BAB II FORMULASI ATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2011
B.  Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pembangunan  sistem  dan  program  jaminan  sosial  merupakan  salah  satu karya  kebijakan  sosial  yang  terbesar di  abad  kedua  puluh.  Untuk  pertama kali,
program  jaminan  sosial  wajib  mandatory insurance  diperkenalkan  di  Eropa pada akhir abad kesembilan belas. Selanjutnya program jaminan sosial meluas ke
berbagai  belahan  dunia  setelah  berakhirnya  perang  dunia  kedua,  paling  tidak sebagai  dampak  dari  berakhirnya  era  kolonialisasi dan  kemerdekaan  negara-
negara  jajahan.
62
Selanjutnya  International  Labour  Organization  ILO  dalam  konvensi Nomor  102  Tahun  1952  menganjurkan semua negara  di  dunia  memberi
perlindungan  dasar kepada  setiap  warga  negaranya  dalam  rangka  memenuhi Penyebaran  dan  pengembangan  jaminan  sosial  ke  seluruh
dunia juga didukung oleh konvensi dan kerjasama internasional. Pada tahun 1948 Perserikatan  Bangsa-Bangsa  mendeklarasikan  jaminan
sosial sebagai hak asasi manusia dalam Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia.  Di dalamnya dinyatakan  bahwa  :  “setiap  orang,  sebagai  anggota masyarakat,
mempunyai hak atas jaminan sosial ..... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua”.
62
http:www.jamsosindonesia.comidentitasjaminan_sosial_karya_besar_abad_ keduapuluh
diakses tanggal 01 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi PBB tentang hak jaminan sosial. Konvensi  ini merupakan  satu-satunya instrumen internasional  untuk  penyelenggaraan  jaminan  sosial,  mengatur
kesepakatan di antara  negara-negara  anggota  tentang standar  minimal  untuk penyelenggaraaan sembilan program jaminan sosial.
ILO  Convention  Nomor  102  mendefinisikan  jaminan  sosial  sebagai ”Perlindungan  yang diberikan  oleh  masyarakat  untuk  masyarakat  melalui
seperangkat kebijakan publik terhadap tekanan  ekonomi dan sosial  yang diakibatkan oleh  hilangnya  sebagian  atau  seluruh  pendapatan  akibat  berbagai
resiko  yang diakibatkan  oleh  sakit,  kehamilan,  persalinan,  kecelakaan  kerja, kecacatan, pengangguran,  pensiun,  usia  tua, kematian dini  penghasil  utama
pendapatan,  perawatan  medis  termasuk pemberian  santunan kepada  anggota keluarga termasuk anak-anak”.
1. Pasca Indonesia Merdeka
Perjalanan  sejarah pembangunan program  jaminan sosial  di  Indonesia memperlihatkan  bahwa  jaminan  sosial  tumbuh  dan  digerakkan  oleh  pemerintah
bukan  muncul  dari  kebutuhan  pekerja  akan  perlindungan  pendapatan sebagaimana  yang terjadi  di  Eropa.  Didalam perjalanannya,  landasan filosofi
jaminan sosial di Indonesia berkembang sesuai filosofi pemerintahan. Pada masa pra kemerdekaan, program jaminan sosial pertama kali diperkenalkan ketika masa
pemerintahan  kolonial  Belanda masih  berkuasa pada  awal  abad  kedua  puluh. Pemerintah   Hindia   Belanda   mengikutsertakan    pegawai pribumi  yang  bekerja
Universitas Sumatera Utara
pada  lembaga  pemerintah  Hindia  Belanda  dalam  dua  buah  program,  yaitu jaminan pensiun sejak tahun 1926 dan jaminan kesehatan mulai tahun 1934.
Di  masa pasca  proklamasi  kemerdekaan,  Pemerintah  Pusat  Orde  Lama membangun  tiga  program  jaminan  sosial  mulai pada  tahun  1947,  yaitu  jaminan
kecelakaan  kerja, jaminan kesehatan,  dan jaminan  hari tua.  Program  jaminan kecelakaan  kerja  lahir  ketika  Pemerintah  mengundangkan  Undang-Undang  No.
33  Tahun  1947  Tentang  Kecelakaan  Undang-Undang  Kecelakaan  1947 pada  18 Oktober 1947.  Undang-Undang  ini  diberlakukan  di seluruh  Indonesia
sejak tahun 1951 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 Tentang Berlakunya Undang-Undang  No  33  Tahun  1947  dari  Republik  Indonesia    untuk    seluruh
Indonesia.  Undang-Undang    Kecelakaan    1947    adalah  Undang-Undang  sosial pertama yang  diundangkan  pasca  proklamasi  kemerdekaan,  dan  hebatnya  lagi
diundangkan di masa pemerintahan darurat pasca perang agresi Belanda kedua. Sejak tahun 1948  Pemerintah  melanjutkan  penyelenggaraan  program
jaminan  kesehatan  pemerintah  Hindia  Belanda di  masa  pra  kemerdekaan. Program  ini  diselenggarakan  berdasarkan  pada ketentuan Restitusi  Regeling
1948.
63
63
Staatsregeling No.  1  Tahun 1934  Peraturan Pemerintah Hindia Belanda No.  1  Tahun 1934 tentang Jaminan Kesehatan
Peserta  dibatasi  pada  pegawai  negeri  yang  berpenghasilan  di  bawah  Rp 850,00 per bulan. Penyelenggaraan belum sepenuhnya mengikuti kaidah jaminan
sosial, namun masih diselenggarakan sebatas pemotongan  gaji restitusi.  Setiap pegawai yang  mendapatkan  pelayanan  rawat  inap  dikenakan  pemotongan  gaji
sebesar  3  dari  gaji  pokok  untuk  membayar  iur  bayar  co-payment.  Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan  dasar  ditanggung  penuh  oleh  pemerintah.  Pelayanan  kesehatan  dasar di fasilitas  pemerintah  tidak  dipungut  bayaran, sedangkan  di  fasilitas  swasta,
peserta membayar  terlebih  dahulu  biaya  pelayanan  kesehatan  kemudian pemerintah mengganti  reimbursement.  Pemerintah
melakukan  proyek percontohan  program jaminan  kesehatan  dengan    mekanisme    asuransi    sosial
yang  dikenal  dengan “Jakarta Pilot Project” pada tahun 1960. Program  ketiga  yang diselenggarakan adalah program pensiun publik  yang
terbatas untuk pegawai negeri pada tahun 1956 kemudian diikuti dengan program tabungan  hari  tua  pegawai  negeri  pada tahun  1963.  Program  pensiun  pegawai
negeri  didirikan  dan  diselenggarakan  berdasarkan  Undang-Undang  No.  11 Tahun  1956 Tentang Pembelanjaan Pensiun. Program tabungan hari tua pegawai
negeri  diatur dalam  Peraturan  Pemerintah  PP  No.  9  Tahun  1963  Tentang Pembelanjaan  Pegawai  Negeri  dan  PP  No.  10  Tahun  1963  Tentang  Tabungan
Asuransi dan Pegawai Negeri. Pemerintah Orde  Baru  meningkatkan penyelenggaraan  program-program
jaminan  sosial  yang telah  dibangun  pada  masa  pemerintahan  Orde  Lama. Peningkatan  dilakukan  dengan  menyelenggarakan  program-program    jaminan
sosial  dengan  mekanisme pendanaan  oleh  peserta  funded  social  security  dan membangun  kelembagaan jaminan sosial. Pendanaan jaminan sosial oleh peserta
dan  badan  penyelenggara  jaminan  sosial  berkembang sesuai  dengan  kelompok pekerjaan, yaitu pegawai negeri dan pekerja swasta. Sayangnya, Pemerintah Orde
Baru pada tahun 1992 menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai Perseroan,  Badan  Usaha  Milik  Negara  yang  berorientasi  laba  -  PT  ASKES,
Universitas Sumatera Utara
PT ASABRI,  PT  JAMSOSTEK,  PT  TASPEN.  Sejak  itu,  penyelenggaraan program jaminan sosial Indonesia menjauh dari prinsip-prinsip asuransi sosial.
64
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1997 Tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja  ASTEK  sendiri  menjelaskan  bahwa  sistem  perlindungan  yang
dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan tenaga kerja. Berdasarkan peraturan  ini
maka perusahaan  diwajibkan  untuk menyelenggarakan  program  Astek,  yaitu dengan cara mempertanggungkan buruhnya dalam asuransi  kecelakaan  kerja dan
asuransi  kematian,  demikian  pula dalam  program  tabungan  hari  tua  pada badan penyelenggaraan  yaitu  Perusahaan umum  Asuransi  Sosial  Tenaga  Kerja  Perum
Astek  yang didirikan  dengan  Peraturan  Pemerintah  No.  34  Tahun  1977. Perusahaan  yang wajib menyelenggarakan  Astek  masih  dibatasi  pada  jumlah
buruh  yang  dipekerjakan  atau  jumlah  upah  yang  dibayarkan  kepada buruhnya setiap  bulannya.  Menurut keputusan  Menteri  Tenaga  Kerja Transmigrasi  dan
Koperasi  No. 116-MEN177 tentang peraturan  tata  cara  persyaratan  pendaftaran pembayaran  iuran  dan pembayaran  jaminan  asuransi  sosial  tenaga kerja,
menetapkan  bahwa perusahaan  yang mempekerjakan sebanyak 100 orang  atau lebih atau membayar upah paling sedikit  Rp.  5.000.000,00  Lima  Juta  Rupiah
sebulan  adalah  perusahaan  yang diwajibkan  ikut  serta dalam    program Astek, sedangkan  menurut  Keputusan  Menteri  Tenaga  Kerja No.   KEP-278MEN83
peraturan  mengatur  perusahaan  yang  mempekerjakan  tenaga  kerja  sebanyak  25 orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,00 Satu Juta
64
http:www.jaminansosindonesia.comidentitasjaminansosial diakses 01 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
Rupiah sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara  bertahap sudah  mulai mengembangkan program jaminan sosial para pekerjaburuh.
