BAB II FORMULASI ATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2011
B. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pembangunan sistem dan program jaminan sosial merupakan salah satu karya kebijakan sosial yang terbesar di abad kedua puluh. Untuk pertama kali,
program jaminan sosial wajib mandatory insurance diperkenalkan di Eropa pada akhir abad kesembilan belas. Selanjutnya program jaminan sosial meluas ke
berbagai belahan dunia setelah berakhirnya perang dunia kedua, paling tidak sebagai dampak dari berakhirnya era kolonialisasi dan kemerdekaan negara-
negara jajahan.
62
Selanjutnya International Labour Organization ILO dalam konvensi Nomor 102 Tahun 1952 menganjurkan semua negara di dunia memberi
perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi Penyebaran dan pengembangan jaminan sosial ke seluruh
dunia juga didukung oleh konvensi dan kerjasama internasional. Pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan jaminan
sosial sebagai hak asasi manusia dalam Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa : “setiap orang, sebagai anggota masyarakat,
mempunyai hak atas jaminan sosial ..... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua”.
62
http:www.jamsosindonesia.comidentitasjaminan_sosial_karya_besar_abad_ keduapuluh
diakses tanggal 01 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi PBB tentang hak jaminan sosial. Konvensi ini merupakan satu-satunya instrumen internasional untuk penyelenggaraan jaminan sosial, mengatur
kesepakatan di antara negara-negara anggota tentang standar minimal untuk penyelenggaraaan sembilan program jaminan sosial.
ILO Convention Nomor 102 mendefinisikan jaminan sosial sebagai ”Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui
seperangkat kebijakan publik terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh hilangnya sebagian atau seluruh pendapatan akibat berbagai
resiko yang diakibatkan oleh sakit, kehamilan, persalinan, kecelakaan kerja, kecacatan, pengangguran, pensiun, usia tua, kematian dini penghasil utama
pendapatan, perawatan medis termasuk pemberian santunan kepada anggota keluarga termasuk anak-anak”.
1. Pasca Indonesia Merdeka
Perjalanan sejarah pembangunan program jaminan sosial di Indonesia memperlihatkan bahwa jaminan sosial tumbuh dan digerakkan oleh pemerintah
bukan muncul dari kebutuhan pekerja akan perlindungan pendapatan sebagaimana yang terjadi di Eropa. Didalam perjalanannya, landasan filosofi
jaminan sosial di Indonesia berkembang sesuai filosofi pemerintahan. Pada masa pra kemerdekaan, program jaminan sosial pertama kali diperkenalkan ketika masa
pemerintahan kolonial Belanda masih berkuasa pada awal abad kedua puluh. Pemerintah Hindia Belanda mengikutsertakan pegawai pribumi yang bekerja
Universitas Sumatera Utara
pada lembaga pemerintah Hindia Belanda dalam dua buah program, yaitu jaminan pensiun sejak tahun 1926 dan jaminan kesehatan mulai tahun 1934.
Di masa pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Pusat Orde Lama membangun tiga program jaminan sosial mulai pada tahun 1947, yaitu jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua. Program jaminan kecelakaan kerja lahir ketika Pemerintah mengundangkan Undang-Undang No.
33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Undang-Undang Kecelakaan 1947 pada 18 Oktober 1947. Undang-Undang ini diberlakukan di seluruh Indonesia
sejak tahun 1951 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 Tentang Berlakunya Undang-Undang No 33 Tahun 1947 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia. Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi kemerdekaan, dan hebatnya lagi
diundangkan di masa pemerintahan darurat pasca perang agresi Belanda kedua. Sejak tahun 1948 Pemerintah melanjutkan penyelenggaraan program
jaminan kesehatan pemerintah Hindia Belanda di masa pra kemerdekaan. Program ini diselenggarakan berdasarkan pada ketentuan Restitusi Regeling
1948.
63
63
Staatsregeling No. 1 Tahun 1934 Peraturan Pemerintah Hindia Belanda No. 1 Tahun 1934 tentang Jaminan Kesehatan
Peserta dibatasi pada pegawai negeri yang berpenghasilan di bawah Rp 850,00 per bulan. Penyelenggaraan belum sepenuhnya mengikuti kaidah jaminan
sosial, namun masih diselenggarakan sebatas pemotongan gaji restitusi. Setiap pegawai yang mendapatkan pelayanan rawat inap dikenakan pemotongan gaji
sebesar 3 dari gaji pokok untuk membayar iur bayar co-payment. Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan dasar ditanggung penuh oleh pemerintah. Pelayanan kesehatan dasar di fasilitas pemerintah tidak dipungut bayaran, sedangkan di fasilitas swasta,
peserta membayar terlebih dahulu biaya pelayanan kesehatan kemudian pemerintah mengganti reimbursement. Pemerintah
melakukan proyek percontohan program jaminan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial
yang dikenal dengan “Jakarta Pilot Project” pada tahun 1960. Program ketiga yang diselenggarakan adalah program pensiun publik yang
terbatas untuk pegawai negeri pada tahun 1956 kemudian diikuti dengan program tabungan hari tua pegawai negeri pada tahun 1963. Program pensiun pegawai
negeri didirikan dan diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1956 Tentang Pembelanjaan Pensiun. Program tabungan hari tua pegawai
negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah PP No. 9 Tahun 1963 Tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri dan PP No. 10 Tahun 1963 Tentang Tabungan
Asuransi dan Pegawai Negeri. Pemerintah Orde Baru meningkatkan penyelenggaraan program-program
jaminan sosial yang telah dibangun pada masa pemerintahan Orde Lama. Peningkatan dilakukan dengan menyelenggarakan program-program jaminan
sosial dengan mekanisme pendanaan oleh peserta funded social security dan membangun kelembagaan jaminan sosial. Pendanaan jaminan sosial oleh peserta
dan badan penyelenggara jaminan sosial berkembang sesuai dengan kelompok pekerjaan, yaitu pegawai negeri dan pekerja swasta. Sayangnya, Pemerintah Orde
Baru pada tahun 1992 menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai Perseroan, Badan Usaha Milik Negara yang berorientasi laba - PT ASKES,
Universitas Sumatera Utara
PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN. Sejak itu, penyelenggaraan program jaminan sosial Indonesia menjauh dari prinsip-prinsip asuransi sosial.
64
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1997 Tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja ASTEK sendiri menjelaskan bahwa sistem perlindungan yang
dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan tenaga kerja. Berdasarkan peraturan ini
maka perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan program Astek, yaitu dengan cara mempertanggungkan buruhnya dalam asuransi kecelakaan kerja dan
asuransi kematian, demikian pula dalam program tabungan hari tua pada badan penyelenggaraan yaitu Perusahaan umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja Perum
Astek yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977. Perusahaan yang wajib menyelenggarakan Astek masih dibatasi pada jumlah
buruh yang dipekerjakan atau jumlah upah yang dibayarkan kepada buruhnya setiap bulannya. Menurut keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan
Koperasi No. 116-MEN177 tentang peraturan tata cara persyaratan pendaftaran pembayaran iuran dan pembayaran jaminan asuransi sosial tenaga kerja,
menetapkan bahwa perusahaan yang mempekerjakan sebanyak 100 orang atau lebih atau membayar upah paling sedikit Rp. 5.000.000,00 Lima Juta Rupiah
sebulan adalah perusahaan yang diwajibkan ikut serta dalam program Astek, sedangkan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-278MEN83
peraturan mengatur perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 25 orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,00 Satu Juta
64
http:www.jaminansosindonesia.comidentitasjaminansosial diakses 01 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
Rupiah sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara bertahap sudah mulai mengembangkan program jaminan sosial para pekerjaburuh.
