neonatal Intensive Care Unit

PNA : pyelonefritis akut

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SMART : Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends

S. dysenteriae : Shigella dysenteriae

S. typhi : Salmonella typii


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

`Lampiran 1 : Data Riwayat Hidup Lampiran 2 : Data Induk Penelitian

Lampiran 3 : Hasil Pengolahan Data Penelitian dengan Software

Lampiran 4 : Dokumentasi Penelitian Lampiran 5 : Surat Ethical Clearance


(14)

ABSTRAK

Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotika dari golongan penicillin, cephalosporin generasi I,II, III dan monobactam. ESBL paling banyak diisolasi dari Enterobacteriaceae

khususnya E. coli dan K. pneumoniae yang merupakan bakteri penyebab infeksi saluran kemih. Penyebaran Enterobacteriaceae penghasil ESBL diantara bacteria juga dapat terjadi karena adanya mutasi. Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL beragam di berbagai negara termasuk Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang prevalensi, distribusi pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang, Empat puluh lima urin dari pasien suspek infeksi saluran kemih dikumpulkan dengan metode sampel konsekutif. Skrining Enterobacteriaceae penghasil ESBL dilakukan dengan uji Double Disk Synergy dan uji kepekaan antibiotika dengan metode difusi cakram.

Pada penelitian ini,pPrevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah 33,3%. Enterobacteriaceae penghasil ESBL terbanyak adalah E.coli (15,6%) K. pneumoniae (26,7%) dan Enterobacter sp. (11,1%). Hasil uji kepekaan antibiotik menunjukkan E.coli penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam (100%), amikacin (85,7%) dan meropenem (71,5%); K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem(100%), amikacin (83,3%), tetracyclin (66,67%) dan tazobactam (50%) ; Enterobacter sp. penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam (50%), amikacin (50%), tetracyclin (50%), meropenem (50%) ciprofloxacin (50%), norfloxacin (50%) dan ofloxacin (50%) .

Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi Enterobacteriaceae

penghasil ESBL adalah 33,3%. Hasil uji kepekaan antibiotik menunjukkan

Enterobacteriaceae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem, tazobactam dan amikacin. Skrining ESBL sebaiknya rutin dilakukan di rumah sakit untuk mengetahui prevalensi dari waktu ke waktu sehingga membantu pengendalian infeksi yang disebabkan bakteri penghasil ESBL.

Kata kunci: Enterobactericeae, ESBL, Double Disk Synergy, Infeksi Saluran Kemih


(15)

ABSTRACT

Extended Spectrum Beta-Lactamse (ESBL) is an enzyme that is able to hydrolyze penicillins; I,II,III-generation cephalosporins; and aztreonams. ESBL is mostly isolated from E. coli and K. pneumoniae which are the main cause of urinary tract infection. The spread of ESBL-producing Enterobacteriaceae in patients with suspected urinary tract infection may increase among other bacterias. The prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae diverse in various countries including Indonesia.

The purpose of this study is to provide an overview of prevalence and antibiotics susceptibility pattern of ESBL-producing Enterobacteriaceae.

This is a descriptive study with a cross sectional study design. Forty-five urine samples of urinary tract infection suspected patients were taken using consecutive sampling. Screening of ESBL-producing Enterobacteriaceae was using Double Disk Synergy Test and the Antimicrobial Susceptibility Test was using Disk Diffusion Method.

In this study, the prevalence rate of ESBL-producing Enterobacteriaceae

is 33.3%. The most comon ESBL-producing Enterobacteriaceae are E. coli (15.6%), K. pneumoniae (26.7%), and Enterobacter sp. (11.1%). The ESBL-producing E. coli is sensitive to tazobactam (100%), amikacin (85.7%) and meropenem (71.5%). The ESBL-producing K. pneumoniae is sensitive to meropenem (100%), amikacin (83.3%), tetracycline (66.67%) and tazobactam (50%). The ESBL-producing Enterobacter sp. is sensitive to tazobactam (50%), amikacin (50%), tetracycline (50%),meropenem (50%,ciprofloxacin (50%), norfloxacin (50%) dan ofloxacin (50%) .

In conclusion, the prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae was 33.3%. The susceptibility test shows ESBL-producing Enterobacteriaceae is sensitive to meropenem, tazobactam and amikacin. Routine ESBL screening should be perform in hospitals to determine the prevalence of ESBL periodically to help controlling the infections caused by ESBL-producing bacteria.

Key words: Enterobacteriaceae, ESBL, Double Disk Synergy, Urinary Tract Infection


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Setiabudy, 2009). Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul Erhlich pada tahun 1910. Kemudian pada tahun 1928 secara tidak sengaja Alexander Fleming menemukan penicillin. Sejak saat itu, antibiotik banyak digunakan dalam dunia klinis untuk menangani berbagai penyakit infeksi.

Banyaknya penggunaan antibiotik yang irasional merupakan salah satu faktor utama terjadinya resistensi antibiotik. Resistensi antibiotik adalah perubahan kemampuan bakteri hingga menjadi kebal terhadap antibiotik (WHO, 2001). Prevalensi resistensi antibiotik pun meningkat setiap tahun. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013 di Amerika Serikat, setiap tahun setidaknya 2 juta manusia terkena infeksi bakteri yang resisten terhadap satu atau beberapa jenis antibiotik. Hal ini semakin diperparah dengan data yang menunjukkan bahwa sekitar 23.000 orang meninggal setiap tahunnya karena mendapat infeksi bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik (CDC, 2013). Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelitian di Surabaya, menunjukkan resistensi antibiotika yang cukup tinggi pada pasienn rawat inap terhadap ampicillin (49%), cotrimoxazole (43%) dan chloramphenicol (30%) (Ministry of Health Republic of Indonesia, 2005). Sementara resistensi antibiotila pada pasien rawat jalan terhadap ampicillin (66%), cotrimoxazole (52%) dan chloramphenicol (39%) (Ministry of Health Republic of Indonesia, 2005).

Sampai sekarang ini telah ditemukan banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Salah satu bakteri yang sering membawa sifat resisten terhadap antibiotik adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae. Famili


(17)

Enterobacteriaceae memiliki karakteristik berupa bakteri batang gram negatif, bersifat motil dengan flagel peritrika atau nonmotil, tumbuh pada agar MacConcey dan dapat tumbuh secara aerob maupun anaerob (Brooks et al, 2008). Bentuk resistensi dari Enterobacteriaceae adalah dengan menghasilkan enzim ESBL. ESBL (Extended Spectrum Beta-Lactamase) adalah enzim yang memediasi terjadinya resistensi terhadap oxymino-cephalosporin (seperti ceftazidime, cefotaxime, dan cefriaxone) dan monobactam (aztreonam), tetapi tidak mempengaruhi cephamycin atau carbapenem (Ejaz et al,2011). ESBL berasal dari enzim beta-laktamase yang mengalami point mutation (Umadevi et al, 2011). Mutasi ini menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas enzimatik beta-laktamse sehingga dapat menghidrolisis cephalosporin dan aztreonam (Pajariu, 2010)

Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL meningkat di beberapa benua meskipun angka akurat yang pasti belum diketahui secara jelas. Sebagai contoh, survei yang dilakukan di Perancis, resistensi Klebsiella pneumoniae terhadap ceftazidim yang merupakan cephalosporin generasi ketiga mencapai 40% (Rupp dan Fey, 2003). Di Amerika Latin, penelitian yang dilakukan oleh SENTRY

menunjukkan dari 10.000 sampel yang dikumpulkan dari 10 senter, 45%

K. pneumoniae dan 10.8% Escherichia coli positif ESBL (Rupp dan Fey, 2003). Peningkatan prevalensi ini juga terjadi pada benua Asia. Data yang dikeluarkan oleh Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi E.coli dan K. pneumoniae yang menunjukkan ESBL positif adalah 42.2 % dan 35.8% (Kang dan Song, 2013) Di Indonesia sendiri, prevalensi ESBL belum diketahui secara jelas karena belum adanya penelitian secara terpusat. Pada tahun 2011, telah dilakukan survei di RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hasil survei tersebut menunjukkan dari 112 isolat yang dikumpulkan, 58,42% diantaranya positif ESBL (Saharman dan Lestari, 2011). Tidak hanya di Jakarta, penelitian yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Juni 2011-Juli 2012 didapatkan dari 91 sampel isolat E.coli, 53 dianataranya dinyatakan postitif ESBL (Mayasari, 2012).


(18)

Enterobacteriaceae seperti E.coli dan Klebsiella sp. merupakan penyebab terbanyak kejadian infeksi saluran kemih (ISK) (Winarto, 2009). Hal ini dapat menjadikan penyebaran Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada pasien suspek ISK meningkat. Menurut Ferdiansyah (2010), ESBL paling banyak disebabkan oleh Enterobacteriaceae khusunya E. coli dan K. pneumoniae. Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan penyebaran bakteri ini adalah penggunaan antibiotika cephalosporin generasi ketiga secara luas, keparahan penyakit, lamanya tinggal di rumah sakit dan penggunaan alat-alat medis seperti kateter urin, kateter vena dan endotracheal tube (Pajariu, 2010).