65
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Mengingat  aturan  perekonomian  yang  berlaku,  penting  sekali  untuk mempertahankan  asuransi sosial sebagai  teknik  jaminan sosial dasar,  yang
disusun menurut  bentuk  aslinya  sebagai  sebuah  kontrak  antara individu  dan masyarakat, juga  agar  dapat  benar-benar  menjamin  kondisi  kehidupan minimum
bagi  setiap orang.  Negara harus  terus  menyediakan  kerangka  kerja dasar  bagi asuransi  sosial wajib  yang membutuhkan partisipasi  keuangan dari    seluruh
warganya dalam sebuah  skema,  yang dapat melindungi mereka dari  konsekuensi terjadinya  resiko sosial  yang besar.  Berdasarkan  pengalaman  yang  baru  saja
terjadi,  sangat  tidak bertanggungjawab untuk  menyerahkan tugas  itu  kepada pengaturan  pribadi,  hanya tunjangan-tunjangan  tambahan    yang  menjamin
kelangsungan taraf  hidup yang diinginkan saja yang harus diserahkan sepenuhnya pada usaha setiap individu.
Menurut  pasal  1  ayat  1  Undang-undang Nomor  3  Tahun  1992,  Jaminan sosial  tenaga  kerja  adalah  suatu  perlindungan  bagi  tenaga  kerja dalam  bentuk
santunan  berupa  uang  sebagai  pengganti  sebagian  dari  penghasilan  yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
65
Vladimir Rys, Merumus ulang Jaminan Sosial Kembali ke Prinsip-Prinsip Dasar, PT Pustaka Alvabet, Jakarta, 2011, hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
oleh tenaga  kerja  berupa kecelakaan  kerja,  sakit,  hamil,  bersalin,  hari  tua, dan meninggal dunia.
Menurut  Kennet  Thomson,  seorang tenaga  ahli  pada  Sekretariat  Jenderal International  Social  Security Association  ISSA  di  Jenewa,  dalam  Regional
Training  Seminar  ISSA  di  Jakarta  bulan  Juni  1980,  mengatakan  bahwa  : “Jaminan sosial  dapat  diartikan  sebagai  perlindungan  yang diberikan oleh
masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa- peristiwa tertentu  dengan tujuan  sejauh mungkin  untuk  menghindari  terjadinya  peristiwa-
peristiwa  tersebut  yang  dapat  mengakibatkan  hilangnya  atau  turunnya  sebagian besar penghasilan, dan untuk  memberikan  pelayanan  medis    danatau  jaminan
keuangan  terhadap konsekuensi  ekonomi  dari  peristiwa  tersebut,  serta jaminan untuk  tunjangan keluarga  dan  anak”.
66
Sejalan  dengan  dua  pengertian  di  atas, Undang-Undang  Nomor  6  Tahun 1974  tentang  Ketentuan-Ketentuan  Pokok
Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 2  ayat 4 nya menggariskan bahwa :  “Jaminan Sosial  sebagai  perwujudan  dari  sekuritas sosial  adalah seluruh sistem
perlindungan  dan pemeliharaan kesejahteraan sosial  bagi  warga  Negara  yang diselenggarakan  oleh  pemerintah  danatau  masyarakat  guna  memelihara  taraf
kesejahteraan sosial”.
67
66
Sentanoe  Kertonegoro  ,  Jaminan  Sosial  dan  Pelaksanaannya  di  Indonesia,  Cet.1, Mutiara, Jakarta, hlm. 29
67
H.  Zainal  Asikin,  S.H.,  S.U.  dkk,  Dasar-dasar  Hukum  Perburuhan,  PT.  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 99
Jika diperhatikan dari   ketiga  pengertian  di  atas,  maka nampaknya  ketiga pengertian  tersebut  memberikan  pengertian  jaminan  sosial
dengan  begitu  luasnya, seakan-akan  jumlah  sosial  itu  sendiri  telah  mencakup bidang  pencegahan  dan penyembuhan  serta  bidang  pembinaan,  ketiga  bidang
Universitas Sumatera Utara
ini  kalau  dikaitkan  lebih jauh  lagi  akan  apa  yang  dinamakan  Perlindungan Buruh,  sehingga  akan  sangat  luaslah  ruang lingkupnya.  Kalau  kita  akan
membicarakan  jaminan  sosial bagi pekerja dengan bertumpunya pada defenisi di atas,  maka  yang dimasukkan  ke dalam  jaminan sosial  ini hal-hal  yang
bersangkutan dengan : 1.   Jaminan sosial itu sendiri
2.   Kesehatan keja, dan 3.   Keselamatan dan keamanan kerja.
Di  dalam  rangka menciptakan  landasan  untuk  meningkatkan kesejahteraan dan  perlindungan tenaga  kerja,  Undang-undang  ini  mengatur  penyelenggaraan
jaminan sosial  tenaga  kerja  sebagai  perwujudan
pertanggungan  sosial sebagaimana dimaksud  dalam  Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1969  tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Undang-Undang No.  3  Tahun  1992  tentang Jamsostek  ini  dikeluarkan
berdasarkan dasar-dasar hukum : 1.
Pasal  5  ayat  1,  Pasal  20  ayat  1,  Pasal  27  ayat  2  Undang- undang Dasar 1945
2. Undang-undang No.3 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-
undang  Pengawasan  Perburuhan  Tahun  1948  No. 23  dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia Lembaga Negara tahun 1951 No.41
3. Undang-undang  No.  14  tahun  1969  tentang  ketentuan-ketentuan
pokok mengenai  tenaga kerja  Lembaga  Negara tahun 1969  nomor 55  : tambahan lembaran negara nomor 2912
Universitas Sumatera Utara
4. Undang-undang  No.  1  tahun  1970  tentang  keselamatan  kerja  Lembaran
Negara Tahun 1970 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara nomor 2918 5.
Undang-undang No. 7 tahun 1981 tentang wajib  lapor ketenagakerjaan di perusahaan   Lembaran   Negara   Tahun   1981   nomor   39,   Tambahan
Lembaran Negara nomor 3201. Pada hakekatnya  program  jaminan sosial  tenaga  kerja ini  memberikan
kepastian  berlangsungnya  arus  penerimaan  penghasilan  keluarga  sebagai pengganti  sebagian  atau  seluruh  penghasilan  yang hilang.  Jaminan  sosial  tenaga
kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain : 1
Memberikan  perlindungan  dasar untuk memenuhi  kebutuhan  hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya
2 Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja  yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja 3
Dengan  adanya upaya  perlindungan  dasar  akan  memberikan  kepastian berlangsungnya  arus  penerimaan  penghasilan  keluarga  sebagai  pengganti
sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang 4
Menciptakan ketenangan  bekerja  karena  adanya  upaya perlindungan terhadap resiko-resiko kerja dan  upaya    pemeliharaan  terhadap  tenaga
kerja. 5
Dengan adanya jaminan sosial tenaga kerja akan menciptakan ketenangan bekerja  pada  akhirnya  mendukung  kemandirian  dan  harga  diri  manusia
dalam menghadapi resiko sosial ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undang- undang  ini  sebagai  pelaksanaan  Pasal  10  dan  Pasal  15  Undang-undang  Nomor
14  Tahun  1969  tentang  Ketentuan-ketentuan  Pokok  Mengenai  Tenaga  Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua,
dan  Jaminan  Pemeliharaan Kesehatan,  akan tetapi  mengingat  objek  yang mendapat jaminan  sosial  tenaga  kerja  yang diatur  dalam  Undang-undang ini
diprioritaskan bagi  tenaga kerja  yang  bekerja pada perusahaan,  perorangan dengan  menerima upah  maka  kepada  tenaga  kerja  di  luar hubungan  kerja  atau
dengan  kata  lain  tidak bekerja  pada  perusahaan,  pengaturan  tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 pasal  6  ayat  1  yang menjadi ruang  lingkup  Jaminan  Sosial Tenaga  Kerja meliputi  Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Mengingat  jaminan  sosial  tenaga kerja merupakan
program  lintas  sektoral  yang  saling  mempengaruhi  dengan usaha peningkatan kesejahteraan  sosial lainnya,  maka program  jaminan  sosial  tenaga  kerja
dilaksanakan  secara  bertahap dan  saling menunjang  dengan  usaha-usaha pelayanan  masyarakat  dalam  bidang kesehatan,  kesempatan  kerja, keselamatan
dan kesehatan kerja. Pengawasan  terhadap  Undang-undang ini, dan  peraturan pelaksananya
dilakukan  oleh  Pegawai  Pengawas  Ketenagakerjaan  sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor  3  Tahun  1951  tentang  Pernyataan  Berlakunya
Universitas Sumatera Utara
Undang-  undang  Pengawasan  Perburuhan  Tahun  1948  Nomor  23  dan  Undang- undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
68
Tindak  pidana  sebagaimana tersebut  dalam  ayat  1  adalah  pelanggaran. Artinya  tindak  pidana  tersebut  tidak  digolongkan  kepada  kejahatan,  yang
ancaman hukumannya lebih berat, jadi tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Undang-undang  Nomor  3  Tahun  1992  tentang  Jaminan  Sosial  Tenaga
Kerja  mencantumkan sanksi  terhadap  setiap  orang  yang  tidak  memenuhi kewajiban  yang  ditentukan. Sanksi  pidana ditentukan  dalam  Pasal  29  sedangkan
sanksi  administrasi,  ganti  rugi,  atau  denda  menurut  Pasal  30  Undang-undang tersebut, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sanksi pidana yang
ditentukan dalam  Pasal  29  Undang-undang  Nomor  3  Tahun 1992 berupa kurungan  atau denda.  Pasal  29  ayat  1  Undang-undang tersebut  selengkapnya
menentukan,  ”Barang siapa  tidak  memenuhi  kewajiban  sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  4  ayat  1;  Pasal  10  ayat  1,  ayat  2  dan  ayat  3;  Pasal  18  ayat
1, ayat 2, ayat 3,  ayat  4,  dan  ayat  5;  Pasal  19  ayat  2;  Pasal  22  ayat 1  dan  Pasal  26, diancam dengan hukuman kurungan selama lamanya 6 enam
bulan  atau  denda setinggi  tingginya  Rp. 50.000 000,-  lima puluh juta rupiah.” Dalam  ayat  2  ditentukan  ”Dalam  hal  pengulangan tindak pidana sebagaimana
dimaksud  dalam  ayat  12 untuk  kedua  kalinya  atau  lebih  setelah putusan  akhir telah  memperoleh  kekuatan  hukum  tetap,  maka pelanggaran  tersebut dipidana
kurungan selama lamanya 8 delapan bulan.”
