Undang-Undang Situs Internet Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011

Winnie Chan dan A.P.Simester, 2011, “Four Functions of Mens Rea”, Cambridge Law Journal Yunara, Edi, 2005, Korupsi dan pertanggungjawaban pidana korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti : Bandung Zaeni, Ashyhadie, 2013, Aspek-aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Rajawali Pers : Jakarta

B. Undang-Undang

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076 Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256 Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Staatsregeling No. 1 Tahun 1934 Peraturan Pemerintah Hindia Belanda No. 1 Tahun 1934 tentang Jaminan Kesehatan Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 007PUU- III2005

C. Situs Internet

http:possore.com20141127akankah-program-dana-pensiun-untuk kesejahterakan-pekerja-bisa-terealisasi http:www.pikiran-rakyat.comekonomi20150712334538perusahaan-tak-ikut- bpjs-ketenagakerjaan-diberi-sanksi Universitas Sumatera Utara http:www.bpjsketenagakerjaan.go.id Ridwan Max Sijabat, Askes, Jamsostek asked to prepare transformation. The Jakarta Post http:www.jamsosindonesia.comidentitasjaminan_sosial_karya_besar_abad_ked uapuluh http:www.jaminansosindonesia.comidentitasjaminansosial http:www.sjdih.depkeu.go.idfulltext19923TAHUN1992UNDANG- UNDANG.htm Universitas Sumatera Utara

BAB III MEKANISME PENERAPAN SANKSI TERHADAP KORPORASI YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG – UNDANG NO. 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

D. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011

Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Di dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarangtindak pidana actus reus dan ada sikap batin jahattercela mens rea. 141 Uraian tersebut menunjukkan bahwa konsep tindak pidana hanya menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana, maka kajian pertanggungjawaban pidana berada di luar kajian tindak pidana walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Seseorang yang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang tidak secara serta merta orang tersebut akan dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan, karena hal tersebut bergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut 141 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11, 1999, hlm. 27. Universitas Sumatera Utara termasuk dalam kategori orang yang memiliki kesalahan atau tidak. Apabila orang tersebut memiliki kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. 142 Elliot dan Quinn mengemukakan beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan tanggung jawab pidana kepada korporasi, sebagai berikut : 143 1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan. 2. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah menuntut suatu perusahaan daripada pegawai-pegawainya. 3. Dalam suatu tindak pidana yang serius, perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai perusahaan tersebut. 4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan- kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. 5. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang illegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya memikul sanksi atas tindak pidana yang dilakukan, bukan pegawai perusahaan itu. 142 Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 75. 143 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta 2006, hlm. 55-56. Universitas Sumatera Utara 6. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mencegah perusahaan- perusahaan untuk menekan para pegawainya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung agar pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan kegiatan usaha yang illegal, misalnya apabila suatu perusahaan pengangkutan menentukan para pengemudinya untuk menyelesaikan tugasnya dalam batas waktu tertentu, maka para pengemudi itu terpaksa harus mengebut agar dapat memenuhi batas waktu yang ditentukan itu. Dalam situasi ini, pembebanan tanggung jawab pidana kepada korporasi akan merupakan cara untuk memastikan bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggungjawabnya. Ketika pengemudi yang bersangkutan dituntut karena telah mengebut. 7. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang illegal, dimana hal itu tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya. Agar korporasi bisa memiliki kemampuan bertanggung jawab, maka terdapat 2 dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ukuran untuk menentukan bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi harus didasarkan pada teori pelaku fungsional functioneel daaderschap atau teori identifikasi. Sebab, Korporasi hanya bisa melakukan perbuatan tertentu termasuk melakukan tindak pidana melalui perantara pengurusnya. Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, maka korporasi juga memiliki kemampuan bertanggungjawab atas Universitas Sumatera Utara tindak pidana yang dilakukan. Hal ini karena eksistensi korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan atau aktivitas pencapaian tujuannya selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Oleh karena itu, kemampuan bertanggungjawab yang ada pada pengurus korporasi dilimpahkan menjadi kemampuan bertanggungjawab dari korporasi sebagai subjek hukum pidana. 144 Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada 3 tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu : 145 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggungjawab; dan 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab Sistem pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan natuurlijk persoon, sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem ini masih menerima asas 144 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 132 145 Mardjono Reksodiputro dalam Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 133 Universitas Sumatera Utara universitas delinguere non potest badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. 146 Sistem pertanggungjawaban pidana yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha korporasi, tapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum korporasi. Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin korporasi secara sungguh-sungguh. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi bisa menjadi pembuat tindak pidana, tapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu. 147 Sistem pertanggungjawaban pidana yang ketiga merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang bisa dipakai sebagai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah karena dalam berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan haya memidana para 146 Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 133. 147 Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cet. Ketiga, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 13-14. Universitas Sumatera Utara pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan. 148 Menurut Muladi dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, disamping manusia alamiah natuurlijk person. Jadi, penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional functioneel daaderschap. 