Peningkatan prevalensi dari Enterobacteriaceae penghasil ESBL ini menjadikan skrining terhadapanya penting untuk dilaksanakan. Skrining untuk

Enterobacteriaceae penghasil ESBL ini dapat dilakukan dengan metode yang dikeluarkan oleh CLSI (Clinical Laboratory Standard Institute) berupa Uji

Double Disk Synergy dan Uji Phenotypic Confirmatory. Uji Double Disk Synergy

biasa digunakan dalam laboratorium mikrobiologi klinik karena bersifat lebih mudah dan sederhana (Rupp dan Fey, 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dhara et al (2013),di Gujarat, India dari 44 sampel K.pneumoniae

dari ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit), terdeteksi 36 diantaranya positif menghasilkan enzim ESBL dengan metode Uji Double Disk Synergy.

Dikarenakan dapat terjadinya peningkatan penyebaran Enterobacteriaceae penghasil ESBL di kalangan pasien suspek ISK, peneliti terdorong untuk melakukan skrining Enterobacteriaceae penghasil enzim ESBL dengan metode uji Double Disk Synergy. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan penelitian selanjutnya mengenai perkembangan Enterobacteriaceae

penghasil ESBL khusunya di wilayah Medan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(19)

Bagaimanana hasil skirining Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan Uji

Double Disk Synergy pada sampel urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil skrining

Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan Uji Double Disk Synergy

pada sampel urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk melihat prevalensi dari Enterobacteriaceae penghasil ESBL dari hasil skrining dengan Uji Double Disk Synergy pada sampel urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui pola kepekaan dari Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada sampel urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat: 1. Bagi peneliti

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran dan diharapkan dapat menambah pengalaman, pengetahuan, dan wawasan dalam penerapan ilmu selama kuliah. 2. Bidang penelitian

Sebagai bahan penelitian selanjutnya untuk melakukan skrining

Enterobacteriaceae penghasil ESBL. 3. Bagi rumah sakit


(20)

Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan tatalaksana pemberian antibiotik bagi pasien yang terkena infeksi

Enterobacteriaceae penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Enterobacteriaceae

2.1.1Definisi

Enterobacteriaceae adalah kelompok batang gram negatif yang besar dan heterogen, dengan habitat alaminya di saluran cerna manusia dan hewan (Brooks et al, 2008). Kebanyakan Enterobacteriaceae

merupakan flora normal pada saluran pencernaan meskipun ada juga yang beberapa tersebar luas di lingkungan sekitar (Tham, 2012).

Enterobacteriaceae dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi seperti septikemia, infeksi saluran kemih (ISK), pneumonia, kolesistitis, kolangitis, peritonitis, meningitis dan gastroenteritis (Brooks et al, 2008).

2.1.2 Klasifikasi

Familinya memilki banyak genus (Escherichia, Shigela, Salmonella, Enterobacter, Klebsiella, Serratia, Proteus, dan lain-lain).

Enterobacteriaceae terdiri dari 25 genus dan 110 spesies, namun hanya hanya 20-25 spesies yang memiliki arti klinis, dan spesies lainnya jarang ditemukan (Brooks et al, 2008). Berikut adalah beberapa genus dari famili Enterobacteriaceae:

a. Enterobacter

Enterobacter terdiri dari 11 spesies, tetapi hanya 8 spesies yang berhasil diisolasi dari material klinis. Mereka memfermentasikan glukosa dan juga menghasilkan asam dan gas. Pada umumnya Enterobacter memliki flagel peritrik. Beberapa strain Enterobacter yang memilki antigen K mempunyai kapsul sebagai pelindung dari bakteri (NHS, 2014).


(22)

Escherichia terdiri dari enam spesies dimana empat diantaranya dikenal sebagai penyebab penyakit pada manusia. Spesies yang paling banyak diisolasi adalah Escherichia coli (NHS, 2014). E. coli merupakan spesies yang bersifat fakultatif anaerob yang paling banyak terdapat di saluran cerna manusia (109CFU/g feses) sehingga ditemukannya bakteri tersebut pada jumlah tertentu dapat dijadikan sebagai indikator dari kontimanisasi fekal pada makanan maupun minuman. Beberapa strain

dari E. coli menghasilkan enterotoksin atau faktor virulensi lainnya. Serotipe dan kelompok patogenitas dari E.coli dibuat berdasarkan lipopolisakaridanya (O) dan antigen flagelanya (H) (Tham, 2012).

c. Klebsiella

Genus Klebsiella terdiri dari lima spesies dan empat subspesies (NHS, 2014). Seperti E.coli, Klebsiella spesies biasanya ditemukan di traktus gastrointestinal manusia (104CFU/ g feses). Faktor virulensi yang paling utama dari Klebsiella adalah kapsul polisakaridanya, yang menyebabkan permukaan koloninya menjadi berlendir (mucoid). Klebsiella pneumoniae adalah spesies yang paling banyak diisolasi dari infeksi pada manusia karena dapat menyebabkan infeksi nosokomial seperti infeksi saluran kemih (ISK), septikemia, kolesistitis, dan lain-lain (Tham, 2012).

d. Proteus

Proteus terdiri dari empat spesies, dimana tiga diantaranya dapat menyebabkan penyakit. Semua strain dari Proteus bersifat urease positif dan motil (NHS, 2014). Proteus sering menjadi penyebab infeksi saluran kemih (ISK) terutama infeksi pada pasien yang memakai indwelling catheters atau yang memilki kelainan anatomis atau fungsional pada saluran kemihnya. Jika dibandingkan dengan E.coli, infeksi yang disebabkan oleh Proteus cenderung akan lebih parah dan mengarah kepada kejadian pyelonefritis (Tham, 2014).


(23)

e. Shigella

Shigella terdiri atas empat spesies, yaitu Shigella dysenteriae, Shigella flexnerri, Shigella. boydii, dan Shigella sonnei. Keempat spesies ini bersifat motil dan cenderung infeksius terutama S. dysenteriae (NHS, 2014).

f. Salmonella

Salmonella teridiri dari dua spesies yaitu Salmonella bongori dan

Salmonella enteritica dan memiliki enam buah sub tipe. Hampir seluruh serotipe bersifat motil kecuali S. typhi yang menghasilkan gas dari glukosa. Secara umum, Salmonella menghasilkan hidrogen sulfida, kecuali S. paratyphi (NHS, 2014).

2.1.3Morfologi

Enterobactericeae adalah bakteri batang gram negatif pendek, tidak menghasilkan spora, bersifat motil dengan flagel peritrika atau nonmotil, dan tumbuh secara fakultatif aerob atau anaerob. Morfologi yang khas terlihat pada pertumbuhan di medium padat in vitro,tetapi morfologinya sangat bervariasi pada spesimen klinis (Brooks et al, 2008). 2.1.4Biakan

Secara umum, Enterobactericeae tumbuh pada medium pepton atau ekstrak daging tanpa penambahan natrium klorida atau suplemen lain dan juga pada agar MacConcey. E. coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya membentuk koloni yang sirkular, konveks, dan halus dengan tepi yang datar. Koloni Enterobacteriaceae sama dengan koloni tersebut tetapi lebih mukoid. Koloni Klebsiella besar akan terlihat sangat mukoid dan cenderung bersatu pada inkubasi lama. Salmonella dan Shigela akan membentuk koloni yang menyerupai E. coli tetapi tidak memfermentasikan laktosa. Beberapa strain E. coli menyebabkan hemolisis pada darah (Brooks et al, 2008).

2.1.5Sifat Pertumbuhan

Pada umumnya, Enterobacteriaceae melakukan fermentasi glukosa dan sering disertai dengan produksi gas. Enterobacteriaceae juga bersifat


(24)

katalase-positif, oksidasi negatif, dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit (Brooks et al, 2008).

a. Eschericia

E.coli secara khas menunjukkan hasil positif pada tes indol, lisin dekarboksilase, fermentasi manitol, dan menghasilkan gas dari glukosa. Pada isolat urin dapat segera diidentifikasi sebagai E.coli

dengan melihat hemolisisnya pada agar darah, morfologi koloni yang khas dengan warna pelangi yang “berkilau” pada medium diferensial

Eosin Methylen Blue (EMB), dan tes bercak indol positif (Brooks et al, 2008).

b. Klebsiella-Enteobacter-Serratia

Pertumbuhan spesies Klebsiella menghasilkan pertumbuhan yang bersifat mukoid, kapsul polisakarida yang besar, kurang motil, dan menunjukkan hasil positif untuk lisin dekarboksilase dan sitrat. Kebanyakan spesies Enterobacter menunjukkan hasil positif terhadap uji motilitas, sitrat, dan ornitin dekarboksilase serta menghasilkan gas dari glukosa. Serratia menghasilkan lipase dan gelatinase. Klebsiella,

Enterobacter dan Serratia biasanya memberikan hasil positif terhadap reaksi Voges-Proskauer (Brooks et al, 2008).

c. Proteus-Morganella-Providencia

Anggota grup ini mendeaminasi fenilalanin, bersifat motil, tumbuh pada medium kalium sianida (KCN), dan memfermentasikan xilosa. Spesies Proteus bergerak sangat aktif dengan menggunakan flagel peritrika, menghasilkan “swarming” pada medium padat kecuali

swarming dihambat oleh zat-zat kimia seperti medium feniletil alkohol atau CLED (cystine-lactose-electrolyte-deficient). Spesies Proteus dan

Morganella morganii merupakan urease positif, sedangan spesies

Providencia biasanya urease-negatif. Kelompok Proteus-Providencia

sangat lambat memfermentasi laktosa atau tidak memfermentasikannya sama sekali (Brooks et al, 2008) .