68
http:www.sjdih.depkeu.go.idfulltext19923TAHUN1992UNDANG-UNDANG.htm diakses 04 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
Pasal  29 tersebut diatas termasuk tinda k pidana  ringan.  Ancaman hukumannya pun  bersifat  alternatif.  Bisa  dipilih  hukuman kurungan  atau  denda,  tergantung
kepada  tuntutan  jaksa  dan putusan hakim.  Dengan  tidak  mengurangi  ketentuan pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  29  ayat  1  dan  ayat  2,  menurut
Pasal  30  Undang-undang  Nomor  3  Tahun  1992,  terhadap  pengusaha,  tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang
ini  dan  peraturan  pelaksanaannya dikenakan sanksi  administrasi,  ganti  rugi,  atau denda yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sanksi  sebagaimana tersebut  diatas  diatur dalam  Pasal  47  Peraturan Pemerintah  Nomor  14  tahun  1993  tentang  Penyelenggaraan  Program  Jamsostek
sebagaimana  beberapa  kali  diubah terahkir dengan  Peraturan  Pemerintah  Nomor 84 Tahun 2010. Pada intinya Pasal 47 Peraturan Pemerintah tersebut menentukan:
1. Pengusaha  yang  tidak  memenuhi  ketentuan  Pasal  12  ayat  3,  Pasal
4,  Pasal 5 ayat  1, Pasal 6  ayat 2, Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan  ayat 3, dan  Pasal  19  serta  Pasal  20  ayat  1,  dan  telah  diberikan  peringatan
tetapi tetap  tidak  melaksanakan  kewajibannya dikenakan  sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha.
2. Pengusaha  yang tidak memenuhi  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal  10  ayat  3 dikenakan  denda sebesar 2 untuk  setiap  bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar.
3. Badan  Penyelenggara  yang tidak  memenuhi  ketentuan  sebagaimana
diamaksud  dalam  Pasal  26  Undang-undang  Nomor  3 tahun  1992 dikenakan  ganti rugi  sebesar 1 dari jumlah  jaminan  sebagaimana diatur
Universitas Sumatera Utara
dalam  Peraturan  Pemerintah  ini,  untuk  setiap  hari keterlambatan  dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
69
3. Undang-Undang   No. 40   Tahun   2004   tentang   Sistem   Jaminan   Sosial
Nasional SJSN Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat
1 menyatakan  bahwa  jaminan  sosial  adalah  salah  satu  bentuk  perlindungan sosial  untuk menjamin  seluruh  rakyat  agar dapat  memenuhi  kebutuhan dasar
hidupnya  yang layak.  Dan  dalam  pasal  1  ayat  2 dijelaskan  bahwa sistem jaminan  sosial  nasional  adalah  suatu  tata  cara  penyelenggaraan  program
jaminan  sosial  oleh  beberapa  badan penyelenggaraan  jaminan sosial.  SJSN adalah  program  Negara  yang bertujuan  untuk  memberi  perlindungan dan
kesejahteraan  sosial    bagi  seluruh    rakyat    Indonesia.  Melalui  program  ini, setiap  penduduk  diharapkan  dapat  memenuhi  kebutuhan  hidup  dasar  yang layak
apabila terjadi  hal-hal  yang  dapat  mengakibatkan  hilangnya  atau  berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan,
memasuki usia lanjut, atau pensiun.
70
Undang-Undang  SJSN  diundangkan  pada  tanggal  19  Oktober  2004, sebagai  pelaksanaan  amanat  konstitusi  tentang hak  konstitusional  setiap  orang
atas  jaminan  sosial dengan  penyelenggaraan  program-program  jaminan  sosial yang menyeluruh  bagi seluruh  warga  negara  Indonesia.  Undang-Undang  SJSN
69
Martabat, http:www.jamsosindonesia.com diakses 05 Maret 2016
70
Penjelasan atas Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional paragraf  ketiga LN
Universitas Sumatera Utara
adalah dasar hukum  untuk menyinkronkan  penyelenggaraan  berbagai  bentuk jaminan  sosial  yang telah dilaksanakan oleh beberapa  badan  penyelenggara  agar
dapat menjangkau kepesertaan  yang  lebih  luas  serta  memberikan  manfaat  yang lebih  besar  bagi setiap peserta.  Sistem  Jaminan  Sosial  Nasional  pada  dasarnya
merupakan program Negara  yang bertujuan memberi  kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia.  Melalui  program  ini,  setiap
penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup  yang layak apabila terjadi  hal-hal  yang dapat mengakibatkan  hilang atau  berkurangnya  pendapatan,
karena  menderita  sakit, mengalami kecelakaan,  kehilangan pekerjaan,  memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Asas  dan  tujuan  sistem  jaminan  sosial  nasional  diselenggarakan berdasarkan  asas  kemanusiaan,  asas  manfaat,  dan  asas  keadilan  sosial  bagi
seluruh  rakyat  Indonesia.  Sistem  jaminan sosial  nasional  bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya  kebutuhan dasar hidup  yang layak bagi  setiap
peserta  danatau  anggota  keluarganya  Pasal 2 dan 3 Undang-Undang  SJSN.
71
71
Tim  redaksi  pustaka  yustisia,  Koalisi  Perundangan tentang  Jaminan Sosial,  Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm.7
Selama  beberapa  dekade  terakhir  ini,  Indonesia  telah  menjalankan  beberapa program  jaminan  sosial.  Undang-undang  yang  secara  khusus  mengatur  jaminan
sosial  bagi  tenaga  kerja  swasta  adalah  Undang-undang Nomor  3  Tahun  1992 tentang  Jaminan  Sosial  Tenaga  Kerja  JAMSOSTEK,  yang  mencakup  program
jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
Universitas Sumatera Utara
Landasan  yuridis  penyelenggaraan  SJSN  adalah  UUD  NRI Tahun 1945 Pasal  28H  ayat  3  dan  Pasal  34  ayat  2.  Pasal  28H  ayat  3  diatur dalam
Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dan Pasal 34  ayat 2 diatur dalam Perubahan Keempat  UUD  NRI 1945.  Amanat  konstitusi  tersebut  kemudian dilaksanakan
dengan  Undang-Undang  No.  40  Tahun  2004  Tentang  Sistem  Jaminan  Sosial Nasional UU  SJSN.
72
Pasca  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  atas  Perkara  No. 007PUU -III2005, Pemerintah bersama DPR mengundangkan sebuah peraturan
pelaksanaan  Undang-Undang  SJSN setingkat  Undang-Undang,  yaitu  Undang- Undang  No.  24  Tahun  2011  Tentang  Badan  Penyelenggara  Jaminan  Sosial
Nasional Undang-Undang  BPJS.
73
Peraturan  Pelaksanaan  Undang-Undang SJSN  dan Undang-Undang  BPJS  terbentang  mulai  Peraturan Pemerintah  hingga
Peraturan  Lembaga.  Penyelesaian  seluruh  dasar  hukum  bagi  implementasi SJSN  yang  mencakup  UUD  NRI  Tahun 1945,  Undang-Undang  SJSN dan
peraturan pelaksananya membutuhkan waktu lima belas tahun 2000 – 2014.
74
Perubahan sosial  yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh hukum.  Salah satu  di  antaranya  adalah hukum  jaminan sosial.  Pemerintah
membentuk  dan  mengundangkan  Undang-Undang  SJSN untuk  menyikapi dinamika masyarakat dan menangkap semangat jamannya, menyerap aspirasi, dan
cita-cita hukum  masyarakat.  Penyelenggaraan  program  jaminan sosial  diubah secara mendasar untuk memberi kepastian perlindungan dan  kesejahteraan sosial
bagi seluruh  rakyat  Indonesia.  Prinsip  dana  amanat  diberlakukan.  Dana
72
Asih Eka Putri,  Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional, CV Komunitas Pejaten Mediatama, Jakarta, 2004, hlm.12
73
Ibid, hlm. 12 paragraf 2
74
Ibid, hlm.12 paragraf 4
Universitas Sumatera Utara
dikumpulkan dari  iuran peserta sebagai dana titipan  kepada BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka  mengoptimalkan dana  tersebut untuk kesejahteraan
peserta.
75
Sistem  Jaminan  Sosial  Nasional  diselenggarakan  berdasarkan  pada prinsip
76
Undang-undang  dalam  Sistem  Jaminan  Sosial  Nasional  menetapkan 5 lima program Jaminan sosial, yaitu :
Kegotongroyongan,  Nirlaba, Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Portabilitas, Kepersertaan bersifat wajib, Dana Amanat, Hasil  pengelolaan  dana
jaminan    sosial    dipergunakan    seluruhnya    untuk pengembangan  program  dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
77
1 Dalam  pasal  19  dan  pasal  20  menyatakan  bahwa jaminan kesehatan
adalah program    jaminan    sosial    yang  diselenggarakan    secara nasional    dengan tujuan  untuk  menjamin  agar  peserta dan  anggota
keluarganya  memperoleh manfaat  pemeliharaan  kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
2 Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2menyatakan bahwa jaminan kecelakaan
Kerja  adalah  program  jaminan  sosial  yang diselenggarakan  secara nasional dengan  tujuan  menjamin  agar peserta memperoleh  manfaat
pelayanan kesehatan  dan  santunan  uang tunai  apabila  ia  mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja.
75
Ibid, hlm. 15
76
Pasal 4  Undang-Undang  Nomor  40  Tahun  2004  tentang  Sistem  Jaminan  Sosial Nasional
77
Pasal 19, pasal 20, pasal  29, pasal  35, pasal 39, pasal  43  Undang-Undang Nomor  40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Universitas Sumatera Utara
3 Dalam  pasal  35  ayat  1  dan  2menyatakan  bahwa jaminan  hari  tua
adalah program    jaminan    sosial    yang  diselenggarakan    secara nasional  dengan tujuan   untuk   menjamin   agar   peserta   menerima
uang   tunai   apabila memasuki  masa pensiun,  mengalami  cacat  total tetap, atau meninggal dunia.
4 Dalam    pasal    39    ayat    1    dan    2  menyatakan    bahwa  jaminan
pensiun  adalah    program    jaminan    sosial    yang    diselenggarakan secara  nasional  dengan  tujuan  untuk  mempertahankan  derajat
kehidupan  yang  layak  pada  saat  peserta  mengalami  kehilangan  atau berkurang  penghasilannya  karena memasuki usia  pensiun  atau
mengalami cacat tetap total. 5
Dalam pasal 43 menyatakan bahwa jaminan kematian adalah  program jaminan  sosial  yang diselenggarakan  secara  nasional  dengan  tujuan
untuk memberikan  santunan  kematian  yang dibayarkan  kepada  ahli waris peserta yang meninggal dunia.
