Keaslian Penelitian Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Defenisi Korporasi

1. Secara Teoritis. Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2. Secara Praktis a. Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Perguruan Tinggi dan dapat dipergunakan sebagai referensi bagi perpustakaan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya. Kemudian Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat b. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana Korporasi dalam Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Studi di BPJS Universitas Sumatera Utara Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota”. Pembahasan pada skripsi ini dititikberatkan untuk melihat aspek pertanggungjawaban pidana Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Jurnal Mahupiki, belum ada judul yang membahas mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Defenisi Korporasi

Secara harfiah korporasi corporatie, Belanda, corporation inggris dan jerman berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan kata “tio”, “corporatio” sebagai kata benda substantivum berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau setelah itu. “corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” Indonesia = badan yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian “corporatio” itu berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan Universitas Sumatera Utara perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam. 12 Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota”. 13 A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu. 14 Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa korporasi berasal dari kata corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai sekumpulan anggota dan anggota-anggota tersebut mempunyai hak atau kewajiban sendiri, yang terpisah dari hak dan kewajiban tiap-tiap anggota. Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan ahli hukum untuk menyebut apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Belanda disebut recht person, dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation. 15 Secara istilah, korporasi diartikan sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri atau suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota serta 12 Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan, Jakarta, 1995, hlm. 83. 13 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 17. 14 A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 54 15 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana, STIH, Bandung, 1991, hlm.19-20. Universitas Sumatera Utara memiliki hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. 16 Badan hukum rechtpersoon merupakan subjek hukum yang memiliki hak-hak dan kewajibannya sendiri sekalipun bukan manusia persoon, dalam hal ini berbentuk sebagai badan atau organisasi yang terdiri dari sekumpulan orang yang bergabung untuk suatu tujuan tertentu serta memiliki kekayaan tertentu pula. Untuk bertindak dalam lalu lintas hukum maka badan hukum rechtpersoon tersebut diwakili oleh orang-orang tertentu yang bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan badan hukum tersebut mewakilinya. 17

2. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, penggunaan istilah “korporasi” merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum rechtperson atau yang dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation. Dalam sistem hukum perdata Belanda yag sampai saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, maka dikenal sebagai subjek hukum terbagi menjadi 2 dua bentuk, yaitu pertama, manusia persoon dan kedua, badan hukum rechtpersoon. Dari pembagian subjek hukum tersebut diatas, apabila korporasi ini merupakan suatu 16 Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, 23-24 November 1989, hlm. 2. 17 Ibid. hlm. 10 Universitas Sumatera Utara subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum rechtpersoon. 18 Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru dan tercantum dalam beberapa peraturan perUndang-undangan dan penegakan hukumnya juga sangat lambat. Di Indonesia dalam perundang-undangannya baru muncul dan dikenal badan hukumkorporasi sebagai subjek hukum tindak pidana pada tahun 1951, yaitu dalam Undang-undang Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. 19 Akan tetapi secara umum, sebagaimana yang tercantum dalam KUHP Pasal 59 KUHP, subjek tindak pidana korporasi belum dikenal, dan yang diaku i sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah “orang”. Pasal 59 KUHP Berbunyi : Selain itu juga terdapat dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup PPLH dan Undang-undang lainn ya. 20 18 Edi Yunara, Korupsi dan pertanggungjawaban pidana korupsi, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 9 19 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 14 20 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, Cetakan Kedelapan, Politea, Bogor, 1985, hlm. 77 “Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman Universitas Sumatera Utara tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu terjadi diluar tanggungannya”. Dengan demikian dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, menimbulkan permasalahan baru dalam Hukum Pidana di Indonesia, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi yaitu apakah unsur kesalahan tetap dapat diterapkan seperti halnya kepada subjek manusia. Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada 3 tiga pengertian dalam Hukum Pidana, yaitu : 21 Terdapat doktrin yang mewarnai Wet Boek van Straftrecht W.v.S Belanda 1889 yakni asas “universalitas delinquere nonpotest” atau “societas delinquere nonpotest” yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Namun seiring perkembangan zaman, doktrin badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional functioneel daderschap karena peran korporasi dalam kehidupan ekonomi dirasa penting. 1. Sifat melawan hukum unrecht; 2. Kesalahan schuld; 3. Pidana strafe. Sehingga secara dogmatis dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Pidana unsur kesalahan harus ada sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana si pelaku tindak pidana. 22 21 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 70 22 Ibid., hlm. 17 Maka hal Universitas Sumatera Utara ini menimbulkan permasalahan dalam Hukum Pidana yaitu apakah badan huku m dapat mempunyai kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan. Sebab bagaimanapun juga Indonesia masih menganut asas “geen straf zonder schuld” atau tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentag Kekuasaan Kehakiman : 23 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076 “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Pada kenyataannya dalam praktik tidaklah mudah untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada korporasi karena korporasi sebagai subjek Hukum Pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan kerohanian seperti halnya manusia alamiah naturlijk persoon, oleh karenanya dalam perkembangannya mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, pertanggungjawaban setiap orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya, ada pandangan baru yang agak berlainan, bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas kesalahan tidak perlu dibuktikan. Universitas Sumatera Utara

3. Pengertian tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana Korporasi

Konsep tindak pidana 24 Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum pidana. Antara konsep yang satu dengan yang lain yang mereka kemukakan memiliki kesamaan substansi, tapi ada juga yang berbeda makna dan implikasi hukumnya. Di bawah ini dikemukakan konsep tindak pidana oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, Simons, Komariah Emong Supardjadja, Sutan Remy Sjahdeini, dan Indrianto Seno Adji, sekadar untuk mengetahui keragaman konsep tersebut. Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai : 25 Pada kesempatan yang lain, beliau juga mengemukakan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”. Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian tindak pidana, yaitu “sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. 26 24 Dalam tulisan ini istilah tindak pidana dan perbuatan pidana tidak dibedakan untuk alasan praktis, walaupun kedua istilah itu memiliki perbedaan signifikan. Istilah tindak pidana menunjuk pada suatu sikap manusia yang bersifat aktif. Sedangkan istilah perbuatan pidana lebih menunjuk kepada sikap yang diperlihatkan seseorang baik aktif maupun pasif. 25 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet. Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 59. 26 Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hlm.13. Universitas Sumatera Utara Wirjono Prodjodikoro mengartikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. 27 Sedangkan, Simons merumuskan “Strafbaar feit” sebagai berikut : 28 1. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelaggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan hukum. Menurut Simons terdapat 3 tiga alasan mengapa pengertian strafbaar feit dirumuskan seperti di atas, yaitu : 2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang- undang; dan 3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan “onrechtmatige handeling”. Konsep tindak pidana juga dikemukakan oleh Komariah Emong Supardjadja, yakni “suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, 27 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Cet. Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 59 28 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 185. Universitas Sumatera Utara melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu”. 29 Perilaku conduct yang oleh undang-undang pidana yang berlaku hukum pidana positif telah diskriminalisasi da oleh karena itu dapat dijatuhi sanksi pidana bagi pelakunya. Sedangkan Sutan Remy Sjahdeini mendefinisikan tindak pidana sebagai : 30 Terakhir, tindak pidana dirumuskan oleh Indrianto Seno Adji sebagai “perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”. 31 Bila dikaji, konsep tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana di atas mengarah kepada dua hal, yaitu yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan yang mencampur antara tindak pidana. Konsep tindak pidana oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy Sjahdeini secara tegas memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana adalah satu hal, sedangkan pertanggungjawaban pidana merupakan hal lain. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana tidak secara otomatis harus dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan, karena hal itu bergantung kepada apakah orang tersebut memiliki kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Namun demikian antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua konsep yag sangat sentral 29 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Cet. Kedua, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 53. 30 Ibid. 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara dan saling terkait dalam hukum pidana, tindak pidana tidak akan memiliki banyak arti tanpa kehadiran pertanggungjawaban pidana, demikian juga sebaliknya. 32 Pada sisi lain, konsep tindak pidana yang dirumuskan oleh Simons, Komariah Emong Supardjadja, dan Indrianto Seno Adji tidak memisahkan atau bahkan mencampur aduk antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Hal ini terlihat dari digunakannya kata “sengaja”, “bersalah”, dan “kesalahan” dalam membangun rumusan konsep tindak pidana. Padahal secara teoritis kesalahan tidak terkait dengan tindak pidana, tapi berhubungan dengan pertaggungjawaban pidana. Implikasinya, seseorang bisa dijatuhi pidana cukup dengan terbuktinya tindak pidana yang dilakukan orang itu, tanpa perlu membuktikan apakah pada diri orang itu terdapat kesalahan atau tidak. 33 Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP. Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu Pasal dalam KUHP, yang dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah dalam bahasa lain yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan merupakan “subyek” tindak pidana Berbicara tentang subjek tindak pidana, 32 Ibid,. hlm. 54 33 Ibid. Universitas Sumatera Utara pikiran selanjutnya diarahkan kepada wujud perbuatan sebagai unsur tindak pidana. Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari perbuatan pidana. Perumusan ini dalam bahasa Belanda dinamakan delicts-omschrijving. 34 Didalam peraturan perundang – undangan di Indonesia tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. 35 Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian dengan apa yang didefinisikan oleh simons dan van hamel. Simons mengatakan strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 36 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang - undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 37 Dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana di Negara – Negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang - undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tindak pidana berisi larangan 34 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Bandung, 2000, hlm. 55-56 35 Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Prenada Media Grup, Jakarta, 2008, hlm. 26 36 S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Pthaem, Jakarta, 1986, hlm. 205 37 Ibid. Universitas Sumatera Utara terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama - tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan - kelakuan tertentu. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat - akibat yang terlarang untuk diwujudkan. 38 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Pidana adalah kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, dsb 39 . Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana 40 Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat liability based on fault, dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai factor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. Setiap sistem hukum modern mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Baik di Negara - Negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana sistem civil law lainnya, Undang . Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. 38 Chairul Huda, Op.Cit, Hal. 31 39 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta 1991, hlm. 1006 40 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 155 Universitas Sumatera Utara - undang justru merumuskan keadaan - keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. 41 Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan - keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana, yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara–negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan General Defence ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban general excusing liability. 42 Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki ‘defence’, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Untuk menghindari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana. 43 Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah: 41 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hlm. 260 42 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 63 43 Ibid, hlm. 64 Universitas Sumatera Utara a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab c. Dengan sengaja atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf

4. Defenisi dan ruang lingkup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan security. Security diambil dari Bahasa Latin “se-curus” yang bermakna “se” pembebasan atau liberation dan “curus” yang berarti kesulitan atau uneasiness. Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah masyarakat atau orang banyak society. Dengan demikian, jaminan sosial secara harfiah adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu upaya untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan”. 44 a. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS menyebutkan jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan sosial mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli dan ketentuan yang ada, yaitu: 45 b. Menurut Kamus Populer Pekerja Sosial, jaminan sosial adalah suatu program perlindungan yang diberikan oleh negara, masyarakat dan 44 Edi Suharto, Konsepsi dan Strategi Jaminan Sosial diakses tanggal 9 Januari 2016 45 Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS, pasal 1 ayat 2 Universitas Sumatera Utara organisasi sosial kepada seseorangindividu yang menghadapi kesukaran- kesukaran dalam kehidupan dan penghidupannya, seperti penderita penyakit kronis, kecelakaan kerja dan sebagainya. 46 c. Menurut Imam Soepomo, jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima oleh pihak buruh diluar kesalahanya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan income security dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar kehendaknya. 47 d. Menurut Kenneth Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jenderal International Security Association ISSA, dalam kuliahnya pada Regional Trainning ISSA, seminar tanggal 16 dan 17 Juni 1980 di Jakarta, mengemukakan perumusan jaminan sosial sebagai berikut : “Jaminan Sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa- peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”. 48 46 Ridwan Marpaung, Kamus Populer Pekerja Sosial, 1988, hlm. 36 47 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, hlm. 136 48 Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Mutiara, Jakarta, hlm. 29 Universitas Sumatera Utara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS adalah badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. 49 BPJS menurut UU SJSN adalah transformasi dari badan penyelenggara jaminan sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan untuk membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial. 50 a. Cara pendiriannya atau terjadinya badan hukum itu, diadakan dengan konstruksi hukum publik, yaitu didirikan oleh penguasa Negara dengan Undang-undang; Kemudian BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta danatau anggota keluarganya. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik menurut UU BPJS. Tiga kriteria di bawah ini digunakan untuk menentukan bahwa BPJS merupakan badan hukum publik, yaitu : b. Lingkungan kerjanya, yaitu dalam melaksanakan tugasnya badan hukum tersebut pada umumnya dengan publik dan bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik; c. Wewenangnya, badan hukum tersebut didirikan oleh penguasa Negara dan diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau peraturan yang mengikat umum. 49 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 1 angka 6 50 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Penjelasan paragrap 11 Universitas Sumatera Utara BPJS merupakan badan hukum publik karena memenuhi ketiga persyaratan tersebut diatas.Ketiga persyaratan tersebut tercantum dalam berbagai norma dalam UU BPJS, yaitu : 51 a. BPJS dibentuk dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. b. BPJS berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN yang berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. c. BPJS diberi delegasi kewenangan untuk membuat aturan yang mengikat umum. d. BPJS bertugas mengelola dana publik, yaitu dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta. e. BPJS berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional. f. BPJS bertindak mewakili Negara Republik Indonesia sebagaianggota organisasi atau lembaga internasional. g. BPJS berwenang mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya. h. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksioleh Presiden, setelah melalui proses seleksi publik. 51 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 5, 2, 48 ayat 3, 10 huruf d, 11 huruf c, 51 ayat 3, 11 huruf f dan pasal 28 s.d pasal 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256 Universitas Sumatera Utara BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah di Audit oleh akuntan publik kepada Presiden, dengan tembusan kepada DJSN, paling lambat 30 Juni tahun berikutnya. BPJS mengumumkan laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan kepada publik dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui website BPJS dan melalui paling sedikit 2 dua media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya. Pembentukan Undang-undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007PUU-III2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia. Undang- undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 52 Undang- undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes Persero, PT Jamsostek Persero, PT TASPEN Persero, dan PT ASABRI Persero menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. 52 52 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Koalisi Perundangan Tentang Jaminan Sosial, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 151 Universitas Sumatera Utara Dengan Undang-undang ini dibentuk 2 dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepersertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahaap. Didalam BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan 4 program jaminan yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun: a. Jaminan Hari Tua Program Jaminan Hari Tua JHT merupakan program penghimpunan dana yang ditujukan sebagai simpanan yang dapat dipergunakan oleh peserta, terutama jika penghasilan yang bersangkutan terhenti karena berbagai sebab, seperti meninggal dunia, cacat total tetap atau telah mencapai usia pensiun 55 tahun. Manfaat dalam program ini akan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi dan hasil pengembangannya. 53 b. Jaminan Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja sebagai salah satu jenis risiko kerja, sangat mungkin terjadi di mana pun dan dalam bidang, pekerjaan apa pun. Akibat dari kecelakaan kerja bermacam-macam, mulai dari luka ringan, luka parah, cacat sebagian, cacat fungsi, cacat total, bahkan meninggal dunia. Memberikan rasa aman dalam melakukan pekerjaan merupakan tanggung jawab pengusaha melalui pengalihan risiko kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan membayar iuran Jaminan Kecelakaan Kerja JKK bagi tenaga kerjanya yang jumlahnya berkisar 0,24-1,74 dari upah sebulan, sesuai kelompok resiko jenis usaha. Manfaat Jaminan Kecelakaan 53 Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visi Media, Jakarta, 2014, hlm.6 Universitas Sumatera Utara Kerja ini untuk memberikan kompensansi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan pada saat mulai berangkat bekerja sampai tiba kembali di rumah atau menderita penyakit yang berkaitan dengan pekerjaannya. 54 c. Jaminan Kematian Jaminan Kematian JK diperuntukkan bagi ahli waris tenaga kerja beserta BPJS Ketenagakerjaan yang meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja. Jaminan Kematian diperlukan untuk membantu meringankan beban keluarga dalam bentuk biaya pemakaman dan uang santunan. Manfaat dalam program ini memberikan manfaat kepada keluarga tenaga kerja seperti : 1 Santunan Kematian Rp. 14.200.000,- 2 Biaya Pemakaman Rp. 2.000.000,- 3 Santunan berkala Rp. 200.000bulan selama 24 bulan atau dapat diambil sekaligus di muka. 55 d. Jaminan Pensiun Jaminan Pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta danatau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau kepada ahli waris bagi peserta yang meninggal dunia. Manfaat pensiun adalah sejumlah uang yang 54 Ibid,. hlm.8 55 Ibid,. hlm.12 Universitas Sumatera Utara dibayarkan setiap bulan kepada peserta yang memasuki usia pensiun, mangalami cacat total tetap, atau kepada ahli waris bagi peserta yang meninggal dunia. 56 1. Jenis Penelitian

F. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

6 127 174

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - [ PERATURAN ]

0 3 68

PENEGAKAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surak

0 3 19

SKRIPSI Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.

0 5 12

PENDAHULUAN Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.

0 2 16

Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam Pengelolaan Dana Jaminan Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

0 0 15

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

0 0 68

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 68

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA TERHADAP PERUSAHAAN YANG TIDAK MEMBAYAR DAN MENYETORKAN IURAN YANG MENJADI TANGGUNGJAWABNYA KEPADA BPJS (Studi Kasus BPJS Ketenagakerja

0 1 15