(25)

d. Citrobacter

Bakteri ini secara khas bersifat sitrat positif dan tidak mendekarboksilasi lisin. Organisme ini sangat lambat memfermentasi laktosa (Brooks et al, 2008).

e. Shigella

Shigella bersifat nonmotil dan biasanya tidak memfermentasikan laktosa tetapi memfermentasikan karbohidrat lain, serta memproduksi asam tetapi tidak H2S (Brooks et al, 2008).

f.Salmonella

Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang motil yang secara khas memfermentasikan laktosa dan manosa tanpa memproduksi gas tetapi tidak memfermentasikan sukrosa. Sebagian besar Salmonella

menghasilkan H2S. Organisme ini umumnya bersifat patogen untuk

manusia bila termakan (Brooks et al, 2008). 2.1.6Struktur Antigenik

Enterobacteriaceae memilki struktur antigenik yang kompleks.

Enterobacteriaceae digolongkan berdasarkan lebih dari 150 antigen somatik O (lipopolisakarida) yang tahan panas, lebih dari 100 antigen K (kapsular) yang tidak tahan panas, dan lebih dari 50 antigen H (flagella) (Brooks, 2008).

Antigen O adalah bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung pola yang unik. Antigen O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM (Brooks et al, 2008).

Antigen K terletak di luar antigen O pada beberapa

Enterobacteriaceae tetapi tidak semuanya. Beberapa antigen K merupakan polisakarida, termasuk antigen K pada E.coli, sementara yang lainnya


(26)

merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi (misalnya, strain E.coli yang menghasilkan antigen K1 sering ditemukan pada meningitis neonatal) (Brooks et al, 2008).

Klebsiella membentuk kapsul besar yang mengandung polisakarida (antigen K) yang menutupi antigen somatik (O atau H) dan dapat diidentifikasi dengan menggunakan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik. Infeksi saluran napas pada manusia terutama disebabkan oleh kapsular tipe 1 dan 2, sementara infeksi saluran kemih disebabkan oleh tipe 8,9,10, dan 24 (Brooks et al, 2008).

Antigen H terdapat di flagela dan didenaturasi atau dirusak oleh panas atau alkohol. Antigen ini dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang motil. Antigen H seperti ini akan beraglutinasi dengan antibodi anti-H, terutama IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin) (Brooks et al, 2008).

Gambar 2.1. Struktur antigenik pada Enterobacteriaceae (Brooks et al, 2008)

2.2Resistensi bakteri terhadap antibiotik

Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi melalui 3 mekanisme (Setiabudy, 2009):


(27)

Pada bakteri gram negatif, molekul antibiotik yang kecil dan polar dapat menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang kecil yang disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka masuknya antibiotik ini akan terganggu. Mekanisme lain adalah bakteri mengurangi mekanisme transport aktif yang memasukkan antibiotik ke dalam bakteri (misalnya gentamisin). Selain itu ada juga mekanisme berupa bakteri mengaktifkan pompa keluaran (efflux) untuk membuang antibiotik yang ada dalam sel (misalnya tetrasiklin).

b. Inaktivasi obat

Mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan beta-laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang dapat merusak kedua golongan antibiotik tersebut. c. Bakteri mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik

Mekanisme ini terlihat pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus/MRSA). Bakteri ini mengubah penicillin binding protein sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam lainnya.

Penyebaran resistensi pada bakteri dapat terjadi secara vertikal (diturunkan ke generasi berikutnya) tetapi yang lebih yang sering adalah secara horizontal atau sel donor. Dilihat dari segi bagaimana resistensi dipindahkan maka dapat dibedakan dalam 4 cara, yaitu (Setiabudy, 2009):

a. Mutasi

Proses ini terjadi secara spontan,acak dan tidak tergantung dari ada atau tidaknya paparan antibiotik. Mutasi terjadi akibat perubahan pada gen mikroba mengubah binding site antibiotik, protein transport, protein yang mengaktifkan obat, dan lain-lain.


(28)

b. Transduksi

Adalah kejadian dimana suatu bakteri menjadi resisten karena mendapat DNA dari bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) yang membawa DNA dari bakeri lain yang memilki gen resisten terhadap antibiotik tertentu. Bakteri yang sering mentransfer resistensi dengan cara ini adalah S. aureus.

c. Transformasi

Transfer resistensi terjadi karena antibiotik mengambil DNA bebas yang membawa sifat resisten dari sekitarnya. Transformasi sering menjadi transfer resistensi terhadap penisilin pada Pneumococcus dan

Neisseria. d. Konjugasi

Resistensi terjadi secara langsung antara 2 bakteri dengan suatu “jembatan” yang disebut pilus seks. Konjugasi adalah mekanisme transfer resistensi yang dapat terjadi pada dua bakteri dengan spesies yang berbeda. Transfer resisteni dengan cara konjugasi lazim terjadi antara bakteri gram negatif. Sifat resisteni dibawa oleh plasmid.

Faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi bakteri terhadap antibiotik di klinik adalah (Setiabudy, 2009): penggunaan antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang irasional, penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama.

2.3 Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)

ESBL (Extended Spectrum Beta-Lactamase) merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi pertama, kedua, ketiga dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem) (Pajariu, 2010). ESBL adalah hasil mutasi dari enzim beta-laktamase TEM-1, TEM-2, dan SHV-1 yang biasa ditemukan pada plasmid

Enterobacteriaceae (Behrooozi, 2010). Isolasi dari ESBL ini pertama kali dilakukan pada tahun 1983 dari kuman K. ozaenae di Jerman (Kuntaman


(29)

et al, 2011).Bakteri yang paling banyak memproduksi ESBL adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan

Klebsiella pneumonia (Winarto, 2009).

2.3.1Karakteristik Biologi ESBL

Gen beta-laktamase (bla) biasanya ditemukan pada kromosom meskipun dapat juga ditemukan di plasmid. Gen pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke kuman lain sehingga terjadi penyebaran resistensi (Winarto, 2009). Hal ini membedakan ESBL dengan AmpC tipe beta-laktamase yang biasa dikode di dalam kromosom. Selain itu, berbeda dengan ESBL, Amp C tipe beta-laktamase tidak dapat diinhibisi oleh asam klavulanat ataupun betalaktamse inhibitor (Tham, 2012).

Kebanyakan ESBL terdiri dari serin pada sisi aktifnya dan merupakan enzim kelas A menurut klasifikasi molekular oleh Ambler. Enzim kelas A adalah enzim yang memiliki serin pada sisi aktifnya, berat molekul 29.000 Dalton dan memiliki kecenderungan dapat menghidrolisis penicillin (Bradford, 2001). Enzim beta-laktamase yang termasuk kelas A adalah TEM-1, SHV-1 dan penisilinase yang ditemukan pada

Staphylococcus aureus (Bradford, 2001). Sampai saat ini klasifikasi molekular tetap dilakukan, meskipun

untuk membedakan setiap enzim yang termasuk klasifikasi grup A belum terlalu jelas. Oleh karena itu, Richmond dan Skyes menerapkan sistem klasifikasi yang baru berdasarkan profil substrat dan lokasi gen yang mengkode beta-laktamase. Sekarang ini, klasifkasi yang lazim dipakai adalah klasifikasi oleh Bush, Jacoby dan Medeiros dengan menggunakan karakteristik biokimia dari enzim dan struktur molekular serta nucleotide sequence dari gen yang mengkode beta-laktamase. Dengan menggunakan klasifikasi ini, ESBL adalah enzim beta-laktamase yang dapat menghidrolisis oxymino-cephalosporin serta dapat diinhibisi oleh asam


(30)

klavulanat sehingga secara fungsional dimasukkan kedalam grup 2be (Paterson dan Bonomo, 2005).