4. Undang-Undang  Republik  Indonesia  No.  24  Tahun  2011  tentang  Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial bagi pekerjaburuh. Undang-undang  No.  24  Tahun 2011 pada  pasal  1  ayat  1 menyatakan
bahwa  badan  penyelenggara  jaminan  sosial  yang disingkat  BPJS  adalah  badan hukum  yang dibentuk  untuk  menyelenggarakan program  jaminan  sosial.  BPJS
bertujuan  untuk  mewujudkan terselenggaranya  pemberian jaminan terpenuhinya
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dasar hidup yang  layak bagi setiap  peserta  danatau  anggota keluarganya.
Tiga  kriteria  di  bawah  ini  digunakan  untuk  menentukan  bahwa  BPJS merupakan badan hukum publik, yaitu :
a. Cara pendiriannya  atau  terjadinya  badan  hukum  itu,  diadakan  dengan
konstruksi hukum publik,  yaitu didirikan oleh  penguasa  Negara dengan Undang-undang;
b. Lingkungan  kerjanya,    yaitu  dalam  melaksanakan  tugasnya    badan
hukum  tersebut  pada umumnya  dengan  publik  dan  bertindak  dengan kedudukan yang sama dengan publik;
c. Wewenangnya, badan hukum tersebut didirikan oleh penguasa Negara dan
diberi  wewenang untuk  membuat  keputusan,  ketetapan,  atau peraturan yang mengikat umum.
78
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas; kemanusiaan,  manfaat,  dan  keadilan  sosial  bagi  seluruh rakyat  Indonesia.
79
Pembentukan dan pengoperasian BPJS melalui serangkaian tahapan, yaitu:
80
a. Pengundangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada 19
Oktober 2004. b.
Pembacaan  Putusan Mahkamah Konstitusi  atas perkara  No. 007PUU- III2005 pada 31 Agustus 2005.
78
Asih  Eka  Putri,  Paham  BPJS  Badan  Penyelenggara  Jaminan  Sosial,  CV Komunitas  Pejaten Mediatama, Jakarta, 2014, hlm. 7
79
Republik Indonesia, Undang-Undang No.24 Tahun 2011 tentang BPJS, pasal 2
80
Asih Eka Putri, Op.cit, hlm 10
Universitas Sumatera Utara
c. Pengundangan   Undang-Undang   No.   24   Tahun   2011   tentang   BPJS
pada   25 November 2011. d.
Pembubaran  PT  ASKES  dan  PT  Jamsostek pada  1  Januari 2014 Pengoperasian  BPJS  Kesehatan  dan  BPJS  Ketenagakerjaan  pada  1
Januari 2014 Rangkaian  kronologis  di  atas  terbagi  atas  dua  kelompok peristiwa.
Peristiwa  pertama  adalah  pembentukan  dasar  hukum  BPJS  yang mencakup pengundangan Undang-Undang SJSN, pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi
dan pengundangan  Undang-Undang  BPJS. Peristiwa kedua adalah transformasi badan  penyelenggara  jaminan  sosial dari  badan  hukum  persero  menjadi  badan
hukum  publik  BPJS. Transformasi  meliputi pembubaran  PT  Askes  dan  PT Jamsostek tanpa likuidasi dan diikuti dengan pengoperasian BPJS Kesehatan dan
BPJS  Ketenagakerjaan.
81
Komisaris  dan  Direksi  PT  Askes  serta  Komisaris dan  Direksi  PT  Jamsostek bertanggung  jawab  atas  keberhasilan  atau  kegagalan
transformasi  dan  pendirian  serta  pengoperasian  BPJS.  Di masa  peralihan, keduanya bertugas:
82
1 Menyiapkan  operasional  BPJS  untuk  penyelenggaraan  program  jaminan
sosial sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2
Menyiapkan  pengalihan  aset  dan  liabilitas,  pegawai,  serta  hak  dan kewajiban Persero kepada BPJS;
81
Ibid, hlm.10
82
Republik Indonesia, Op.cit, pasal 56 dan pasal 61
Universitas Sumatera Utara
3 Khusus  untuk  PT  Jamsostek, menyiapkan  pengalihan program,  aset,
liabilitas,  hak dan kewajiban  Jaminan  Pemeliharaan Kesehatan JPK Jamsostek kepada BPJS Kesehatan.
Badan  Penyelenggara  Jaminan  Sosial  dibagi 2  yaitu  BPJS  Kesehatan dan BPJS  Ketenagakerjaan.  Menurut  Undang-Undang  No.  24  Tahun  2011,  BPJS
Kesehatan adalah badan hukum publik  yang bertanggung jawab  kepada Presiden dan    berfungsi    menyelenggarakan    program    jaminan  kesehatan. Dan  BPJS
Ketenagakerjaan  adalah  badan  hukum publik  yang bertanggungjawab  kepada Presiden  dan  berfungsi  menyelenggarakan program  jaminan  kecelakaan  kerja,
jaminan  hari  tua,  jaminan  pensiun  dan  jaminan kematian.  BPJS  Kesehatan  itu sendiri  dioperasikan  pada  tanggal  01  Januari  2014  oleh  pemerintah  atas
perintah  Undang-Undang  BPJS.  Dan  mulai  1  Januari  2014 terjadi  pengalihan program sebagai berikut:
83
1 Kementerian  Kesehatan  tidak  lagi  menyelenggarakan  program jaminan
kesehatan masyarakat Jamkesmas; 2
Kementerian  Pertahanan,  Tentara  Nasional  Indonesia,  dan  Kepolisian Republik  Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program  pelayanan
kesehatan bagi  pesertanya,  kecuali  untuk  pelayanan  kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya,  yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden; 3
PT  Jamsostek  Persero  tidak  lagi  menyelenggarakan  program jaminan pemeliharaan kesehatan.
83
Ibid, Pasal 60 ayat 2
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 01 Januari 2014 diubah dari PT Jamsostek Persero menjadi BPJS  Ketenagakerjan  oleh  pemerintah  atas  perintah  Undang-Undang  BPJS.
Dan  pada tanggal  01  Juli  2015,  BPJS  Ketenagakerjaan  menyelenggarakan program  jaminan  kecelakaan  kerja,  program  jaminan  kematian  dan program
jaminan hari tua dan program jaminan pensiun sesuai dengan ketentuan Undang- Undang SJSN bagi  peserta  selain peserta program  yang dikelola oleh PT  Asabri
Persero  dan  PT Taspen Persero.  BPJS  bertanggung  jawab  kepada  presiden. Organ  BPJS  terdiri  dari dewan  pengawas dan  direksi.  Anggota direksi  BPJS
diangkat dan diberhentikan  oleh  Presiden.  Presiden  menetapkan  direktur  utama BPJS  diawasi  oleh pengawas  internal  dan pengawasan  eksternal.  Pengawasan
internal dilaksanakan  oleh organ  BPJS,  yaitu dewan pengawas dan sebuah unit kerja di bawah direksi yang bernama Satuan Pengawas Internal.
BPJS  mengelola  aset  jaminan  sosial.  Undang-Undang  BPJS  mewajibkan BPJS untuk  memisahkan pengelolaan  aset  jaminan  sosial  menjadi  dua  jenis
pengelolaan aset,  yaitu aset BPJS dan  aset Dana Jaminan Sosial DJS. Undang- Undang  BPJS  tidak memberi penjelasan mengapa  wajib dipisahkan.
84
84
Ibid, pasal 40 ayat 2
Undang- Undang  BPJS  pasal  40  ayat  3 menegaskan  bahwa  aset  Dana  Jaminan Sosial
bukan  merupakan  aset  BPJS.  Penegasan  ini untuk  memastikan bahwa  Dana Jaminan  Sosial  merupakan  dana  amanat  milik  seluruh  peserta dan  tidak
merupakan  aset  BPJS.  Pengelolaan  aset    jaminan  sosial    oleh  BPJS  mencakup
Universitas Sumatera Utara
sumber  aset,  liabilitas,  penggunaan,  pengembangan, kesehatan  keuangan,  dan pertanggungjawaban. Aset BPJS bersumber dari:
85
1 Modal awal dari  Pemerintah,   yang  merupakan   kekayaan   Negara  yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; 2
Hasil  pengalihan  aset  BUMN  yang  menyelenggarakan program  jaminan sosial;
3 Hasil pengembangan aset BPJS;
4 Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial;
5 Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari :
86
1 Iuran jaminan sosial, termasuk bantuan iuran;
2 Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial;
3 Hasil   pengalihan    aset    program    jaminan    sosial   yang   menjadi   hak
peserta dari BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial; 4
Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BPJS  Kesehatan  menerima  pengalihan  seluruh  aset  yang  dikelola oleh
PT  Askes  Persero dan  aset  Program  Jaminan  Pemeliharaan Kesehatan-JPK  PT Jamsostek Persero.  BPJS  Ketenagakerjaan menerima pengalihan  aset  lembaga
PT Jamsostek Persero dan aset tiga Program Jamsostek selain aset Program JPK Jamsostek.
87
85
Ibid, pasal 41 ayat 1
86
Ibid, pasal 43 ayat 1
87
Asih Eka Putri, Op.Cit, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
Menurut  Undang-undang  No.  13  tahun  2003  tentang ketenagakerjaan pasal 99 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa:
1 Setiap pekerja buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja. 2
Jaminan  sosial  tenaga  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  10, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Telah dijelaskan  sebelumnya bahwa jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja atau buruh yang sekaligus  merupakan  kewajiban  dari pengusaha. Dimana
pada  hakikatnya  program  jaminan  sosial  dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya  arus  penerimaan penghasilan keluarga  sebagai
pengganti  sebagian  atau  seluruh  penghasilan  yang hilang. Sebelumnya,  jaminan sosial  tenaga kerja itu  diselenggarakan  oleh  PT  Jamsostek Persero,  tetapi  kini
telah  berubah  menjadi  Badan  Penyelenggara  Jaminan  Sosial Ketenagakerjaan BPJS  Ketenagakerjaan.  Jika ditinjau  dari  segi  hukum  perburuhan,  Undang-
undang ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan perlindungan para pekerja tetap  ataupun  pekerja  kontrak.  Menurut  Imam  Soepomo,  hal  itu  dapat dilihat
dari 3 Aspek, yaitu:
88
1 Perlindungan  Ekonomis,  yaitu suatu  jenis perlindungan  yang  berkaitan
dengan usaha-usaha untuk  memberikan  kepada pekerja  suatu penghasilan yang  cukup  untuk  memenuhi  kehidupan  sehari-hari baginya  beserta
keluarganya;
88
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 78.
Universitas Sumatera Utara
2 Perlindungan  Sosial,  yaitu  suatu  perlindungan  yang berkaitan  dengan
usaha  kemasyarakatan,  yang  tujuannya  memungkinkan  para  pekerja itu mengenyam dan mengembangkan kehidupannya;
3 Perlindungan  teknis,  yaitu  suatu  perlindungan  yang berkaitan  dengan
usaha-usaha  untuk  menjaga  para pekerja  dari  bahaya  kecelakaan  yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja.
Bentuk    perlindungan    tenaga    kerja    di    Indonesia    yang    wajib    di laksanakan  oleh  setiap  pengusaha  atau  perusahaan  yang  mempekerjakan orang
untuk bekerja pada perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu mengenai pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan di  maksud diselenggarakan  dalam
bentuk  jaminan  sosial  tenaga  kerja  yang bersifat umum  untuk  dilaksanakan  atau bersifat  dasar, dengan berasaskan usaha bersama,  kekeluargaan  dan  kegotong
royongan  sebagaimana  yang tercantum  dalam  jiwa  dan  semangat  Pancasila  dan Undang-Undang  Dasar  1945.  Salah  satu  hak  yang melekat  pada  hakekat  dan
keberadaan  manusia  adalah  hak  atas  jaminan  sosial.  Oleh  karena  itu  sering dikemukakan  bahwa jaminan  sosial  merupakan  program    yang  bersifat
universal  atau  umum yang harus diselenggarakan oleh setiap Negara.
89
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan Negara adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan
89
Zaeni,  Ashyhadie,  Aspek-aspek Hukum  Jaminan  Sosial  Tenaga  Kerja,  Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm.35
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem jaminan sosial nasional  merupakan program negara yang bertujuan  memberikan
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 dan Pasal 34 ayat
1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
XMPR2001, Presiden  ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan  sosial bagi masyarakat yang
lebih menyeluruh dan terpadu. Jaminan sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Hal ini juga menjadi salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia NKRI yakni mensejahterakan rakyat. Dalam  Undang- Undang Dasar 1945 tersebut yang mengemukakan  : “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak”, oleh sebab itu dibuatlah program untuk menjamin
perlindungan seluruh rakyat Indonesia dalam program Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN. Dimana yang dimaksud dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional
SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
Universitas Sumatera Utara
beberapa badan penyelenggara jaminan sosial Pasal 1 ayat 2.
90
Undang- Undang SJSN menjelaskan bahwa pilar jaminan sosial terdiri dari bantuan sosial,
tabungan wajib dan asuransi sosial. Bantuan sosial adalah suatu sistem untuk reduksi kemiskinan yang didanai dari pajak yang dimasukkan dalam APBN dan
dikeluarkan sebagai Penerima Bantuan Iuran PBI, sedangkan tabungan wajib provident fund merupakan skema tabungan untuk dirinya sendiri seperti wajib
yang didanai dengan iuran peserta atau pihak lain dan atau oleh pemerintah bagi penduduk miskin. Model asuransi sosial ini dinilai paling baik dan efektif untuk
membiayai jaminan sosial.
91
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004  tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan
Sosial  bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa sistem jaminan sosial  nasional merupakan program negara yang bertujuan  memberikan kepastian perlindungan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dan untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk
badan hukum berdasarkan prinsip  kegotongroyongan,  nirlaba, keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana  amanat,
dan  hasil  pengelolaan dana  jaminan  sosial  seluruhnya  untuk pengembangan program  dan  untuk  sebesar-besar kepentingan peserta serta berdasarkan  Pasal  5
ayat 1  dan  Pasal 52 Undang-Undang Nomor  40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial  Nasional, harus  dibentuk Badan  Penyelenggara  Jaminan  Sosial
90
Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Asuransi Jaminan Sosial, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 20
91
Chazali H. Situmorang, Reformasi Jaminan Sosial Di Indonesia Transformasi BPJS : ”Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”, Cinta Indonesia, Depok, 2013, hlm.7
Universitas Sumatera Utara
dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembentukan  Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial  ini  merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan  Mahkamah  Konstitusi
terhadap perkara Nomor 007PUUIII2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk  melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh
Indonesia. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem  Jaminan  Sosial
Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes Persero, PT Jamsostek
Persero, PT TASPEN Persero, dan PT ASABRI Persero menjadi  Badan Penyelenggara  Jaminan  Sosial.
Hingga saat ini pemerintah Indonesia telah menjalankan berbagai program-program jaminan sosial melalui berbagai Badan Pelaksana Jaminan
Sosial BPJS.  Adapun badan pelaksana jaminan  sosial tersebut adalah BPJS ketenagakerjaan, BPJS kesehatan, tabungan dan asuransi pegawai negeri taspen
bagi pegawai negeri serta asuransi sosial angkatan bersenjata Republik Indonesia ASABRI bagi TNI dan POLRI. Tujuan dari program jaminan sosial adalah
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas pegawai, serta hak dan kewajiban. Dengan Undang-Undang ini  dibentuk
2 dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS  Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari  tua,  jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan terbentuknya  kedua BPJS  tersebut
jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap. Salah satu badan jaminan sosial yang dibentuk oleh pemerintah dalam
memberikan jaminan sosial bagi seluruh tenaga kerja maupun karyawan di Indonesia adalah Badan Penyelenggara  Jaminan Sosial BPJS ketenagakerjaan
atau yang dahulunya disebut dengan nama PT. Jamsostek. BPJS ketenagakerjaan ini memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi
tenaga kerja dan keluarganya dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya
penghasilan yang hilang akibat resiko pekerjaannya. Melalui BPJS ketenagakerjaan diharapkan pelaksanaan sistem jaminan sosial terhadap tenaga
kerja akan  lebih tertata  dan membantu para karyawan yang mengalami resiko terhadap kecelakaan kerja, kematian serta perubahan sosial maupun ekonomi.
Salah satu hal yang membuat BPJS ketenagakerjaan menjadi sedikit berbeda dengan PT. Jamsostek adalah perubahan dari BPJS ketenagakerjaan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak lagi berbentuk perseroan persero tetapi telah menjadi badan hukum publik dan tidak lagi melaksanakan program jaminan pemeliharaan kesehatan, karena
seluruh program tentang jaminan kesehatan yang ada sudah ditangani oleh BPJS kesehatan.  Seluruh peserta BPJS ketenagakerjaan secara otomatis akan ikut
kedalam BPJS kesehatan. Namun, BPJS ketenagakerjaan tetap dipercaya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi jaminan
kecelakaan kerja jkk, jaminan kematian jkm,  jaminan pensiun jp  serta jaminan hari tua jht.
Di Indonesia, khususnya Badan Penyelanggara Jaminan Sosial menjadi salah satu bentuk upaya perlindungan bagi tenaga kerja. Pada kenyataannya
berbagai program jaminan sosial yang dilaksanakan badan pelaksana jaminan sosial yang dibentuk oleh pemerintah juga belum mampu mencakup seluruh
pekerja apalagi seluruh penduduk di Indonesia. Disamping itu, program-program tersebut belum dapat memberikan perlindungan yang memadai dan adil sesuai
dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. Permasalahan pokok yang membuat banyaknya karyawan atau tenaga kerja tidak ikut kedalam salah satu
program jaminan sosial adalah kurangnya kesadaran pemilik perusahaan terhadap masa depan karyawannya. Padahal, karyawan atau buruh merupakan komponen
dalam perusahaan yang berperan penuh dalam menjamin kelangsungan operasional sebuah perusahaan.
Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha perlu diarahkan pada terciptanya kerjasama yang serasi yang dijiwai oleh pancasila dan Undang -
Undang Dasar 1945 dimana masing-masing pihak diharapkan dapat saling
Universitas Sumatera Utara
menghormati, saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta hak dan kewajibannya.  Jika hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha dapat
berjalan dengan hamonis, maka dengan sendirinya dapat dipastikan kedua pihak antara karyawan dengan pengusaha dapat mencapai tujuannya masing-masing.
Disamping itu mengikutsertakan karyawannya di dalam suatu sistem jaminan sosial juga merupakan salah satu bentuk penghargaan yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap mereka. Para karyawan hanya akan bersedia dan mau memberikan waktu dan tenaganya pada suatu lingkungan kerja jika kebutuhannya
diperhatikan. Salah satu kebutuhan itu adalah jaminan sosial, dimana nantinya para karyawan dapat bekerja dengan aman dan sehat, artinya jauh dari ancaman-
ancaman bahaya yang dapat menimbulkan gangguan bagi karyawan tersebut. Selain itu, jaminan sosial juga erat kaitannya dengan jiwa, nyawa dan
badan. Bila jaminan sosial tidak diperhatikan maka hal ini merupakan  kerugian bagi karyawan dan perusahaan tempat mereka bekerja.  Hal ini dikarenakan
jaminan sosial merupakan salah satu faktor terpenting bagi usaha jika menginginkan kemajuan serta kebutuhan karyawan. Jika karyawan yang bekerja
didalam suatu perusahaan sudah merasa aman dan tentram akhirnya mereka dapat bekerja dengan semangat sehingga hasil kerja menjadi lebih  baik. Oleh karena itu
sangatlah penting perusahaan agar mengikutsertakan karyawannya dalam suatu program jaminan sosial melalui badan pelaksanana jaminan sosial.
Universitas Sumatera Utara
B.  Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial “BPJS” adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Demikian yang
disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  “Undang-Undang  BPJS”.  Dengan
Undang-Undang  BPJS ini dibentuk 2 dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan
kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Sebelum membahas mengenai perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini dan yang merupakan tindak pidana dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, dalam tulisan ini akan membahas terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam bentuk pengertian dan penjelasan yang sangat
penting untuk diketahui oleh khalayak umum. Antara lain yaitu perihal peserta atau yang berhak mendapatkan program dari BPJS tercantum dalam Pasal 1 angka
4 Undang-Undang BPJS berbunyi : “Peserta adalah setiap orang, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat 6 enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.”
92
Mengenai suatu kewajiban dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang BPJS telah mengatur : “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
92
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”  Hal ini berarti bahwa ketentuan  dalam Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 mempertegas kedudukan Pemberi Kerja ataupun suatu korporasi wajib  Mengikutsertakan Pekerjanya  ke  dalam  program BPJS baik Jaminan
Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua Maupun Jaminan Pensiun di BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal
3 ayat 1  Peraturan  Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial  PP 862013
yaitu, Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara wajib :
93
a. mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara
bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya; dan b.
memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar.
Kemudian ketentuan mengenai Iuran yang sangat erat kaitannya dengan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011  tentang BPJS yaitu
Iuran  adalah  sejumlah  uang  yang  dibayar  secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, danatau Pemerintah.
94
93
Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap
Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial
94
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kemudian Pasal 1 angka 8 memberikan pengertian bahwa Pekerja  adalah  setiap  orang  yang  bekerja  dengan menerima gaji, upah,
Universitas Sumatera Utara
atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 1 angka 9 memberikan definisi mengenai Pemberi Kerja  adalah  orang  perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lainnya.  Artinya bahwa suatu  Korporasi atau badan hukum termasuk klasifikasi dari klausul “Pemberi Kerja”.
Dalam  melaksanakan  fungsinya baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, BPJS bertugas untuk:
95
a. melakukan danatau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut  dan  mengumpulkan  Iuran  dari  Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola  Dana  Jaminan  Sosial  untuk  kepentingan Peserta
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. membayarkan Manfaat danatau membiayai pelayanan kesehatan    sesuai
dengan   ketentuan program Jaminan Sosial; dan g.
memberikan  informasi  mengenai  penyelenggaraan program  Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat.
Dalam  melaksanakan  tugasnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mempunyai beberapa kewenangan antara lain untuk :
96
a. menagih pembayaran Iuran;
95
Pasal 10  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
96
Pasal 11  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
b. menempatkan  Dana Jaminan Sosial  untuk investasi jangka  pendek  dan
jangka panjang  dengan mempertimbangkan  aspek  likuiditas,  solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. melakukan pengawasan  dan pemeriksaan  atas kepatuhan  Peserta dan
Pemberi  Kerja  dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai  besar
pembayaran  fasilitas  kesehatan yang  mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e. membuat  atau  menghentikan  kontrak  kerja  dengan fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang
tidak memenuhi kewajibannya; g.
melaporkan  Pemberi Kerja kepada instansi  yang berwenang  mengenai ketidakpatuhannya  dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain  sesuai  dengan ketentuan  peraturan  perundang-  undangan; dan
h. melakukan  kerja  sama  dengan  pihak lain  dalam rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial. Mengenai  Hak  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, diatur dalam Pasal
12, yaitu dalam melaksanakan  kewenangan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, BPJS berhak untuk:
Universitas Sumatera Utara
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan  program yang
bersumber  dari Dana Jaminan Sosial danatau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan  peraturan  perundang-undangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan  evaluasi penyelenggaraan program
Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 enam bulan. Ketentuan mengenai penjelasan diatas yaitu mengenai ketentuan-ketentuan
umum pengertian, hak, kewajiban, tugas, fungsi dan kewenangan dari BPJS sangat erat kaitannya dengan perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-
undang BPJS. Perbuatan-perbuatan  yang merupakan kewajiban dan harus dilaksanakan  oleh korporasi secara spesifik atau pemberi kerja secara umum
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, antara lain :
1. Pemberi  Kerja  secara  bertahap  wajib  mendaftarkan dirinya dan
Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
2. Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana  dimaksud
pada ayat 1, wajib memberikan data dirinya dan  Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
97
Artinya bahwa Pemberi  pekerja  selain  penyelenggara negara  memiliki kewajiban  untuk mendaftarkan  dirinya  dan  pekerjaannya  sebagai  peserta kepada
BPJS  beserta para pekerjanya  secara  bertahap sesuai  dengan  program  jaminan
97
Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
sosial  yang diikutinya. Apabila  ada  yang tidak  memenuhi  kewajiban  mendaftar akan  dikenakan  sanksi  administratif.  Pengenaan  sanksi  administratif kepada
perusahaan atau pemberi kerja ini dilakukan  oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.
Pemberi kerja selain penyelenggara Negara memiliki kewajiban sebagai berikut :
98
1. Mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara
bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya 2.
Memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar yang terdiri dari :
a. Data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan sesuai
dengan data pekerja yang dipekerjakan b.
Data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang diterima pekerja c.
Data kepesertaan dalam program jaminan sosial sesuai penahapan kepesertaan ; dan
d. Perubahan data ketenagakerjaan yaitu alamat perusahaankorporasi,
kepemilikan perusahaan, kepengurusan perusahaan, jenis badan usaha, jumlah pekerja, data pekerja dan keluarganya dan perubahan besarnya
upah setiap pekerja. Berkaitan dengan perbuatan yang harus dilaksanakan oleh pemberi kerja
atau korporasi, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak BPJS
98
Tim Visi Yustisia, Panduan  Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta 2014, hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota mendapatkan informasi dan pernyataan dari Bapak Armada Kaban Selaku Kepala Bidang Pemasaran Penerima Upah
BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota yaitu “Contohnya PTPN  3  yang merupakan  perusahaan  besar  di  Indonesia  selaku  pemberi kerja sudah
mendaftarkan pekerjanya untuk mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan. Pihak PTPN 3  merasa  rugi  apabila tidak  mendaftarkan  para pekerjanya.  Apabila  ada
pekerja  yang tidak  terdaftar  pada  BPJS  Ketenagakerjaan, maka  perusahaan  akan dikenakan  sanksi  administratif  sesuai  Undang-undang yang  berlaku.  PTPN  3
berkomitmen  untuk  selalu  mendaftarkan  pekerjanya  di BPJS Ketenagakerjaan, sehingga sampai  saat  ini  tidak  ada satupun  pekerja  yang tidak terdaftar dalam
BPJS Ketenagakerjaan.”
99
Kemudian Perbuatan-perbuatan  yang  dikategorikan  sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan atau ketentuan yang tidak boleh dilanggar  dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Mengenai Pembayaran Iuran antara lain :
100
1. Pemberi Kerja wajib memungut  Iuran yang menjadi  beban  Peserta  dari
Pekerjanya  dan menyetorkannya kepada BPJS. 2.
Pemberi Kerja  wajib  membayar  dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
99
Wawancara dengan Bapak Armada Kaban selaku Kepala Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota pada tanggal 30 Juni 2016
100
Pasal 19  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
3. Peserta  yang  bukan  Pekerja  dan  bukan  penerima Bantuan  Iuran wajib
membayar  dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
4. Pemerintah  membayar  dan  menyetor  Iuran  untuk penerima Bantuan Iuran
kepada BPJS. Pemberi  Kerja  yang melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat 1 atau  ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun atau  pidana  denda  paling  banyak Rp1.000.000.000,00 satu
miliar rupiah. Sementara itu jika dibandingkan dengan Undang-Undang No 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek, perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana atau yang melanggar ketentuan undang-
undang mengenai Jamsostek lebih kompleks dan beragam daripada Undang- Undang BPJS sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Jamsostek yaitu :  “Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1; Pasal 10 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3; Pasal 18
ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5; Pasal 19 ayat 2; Pasal 22 ayat 1; dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 enam
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah.”
101
Kemudian dalam Undang-Undang BPJS juga belum ada pengaturan dan akibat hukumnya jika terjadi pengulangan tindak pidana, Sementara itu Undang-
101
Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Universitas Sumatera Utara
Undang Jamsostek mengatur hal demikian, yaitu “Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk kedua kalinya atau lebih,
setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut  dipidana kurungan selama-lamanya 8 delapan bulan”. Kemudian juga
Tindak Pidana dalam Undang-Undang Jamsostek merupakan pelanggaran.
102
C.  Penentuan Kesalahan Korporasi dalam Hukum Pidana dikaitkan dengan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
Perihal pengenaan sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek diatur dalam pasal 30 yaitu “Dengan tidak
mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak
memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.
1. Konsep Kesalahan dan fungsinya
Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif
atau kesalahan tanpa dapat dicela. Akan tetapi dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut.
Karena itu asas kesalahan diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya. Asas kesalahan
102
Pasal 29 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Universitas Sumatera Utara
merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran
dalam hukum pidana.
103
Karena kesalahan merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, wajar bila Remmelink menyatakan bahwa :
104
Terkait dengan adagium tiada pidana tanpa kesalahan, E.Ph. Sutorious menyatakan bahwa, pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan selalu
hanya mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Ditinjau secara lebih mendalam, kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan
itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya. Perbuatan itu tidak hanya objektif tidak patut, tetapi juga dapat dicelakan kepadanya. Dapat
dicelakan itu bukanlah merupakan inti inti dari pengertian kesalahan, tetapi akibat Bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang
lain, sekadar karena orang itu melakukan tindak pidana, kecuali kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu,
dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi yang tidak terlalu abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai
makhluk yag memiliki akal budi serta sanggup dan mampu menaati norma-norma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai
jaminan kehidupannya. Karena itu kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku
pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.
103
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm. 99-100
104
Remmelink,  Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia, Diterjemahkan  oleh Tristam Pascal Moeliono,  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 142.
Universitas Sumatera Utara
dari kesalahan. Sebab hubungan antara perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa pencelaan, maka orang menamakan sebagai dapat dicela. Oleh karena
itu, asas tiada pidana tanpa kesalahan mempunyai arti bahwa agar dapat menjatuhkan pidana, tidak hanya disyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak
patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya.
105
Kesalahan psikologis adalah keadaan batin psychis yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan perbuatannya
sedemikian rupa, sehingga pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu.
Uraian dari E.Ph. Sutorius itu sesungguhnya memiliki substansi yang sama dengan yang dikemukakan Remmelink, yakni kesalahan terkait dengan perbuatan
pelaku yang tidak patut. Namun demikian, baik penjelasan Remmelink maupun Sutorious mengenai kesalahan pada dasarnya tidak memberikan arti dari
kesalahan itu sendiri. Lalu, apa makna kesalahan dalam hukum pidana? Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara beragam, tapi secara umum
pengertian yang dikemukakan mengarah pada dua macam, yaitu kesalahan psikologis dan kesalahan normatif.
106
105
E.Ph. Sutorious dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm. 100-101.
106
Tongat,  Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008, hlm. 222.
Konsep kesalahan psikologis yang menitikberatkan pada keaddan batin tentu bersifat subjektif, dalam arti indikator keadaan batin
seseorang dengan keadaan batin orang lain tidak sama. Karena itulah, konsep kesalahan psikologis tidak banyak diikuti karena menimbulkan persoalan dalam
Universitas Sumatera Utara
praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan tindak pidana. Dalam KUHP yang berlaku saat ini,
tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan”. Oleh karena itu, praktek hukum sempat diliputi pertanyaan sekitar
apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam pelanggaran menyebabkan pembuatnya tetap dipidana, sekalipun tidak ada
salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan psikologis
untuk menjelaskan masalah kesalahan.
107
Persoalan itulah yang menyebabkan mengapa teori kesalahan normatif dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Menurut kesalahan
normatif, kesalahan diartikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak
ingin melakukan perbuatan tersebut.
108
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan
tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.
109
Dilihat dari fungsinya, kesalahan paling tidak memiliki empat fungsi. Pertama, ia membantu untuk membentuk kesalahan moral perbuatan pelaku.
107
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 73.
108
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana ; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 77.
109
Moeljatno,  Asas-asas Hukum Pidana, Cet. Kedelapan,  Rineka Cipta,  Jakarta, 2008, hlm. 169.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, fungsi kesalahan terkait dengan kebebasan. Disini terdapat tiga fungsi penting kesalahan. Pertama, kesalahan memiliki peranan penting dalam
mengartikulasikan da memberitahukan batasan kebebasan warga Negara. Secara lebih khusus, salah satu tujuan diadakannya kesalahan dalam hukum pidana
adalah untuk menjamin peringatan yang fair  kepada para pelaku tindak pidana, dengan memastikan bahwa mereka memiliki pemahaman yag memadai, bahwa
tindakannya itu berisiko melanggar aturan-aturan hukum pidana. Kedua, kesalahan merupakan sarana penengah proses kriminalisasi, yaitu antara
perlindunga terhadap korban-korban potensial dan pelestarian kebebasan bagi pelaku-pelaku potensial. Ketiga, sering kali kesalahan membutuhkan standar yang
lebih keras untuk membangun konsep tanggung jawab pidana dan kesalahan. Sebagai contoh, mengapa kealpaan dan kadang-kadang bahkan kesembronoan
dikeluarkan dalam perbuatan-perbuatan tertentu dalam hukum pidana.
110
Ketiga, fungsi kesalahan adalah membentuk perilaku pelaku tindak pidana yang menurut sifatnya tercela secara moral. Tindak pidana harus merupakan
perbuatan yang tidak patut. Ia harus terdiri dari perilaku yang seyogianya tidak dilakukan oleh seseorang, yang dengannya pencelaan dan pidana secara potensial
tepat bila dijatuhkan kepada pelaku. Kita tidak menyalahkan orang-orang atas perbuatan baik yang mereka lakukan, tetapi kita menyalahkan mereka hanya pada
perbuatan-perbuatan yang secara moral tercela.
111
Keempat, kesalahan memfokuskan diri pada hubungan antara warga negara dengan negara. Selain memberikan jaminan bagi peringatan terkait
110
Winnie Chan dan A.P.Simester, “Four Functions of Mens Rea”, Cambridge Law Journal, 2011, hlm. 384.
111
Ibid., hlm. 385.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan-perbuatan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan., kesalahan juga menentukan ruang lingkup perbuatan-perbuatan yang dilarang khususnya bagi
tindak-tindak pidana tertentu di mana unsur kesalahan tidak diperlukan bagi terciptanya suatu delik.
112
2. Kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana
Ketika dijelaskan bahwa adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” merupakan asas yang sangat penting dan berpengaruh dalam hukum pidana, maka
terdapat dua hal penting yang perlu dikemukakan. Pertama, kita baru berbicara tentang kesalahan, manakala perbincangan tentang tindak pidana sudah selesai.
Artinya, ahli hukum pidana ataupun hakim baru bisa menlai kesalahan yang ada pada diri seseorang bila orang tersebut telah terbukti melakukan suatu perbuatan
yang dilarang. Hal ni karena pengertian kesalahan didalamnya tidak termasuk pengertian tindak pidana, kecuali kita mengikuti monisme, suatu teori yang
menggabungkan aspek perbuatan dan kesalahan pelaku ke dalam pengertian tindak pidana.  Pengertian tindak pidana oleh simons sebagai “suara tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
112
Ibid., hlm. 393.
Universitas Sumatera Utara
dihukum”
113
Kedua, sanksi pidana punishment atau sanksi tindakan treatment hanya dapat dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang yang terbukti melakukan perbuatan
yang dilarang  atau mengabaikan kewajiban hkum untuk betindak, jika pada diri orang tersebut terdapat kesalahan. Ini artinya, kesalahan menjadi syarat penentu
penjatuhan pidana. Penjatuhan pidana menjadi sah dan mendapatkan pembenaran secara teoritis bila pada orang yang dijatuhkan pidana tersebut terdapat kesalahan,
baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kealpaan. Dengan demikian, pada aspek yang kedua ini, adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” diartikan sebagai berikut:
hakim hanya sah menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika pada dirinya terdapat kesalahan serta tidak ada alasan yang memafkan kesalahannya itu
, pada dasarnya merupakan contoh dari tidak dipisahkannya aspek perbuatan pelaku dan kesalahan dirinya.
114
3. Kesengajaan dan Kealpaan
Wetboek vanstrafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang
115
. Sedangkan menurut memorie van toelichting kesengajaan sama dengan “willens en wetens” atau diketahui atau
dikehendaki.
116
113
P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ketiga, PT. Citab Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 185.
114
Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 145
115
D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta 1995, hlm. 87.
116
E. Utrecht, Hukum Pidana I, , Pustaka Tinta Emas, Surabaya, 1986, hlm. 300
Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud dengan willens en wetens adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
Universitas Sumatera Utara
sengaja harus menghendaki willen  perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti weten akan akibat dari perbuatan itu.
117
Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana
terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam  “Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeil”  1903 dan teori
membayangkan yang dikemukakan oleh Frank dalam “ Festcshrift Gieszen” 1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu tindakan dan
kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu
menjadi maksud benar-benar  dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki satu tindakan,
manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan, atau membayangkan kemungkinan adanya suatu
akibat. Rumus frank berbunyi: “sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan
sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut”
118
Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai
maksud opzet als  oogmerk, kesengajaan sebagai kemungkinan opzet bij
117
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian dua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 291.
118
Dwidja  priyatno, kebijakan legislatif  tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004, hlm. 44.
Universitas Sumatera Utara
mogelijkheidswustzijn, dan kesengajaan sebagai kepastian opzet bij noodzakelijkheids. Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsure willes en
wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya; arti maksud disini adalah maksud untuk menimbulkan akibat
tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat dari perbuatannya atau hal-hal
mana nanti akan turut serta memengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu tindak pidana.
Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagain suatu kemungkinan yang
pasti. Secara teoritis terdapat dua bentuk kesengajaan dolus yaitu dolus malus
dan dolus eventualis. Dolus malus hakikatnya merupakan inti dari bagungan dari teori pengetahuan voorstelling theorie dan teori kehendak wilsttheorie.
Menurut teori pengetahuan sesorang sudah dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pdana jika saat berbuat orang tersebut mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum
119
. Teori ini menitikberatkan pada saat melaukan tindak pidana
120
119
M. Abdul Kholiq, buku pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 133.
120
Sudarto, diktat hukum pidana jilid A-B, Fakultas Hukum Univesitas Diponogoro, Semarang, 1975, hlm. 16
. Sedangkan teori kehendak menyatakan, bahwa seseorang dianggap sengaja melakukan suatu tindak pidana
apabila orang itu menghendaki dilakukannya perbuatan itu. dalam konteks ini,
Universitas Sumatera Utara
kesengajaan merupakan kehendak yang darahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang
121
Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan demikian, karena pelaku yang bersangkutan pada waktu Ia melakukan perbuatan
untk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang
memang ia kehendaki. Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia katakana mempunyai kesengajaan
.
122
Van Bemmelan mengatakan bahwa yang dinamakan dolus ventualis adalah kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak
pernah lebih banyak dikehendaki kemungknan matinya orang lain itu misalnya. Seseorang yang menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat
dikatakan bahwa ia menghendaki supaya orang itu mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu perbatan dengan  kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat
menyebabkan matinya orang lain, hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu.
.
123
Berdasarkan uraian mengenai dolus eventualis di atas dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin
akan menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun, meskipun ia menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya
121
Moeljatno, Op. cit, hlm. 186
122
P.A.F Lamintang, Op. cit, hlm. 301
123
Leden Marpaung, Asas-teori-praktik Hukum Pidana, cet.  kedua,  Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
menjauhi perbuatan itu, melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan bahwa kalaupun akibat tertentu yang dilarang akan terjadi, ya apa
boleh buat. Dalam hubungan inilah, dolus eventualis juga disebut dengan inklauf nehmen theorie atau teori apa boleh buat.
124
Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk pada kata ‘kealpaan’, seperti  recklessness, negligence, sembrono, dan teledor.
Adapun kealpaan, KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan culps, sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan kealpaan. Oleh karnanya, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk
membatasi apa itu kealpaan.
125
Simons mengatakan bahwa umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati
melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibatnya. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi
kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi apabila
seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mngetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku adalah
suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan.
126
124
Tongat, Op.  cit, hlm. 247
125
Ibid., hlm. 276.
126
Leden Marpaung, Op. cit., hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliriuan dalam perbuatan
seseorang secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu. dengan pengertian demikian, maka di dalam kealpaan culpa terkandung makna
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat
positif, yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan dalam kealpaan sifat positif ini tidak
ditemukan.
127
4. Menentukan Kesalahan Korporasi
Dikarenakan korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara pengurusnya seperti yang telah dijelaskan pada beberapa pengertian
korporasi pada bab sebelumnya yaitu pada bagian tinjauan kepustakaan, baik berdasarkan teori pelaku fungsional maupun teori identifikasi, maka penentuan
kesalahan korporasi adalah dengan melihat apakah pengurus, yang bertindak untuk dan atas nama korporasi memiliki kesalahan. Jika jawabannya adalah iya,
maka korporasi dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang dilakukannya. Demikian juga sebaliknya. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa kesalahan
yang ada pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi itu sendiri.
128
127
Moeljatno, Op. cit. hlm. 217
128
Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun kesalahan pengurus korporasi dialihkan dan menjadi kesalahan korporasi, isi kesalahan tersebut berbeda dengan kesalahan pada subjek hukum
manusia. Dasar dari penetapan dipersalahkannya korporasi ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki korporasi. Dilihat
dari segi masyarakat korporasi telah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Indikator kesalahan bagi korporasi adalah bagaimana korporasi menjalankan
fungsi kemasyarakatannya itu. Fungsi kemasyarakatan itu termasuk tetapi tidak terbatas yntuk menghindari terjadinya tindak pidana. Dengan demikian, hukum
mengharapkan kepada korporasi untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan baik sehingga sejauh mungkin dapat menghindari terjadinya tindak
pidana. Dengan kata lain, selagi terbuka kemungkinan bagi korporasi untuk “dapat berbuat lain” selain melakukan tindak pidana, maka harapan tersebut harus
sejauh  mungkin tercermin dari kebijakan dan pengoperasiannya. Terhadap korporasi penilaian adanya kesalahan ditentukan oleh bagaimana korporasi
memenuhi fungsi kemasyarakatannya, sehingga “dapat dicela” ketika suatu tindak pidana terjadi karenanya.
129
Dalam kepustakaan syarat kesalahan pada korporasi disebut dengan syarat kekuasaan machtsvereiste. Muladi mengatakan sebagai berikut :
130
Syarat kekuasaan mencakup : wewenang mengaturmenguasai danatau memerintah pihak yang dalam kenyataannya melakukan tindakan terlarang
tersebut; mampu melaksanakan kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan;
dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang.
129
Ibid., hlm. 153.
130
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 160-161.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Muladi, syarat kesalahan korporasi hanya berkenaan dengan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam
rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang.
131
Pada teori strict liability, eksistensi kesalahan korporasi tetap diperlukan walaupun tidak perlu dibuktikan. Premis utama teori strict liability, yakni liability
without fault tidak kemudian dimaknai bahwa pada teori tersebut kesalahan korporasi tidak perlu ada, tapi hendaknya pemaknaan teori tersebut lebih kepada
tidak perlunya  pembuktian unsur kesalahan pada korporasi. Terbuktinya unsur tindak pidana sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada
korporasi, tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahannya, karena bila kesalahan tidak diperlukan, hal demikian sama saja dengan melabrak asas “tiada pidana tanpa
Hubungan antara kesalahan korporasi dan syarat-syaratnya dengan teori- teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi pembuktiannya yaitu terlihat
pada teori direct corporate criminal liability kesalahan pengurus korporasi yang bertindak untuk danatau atas nama korporasi mutlak diperlukan dan harus
dibuktikan. Walaupun pengurus tersebut terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang pada dirinya harus juga dibuktikan adanya kesalahan, sehingga pidana
yag dijatuhkan baik kepada pengurus maupun kepada korporasi memiliki justifikasi teoritis yang memadai. Dengan kata lain, perlu dibuktikan tidak hanya
bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana, tapi juga terdapat kesalahan pada dirinya, dimana kesalahan tersebut secara otomatis menjadi kesalahan korporasi.
131
Chairul Huda, Op.cit., hlm. 101-102.
Universitas Sumatera Utara
kesalahan”. Cella Wells sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie menyatakan sebagai berikut :
132
Kemudian perihal perbuatannya, menurut penulis bahwa Pemberi  Kerja wajib memungut Iuran yang  menjadi  beban  Peserta  dari Pekerjanya  dan
menyetorkannya kepada BPJS.  dan  Pemberi  Kerja  wajib  membayar  dan menyetor  Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.  Jika pemberi
kerja tidak melakukan hal sebagaimana tersebut diatas baik secara sengaja maupun lalai dolus atau culpa maka Pemberi kerja atau korporasi telah
melakukan  Kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana. Namun perihal unsur- unsur secara definitif perbuatan pidana dan kesalahan perumusannya tidak ada
“…..that a culpability elemen such as intention, recklessness, or negligence need not to be proved.”
Kaitan antara penentuan kesalahan suatu korporasi dengan tindak pidana dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2011 yaitu perihal subjek dan perbuatan.
Perihal Subjek bahwa Korporasi itu merupakan badan hukum, dan badan hukum merupakan bagian atau termasuk kedalam kategori “Pemberi Kerja” yang diatur
dalam Ketentuan Umum dalam Undang-Undang BPJS. Artinya bahwa Korporasi merupakan Subjek yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang
dilakukannya ketika melanggar ketentuan dalam Undang-Undang BPJS dan dalam hal ini direksi dari korporasiperusahaan yang melanggar ketentuan
Undang-Undang BPJS yang akan mewakili korporasi dalam hal terjadinya tindak pidana dalam proses persidangan di pengadilan.
132
Mahrus Ali, Op .cit., hlm. 155.
Universitas Sumatera Utara
diatur secara lebih teknis dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, untuk itu perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah maupun
peraturan dibawahnya.
D.  Sanksi  yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melanggar ketentuan Undang-Undang N0. 24 Tahun 2011
Terlaksananya 5 lima program jaminan sosial dalam sistem jaminan sosial nasional diharapkan dapat menjangkau kepesertaan secara luas dan
berkesinambungan, sehingga seluruh penduduk dapat terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Untuk ditaatinya ketentuan yang mengatur program
jaminan sosial dalam penyelenggaraan jaminan sosial oleh pemberi kerja atau korporasi selain penyelenggara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja
dan penerima bantuan iuran, berdasarkan pasal 17 ayat 5 Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menentukan bahwa
pemberi kerja selain penyelenggara Negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pasal dalam pasal 16 dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, denda,
danatau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Pengenaan sanksi administratif ini dimaksudkan agar pemberi kerja atau korporasi menaati
Universitas Sumatera Utara
kewajibannya agar hak-hak pekerja terlindungi dalam kepesertaan program jaminan sosial.
133
Sebelum membahas mengenai sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, terlebih
dahulu penulis membahas mengenai ketentuan sanksi administratif dalam undang- undang ini. Pengenaan sanksi administratif ini dapat dikenakan kepada pemberi
kerja selain penyelenggara Negara yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjannya serta tidak memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota
keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
134
Pemberi kerja selain penyelenggara Negara memiliki kewajiban sebagai berikut :
135
1. Mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara
bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya 2.
Memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar yang terdiri dari :
a. Data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan sesuai
dengan data pekerja yang dipekerjakan b.
Data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang diterima pekerja c.
Data kepesertaan dalam program jaminan sosial sesuai penahapan kepesertaan ; dan
133
Tim Visi Yustisia, Panduan  Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta 2014, hlm 77-78
134
Pasal 17 ayat 1 jo Pasal 15 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
135
Tim Visi Yustisia, Panduan  Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta 2014, hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
d. Perubahan data ketenagakerjaan yaitu alamat perusahaankorporasi,
kepemilikan perusahaan, kepengurusan perusahaan, jenis badan usaha, jumlah pekerja, data pekerja dan keluarganya dan perubahan besarnya
upah setiap pekerja. Perubahan data tersebut dilaporkan oleh pemberi kerja selain
penyelenggara Negara kepada BPJS paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak terjadinya perubahan.
Pemberi kerja termasuk Korporasi selain penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban di atas, dikenakan sanksi administratif.
136
Kemudian perihal sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial termuat dalam pasal 54 dan
55 undang-und ang ini. Dalam Pasal 54 memuat ketentuan pidana, tapi dalam hal ini sanksi pidana pada pasal ini dijatuhkan pada Dewan Pengawas atau anggota
Direksi BPJS, yaitu : “Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  52  huruf  g,
huruf  h,  huruf  i,  huruf  j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara  paling  lama  8 delapan  tahun dan pidana denda paling banyak
Sanksi administratif  yang dapat dikenakan kepada pemberi kerja atau korporasi dapat
berupa: a. teguran tertulis;
b. denda; danatau c.  tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
136
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah”.  Larangan yang dimaksud sehingga dapat dipidananya Dewan Pengawas atau anggota Direksi BPJS antara lain :
137
a. Menghilangkan
atau tidak
memasukkan atau
menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku  catatan  atau dalam  laporan,
dokumen  atau laporan  kegiatan  usaha,  atau   laporan  transaksi BPJS danatau Dana Jaminan Sosial;
b. menyalahgunakan danatau  menggelapkan  aset  BPJS danatau Dana
Jaminan Sosial; melakukan subsidi silang antarprogram; c.
menempatkan  investasi  aset  BPJS  danatau  Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;
d. menanamkan  investasi  kecuali  surat berharga tertentu danatau investasi
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial; e.
membuat  atau  menyebabkan  adanya  suatu  laporan palsu dalam buku catatan  atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, atau laporan transaksi BPJS danatau Dana Jaminan Sosial; danatau
f. mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus
atau menghilangkan   adanya   suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau  merusak catatan pembukuan BPJS danatau Dana Jaminan
Sosial.
137
Pasal 54 jo Pasal 52 huruf g,  huruf  h,  huruf  i,  huruf  j, huruf k, huruf l, atau huruf m Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan bunyi pasal pidana bagi  Korporasi atau Pemberi kerja  yang lalai membayar iuran  dan tidak menyetor iuran ke  BPJS tercantum di BAB XV
Ketentuan Pidana dalam Pasal 55, yaitu :  “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1 atau ayat 2 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah”.
138
Perbuatan bagi pemberi kerja termasuk Korporasi yang merupakan tindak pidana dan dapat dikenakan sanksi
pidana yaitu denda dan penjara antara lain :
139
a. Pemberi Kerja wajib  memungut  Iuran yang menjadi  beban  Peserta  dari
Pekerjanya  dan menyetorkannya kepada BPJS. b.
Pemberi   Kerja   wajib   membayar   dan   menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
Untuk dapat menerapkan sanksi terkait tindak pidana atau pelanggaran terhadap Undang-Undang BPJS yang dapat dilakukan oleh BPJS antara lain :
140
a. Dalam  rangka meningkatkan  kualitas penyelenggaraan program Jaminan
Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah. b.
Dalam  menjalankan  tugasnya,  BPJS  dapat  bekerja sama  dengan organisasi  atau  lembaga  lain  di dalam negeri atau di luar negeri.
138
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
139
Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
140
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Artinya bahwa dalam rangka penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, BPJS dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintah seperti Pemerintah Daerah, pihak Kejaksaan ataupun lembaga lain
baik di dalam maupun di luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN