Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi di BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota)

(1)

(2)

PEDOMAN WAWANCARA

Judul Penelitian/Skripsi : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi di BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota)

Nama Instansi : BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota Alamat Instansi : Jalan Pattimura No. Medan Baru Medan Nama Informan/Narasumber : Armada Kaban

Jabatan Informan/Narasumber: Kepala Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota

Hari/ tanggal wawancara : Kamis/ 30 Juni 2016

Tempat : Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota

Dalam upaya memperoleh data, penelitian ini menggunakan wawancara sebagai metode utama untuk melakukan pengkajian data secara mendalam. Berikut ini merupakan pedoman wawancara yang nantinya akan dilakukan analisis data. Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Dalam hal ini, analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. Dengan demikian maka setelah data primer dan data sekunder berupa dokumen diperoleh lengkap, selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Pembahasan mengenai wawancara ini berkaitan dengan :


(3)

2. Perbuatan yang melanggar ketentuan UU BPJS oleh Pemberi kerja/ Korporasi

3. Sanksi dalam UU BPJS

4. Mekanisme/proses penerapan sanksi 5. Kendala penerapan sanksi

6. Upaya yang dapat dilakukan untuk menerapkan sanksi

Contoh Pertanyaan yang akan muncul :

Jika dipersentasekan, berapa persen pemberi kerja/korporasi yang telah mendaftarkan tenaga kerjanya di BPJS Ketenagakerjaan cabang Medan Kota? Bagaimana cara yang BPJS Ketenagakerjaan lakukan untuk dapat menghimpun kepesertaan dibawah naungan Pemberi kerja/korporasi di Kota Medan

Bagaimana menurut pandangan bapak/ibu dalam Undang-Undang BPJS ada memuat ketentuan Pidana terhadap pemberi kerja/Korporasi?

Apa-apa saja sebenarnya perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kerja/korporasi dalam kaitannya dengan UU BPJS?

Bagaimana Mekanisme/proses penerapan sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana Terhadap Korporasi/Pemberi kerja yang melanggar ketentuan dalam UU BPJS?

Apakah ada aturan pelaksanaan mengenai pengenaan sanksi terhadap pemberi kerja baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun peraturan internal dari BPJS Ketenagakerjaan itu sendiri?

Apakah sanksi terhadap korporasi/pemberi kerja telah berjalan?

Apakah ada contoh kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kerja/korporasi?

Apa kendala yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan dalam menerapkan sanksi tersebut?

Apa pula Upaya yang telah atau dapat dilakukan untuk dapat menerapkan sanksi tersebut?


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abidin, Andi Zainal, 1983, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika : Jakarta

Abidin, Andi Zainal, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita : Jakarta

Ali, Mahrus, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta

Ali, Zainudin, 2009, Metode penelitian hukum, Sinar grafika : Jakarta

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo : Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Group : Jakarta

Arief, Barda Nawawi dalam Mudzakkir, dkk, 2010, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Badan Pembinaan Hukum Nasional

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia : Jakarta

Asikin, Zainal (dkk), 2008, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Chandrawulan An An, 2011 Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisme Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, PT. Alumni : Bandung

D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E. Sahetapy, Liberty : Yogyakarta

Eka Putri, Asih, 2004, Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional, CV Komunitas Pejaten Mediatama : Jakarta

Eka Putri, Asih, 2014, Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, CV Komunitas Pejaten Mediatama : Jakarta


(5)

Hamzah, Andi, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta Hanafi, 1999, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum,

Vol. 6 No. 11

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad 20, Alumni : Bandung

Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana : Jakarta

Huda, Chairul, 2008, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Prenada Media Grup : Jakarta

Kahan, Dan M. “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence”, Virginia Law Review

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991, Edisi Kedua, Balai Pustaka : Jakarta

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Bagian Satu dan Bagian dua, Balai Lektur Mahasiswa : Jakarta

Kertonegoro, Sentanoe, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Mutiara : Jakarta

Kholiq, M. Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti : Bandung

Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional di Semarang tanggal 28- 30 Agustus 1980 dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Citra Aditya Bakti : Bandung

Luthan, Salman, 2007, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia : Jakarta

Malikoel Adil, Soetan K, 1995, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan : Jakarta


(6)

Marpaung, Leden, 2005, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, cet.kedua, Sinar Grafika : Jakarta

Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, cet. Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta : Jakarta

Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center : Jakarta

Prasetyo, Rudi, 1989, “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP : Semarang

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Priyatno, Dwidja dan Muladi, 1991, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana, STIH : Bandung

Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo : Bandung

Priyatno, Dwidja dan Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Kedua, Prenada Media : Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Cet. Pertama, Refika Aditama : Bandung

Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco : Bandung

Remmelink, 2003, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono, PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Rys, Vladimir, 2011, Merumus ulang Jaminan Sosial Kembali ke Prinsip-Prinsip Dasar, PT Pustaka Alvabet : Jakarta

Saleh, Roeslan, 1981, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru : Jakarta


(7)

Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru : Jakarta

Sembiring, Sentosa, 2006 Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Asuransi Jaminan Sosial, Nuansa Aulia : Bandung

Sianturi, S.R, 1986, Asas - Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni : Jakarta

Singarimbun, Masri, 1989, Metode Penelitian Survey, LP3ES : Jakarta Situmorang, Chazali H, 2013, Reformasi Jaminan Sosial Di Indonesia

Transformasi BPJS : ”Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”, Cinta Indonesia : Depok

Sudarto, Diktat Hukum Pidana jilid A-B, Fakultas Hukum Univesitas Diponogoro : Semarang

Soedarsono, Teguh, 2010, “Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, Jurnal Hukum LPSK : Jakarta

Soepomo, Imam, 2003, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan : Jakarta Soesilo, R, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Kedelapan, Politea : Bogor

Spicker, Paul, 2000, The Walfare State, Sage Publications : London

Sunggono, Bambang, 2009. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Sjahdeini, Sutan Remy, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers : Jakarta

Tim Redaksi Pustaka Yustisia, 2012, Koalisi Perundangan Tentang Jaminan Sosial, Pustaka Yustisia : Yogyakarta

Tim Visi Yustisia, 2014, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visimedia : Jakarta

Tongat, 2008, Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press : Malang


(8)

Winnie Chan dan A.P.Simester, 2011, “Four Functions of Mens Rea”, Cambridge Law Journal

Yunara, Edi, 2005, Korupsi dan pertanggungjawaban pidana korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti : Bandung

Zaeni, Ashyhadie, 2013, Aspek-aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Rajawali Pers : Jakarta

B. Undang-Undang

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)

Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)

Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256 Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi

Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial

Staatsregeling No. 1 Tahun 1934 (Peraturan Pemerintah Hindia Belanda No. 1 Tahun 1934) tentang Jaminan Kesehatan

Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 007/PUU- III/2005

C. Situs Internet


(9)

Ridwan Max Sijabat, "Askes, Jamsostek asked to prepare transformation". The Jakarta Post

http://www.jamsosindonesia.com/identitas/jaminan_sosial_karya_besar_abad_ked uapuluh


(10)

BAB III

MEKANISME PENERAPAN SANKSI TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG – UNDANG NO. 24

TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

D. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011

Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Di dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus

dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens

rea).141

Uraian tersebut menunjukkan bahwa konsep tindak pidana hanya menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana, maka kajian pertanggungjawaban pidana berada di luar kajian tindak pidana walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Seseorang yang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang tidak secara serta merta orang tersebut akan dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan, karena hal tersebut bergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut

141 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No.