2.3.2Tipe ESBL

Kebanyakan ESBL berasal dari turunan enzim TEM dan SHV. Sekarang ditemukan lebih dari 90 enzim beta laktamase tipe TEM dan 36 enzim beta-laktamase tipe SHV.

a. ESBL tipe TEM

ESBL tipe TEM terdiri dari TEM-1 dan TEM-2. TEM-1 pertama kali ditemukan pada tahun 1966 dari E.coli yang diisolasi dari seorang pasien bernama Temoneira di Yunani (hal ini menyebabkan enzim ini disebut sebagai TEM) (Bonomo dan Paterson, 2005). TEM-1 beta-laktamase adalah enzim yang bertanggungjawab atas resistensi bakteri terhadapat ampicillin, penicillin dan cephalosporin generasi pertama dan dapat diinhibisi oleh asam klavulanat. ESBL menyebabkan sekitar 90% resistensi E.coli terhadap ampicillin dan juga resistensi H. influenza dan

N. gonorrhoeae terhadap penicillin. Mutasi spesifik yang terjadi pada

blatem-1 yang dimediasi melalui proses seleksi antibiotik menyebabkan

kemampuan enzim untuk menghidrolisis cephalosporin berspektrum luas dan azteronam meningkat (Rupp dan Fey, 2003). ESBL tipe TEM paling banyak ditemukan pada E.coli dan K. pneumoniae (Bradford, 2001). b. ESBL tipe SHV

ESBL tipe SHV lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan tipe ESBL lainnya (Paterson dan Bonomo, 2005). SHV berasal dari kata sulfhidril variabel. SHV tipe-1 beta-laktamase yang ditemukan pertama kali pada Klebsiella pneumoniae merupakan enzim yang dikode pada plasmid yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap penicillin dan cephalosporin generasi pertama (Rupp dan Fey, 2003). Seperti pada TEM-1, mutasi yang terjadi blashv-1 menyebabkan kemampuan hidrolisis SHV-1 meningkat sehingga dapat menghidrolisis cephalosporin berspektrum luas dan juga monobactam. ESBL tipe SHV paling banyak


(31)

ditemukan pada K. pneumoniae meskipun juga ditemukan pada

Citrobacter diversus, E.coli dan P. aeruginosa. Sekarang ini telah ditemukan 36 ESBL tipe SHV (Rupp dan Fey, 2003).

c. ESBL tipe lain

Pada beberapa tahun terakhir, ESBL tipe lain ditemukan pada isolasi E. coli. Enzim baru ini dinamakan CTX-M karena kemampuannya dalam menghidrolisis cefotaxime. CTX-M banyak ditemukan pada

Salmonella enterica dan juga E.coli, meskipun dapat juga ditemukan pada spesies lain dari famili Enterobacteriaceae (Bradford, 2001).

2.3.3Epidemiologi ESBL

Secara epidemiologi, ESBL didapatkan di beberapa negara dengan prevalensi berbeda-beda tergantung dari pola pemakaian antibitiotik. a. Eropa

ESBL pertama kali ditemukan di benua Eropa tepatnya di Jerman pada tahun 1983 (Rupp dan Fey, 2013). Survei yang dilakukan di Perancis menunjukkan terdapat 40% K. pneumoniae yang mengalami resistensi terhadap ceftazidim. Hal yang berbeda ditemukan di Belanda dengan prevalensi ESBL positif pada E.coli dan K. pneumoniae <1%. Perbedaan prevalensi di benua Eropa ini belum diketahui penyebabnya (Rupp dan Fey, 2003).

b. Amerika

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013, setiap tahunnya terjadi 26.000 infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan sekitar 1.700 diantaranya meninggal dunia.

c. Asia

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2007, prevalensi E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL yang berasal dari


(32)

infeksi intra-abdominal secara berturut turut adalah 42, 27 % dan 35,8% (Kang dan Song, 2013).

Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian urnuk mengetahui prevalensi ESBL telah dilakukan meskipun belum dilakukan secara terpusat. Penelitian yang dilakukan di RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari-Desember 2011, menunjukkan prevalensi ESBL mencapai 58, 42% pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit (Saharman dan Lestari, 2011). Penelitian lain yang dilakukan pada Januari 2010 sampai April 2010 di 3 rumah sakit besar di Indonesia yaitu RS. Dr. Sutomo, Surabaya;RS. Dr. Kariadi, Semarang; dan RS. Dr. Saiful Anwar, Malang didapatkan 300 sampel yang dinyatakan positif ESBL (Kuntaman et al, 2011). Selain itu, pada tahun 2009 penelitian yang sama juga dilakukan kembali di RS. Kariadi Semarang selama dua tahun, dimana dari 901 sampel yang ditumbuhi oleh bakteri gram negatif, 50,6% nya dinyatakan positif ESBL (Winarto, 2009). Tidak hanya di pulau Jawa, penelitian serupa telah dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan, didapatkan dari 91 isolat E.coli, 53 diantaranya dinyatakan positif ESBL.

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabakan terjadinya kolonisasi ESBL pada manusia adalah (Rupp dan Fey, 2003):

a. Tingkat keparahan penyakit

b. Lamanya tinggal di rumah sakit dan di intensive care unit (ICU) c. Prosedur invasif

d. Penggunaan akses intravascular seperti kateter arterial dan juga kateter sentral

e. Pemakaian nasogastric tube, mechanical ventilator, kateter urin f. Usia

g. Penggunaan antibiotik seperti cephalosporin spektrum luas, aztreonam, fluoroquinolon, cotrimoxazole (trimethoprim/ sulfamethoxazole), aminoglycosida, dan metronidazole


(33)

2.3.4Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik golongan beta-laktam Mekanisme resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap antibiotika terjadi karena adanya mutasi titik/ point mutation pada gen yang dikode pada plasmid bakteri (Ejaz et al, 2011). Mutasi ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik beta-laktamase sehingga dapat menghidrolisis cephalosporin dan aztreonam (Pajariu, 2010). Terdapat empat mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhdapat antibiotik beta-laktam (Fauziyah, 2010):

a. Inaktivasi antibiotik beta laktam melalui enzim beta-laktamase

b. Produksi penicillin binding protein yang baru disertai dengan penurunan afinitas terhadap antibiotik

c. Menurunkan permeabilitas antibiotik pada dinding sel bakteri dengan mengubah channel porin.

d. Mengkatifkan pompa efflux sehingga dapat membuang antibiotik dari sel bakteri

2.3.5Deteksi ESBL

Metode yang digunakan untuk skrining ESBL dikeluarkan oleh NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) yang sekarang berganti nama menjadi CLSI (Clinical Laboratory Standard Institute). Berikut adalah 2 jenis uji yang dapat digunakan untuk skrining ESBL:

a. Uji Double Disk Synergy

Metode ini pertama kali ditemukan oleh Jarlier et.al pada tahun 1988 dengan menggunakan agar Mueller Hinton (Rupp dan Fey, 2003). Skrining dengan metode uji Double Disk Synergy memiliki tingkat kesulitan yang tidak tinggi dan menggunakan alat dan bahan yang cukup sederhana (Rupp dan Fey, 2003). Uji double disk synergy dilakukan dengan menggunakan cakram augmentin (20 µg amoxicillin dan 10 µg asam klavulanat) dan cakram cefotaxim (30 µg), ceftazidime (30 µg) serta cefpodoxime (30 µg) yang diletakkan di sekitar cakram augmentin sekitar


(34)

16-20 mm. Seperti yang diketahui, ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotik golongan pencillin, cephalosporin golongan I,II,III serta aztreonam. Dengan pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka enzim beta laktamase dapat dihambat. Oleh karena itu, interpretasi hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy adalah dengan adanya peningkatan zona hambat dari cephalosporin ke arah cakram asam klavulanat. Dikarenakan hasil positif dari uji Double Disk Synergy ini tidak memakai satuan angka yang pasti sebagai batasan hasil positif dan negatif, tingkat subjektivitas dalam menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan dalam metode in (Rupp dan Fey, 2003).

Meskipun memiliki kelemahan, metode double disk synergy memilki tingkat sensitivitas yang cukup baik yaitu berkisar 79%-96% (Giriyapur et al, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Giriyapur (2011) dari 313 sampel Enterobacteriaceae, 176 sampel (56,23%) merupakan bakteri penghasil ESBL yang diskrining dengan metode double disk synergy, sementara 200 sampel (63,89%) dinyatakan bakteri penghasil ESBL dengan metode uji phenotypic confirmatory. Hal ini menunjukkan bahwa metode double disk synergy dapat diandalkan untuk skrining bakteri penghasil ESBL.


(35)

b. Uji Phenotypic Confirmatory

Metode ini menggunakan cefotaxime, ceftazidime, cefotaxim yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dan juga ceftazidime yang dikombinasikan dengan asam klavulanat. Biakan bakteri yang telah disesuaikan kekeruhannya 0,5 McFarland diinokulasikan ke dalam agar Muller Hinton. Cefotaxime dan cefotaxime klavulanat diletakkan dengan jarak 20 mm diantara keduanya. Hal yang sama juga dilakukan pada ceftazidime dan ceftazidime klavulanat. Isolat bakteri dinyatakan positif ESBL jika setelah diinkubasi 1 malam pada suhu 37oC, terdapat peningkatan diameter > 5 mm pada zona inhibisi dengan cakram antibiotik (cefotaxim, ceftazidim) yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dibandingkan dengan zona inhibisi dengan cakram antibiotik tanpa kombinasi (Umadevi et al, 2011).

