Proses Pengikatan Kredit Dengan Sk Camat Sebagai Agunan Pada PT. Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan
PROSES PENGIKATAN KREDIT DENGAN SK
CAMAT SEBAGAI AGUNAN PADA PT. BANK
SYARIAH MANDIRI Tbk. CABANG MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
NIM : 090200149
YANDINANTI PUTRI HANUM SIREGAR
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
PROSES PENGIKATAN KREDIT DENGAN SK
CAMAT SEBAGAI AGUNAN PADA PT. BANK
SYARIAH MANDIRI Tbk. CABANG MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
NIM : 090200149
YANDINANTI PUTRI HANUM SIREGAR
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Adiministrasi Negara
NIP. 19600214987032002 Suria Ningsih, SH.,M.Hum
Pembimbing I
NIP. 196112311987031023
Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN
Pembimbing II
Zaidar, SH.M.,Hum NIP. 195813166143911002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “
Proses Pengikatan Kredit Dengan SK Camat Sebagai
Agunan Pada PT. BANK SYARIAH MANDIRI Tbk. CABANG
MEDAN
”.Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(4)
I yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Zaidar, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
Universitas Sumatera Utara.
7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada
terhingga kepada Ayahanda dan, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.
8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2013
Penulis
NIM : 090200149
(5)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAK ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 3
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 4
E. Metodologi Penulisan ... 4
F. Keaslian Penulisan ... 6
G. Sistematika Penulisan. ... 6
BAB II. KEDUDUKAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN KREDIT BANK ... 8
A. Hak-Hak Atas Tanah ... 8
B. Pengertian dan Objek Hak Tanggungan ... 26
C. Kegunaan Jaminan Dalam Pemberian Kredit ... 30
D. Tanah Sebagai Agunan Kredit. ... 33
BAB III. PELAKSANAAN PENGIKATAN KREDIT DENGAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN ... 41
A. Proses Pengikatan Jaminan Dengan SK Camat ... 41
(6)
C. Tugas dan Fungsi PPAT Dalam Pengikatan Jaminan ... 52
BAB IV. KENDALA YANG DIHADAPI DALAM KAITANNYA DENGAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN KREDIT. ... 59
A. Kelemahan SK Camat Sebagai Agunan Kredit ... 59
B. Eksekusi Jaminan Kredit Pada Bank Syariah Mandiri TBK. Cabang Medan. ... 62
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran. ... 72 DAFTAR PUSTAKA
(7)
ABSTRAK
PROSES PENGIKATAN KREDIT DENGAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI
TBK. CABANG MEDAN
Perkembangan industri dan perdagangan dewasa ini juga berakibat secara langsung terhadap perkembangan lembaga jaminan itu sendiri, yang salah satu perkembangan tersebut adalah jaminan hutang baik itu jaminan perserorangan maupun jaminan kebendaan. Keberadaan jaminan kredit yang dalam penelitian ini difokuskan pada hak atas tanah yang di atasnya dibuat SK Camat berupa surat peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi. Keberadaan hak atas tanah yang di atasnya diikat dengan SK Camat pada beberapa dapat dijadikan sebagai agunan kredit. Hal ini disebabkan Camat adalah pejabat pemerintahan dan juga berstatus sebagai PPAT Sementara maka keberadaan SK Camat atas sebidang tanah memiliki fleksibilitas sebagai agunan untuk mendapatkan kredit.
Permasalahan yang diajukan dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit dan bagaimana eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan.
Setelah dilakukan pembahasan dan penelitian maka diketahui kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit adalah SK tersebut adalah karena titelnya yang berjudul peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi. Dengan titel yang demikian maka SK camat yang dijadikan sebagai agunan kredit kurang memiliki kekuatan eksekutorial terhadap tanah tersebut. Selain itu dapat saja terjadi tanah yang di atasnya dibuat SK Camat merupakan tanah negara sehingga sangat merugikan bank. Eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan dilakukan setelah tidak menemui jalan penyelesaian atas kredit macet nasabah. Eksekusi dapat dilakukan dengan adanya izin ketua Pengadilan setempat atas objek tanah yang dijadikan sebagai jaminan hutang debitur. Disarankan dalam hal ini para pihak termasuk kreditur (bank) dan debitur dalam menyelesaikan masalah kredit yang bermasalah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat sehingga tidak terjadi suatu keadaan yang sangat merugikan kedua belah pihak misalnya dengan jalan penyitaan dan penjualan secara lelang barang-barang jaminan debitur. Kepada pihak debitur maupun kepada pihak perbankan dalam penyelesaian timbulnya kredit macet ini hendaknya dapat melakukan kerjasama yang baik sehingga penyelesaian yang tidak memalukan debitur serta tidak merugikan pihak perbankan dapat dilakukan sebaik mungkin.
(8)
ABSTRAK
PROSES PENGIKATAN KREDIT DENGAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI
TBK. CABANG MEDAN
Perkembangan industri dan perdagangan dewasa ini juga berakibat secara langsung terhadap perkembangan lembaga jaminan itu sendiri, yang salah satu perkembangan tersebut adalah jaminan hutang baik itu jaminan perserorangan maupun jaminan kebendaan. Keberadaan jaminan kredit yang dalam penelitian ini difokuskan pada hak atas tanah yang di atasnya dibuat SK Camat berupa surat peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi. Keberadaan hak atas tanah yang di atasnya diikat dengan SK Camat pada beberapa dapat dijadikan sebagai agunan kredit. Hal ini disebabkan Camat adalah pejabat pemerintahan dan juga berstatus sebagai PPAT Sementara maka keberadaan SK Camat atas sebidang tanah memiliki fleksibilitas sebagai agunan untuk mendapatkan kredit.
Permasalahan yang diajukan dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit dan bagaimana eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan.
Setelah dilakukan pembahasan dan penelitian maka diketahui kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit adalah SK tersebut adalah karena titelnya yang berjudul peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi. Dengan titel yang demikian maka SK camat yang dijadikan sebagai agunan kredit kurang memiliki kekuatan eksekutorial terhadap tanah tersebut. Selain itu dapat saja terjadi tanah yang di atasnya dibuat SK Camat merupakan tanah negara sehingga sangat merugikan bank. Eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan dilakukan setelah tidak menemui jalan penyelesaian atas kredit macet nasabah. Eksekusi dapat dilakukan dengan adanya izin ketua Pengadilan setempat atas objek tanah yang dijadikan sebagai jaminan hutang debitur. Disarankan dalam hal ini para pihak termasuk kreditur (bank) dan debitur dalam menyelesaikan masalah kredit yang bermasalah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat sehingga tidak terjadi suatu keadaan yang sangat merugikan kedua belah pihak misalnya dengan jalan penyitaan dan penjualan secara lelang barang-barang jaminan debitur. Kepada pihak debitur maupun kepada pihak perbankan dalam penyelesaian timbulnya kredit macet ini hendaknya dapat melakukan kerjasama yang baik sehingga penyelesaian yang tidak memalukan debitur serta tidak merugikan pihak perbankan dapat dilakukan sebaik mungkin.
(9)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pembangunan nasional meletakkan dasar-dasar bagi perjuangan pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat untuk peningkatan ekonomi dan setiap bidang pada umumnya. Maka perlu adanya pola dasar pembangunan nasional yang menggariskan apa tujuan pembangunan, serta landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan pembangunan itu sendiri.
Suatu hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pembangunan adalah tersedianya permodalan. Permodalan tidaklah didapatkan begitu saja tetapi dibutuhkan sarana-sarana lain termasuk halnya meletakkan keberadaan lembaga jaminan yang dibutuhkan masyarakat pemodal itu sendiri.
Perkembangan industri dan perdagangan dewasa ini juga berakibat secara langsung terhadap perkembangan lembaga jaminan itu sendiri, yang salah satu perkembangan tersebut adalah jaminan hutang baik itu jaminan perserorangan maupun jaminan kebendaan. Keberadaan jaminan kredit yang dalam penelitian ini difokuskan pada hak atas tanah yang di atasnya dibuat SK Camat berupa surat peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi. Keberadaan hak atas tanah yang di atasnya diikat dengan SK Camat pada beberapa dapat dijadikan sebagai agunan kredit. Hal ini disebabkan Camat adalah pejabat pemerintahan dan juga berstatus sebagai PPAT Sementara maka keberadaan SK Camat atas sebidang tanah memiliki fleksibilitas sebagai agunan untuk mendapatkan kredit.
(10)
Manusia adalah homo economicus dan setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia yang beraneka ragam sesuai dengan harkatnya selalu meningkat, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya itu terbatas. Hal ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya. Dalam hal ia berusaha, maka untuk meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna sesuatu barang, ia memerlukan bantuan dalam bentuk permodalan. “Bantuan dari bank dalam bentuk tambahan modal inilah yang sering disebut dengan kredit”.1
Dengan demikian kredit itu dapat pula berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang, uang, atau jasa kepada pihak lain, sedangkan kontraprestasi akan diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu).2
Dalam hal pemberian kredit maka perihal keberadaan jaminan sangat utama dalam hal seorang debitur mendapatkan kreditnya. Aspek jaminan pada dasarnya didasarkan kepada penanggulangan resiko apabila ternyata debitur lalai melunasi kreditnya, sehingga dengan demikian keberadaan jaminan dititik beratkan pada kecukupan nilai harta yang dijadikan jaminan kebendaan debitur dalam hal permohonan kreditnya. Atau dengan kata lain keberadaan jaminan disandarkan kepada apakah nilai kredit yang dimohonkan debitur sesuai dengan nilai harta yang ada atau jaminan yang diajukan debitur. Apabila dirasakan cukup untuk bank, maka penilaian jaminan tersebut akan dilakukan klarifikasi baik itu
1
Thomas Suyatno, et. al. Dasar-Dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 12-13.
2
(11)
hak atas jaminan tersebut bukan merupakan hak orang lain. Atau debitur menjaminkan sesuatu hak yang bukan debitur sendiri pemiliknya.
Dengan demikian kedudukan jaminan sangat potensial dalam hal menunjukkan kemampuan dari tingkatan pengamanan kredit yang dimohonkan oleh debitur, atas suatu pelepasan kredit oleh bank kepada nasabahnya, pertama-tama akan selalu dimulai dengan permohonan kredit oleh nasabah yang bersangkutan. Apabila bank menganggap permohonan tersebut layak untuk diberikan, maka untuk dapat terlaksananya pelepasan kredit tersebut, terlebih dahulu haruslah diadakan suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian kredit atau pengakuan hutang.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian skripsi ini mengambil judul “Proses Pengikatan Kredit Dengan SK Camat Sebagai Agunan Pada PT. Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan”.
B. Permasalahan
Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.
1. Bagaimana kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit?
2. Bagaimana eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang
(12)
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit.
2. Untuk mengetahui eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk.
Cabang Medan Padang Bulan.
D. Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:
a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum
perdata dalam kaitannya dengan perjanjian kredit bank dengan jaminan SK Camat.
b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil
manfaatnya terutama dalam hal mengetahui dari pelaksanaan pertanggungjawaban para pihak dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan SK Camat.
E. Metodologi Penulisan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis
(13)
atau bahan hukum yang lain.3
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti
KUH Perdata, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, serta Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:
1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
3
(14)
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Proses Pengikatan Kredit Dengan SK Camat Sebagai Agunan Pada PT. Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
(15)
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Kedudukan SK Camat Sebagai Agunan Kredit Bank
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan judul sub bab yaitu hak-hak atas tanah, pengertian dan objek hak tanggungan, kegunaan jaminan dalam pemberian kredit serta tanah sebagai agunan kredit.
Bab III. Pelaksanaan Pengikatan Kredit Dengan SK Camat Sebagai Agunan
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang
secara umum dibahas mengenai proses pengikatan jaminan dengan sk camat, tugas dan fungsi ppat dalam pengikatan jaminan serta proses pemberian kredit dengan pengikatan tanah sk camat.
Bab IV. Kendala Yang Dihadapi Dalam Kaitannya Dengan SK Camat Sebagai Agunan Kredit.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap kelemahan sk
camat sebagai agunan kredit serta eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana
(16)
BAB II
KEDUDUKAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN KREDIT BANK A. Hak –Hak Atas Tanah
Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, oleh karena sebagian besar kehidupan manusia adalah bergantung kepada tanah. Tanah sebagai suatu benda yang bersifat permanen dan dapat dicadangkan untuk kehidupan dimasa yang akan datang, sebab tanah merupakan tempat bermukim bagi umat manusia, di samping sebagai sumber kehidupan bagi mereka yang mencari nafkah seperti petani, tanah juga dipergunakan sebagai tempat persemayaman terakhir bagi orang yang meninggal dunia.
Mengingat kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat disebabkan pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi yang selalu membutuhkan tanah maka diperlukan suatu pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah, yang dengan singkat disebut Hukum Tanah.
Hukum Tanah di Indonesia saat ini adalah berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang ini tidak hanya mengatur tanah saja akan tetapi termasuk di dalamnya bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, maka Hukum agraria tersebut memberikan pengertian bumi, air dan ruang angkasa sebagai berikut : " Bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air, air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia, ruang angkasa,
(17)
ialah ruang di atas bumi dan air ".4
Dari uraian tersebut nampak bahwa Hukum Agraria meliputi Hukum Tanah atau Hukum Tanah termasuk sebagian dari Hukum agraria. Berdasarkan hak menguasai dari Negara, seperti yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah memberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang atau kepada suatu badan hukum.
Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Tanah adalah permukaan bumi, maka hak atas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan tanahnya saja sedangkan benda-benda lain di dalam tanah umpamanya bahan-bahan mineral, minyak dan lain-lainnya tidak termasuk. Hal yang terakhir ini diatur khusus dalam beberapa peraturan perundangan lain, yaitu
undangundang-undang tentang ketentuan pokok pertambangan. 5
Setelah hak atas tanah diberikan kepada seseorang maupun kepada suatu badan hukum, maka terjadilah suatu hubungan hukum antara pemilik tanah atau terhadap yang berhak atas tanah.
Dengan adanya hubungan hukum ini, maka yang mempunyai hak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap tanahnya seperti mengadakan jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain sebagainya.
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 bahwa yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
4
(18)
Berdasarkan uraian di atas, maka seseorang atau Badan Hukum yang mempunyai suatu hak, oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula memelihara termasuk untuk menambah kesuburan tanahnya dan mencegah kerusakan tanah tersebut.
Untuk menjaga keamanan dan kepastian hukum hak atas tanah, maka setiap orang yang memperoleh dan memiliki hak hendaknya mengusahakannya agar dapat memiliki sertifikat hak atas tanah. Dengan demikian si pemiliksertifikat hak atas tanah tersebut, akan lebih merasa aman dan tenang untuk mempergunakan haknya.
Membicarakan hak-hak tanah ini maka kita harus meninjaunya dari berbagai sudut hukum yang hidup di Indonesia, baik itu hukum adat, Perdata dan Agraria.
1. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat
Hak-hak atas tanah menurut hukum adat ini di Indonesia dapat kita lihat seperti : Hak pertuanan dari persekutuan desa.
Hak pertuanan ini, yang dinamakan hak ulayat tidak melekat pada perseorangan (individu), melainkan pada suatu persekutuan seperti desa di Jawa. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht.6
Hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar maksudnya warga luar masih ada kemungkinan untuk dapat mengenyam/menggarap tanah
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, PT. Internasa, Jakarta, 2000, hal. 26.
(19)
ulayat tersebut dengan izin persekutuan serta telah membayar uang pemasukan (mesi) dalam bahasa Jawa. Memang pada prinsipnya warga luar tidak boleh mengenyam/menggarap tanah ulayat itu, kecuali dengan cara yang baru disebut di atas.
Sedangkan berlaku ke dalam, persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersamaan sebagai kesatuan, hak ulayat dimaksud memetik hasil dari pada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup di atasnya.
Yang menjadi objek hak ulayat ini adalah : a. Tanah (daratan).
b. Air (perairan eperti misalnya kali, danau, pantai beserta perairannya).
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara luar (pohon, buah-buahan,
pohon-pohon kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya). d. Binatang yang hidup liar.7
Hak-hak yang dapat diperoleh seseorang warga dari satu persekutuan hukum di dalam lingkungan tanah ulayatnya adalah :
a. Hak menebang kayu.
Setiap penduduk (warga) dapat menebang kayu di hutan-hutan dengan tidak meminta izin dan atau memberitahukan kepada yang berwajib, kayu mana akan dipergunakannya untuk kayu api atau perumahan.
b. Hak memungut hasil hutan.
Hasil hutan, seperti rotan, damar dan lain-lain dapat diperoleh oleh setiap warga dengan cara dan syarat, sebagaimana pada hak menebang kayu.
c. Hak mengembalakan ternak.
7
(20)
Setiap warga berhak melepaskan ternaknya, tidak saja di atas tanah mentah, tetapi juga di atas tanah-tanah yang telah diusahakan, umpamanya sawah, tetapi pada waktu sawah itu tidak ditanami atau pada waktu kosong. Apabila pemilik tidak mengizinkannya, maka dia harus membuat pagar di sekeliling sawah tersebut.
d. Hak memburu.
Dengan tidak memerlukan izin dan juga tidak harus membayar ganti kerugian, setiap warga dapat berburu dalam lingkungan tanah ulayat dari suatu persekutuan hukum.
Hak-hak tersebut di atas sebenarnya belum/bukan hak atas tanah, tetapi hak yang dapat diperoleh atas binatang-binatang dan tanam-tanaman, yang hidup dan tumbuh liar di atas tanah ulayat. Jadi dalam hal ini untuk lebih jelas mengenai hak atas tanah yang dapat diperoleh seorang warga dari persekutuan hukum di dalam lingkungan tanah ulayat adalah dimulai dengan :
Hak-Hak Perorangan atas tanah :
a. Hak membuka tanah.
Untuk memperoleh hak ini pada umumnya diperlukan izin karena tanpa izin dari yang berwajib perbuatan itu melanggar hukum dan pekerjaan yang telah dimulai harus dihentikan. Pemberian izin biasanya hanya dengan lisan saja.
b. Hak memungut hasil.
Hak memungut hasil, satu hak perseorangan atas tanah. Hak ini mempunyai sifat sementara, dengan perkataan lain hanya dapat diperoleh untuk satu tahun panen.
(21)
Apabila di atas tanah ini terdapat pohon kelapa yang memperoleh hak memungut hasil tidak dapat memungut hasil dari pohon ini, karena dalam hukum adat hak atas pohon dipisahkan dari hak atas tanah, yang mempunyai hak atas pohon ialah yang menanamnya dan hak ini dapat sedemikian kuatnya sehingga menimbulkan hak atas tanah, di atas mana pohon itu ditanam. Jadi apabila sebidang tanah ditanami rapat dengan tanaman keras, pohon kelapa atau rambung umpamanya, maka hak atas pohon-pohon rambung/kelapa ini menimbulkan hak atas tanahnya, karena tanaman keras adalah satu tanda bekas dari pembukaan, yang masih memberi hasil.
c. Hak Wenang Pilih.
Hak ini ialah hak pertama terhadap tanah, hak seseorang warga untuk didahulukan dari yang lain mengusahakan, menguasai tanah. Haknya ini tidak dapat dipertahankan apabila dilewatkan dengan begitu saja waktu untuk menanam, karena seseorang warga yang lain dapat menuntut supaya tanah tersebut diusahakan terus atau diberikan kepada yang menuntut untuk diusahakannya.
d. Hak belengket atau hak wenang beli.
Hak seseorang untuk didahulukan dari orang lain mendapat kesempatan membeli tanah pertanian/perumahan dan empang dengan harga yang sama disebut hak belengket/hak wenang beli.
Hak ini diberikan kepada :
1) Sanak saudara untuk didahulukan dari yang bukan sanak saudara.
(22)
3) Pemilik tanah/empang yang berbatasan untuk diutamakan dari orang lain. Jika yang tersebut di atas ini tidak ada yang berminat, barulah diberikan kepada orang lain untuk membelinya.
e. Hak milik.
Dengan meninggalkan cara mengusahakan tanah hanya untuk satu tahun
panen saja (wissel bouw), sebagaimana pada hak memungut hasil, maka
terjadilah pengusahaan tanah yang lebih kekal oleh seseorang warga atas tanah yang dapat disebut sebagai hak miliknya, jadi hak milik timbul apabila sebidang tanah diusahakan terus-menerus dan/atau ditanami dengan tanaman keras seluruhnya.
Menurut hukum adat, hak milik merupakan hak perseorangan atas tanah dan merupakan hak yang paling pokok. Sekalipun hak ini merupakan hak yang paling pokok, namun hak ini masih dapat dibatalkan apabila :
1) Tidak diusahakan terus, sehingga hapus lenyap segala bekas-bekas tanda-tanda usaha manusia, kembali menjadi belukar dengan melewati satu tingkatan dari cara menyatakan hak atas tanah.
2) Tidak ada lagi yang berhak atasnya, umpamanya apabila pemilik pergi
meninggalkan daerah persekutuan hukum.
3) Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh persekutuan
hukum.
f. Hak atas tanah perumahan.
Hak ini adalah hak setiap orang yang telah berumah tangga (kawin) atas sebidang tanah untuk perumahan, biasanya ini telah ditentukan pada suatu
(23)
tempat tertentu. Dalam hal ini yang membutuhkannya harus meminta izin kepada Kepala Persekutuan. Sesudah itu harus membebaskan tanah dari segala beban, umpamanya membayar ganti kerugian utuk tanam-tanaman keras kepada pemiliknya.
g. Hak Atas Tanah Jabatan.
Selama dalam masa jabatannya seorang warga diberikan sebidang tanah, yaitu tanah jabatan. Dari tanah ini ia berhak dan dapat menarik keuntungan. Hak yang diterangkan di atas ini ialah hak yang diperoleh dengan mengadakan satu tindakan, perbuatan yang tegas, mengadakan ikatan dengan tanah, yang di dalam aslinya dikuasai penuh oleh hak ulayat dari satu persekutuan hukum.
Transaksi tanah yang dilakukan berdasarkan hak atas tanah :
a. Gadai
Penyerahan tanah dengan perjanjian bahwa pemilik dapat memperoleh tanahnya kembali apabila uang yang dipinjam dalam jumlah yang serupa dikembalikan. Yang menerima gadai dapat menarik keuntungan dari tanah tersebut bagaikan seorang pemilik, terkecuali menjual lepas, dan apabila pada suatu waktu juga memerlukan uang, maka tanah ini dapat digadaikannya lagi. b. Jual lepas.
Menjual tanah kepada orang lain, dimana si pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada si pemilik tanah/penjual, sedangkan si pemilik menyerahkan haknya atas tanah yang dibeli.
c. Jual tahunan.
(24)
ditentukan, yaitu sesudah beberapa tahun panen, tanah dimaksud kembali kepada pemilik tanpa ada sesuatu perbuatan hukum. Selama diserahkan maka yang memberikan uang dapat menarik keuntungan dari tanah tersebut yaitu memungut hasil.
Transaksi - transaksi yang dilakukan dan memiliki hubungan dengan tanah:
a. Membela Tanah (Bola Pinang).
Pemilik tanah yang tidak berkesempatan untuk mengerjakan endiri tanahnya itu menyerahkan kepada orang lain untuk diusahakannya, dengan ketentuan bahwa hasil dari tanah tersebut dalam jumlah yang telah ditentukan terlebih dahulu harus diserahkan kepada pemilik tanah, sedangkan sebagian lagi menjadi bahagian dari orang yang mengerjakan tanah tersebut.
b. Hak sewa.
Apabila seseorang menempati atau mengusahakan tanah orang lain dengan pembayaran sejumlah uang kepada pemiliknya dan dalam tempo yang diperjanjikan terlebih dahulu. Perjanjian sewa ini dapat diputuskan bila masa waktu yang ditentukan sudah habis.
c. Hak Jaminan.
Hak jaminan ialah memberikan tanah sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, hal mana harus diperbuat di muka yang berwajib. Hal ini tidak sama dengan gadai karena gadai tanahnya dikuasai oleh pembeli gadai sedangkan pada jaminan ini bendanya tetap dikuasai oleh pemiliknya, dan ia dituntut harus melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, bila ia tidak
(25)
dapat melunasi hutangnya maka benda (tanah) jaminan dapat dirubah misalnya hak gadai ataupun jual lepas untuk pelunasannya.
d. Hak menumpang
Hak ini diperoleh seseorang untuk mendiami rumah yang ada di atas tanah orang lain, yang mana hak ini diperolehnya atas kemurahan hai dari si pemilik tanah/rumah. Jadi dalam hal ini si penumpang tidak perlu membayar sewa, tetapi yang menumpang harus memberikan bantuan sepenuhnya kepada si pemilik tanah.
Hak perseorangan :
a. Hak Pakai
Apabila seseorang warga persekutuan meninggalkan daerah tempat tinggalnya buat sementara, maka ia dapat memberikan kepada sanak saudaranya ataupun teman sekampung untuk mengusahakan dan menjaga tanahnya selama ia bepergian. Hak yang memperoleh izin untuk mengusahakan tanah tersebut disebut hak pakai.
b. Grant Sultan.
Grant Sultan adalah suatu hak yang diberikan oleh Sultan kepada seseorang
yang termasuk kaula swapraja/kerabat sultan untuk mengusahakan tanah, hak ini akan hapus bila yang memohon/meminta tidak menguasainya lagi.
c. Grant Controleur.
Grant Controleur ini hanya diberikan kepada :
1) Orang yang tunduk kepada KUH Perdata,
(26)
Sebenarnya Grent Contreleur hampir sama dengan Grant Sultan hanya yang memberikan dan pendaftarannya di Kantor Contrloleur..
d. Grand Deli Mij.
Sehubungan yang disebut di atas mengenai Grant Controleur diterangkan juga satu jenis hak atas tanah yang hanya terdapat di lingkungan kota Medan yang disebut Grand Deli Mij. 8
Dari kata pemberian tidak dapat diketahui hak apa yang diberikan Deli Mij, semula disangka bahwa Deli Mij akan melimpahkan sebagian dari hak yang
diperoleh : Grand Controleur. Tetapi kemudian disebut pergantian
sewa-menyewa. 9
Kalau kita perhatikan dari tiga jenis Grant di atas, bahwa Grant Sultan itu adalah :
- Suatu hak yang diberikan oleh Sultan,
- Kepada seseorang yang termasuk kaula swapraja.
- Hak untuk mengusahakan tanah.
Perbedaan antara Grant Sultan dengan Grant Controleur adalah :
- Grant Controleur ini diberikan kepada orang yang tunduk kepada KUH
Perdata, dan kepada rakyat Indonesia (orang Government), serta pendaftaran di Kantor Controleur.
- Sedangkan hak yang diberikan dalam Grant Sultan adalah sama dengan hak
yang diberikan dalam Grant Controleur dan hanya sebagian saja yang
8
Hatunggal Siregar, Hukum Tanah Menurut Hukum Adat, FH-USU, Medan, 2005, hal. 16.
9
(27)
mengeluarkannya adalah sultan sebagai pemegang kekuasaan.
Grant sultan dan Grant Controleur ini membedakannya dengan Grant
Deli Mij adalah :
- Grant Deli Mij hanya terdapat di lingkungan kota Medan,
- Dan tidak jelas apa yang diberikan Deli Mij.
2. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Perdata
Dengan keluarnya UUPA No. 5 Tahun 1960, ketentuan-ketentuan dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan hipotik, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Jadi jelasnya bahwa hak-hak atas tanah yang diatur dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi setelah keluarnya UUPA No. 5 tahun 1960.
Namun demikian untuk melihat perbandingan pengaturan hak-hak atas tanah itu, maka penulis merasa perlu menguraikan selayang pandang hak-hak atas tanah menurut KUH Perdata, terutama mengenai hak milik.
a. Hak Milik (Hak Eigendom).
Pasal 570 KUH perdata menentukan, bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan
(28)
dengan pembayaran ganti rugi.
Pasal 570 KUH Perdata ini menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak milik yang mempunyai dua unsur :
1) Hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan dari sesuatu kebendaan itu,
2) Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual,
menukar, dan lain sebagainya.
Namun walaupun demikian dalam memperlakukan hak ini, undang-undang masih menentukan pembatasan, dimana hak ini masih mungkin dicabut demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang, tetapi harus dengan memberi ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah yang haknya tersebut dicabut.
b. Hak Servitut (pengabdian pekarangan).
Pengabdian pekarangan ini adalah suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang lain (Pasal 674 KUH Perdata).
c. Hak Opstal.
Hak opstal ialah hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung,
bangunan-bangunan ataupun tanam-tanaman di atas pekarangan orang lain (Pasal 711 KUH Perdata). Hak opstal ini lazim juga disebut hak numpang karang, hak ini dapat dialihkan kepada orang lain dan dapat dijadikan jaminan hutang.
d. Hak erpacht.
Hak erpacht ini adalah hak usaha /hak kebendaan untuk menikmati hasil dari
(29)
membayar setiap tahun sejumlah hasil bumi atau sejumlah uang kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu (Pasal 720 KUH Perdata).
e. Hak Memungut Hasil.
Hak memungut hasil ini adalah hak kebendaan dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil-hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu dan dengan kewajiban memelihara sebaik-baiknya (Pasal 756 KUH Perdata).
f. Hak Pakai dan Hak mendiami.
Hak pakai dapat kita lihat di dalam Pasal 818 KUH Perdata, dikatakan bahwa hak pakai adalah suatu hak kebendaan dengan memelihara sifat dan bentuknya serta selaras dengan maksudnya dan mengambil hasil-hasil jika ada untuk kebutuhan sendiri atau keluarganya.
Melihat uraian di atas nyata bahwa hanyalah si pemakai sendiri beserta keluarganya yang mempunyai hak untuk menikmati hasil dari bendanya, sedangkan orang lain sama sekali tidak boleh turut memungut hasilnya.
Sebagai kewajiban-kewajiban si pemakai hak disebutkan oleh Pasal 819 KUH Perdata adalah seperti berikut :
1) Mengadakan jaminan memakai barang sebaik-baiknya,
2) Membuat catatan adanya barang-barang yang dipakai,
3) Memelihara barangnya seperti seorang kepala rumah tangga yang baik (als
goed huisvader).
(30)
g. Bunga Tanah.
Yang dinamakan bunga tanah ialah suatu beban utang untuk dibayar baik dengan uang, maupun dengan hasil bumi beban mana diikatkan oleh seorang pembeli tanah pada tanah miliknya atau diperjanjikannya demi kepentingan diri sendiri atau kepentingan pihak ketiga, tatkala itu dijual atau dihibahkannya (Pasal 737 KUH Perdata).
h. Hak Hypotheek (Hipotik).
Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan atas barang-barang tak bergerak, yang dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran kembali dari suatu hutang dengan pendapatan penjualan barang tak bergerak itu (Pasal 1162 KUH Perdata).
3. Hak Atas Tanah Menurut UU No. 5 Tahun 1960
Adapun hak-hak atas tanah yang diatur dalam pasal 16 UUPA yang dapat diberikan kepada rakyat oleh negara ialah :
a. Hak milik.
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dijumpai oleh orang atas tanah dengan mengingat pasal 6 UUPA.
Terkuat dan terpenuh yang dimaksud disini adalah hak milik itu bukan berarti merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak bisa diganggu gugat, di samping itu juga kata " terkuat " dan " terpenuh " itu dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain sebagainya.
(31)
ketentuan pasal 6 UUPA, yaitu tanah harus berfungsi sosial, artinya bila kepentingan umum menghendaki, maka kepentingan pribadi harus dikorbankan (tentu dengan jalan ganti kerugian yang layak).
b. Hak Guna Usaha.
Untuk hak ini merupakan hak yang baru diciptakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, jadi tidak seperti hak milik yang telah dikenal sudah sejak jaman dahulu kala sebab hak guna usaha dan hak guna bangunan semula tidak dikenal oleh masyarakat kita sebab tidak ada persamaannya dalam hukum adat dan kedua hak di atas itu untuk memenuhi keperluan masyarakat moderen dewasa ini.
Yang dimaksud dengan hak guna usaha tercantum dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : " Hak Guna Usaha adalah hak untukmengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, dan dipergunakan oleh perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
c. Hak Guna Bangunan.
Yang dimaksud dengan hak guna bangunan tercantum dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
(32)
diperpanjang dengan waktu 20 tahun.
d. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang ini (pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria).
Dengan demikian hak ini merupakan hak tata tanah, baik tanah pertanahan maupun tanah bangunan yang dapat diberikan pemerintah dan juga oleh pemilik tanah, hak pakai ini tidak seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang dapat digunakan atau dijadikan jaminan untuk hipotik dan credietverband tetapi hak pakai ini dapat dijadikan jaminan untuk utang karena mempunyai nilai ekonomi juga dapat dipindah tangankan.
e. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan termasuk kepada hak yang bersifat sementara juga disebut hak lainnya.
Yang dimaksud dengan hak lainnya itu adalah hak-hak yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain.
(33)
perusahaan-perusahaan milik pemerintah guna menyelenggarakan usaha
industrial estate, pembangunan perumahan dan perusahaan tanah pada
umumnya.
Untuk pemberiannya tidak disertai dengan penentuan jangka waktu yang artinya tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan terus selama masih diperlukan.
Dalam pembahasan ini selanjutnya perlu juga dilakukan pembahasan tentang azas horizontal atau vertikal yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria.
Hukum adat mengenal pemisahan horizontal sejalan dengan hukum adat,
maka UUPA juga mengenal pemisahan horizontal tersebut.
“Sebagai akibat dari azas horizontal maka suatu hak atas tanah tidak dengan sendiri meliputi benda-benda yang ada di atasnya, berarti jika hak atas tanah tersebut dibebani dengan hak ajaminan, maka benda – benda di atas tanah tidak dibebani”.10
Di dalam ketentuan-ketentuan UUPA tentang cara memperoleh hak milik tidak terdapat aturan tentang accessie vertikal. Kesan yang diperoleh dari keadaan ini ialah bahwa UUPA sama sekali tidak menganut azas accessie vertikal.
Surat Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 8 Pebruari 1964 Unda 9/1/14 menginstruksikan kepada PPAT untuk jangan membuat akta pemindahan hak atas tanah tanpa sekaligus mengalihkan hak bangunan-bangunan yang ada di atasnya. Para notaris tidak dibenarkan membuat akta pemindahan hak atas
10
(34)
bangunan tanpa disertai pemindahan hak atas tanahnya.
Surat edaran Departemen Agraria tanggal 10 Desember 1966 No. DPH/364/43/66 yang ditujukan kepada Inspeksi Agraria Sumatera Utara di Medan menyebutkan bahwa sepanjang mengenai atanah yang belum mendapat sertifikat tanah dapat dilakukan ajual beli rumah tanpa tanah.
Dari kedua surat ini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah di dalam praktek tetap melihat masih diperlukan axxessie vertikal untuk hak atas tanah yang bersertifikat, sedangkan untuk hak atas tanah yang tidak bersertifikat dapat dilakukan pemisahan horizontal itu.
B. Pengertian dan Objek Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan
Setelah menunggu beberapa tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 9 April 1996 diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut dengan Undang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang ini merupakan Undang-Undang-undang baru yang penting bagi seluruh sistem hukum perdata yang berkenaan dengan sistem pemberian kredit. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang
(35)
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.” 11
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa Hak Tanggungan adalah identik dengan hak jaminan, yang bilamana dibebankan atas tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Bangunan dan/atau tanah Hak Guna Usaha memberikan kedudukan utama kepada kreditor-kreditor tertentu yang akan menggeser kreditor lain dalam hal si berhutang (debitor) cidera janji atau wanprestasi dalam pembayaran hutangnya, dengan perkataaan lain dapat dikatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama lebih Preferent terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 6 UUHT, yang mengatakan “apabila debitor cidera janji (wanprestasi), pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil hasil penjualan objek hak tanggungan tersebut untuk pelunasan hutangnya.”
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan, yang selama ini pengaturannya menggunakan
ketentuan-ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Hak tanggungan menjadi satu-satunya lembaga hak jaminan atas
11
(36)
tanah.12
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional
didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan Asas Pemisahan Horizontal,
yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. 13
Pada Prinsip Hukum Perdata BW menganut Asas Perlekatan Vertikal,
yang mana hak milik atas sebidang tanah yang di dalamnya mengandung pemilikan dari segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah ( Pasal 571 BW). Oleh karena itu, untuk menghindari keraguan mengenai hal ini, maka pada Pasal 4 ayat (4) UUHT mengisyaratkan perlunya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas tanah tersebut, apakah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut dengan bangunan tanam-tanaman yang ada diatasnya.
2. Objek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa Hak atas Tanah yang dapat dibebani dengan
12
Boedi Harsono, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Fakultas Hukum Universitas
Trisakti, Jakarta, 1996, hal. 1
13
(37)
Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. 14
Hak-hak atas Tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal dan diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT ini memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan hhutang selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:
a. Hak Pakai atas tanah Negara. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat di pindahtangankan dan dibebani dengan hak tanggungan;
b. Begitu pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 27 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek hak tanggungan. Bahkan secara tradisional dari Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut.
UUHT menetapkan bahwa hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. UUHT tidak memerinci hak guna
14
(38)
bangunan yang mana yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak guna bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ada tiga macam, yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.
Dari tiga macam Hak Guna Bangunan tersebut seharusnya UUHT menetapkan bahwa hanya Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.
C. Kegunaan Jaminan Dalam Pemberian Kredit
Lembaga keuangan apapun bentuknya mengharapkan agar kredit yang diberikan pada debiturnya berjalan lancar sampai kredit itu dilunasi. Kegunaan daripada jaminan ialah apabila pada suatu waktu seorang debitur melakukan wanprestasi (cidera janji) secara disengaja (sadar) atau tidak disengaja, untuk itu bank berusaha agar debitur senantiasa memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan hutang dari barang-barang jaminan tadi apabila terjadi wanprestasi dengan jalan mengadakan pengikatan secara juridis melalui suatu perjanjian kredit, baik itu di bawah tangan maupun secara notariil.
(39)
Hal wanprestasi secara tidak sengaja atau kejadian yang tidak terduga yang sifatnya merugikan, dapat diartikan sebagai suatu musibah atau malapetaka yang lazim disebut risiko (risk). Jika terjadi hal seperti ini, maka tindakan bank adalah melakukan usaha untuk menguasai barang-barang jaminan di bawah tangan, maupun barang-barang yang secara notariil tidak membawa manfaat dalam malapetaka seperti di atas, dalam hal jaminan-jaminan berupa material (barang bergerak maupun tidak bergerak).
Resiko sewaktu-waktu seperti ini sudah disadari oleh bank, karena itu bank perlu mengamankan jaminan bukan saja secara juridis tetapi juga secara fisik.
Mengenai jaminan ini dikatakan oleh Kasmir :
Untuk melindungi uang yang dikucurkan lewat kredit dari risiko kerugian, maka pihak perbankan membuat pagar pengamanan. Dalam kondisi sebaik apapun atau dengan analisis sebaik mungkin, risiko kredit macet tidak dapat dihindari. Pagar pengamanan yang dibuat biasanya berupa jaminan yang harus disediakan debitur. Tujuan jaminan adalah untuk melindungi kredit dari risiko kerugian, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.15
Sedangkan Thomas Suyato et. al. mengatakan “jaminan diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang”.16
Dengan demikian maka diberikan pengertian jaminan adalah sebagai suatu bentuk pemberian hak kepada bank untuk penguasaan harta debitur dengan dasar adanya perjanjian kredit antara debitur dengan kreditur. Lebih dari itu jaminan yang diserahkan oleh nasabah merupakan beban sehingga si nasabah akan
15
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 113.
16
(40)
sungguh-sungguh untuk mengembalikan kredit yang diambilnya. Kredit tanpa jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami suatu kemacetan maka akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Sebaliknya dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap kredit macet akan dapat ditutup oleh jaminan tersebut.
Sedangkan kegunaan jaminan itu sendiri menurut Thomas Suyatno et. al. adalah :
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin agar nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai
usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.
3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian
kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.17
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa kegunaan jaminan tersebut adalah untuk kreditur dalam pengamanan dananya dan untuk debitur sebagai suatu akibat
(41)
kesepakatannya sehingga debitur berupaya mempergunakannya sebaik mungkin.
D. Tanah Sebagai Agunan Kredit
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud da1am UUPA tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor 1ain (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah/UUHT).
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT terkandung maksud bahwa yang dapat digunakan sebagai obyek hak tanggungan terutama hak atas tanah, sedangkan hak lain yang terdapat di atas tanah di antaranya benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, hanya bilamana perlu dapat dibebani dalam hak tanggungan. Dengan pembebanan hak atas tanah digunakan sebagai obyek hak tanggungan memberikan hak atas kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lain.
Macam-macam hak atas tanah yang diatur dalam UUPA dapat dilihat pada ketentuan Pasal 16, diantaranya hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan seterusnya. Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, selain itu hak pakai juga dapat digunakan sebagai agunan, hanya saja disyaratkan menurut ketentuan yang
(42)
berlaku wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan jika dibebani hak tanggungan, sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUHT .
Berdasarkan penjelasan atas Pasal 4 ayat (1) UUHT dijelaskan bahwa ada dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan, yaitu:
1. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan
diutamakan (preferen) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak
tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas), dan 2. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga
apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.
Hal tersebut di atas sejalan pula dengan penjelasan umum UUHT angka 5 bahwa dalam UUPA yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Hak atas tanah yang dibebani sebagai hak tanggungan dilalui dalam dua tahap, menurut Penjelasan umum UUHT angka 7 dijelaskan sebagai berikut : 1. Tanah Pemberian Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak
(43)
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin.
2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Pembebanan hak tanggungan diawali dengan tata cara pemberian hak tanggungan, di mana pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Sesuai dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasanya (Pasal l0 ayat (1) UUHT).
Mengenai yang berhak untuk memberikan hak tanggungan, berdasarkan penjelasan umum UUHT angka 7 jo. penjelasan atas Pasal 15 ayat (1) UUHT yaitu wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan, dalam hal ini pemilik hak atas tanah, mengingat "pada asasnya tindakan hukum harus dilakukan oleh yang berkepentingan sendiri".18
18
Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra
Namun hal ini tidaklah mutlak, karena undang-undang masih memberikan kemungkinan, yaitu selain pemilik obyek hak tanggungan yang dapat mengikatkan hak tanggungan tersebut orang lain diperkenankan dengan ketentuan jika memang benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT, diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(44)
(SKMHT).
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh dan di hadapan PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal l0 ayat (2) UUHT jo. Pasal 38, 39, 40 dan 44 Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997). Di dalam APHT wajib dicantumkan:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia.
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin. d. Nilai tanggungan.
e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (1) UUHT).
Apabila dalam APHT tersebut tidak memuat hal-hal sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 11 UUHT di atas, menurut penjelasan Pasal 11 UUHT dijelaskan bahwa, ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Oleh karena merupakan suatu kewajiban, maka tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut di atas dalam APHT, mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum artinya perjanjian pemberian kredit dianggap tidak pernah dibebani hak tanggungan. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialis dari Hak Tanggungan, baik mengenai obyek maupun utang yang dijamin yang dituangkan dalam APHT.
(45)
Karakteristik Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri di antaranya yaitu: 1) Tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada (droi
de suite) maksudnya wa1aupun obyek hak tanggungan sudah berpindah
tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi jika debitor wanprestasi (Pasal 7 UUHT).
2) Accesoir artinya merupakan ikutan dari perjanjian pokok, maksudnya bahwa
perjanjian hak tanggungan tersebut ada apabila telah ada perjanjian pokoknya yang berupa perjanjian yang ditimbulkan hubungan hukum utang piutang, sehingga akan hapus dengan hapusnya perjanjian pokoknya (Pasal 10 ayat (1) UUHT).
3) Asas spesialitas yaitu bahwa unsur-unsur hak tanggungan tersebut wajib ada untuk sahnya akta pembebanan hak tanggungan, misalnya mengenai obyek maupun utang yang dijamin (Pasal 11 ayat (1) UUHT, dan apabila tidak dicantumkan maka mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. 4) Asas publisitas, yaitu perlu perbuatan yang berkaitan dengan hak tanggungan
ini diketahui pula oleh pihak ketiga, dan salah satu realisasinya yaitu dengan cara didaftarkannya pembelian hak tanggungan tersebut, hal ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak ketiga (Pasal 13 ayat (1) UUHT).19
Pembebanan hak atas tanah sebagai agunan oleh bank tidak lepas dari upaya untuk mengurangi risiko dari kemungkinan debitor tidak mampu mengembalikan pinjamannya, sebagai perwujudan dari penerapan prinsip
kehati-19
(46)
hatian. Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Disebutkan pula da1am Pasal 29 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bahwa bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat. Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya pada bank tersebut.
Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank saja. Dengan demikian prinsip kehati-hatian ini bertujuan agar bank menjalankan usaha secara baik dan benar dengan
(47)
memenuhi ketentuan-ketentuan atau norma-norma hukum yang berlaku dalam dunia perbankan, agar bank yang bersangkutan selalu da1am kondisi sehat sehingga masyarakat semakin mempercayainya, yang pada gilirannya akan mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien, dalam arti sempit dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional.
Prinsip kehati-hatian dalam kaitan dengan pemberian kredit, kreditur menganjurkan debitor menyerahkan barang sebagai jaminan. Perihal barang yang digunakan sebagai jaminan, apabila ditinjau dari segi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 8 beserta penjelasannya penyerahan barang sebagai jaminan (tanah sebagai hak tanggungan) tidak diwajibkan, karena bank mempertimbangkan kondisi debitor melalui atau dengan penilaian secara seksama mengenai watak, kemampuan usaha, modal usaha, agunan (jaminan) dan prospek usaha debitor.
Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa, bank sebagai kreditur dalam upayanya untuk memperkecil risiko dari kemungkinan debitor tidak mampu mengembalikan kreditnya, menerapkan prinsip kehatihatian, yaitu bank hanya akan memberikan kredit kepada debitur jika mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan mengemba1ikan kreditnya. Keyakinan tersebut diperoleh dengan cara sebelum memberikan kredit, bank melakukan penilaian secara seksama mengenai watak, kemampuan menjalankan usaha, modal usaha yang telah dimilikinya, memiliki barang dan dapat dibebani
(48)
sebagai agunan dan prospek usaha debitur sesuai dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 8 Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta penjelasannya. Meskipun pembebanan barang bukan merupakan suatu keharusan, namun dengan mengikat barang sebagai agunan akan menambah keyakinan bank atas kemampuan debitur dalam mengembalikan pinjamannya dengan memberikan hak
preferen dalam pelunasan piutangnya di antara kreditur lainnya. Hak preferen
timbul jika barang tersebut dibebani secara yuridis, yaitu pembebanan yang menurut peraturan perundang-undangan adalah sah. Bagi hak atas tanah pengikatannya secara yuridis sah jika oleh Kantor Pendaftaran Tanah telah diterbitkan sertifikat hak tanggungan. Penerbitan sertifikat hak tanggungan ini hanya diperuntukkan bagi hak atas tanah yang telah terdaftar dalam arti telah bersertifikat.
(49)
BAB III
PELAKSANAAN PENGIKATAN KREDIT DENGAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN
A. Proses Pengikatan Jaminan Dengan SK Camat
Proses pengikatan jaminan dengan SK Camat beriringan dengan adanya permohonan kredit dari seorang nasabah. Tindakan yang harus dilakukan sejak diajukannya permohonan kredit dari nasabah sampai dengan lunasnya suatu kredit yang diberikan oleh bank harus memenuhi ketentuan-ketentuan dan petunjuk sebagai berikut :
1. Permohonan kredit.
a. Permohonan fasilitas kredit mencakup :
b. Permohonan baru untuk mendapat suatu jenis fasilitas, c. Permohonan tambahan suatu kredit yang sedang berjalan,
d. Permohonan perpanjangan / pembaharuan masa berlaku kredit yang telah
berakhir jangka waktunya,
e. Permohonan lainnya untuk perubahan syarat-syarat fasilitas kredit yang
sedang berjalan, antara lain penukaran jaminan, perubahan / pengun-duran jadwal angsuran dan lain sebagainya.
2. Berkas.
Setiap berkas permohonan kredit dari nasabah terdiri dari :
a. Surat permohonan nasabah yang ditandatangani secara lengkap dan sah,
b. Daftar isian yang disediakan oleh bank yang secara sebenarnya dan
(50)
c. Daftar lampiran lainnya yang diperlukan menurut jenis fasilitas kredit. 3. Pencatatan.
Setiap surat permohonan kredit yang diterima harus dicatat dalam register khusus yang disediakan.
4. Kelengkapan dan berkas permohonan.
Permohonan dinyatakan lengkap bila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk pengajuan permohonan menurut jenis kreditnya. Selama permohonan kredit sedang diproses, maka berkas permohonan harus dipelihara dalam berkas permohonan.
5. Formulir daftar isian permohonan kredit.
Untuk memudahkan bank memperoleh data yang diperlukan, bank mempergunakan daftar isian permohonan kredit yang harus diisi oleh nasabah, formulir neraca, daftar rugi/laba.
6. Penyidikan dan analisis kredit.
Penyidikan (Investigasi) kredit adalah pekerjaan yang meliputi :
a. Wawancara dengan pemohon kredit atau debitur,
b. Pengumpulan data yang berhubungan dengan permohonan kredit yang
diajukan, baik data ekstren/intern. Termasuk informasi antar bank dan pemeriksaan pada daftar hitam dan daftar kredit macet.
c. Pemeriksaan/penyidikan atas kebenaran dan kewajiban mengenai hal-hal
yang dikemukakan nasabah dan informasi lainnya yang diperoleh.
d. Penyusunan laporan seperlunya mengenai hasil penyidikan yang telah
(51)
7. Pekerjaan yang dilakukan analisis kredit meliputi :
a. Mempersiapkan pekerjaan-pekerjaan penguraian dari segala aspek, baik
keuangan maupun non keuangan untuk mengetahui kemungkinan dapat/tidaknya dipertimbangkan bagi sautu permohonan kredit.
b. Menyusun laporan analisis yang diperlukan, berisi penguraian dan
kesimpulan serta penyajian alternatif sebagai bahan pertimbangan bagi pimpinan untuk pengambilan keputusan atas permohonan kredit.
c. Apabila di dalam struktur organisasi bank tidak terdapat pemisahan bagian penyidikan dan analisis, maka pekerjaan tersebut dilakukan oleh pimpinan tertinggi yang ada di bank.
d. Berkas permohonan dan dokumen laporan untuk menyidikan dan analisis
harus diperlakukan sesuai dengan sifat rahasia dari informasi yang diperoleh.
e. Petugas penyidikan dan analisis memelihara catatan seperlunya mengenai
pekerjaannya, sehingga dapat dijadikan alat untuk mengetahui dan mentransit pekerjaan yang sudah dan sedang dilakukan.
Data pokok minimal harus memuat mengenai aktivitas usaha disertai analisis seperlunya mengenai :
a. Realisasi pembelian, produksi dan penjualan, b. Rencana pembelian, produksi dan penjualan,
c. Jaminan,
d. Laporan keuangan,
(52)
f. Data kualitatif dari nasabah/calon debitur.
Pihak bank perlu mengadakan penelitian yang semestinya atas kewajaran dan konsistensi dari data dan informasi yang diterima dari calon debitur, hal ini untuk mencegah kesimpulan yang kurang tepat serta memperlambat pengambilan keputusan.
Penelitian atas realisasi usaha mengenai data-data realisasi pembelian, produksi dan penjualan dalam 3 bulan terakhir, hendaknya dibandingkan dengan realisasi bulan-bulan sebelumnya, baik dalam kuantum maupun nilai rupiahnya. Perbandingan dengan aktivitas rekening untuk pinjaman-pinjaman yang sedang berjalan akan sangat bermanfaat. Khusus mengenai realisasi produksi, perlu dibandingkan dengan kapasitas alat/mesin produksi yang bersangkutan. Kenaikan dan penurunan produk hendaknya dijelaskan secara kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian atas rencana usaha minimal 6 bulan mendatang perlu ditelaah dengan seksama dan membandingkannya dengan perkembangan pada bulan-bulan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan rencana produksi, harus diteliti hubungan rencana dengan kapasitas produksi, analisis break even, penjelasan mengenai sumber serta kontuinitas bahan baku dan lainnya.
Dalam meneliti rencana penjualan hendaknya sejauh mungkin dilakukan analisa pasar guna mengetahui market share yang ada, sehingga dapat diketahui tingkat perkembangan usaha tersebut.
Penelitian dan penilaian barang jaminan tambahan, harus mensortir jenis barang yang dapat diikat sebagai jaminan secara jurisid perfect saja.
(53)
Selain jenis dan nama barang yang dapat diikat sebagai jaminan tambahan, jumlah dan harga taksasi serta status kepemilikannya perlu mendapat penjelasan yang cukup.
Penelitian pendahuluan atas laporan keuangan yang diterima dari calon debitur neraca, daftar laba/rugi (minimal 2 tahun terakhir) harus mendapat perhatian atas kebenaran dan kewajarannya.
Petugas analis membuat penjelasan yang diperlukan mengenai besarnya kebutuhan modal kerja yang diperlukan (menurut perhitungan petugas analis), proyeksi arus kas, jangka waktu pemakaian kredit dan pelunasannya.
8. Keputusan atas permohonan kredit.
Setiap keputusan permohonan kredit harus memperhatikan penilaian syarat-syarat umum yang pada dasarnya tercantum dalam laporan pemeriksaan kredit dan analis kredit, bahan pertimbangan atau informasi lainnya yang diperoleh pejabat pengambil keputusan, harus dibubuhkan secara tertulis (disposisi).
9. Penolakan permohonan kredit.
Penolakan ini adalah untuk permohonan kredit yang nyata-nyata dianggap oleh bank secara teknis tidak memenuhi persyaratan.
Langkah yang harus diperhatikan adalah :
a. Semua keputusan penolakan harus disampaikan secara tertulis kepada
nasabah dengan disertai alasan penolakannya,
b. Surat penolakan permohonan minimal dibuat dalam rangkap tiga :
1) Asli dikirim kepada pemohon,
(54)
kepada direksi,
3) Lembar ke tiga untuk arsip.
c. Dalam hal penolakan permohonan baru, jika diminta semua berkas
permohonan dapat dikembalikan kepada pemohon, kecuali surat permohannya.
d. Dalam hal penolakan permohonan perpanjangan, berarti jangka waktu
kredit tidak diperpanjang. Bank harus menegaskan kepada nasabah agar
segera menyelesaikan semua kewajibannya kepada bank atau mengajukan rencana pelunasannya.
e. Dalam hal penolakan tambahan kredit, maka harus ditegakan bahwa
nasabah hanya tetap menikmati limit kredit yang telah disetujui semula. Berkas permohonan tambahan tidak dikembalikan kepada pemohon.
f. Dalam hal penolakan perubahan persyaratan lainnya dari kredit yang
sedang berjalan, maka nasabah tetap mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan syarat yang telah disetujui semula.
Apabila permohonan perubahan syarat-syarat ini menunjukkan hubungan dengan gejala-gejala yang tidak sehat, maka harus diambil tindakan pengamanan berupa inventarisasi jaminan dan memberikan bimbingan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap nasabah.
10.Persetujuan permohonan kredit
Adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur.
(55)
biasanya ditegaskan syarat-syarat fasilitas kredit dan prosedur yang harus ditempuh oleh nasabah.
Setelah pengusaha mendapatkan kredit yang dimaksudkan, maka dalam
proses berikutnya pihak bank tidak akan berlepas diri mengawasi pelaksanaan
penggunaan dana yang dikucurkannya kepada pengusaha tersebut. Maka dalam tindakan ini selanjutnya akan diberikan pengawasan dan pembinaan kredit oleh pihak bankkepada pengusaha tersebut.
Disebabkan dalam kajian yang menjadi jaminan kredit yang dimohonkan oleh debitur adalah SK Camat yang pada dasarnya merupakan suatu keputusan camat tentang pelaksanaan ganti rugi atas sebidang tanah, maka pengikatan jaminan kredit tidak dapat dilakukan dengan Hak Tanggungan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Bank dimungkinkan menerima agunan berupa tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat atau akta yang bukan merupakan hak tanggungan, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa SK Camat, girik, petuk, dan lain-ain sejenisnya, sementara pengikatan jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan dengan Hak Tanggungan, maka Bank kadangkala menggunakan Kuasa Menjual untuk mengikat objek jaminan atas tanah dengan bukti kepemilikan yang belum bersertifikat.20
Dengan adanya Kuasa Menjual yang diperoleh Bank berdasarkan perjanjian dari nasabah Debiturnya, maka terjadilah hubungan hukum antara
20
(56)
pemberi kuasa (last gever) dengan penerima kuasa (last hebber) yang selanjutnya penerima kuasa tidak bertindak untuk dirinya sendiri, akan tetapi ia bertindak untuk kepentingan pemberi kuasa (yaitu menjual aset milik pemberi kuasa dalam rangka melunasi hutang/kredit yang dimilikinya pada penerima kuasa).
Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa objek jaminan yang dapat dikenai Kuasa Menjual di dalam perjanjian kredit adalah :
1. Hak atas tanah yang belum terdaftar, yaitu hak atas tanah yang masih dalam bentuk SK Camat, Lurah yang belum didaftarkan ke lembaga yang berwenang untuk itu, sehingga dokumen hak atas tanahnya belum berbentuk sertifikat. 2. Hak atas tanah yang tidak terdaftar pada badan yang berwenang, karena masih
berasal dari konversi hak-hak lama yang belum didaftarkan atas pendaftaran hak atas tanah untuk pertama sekali21
3. Tanah yang kepemilikannya masih didasarkan pada hukum adat
(misalnya tanah dengan hak ex. hak
eigendom atau Grant Sultan, yaitu hak yang apabila dikonversi dapat menjadi
hak milik, hak eigendom yang apabila dikonversi dapat menjadi Hak Guna
Bangunan, Hak Erfpacht, yang apabila dikonversi dapat menjadi Hak Guna
Usaha, hak Opstal yang apabila dikonversi dapat menjadi Hak Pakai, maupun hak lainnya) terhadap hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut diatas, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.
22
21
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 111.
yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain sejenisnya, sehingga pengikatan jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan dengan
22 Ibid
(57)
Hak Tanggungan.
Dalam praktek perbankan, akta pengakuan hutang dan kuasa menjual dibuat secara terpisah, dan kuasa menjual dibuat sebagai jaminan, bilamana jika Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Kreditur, maka Kreditur dapat langsung menjual bidang tanah kepada pihak lain dan hasil penjualannya untuk melunasi hutang Debitur kepada Kreditur.23
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Kuasa Menjual dibuat secara terpisah dengan Akta Perjanjian Kredit namun keduanya adalah satu kesatuan yang bulat dan utuh serta tak terpisahkan karena Kuasa Menjual timbul karena adanya perjanjian kredit antara para pihak yang kemudian dituangkan ke dalam suatu akta yaitu Akta Pengakuan hutang. Jadi, dapat kita mengerti bahwa perjanjian kredit adalah sumber utama dari timbulnya Kuasa Menjual itu sendiri.
Hal tersebut dapat terjadi, karena kuasa menjual terhadap objek jaminan tidak akan dapat terjadi apabila tidak ada perjanjian kredit yang terjadi sebelumnya di antara para pihak yang bersangkutan.
Kuasa menjual ini juga diatur sekilas dalam Pasal 12 A Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa Bank Umum dapat membeli barang agunan melalui pelelangan umum, ataupun di luar pelelangan berdasarkan peyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa dari pemilik agunan untuk menjual di luar lelang, dalam hal nasabah Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Bank. Namun demikian, agunan yang
(58)
dibeli oleh bank tersebut tidak dapat dimiliki oleh Bank. Bank harus mencairkan ataupun menjual agunan yang dibeli tersebut secepatnya, paling lambat dalam waktu satu tahun.24
Dari penjelasan tersebut di atas dapat juga kita ketahui bahwa Kuasa Menjual ini dapat dilakukan oleh Bank untuk menjual agunan nasabah Debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya namun hal tersebut harus dilakukan dengan beberapa syarat, yaitu :
1. Bahwa kuasa menjual tersebut harus diberikan oleh nasabah Debitur secara langsung kepada Bank (dalam hal ini Bank yang menerima kuasa tersebut bukanlah sebagai pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan Debitur terhadap kredit yang dimilikinya kepada Bank).
2. Bahwa penjualan atas benda atau barang jaminan/agunan tersebut harus dilakukan diluar dari pelelangan umum.
3. Bahwa penjualan agunan harus dilakukan oleh Bank hanya apabila Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar kredit serta biaya lain yang timbul dalam perjanjian kredit tersebut.
4. Bahwa benda/barang jaminan atau agunan tersebut tidak dapat dimiliki oleh Bank secara langsung atau otomatis, begitu Debitur wanprestasi atau tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar kredit/hutangnya tersebut kepada Kreditur.
5. Bahwa benda/barang yang dijadikan jaminan/agunan tersebut harus dicairkan atau dijual secepatnya, oleh Kreditur kepada pihak lain, lewat proses
24
(59)
penjualan secara biasa, dalam tempo selambatnya 1 (satu) tahun.
6. Bahwa hasil penjualan agunan tersebut harus segera digunakan untuk
pelunasan kredit Debitur terhadap Bank serta untuk menutupi biaya lainnya yang timbul atas peristiwa tersebut, sedangkan sisa dari hasil penjualan agunan tersebut harus dikembalikan segera mungkin kepada Debitur, agar jangan sampai Debitur merasa dirugikan.
B. Kedudukan dan Fungsi Camat Sebagai PPAT
Camat adalah kepala kecamatan yang menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati atau Walikota. Dalam melaksanakan kewenangannya, Camat bertanggungjawab kepada Bupati atau Walikota.
Selain sebagai seorang kepala pemerintahan kecamatan, Camat juga berfungsi sebagai PPAT Sementara. Jadi kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara karena status Camat sebagai Kepala Kecamatan pada Kecamatan tempat ia tinggal untuk melakukan jabatannya. Kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara adalah sama dengan kedudukan PPAT, yaitu sebagai pejabat umum. Hanya saja kedudukan Camat adalah sebagai PPAT Sementara yang ditunjuk karena jabatannya sebagai kepala wilayah kecamatan untuk mengisi kekurangan PPAT di kecamatan-nya pada Kabupaten/Kota yang masih terdapat kekurangan formasi PPAT. Apabila untuk Kabupaten/Kota tersebut formasi PPAT sudah terpenuhi, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi kepala Kecamatan dari kecamatan itu.
(1)
Pada Bank Swasta wanprestasi itu sering dilakukan oleh pihak debitur yaitu debitur lalai dalam mengadakan pelunasan akan kredit kepada pihak bank. Hal ini dikenal dengan istilah kredit bermasalah.
Dalam prakteknya, penyelesaian kredit bermasalah yang oleh Bank Swasta dilakukan dengan 2 (dua) alternatif, yaitu negosiasi dan litigasi. Namun tetap diakui bahwa kedua alternatif tersebut terlepas dari adanya bank-bank yang melakukan penagihan kredit macet dengan menggunakan jasa “ debt collector “ yang dilakukan oleh orang atau badan yang tidak berwenang melakukan hal itu.
1. Penyelesaian dengan negosiasi.
Penyelesaian kredit bermasalah dengan negosiasi ini dilakukan terhadap debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dapat membayar bunga meskipun kemampuannya telah melemah dan tidak dapat membayar angsurannya.
Bahkan, terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalanpun dapat dilakukan penyelesaian dengan negosiasi. Sebagai contoh yaitu, apabila ratio agunan/jaminan kredit masih mencukupi dan ada usaha ini yang dianggap lebih layak dan dapat menghasilkan, maka debitur yang bersangkutan dimungkinkan untuk diberikan suntikan baru yang hasilnya dapat dipergunakan untuk membayar seluruh kewajibannya.
Semua upaya tersebut dapat disebut dengan kredit yang diselamatkan, yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah atau macet kemudian terjadi kesepakatan antara debitur dan Perbankan untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi,
(2)
kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada. Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut adalah antara lain :
a. Rescheduling (Penjadwalan Kembali).
Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang. Termasuk apabila terjadi atau tidak terjadi perubahan besarnya angsuran.
b. Restructuring (Penataan Kembali).
Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank, dan atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
c. Reconditioning (Persyaratan Kembali)
Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit.
Pada dasarnya tujuan dilakukannya rescheduling, restructuring dan reconditionging adalah dalam rangka upaya bank untuk membantu nasabahnya yang beritikad baik, pada saat mengalami kesulitan dalam mengelola usahanya yang menyebabkan berkurangnya/melemahnya kemampuan untuk memenuhi kewajibannya kepada bank. Dengan demikian tindakan ini bank memberikan kesempatan kepada debiturnya untuk berusaha lagi.
Pada sisi lain, penyelesaian kredit bermasalah dengan negosisasi ini tidak selalu berakhir dengan keadaan-keadaan di atas, melainkan dapat saja terjadi
(3)
dengan pelaksanaan penjualan agunan/jaminan kredit. Penjualan agunan/jaminan kredit tersebut dilakukan secara bersama-sama atau bank sendiri tanpa adanya perselisihan. Hal ini dapat saja terjadi, utamanya apabila debitur yang bersangkutan mempunyai itikad yang baik dan masih dapat berkerjasama.
2. Penyelesaian dengan litigasi.
Penyelesaian kredit bermasalah dengan litigasi ini dilakukan baik terhadap debitur yang usahanya masih berjalan maupun terhadap debitur yang usahanya tidak lagi berjalan.
Terhadap debitur yang usahanya masih berjalan dilakukan apabila yang bersangkutan tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutangnya, baik pokok maupun bunganya. Sedangkan terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalan lagi dilakukan apabila yang bersangkutan tidak dapat bekerjasama. Pada prakteknya, penyelesaian kredit macet dengan litigasi ini dilakukan dengan pengajuan gugatan/eksekusi kepada Pengadilan negeri setempat.
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kelemahan SK Camat sebagai agunan kredit adalah SK tersebut adalah karena titelnya yang berjudul peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi. Dengan titel yang demikian maka SK camat yang dijadikan sebagai agunan kredit kurang memiliki kekuatan eksekutorial terhadap tanah tersebut. Selain itu dapat saja terjadi tanah yang di atasnya dibuat SK Camat merupakan tanah negara sehingga sangat merugikan bank.
2. Eksekusi jaminan kredit pada Bank Syariah Mandiri Tbk. Cabang Medan dilakukan setelah tidak menemui jalan penyelesaian atas kredit macet nasabah. Eksekusi dapat dilakukan dengan adanya izin ketua Pengadilan setempat atas objek tanah yang dijadikan sebagai jaminan hutang debitur.
B. Saran
1. Disarankan dalam hal ini para pihak termasuk kreditur (bank) dan debitur dalam menyelesaikan masalah kredit yang bermasalah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat sehingga tidak terjadi suatu keadaan yang sangat merugikan kedua belah pihak misalnya dengan jalan penyitaan dan penjualan secara lelang barang-barang jaminan debitur.
2. Kepada pihak debitur maupun kepada pihak perbankan dalam penyelesaian timbulnya kredit macet ini hendaknya dapat melakukan kerjasama yang baik
(5)
sehingga penyelesaian yang tidak memalukan debitur serta tidak merugikan pihak perbankan dapat dilakukan sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2003.
Boedi Harsono, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1996.
Hatunggal Siregar, Hukum Tanah Menurut Hukum Adat, FH-Usu, Medan, 2005.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik dalam Sudut Pandang KUH Perdata, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni,
Bandung, 1983.
____________, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Pieter Latumeten, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris serta Model Aktanya, Makalah, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya, 2009.
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994.
(6)
Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
S. Mantayborbir, et.al, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa, Medan, 2002.
Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung , 1976.
Suharnoko, Hukum Perjanjian- Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media-Kencana, Jakarta, 2008.
Surojo Wignyodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 2003.
Thomas Suyatno, et. al. Dasar-Dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, PT. Internasa, Jakarta, 2000.
_____________, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1991.
B. Peraturan Perundang-Undangan: KUH Perdata
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.