65
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Mengingat aturan perekonomian yang berlaku, penting sekali untuk mempertahankan asuransi sosial sebagai teknik jaminan sosial dasar, yang
disusun menurut bentuk aslinya sebagai sebuah kontrak antara individu dan masyarakat, juga agar dapat benar-benar menjamin kondisi kehidupan minimum
bagi setiap orang. Negara harus terus menyediakan kerangka kerja dasar bagi asuransi sosial wajib yang membutuhkan partisipasi keuangan dari seluruh
warganya dalam sebuah skema, yang dapat melindungi mereka dari konsekuensi terjadinya resiko sosial yang besar. Berdasarkan pengalaman yang baru saja
terjadi, sangat tidak bertanggungjawab untuk menyerahkan tugas itu kepada pengaturan pribadi, hanya tunjangan-tunjangan tambahan yang menjamin
kelangsungan taraf hidup yang diinginkan saja yang harus diserahkan sepenuhnya pada usaha setiap individu.
Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992, Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
65
Vladimir Rys, Merumus ulang Jaminan Sosial Kembali ke Prinsip-Prinsip Dasar, PT Pustaka Alvabet, Jakarta, 2011, hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
Menurut Kennet Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jenderal International Social Security Association ISSA di Jenewa, dalam Regional
Training Seminar ISSA di Jakarta bulan Juni 1980, mengatakan bahwa : “Jaminan sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh
masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa- peristiwa tertentu dengan tujuan sejauh mungkin untuk menghindari terjadinya peristiwa-
peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis danatau jaminan
keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.
66
Sejalan dengan dua pengertian di atas, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 2 ayat 4 nya menggariskan bahwa : “Jaminan Sosial sebagai perwujudan dari sekuritas sosial adalah seluruh sistem
perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga Negara yang diselenggarakan oleh pemerintah danatau masyarakat guna memelihara taraf
kesejahteraan sosial”.
67
66
Sentanoe Kertonegoro , Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet.1, Mutiara, Jakarta, hlm. 29
67
H. Zainal Asikin, S.H., S.U. dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 99
Jika diperhatikan dari ketiga pengertian di atas, maka nampaknya ketiga pengertian tersebut memberikan pengertian jaminan sosial
dengan begitu luasnya, seakan-akan jumlah sosial itu sendiri telah mencakup bidang pencegahan dan penyembuhan serta bidang pembinaan, ketiga bidang
Universitas Sumatera Utara
ini kalau dikaitkan lebih jauh lagi akan apa yang dinamakan Perlindungan Buruh, sehingga akan sangat luaslah ruang lingkupnya. Kalau kita akan
membicarakan jaminan sosial bagi pekerja dengan bertumpunya pada defenisi di atas, maka yang dimasukkan ke dalam jaminan sosial ini hal-hal yang
bersangkutan dengan : 1. Jaminan sosial itu sendiri
2. Kesehatan keja, dan 3. Keselamatan dan keamanan kerja.
Di dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan
jaminan sosial tenaga kerja sebagai perwujudan
pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek ini dikeluarkan
berdasarkan dasar-dasar hukum : 1.
Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, Pasal 27 ayat 2 Undang- undang Dasar 1945
2. Undang-undang No.3 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia Lembaga Negara tahun 1951 No.41
3. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan
pokok mengenai tenaga kerja Lembaga Negara tahun 1969 nomor 55 : tambahan lembaran negara nomor 2912
Universitas Sumatera Utara
4. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja Lembaran
Negara Tahun 1970 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara nomor 2918 5.
Undang-undang No. 7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan Lembaran Negara Tahun 1981 nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara nomor 3201. Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga
kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain : 1
Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya
2 Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja 3
Dengan adanya upaya perlindungan dasar akan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang 4
Menciptakan ketenangan bekerja karena adanya upaya perlindungan terhadap resiko-resiko kerja dan upaya pemeliharaan terhadap tenaga
kerja. 5
Dengan adanya jaminan sosial tenaga kerja akan menciptakan ketenangan bekerja pada akhirnya mendukung kemandirian dan harga diri manusia
dalam menghadapi resiko sosial ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undang- undang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor
14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua,
dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, akan tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang ini
diprioritaskan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah maka kepada tenaga kerja di luar hubungan kerja atau
dengan kata lain tidak bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 pasal 6 ayat 1 yang menjadi ruang lingkup Jaminan Sosial Tenaga Kerja meliputi Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan
program lintas sektoral yang saling mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya, maka program jaminan sosial tenaga kerja
dilaksanakan secara bertahap dan saling menunjang dengan usaha-usaha pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan
dan kesehatan kerja. Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksananya
dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Universitas Sumatera Utara
Undang- undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
68
Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam ayat 1 adalah pelanggaran. Artinya tindak pidana tersebut tidak digolongkan kepada kejahatan, yang
ancaman hukumannya lebih berat, jadi tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja mencantumkan sanksi terhadap setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan. Sanksi pidana ditentukan dalam Pasal 29 sedangkan
sanksi administrasi, ganti rugi, atau denda menurut Pasal 30 Undang-undang tersebut, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sanksi pidana yang
ditentukan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 berupa kurungan atau denda. Pasal 29 ayat 1 Undang-undang tersebut selengkapnya
menentukan, ”Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1; Pasal 10 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3; Pasal 18 ayat
1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5; Pasal 19 ayat 2; Pasal 22 ayat 1 dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama lamanya 6 enam
bulan atau denda setinggi tingginya Rp. 50.000 000,- lima puluh juta rupiah.” Dalam ayat 2 ditentukan ”Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat 12 untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana
kurungan selama lamanya 8 delapan bulan.”
68
http:www.sjdih.depkeu.go.idfulltext19923TAHUN1992UNDANG-UNDANG.htm diakses 04 Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
Pasal 29 tersebut diatas termasuk tinda k pidana ringan. Ancaman hukumannya pun bersifat alternatif. Bisa dipilih hukuman kurungan atau denda, tergantung
kepada tuntutan jaksa dan putusan hakim. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2, menurut
Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992, terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang
ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administrasi, ganti rugi, atau denda yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sanksi sebagaimana tersebut diatas diatur dalam Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek
sebagaimana beberapa kali diubah terahkir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2010. Pada intinya Pasal 47 Peraturan Pemerintah tersebut menentukan:
1. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 ayat 3, Pasal
4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 6 ayat 2, Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dan Pasal 19 serta Pasal 20 ayat 1, dan telah diberikan peringatan
tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha.
2. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat 3 dikenakan denda sebesar 2 untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar.
3. Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
diamaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 dikenakan ganti rugi sebesar 1 dari jumlah jaminan sebagaimana diatur
Universitas Sumatera Utara
dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
69
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional SJSN Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat
1 menyatakan bahwa jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak. Dan dalam pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa sistem jaminan sosial nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. SJSN adalah program Negara yang bertujuan untuk memberi perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak
apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan,
memasuki usia lanjut, atau pensiun.
70
Undang-Undang SJSN diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004, sebagai pelaksanaan amanat konstitusi tentang hak konstitusional setiap orang
atas jaminan sosial dengan penyelenggaraan program-program jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh warga negara Indonesia. Undang-Undang SJSN
69
Martabat, http:www.jamsosindonesia.com diakses 05 Maret 2016
70
Penjelasan atas Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional paragraf ketiga LN
Universitas Sumatera Utara
adalah dasar hukum untuk menyinkronkan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang telah dilaksanakan oleh beberapa badan penyelenggara agar
dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya
merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap
penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan,
karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Asas dan tujuan sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sistem jaminan sosial nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
peserta danatau anggota keluarganya Pasal 2 dan 3 Undang-Undang SJSN.