2.4. Infeksi Saluran Kemih

Istilah infeksi saluran kemih dinyatakan sebagai kondisi klinis mulai dari adanya bakteri dalam urin pada keadaan asimptomatik sampai infeksi berat pada ginjal yang disertai dengan sesis (Stamm, 2005). Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 100.000 colony forming units (CFU) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna tanpa disertai manifestasi klinis infeksi saluran kemih (ISK) disebut bakteriuria asimptomatik. Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai manifestasi klinis disebut bakteriuria simptomatik (Yulianto, 2009). Infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang dapat terjadi pada

laki-laki dan perempuan. Angka kejadia penyakit ini lebih sering pada perempuan daripada laki-laki dengan angka populasi 5%-15% (Yulianto,2009). Prevalensi infeksi saluran kemih pada anak usia sekolah mencapai 1-3% dan meningkat pada remaja yang sudah melakukan hubungan seksual. Prevalensi ini akan terus meningkat sesuai dengan


(36)

pertambahan usia sehingga perbandingan prevalensi antara laki-laki dan perempuan adalah 1:2 (Yulianto,2009).

Pada umumnya, sekitar 50% infeksi saluran kemih disebabkan oleh

E.coli, penyebab lainnya adalah Klebsiella, Staphylococcus aureus,

Proteus, Pseudomonas sp. dan bakteri gram negatif lainnya. Sebagain besar dari spesies menjadi etiologi dari ISK yang telah disebutkan di atas adalah bakteri dari famili Enterobacteriacea.

Tabel. 2.1 Famili, Genus dan Spesies Mikroorganisme (MO) yang Paling Sering Sebagai Penyebab Infeksi Saluran Kemih (Sukandar, 2004).

Bakteri Gram positif

Famili Genus Spesies

Micrococcaceae Staphylococcus aureus Streptococcaceae Streptococcus

Enterococcus fecalis

Pada individu laki-laki maupun perempuan normal, biasanya urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi berkemih. Hampir semua infeksi saluran kemih disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi

Bakteri Gram negatif

Famili Genus Spesies

Enterobacteriaceae Escherichia coli

Klebsiella pneumonia oxytosa Proteus mirabilis

vulgaris Enterobacter cloaca

aerogenes Providencia rettgeri

stuartii Morganella Morganii Citrobacter freundii

diversus Serratia Morcesnes Pseudomonadaceae Pseudomonas Aeruginosa


(37)

mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah oleh refluks vesikouretra. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemia atau endokarditis akibat S. aureus. Beberapa peneliti melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif (Sukandar, 2004). Manifestasi dari infeksi saluran kemih berbeda-beda tergantung dimana letak infeksinya. Infeksi saluran kemih bagian atas akan menghasilkan gejala klinis berupa demam, kram, nyeri punggung, muntah, dan penurunan berat badan, sementara gejala klinis dari infeksi saluran kemih bagian bawah yaitu nyeri suprapubik, disuria, frekuensi, hematuria, urgensi dan stranguria (Sukandar, 2004).Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa infeksi saluran kemih terdiri atas pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan yaitu analisa urin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin. Hal penting yang perlu diperhatikan untuk konfirmasi sebelum menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih adalah cara pengambilan sampel urin. Sampel untuk pembiakan urin sebaiknya dilakukan segera (kurang dari setengah jam sesudah sampel urin diambil). Bila waktu tidak memungkinkan dapat disimpan alam lemari es pada suhu 4oC dan masih dapat dilakukan pembiakan sebelum 48 jam. Waktu pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan rutin yang terbaik adalah pagi hari segera sesudah bangun tidur, sedangkan bila untuk biakan bisa diambil urin sewaktu asalkan sudah lebih dari 4 jam urin terkumpul dalam kandung kemih. Baku emas untuk mendiagnosis infeksi saluran kemih adalah pemeriksaan kultur urin dimana dijumpai bakteriuria >105 CFU/ml urin segar (Sukandar, 2004).Prinsip tatalaksana infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi 2 yaitu manajemen infeksi saluran kemih bagian bawah dan infeksi saluran kemih bagian atas. Tatalaksanaa pada infeksi saluran kemih bagian bawah meliputi asupan cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi urin. Dari hasil penelitian, sekitar 80% pasien


(38)

akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotika tunggal seperti ampicillin 3 gram atau trimetoprim 200 mg (Sukandar, 2004). Pada infeksi saluran kemih bagain atas, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam (Sukandar, 2004). The Infectious Disease Society of America

menganjurkan dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai awal selama 48-72 jam sebelum diketahui mikroorganisme sebagai penyebabnya, yaitu aminoglykosida dengan atau tanpa ampicillin, cephalosporin berspektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida serta fluorokuinolon (Sukandar, 2004).


(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka konsep Urin Pasien Suspek

ISK

Identifikasi

Enterobacteriaceae

Positif Negatif

Skrining ESBL Pola Kepekaan bakteri penghasil ESBL


(40)

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Skala

Ukur Hasil Enterobacteria ceae bakteri batang gram negatif pendek, tidak menghasilkan spora, bersifat motil dengan flagel peritrika atau nonmotil, dan tumbuh secara fakultatif aerob atau anaerob Metode Identifikasi secara konvensional Pengujian langsung di laboratorium Nomina l Bakteri bakteri batang gram negatif enterik

Skrining ESBL enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi

pertama,kedua,keti ga dan aztreonam (kecuali

cephamycin dan carbapenem)

Caktram antibiotik

Uji Double Disk Synergy Nomina l Dikumpulkan sampel yang menunjukkan hasil positif. Hasil tes dinyatakan positif jika terdapat perluasan zona hambat disekitar cakram cephalosporin ke arah


(41)

cakram

augmentin (amoxicillin-asam

klavulanat) Pasien Suspek

ISK

Pasien yang berdasarkan pemeriksaan fisik (demam, nyeri pinggang, disuria, dll) didignosa sementara ISK

Anamnesis dan

pemeriksaan fisik

Nomina l

Pasien diagnosis sementara ISK


(42)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang) untuk mengetahui prevalensi dan pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase pada urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu RSUP. H. Adam Malik Medan dan Laboratorium Mikrobiologi Universitas Sumatera Utara. RSUP.H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/MENKES/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/MENKES/SK/IX/1991. Rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. RSUP. H. Adam Malik Medan beralamat di Jalan Bunga Lau No.17 Km.12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Sampel urin pasien suspek infeksi saluran kemih diambil dari RSUP. H. Adam Malik Medan. Pengerjaan sampel yang berupa identifikasi, skrining dan uji pola kepekaan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Universitas No. 1 Kecamatan Padang Bulan, Medan Baru, Sumatera Utara.


(43)

4.2.2Waktu Penelitian

Waktu dilakukannnya penelitian adalah September sampai dengan Oktober 2014.

4.3 Populasi dan Data Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah urin pasien ISK yang dikumpulkan pada Laboratorium Mikrobiologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

4.3.2Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

Berikut adalah kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah : Kriteria Inklusi :

1. Pasien suspek ISK

2. Pasien yang menjalani pemeriksaan urin di Laboratorium Mikrobiologi RSUP H. Adam Malik Medan

Kriteria Eksklusi :

1. pasien bukan ISK dan formulir yang tidak lengkap

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode consecutive sampling yaitu semua subyek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Berikut adalah jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus estimasi proporsi suatu populasi (Sastroasmoro, 2013) :


(44)

� = �� 2��

�2

dengan :

n : Jumlah sampel minimum

��2 : Nilai distribusi normal pada tabel Z dengan nilai α tertentu

p : Harga proporsi di populasi q : 1- P

d : Perbedaan hasil klinis ( effect size)

Pada penelitian ini tingkat kepercayaan yang diinginkan adalah 95%

dengan nilai α adalah 5% shingga diperoleh nilai nilai Zα sebesar 1,96. Nilai

P yang digunakan adalah 0,5 (maka nilai q adalah 1-0,5 yaitu 0,5). Nilai d pada penilitian ini digunakan 15%. Maka jumlah sampel yang digunakan sesuai rumus diatas adalah

� = �� 2��

�2

� = 1,96 × 1,96 × 0,5 × 0,5

0,15 × 0,15 = 42,68

Maka jumlah sampel yang digunakan adalah 42,68. Angka tersebut kemudian dibulatkan menjadi 45 sampel urin.

4.4. Teknik Pengambilan Data

• Penelitian ini menggunakan data primer yaitu urin pasien suspek ISK di RSUP H. Adam Malik Medan. Urin diambil secara aseptic lalu langsung dibawa dalam wadah yg bisa mempertahankan suhu spt refrigerator agar urin awet dan menekan pertumbuhan kuman. Kemudian urin tersebut segera dikultur pada media agar darah untuk melihat bakteriuria signifikan/hitung coloni. Urin yang menunjukkan bakteri significan dibawa ke Laboratorium FK USU untuk


(45)

selanjutnya akan dilakukan uji identifikasi kuman, skrining ESBL dan Uji kepekaan.

4.5 Alat dan Bahan

4.5.1 Alat

• Tabung kultur

• Ose

• Usap kasa steril

• Inkubator

• Jangka sorong/ calliper • Pinset

4.5.2 Bahan

• Urin porsi tengah dan urin kateter

• Agar darah (Blood Agar)

Muller Hinton Agar • Cakram antibiotik

-Uji Double Disk Synergy: Ceftazidime Ceftriaxone Cefpodoxime Amoxicillin–Asam klavulanat

-Uji Pola Kepekaan Ampicillin Piperacillin Tazobactam Cefuroxime Cefotaxime Ceftriaxone Ceftazidime Ciprofloxacin Norfloxacin Ofloxacin Kanamicin Cefepime


(46)

Meropenem Chloramphenicol Cotrimoxazole

Amikacin Tetracyclin

6 Prosedur dan Teknik Penelitian

4.6.1 Skrining ESBL dengan metode uji Double Disk Synergy • Siapkan biakan bakteri berumur 18-24 jam.

• Sediakan agar Mueller-Hinton dengan ketebalan antara 3-5 mm.

• Buat suspensi bakteri yang akan diuji, dan sesuaikan kekeruhannya dengan standar 0.5 Mc Farland

• Celupkan usap kapas steril ke dalam suspensi bakteri, tekan ke dinding tabung supaya tidak terlalu basah dan oleskan secara merata di seluruh permukaan medium. Diamkan sebentar.

• Cakram antibiotik standar cephalosporin generasi ketiga (cefotaxim, ceftazidime), dan cefpodoxime diletakkan pada permukaan medium dengan jarak 15-20 mm (jarak diukur dari pinggir ke pinggir cakram) dari cakram amoxicillin-asam klavulanat secara aseptik. Diamkan sebentar.

• Inkubasi lempeng agar dengan suhu 35oC, selama 24 jam.

• Hasil tes dinyatakan positif jika terdapat perluasan zona hambat disekitar cakram cephalosporin ke arah cakram amoxicillin-asam klavulanat

4.6.2 Prosedur Pengerjaan Pola Kepekaan Berikut adalah langkah kerja uji pola kepekaan:

• Siapkan biakan bakteri berumur 18-24 jam.

• Sediakan agar Mueller-Hinton dengan ketebalan antara 3-5 mm.

• Buat suspensi bakteri yang akan diuji, dan sesuaikan kekeruhannya dengan standar 0.5 Mc Farland

• Celupkan usap kapas steril ke dalam suspensi bakteri, tekan ke dinding tabung supaya tidak terlalu basah dan oleskan secara merata di seluruh permukaan medium. Diamkan sebentar.


(47)

• Pada permukaan medium diletakkan berbagai cakram antibiotika yg rutin diujikan pada bakteri batang gram negatif, dengan jarak satu sama lain tidak lebih dari 2 cm, kemudian didiamkan sebentar.

• Inkubasi lempeng agar (Agar Mueller Hinton) pada suhu 35oC, selama 24 jam.

• Pembacaan dan interpretasi hasil dilakukan dengan mengikuti pedoman tabel CLSI

4.7 Metode Analisis Data

. Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dan kemudian diolah dengan menggunakan program komputer untuk mengetahui prevalensi dan pola kepekaan dari Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang diisolasi dari urin pasien suspek


(48)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan mulai tanggal 10 September 2014 sampai 17 Oktober 2014 di RSUP H. Adam Malik Medan dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sampel pada penelitian ini adalah urin pasien suspek infeksi saluran kemih dengan bakteriuria signifikan yaitu > 105CFU/ml urin .Jumlah sampel yang digunakan adalah 45 sampel.

5.1.1 Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data primer yaitu data yang berasal langsung dari pasien. Urin pasien suspek ISK yang diambil berasal dari Departemen Anak, Departemen Penyakit Dalam dan Departemen Urologi RSUP. H. Adam Malik Medan. Kemudian, sampel tersebut langsung dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Universitas Sumatera Utara untuk dilakukan kultur dan identifikasi bakteri. Setiap urin pasien suspek infeksi saluran kemih yang dijadikan sampel adalah urin yang sudah menunjukkan bakteriuria signifikan (>105CFU/ml). Setelah identifikasi dilakukan barulah dipilih isolat Enterobacteriaceae untuk dilakukan skrining bakteri penghasil ESBL dengan metode uji Double Disk Synergy dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotika bagi sampel yang dinyatakan positif ESBL tersebut. Pengambilan sampel di RSUP H. Adam Malik Medan dilakukan berulang-ulang sampai jumlah sampel yang diinginkan yaitu 45 sampel yang merupakan isolat bakteri dari famili Enterobacteriaceae terkumpul.

Peneliti juga mengambil data dari rekam medis untuk meninjau kembali gejala klinis infeksi saluran kemih yang muncul pada pasien. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 45 sampel, jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.


(49)

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 35 77,78

Perempuan 10 22,22

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki 35 (77,78%) dan perempuan 10 (22,22%).

Tabel 5.2 Karakteristik Sampel Berdasaran Usia

Usia n %

≤ 20 5 11,11

21-40 3 6,67

41-60 26 57,78

61-80 10 22,22

≥81 1 2,22

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa distribusi sampel berdasarkan usia adalah sampel ≤20 tahun 5 (11,11%), 21-40 tahun 3 (6,67%), 41-60 tahun 26 (57,78%), 61-80 tahun 10 (22,22%) dan ≥81tahun 1 (2,22%).

5.1.2 Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan metode Uji Double Disk Synergy

Melalui uji identifikasi bakteri yang dilakukan, dari 45 sampel urin yang diperoleh 28 sampel (62,22 %) merupakan E. coli, 12 sampel (26,67% ) merupakan

K. pneumoniae dan 5 sampel (11,11%) adalah Enterobacter sp.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih

Spesies Bakteri Jumlah %

E. coli 28 62,22

K. pneumoniae 12 26,67

Enterobacter sp. 5 11,11


(50)

Selanjutnya setiap sampel urin akan diuji dengan metode uji Double Disk Synergy

untuk melihat apakah bakteri tersebut merupakan penghasil enzim ESBL yaitu enzim yang mampu menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi I,II, dan III serta aztreonam. Metode uji ini menggunakan Muller Hinton agar sebagai media dan antibiotik dari golongan cephalosporin generasi ketiga (ceftazidime,cefpodoxime dan ceftriaxone) serta inhibitor beta laktamase yaitu amoxicillin-asam klavulanat (augmentin). Sampel dinyatakan positif jika terdapat perluasan zona inhibisi cephalosporin ke arah cakram amoxicillin-asam klavulanat

Tabel. 5.4 Hasil Skrining Enterobacteriaceae Penghasil ESBL dengan Metode Uji Double Disk Synergy

Berdasarkan tabel 5.1 di atas, dapat dilihat bahwa dari jumlah 45 sampel urin pasien suspek infeksi saluran kemih yang diskrining menggunakan metode uji Double Disk Synergy, didapat Enterobacteriaceae penghasil ESBL sebanyak 15 sampel yaitu

E.coli sebanyak 7 sampel (15,55%), K. pneumoniae sebanyak 6 sampel (13,34%) dan Enterobacter sp. sebanyak 2 sampel (4,44%)

Oleh karena itu, prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dapat dihitung dengan:

Spesies bakteri

Positif ESBL

Negatif

ESBL Jumlah

E.coli 7 (15,55%) 21 (46,67%) 28 (62,22%)

K. pneumoniae 6 (13,34%) 6 (13,33%) 12 (26,67%)

Enterobacter sp. 2 (4,44%) 3 (6,67%) 5 (11,11%)


(51)

Jumlah sampel positif ESBL dengan metode uji Double Disk Synergy = Jumlah seluruh sampel

=15

45

x

100%

= 33,3%

5.1.3 Pola Kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap

ntibiotikaSetiap sampel yang menunjukkan hasil positif ESBL akan dilanjutkan dengan uji kepekaan antibiotika dengan menggunakan media Muller Hinton Agar. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik rutin yang diujikan kepada bakteri gram negatif seperti antibiotika dari golongan beta laktam (penicillin, cephalosporin, carbapenem), golongan aminoglikosida (amikacin, kanamicin dan tetracycline), dan antibiotika dari golongan lain seperti chloramphenicol dan cotrimoxazole (CLSI, 2014). Dari hasil uji kepekaan, didapat sensitivitas Enterobacteriaceae penghasil ESBL paling tinggi terhadap tazobacam, amikacin dan meropenem.


(52)

Tabel 5.5 Pola Kepekaan E. coli penghasil ESBLterhadap Antibiotika

Keterangan:

S : Sensitif I : Intermediat R: Resistan

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat pola kepekaan E.coli penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam (100%), amikacin (85,7%),dan meropenem (71,5%). E. coli

penghasil ESBL resisten terhadap antibiotik golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime (85,7%); cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime

(85,7%), ceftriaxone (100%), dan cefotaxime (100%); serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime (85,7%). Selain itu, E.coli penghasil ESBL juga resisten terhadap ciprofloxacin (100%), ampicillin (85,7%), piperacillin (85,7%), cotrimoxazole (85,7%), norfloxacin (85,7%), ofloxacin (85,7%), kanamicin (57,1%), tetracyclin (57,1%), dan chloramphenicol (42,9%).

Nama Antibiotik

Pola Kepekaan

S I R

Cefuroxime (Cephalosporin Gen. II) 0 1 (14,3%) 6 (85,7%) Ceftazidime (Cephalosporin Gen.III) 1 (14,3%) 0 6 (85,7%)

Ceftriaxone (Cephalosporin Gen. III 0 0 7 (100%)

Cefotaxime (Cephalosporin Gen.III) 0 0 7 (100%)

Cefepime (Cephalosporin Gen. IV) 0 1 (14,3%) 6 (85,7%)

Ampicillin 1 (14,3%) 0 6 (85,7%)

Piperacillin 0 1 (14,3%) 6 (85,7%)

Tazobactam 7 (100%) 0 0

Amikacin 6 (85,7%) 1 (14,3%) 0

Kanamicin 3 (42,9%) 0 4 (57,1%)

Tetracyclin 3 (42,9%) 0 4 (57,1%)

Chloramphenicol 4 (57,1%) 0 3 (42,9%)

Cotrimoxazole 0 1(14,3%) 6 (85,7%)

Meropenem 5 (71,5%) 0 2 (28,5%)

Ciprofloxacin 0 0 7 (100%)

Norfloxacin 1 (14,3%) 0 6 (85,7%)


(53)

Tabel 5.6 Pola Kepekaan K. pneumoniae Penghasil ESBL terhadap Antibiotika

Keterangan:

S : Sensitif I : Intermediat R: Resistan

Pada tabel 5.3 dapat dilihat K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem (100%), amikacin (83,3%), tetracyclin (66,7%) dan tazobactam (50%).

K. pneumoniae penghasil ESBL resisten terhadap antibiotik golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime (100%); cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime (83,3%), ceftriaxone (100%), dan cefotaxime (100%); serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime (100%). Selain itu, K. pneumoniae penghasil ESBL juga resisten terhadap ampicillin (83,3%), piperacillin (83,3%), ciprofloxacin (83,3%), norfloxacin (83,3%), ofloxacin (83,3%), chloramphenicol (66,7%), cotrimoxazole (66,7%), dan kanamicin (50%).

Nama Antibiotik

Pola Kepekaan

S I R

Cefuroxime (Cephalosporin Gen. II) 0 0 6 (100%)

Ceftazidime (Cephalosporin Gen.III) 0 1 (16,7%) 5 (83,3%)

Ceftriaxone (Cephalosporin Gen. III 0 0 6 (100%)

Cefotaxime (Cephalosporin Gen.III) 0 0 6 (100%)

Cefepime (Cephalosporin Gen. IV) 0 0 6 (100%)

Ampicillin 0 1 (16,67%) 5 (83,3%)

Piperacillin 0 1 (16,67%) 5 (83,3%)

Tazobactam 3 (50%) 2 (33,33%) 1 (16,7%)

Amikacin 5 (83,3%) 0 1 (16,7%)

Kanamicin 0 3 (50%) 3 (50%)

Tetracyclin 4 (66,7%) 0 2 (33,3%)

Chloramphenicol 2 (33,3%) 0 4 (66,7%)

Cotrimoxazole 2 (33,3%) 0 4 (66,7%)

Meropenem 6 (100%) 0 0

Ciprofloxacin 0 1(16,7%) 5 (83,3%)

Norfloxacin 0 1(16,7%) 5 (83,3%)


(54)

Tabel 5.7 Pola Kepekaan Enterobacter sp. Penghasil ESBL terhadap antibiotika

Keterangan:

S: Sensitif I : Intermediat R: Resistan

Pada tabel 5.4 dapat dilihat Enterobacter sp. penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam (50%), amikacin (50%), tetracyclin (50%), meropenem (50%), ciprofloxacin (50%), norfloxacin (50%) dan ofloxacin (50%) . Enterobacter sp.

penghasil ESBL resisten terhadap antibiotik golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime (100%); cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime (100%), ceftriaxone (100%), dan cefotaxime (100%); serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime (100%). Selain itu, Enterobacter sp. penghasil ESBL juga resisten terhadap ampicillin (100%), piperacillin (100%), cotrimoxazole (100%), kanamicin (50%), dan chloramphenicol (50%).

Nama Antibiotik

Pola Kepekaan

S I R

Cefuroxime (Cephalosporin Gen. II) 0 0 2 (100%) Ceftazidime (Cephalosporin Gen.III) 0 0 2 (100%) Ceftriaxone (Cephalosporin Gen. III) 0 0 2 (100%) Cefotaxime (Cephalosporin Gen.III) 0 0 2 (100%) Cefepime (Cephalosporin Gen. IV) 0 0 2 (100%)

Ampicillin 0 0 2 (100%)

Piperacillin 0 0 2 (100%)

Tazobactam 1 (50%) 0 1 (50%)

Amikacin 1 (50%) 1 (50%) 0

Kanamicin 0 1 (50%) 1 (50%)

Tetracyclin 1 (50%) 0 1 (50%)

Chloramphenicol 0 1 (50%) 1 (50%)

Cotrimoxazole 0 0 2 (100%)

Meropenem 1 (50%) 0 1 (50%)

Ciprofloxacin 1 (50%) 0 1 (50%)

Norfloxacin 1 (50%) 0 1 (50%)


(55)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dari hasil skrining dengan metode Uji Double Disk Synergy

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Enterobacteriaceae

penghasil ESBL dengan metode uji Double Disk Synergy pada sampel urin pasien suspek infeksi saluran kemih di RSUP. H. Adam Malik Medan dan juga pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap antibiotika.

Dari penelitian ini, E.coli merupakan bakteri penyebab terbanyak infeksi saluran kemih yang kemudian diikuti oleh K. pneumoniae dan Enterobacter sp. pada tempat kedua dan ketiga. Dari grafik 5.1 dapat dilihat dari 45 sampel yang terkumpul, sekitar 62,22% merupakan E.coli, 26,67% merupakan K. pneumoniae dan 11,1% merupakan

Enterobacter sp. sebagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan dari 547 sampel, 311 sampel (56,8%) merupakan E. coli dan 79 sampel (14,4%) merupakan K. pneumoniae sebagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih (Niranjan dan Malini, 2014). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo menunjukkan 90 sampel, 54 sampel (54,5%) diantaranya E. coli dan 39 sampel (39,4%) adalah K. pneumoniae (Samirah et al, 2006).

Dalam beberapa beberapa tahun terakhir, prevalensi Enterobacteriaceae

penghasil ESBL menunjukkan angka yang cukup tinggi. Hal ini diduga terjadi karena penggunaan antibiotik yang terlalu sering, irasional, dalam jangka waktu lama serta penggunaan antibiotik baru yang berlebihan (Setiabudy,2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tigecyline Evaluation and Surveillance Trial (TEST), prevalensi dri E.coli penghasil ESBL di Amerika Latin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, prevalensi E.coli penghasil ESBL adalah 14% yang kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi 24% (Blanco et al, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends

(SMART) pada tahun 2009-2010 menunjukkan prevalensi E.coli dan K. pneumoniae


(56)

tepatnya India, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2008-2009, prevalensi bakteri gram negatif penghasil ESBL mencapai 69% (Umadevi et al, 2009). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai prevalensi ESBL sudah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di RS. Kariadi Semarang selama 2 tahun, menunjukkan prevalensi bakteri penghasil ESBL mencapai 50,6% (Winarto,2009). Penelitian serupa juga dilakukan di RS. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011, dari 112 sampel yang dikumpulkan, 58,42% diantaranya positif ESBL (Saharman dan Lestari, 2011).

Di Medan sendiri, penelitian mengenai prevalensi bakteri penghasil ESBL telah dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Juni 2011-Juli 2012. Hasil penelitian tersebut menunjukkan dari 91 sampel, 53 sampel (58,2%) diantaranya dinyatakan bakteri penghasil ESBL (Mayasari, 2012). Pada penelitian ini, dari 45 sampel, didapat 15 sampel diantaranya menunjukkan hasil positif ESBL, sehingga prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah 33,3%. Perbedaan prevalensi bakteri penghasil ESBL ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang digunakan.

Berdasarkan tabel 5.1, dari 15 sampel yang menunjukkan hasil positif ESBL, 7 diantaranya merupakan E.coli, 6 sampel merupakan K. pneumoniae dan 2 sampel adalah Enterobacter sp. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan dari 149 Enterobacteriaceae penghasil ESBL, 43,6% merupakan E. coli, 33,5% merupakan K. pneumoniae, dan 11,6% merupakan

Enterobacter sp.(Rudresh dan Nagarathnamma, 2011).

5.2.2 Pola kepekaan Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap antibiotika

Setiap sampel yang merupakan bakteri penghasil ESBL akan dilanjutkan dengan uji kepekaan antibiotika. Pada tabel 5.2 dapat dilihat E.coli penghasil ESBL telah resisten terhadap antibiotika golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime dengan persentase 85,7%; cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime dengan persentase 85,7% dan ceftriaxone dan cefotaxime dengen persentase mencapai 100%.


(57)

Hal ini diperparah dengan E. coli penghasil ESBL juga resisten terhadap cephalosporin generasi IV yaitu cefepim dengan persentase mencapai 100%. Selain itu E.coli penghasil ESBL juga resisten dengan antibiotika dari golongan penicillin yaitu ampicillin dan piperacillin dengan persentase 85,7%; golongan aminoglikosida yaitu kanamicin dan tetracyclin dengan persentase 57,1%; antibiotika golongan fluoroquinolon yaitu ciprofloxacin dengan persentase 100%, norfloxacin dan ofloxacin dengan persentase 85,7%; dan antibiotika dari golongan lain seperti chloramphenicol dan cotrimoxazole dengan persentase masing-masing sebesar 42,9% dan 85,7%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pakistan pada tahun 2009-2010, yang menunjukkan E.coli penghasil ESBL memilki tingkat resistensi yang tinggi terhadap antibiotik dari golongan cephalosporin yaitu cefuroxime sebesar 93,3%, ceftazidime sebesar 99,4%, cefotaxime sebesar 100% (Ejaz et al, 2011). Penelitian serupa juga dilakukan di RS. Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2003-2004 yang menunjukkan resistensi E. coli penghasil ESBL terhadap tetracylin sebesar 77%, chloramphenicol sebesar 74,4% cotrimoxazole sebesar 84,2% (Winarto, 2009). Penelitian serupa yang dilakukan di Surabaya menunjukkan persentase resistense E. coli penghasil ESBL adalah 61,6% untuk cotrimoxazole, 84,9% untuk tetracylin, dan 76,7% untuk ciprofloxacin (Severin et al, 2010). Penelitian yang dilakukan di Iran juga menunjukkan E. coli penghasil ESBL resisten terhadap ampicillin sebesar 99,99% dan terhadap ofloxacin sebesar 70% (Behroozi et al, 2010). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India Selatan menunjukkan persentase resistensi E.coli penghasil ESBL terhadap norfloxacin sebesar 90% (Bhaskaran et al, 2011). Tingginya resistensi terhadap antibiotika golongan fluoroquinolon juga dipaparkan pada penelitian Singh et al (2011) yang menunjukkan persentase resistensi E.coli penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin yaitu sebesar 92,4% dan terhadap norfloxacin sebesar 96,2%.

Dari hasil penelitian ini, E. coli penghasil ESBL sensitif terhadap beberapa golongan antibiotik seperti tazobactam yang merupakan inhibitor beta laktamase


(58)

dengan persentase sensitivitas 100%, amikacin dengan persentase sensitivitas 85,7%, dan meropenem dengan persentase sensitivitas 71,5%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pakistan yang menunjukkan E. coli penghasil ESBL memiliki persentase sensitivitas yang cukup tinggi terhadap meropenem sebesar 98,7% dan tazobactam sebesar 89,7% (Ejaz et al, 2011). Penelitian multisenter di Surabaya, Semarang dan Malang juga menunjukkan hal yang sama yaitu E.coli

penghasil ESBL memilki persentase sensitivitas yang cukup baik terhadap meropenem sebesar 95,3% dan amikacin sebesar 77,1% (Kuntaman et al, 2011).

Pada tabel 5.3 dapat dilihat K. pneumoniae penghasil ESBL resisten terhadap terhadap antibiotika golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime dengan persentase mencapai 100%; cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime dengan persentase 83,3%, ceftriaxone dan cefotaxime dengan persentase 100%; serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime dengan persentase 100%. Selain itu, K. pneumoniae penghasil ESBL juga resisten terhadap ampicillin,piperacillin, ciprofloxacin, norfloxacin dan oxfloxacin dengan persentase 83,3%; kanamicin dengan persentase 50%; serta chloramphenicol dan cotrimoxazole dengan persentase 66,7%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al (2011) yang menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL memilki resistensi yang tinggi terhadap cefuroxime sebesar 93,3% ceftazidime sebesar 99,4%, cefotaxime sebesar 100%. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Winarto (2009) juga menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL resisten terhadap chloramphenicol sebesar 83,4%, dan cotrimoxazole sebesar 75,7%. Penelitian yang dilakukan oleh Singh (2010) juga menunjukkan persentase resistensi yang cukup tinggi dari K. pneumoniae penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin yaitu sebesar 57,6% dan terhadap norfloxacin sebesar 73%. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Behroozi et al (2010) yang menunjukkan persentase resistensi K.pneumoniae penghasil ESBL terhadap oflaxacin yang tidak tinggi yaitu 27%. Peningkatan resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin telah


(59)

(Mehgran et al, 2010). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya transfer plasmid pembawa ESBL yang juga membawa sifat resistensi terhadap antibiotika lain sehingga menyebabkan isolat bakteri menjadi multiresisten, terutama terhadap norfloxacin dan ciprofloxacin (Creighton, 2014).

Dari tabel 5.3 juga dapat dilihat bahwa K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem sebesar 100%, amikacin sebesar sebesar 83,3%, tetracyclin 66,7% dan tazobactam 50%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuntaman et al (2011) yang menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap meropenem sebesar 96,5%, amikacin sebesar 86,6%. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Hasan et al (2011) juga menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL memiliki persentase sensitivitas yang cukup tinggi terhadap meropenem sebesar 96,4% dan tazobactam sebesar 82,4%. Namun hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Behroozi et al (2010) yang menunjukkan K. pneumoniae penghasil ESBL memiliki persentase resistensi yang cukup tinggi terhadap amikacin yaitu sebesar 78% dan terhadap tetracyclin sebesar 50%. Perbedaan hasil ini juga ditemui pada penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al (2011) yang memperlihatkan persentase resistensi K. pneumoniae penghasil ESBL terhadap sebsar 53,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Winarto (2009) juga menunjukkan persentase resistensi yang tinggi K. pneumoniae

penghasil ESBL terhadap tetarcyclin yaitu mencapai 100%. Beragamnya persentasi resistensi pada antibiotik golongan aminoglikosida ini dapat disebabkan oleh adanya resistensi terhadap aminoglikosida yang terjadi akibat kontransfer melalui plasmid yang dimediasi oleh enzim ESBL (Rupp dan Fey, 2003). Oleh karena itu penggunaan aminoglikosida dianggap kurang tepat untuk dijadikan antibiotik sebagai terapi pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL(Rupp dan Fey, 2003).

Pada tabel 5.4 dapat dilihat Enterobacter sp. penghasil ESBL resisten terhadap antibiotik golongan cephalosporin generasi II yaitu cefuroxime dengan persentase 100%; cephalosporin generasi III yaitu ceftazidime, ceftriaxone, cefotaxime dengan persentase 100%; serta cephalosporin generasi IV yaitu cefepime dengan persentase


(60)

100%. Selain itu, Enterobacter sp. penghasil ESBL juga resisten terhadap ampicillin, piperacillin, cotrimoxazole dengan persentase 100% serta kanamicin dan chloramphenicol dengan persentase 50%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian multisenter di Semarang, Malang dan Surabaya yang menunjukkan

Enterobacter sp. penghasil ESBL memilki persentase resistensi yang tinggi terhadap cefotaxime sebesar 95,2%, cotrimoxazole dan chloramphenicol dengan persentase 100% (Winarto, 2009). Perbedaan persentase resistensi cotrimoxazole pada penelitian yang dilakukan Winarto dengan hasil penelitian pada tabel 5.4 dapat dikarenakan jumlah sampel Enterobacter sp. pada penelitian Winarto hanya satu. Hal ini menyebabkan jika satu sampel saja resisten terhadap cotrimoxazole, maka persentase resistensi akan langsung menjadi 100% (Winarto, 2009).

Selain itu, pada tabel 5.4 dapat dilihat Enterobacter sp. penghasil ESBL sensitif terhadap tazobactam, amikacin, tetracyclin , ciprofloxacin, norfloxacin, ofloxacin dan meropenem dengan persentase sebesar 50%. Penelitian yang dilakukan oleh Winarto (2009) menunjukkan Enterobacter sp. penghasil ESBL memiliki persentase sensitivitas terhadap amikacin, tetracyclin dan meropenem sebesar 100%. Perbedaan hasil ini juga dapat disebakan oleh perbedaan jumlah sampel dimana pada penelitian ini jumlah sampel adalah 2 sementara pada penelitian Winarto (2009) jumlah sampel

Enterobacter sp. hanya 1. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Kuntaman et al (2011) yang menunjukkan persentase sensitivitas Enterobacter sp. penghasil ESBL terhadap ciprofloxacin sebesar 42,9%.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)