149 Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 150 1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab 4. Tidak ada alasan pemaaf. Dalam hal ini jika syarat dapat dipertanggungjawabkannya tindak pidana oleh korporasi dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, maka Pertama, berkaitan dengan adanya suatu tindak pidana yang 148 Di Belanda, Negara di mana KUHP yang saat ini di Indonesia masih diberlakukan berasal darinya, pada tahun 1976 telah menerima badan hukum rechts persoon sebagai subjek hukum pidana selain manusia natuurlijk persoon. 149 Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 135. 150 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 77. Universitas Sumatera Utara dilakukan pembuat dalam Undang-Undang BPJS ini Tindak Pidananya yaitu Pemberi kerja termasuk korporasi sesuai dengan pasal 55 jo Pasal 19 ayat 1 atau ayat 2 melanggar ketentuan “Wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS” atau “Wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS”. Artinya bahwa ketentuan dalam pasal 55 jo Pasal 19 ayat 1 atau ayat 2 tidak boleh dilanggar, jika dilanggar maka itu merupakan suatu tindak pidana. Kedua, Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dalam artian ketika suatu tindak pidana sudah dirumuskan dan sudah ada pengaturannya seperti tersebut diatas, maka kita baru berbicara tentang kesalahan, baik secara sengaja maupun karena kealpaan manakala perbincangan tentang tindak pidana sudah selesai. Artinya bahwa hakim atau ahli hukum pidana baru bisa menilai kesalahan yang ada pada diri seseorang bila orang tersebut telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang BPJS. Ketiga, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab yaitu dalam Undang-Undang BPJS yang mampu bertanggung jawab adalah pemberi kerja. Pemberi Kerja ini sesuai klausul pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara Negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya”. Artinya bahwa “Badan Hukum” Recht Persoon termasuk Pemberi Kerja dan Korporasi merupakan Badan Hukum. Badan hukum merupakan Subjek Hukum yang mampu bertanggung jawab. Universitas Sumatera Utara Keempat, tidak adanya alasan pemaaf yang pada dasarnya berhubungan erat dengan pembuat tindak pidana. Dalam situasi tertentu, sekalipun pembuat suatu tindak pidana dapat dicela, tetapi celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu. 151 a. 1 satu tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan; dan Namun ada beberapa kelemahan ataupun kekurangan terkait konsep dalam Undang-Undang 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini yaitu belum adanya Konsep penyertaan korporasi jika korporasi tersebut melakukan tindak pidana, belum adanya pengaturan dan penjelasan lebih lanjut serta unsur-unsur dan klasifikasi mengenai perbuatan pidana bagi korporasi dalam hal memungut iuran dan menyetor iuran yang seperti apa yang dapat dipidana, Kemudian dalam Undang-Undang BPJS juga belum ada pengaturan dan akibat hukumnya jika terjadi pengulangan tindak pidana, belum ada juga dalam undang- undang ini klasifikasi tindak pidana merupakan pelanggaran atau kejahatan, juga belum adanya pengaturan yang lebih teknis dalam peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang berkaitan dengan mekanisme atau cara penerapan sanksi pidana. Padahal sesuai dengan pasal 70 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini BPJS harus ditetapkan paling lama : 151 Chairul Huda., Op.cit., hlm. 121. Universitas Sumatera Utara b. 2 dua tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan Terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.” Tapi kenyataan sampai saat ini perihal peraturan pelaksanaan dari Undang- Undang BPJS belum terealisasi. Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal yang sangat berperan dalam kerangka kebijakan sosial. Kebijakan sosial social policy mencakup upaya kesejahteraan sosial sosial welfare policy dan perlindungan masyarakat social defence policy 152 Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana penal policy harus memenuhi unsur : kebijakan legislatif tahap formulasi, kebijakan yudikatif tahap aplikasi, dan kebijakan eksekutif tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. 153 Kebijakan legislasi merupakan tahap paling strategis dari penal policy karena kelemahan kebijakan legislasi dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan 154 pada tahap aplikasi dan eksekusi. 155 152 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2007, hlm.78-79. 153 Teguh Soedarsono, “Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, Jurnal Hukum LPSK, Jakarta, 2010, hlm. 63. 154 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 2-3. 155 Barda Nawawi Arief dalam Mudzakkir, dkk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan Politik Hukum dan Pemidanaan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2010, hlm. 11. Kebijakan legislasi mencakup upaya memberantas dan menanggulangi kejahatan dalam rangka social Universitas Sumatera Utara defence. 156 Upaya ini harus dilandasi nilai-nilai kehidupan kebangsaan yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan tuntutan zaman reformasi hukum. 157 Penentuan tanggung jawab pidana korporasi dalam sejumlah undang- undang pidana khusus dan undang-undang pidana administrasi hanya terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana, sedangkan mengenai teori pertanggungjawaban pidana dan penentuan kesalahan korporasi tidak diatur dalam undang-undang tersebut. Lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga merupakan kebijakan legislasi dalam hal perangkat aturan untuk menjamin setiap orang akan haknya untuk mendapatkan jaminan sosial, termasuk juga didalamnya menyangkut ketentuan mengenai Pemberi kerja atau suatu Korporasi. 158 E. Mekanismeproses penerapan sanksi dan pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran dan tindak pidana berdasarkan Undang - Undang No. 24 Tahun 2011 Pidanapemidanaan hanya dapat dijatuhkan setelah pelaku, berdasarkan proses pembuktian di sidang pengadilan, terbukti melakukan perbuatan yang dilarang dan ia sendiri merupakan orang yang bersalah. Dengan konsepsi teoritis 156 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 21. 157 Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional di Semarang tanggal 28-30 Agustus 1980 dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 78. 158 Mahrus Ali, Op. cit,. hlm. 179 Universitas Sumatera Utara ini, maka Negara hanya memiliki legitimasi untuk menjatuhkan pidana bila dua hal tersebut terbukti ada pada diri pelaku. 159 Salah satu teori pemidanaan yaitu teori pencegahan. Dasar Teori pencegahan penangkalan adalah bahwa manusia subjek hukum selalu rasional dan selalu berpikir sebelum bertindak dalam rangka mengambil manfaat maksimal yang rasional, yang berarti bahwa prospek untung dan rugi ditimbang dengan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan secara kualitatif. Tiap-tiap individu memilih apakah melakukan tindak pidana ataukah tidak melakukan tindak pidana. Bila individu tersebut memilih melakukan suatu tindak pidana, maka menurut Daniel Kessler and Steven D. Levitt. Stanford pidana dijatuhkan kepada orang tersebut, dengan syarat pelakunya ditangkap. Bahkan, para pegawai. 160 Karena pelaku kejahatan adalah makhluk rasional, maka untuk mencegah perilaku jahat tersebut adalah dengan membuat suatu sistem agar pelaku takut pada hukuman. Hukuman untuk penjahat tertentu, atau penangkalan khusus, mungkin berkaitan dengan pembatasan-pembatasan fisik atau inkapasitasi, seperti pengurungan, penjara dan sebagainya, tapi pencegahan juga berasumsi bahwa manusia mungkin dapat dicegah dari memilih untuk ikut serta dalam tindak pidana. 161 Menurut Dan M. Kahan masyarakat seyogianya memidana pelaku jika tujuannya adalah untuk menciptakan maksimalisasi kesejahteraan sosial. Petunjuk 159 Ibid., hlm. 231. 160 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 243. 161 Salman Luthan, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 153 Universitas Sumatera Utara ini memunculkan sejumlah aksioma-aksioma praktis; pidana yang diharapkan harus melebihi keuntungan yang diharapkan diperoleh dari tindak pidana agar mampu mencegahnya; masyarakat seyogianya meningkatkan kerasnya pidana sampai pada level dimana biaya pidana tambahan sama dengan keuntungan pelaku kejahatan. Teori Pencegahan menilai efisiensi suatu pidana dilihat dari kontribusinya terhadap terciptanya pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum bermakna bahwa memidana suatu pelaku tindak pidana tertentu akan menjadi contoh bagi pelaku-pelaku potensial, sehingga mereka akan memikirkan kebaikan dan keburukan ketika melakukan tindak pidana serupa di kemudian hari. Sedangkan pencegahan khusus bermakna bahwa pelaku adalah seorang aktor rasional yang menimbang antara biaya dan keuntungan ketika melakukan kejahatan, dan penjatuhan pidana yang menderitakan akan membuatnya berpikir tentang biaya yang harus dikeluarkan bila ternyata melakukan kejahatan. 162 162 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 245-246. Teori pencegahan ini sangat sesuai dengan teori pemidanaan yang digunakan atau diterapkan bagi korporasi. Alasan teori pencegahan deterrence digunakan karena berkaitan dengan beberapa penjelasan sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu bahwa motivasi atau orientasi korporasi ketika melakukan tindak pidana didasarkan kepada motivasi ekonomis atau orientasi untung rugi. Jarang ditemukan motivasi korporasi ketika melakukan kejahatan, apa pun jenisnya, didasarkan pada motif selain untung rugi. Universitas Sumatera Utara Secara teoritis, asumsi dasar teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berfikir secara rasional dengan tujuan utama adalah untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan maximizing the excepted utility. 163 Dengan asumsi yag demikian, korporasi jelas merupakan “makhluk” yang rasional ekonomis yang menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan yang akan didapat. Manakala keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana. 164 Ongkos ini meliputi waktu yang diperlukan baik sebelum atau pada saat melakukan kejahatan, biaya untuk membeli alat, kemungkinan pengurus korporasi ditangkap, ditahan, ongkos pidana, mata pencaharian bisnis yang hilang jika ditangkap, dan lain sebagainya. Sementara, keuntungan berupa keuntungan yang berbentuk fisik seperti harta atau kekayaan, dan keuntungan yang berbentuk psikis seperti prestige, dan lain-lain. 165 Sebelum membahas mengenai mekanisme atau proses penerapan sanksi pidana, terlebih dahulu penulis akan membahas mengenai proses penerapan sanksi dengan instrumen administratif. Perbuatan yang dapat dikenakan sanksi Implikasi dari konsep rasionalitas ketika melakukan tindak pidana, maka sanksi pidana yang dijatuhkan kepada korporasi harus melebihi seriusitas tindak pidana. 163 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 264. 164 Mahrus Ali, Op.cit,. hlm. 264-265. 165 Dan M. Kahan, “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence”, Virginia Law Review, No. 83, hlm. 349. Universitas Sumatera Utara administratif jika melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial antara lain : 166 1. Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. 2. Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. 3. Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti 4. Setiap orang wajib memberikan data mengenai dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan seperti tersebut diatas dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif sebagaimana dapat berupa teguran tertulis, denda; danatau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Berkaitan dengan Mekanisme atau tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 166 Pasal 17 ayat 1 dan 2 jo Pasal 15 ayat 1, 2 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Universitas Sumatera Utara Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Adapun sanksi administratif sebagaimana dimaksud adalah: 167 1. Teguran Tertulis Sanksi teguran tertulis diberikan paling banyak 2 dua kali masing- masing untuk jangka waktu paling lama 10 sepuluh hari kerja dikenai oleh BPJS. 2. Denda a. Sanksi denda diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tiga puluh hari sejak berakhirnya pengenaan sanksi teguran tertulis kedua berakhir. b. Sanksi denda dikenai oleh BPJS dan menjadi pendapatan lain dana jaminan sosial. 3. Tidak mendapat pelayanan publik tertentu a. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupatenkota atas permintaan BPJS. BPJS dalam meminta pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu berkoordinasi dengan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupatenkota. 167 Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, Visi Media, Jakarta, 2014, hlm. 30 Universitas Sumatera Utara b. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara seperti perizinan terkait usaha atau izin mendirikan bangunan. c. Sanksi tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, dan pekerja yang memenuhi persyaratan kepersertaan dalam program jaminan sosial seperti surat izin mengemudi dan paspor. Kemudian juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif lebih lanjut yaitu Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota dalam melaksanakan pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada : 168 a. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a dilakukan dengan mempersyaratkan kepada mereka untuk melengkapi identitas kepesertaan jaminan sosial dalam mendapat pelayanan publik tertentu; dan b. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf b dan 168 Pasal 8 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Universitas Sumatera Utara setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b dilakukan setelah mendapat surat permohonan pengenaan sanksi dari BPJS. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara meliputi : 169 a. perizinan terkait usaha; b. izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; c. izin memperkerjakan tenaga kerja asing; d. izin perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh; atau e. izin Mendirikan Bangunan IMB. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi:Izin Mendirikan Bangunan IMB : 170 a. Surat Izin Mengemudi SIM; b. sertifikat tanah; c. paspor; atau d. Surat Tanda Nomor Kendaraan STNK. 169 Pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial 170 Pasal 9 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Universitas Sumatera Utara Pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan oleh unit pelayanan publik pada instansi Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota. 171 Kemudian Perihal Tata Cara Pengenaan Sanksi Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013, antara lain : 172 1. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam peraturan pemerintah ini berkaitan dengan pemberi kerja atau korporasi yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjanya serta tidak memberikan data diri dan pekerja kepada BPJS dikenai teguran tertulis pertama untuk jangka waktu paling lama 10 sepuluh hari oleh BPJS. 2. Apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu 10 sepuluh hari sanksi teguran tertulis pertama Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada poin 1 satu tidak melaksanakan kewajibannya, BPJS mengenakan sanksi teguran tertulis kedua untuk jangka waktu 10 sepuluh hari. 171 Pasal 9 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial 172 Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Universitas Sumatera Utara 3. Sanksi denda dikenakan apabila setelah pengenaan sanksi teguran tertulis kedua berakhir Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara tidak melaksanakan kewajibannya. 4. Denda dikenakan sebesar 0,1 nol koma satu persen setiap bulan dari iuran yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak teguran tertulis kedua berakhir. 5. Denda disetorkan kepada BPJS bersamaan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. 6. Apabila sanksi berupa denda tidak disetor lunas, Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dikenai sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu. 7. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dicabut apabila : a. denda telah disetor secara lunas kepada BPJS dan telah mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar kewajiban; atau b. telah memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar bagi Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar kewajiban. 8. Bukti lunas pembayaran denda, pendaftaran kepesertaan, dan bukti pemberian data kepesertaan yang lengkap dan benar dijadikan sebagai dasar pencabutan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap narasumber Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota dan Ibu Isra selaku Petugas Pengawas dan Pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota Berkaitan dengan Mekanisme atau proses penerapan sanksi dan pemidanaan yang melanggar ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu Mekanisme penerapan sanksi terhadap korporasipemberi kerja baik secara administratif maupun sanksi pidana belum berjalan. Dalam pengertiannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 sanksi administratif diberikan bagi perusahaan yang tidak atau belum mendaftarkan pekerjanya ke dalam program BPJS Ketenagakerjaan maka dalam proses yang sudah dilakukan beberapa kali seperti imbauan dan teguran dan perusahaan tetap bandel atau tetap tidak merespon hal tersebut maka dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah untuk perusahaan yang bandel itu tidak mendapatkan izin usaha, tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu seperti Surat Izin Mengemudi SIM, dan tidak dapat mengurus Kartu tanda penduduk pada instansi yang bersangkutan bahkan hukuman terberat dari sanksi administratif perusahaankorporasi tersebut bisa ditutup. Tapi peran BPJS Ketenagakerjaan masih sebatas merekomendasikan, sedangkan yang melaksanakan hal itu adalah Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu untuk Memory Of Understanding MOU, kesepakatan dan kemitraan memang sudah ada, jika di kantor pusat itu sudah ada kerjasama atau Universitas Sumatera Utara MOU dengan pihak Kejaksaan dalam hal ini dengan Jaksa Agung, di tingkat provinsi dengan Kejaksaan Tinggi, dan ditingkat cabang sudah ada kerjasama dengan Kejaksaan Negeri. Proses untuk itu sudah dikerjakan tapi sifatnya masih sampai tahap mediasi, artinya ada perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait BPJS, kemudian dipanggil dengan surat panggilan tapi sifatnya masih sebatas mediasi, pemberian sanksi belum dapat dilakukan atau diterapkan. Kemudian juga perihal penerapan sanksi berkaita dengan perbuatan yang melanggar ketentuan undang-undang ini klasifikasinya ada 2, artinya perusahaan yang sudah mendaftar dan belum mendaftar. Jika yang belum mendaftar, tidak ada turunan juknisnya untuk memberikan sanksi 1.000.000.000,- satu milyar rupiah. Akan tetapi bagi perusahaan yang sudah mendaftar tapi tidak menyetor dan membayar iuran di BPJS Ketenagakerjaan itu yang akan diberikan sanksi. Dan perusahaan yang tidak mendaftar akan direkomendasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada Pemerintah Daerah untuk diberikan sanksi administratif, sementara yang dapat dikenakan sanksi pidana hanya perusahaan korporasi yang telah terdaftar tapi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dan BPJS Ketenagakerjaan akan merekomendasikan hal tersebut kepada pihak kejaksaan atas ketidakpatuhan pihak korporasiperusahaan. Indikasi bagi perusahaan yang tidak membayar atau tidak menyetor iuran di BPJS Ketenagakerjaan yaitu tidak membayar iuran pada tanggal 15 lima belas di bulan berikutnya. Bicara tentang bayar atau tidak membayar iuran itu tidak pendekatan hukum tapi cash flow management nya perusahaan, ada memang Universitas Sumatera Utara perusahaan yang mampu membayar dan ada juga yang tidak mampu membayar karena kondisi keuangan perusahaannya yang tidak baik. Cara atau prosesnya agar BPJS Ketenagakerjaan mengetahui perusahaan itu tidak membayar atau menyetor iuran maupun perusahaan yang tidak membayar yaitu untuk perusahaan yang telah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan bagian Relationship Officer RO di BPJS Ketenagakerjaan diberikan tanggung jawab untuk membina perusahaan, di monitoring pekerjaan bulanan selalu di check apakah memang seluruh perusahaan itu sudah membayar atau tidak, perusahaan yang belum membayar itu akan disurati dan diberi surat peringatan pertama dan kedua, jika perusahaan yang telah diberi peringatan kedua tapi belum juga melaksanakan kewajibannya maka dilakukan pemanggilan yang diserahkan ke kejaksaan melalui surat kuasa khusus dan surat kuasa khusus itu akan memberikan hak kepada Kejaksaan Negeri dalam hal ini kantor Cabang dalam hal sebagai jaksa pengacara Negara. Fungsi sebagai Jaksa Pengacara Negara di Kejari itu ada Namanya DATUM Pidana dan Tata Usaha Umum, di bagian DATUM ini dilakukan pemanggilan dan sifatnya baru sebatas mediasi, pada saat misalnya perusahaan tidak juga dapat melaksanakan kewajibannya maka tahap selanjutnya pihak BPJS Ketenagakerjaan menyerahkan ke KPKNL Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara dibawah kementerian keuangan. Untuk peraturan pelaksana atau peraturan yang lebih teknis dari Undang- Undang No. 24 Tahun 2011 yang mengatur mekanisme atau proses penerapan sanksi terutama sanksi Pidana belum ada. Yang ada masih sebatas ketentuan lebih lanjut berkaitan dengan sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah No. 86 Universitas Sumatera Utara Tahun 2013. Sanksi Pidana sama sekali belum berjalan akan tetapi sanksi administratif sudah mulai dilakukan, Namun dalam pelaksanaan sanksi administratif ini juga belum ada sampai dikenakan tidak mendapat pelayanan publik tertentu dari pemerintah kepada perusahaan pekerjanya. Berkaitan dengan belum adanya petunjuk teknis dari Undang-undang BPJS dan PP No. 86 Tahun 2013, maka prosesnya belum dapat diterapkan secara maksimal sebelum adanya aturan hukum yang lebih teknis, dan pada akhirnya eksekusinya masih gantung dan belum dapat diterapkan. Untuk itu perlu adanya aturan yang lebih khusus dan lebuh teknis mengatur perihal mekanisme penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana. F. Kendala dan upaya dalam penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 1. Kendala dalam penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Untuk dapat menerapkan sanksi dalam rangka penegakan hukum di Indonesia berkaitan dengan tindak pidana dan perbuatan melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak berjalan dengan baik sesuai amanah undang-undang, melainkan ada kendala yang menjadi penghambat dalam proses ini. Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap narasumber yaitu Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota, Kendala yang dihadapi BPJS Universitas Sumatera Utara Ketenagakerjaan dalam menerapkan sanksi 173 173 Wawancara dengan Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota pada tanggal 30 Juni 2016 yaitu yang paling dominan adalah belum adanya peraturan pelaksana atau peraturan yang lebih khusus yang mengatur mekanismeproses penerapan sanksi administratif dan pidana. Jika sudah ada peraturan yang lebih khusus berkaitan hal ini maka BPJS Ketenagakerjaan lebih punya power dan wewenang yang jelas untuk dapat menerapkan sanksi tersebut sehingga tidak adanya kesewenang-wenangan dan pelanggaran yang BPJS Ketenagakerjaan sendiri lakukan terhadap masyarakat dan menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai koridor dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian, kendala yang tidak berhubungan langsung tapi sedikit mempengaruhi kinerja BPJS Ketenagakerjaan dalam hal penerapan sanksi yaitu karena BPJS Ketenagakerjaan termasuk instansi atau badan hukum publik yang baru dan masih dalam masa transisi dari JAMSOSTEK oleh karena itu juga pengaturan terkait BPJS Ketenagakerjaan juga harus disusun secara sistematis dan juga masyarakat umum banyak yang belum mengetahui peraturan mengenai BPJS Ketenagakerjaan. Dan Kemudian juga selalu bertambahnya jumlah perusahaan dari hari ke hari dan tidak semua perusahaan dapat diketahui keberadaannya secara resmi sedikit banyaknya menyulitkan dalam hal pendataan untuk dapat menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan dan mendapatkan program dari BPJS Ketenagakerjaan. Universitas Sumatera Utara Kurangnya kesadaran para pemberi kerja atau korporasi dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui jaminan sosial yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, padahal merupakan suatu kewajiban bagi para pemberi kerja dan korporasi untuk mendaftarkan para pekerjanya ke dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 juga merupakan kendala yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan. Berkaitan dengan belum adanya petunjuk teknis dari Undang-undang BPJS dan PP No. 86 Tahun 2013, maka prosesnya belum dapat diterapkan secara maksimal sebelum adanya aturan hukum yang lebih teknis, dan pada akhirnya eksekusinya masih gantung dan belum dapat diterapkan. Untuk itu perlu adanya aturan yang lebih khusus dan lebuh teknis mengatur perihal mekanisme penerapan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana. 2. Upaya yang dapat dilakukan BPJS untuk menerapkan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana Dalam hal belum optimal dan belum terlaksananya penerapan sanksi baik administratif dan terutama sanksi pidana terhadap korporasi yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan juga banyaknya kendala yang dihadapi oleh pihak BPJS Ketengakerjaan seperti yag telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, oleh karena itu sangat diperlukan upaya yang dapat dilakukan oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan dan instansi terkait untuk dapat diterapkannya sanksi tersebut demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap narasumber Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota, Upaya yang dapat dilakukan 174 adalah terus mengupayakan kerjasama yang sistematis dan baik antara BPJS Ketenagakerjaan dengan Instansi terkait seperti pemerintah daerah baik pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupatenkota, pihak kejaksaan, Kementerian dalam negeri dan instansi terkait lainnya yang punya hubungan yang erat dengan BPJS Ketenagakerjaan yang dapat membantu kinerja BPJS Ketenagakerjaan sehingga pada akhirnya mampu untuk menerapkan sanksi secara optimal. Kemudian juga upaya yang dapat dilakukan jika di kantor Cabang sendiri mengusulkan atau memberikan saran kepada BPJS Ketenagakerjaan pusat terkhusus di divisi hukum dan kepatuhan di kantor pusat untuk segera juga mengusulkan kepada lembaga legislatif dalam hal ini kepada DPR-RI maupun DPRD untuk dapat menyegerakan pembahasan dan pembuatan serta pengesahan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 berkaitan dengan petunjuk yang lebih teknis pelaksanaan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau perusahaan jika melanggar undang-undang ini. 174 Wawancara dengan Bapak Armada Kaban selaku Kepada Bidang Pemasaran Penerima Upah BPJS Ketenagakerjaan Cabang Medan Kota pada tanggal 30 Juni 2016 Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

6 127 174

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - [ PERATURAN ]

0 3 68

PENEGAKAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surak

0 3 19

SKRIPSI Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.

0 5 12

PENDAHULUAN Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta.

0 2 16

Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam Pengelolaan Dana Jaminan Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

0 0 15

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

0 0 68

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 68

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA TERHADAP PERUSAHAAN YANG TIDAK MEMBAYAR DAN MENYETORKAN IURAN YANG MENJADI TANGGUNGJAWABNYA KEPADA BPJS (Studi Kasus BPJS Ketenagakerja

0 1 15