(11)

termasuk dalam kategori orang yang memiliki kesalahan atau tidak. Apabila orang tersebut memiliki kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.142

Elliot dan Quinn mengemukakan beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan tanggung jawab pidana kepada korporasi, sebagai berikut :143

1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan.

2. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah menuntut suatu perusahaan daripada pegawai-pegawainya.

3. Dalam suatu tindak pidana yang serius, perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai perusahaan tersebut.

4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. 5. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan

usaha yang illegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya memikul sanksi atas tindak pidana yang dilakukan, bukan pegawai perusahaan itu.

142 Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru,

Jakarta, 1983, hlm. 75.

143

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta 2006, hlm. 55-56.


(12)

6. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan para pegawainya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung agar pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan kegiatan usaha yang illegal, misalnya apabila suatu perusahaan pengangkutan menentukan para pengemudinya untuk menyelesaikan tugasnya dalam batas waktu tertentu, maka para pengemudi itu terpaksa harus mengebut agar dapat memenuhi batas waktu yang ditentukan itu. Dalam situasi ini, pembebanan tanggung jawab pidana kepada korporasi akan merupakan cara untuk memastikan bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggungjawabnya. Ketika pengemudi yang bersangkutan dituntut karena telah mengebut.

7. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang illegal, dimana hal itu tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya.

Agar korporasi bisa memiliki kemampuan bertanggung jawab, maka terdapat 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ukuran untuk menentukan bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi harus didasarkan pada teori pelaku fungsional (functioneel daaderschap) atau teori identifikasi. Sebab, Korporasi hanya bisa melakukan perbuatan tertentu termasuk melakukan tindak pidana melalui perantara pengurusnya. Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, maka korporasi juga memiliki kemampuan bertanggungjawab atas


(13)

tindak pidana yang dilakukan. Hal ini karena eksistensi korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan atau aktivitas pencapaian tujuannya selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Oleh karena itu, kemampuan bertanggungjawab yang ada pada pengurus korporasi dilimpahkan menjadi kemampuan bertanggungjawab dari korporasi sebagai subjek hukum pidana.144

Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada 3 (tiga) sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :

145

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggungjawab;

2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggungjawab; dan 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon), sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem ini masih menerima asas

144 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2015, hlm. 132

145 Mardjono Reksodiputro dalam Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT


(14)

universitas delinguere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan tindak

pidana).146

Sistem pertanggungjawaban pidana yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), tapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi). Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin korporasi secara sungguh-sungguh. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi bisa menjadi pembuat tindak pidana, tapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.147

Sistem pertanggungjawaban pidana yang ketiga merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang bisa dipakai sebagai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah karena dalam berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan haya memidana para

146 Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 133.

147 Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cet. Ketiga, Bayumedia Publishing, Malang, 2005,


(15)

pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan.148

Menurut Muladi dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, disamping manusia alamiah (natuurlijk person). Jadi, penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daaderschap).149

Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

150

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab

4. Tidak ada alasan pemaaf.

Dalam hal ini jika syarat dapat dipertanggungjawabkannya tindak pidana oleh korporasi dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, maka Pertama, berkaitan dengan adanya suatu tindak pidana yang

148 Di Belanda, Negara di mana KUHP yang saat ini di Indonesia masih diberlakukan

berasal darinya, pada tahun 1976 telah menerima badan hukum (rechts persoon) sebagai subjek hukum pidana selain manusia (natuurlijk persoon).

149 Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 135.


(16)

dilakukan pembuat dalam Undang-Undang BPJS ini Tindak Pidananya yaitu Pemberi kerja termasuk korporasi sesuai dengan pasal 55 jo Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) melanggar ketentuan “Wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS” atau “Wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS”. Artinya bahwa ketentuan dalam pasal 55 jo Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) tidak boleh dilanggar, jika dilanggar maka itu merupakan suatu tindak pidana.

Kedua, Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dalam artian ketika suatu tindak pidana sudah dirumuskan dan sudah ada pengaturannya seperti tersebut diatas, maka kita baru berbicara tentang kesalahan, baik secara sengaja maupun karena kealpaan manakala perbincangan tentang tindak pidana sudah selesai. Artinya bahwa hakim atau ahli hukum pidana baru bisa menilai kesalahan yang ada pada diri seseorang bila orang tersebut telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang BPJS.

Ketiga, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab yaitu dalam Undang-Undang BPJS yang mampu bertanggung jawab adalah pemberi kerja. Pemberi Kerja ini sesuai klausul pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara Negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya”. Artinya bahwa “Badan Hukum” (Recht Persoon) termasuk Pemberi Kerja dan Korporasi merupakan Badan Hukum. Badan hukum merupakan Subjek Hukum yang mampu bertanggung jawab.


(17)

Keempat, tidak adanya alasan pemaaf yang pada dasarnya berhubungan erat dengan pembuat tindak pidana. Dalam situasi tertentu, sekalipun pembuat suatu tindak pidana dapat dicela, tetapi celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu.151

a. 1 (satu) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan; dan

Namun ada beberapa kelemahan ataupun kekurangan terkait konsep dalam Undang-Undang 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini yaitu belum adanya Konsep penyertaan korporasi jika korporasi tersebut melakukan tindak pidana, belum adanya pengaturan dan penjelasan lebih lanjut serta unsur-unsur dan klasifikasi mengenai perbuatan pidana bagi korporasi dalam hal memungut iuran dan menyetor iuran yang seperti apa yang dapat dipidana, Kemudian dalam Undang-Undang BPJS juga belum ada pengaturan dan akibat hukumnya jika terjadi pengulangan tindak pidana, belum ada juga dalam undang-undang ini klasifikasi tindak pidana merupakan pelanggaran atau kejahatan, juga belum adanya pengaturan yang lebih teknis dalam peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang berkaitan dengan mekanisme atau cara penerapan sanksi pidana. Padahal sesuai dengan pasal 70 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini (BPJS) harus ditetapkan paling lama :


(18)

b. 2 (dua) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan

Terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.”

Tapi kenyataan sampai saat ini perihal peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang BPJS belum terealisasi.

Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal yang sangat berperan dalam kerangka kebijakan sosial. Kebijakan sosial (social policy) mencakup upaya kesejahteraan sosial (sosial welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social defence policy)152 Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) harus

memenuhi unsur : kebijakan legislatif (tahap formulasi), kebijakan yudikatif (tahap aplikasi), dan kebijakan eksekutif (tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana).153

Kebijakan legislasi merupakan tahap paling strategis dari penal policy karena kelemahan kebijakan legislasi dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan154 pada tahap aplikasi dan eksekusi.155

152

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2007, hlm.78-79.

153

Teguh Soedarsono, “Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, Jurnal Hukum LPSK, Jakarta, 2010, hlm. 63.

154

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 2-3.

155

Barda Nawawi Arief dalam Mudzakkir, dkk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010, hlm. 11.

Kebijakan legislasi mencakup upaya memberantas dan menanggulangi kejahatan dalam rangka social


(19)

defence.156 Upaya ini harus dilandasi nilai-nilai kehidupan kebangsaan yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan tuntutan zaman (reformasi hukum).157

Penentuan tanggung jawab pidana korporasi dalam sejumlah undang-undang pidana khusus dan undang-undang-undang-undang pidana administrasi hanya terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana, sedangkan mengenai teori pertanggungjawaban pidana dan penentuan kesalahan korporasi tidak diatur dalam undang-undang tersebut.

Lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga merupakan kebijakan legislasi dalam hal perangkat aturan untuk menjamin setiap orang akan haknya untuk mendapatkan jaminan sosial, termasuk juga didalamnya menyangkut ketentuan mengenai Pemberi kerja atau suatu Korporasi.

158

E. Mekanisme/proses penerapan sanksi dan pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran dan tindak pidana berdasarkan Undang - Undang No. 24 Tahun 2011

Pidana/pemidanaan hanya dapat dijatuhkan setelah pelaku, berdasarkan proses pembuktian di sidang pengadilan, terbukti melakukan perbuatan yang dilarang dan ia sendiri merupakan orang yang bersalah. Dengan konsepsi teoritis

156

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 21.

157

Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional di Semarang tanggal 28-30 Agustus 1980 dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 78.

158


(20)

ini, maka Negara hanya memiliki legitimasi untuk menjatuhkan pidana bila dua hal tersebut terbukti ada pada diri pelaku.159

Salah satu teori pemidanaan yaitu teori pencegahan. Dasar Teori pencegahan/ penangkalan adalah bahwa manusia (subjek hukum) selalu rasional dan selalu berpikir sebelum bertindak dalam rangka mengambil manfaat maksimal yang rasional, yang berarti bahwa prospek untung dan rugi ditimbang dengan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan secara kualitatif. Tiap-tiap individu memilih apakah melakukan tindak pidana ataukah tidak melakukan tindak pidana. Bila individu tersebut memilih melakukan suatu tindak pidana, maka menurut Daniel Kessler and Steven D. Levitt. Stanford pidana dijatuhkan kepada orang tersebut, dengan syarat pelakunya ditangkap. Bahkan, para pegawai.160

Karena pelaku kejahatan adalah makhluk rasional, maka untuk mencegah perilaku jahat tersebut adalah dengan membuat suatu sistem agar pelaku takut pada hukuman. Hukuman untuk penjahat tertentu, atau penangkalan khusus, mungkin berkaitan dengan pembatasan-pembatasan fisik atau inkapasitasi, seperti pengurungan, penjara dan sebagainya, tapi pencegahan juga berasumsi bahwa manusia mungkin dapat dicegah dari memilih untuk ikut serta dalam tindak pidana.161

Menurut Dan M. Kahan masyarakat seyogianya memidana (pelaku) jika tujuannya adalah untuk menciptakan maksimalisasi kesejahteraan sosial. Petunjuk

159 Ibid., hlm. 231.

160 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 243.

161 Salman Luthan, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan,


(21)

ini memunculkan sejumlah aksioma-aksioma praktis; pidana yang diharapkan harus melebihi keuntungan yang diharapkan diperoleh dari tindak pidana agar mampu mencegahnya; masyarakat seyogianya meningkatkan kerasnya pidana sampai pada level dimana biaya pidana tambahan sama dengan keuntungan pelaku kejahatan. Teori Pencegahan menilai efisiensi suatu pidana dilihat dari kontribusinya terhadap terciptanya pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum bermakna bahwa memidana suatu (pelaku) tindak pidana tertentu akan menjadi contoh bagi pelaku-pelaku potensial, sehingga mereka akan memikirkan kebaikan dan keburukan ketika melakukan tindak pidana serupa di kemudian hari. Sedangkan pencegahan khusus bermakna bahwa pelaku adalah seorang aktor rasional yang menimbang antara biaya dan keuntungan ketika melakukan kejahatan, dan penjatuhan pidana yang menderitakan akan membuatnya berpikir tentang biaya yang harus dikeluarkan bila ternyata melakukan kejahatan.162

162 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 245-246.

Teori pencegahan ini sangat sesuai dengan teori pemidanaan yang digunakan atau diterapkan bagi korporasi. Alasan teori pencegahan (deterrence) digunakan karena berkaitan dengan beberapa penjelasan sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu bahwa motivasi atau orientasi korporasi ketika melakukan tindak pidana didasarkan kepada motivasi ekonomis atau orientasi untung rugi. Jarang ditemukan motivasi korporasi ketika melakukan kejahatan, apa pun jenisnya, didasarkan pada motif selain untung rugi.


(22)

Secara teoritis, asumsi dasar teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berfikir secara rasional dengan tujuan utama adalah untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan (maximizing the

excepted utility).163 Dengan asumsi yag demikian, korporasi jelas merupakan

“makhluk” yang rasional ekonomis yang menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan yang akan didapat. Manakala keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana.164 Ongkos ini meliputi waktu yang diperlukan baik sebelum atau pada saat melakukan kejahatan, biaya untuk membeli alat, kemungkinan (pengurus korporasi) ditangkap, ditahan, ongkos pidana, mata pencaharian (bisnis) yang hilang jika ditangkap, dan lain sebagainya. Sementara, keuntungan berupa keuntungan yang berbentuk fisik seperti harta atau kekayaan, dan keuntungan yang berbentuk psikis seperti prestige, dan lain-lain.165

Sebelum membahas mengenai mekanisme atau proses penerapan sanksi pidana, terlebih dahulu penulis akan membahas mengenai proses penerapan sanksi dengan instrumen administratif. Perbuatan yang dapat dikenakan sanksi Implikasi dari konsep rasionalitas ketika melakukan tindak pidana, maka sanksi pidana yang dijatuhkan kepada korporasi harus melebihi seriusitas tindak pidana.

163 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 264. 164 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 264-265. 165

Dan M. Kahan, “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence”, Virginia Law Review, No. 83, hlm. 349.


(23)

administratif jika melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial antara lain :166

1. Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.

2. Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

3. Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti 4. Setiap orang wajib memberikan data mengenai dirinya dan anggota

keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan seperti tersebut diatas dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif sebagaimana dapat berupa teguran tertulis, denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

Berkaitan dengan Mekanisme atau tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86

166

Pasal 17 ayat (1) dan (2) jo Pasal 15 ayat (1), (2) dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


(24)

Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Adapun sanksi administratif sebagaimana dimaksud adalah:167 1. Teguran Tertulis

Sanksi teguran tertulis diberikan paling banyak 2 ( dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dikenai oleh BPJS.

2. Denda

a. Sanksi denda diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak berakhirnya pengenaan sanksi teguran tertulis kedua berakhir.

b. Sanksi denda dikenai oleh BPJS dan menjadi pendapatan lain dana jaminan sosial.

3. Tidak mendapat pelayanan publik tertentu

a. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota atas permintaan BPJS. BPJS dalam meminta pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu berkoordinasi dengan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

167 Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS


(25)

b. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara seperti perizinan terkait usaha atau izin mendirikan bangunan.

c. Sanksi tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, dan pekerja yang memenuhi persyaratan kepersertaan dalam program jaminan sosial seperti surat izin mengemudi dan paspor.

Kemudian juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif lebih lanjut yaitu Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada :168

a. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mempersyaratkan kepada mereka untuk melengkapi identitas kepesertaan jaminan sosial dalam mendapat pelayanan publik tertentu; dan

b. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan

168

Pasal 8 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial


(26)

setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat surat permohonan pengenaan sanksi dari BPJS.

Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara meliputi :169

a. perizinan terkait usaha;

b. izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; c. izin memperkerjakan tenaga kerja asing;

d. izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau e. izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi:Izin Mendirikan Bangunan (IMB) :170

a. Surat Izin Mengemudi (SIM); b. sertifikat tanah;

c. paspor; atau

d. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

169

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial

170

Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial


(27)

Pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh unit pelayanan publik pada instansi Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota.171

Kemudian Perihal Tata Cara Pengenaan Sanksi Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013, antara lain :172

1. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam peraturan pemerintah ini berkaitan dengan pemberi kerja atau korporasi yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjanya serta tidak memberikan data diri dan pekerja kepada BPJS dikenai teguran tertulis pertama untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari oleh BPJS.

2. Apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu 10 (sepuluh) hari sanksi teguran tertulis pertama Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada poin 1 (satu) tidak melaksanakan kewajibannya, BPJS mengenakan sanksi teguran tertulis kedua untuk jangka waktu 10 (sepuluh) hari.

171

Pasal 9 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial

172

Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial


(28)

3. Sanksi denda dikenakan apabila setelah pengenaan sanksi teguran tertulis kedua berakhir Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara tidak melaksanakan kewajibannya.

4. Denda dikenakan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) setiap bulan dari iuran yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak teguran tertulis kedua berakhir.

5. Denda disetorkan kepada BPJS bersamaan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.

6. Apabila sanksi berupa denda tidak disetor lunas, Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dikenai sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

7. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dicabut apabila :

a. denda telah disetor secara lunas kepada BPJS dan telah mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar kewajiban; atau

b. telah memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar kewajiban. 8. Bukti lunas pembayaran denda, pendaftaran kepesertaan, dan bukti

pemberian data kepesertaan yang lengkap dan benar dijadikan sebagai dasar pencabutan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu.


(29)

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap narasumber Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota dan Ibu Isra selaku Petugas Pengawas dan Pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota Berkaitan dengan Mekanisme atau proses penerapan sanksi dan pemidanaan yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu Mekanisme penerapan sanksi terhadap korporasi/pemberi kerja baik secara administratif maupun sanksi pidana belum berjalan. Dalam pengertiannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 sanksi administratif diberikan bagi perusahaan yang tidak atau belum mendaftarkan pekerjanya ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan maka dalam proses yang sudah dilakukan beberapa kali seperti imbauan dan teguran dan perusahaan tetap bandel atau tetap tidak merespon hal tersebut maka dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah untuk perusahaan yang bandel itu tidak mendapatkan izin usaha, tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu seperti Surat Izin Mengemudi (SIM), dan tidak dapat mengurus Kartu tanda penduduk pada instansi yang bersangkutan bahkan hukuman terberat dari sanksi administratif perusahaan/korporasi tersebut bisa ditutup. Tapi peran BPJS Ketenagakerjaan masih sebatas merekomendasikan, sedangkan yang melaksanakan hal itu adalah Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara itu untuk Memory Of Understanding (MOU), kesepakatan dan kemitraan memang sudah ada, jika di kantor pusat itu sudah ada kerjasama atau


(30)

MOU dengan pihak Kejaksaan dalam hal ini dengan Jaksa Agung, di tingkat provinsi dengan Kejaksaan Tinggi, dan ditingkat cabang sudah ada kerjasama dengan Kejaksaan Negeri. Proses untuk itu sudah dikerjakan tapi sifatnya masih sampai tahap mediasi, artinya ada perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait BPJS, kemudian dipanggil (dengan surat panggilan) tapi sifatnya masih sebatas mediasi, pemberian sanksi belum dapat dilakukan atau diterapkan. Kemudian juga perihal penerapan sanksi berkaita dengan perbuatan yang melanggar ketentuan undang-undang ini klasifikasinya ada 2, artinya perusahaan yang sudah mendaftar dan belum mendaftar. Jika yang belum mendaftar, tidak ada turunan juknisnya untuk memberikan sanksi 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Akan tetapi bagi perusahaan yang sudah mendaftar tapi tidak menyetor dan membayar iuran di BPJS Ketenagakerjaan itu yang akan diberikan sanksi. Dan perusahaan yang tidak mendaftar akan direkomendasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada Pemerintah Daerah untuk diberikan sanksi administratif, sementara yang dapat dikenakan sanksi pidana hanya perusahaan korporasi yang telah terdaftar tapi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dan BPJS Ketenagakerjaan akan merekomendasikan hal tersebut kepada pihak kejaksaan atas ketidakpatuhan pihak korporasi/perusahaan.

Indikasi bagi perusahaan yang tidak membayar atau tidak menyetor iuran di BPJS Ketenagakerjaan yaitu tidak membayar iuran pada tanggal 15 (lima belas) di bulan berikutnya. Bicara tentang bayar atau tidak membayar iuran itu tidak pendekatan hukum tapi cash flow management nya perusahaan, ada memang


(31)

perusahaan yang mampu membayar dan ada juga yang tidak mampu membayar karena kondisi keuangan perusahaannya yang tidak baik.

Cara atau prosesnya agar BPJS Ketenagakerjaan mengetahui perusahaan itu tidak membayar atau menyetor iuran maupun perusahaan yang tidak membayar yaitu untuk perusahaan yang telah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan bagian Relationship Officer (RO) di BPJS Ketenagakerjaan diberikan tanggung jawab untuk membina perusahaan, di monitoring pekerjaan bulanan selalu di check apakah memang seluruh perusahaan itu sudah membayar atau tidak, perusahaan yang belum membayar itu akan disurati dan diberi surat peringatan pertama dan kedua, jika perusahaan yang telah diberi peringatan kedua tapi belum juga melaksanakan kewajibannya maka dilakukan pemanggilan yang diserahkan ke kejaksaan melalui surat kuasa khusus dan surat kuasa khusus itu akan memberikan hak kepada Kejaksaan Negeri (dalam hal ini kantor Cabang) dalam hal sebagai jaksa pengacara Negara. Fungsi sebagai Jaksa Pengacara Negara di Kejari itu ada Namanya DATUM (Pidana dan Tata Usaha Umum), di bagian DATUM ini dilakukan pemanggilan dan sifatnya baru sebatas mediasi, pada saat misalnya perusahaan tidak juga dapat melaksanakan kewajibannya maka tahap selanjutnya pihak BPJS Ketenagakerjaan menyerahkan ke KPKNL (Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara) dibawah kementerian keuangan.

Untuk peraturan pelaksana atau peraturan yang lebih teknis dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 yang mengatur mekanisme atau proses penerapan sanksi terutama sanksi Pidana belum ada. Yang ada masih sebatas ketentuan lebih lanjut berkaitan dengan sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah No. 86


(32)

Tahun 2013. Sanksi Pidana sama sekali belum berjalan akan tetapi sanksi administratif sudah mulai dilakukan, Namun dalam pelaksanaan sanksi administratif ini juga belum ada sampai dikenakan tidak mendapat pelayanan publik tertentu dari pemerintah kepada perusahaan (pekerjanya).

Berkaitan dengan belum adanya petunjuk teknis dari Undang-undang BPJS dan PP No. 86 Tahun 2013, maka prosesnya belum dapat diterapkan secara maksimal sebelum adanya aturan hukum yang lebih teknis, dan pada akhirnya eksekusinya masih gantung dan belum dapat diterapkan. Untuk itu perlu adanya aturan yang lebih khusus dan lebuh teknis mengatur perihal mekanisme penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana.

F. Kendala dan upaya dalam penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011

1. Kendala dalam penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011

Untuk dapat menerapkan sanksi dalam rangka penegakan hukum di Indonesia berkaitan dengan tindak pidana dan perbuatan melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak berjalan dengan baik sesuai amanah undang-undang, melainkan ada kendala yang menjadi penghambat dalam proses ini.

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap narasumber yaitu Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota, Kendala yang dihadapi BPJS


(33)

Ketenagakerjaan dalam menerapkan sanksi173

173

Wawancara dengan Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota pada tanggal 30 Juni 2016

yaitu yang paling dominan adalah belum adanya peraturan pelaksana atau peraturan yang lebih khusus yang mengatur mekanisme/proses penerapan sanksi administratif dan pidana. Jika sudah ada peraturan yang lebih khusus berkaitan hal ini maka BPJS Ketenagakerjaan lebih punya power dan wewenang yang jelas untuk dapat menerapkan sanksi tersebut sehingga tidak adanya kesewenang-wenangan dan pelanggaran yang BPJS Ketenagakerjaan sendiri lakukan terhadap masyarakat dan menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai koridor dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, kendala yang tidak berhubungan langsung tapi sedikit mempengaruhi kinerja BPJS Ketenagakerjaan dalam hal penerapan sanksi yaitu karena BPJS Ketenagakerjaan termasuk instansi atau badan hukum publik yang baru dan masih dalam masa transisi dari JAMSOSTEK oleh karena itu juga pengaturan terkait BPJS Ketenagakerjaan juga harus disusun secara sistematis dan juga masyarakat umum banyak yang belum mengetahui peraturan mengenai BPJS Ketenagakerjaan. Dan Kemudian juga selalu bertambahnya jumlah perusahaan dari hari ke hari dan tidak semua perusahaan dapat diketahui keberadaannya secara resmi sedikit banyaknya menyulitkan dalam hal pendataan untuk dapat menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan dan mendapatkan program dari BPJS Ketenagakerjaan.


(34)

Kurangnya kesadaran para pemberi kerja atau korporasi dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui jaminan sosial yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, padahal merupakan suatu kewajiban bagi para pemberi kerja dan korporasi untuk mendaftarkan para pekerjanya ke dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 juga merupakan kendala yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan.

Berkaitan dengan belum adanya petunjuk teknis dari Undang-undang BPJS dan PP No. 86 Tahun 2013, maka prosesnya belum dapat diterapkan secara maksimal sebelum adanya aturan hukum yang lebih teknis, dan pada akhirnya eksekusinya masih gantung dan belum dapat diterapkan. Untuk itu perlu adanya aturan yang lebih khusus dan lebuh teknis mengatur perihal mekanisme penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana.

2. Upaya yang dapat dilakukan BPJS untuk menerapkan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana

Dalam hal belum optimal dan belum terlaksananya penerapan sanksi baik administratif dan terutama sanksi pidana terhadap korporasi yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan juga banyaknya kendala yang dihadapi oleh pihak BPJS Ketengakerjaan seperti yag telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, oleh karena itu sangat diperlukan upaya yang dapat dilakukan oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan dan instansi terkait untuk dapat diterapkannya sanksi tersebut demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri.


(35)

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap narasumber Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota, Upaya yang dapat dilakukan174 adalah terus mengupayakan kerjasama yang sistematis dan baik antara BPJS Ketenagakerjaan dengan Instansi terkait seperti pemerintah daerah baik pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pihak kejaksaan, Kementerian dalam negeri dan instansi terkait lainnya yang punya hubungan yang erat dengan BPJS Ketenagakerjaan yang dapat membantu kinerja BPJS Ketenagakerjaan sehingga pada akhirnya mampu untuk menerapkan sanksi secara optimal.

Kemudian juga upaya yang dapat dilakukan jika di kantor Cabang sendiri mengusulkan atau memberikan saran kepada BPJS Ketenagakerjaan pusat terkhusus di divisi hukum dan kepatuhan di kantor pusat untuk segera juga mengusulkan kepada lembaga legislatif dalam hal ini kepada DPR-RI maupun DPRD untuk dapat menyegerakan pembahasan dan pembuatan serta pengesahan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 berkaitan dengan petunjuk yang lebih teknis pelaksanaan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau perusahaan jika melanggar undang-undang ini.

174

Wawancara dengan Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota pada tanggal 30 Juni 2016


(36)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan yang ada beserta pembahasannya pada skripsi ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :

1. Formulasi aturan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS secara subtansial memuat ketentuan yang menekankan kewajiban terhadap Pemberi Kerja atau Korporasi untuk mendaftarkan dan mengikutsertakan dirinya dan pekerjanya kepada BPJS sesuai program yang diikutinya. Apabila ada yang tidak memenuhi kewajiban mendaftar akan dikenakan sanksi administratif yaitu dapat berupa teguran tertulis, denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Pengenaan sanksi administratif kepada Korporasi atau pemberi kerja ini dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Kemudian Perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana bagi pemberi kerja atau korporasi yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, antara lain:

a. Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

b. Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.


(37)

c. Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

d. Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran kepada BPJS.

Pemberi Kerja atau korporasi yang melanggar ketentuan sebagaimana disebutkan diatas maka berakibat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Perihal Subjek Hukum dalam Undang-Undang BPJS berkaitan dengan Korporasi bahwa Korporasi itu merupakan badan hukum, dan badan hukum merupakan bagian atau termasuk kedalam kategori “Pemberi Kerja” sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Umum dalam Undang-Undang BPJS. Artinya bahwa Korporasi merupakan Subjek yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang dilakukannya ketika melanggar ketentuan dalam Undang-Undang BPJS dan dalam hal ini direksi dari korporasi/perusahaan yang melanggar ketentuan Undang-Undang BPJS yang akan mewakili korporasi dalam hal terjadinya tindak pidana dalam proses persidangan di pengadilan. Dalam rangka penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, BPJS dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintah seperti Pemerintah Daerah, pihak Kejaksaan ataupun lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri.


(38)

2. Mekanisme atau proses penerapan sanksi dan pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana atau melanggar ketentuan dalam Undang-Undang BPJS, antara lain :

a. Masih belum diterapkan karena belum ada payung hukum atau aturan yang lebih teknis yang mengatur perihal pelaksanaan sanksi pidana seperti Peraturan Pemerintah dan sebagainya. Yang telah berjalan dan diterapkan masih sebatas sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif kepada Pemberi Kerja.

b. Kendala yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan dalam menerapkan sanksi yaitu yang paling dominan adalah belum adanya peraturan pelaksana atau peraturan yang lebih khusus yang mengatur mekanisme/proses penerapan sanksi administratif dan pidana. Jika sudah ada peraturan yang lebih khusus berkaitan hal ini maka BPJS Ketenagakerjaan lebih punya power dan wewenang yang jelas untuk dapat menerapkan sanksi tersebut sehingga tidak adanya kesewenang-wenangan dan pelanggaran yang BPJS Ketenagakerjaan sendiri lakukan terhadap masyarakat dan menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai koridor dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian, BPJS Ketenagakerjaan termasuk instansi atau badan hukum publik yang baru dan masih dalam masa transisi dari JAMSOSTEK oleh karena


(39)

itu juga pengaturan terkait BPJS Ketenagakerjaan juga harus disusun secara sistematis dan juga masyarakat umum banyak yang belum mengetahui peraturan mengenai BPJS Ketenagakerjaan. c. Upaya yang dapat dilakukan adalah terus mengupayakan

kerjasama yang sistematis dan baik antara BPJS Ketenagakerjaan dengan Instansi terkait seperti pemerintah daerah baik pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pihak kejaksaan, Kementerian dalam negeri dan instansi terkait lainnya yang punya hubungan yang erat dengan BPJS Ketenagakerjaan yang dapat membantu kinerja BPJS Ketenagakerjaan sehingga pada akhirnya mampu untuk menerapkan sanksi secara optimal.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan diatas adalah :

1. Perlu adanya sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial kepada masyarakat terutama berkaitan dengan adanya kewajiban untuk mendaftar ke BPJS bagi Para pekerja, Pemberi kerja atau korporasi

2. Sangat penting lembaga legislatif dalam hal ini kepada DPR-RI maupun DPRD untuk dapat menyegerakan pembahasan dan pembuatan serta pengesahan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2011


(40)

berkaitan dengan petunjuk yang lebih teknis pelaksanaan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau perusahaan jika melanggar undang-undang ini.


(41)

BAB II

FORMULASI ATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2011

B. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Pembangunan sistem dan program jaminan sosial merupakan salah satu karya kebijakan sosial yang terbesar di abad kedua puluh. Untuk pertama kali, program jaminan sosial wajib (mandatory insurance) diperkenalkan di Eropa pada akhir abad kesembilan belas. Selanjutnya program jaminan sosial meluas ke berbagai belahan dunia setelah berakhirnya perang dunia kedua, paling tidak sebagai dampak dari berakhirnya era kolonialisasi dan kemerdekaan negara-negara jajahan.62

Selanjutnya International Labour Organization (ILO) dalam konvensi Nomor 102 Tahun 1952 menganjurkan semua negara di dunia memberi perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi

Penyebaran dan pengembangan jaminan sosial ke seluruh dunia juga didukung oleh konvensi dan kerjasama internasional.

Pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan jaminan sosial sebagai hak asasi manusia dalam Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa : “setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial ... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua”.

62

diakses tanggal 01 Maret 2016


(42)

Deklarasi PBB tentang hak jaminan sosial. Konvensi ini merupakan satu-satunya instrumen internasional untuk penyelenggaraan jaminan sosial, mengatur kesepakatan di antara negara-negara anggota tentang standar minimal untuk penyelenggaraaan sembilan program jaminan sosial.

ILO Convention Nomor 102 mendefinisikan jaminan sosial sebagai ”Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijakan publik terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh hilangnya sebagian atau seluruh pendapatan akibat berbagai resiko yang diakibatkan oleh sakit, kehamilan, persalinan, kecelakaan kerja, kecacatan, pengangguran, pensiun, usia tua, kematian dini penghasil utama pendapatan, perawatan medis termasuk pemberian santunan kepada anggota keluarga termasuk anak-anak”.

1. Pasca Indonesia Merdeka

Perjalanan sejarah pembangunan program jaminan sosial di Indonesia memperlihatkan bahwa jaminan sosial tumbuh dan digerakkan oleh pemerintah bukan muncul dari kebutuhan pekerja akan perlindungan pendapatan sebagaimana yang terjadi di Eropa. Didalam perjalanannya, landasan filosofi jaminan sosial di Indonesia berkembang sesuai filosofi pemerintahan. Pada masa pra kemerdekaan, program jaminan sosial pertama kali diperkenalkan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda masih berkuasa pada awal abad kedua puluh. Pemerintah Hindia Belanda mengikutsertakan pegawai pribumi yang bekerja


(43)

pada lembaga pemerintah Hindia Belanda dalam dua buah program, yaitu jaminan pensiun sejak tahun 1926 dan jaminan kesehatan mulai tahun 1934.

Di masa pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Pusat (Orde Lama) membangun tiga program jaminan sosial mulai pada tahun 1947, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua. Program jaminan kecelakaan kerja lahir ketika Pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan (Undang-Undang Kecelakaan 1947) pada 18 Oktober 1947. Undang-Undang ini diberlakukan di seluruh Indonesia sejak tahun 1951 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 Tentang Berlakunya Undang-Undang No 33 Tahun 1947 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia. Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi kemerdekaan, dan hebatnya lagi diundangkan di masa pemerintahan darurat pasca perang agresi Belanda kedua.

Sejak tahun 1948 Pemerintah melanjutkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan pemerintah Hindia Belanda di masa pra kemerdekaan. Program ini diselenggarakan berdasarkan pada ketentuan Restitusi Regeling 1948.63

63 Staatsregeling No. 1 Tahun 1934 (Peraturan Pemerintah Hindia Belanda No. 1 Tahun

1934) tentang Jaminan Kesehatan

Peserta dibatasi pada pegawai negeri yang berpenghasilan di bawah Rp 850,00 per bulan. Penyelenggaraan belum sepenuhnya mengikuti kaidah jaminan sosial, namun masih diselenggarakan sebatas pemotongan gaji (restitusi). Setiap pegawai yang mendapatkan pelayanan rawat inap dikenakan pemotongan gaji sebesar 3% dari gaji pokok untuk membayar iur bayar (co-payment). Pelayanan


(44)

kesehatan dasar ditanggung penuh oleh pemerintah. Pelayanan kesehatan dasar di fasilitas pemerintah tidak dipungut bayaran, sedangkan di fasilitas swasta, peserta membayar terlebih dahulu biaya pelayanan kesehatan kemudian pemerintah mengganti (reimbursement). Pemerintah melakukan proyek percontohan program jaminan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang dikenal dengan “Jakarta Pilot Project” pada tahun 1960.

Program ketiga yang diselenggarakan adalah program pensiun publik yang terbatas untuk pegawai negeri pada tahun 1956 kemudian diikuti dengan program tabungan hari tua pegawai negeri pada tahun 1963. Program pensiun pegawai negeri didirikan dan diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1956 Tentang Pembelanjaan Pensiun. Program tabungan hari tua pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1963 Tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri dan PP No. 10 Tahun 1963 Tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri.

Pemerintah Orde Baru meningkatkan penyelenggaraan program-program jaminan sosial yang telah dibangun pada masa pemerintahan Orde Lama. Peningkatan dilakukan dengan menyelenggarakan program-program jaminan sosial dengan mekanisme pendanaan oleh peserta (funded social security) dan membangun kelembagaan jaminan sosial. Pendanaan jaminan sosial oleh peserta dan badan penyelenggara jaminan sosial berkembang sesuai dengan kelompok pekerjaan, yaitu pegawai negeri dan pekerja swasta. Sayangnya, Pemerintah Orde Baru pada tahun 1992 menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai Perseroan, Badan Usaha Milik Negara yang berorientasi laba - PT ASKES,


(45)

PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN. Sejak itu, penyelenggaraan program jaminan sosial Indonesia menjauh dari prinsip-prinsip asuransi sosial.64

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1997 Tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) sendiri menjelaskan bahwa sistem perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan tenaga kerja. Berdasarkan peraturan ini maka perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan program Astek, yaitu dengan cara mempertanggungkan buruhnya dalam asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian, demikian pula dalam program tabungan hari tua pada badan penyelenggaraan yaitu Perusahaan umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perum Astek) yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977. Perusahaan yang wajib menyelenggarakan Astek masih dibatasi pada jumlah buruh yang dipekerjakan atau jumlah upah yang dibayarkan kepada buruhnya setiap bulannya. Menurut keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 116-MEN/177 tentang peraturan tata cara persyaratan pendaftaran pembayaran iuran dan pembayaran jaminan asuransi sosial tenaga kerja, menetapkan bahwa perusahaan yang mempekerjakan sebanyak 100 orang atau lebih atau membayar upah paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah) sebulan adalah perusahaan yang diwajibkan ikut serta dalam program Astek, sedangkan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-278/MEN/83 peraturan mengatur perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 25 orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu Juta


(46)

Rupiah) sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara bertahap sudah mulai mengembangkan program jaminan sosial para pekerja/buruh.65

2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Mengingat aturan perekonomian yang berlaku, penting sekali untuk mempertahankan asuransi sosial sebagai teknik jaminan sosial dasar, yang disusun menurut bentuk aslinya sebagai sebuah kontrak antara individu dan masyarakat, juga agar dapat benar-benar menjamin kondisi kehidupan minimum bagi setiap orang. Negara harus terus menyediakan kerangka kerja dasar bagi asuransi sosial wajib yang membutuhkan partisipasi keuangan dari seluruh warganya dalam sebuah skema, yang dapat melindungi mereka dari konsekuensi terjadinya resiko sosial yang besar. Berdasarkan pengalaman yang baru saja terjadi, sangat tidak bertanggungjawab untuk menyerahkan tugas itu kepada pengaturan pribadi, hanya tunjangan-tunjangan tambahan yang menjamin kelangsungan taraf hidup yang diinginkan saja yang harus diserahkan sepenuhnya pada usaha setiap individu.

Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992, Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami

65 Vladimir Rys, Merumus ulang Jaminan Sosial Kembali ke Prinsip-Prinsip Dasar, PT


(47)

oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.

Menurut Kennet Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jenderal International Social Security Association (ISSA) di Jenewa, dalam Regional Training Seminar ISSA di Jakarta bulan Juni 1980, mengatakan bahwa : “Jaminan sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa- peristiwa tertentu dengan tujuan sejauh mungkin untuk menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.66 Sejalan dengan dua pengertian di atas, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 2 ayat (4) nya menggariskan bahwa : “Jaminan Sosial sebagai perwujudan dari sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga Negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial”.67

66 Sentanoe Kertonegoro , Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet.1,

Mutiara, Jakarta, hlm. 29

67 H. Zainal Asikin, S.H., S.U. (dkk), Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 99

Jika diperhatikan dari ketiga pengertian di atas, maka nampaknya ketiga pengertian tersebut memberikan pengertian jaminan sosial dengan begitu luasnya, seakan-akan jumlah sosial itu sendiri telah mencakup bidang pencegahan dan penyembuhan serta bidang pembinaan, ketiga bidang


(48)

ini kalau dikaitkan lebih jauh lagi akan apa yang dinamakan Perlindungan Buruh, sehingga akan sangat luaslah ruang lingkupnya. Kalau kita akan membicarakan jaminan sosial bagi pekerja dengan bertumpunya pada defenisi di atas, maka yang dimasukkan ke dalam jaminan sosial ini hal-hal yang bersangkutan dengan :

1. Jaminan sosial itu sendiri 2. Kesehatan keja, dan

3. Keselamatan dan keamanan kerja.

Di dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek ini dikeluarkan berdasarkan dasar-dasar hukum :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) Undang- undang Dasar 1945

2. undang No.3 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaga Negara tahun 1951 No.41) 3. Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan

pokok mengenai tenaga kerja (Lembaga Negara tahun 1969 nomor 55 : tambahan lembaran negara nomor 2912)


(49)

4. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara nomor 2918) 5. Undang-undang No. 7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di

perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1981 nomor 39, Tambahan Lembaran Negara nomor 3201).

Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain :

1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya

2) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja

3) Dengan adanya upaya perlindungan dasar akan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang

4) Menciptakan ketenangan bekerja karena adanya upaya perlindungan terhadap resiko-resiko kerja dan upaya pemeliharaan terhadap tenaga kerja.

5) Dengan adanya jaminan sosial tenaga kerja akan menciptakan ketenangan bekerja pada akhirnya mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam menghadapi resiko sosial ekonomi.


(50)

Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undang- undang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, akan tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang ini diprioritaskan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah maka kepada tenaga kerja di luar hubungan kerja atau dengan kata lain tidak bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 pasal 6 ayat (1) yang menjadi ruang lingkup Jaminan Sosial Tenaga Kerja meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan program lintas sektoral yang saling mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya, maka program jaminan sosial tenaga kerja dilaksanakan secara bertahap dan saling menunjang dengan usaha-usaha pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja.

Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksananya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya


(51)

undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.68

Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam ayat (1) adalah pelanggaran. Artinya tindak pidana tersebut tidak digolongkan kepada kejahatan, yang ancaman hukumannya lebih berat, jadi tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mencantumkan sanksi terhadap setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan. Sanksi pidana ditentukan dalam Pasal 29 sedangkan sanksi administrasi, ganti rugi, atau denda menurut Pasal 30 Undang-undang tersebut, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 berupa kurungan atau denda. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang tersebut selengkapnya menentukan, ”Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi tingginya Rp. 50.000 000,- (lima puluh juta rupiah).” Dalam ayat (2) ditentukan ”Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama lamanya 8 (delapan) bulan.”

68

http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/1992/3TAHUN1992UNDANG-UNDANG.htm diakses 04 Maret 2016


(52)

Pasal 29 tersebut diatas termasuk tinda k pidana ringan. Ancaman hukumannya pun bersifat alternatif. Bisa dipilih hukuman kurungan atau denda, tergantung kepada tuntutan jaksa dan putusan hakim. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), menurut Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992, terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administrasi, ganti rugi, atau denda yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sanksi sebagaimana tersebut diatas diatur dalam Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek sebagaimana beberapa kali diubah terahkir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2010. Pada intinya Pasal 47 Peraturan Pemerintah tersebut menentukan:

1. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 19 serta Pasal 20 ayat (1), dan telah diberikan peringatan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha.

2. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dikenakan denda sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar.

3. Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diamaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 dikenakan ganti rugi sebesar 1% dari jumlah jaminan sebagaimana diatur


(53)

dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.69

3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dan dalam pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa sistem jaminan sosial nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. SJSN adalah program Negara yang bertujuan untuk memberi perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.70

Undang-Undang SJSN diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004, sebagai pelaksanaan amanat konstitusi tentang hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan penyelenggaraan program-program jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh warga negara Indonesia. Undang-Undang SJSN

69

Martabat,

70 Penjelasan atas Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial


(54)

adalah dasar hukum untuk menyinkronkan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang telah dilaksanakan oleh beberapa badan penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Asas dan tujuan sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem jaminan sosial nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 2 dan 3 Undang-Undang SJSN).71

71 Tim redaksi pustaka yustisia, Koalisi Perundangan tentang Jaminan Sosial, Pustaka

Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm.7

Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan beberapa program jaminan sosial. Undang-undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.


(55)

Landasan yuridis penyelenggaraan SJSN adalah UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2). Pasal 28H ayat (3) diatur dalam Perubahan Kedua UUD NRI 1945 dan Pasal 34 ayat (2) diatur dalam Perubahan Keempat UUD NRI 1945. Amanat konstitusi tersebut kemudian dilaksanakan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).72 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 007/PUU -III/2005, Pemerintah bersama DPR mengundangkan sebuah peraturan pelaksanaan Undang SJSN setingkat Undang, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (Undang-Undang BPJS).73 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS terbentang mulai Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Lembaga. Penyelesaian seluruh dasar hukum bagi implementasi SJSN yang mencakup UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang SJSN dan peraturan pelaksananya membutuhkan waktu lima belas tahun (2000 – 2014).74

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh hukum. Salah satu di antaranya adalah hukum jaminan sosial. Pemerintah membentuk dan mengundangkan Undang-Undang SJSN untuk menyikapi dinamika masyarakat dan menangkap semangat jamannya, menyerap aspirasi, dan cita-cita hukum masyarakat. Penyelenggaraan program jaminan sosial diubah secara mendasar untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip dana amanat diberlakukan. Dana

72 Asih Eka Putri, Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional, CV Komunitas Pejaten

Mediatama, Jakarta, 2004, hlm.12

73 Ibid, hlm. 12 paragraf 2 74 Ibid, hlm.12 paragraf 4


(56)

dikumpulkan dari iuran peserta sebagai dana titipan kepada BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.75 Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip76

Undang-undang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional menetapkan 5 (lima) program Jaminan sosial, yaitu :

Kegotongroyongan, Nirlaba, Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Portabilitas, Kepersertaan bersifat wajib, Dana Amanat, Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

77

1) Dalam pasal 19 dan pasal 20 menyatakan bahwa jaminan kesehatan adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk menjamin agar peserta dan anggota keluarganya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

2) Dalam pasal 29 ayat (1) dan (2)menyatakan bahwa jaminan kecelakaan Kerja adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila ia mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja.

75 Ibid, hlm. 15

76 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional

77 Pasal 19, pasal 20, pasal 29, pasal 35, pasal 39, pasal 43 Undang-Undang Nomor 40


(1)

12. Bapak Boy Laksamana, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis selama mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13. Bapak/Ibu Dosen beserta seluruh staf pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

14. Founder, Pengurus, Para Donatur, Abangda, Kakanda, Rekan-rekan dan adik-adik di Keluarga Besar Yayasan Karya Salemba Empat yang telah memberikan dukungan finansial dan Beasiswa berupa tunjangan belajar, Biaya SPP dan Biaya Penelitian/Tugas Akhir dari semester 4 (empat) sampai studi saya selesai, dan juga terimakasih atas pelatihan softskill yang diberikan dan pengalaman berharga lainnya;

15. Rekan-Rekan Officer Ambassador BPJS Ketenagakerjaan Camp 1 Batch 2 yaitu M. Fadhil Ibrahim (Universitas padjajaran), Agahari Sianipar (Universitas Diponegoro), Della Syahriana (Mahasiswa UI), Agung Sutriyansah (Institut Pertanian Bogor), Nourma (Universitas Padjajaran) dan Ni luh Fitriana (Mahasiswa Universitas Udayana); 16. Rekan-rekan Seperjuangan penulis saat menjadi juara Kompetisi

Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Nasional di UGM yaitu Nanda Yolandari dan Susilo Laharjo;

17. Rekan-rekan 5 (lima) Serangkai Family yaitu Sahabat Penulis Sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama) tempat Penulis mencurahkan segala macam perasaan, berbagi dan berjuang;


(2)

18. Adik-adik BTM Aladdinsyah, S.H., yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis agar segera dapat menyelesaikan skripsi dan segera wisuda;

19. Teman-teman seperjuangan “Liqo 12” (Muhammad Luthfy, Faisal Anshari Dwana, Swandana Pradipta, Muhammad Arief, Khairul Umam Sy, Arishandi Safana, Muhammad Fadli, Taufiq Hidayat, Muhammad Febry Ramadhan, Rizki Dwi Prasetyo/Mamas, Jodie Ivan Randy, Amrul Mulia Daulay Dan Asra Syahputra) yang selalu memberikan motivasi, lahan buat berdiskusi berbagai hal, dan selalu menjaga kebersamaan dalam menjalankan halaqoh;

20. Rekan-rekan di Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH USU terkhusus rekan-rekan delegasi NMCC UNNES Piala Konservasi, NMCC Piala Ketua Mahkamah Konstitusi yang telah menjadi sarana penulis dalam memperoleh pengetahuan di bidang praktek peradilan;

21. Teman-teman seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FH USU, Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA), UKM Futsal FH USU dan Tim Futsal Yakusa FC yang sering berjuang bersama-sama dengan penulis pada saat menjadi juara;

22. Teman-teman 012 seperjuangan Agung Firmansyah, Dika Eka Putra, Anggi Malona Nasution, M. Nazhipi, Riski Maulana, Roy Ivan, dan yang lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. kakanda Nida Syafwani, abangda Viersa AK (bang Lawliet) yang juga selalu memberikan motivasi dan nasihat kepada penulis;


(3)

23. Pihak BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota, yang telah memberikan bantuan yang sangat berarti bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini;

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas.. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi diri penulis sendiri serta bermanfaat pula bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Medan, 15 Agustus 2016 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………... i

Daftar Isi ……… vi

Abstraksi ……… ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………. 11

D. Keaslian Penelitian ………... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ……….. 13

1. Pengertian / Defenisi Korporasi………. 13

2. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana………... 15

3. Pengertian tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana Korporasi………... 19

4. Defenisi dan ruang lingkup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial……….. 26

F. Metode Penelitian……….. 33

G. Sistematika Penulisan……… 37

BAB II : FORMULASI ATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011


(5)

A. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial…… 39 B. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tinda k

pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011…………. 69 C. Penentuan Kesalahan Korporasi dalam hukum pidana dikaitkan

dengan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011... .. 77 D. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang

melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011… 92

BAB III :MEKANISME PENERAPAN SANKSI TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011……….. 98 B. Mekanisme/proses penerapan sanksi dan Pemidanaan Terhadap

Korporasi yang melakukan pelanggaran dan tindak pidana

berdasarkan Undang - Undang No. 24 Tahun 2011………. 107 C. Kendala dan upaya dalam penerapan sanksi pidana terhadap

korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2011……… 120


(6)

A. Kesimpulan………... 124

B. Saran……… 127

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


Dokumen yang terkait

Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

6 127 174

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - [ PERATURAN ]

0 3 68

PENEGAKAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surak

0 3 19

SKRIPSI Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.

0 5 12

PENDAHULUAN Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.

0 2 16

Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam Pengelolaan Dana Jaminan Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

0 0 15

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

0 0 68

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 68

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA TERHADAP PERUSAHAAN YANG TIDAK MEMBAYAR DAN MENYETORKAN IURAN YANG MENJADI TANGGUNGJAWABNYA KEPADA BPJS (Studi Kasus BPJS Ketenagakerja

0 1 15