71
71
Tim redaksi pustaka yustisia, Koalisi Perundangan tentang Jaminan Sosial, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm.7
Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-undang yang secara khusus mengatur jaminan
sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja JAMSOSTEK, yang mencakup program
jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
Universitas Sumatera Utara
Landasan yuridis penyelenggaraan SJSN adalah UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2. Pasal 28H ayat 3 diatur dalam
Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dan Pasal 34 ayat 2 diatur dalam Perubahan Keempat UUD NRI 1945. Amanat konstitusi tersebut kemudian dilaksanakan
dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional UU SJSN.
72
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 007PUU -III2005, Pemerintah bersama DPR mengundangkan sebuah peraturan
pelaksanaan Undang-Undang SJSN setingkat Undang-Undang, yaitu Undang- Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Nasional Undang-Undang BPJS.
73
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS terbentang mulai Peraturan Pemerintah hingga
Peraturan Lembaga. Penyelesaian seluruh dasar hukum bagi implementasi SJSN yang mencakup UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang SJSN dan
peraturan pelaksananya membutuhkan waktu lima belas tahun 2000 – 2014.
74
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh hukum. Salah satu di antaranya adalah hukum jaminan sosial. Pemerintah
membentuk dan mengundangkan Undang-Undang SJSN untuk menyikapi dinamika masyarakat dan menangkap semangat jamannya, menyerap aspirasi, dan
cita-cita hukum masyarakat. Penyelenggaraan program jaminan sosial diubah secara mendasar untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip dana amanat diberlakukan. Dana
72
Asih Eka Putri, Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional, CV Komunitas Pejaten Mediatama, Jakarta, 2004, hlm.12
73
Ibid, hlm. 12 paragraf 2
74
Ibid, hlm.12 paragraf 4
Universitas Sumatera Utara
dikumpulkan dari iuran peserta sebagai dana titipan kepada BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan
peserta.
75
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip
76
Undang-undang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional menetapkan 5 lima program Jaminan sosial, yaitu :
Kegotongroyongan, Nirlaba, Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Portabilitas, Kepersertaan bersifat wajib, Dana Amanat, Hasil pengelolaan dana
jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
77
1 Dalam pasal 19 dan pasal 20 menyatakan bahwa jaminan kesehatan
adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk menjamin agar peserta dan anggota
keluarganya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
2 Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2menyatakan bahwa jaminan kecelakaan
Kerja adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat
pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila ia mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja.
75
Ibid, hlm. 15
76
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
77
Pasal 19, pasal 20, pasal 29, pasal 35, pasal 39, pasal 43 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Universitas Sumatera Utara
3 Dalam pasal 35 ayat 1 dan 2menyatakan bahwa jaminan hari tua
adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima
uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
4 Dalam pasal 39 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa jaminan
pensiun adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk mempertahankan derajat
kehidupan yang layak pada saat peserta mengalami kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau
mengalami cacat tetap total. 5
Dalam pasal 43 menyatakan bahwa jaminan kematian adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan
untuk memberikan santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial bagi pekerjaburuh. Undang-undang No. 24 Tahun 2011 pada pasal 1 ayat 1 menyatakan
bahwa badan penyelenggara jaminan sosial yang disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS
bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta danatau anggota keluarganya.
Tiga kriteria di bawah ini digunakan untuk menentukan bahwa BPJS merupakan badan hukum publik, yaitu :
a. Cara pendiriannya atau terjadinya badan hukum itu, diadakan dengan
konstruksi hukum publik, yaitu didirikan oleh penguasa Negara dengan Undang-undang;
b. Lingkungan kerjanya, yaitu dalam melaksanakan tugasnya badan
hukum tersebut pada umumnya dengan publik dan bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik;
c. Wewenangnya, badan hukum tersebut didirikan oleh penguasa Negara dan
diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau peraturan yang mengikat umum.
78
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas; kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
79
Pembentukan dan pengoperasian BPJS melalui serangkaian tahapan, yaitu:
80
a. Pengundangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada 19
Oktober 2004. b.
Pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 007PUU- III2005 pada 31 Agustus 2005.
78
Asih Eka Putri, Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, CV Komunitas Pejaten Mediatama, Jakarta, 2014, hlm. 7
79
Republik Indonesia, Undang-Undang No.24 Tahun 2011 tentang BPJS, pasal 2
80
Asih Eka Putri, Op.cit, hlm 10
Universitas Sumatera Utara
c. Pengundangan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS
pada 25 November 2011. d.
Pembubaran PT ASKES dan PT Jamsostek pada 1 Januari 2014 Pengoperasian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1
Januari 2014 Rangkaian kronologis di atas terbagi atas dua kelompok peristiwa.
Peristiwa pertama adalah pembentukan dasar hukum BPJS yang mencakup pengundangan Undang-Undang SJSN, pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi
dan pengundangan Undang-Undang BPJS. Peristiwa kedua adalah transformasi badan penyelenggara jaminan sosial dari badan hukum persero menjadi badan
hukum publik BPJS. Transformasi meliputi pembubaran PT Askes dan PT Jamsostek tanpa likuidasi dan diikuti dengan pengoperasian BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan.
81
Komisaris dan Direksi PT Askes serta Komisaris dan Direksi PT Jamsostek bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan
transformasi dan pendirian serta pengoperasian BPJS. Di masa peralihan, keduanya bertugas:
82
1 Menyiapkan operasional BPJS untuk penyelenggaraan program jaminan
sosial sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2
Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban Persero kepada BPJS;
81
Ibid, hlm.10
82
Republik Indonesia, Op.cit, pasal 56 dan pasal 61
Universitas Sumatera Utara
3 Khusus untuk PT Jamsostek, menyiapkan pengalihan program, aset,
liabilitas, hak dan kewajiban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan JPK Jamsostek kepada BPJS Kesehatan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibagi 2 yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, BPJS
Kesehatan adalah badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Dan BPJS
Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. BPJS Kesehatan itu sendiri dioperasikan pada tanggal 01 Januari 2014 oleh pemerintah atas
perintah Undang-Undang BPJS. Dan mulai 1 Januari 2014 terjadi pengalihan program sebagai berikut:
83
1 Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan masyarakat Jamkesmas; 2
Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan
kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden; 3
PT Jamsostek Persero tidak lagi menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan kesehatan.
83
Ibid, Pasal 60 ayat 2
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 01 Januari 2014 diubah dari PT Jamsostek Persero menjadi BPJS Ketenagakerjan oleh pemerintah atas perintah Undang-Undang BPJS.
Dan pada tanggal 01 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian dan program
jaminan hari tua dan program jaminan pensiun sesuai dengan ketentuan Undang- Undang SJSN bagi peserta selain peserta program yang dikelola oleh PT Asabri
Persero dan PT Taspen Persero. BPJS bertanggung jawab kepada presiden. Organ BPJS terdiri dari dewan pengawas dan direksi. Anggota direksi BPJS
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Presiden menetapkan direktur utama BPJS diawasi oleh pengawas internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan
internal dilaksanakan oleh organ BPJS, yaitu dewan pengawas dan sebuah unit kerja di bawah direksi yang bernama Satuan Pengawas Internal.
BPJS mengelola aset jaminan sosial. Undang-Undang BPJS mewajibkan BPJS untuk memisahkan pengelolaan aset jaminan sosial menjadi dua jenis
pengelolaan aset, yaitu aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial DJS. Undang- Undang BPJS tidak memberi penjelasan mengapa wajib dipisahkan.
84
84
Ibid, pasal 40 ayat 2
Undang- Undang BPJS pasal 40 ayat 3 menegaskan bahwa aset Dana Jaminan Sosial
bukan merupakan aset BPJS. Penegasan ini untuk memastikan bahwa Dana Jaminan Sosial merupakan dana amanat milik seluruh peserta dan tidak
merupakan aset BPJS. Pengelolaan aset jaminan sosial oleh BPJS mencakup
Universitas Sumatera Utara
sumber aset, liabilitas, penggunaan, pengembangan, kesehatan keuangan, dan pertanggungjawaban. Aset BPJS bersumber dari:
85
1 Modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; 2
Hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
3 Hasil pengembangan aset BPJS;
4 Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial;
5 Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari :
86
1 Iuran jaminan sosial, termasuk bantuan iuran;
2 Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial;
3 Hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak
peserta dari BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial; 4
Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BPJS Kesehatan menerima pengalihan seluruh aset yang dikelola oleh
PT Askes Persero dan aset Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan-JPK PT Jamsostek Persero. BPJS Ketenagakerjaan menerima pengalihan aset lembaga
PT Jamsostek Persero dan aset tiga Program Jamsostek selain aset Program JPK Jamsostek.
87
85
Ibid, pasal 41 ayat 1
86
Ibid, pasal 43 ayat 1
87
Asih Eka Putri, Op.Cit, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 99 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa:
1 Setiap pekerja buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja. 2
Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 10, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja atau buruh yang sekaligus merupakan kewajiban dari pengusaha. Dimana
pada hakikatnya program jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai
pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Sebelumnya, jaminan sosial tenaga kerja itu diselenggarakan oleh PT Jamsostek Persero, tetapi kini
telah berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan. Jika ditinjau dari segi hukum perburuhan, Undang-
undang ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan perlindungan para pekerja tetap ataupun pekerja kontrak. Menurut Imam Soepomo, hal itu dapat dilihat
dari 3 Aspek, yaitu:
88
1 Perlindungan Ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari baginya beserta
keluarganya;
88
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 78.
Universitas Sumatera Utara
2 Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan
usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan para pekerja itu mengenyam dan mengembangkan kehidupannya;
3 Perlindungan teknis, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk menjaga para pekerja dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja.
Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang wajib di laksanakan oleh setiap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan orang
untuk bekerja pada perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu mengenai pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan di maksud diselenggarakan dalam
bentuk jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan atau bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan dan kegotong
royongan sebagaimana yang tercantum dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia adalah hak atas jaminan sosial. Oleh karena itu sering dikemukakan bahwa jaminan sosial merupakan program yang bersifat
universal atau umum yang harus diselenggarakan oleh setiap Negara.
89
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan Negara adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan
89
Zaeni, Ashyhadie, Aspek-aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm.35
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 dan Pasal 34 ayat
1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
XMPR2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang
lebih menyeluruh dan terpadu. Jaminan sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Hal ini juga menjadi salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia NKRI yakni mensejahterakan rakyat. Dalam Undang- Undang Dasar 1945 tersebut yang mengemukakan : “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak”, oleh sebab itu dibuatlah program untuk menjamin
perlindungan seluruh rakyat Indonesia dalam program Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN. Dimana yang dimaksud dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional
SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
Universitas Sumatera Utara
beberapa badan penyelenggara jaminan sosial Pasal 1 ayat 2.
90
Undang- Undang SJSN menjelaskan bahwa pilar jaminan sosial terdiri dari bantuan sosial,
tabungan wajib dan asuransi sosial. Bantuan sosial adalah suatu sistem untuk reduksi kemiskinan yang didanai dari pajak yang dimasukkan dalam APBN dan
dikeluarkan sebagai Penerima Bantuan Iuran PBI, sedangkan tabungan wajib provident fund merupakan skema tabungan untuk dirinya sendiri seperti wajib
yang didanai dengan iuran peserta atau pihak lain dan atau oleh pemerintah bagi penduduk miskin. Model asuransi sosial ini dinilai paling baik dan efektif untuk
membiayai jaminan sosial.
91
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dan untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk
badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat,
dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta serta berdasarkan Pasal 5
ayat 1 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
90
Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Asuransi Jaminan Sosial, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 20
91
Chazali H. Situmorang, Reformasi Jaminan Sosial Di Indonesia Transformasi BPJS : ”Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”, Cinta Indonesia, Depok, 2013, hlm.7
Universitas Sumatera Utara
dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap perkara Nomor 007PUUIII2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh
Indonesia. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes Persero, PT Jamsostek
Persero, PT TASPEN Persero, dan PT ASABRI Persero menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Hingga saat ini pemerintah Indonesia telah menjalankan berbagai program-program jaminan sosial melalui berbagai Badan Pelaksana Jaminan
Sosial BPJS. Adapun badan pelaksana jaminan sosial tersebut adalah BPJS ketenagakerjaan, BPJS kesehatan, tabungan dan asuransi pegawai negeri taspen
bagi pegawai negeri serta asuransi sosial angkatan bersenjata Republik Indonesia ASABRI bagi TNI dan POLRI. Tujuan dari program jaminan sosial adalah
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas pegawai, serta hak dan kewajiban. Dengan Undang-Undang ini dibentuk
2 dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut
jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap. Salah satu badan jaminan sosial yang dibentuk oleh pemerintah dalam
memberikan jaminan sosial bagi seluruh tenaga kerja maupun karyawan di Indonesia adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS ketenagakerjaan
atau yang dahulunya disebut dengan nama PT. Jamsostek. BPJS ketenagakerjaan ini memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi
tenaga kerja dan keluarganya dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya
penghasilan yang hilang akibat resiko pekerjaannya. Melalui BPJS ketenagakerjaan diharapkan pelaksanaan sistem jaminan sosial terhadap tenaga
kerja akan lebih tertata dan membantu para karyawan yang mengalami resiko terhadap kecelakaan kerja, kematian serta perubahan sosial maupun ekonomi.
Salah satu hal yang membuat BPJS ketenagakerjaan menjadi sedikit berbeda dengan PT. Jamsostek adalah perubahan dari BPJS ketenagakerjaan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak lagi berbentuk perseroan persero tetapi telah menjadi badan hukum publik dan tidak lagi melaksanakan program jaminan pemeliharaan kesehatan, karena
seluruh program tentang jaminan kesehatan yang ada sudah ditangani oleh BPJS kesehatan. Seluruh peserta BPJS ketenagakerjaan secara otomatis akan ikut
kedalam BPJS kesehatan. Namun, BPJS ketenagakerjaan tetap dipercaya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi jaminan
kecelakaan kerja jkk, jaminan kematian jkm, jaminan pensiun jp serta jaminan hari tua jht.
Di Indonesia, khususnya Badan Penyelanggara Jaminan Sosial menjadi salah satu bentuk upaya perlindungan bagi tenaga kerja. Pada kenyataannya
berbagai program jaminan sosial yang dilaksanakan badan pelaksana jaminan sosial yang dibentuk oleh pemerintah juga belum mampu mencakup seluruh
pekerja apalagi seluruh penduduk di Indonesia. Disamping itu, program-program tersebut belum dapat memberikan perlindungan yang memadai dan adil sesuai
dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. Permasalahan pokok yang membuat banyaknya karyawan atau tenaga kerja tidak ikut kedalam salah satu
program jaminan sosial adalah kurangnya kesadaran pemilik perusahaan terhadap masa depan karyawannya. Padahal, karyawan atau buruh merupakan komponen
dalam perusahaan yang berperan penuh dalam menjamin kelangsungan operasional sebuah perusahaan.
Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha perlu diarahkan pada terciptanya kerjasama yang serasi yang dijiwai oleh pancasila dan Undang -
Undang Dasar 1945 dimana masing-masing pihak diharapkan dapat saling
Universitas Sumatera Utara
menghormati, saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta hak dan kewajibannya. Jika hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha dapat
berjalan dengan hamonis, maka dengan sendirinya dapat dipastikan kedua pihak antara karyawan dengan pengusaha dapat mencapai tujuannya masing-masing.
Disamping itu mengikutsertakan karyawannya di dalam suatu sistem jaminan sosial juga merupakan salah satu bentuk penghargaan yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap mereka. Para karyawan hanya akan bersedia dan mau memberikan waktu dan tenaganya pada suatu lingkungan kerja jika kebutuhannya
diperhatikan. Salah satu kebutuhan itu adalah jaminan sosial, dimana nantinya para karyawan dapat bekerja dengan aman dan sehat, artinya jauh dari ancaman-
ancaman bahaya yang dapat menimbulkan gangguan bagi karyawan tersebut. Selain itu, jaminan sosial juga erat kaitannya dengan jiwa, nyawa dan
badan. Bila jaminan sosial tidak diperhatikan maka hal ini merupakan kerugian bagi karyawan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Hal ini dikarenakan
jaminan sosial merupakan salah satu faktor terpenting bagi usaha jika menginginkan kemajuan serta kebutuhan karyawan. Jika karyawan yang bekerja
didalam suatu perusahaan sudah merasa aman dan tentram akhirnya mereka dapat bekerja dengan semangat sehingga hasil kerja menjadi lebih baik. Oleh karena itu
sangatlah penting perusahaan agar mengikutsertakan karyawannya dalam suatu program jaminan sosial melalui badan pelaksanana jaminan sosial.
Universitas Sumatera Utara
B. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial “BPJS” adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Demikian yang
disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial “Undang-Undang BPJS”. Dengan
Undang-Undang BPJS ini dibentuk 2 dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan
kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Sebelum membahas mengenai perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini dan yang merupakan tindak pidana dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, dalam tulisan ini akan membahas terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam bentuk pengertian dan penjelasan yang sangat
penting untuk diketahui oleh khalayak umum. Antara lain yaitu perihal peserta atau yang berhak mendapatkan program dari BPJS tercantum dalam Pasal 1 angka
4 Undang-Undang BPJS berbunyi : “Peserta adalah setiap orang, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat 6 enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.”
92
Mengenai suatu kewajiban dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang BPJS telah mengatur : “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
92
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.” Hal ini berarti bahwa ketentuan dalam Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 mempertegas kedudukan Pemberi Kerja ataupun suatu korporasi wajib Mengikutsertakan Pekerjanya ke dalam program BPJS baik Jaminan
Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua Maupun Jaminan Pensiun di BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal
3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial PP 862013
yaitu, Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara wajib :
93
a. mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara
bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya; dan b.
memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar.
Kemudian ketentuan mengenai Iuran yang sangat erat kaitannya dengan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS yaitu
Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, danatau Pemerintah.
94
93
Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap
Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial
94
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kemudian Pasal 1 angka 8 memberikan pengertian bahwa Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
Universitas Sumatera Utara
atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 1 angka 9 memberikan definisi mengenai Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lainnya. Artinya bahwa suatu Korporasi atau badan hukum termasuk klasifikasi dari klausul “Pemberi Kerja”.
Dalam melaksanakan fungsinya baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, BPJS bertugas untuk:
95
a. melakukan danatau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. membayarkan Manfaat danatau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan g.
memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mempunyai beberapa kewenangan antara lain untuk :
96
a. menagih pembayaran Iuran;
95
Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
96
Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan
jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan
Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar
pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang
tidak memenuhi kewajibannya; g.
melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial. Mengenai Hak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, diatur dalam Pasal
12, yaitu dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, BPJS berhak untuk:
Universitas Sumatera Utara
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang
bersumber dari Dana Jaminan Sosial danatau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program
Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 enam bulan. Ketentuan mengenai penjelasan diatas yaitu mengenai ketentuan-ketentuan
umum pengertian, hak, kewajiban, tugas, fungsi dan kewenangan dari BPJS sangat erat kaitannya dengan perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-
undang BPJS. Perbuatan-perbuatan yang merupakan kewajiban dan harus dilaksanakan oleh korporasi secara spesifik atau pemberi kerja secara umum
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, antara lain :
1. Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
2. Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
97
Artinya bahwa Pemberi pekerja selain penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta kepada
BPJS beserta para pekerjanya secara bertahap sesuai dengan program jaminan
97
Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
sosial yang diikutinya. Apabila ada yang tidak memenuhi kewajiban mendaftar akan dikenakan sanksi administratif. Pengenaan sanksi administratif kepada
perusahaan atau pemberi kerja ini dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.
Pemberi kerja selain penyelenggara Negara memiliki kewajiban sebagai berikut :
98
1. Mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara
bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya 2.
Memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar yang terdiri dari :
a. Data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan sesuai
dengan data pekerja yang dipekerjakan b.
Data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang diterima pekerja c.
Data kepesertaan dalam program jaminan sosial sesuai penahapan kepesertaan ; dan
d. Perubahan data ketenagakerjaan yaitu alamat perusahaankorporasi,
kepemilikan perusahaan, kepengurusan perusahaan, jenis badan usaha, jumlah pekerja, data pekerja dan keluarganya dan perubahan besarnya
upah setiap pekerja. Berkaitan dengan perbuatan yang harus dilaksanakan oleh pemberi kerja
atau korporasi, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak BPJS
98
Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta 2014, hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota mendapatkan informasi dan pernyataan dari Bapak Armada Kaban Selaku Kepala Bidang Pemasaran Penerima Upah
BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota yaitu “Contohnya PTPN 3 yang merupakan perusahaan besar di Indonesia selaku pemberi kerja sudah
mendaftarkan pekerjanya untuk mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan. Pihak PTPN 3 merasa rugi apabila tidak mendaftarkan para pekerjanya. Apabila ada
pekerja yang tidak terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan, maka perusahaan akan dikenakan sanksi administratif sesuai Undang-undang yang berlaku. PTPN 3
berkomitmen untuk selalu mendaftarkan pekerjanya di BPJS Ketenagakerjaan, sehingga sampai saat ini tidak ada satupun pekerja yang tidak terdaftar dalam
BPJS Ketenagakerjaan.”
99
Kemudian Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan atau ketentuan yang tidak boleh dilanggar dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Mengenai Pembayaran Iuran antara lain :
100
1. Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari
Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS. 2.
Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
99
Wawancara dengan Bapak Armada Kaban selaku Kepala Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota pada tanggal 30 Juni 2016
100
Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
3. Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran wajib
membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
4. Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran
kepada BPJS. Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat 1 atau ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu
miliar rupiah. Sementara itu jika dibandingkan dengan Undang-Undang No 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek, perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana atau yang melanggar ketentuan undang-
undang mengenai Jamsostek lebih kompleks dan beragam daripada Undang- Undang BPJS sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Jamsostek yaitu : “Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1; Pasal 10 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3; Pasal 18
ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5; Pasal 19 ayat 2; Pasal 22 ayat 1; dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 enam
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah.”
101
Kemudian dalam Undang-Undang BPJS juga belum ada pengaturan dan akibat hukumnya jika terjadi pengulangan tindak pidana, Sementara itu Undang-
101
Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Universitas Sumatera Utara
Undang Jamsostek mengatur hal demikian, yaitu “Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk kedua kalinya atau lebih,
setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 delapan bulan”. Kemudian juga
Tindak Pidana dalam Undang-Undang Jamsostek merupakan pelanggaran.
102
C. Penentuan Kesalahan Korporasi dalam Hukum Pidana dikaitkan dengan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
Perihal pengenaan sanksi administratif dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek diatur dalam pasal 30 yaitu “Dengan tidak
mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak
memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.
1. Konsep Kesalahan dan fungsinya
Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif
atau kesalahan tanpa dapat dicela. Akan tetapi dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut.
Karena itu asas kesalahan diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya. Asas kesalahan
102
Pasal 29 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Universitas Sumatera Utara
merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran
dalam hukum pidana.
103
Karena kesalahan merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, wajar bila Remmelink menyatakan bahwa :
104
Terkait dengan adagium tiada pidana tanpa kesalahan, E.Ph. Sutorious menyatakan bahwa, pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan selalu
hanya mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Ditinjau secara lebih mendalam, kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan
itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya. Perbuatan itu tidak hanya objektif tidak patut, tetapi juga dapat dicelakan kepadanya. Dapat
dicelakan itu bukanlah merupakan inti inti dari pengertian kesalahan, tetapi akibat Bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang
lain, sekadar karena orang itu melakukan tindak pidana, kecuali kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu,
dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi yang tidak terlalu abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai
makhluk yag memiliki akal budi serta sanggup dan mampu menaati norma-norma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai
jaminan kehidupannya. Karena itu kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku
pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.
103
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm. 99-100
104
Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia, Diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 142.
Universitas Sumatera Utara
dari kesalahan. Sebab hubungan antara perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa pencelaan, maka orang menamakan sebagai dapat dicela. Oleh karena
itu, asas tiada pidana tanpa kesalahan mempunyai arti bahwa agar dapat menjatuhkan pidana, tidak hanya disyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak
patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya.
105
Kesalahan psikologis adalah keadaan batin psychis yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan perbuatannya
sedemikian rupa, sehingga pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu.
Uraian dari E.Ph. Sutorius itu sesungguhnya memiliki substansi yang sama dengan yang dikemukakan Remmelink, yakni kesalahan terkait dengan perbuatan
pelaku yang tidak patut. Namun demikian, baik penjelasan Remmelink maupun Sutorious mengenai kesalahan pada dasarnya tidak memberikan arti dari
kesalahan itu sendiri. Lalu, apa makna kesalahan dalam hukum pidana? Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara beragam, tapi secara umum
pengertian yang dikemukakan mengarah pada dua macam, yaitu kesalahan psikologis dan kesalahan normatif.
106
105
E.Ph. Sutorious dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm. 100-101.
106
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008, hlm. 222.
Konsep kesalahan psikologis yang menitikberatkan pada keaddan batin tentu bersifat subjektif, dalam arti indikator keadaan batin
seseorang dengan keadaan batin orang lain tidak sama. Karena itulah, konsep kesalahan psikologis tidak banyak diikuti karena menimbulkan persoalan dalam
Universitas Sumatera Utara
praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan tindak pidana. Dalam KUHP yang berlaku saat ini,
tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan”. Oleh karena itu, praktek hukum sempat diliputi pertanyaan sekitar
apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam pelanggaran menyebabkan pembuatnya tetap dipidana, sekalipun tidak ada
salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan psikologis
untuk menjelaskan masalah kesalahan.
107
Persoalan itulah yang menyebabkan mengapa teori kesalahan normatif dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Menurut kesalahan
normatif, kesalahan diartikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak
ingin melakukan perbuatan tersebut.
108
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan
tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.
109
Dilihat dari fungsinya, kesalahan paling tidak memiliki empat fungsi. Pertama, ia membantu untuk membentuk kesalahan moral perbuatan pelaku.
107
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 73.
108
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana ; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 77.
109
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 169.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, fungsi kesalahan terkait dengan kebebasan. Disini terdapat tiga fungsi penting kesalahan. Pertama, kesalahan memiliki peranan penting dalam
mengartikulasikan da memberitahukan batasan kebebasan warga Negara. Secara lebih khusus, salah satu tujuan diadakannya kesalahan dalam hukum pidana
adalah untuk menjamin peringatan yang fair kepada para pelaku tindak pidana, dengan memastikan bahwa mereka memiliki pemahaman yag memadai, bahwa
tindakannya itu berisiko melanggar aturan-aturan hukum pidana. Kedua, kesalahan merupakan sarana penengah proses kriminalisasi, yaitu antara
perlindunga terhadap korban-korban potensial dan pelestarian kebebasan bagi pelaku-pelaku potensial. Ketiga, sering kali kesalahan membutuhkan standar yang
lebih keras untuk membangun konsep tanggung jawab pidana dan kesalahan. Sebagai contoh, mengapa kealpaan dan kadang-kadang bahkan kesembronoan
dikeluarkan dalam perbuatan-perbuatan tertentu dalam hukum pidana.
110
Ketiga, fungsi kesalahan adalah membentuk perilaku pelaku tindak pidana yang menurut sifatnya tercela secara moral. Tindak pidana harus merupakan
perbuatan yang tidak patut. Ia harus terdiri dari perilaku yang seyogianya tidak dilakukan oleh seseorang, yang dengannya pencelaan dan pidana secara potensial
tepat bila dijatuhkan kepada pelaku. Kita tidak menyalahkan orang-orang atas perbuatan baik yang mereka lakukan, tetapi kita menyalahkan mereka hanya pada
perbuatan-perbuatan yang secara moral tercela.
111
Keempat, kesalahan memfokuskan diri pada hubungan antara warga negara dengan negara. Selain memberikan jaminan bagi peringatan terkait
110
Winnie Chan dan A.P.Simester, “Four Functions of Mens Rea”, Cambridge Law Journal, 2011, hlm. 384.
111
Ibid., hlm. 385.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan-perbuatan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan., kesalahan juga menentukan ruang lingkup perbuatan-perbuatan yang dilarang khususnya bagi
tindak-tindak pidana tertentu di mana unsur kesalahan tidak diperlukan bagi terciptanya suatu delik.
112
2. Kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana
Ketika dijelaskan bahwa adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” merupakan asas yang sangat penting dan berpengaruh dalam hukum pidana, maka
terdapat dua hal penting yang perlu dikemukakan. Pertama, kita baru berbicara tentang kesalahan, manakala perbincangan tentang tindak pidana sudah selesai.
Artinya, ahli hukum pidana ataupun hakim baru bisa menlai kesalahan yang ada pada diri seseorang bila orang tersebut telah terbukti melakukan suatu perbuatan
yang dilarang. Hal ni karena pengertian kesalahan didalamnya tidak termasuk pengertian tindak pidana, kecuali kita mengikuti monisme, suatu teori yang
menggabungkan aspek perbuatan dan kesalahan pelaku ke dalam pengertian tindak pidana. Pengertian tindak pidana oleh simons sebagai “suara tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
112
Ibid., hlm. 393.
Universitas Sumatera Utara
dihukum”
113
Kedua, sanksi pidana punishment atau sanksi tindakan treatment hanya dapat dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang yang terbukti melakukan perbuatan
yang dilarang atau mengabaikan kewajiban hkum untuk betindak, jika pada diri orang tersebut terdapat kesalahan. Ini artinya, kesalahan menjadi syarat penentu
penjatuhan pidana. Penjatuhan pidana menjadi sah dan mendapatkan pembenaran secara teoritis bila pada orang yang dijatuhkan pidana tersebut terdapat kesalahan,
baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kealpaan. Dengan demikian, pada aspek yang kedua ini, adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” diartikan sebagai berikut:
hakim hanya sah menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika pada dirinya terdapat kesalahan serta tidak ada alasan yang memafkan kesalahannya itu
, pada dasarnya merupakan contoh dari tidak dipisahkannya aspek perbuatan pelaku dan kesalahan dirinya.
114
3. Kesengajaan dan Kealpaan
Wetboek vanstrafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang
115
. Sedangkan menurut memorie van toelichting kesengajaan sama dengan “willens en wetens” atau diketahui atau
dikehendaki.
116
113
P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ketiga, PT. Citab Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 185.
114
Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 145
115
D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta 1995, hlm. 87.
116
E. Utrecht, Hukum Pidana I, , Pustaka Tinta Emas, Surabaya, 1986, hlm. 300
Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud dengan willens en wetens adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
Universitas Sumatera Utara
sengaja harus menghendaki willen perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti weten akan akibat dari perbuatan itu.
117
Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana
terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeil” 1903 dan teori
membayangkan yang dikemukakan oleh Frank dalam “ Festcshrift Gieszen” 1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu tindakan dan
kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu
menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki satu tindakan,
manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan, atau membayangkan kemungkinan adanya suatu
akibat. Rumus frank berbunyi: “sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan
sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut”
118
Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai
maksud opzet als oogmerk, kesengajaan sebagai kemungkinan opzet bij
117
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian dua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 291.
118
Dwidja priyatno, kebijakan legislatif tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004, hlm. 44.
Universitas Sumatera Utara
mogelijkheidswustzijn, dan kesengajaan sebagai kepastian opzet bij noodzakelijkheids. Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsure willes en
wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya; arti maksud disini adalah maksud untuk menimbulkan akibat
tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat dari perbuatannya atau hal-hal
mana nanti akan turut serta memengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu tindak pidana.
Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagain suatu kemungkinan yang
pasti. Secara teoritis terdapat dua bentuk kesengajaan dolus yaitu dolus malus
dan dolus eventualis. Dolus malus hakikatnya merupakan inti dari bagungan dari teori pengetahuan voorstelling theorie dan teori kehendak wilsttheorie.
Menurut teori pengetahuan sesorang sudah dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pdana jika saat berbuat orang tersebut mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum
119
. Teori ini menitikberatkan pada saat melaukan tindak pidana
120
119
M. Abdul Kholiq, buku pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 133.
120
Sudarto, diktat hukum pidana jilid A-B, Fakultas Hukum Univesitas Diponogoro, Semarang, 1975, hlm. 16
. Sedangkan teori kehendak menyatakan, bahwa seseorang dianggap sengaja melakukan suatu tindak pidana
apabila orang itu menghendaki dilakukannya perbuatan itu. dalam konteks ini,
Universitas Sumatera Utara
kesengajaan merupakan kehendak yang darahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang
121
Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan demikian, karena pelaku yang bersangkutan pada waktu Ia melakukan perbuatan
untk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang
memang ia kehendaki. Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia katakana mempunyai kesengajaan
.
122
Van Bemmelan mengatakan bahwa yang dinamakan dolus ventualis adalah kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak
pernah lebih banyak dikehendaki kemungknan matinya orang lain itu misalnya. Seseorang yang menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat
dikatakan bahwa ia menghendaki supaya orang itu mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu perbatan dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat
menyebabkan matinya orang lain, hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu.
.
123
Berdasarkan uraian mengenai dolus eventualis di atas dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin
akan menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun, meskipun ia menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya
121
Moeljatno, Op. cit, hlm. 186
122
P.A.F Lamintang, Op. cit, hlm. 301
123
Leden Marpaung, Asas-teori-praktik Hukum Pidana, cet. kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
menjauhi perbuatan itu, melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan bahwa kalaupun akibat tertentu yang dilarang akan terjadi, ya apa
boleh buat. Dalam hubungan inilah, dolus eventualis juga disebut dengan inklauf nehmen theorie atau teori apa boleh buat.
124
Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk pada kata ‘kealpaan’, seperti recklessness, negligence, sembrono, dan teledor.
Adapun kealpaan, KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan culps, sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan kealpaan. Oleh karnanya, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk
membatasi apa itu kealpaan.
125
Simons mengatakan bahwa umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati
melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibatnya. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi
kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi apabila
seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mngetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku adalah
suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan.
126
124
Tongat, Op. cit, hlm. 247
125
Ibid., hlm. 276.
126
Leden Marpaung, Op. cit., hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliriuan dalam perbuatan
seseorang secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu. dengan pengertian demikian, maka di dalam kealpaan culpa terkandung makna
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat
positif, yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan dalam kealpaan sifat positif ini tidak
ditemukan.
127
4. Menentukan Kesalahan Korporasi
Dikarenakan korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara pengurusnya seperti yang telah dijelaskan pada beberapa pengertian
korporasi pada bab sebelumnya yaitu pada bagian tinjauan kepustakaan, baik berdasarkan teori pelaku fungsional maupun teori identifikasi, maka penentuan
kesalahan korporasi adalah dengan melihat apakah pengurus, yang bertindak untuk dan atas nama korporasi memiliki kesalahan. Jika jawabannya adalah iya,
maka korporasi dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang dilakukannya. Demikian juga sebaliknya. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa kesalahan
yang ada pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi itu sendiri.
128
127
Moeljatno, Op. cit. hlm. 217
128
Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun kesalahan pengurus korporasi dialihkan dan menjadi kesalahan korporasi, isi kesalahan tersebut berbeda dengan kesalahan pada subjek hukum
manusia. Dasar dari penetapan dipersalahkannya korporasi ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki korporasi. Dilihat
dari segi masyarakat korporasi telah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Indikator kesalahan bagi korporasi adalah bagaimana korporasi menjalankan
fungsi kemasyarakatannya itu. Fungsi kemasyarakatan itu termasuk tetapi tidak terbatas yntuk menghindari terjadinya tindak pidana. Dengan demikian, hukum
mengharapkan kepada korporasi untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan baik sehingga sejauh mungkin dapat menghindari terjadinya tindak
pidana. Dengan kata lain, selagi terbuka kemungkinan bagi korporasi untuk “dapat berbuat lain” selain melakukan tindak pidana, maka harapan tersebut harus
sejauh mungkin tercermin dari kebijakan dan pengoperasiannya. Terhadap korporasi penilaian adanya kesalahan ditentukan oleh bagaimana korporasi
memenuhi fungsi kemasyarakatannya, sehingga “dapat dicela” ketika suatu tindak pidana terjadi karenanya.
129
Dalam kepustakaan syarat kesalahan pada korporasi disebut dengan syarat kekuasaan machtsvereiste. Muladi mengatakan sebagai berikut :
130
Syarat kekuasaan mencakup : wewenang mengaturmenguasai danatau memerintah pihak yang dalam kenyataannya melakukan tindakan terlarang
tersebut; mampu melaksanakan kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan;
dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang.
129
Ibid., hlm. 153.
130
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 160-161.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Muladi, syarat kesalahan korporasi hanya berkenaan dengan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam
rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang.
131
Pada teori strict liability, eksistensi kesalahan korporasi tetap diperlukan walaupun tidak perlu dibuktikan. Premis utama teori strict liability, yakni liability
without fault tidak kemudian dimaknai bahwa pada teori tersebut kesalahan korporasi tidak perlu ada, tapi hendaknya pemaknaan teori tersebut lebih kepada
tidak perlunya pembuktian unsur kesalahan pada korporasi. Terbuktinya unsur tindak pidana sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada
korporasi, tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahannya, karena bila kesalahan tidak diperlukan, hal demikian sama saja dengan melabrak asas “tiada pidana tanpa
Hubungan antara kesalahan korporasi dan syarat-syaratnya dengan teori- teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi pembuktiannya yaitu terlihat
pada teori direct corporate criminal liability kesalahan pengurus korporasi yang bertindak untuk danatau atas nama korporasi mutlak diperlukan dan harus
dibuktikan. Walaupun pengurus tersebut terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang pada dirinya harus juga dibuktikan adanya kesalahan, sehingga pidana
yag dijatuhkan baik kepada pengurus maupun kepada korporasi memiliki justifikasi teoritis yang memadai. Dengan kata lain, perlu dibuktikan tidak hanya
bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana, tapi juga terdapat kesalahan pada dirinya, dimana kesalahan tersebut secara otomatis menjadi kesalahan korporasi.
131
Chairul Huda, Op.cit., hlm. 101-102.
Universitas Sumatera Utara
kesalahan”. Cella Wells sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie menyatakan sebagai berikut :
132
Kemudian perihal perbuatannya, menurut penulis bahwa Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan
menyetorkannya kepada BPJS. dan Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS. Jika pemberi
kerja tidak melakukan hal sebagaimana tersebut diatas baik secara sengaja maupun lalai dolus atau culpa maka Pemberi kerja atau korporasi telah
melakukan Kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana. Namun perihal unsur- unsur secara definitif perbuatan pidana dan kesalahan perumusannya tidak ada
“…..that a culpability elemen such as intention, recklessness, or negligence need not to be proved.”
Kaitan antara penentuan kesalahan suatu korporasi dengan tindak pidana dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2011 yaitu perihal subjek dan perbuatan.
Perihal Subjek bahwa Korporasi itu merupakan badan hukum, dan badan hukum merupakan bagian atau termasuk kedalam kategori “Pemberi Kerja” yang diatur
dalam Ketentuan Umum dalam Undang-Undang BPJS. Artinya bahwa Korporasi merupakan Subjek yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang
dilakukannya ketika melanggar ketentuan dalam Undang-Undang BPJS dan dalam hal ini direksi dari korporasiperusahaan yang melanggar ketentuan
Undang-Undang BPJS yang akan mewakili korporasi dalam hal terjadinya tindak pidana dalam proses persidangan di pengadilan.
132
Mahrus Ali, Op .cit., hlm. 155.
Universitas Sumatera Utara
diatur secara lebih teknis dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, untuk itu perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah maupun
peraturan dibawahnya.
D. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melanggar ketentuan Undang-Undang N0. 24 Tahun 2011
Terlaksananya 5 lima program jaminan sosial dalam sistem jaminan sosial nasional diharapkan dapat menjangkau kepesertaan secara luas dan
berkesinambungan, sehingga seluruh penduduk dapat terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Untuk ditaatinya ketentuan yang mengatur program
jaminan sosial dalam penyelenggaraan jaminan sosial oleh pemberi kerja atau korporasi selain penyelenggara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja
dan penerima bantuan iuran, berdasarkan pasal 17 ayat 5 Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menentukan bahwa
pemberi kerja selain penyelenggara Negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pasal dalam pasal 16 dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, denda,
danatau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Pengenaan sanksi administratif ini dimaksudkan agar pemberi kerja atau korporasi menaati
Universitas Sumatera Utara
kewajibannya agar hak-hak pekerja terlindungi dalam kepesertaan program jaminan sosial.
133
Sebelum membahas mengenai sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, terlebih
dahulu penulis membahas mengenai ketentuan sanksi administratif dalam undang- undang ini. Pengenaan sanksi administratif ini dapat dikenakan kepada pemberi
kerja selain penyelenggara Negara yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjannya serta tidak memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota
keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
134
Pemberi kerja selain penyelenggara Negara memiliki kewajiban sebagai berikut :
135
1. Mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara
bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya 2.
Memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar yang terdiri dari :
a. Data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan sesuai
dengan data pekerja yang dipekerjakan b.
Data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang diterima pekerja c.
Data kepesertaan dalam program jaminan sosial sesuai penahapan kepesertaan ; dan
133
Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta 2014, hlm 77-78
134
Pasal 17 ayat 1 jo Pasal 15 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
135
Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia, Jakarta 2014, hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
d. Perubahan data ketenagakerjaan yaitu alamat perusahaankorporasi,
kepemilikan perusahaan, kepengurusan perusahaan, jenis badan usaha, jumlah pekerja, data pekerja dan keluarganya dan perubahan besarnya
upah setiap pekerja. Perubahan data tersebut dilaporkan oleh pemberi kerja selain
penyelenggara Negara kepada BPJS paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak terjadinya perubahan.
Pemberi kerja termasuk Korporasi selain penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban di atas, dikenakan sanksi administratif.
136
Kemudian perihal sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial termuat dalam pasal 54 dan
55 undang-und ang ini. Dalam Pasal 54 memuat ketentuan pidana, tapi dalam hal ini sanksi pidana pada pasal ini dijatuhkan pada Dewan Pengawas atau anggota
Direksi BPJS, yaitu : “Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g,
huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun dan pidana denda paling banyak
Sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada pemberi kerja atau korporasi dapat
berupa: a. teguran tertulis;
b. denda; danatau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
136
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah”. Larangan yang dimaksud sehingga dapat dipidananya Dewan Pengawas atau anggota Direksi BPJS antara lain :
137
a. Menghilangkan
atau tidak
memasukkan atau
menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan,
dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS danatau Dana Jaminan Sosial;
b. menyalahgunakan danatau menggelapkan aset BPJS danatau Dana
Jaminan Sosial; melakukan subsidi silang antarprogram; c.
menempatkan investasi aset BPJS danatau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;
d. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu danatau investasi
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial; e.
membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, atau laporan transaksi BPJS danatau Dana Jaminan Sosial; danatau
f. mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus
atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS danatau Dana Jaminan
Sosial.
137
Pasal 54 jo Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan bunyi pasal pidana bagi Korporasi atau Pemberi kerja yang lalai membayar iuran dan tidak menyetor iuran ke BPJS tercantum di BAB XV
Ketentuan Pidana dalam Pasal 55, yaitu : “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1 atau ayat 2 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah”.
138
Perbuatan bagi pemberi kerja termasuk Korporasi yang merupakan tindak pidana dan dapat dikenakan sanksi
pidana yaitu denda dan penjara antara lain :
139
a. Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari
Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS. b.
Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
Untuk dapat menerapkan sanksi terkait tindak pidana atau pelanggaran terhadap Undang-Undang BPJS yang dapat dilakukan oleh BPJS antara lain :
140
a. Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program Jaminan
Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah. b.
Dalam menjalankan tugasnya, BPJS dapat bekerja sama dengan organisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri.
138
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
139
Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
140
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Artinya bahwa dalam rangka penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, BPJS dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintah seperti Pemerintah Daerah, pihak Kejaksaan ataupun lembaga lain
baik di dalam maupun di luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN