Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Studi tentang seni kakebyaran di luar Bali secara khusus belum banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga referensi yang mengkaji tentang topik tersebut masih sangat terbatas. Untuk itu, dilakukan penelitian awal melalui penelitian Hibah Bersaing yang berhasil dimenangkan pada tahun 2010 dan 2011. Hasil penelitian yang berjudul “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata di Lombok Barat” oleh I Gede Yudarta dengan Ni Wayan Ardini, merupakan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan dilanjutkan pelaksanaan tahap II pada tahun 2011. Pada tahun pertama dari pelaksanaan penelitian ini secara khusus dilakukan pemetaan terhadap keberadaan kesenian Bali khususnya seni pertunjukan terkait dengan potensi yang dimiliki dalam pemanfaatannya sebagai salah satu penunjang dalam pengembangan industri pariwisata di Kota Mataram. Dari penelitian tersebut diperoleh data-data tentang keberadaan 68 sanggar dan sekaa kesenian dan keberadaan seni kakebyaran yang terdapat di beberapa sanggar seni di Kota Mataram. Hasil penelitian ini memberikan manfaat yang signifikan, karena dari pemetaan tersebut diketahui keberadaan seni kakebyaran di Kota Mataram. Data yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai bahan studi terkait dengan reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun kedua dari penelitian hibah ini 15 dicoba untuk merumuskan sebuah konsep seni pertunjukan yang mencerminkan pluralitas budaya masyarakat di Kota Mataram dengan meramu sebuah paket seni pertunjukan multikultur yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kesenian diantaranya seni pertunjukan Bali di samping kesenian dari budaya masyarakat setempat. Memperhatikan perkembangan seni kekebyaran di Kota Mataram dan di Lombok pada umumnya, potensi yang dimiliki cukup besar bila dimanfaatkan sebagai salah satu atraksi budaya untuk wisatawan. Gamelan Gong kebyar memiliki fleksibelitas yang tinggi dapat dimainkan untuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang acapkali disajikan sebagai tarian penutup. Dilematisnya, dari wawancara yang dilakukan kepada para seniman, tokoh masyarakat, dan beberapa orang tokoh yang terlibat langsung di bidang kepariwisataan, terdapat sebuah anjuran mengutamakan seni tradisi lokal Sasak dan tidak mempergunakan seni pertunjukan Bali dalam pagelaran atraksi wisata di hotel-hotel. Anjuran ini secara nyata telah memarjinalkan seni pertunjukan Bali dan dalam pengembangan industri pariwisata terjadi diskriminasi budaya terhadap salah satu potensi budaya yang ada dan berdampak tidak termanfaatkannya potensi budaya tersebut secara optimal. Dari kedua pelaksanaan penelitian ini banyak informasi dan data yang diperoleh untuk dijadikan referensi guna mendukung pelaksanaan studi ini. Terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap seni pertunjukan Bali, salah satu fenomena yang cukup menarik sebagai salah satu studi dengan perspektif kajian budaya cultural studies. 16 Di samping dari hasil penelitian hibah bersaing yang berhasil dimenangkan dalam 2 dua periode 2010 dan 2011, penulis juga berhasil mendapatkan hibah penelitian Disertasi Doktor pada tahun 2013 dimana hasil penelitian tersebut dijadikan penelitian awal dari penelitian disertasi ini. Dari penelitian yang mengambil judul “Eksistensi Seni Kakebyaran dalam Kehidupan Masyarakat di Kota Mataram” berhasil ditemukan beberapa hal penting yang terkait dengan sejarah perkembangan seni kakebyaran, bentuk seni kakebyaran, eksistensi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram. Data-data yang berhasil diungkap dalam penelitian tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi penelitian ini dan beberapa temuan yang dihasilkan dijadikan sebagai bagian dari disertasi ini. Penulis merasa sangat beruntung ketika berjumpa dan berdiskusi dengan David D. Harnis seorang ethnomusicologys dari Bowling Green State University USA yang telah melakukan penelitian tentang kesenian di Lombok pada tahun 1980. Dari diskusi diperoleh beberapa artikel di antaranya: Defining Ethnicity, ReConstructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among The Balinese of Lombok yang telah dipublikasikan dalam Journal of Musicological Research 24:265-286 tahun 2005; ‘‘Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’: Constructing Balinese Music Culture in Lombok yang diterbitkan pada Ethnomusicology Forum vol. 14, no 1 tahun 2005. Dari kedua artikel tersebut diperoleh banyak informasi penting yang sangat diperlukan untuk melengkapi penelitian ini. Di samping mengungkap keberadaan seni pertunjukan secara umum, di dalam artikel itu diuraikan juga tentang keberadaan seni kakebyaran di Lombok khususnya di Kota Mataram. Dalam artikel 17 Defining Ethnicity, ReConstructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among The Balinese of Lombok halaman 280 diuraikan: ”Although it is unknown when kebyar initially came to Lombok, the first registered gamelan gong kebyar was the still existing Rena Sari in 1939, although the style likely precedes this date on the island. Other clubs soon materialized. The next boom in new performing arts was in the late 1950s, after superstar Balinese dancer Ni Madé Darmi married a local Balinese, Wayan Kartawirya, came to Lombok, and worked with local musicians and dancers such as Ida Wayan Pasha”. Terjemahan: Tidak diketahui kapan tepatnya gong kebyar merambah Lombok, namun gong kebyar yang terdaftar pertama kali adalah pada tahun 1939 dan masih eksis hingga saat ini yakni Rena Sari, namun gaya kebyar ini kembali bermunculan saat ini di pulau ini. Terobosan baru seni pertunjukan di era tahun 1950-an, setelah pernikahan penari Bali terkenal Ni Made Darmi yang menikah dengan seorang pemuda Bali setempat, Wayan Kartawirya, kemudian menetap di Lombok dan bekerjasama dengan para musisi dan penari setempat seperti Ida Wayan Pasha Dari kutipan di atas dikatakan bahwa pada tahun 1939 telah ada sekaa gong kebyar yang bernama “Rene Sari” dan perkembangan seni kakebyaran semakin semarak terjadi pada tahun 1950an setelah salah satu “super star” penari Bali Ni Made Darmi menikah dengan I Wayan Kertawirya seorang musisi di Lombok serta bekerjasama dengan Ida Wayan Pasha. Informasi ini sangat penting terkait dengan latar belakang sejarah perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram. Sebagaimana diungkap dalam artikel “Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’: Constructing Balinese Music Culture in Lombok halaman 10 ada diuraikan: “Lombok Balinese music styles can be seen as being one of three types: 1 those with antecedents in Bali, 2 those with antecedents from the Sasak majority of Lombok and 3 those co-created with the Sasak. The first type comprises the majority of traditions, including the most popular gamelan in both Bali and Lombok, the gamelan gong kebyar. Gong kebyar exploded on the artistic scene in Bali in the 1920s and 1930s; it had a similar impact in Lombok during the 1950s. This form has linked Lombok Balinese to Bali and inspired people to greater artistic involvement on both islands. The vast 18 majority of 20 th -century dance and theatre innovations employ gong kebyar and form part of the kebyar movement” Terjemahan: Gaya musik Bali Lombok dapat dilihat dalam tiga bentuk: 1 gaya yang masih erat kaitannya dengan Bali; 2 gaya musik yang erat kaitannya dengan Sasak Lombok dan 3 gaya musik yang merupakan perpaduan antara Bali dan Lombok. Gamelan gong kebyar sebagai salah satu gaya musik dari katagori yang pertama merupakan salah satu gamelan yang populer dalam masyarakat Bali dan Lombok. Semaraknya perkembangan gong kebyar di Bali pada tahun 1920-1930 turut memengaruhi perkembangan seni kakebyaran di Lombok pada tahun 1950. Bentuk ini telah menginspirasi keterlibatan para seniman di kedua pulau dan sebagian besar tari-tarian di abad ke 20 serta pengembangan teater tradisional menggunakan gamelan gong kebyar dan ini merupakan pergerakan seni kakebyaran di Lombok. Kedua artikel di atas memberikan informasi tentang keberadaan serta perkembangan seni kakebyaran di Lombok pada masa yang lalu. Walaupun demikian situasi tersebut tentunya sangat berbeda dengan situasi dalam beberapa tahun belakangan ini. Banyak perubahan yang telah terjadi di masyarakat yang berdampak terhadap perubahan kesenian Bali yang terdapat di Lombok, khususnya di Kota Mataram. Walaupun sekilas tampak ada persamaan dengan kajian seperti yang diuraikan di atas, namun dengan mempergunakan pendekatan dan paradigma kajian budaya culture studies akan terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila dalam penelitian sebelumnya pembahasan tentang seni kakebyaran lebih bersifat umum, dalam studi ini seni kakebyaran lebih difokuskan sebagai salah satu objek kajian dalam upaya orang-orang Bali mempertahankan identitas, tradisi budaya dan agamanya serta upaya integratif agar tradisi tersebut bisa diterima dalam kehidupan yang lebih luas. 19 Di samping beberapa artikel di atas, dirujuk juga beberapa referensi dan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun referensi tersebut diuraikan di bawah ini. Music In Bali: A study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music, karya Colin McPhee yang diterbitkan pada tahun 1966 oleh New Haven and London, Yale University Press. Sebuah buku yang di dalamnya menguraikan tentang keberadaan musik tradisional Bali dengan berbagai jenis gamelan, bentuk musik, serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Bali. Berkaitan dengan penelitian ini secara khusus Colin McPhee membahas tentang musik kebyar pada chapter 19 sebagaimana diuraikan pada halaman 328. “It was probably in the early years of the present century that musicians in certain village of north Bali, the territory of many innovations, began to transform the traditional gamelan gong gede into the modernized form known today as tha gamelan gong kebyar” Terjemahan, diperkirakan pada tahun-tahun awal abad ini XIX para musisi dari desa- desa tertentu di wilayah Bali Utara mulai mengubah alat musik tradisional gamelan gong gede dimodernisasi menjadi gamelan gong kebyar sebagaimana kita ketahui saat ini. Uraian ini memberikan informasi bahwa telah terjadi modernisasi dalam musik Bali yang dilakukan oleh para seniman di wilayah Bali Utara dengan mengubah gamelan gong gede menjadi gamelan gong kebyar. Dengan perampingan pengurangan beberapa instrumen dihadirkan sebuah musik kebyar bergaya perkusif yang penuh semangat exuberant. Informasi yang terdapat di dalam buku ini sangat penting karena di dalamnya terdapat konsep kebyar dan keberadaan beberapa gamelan dan gaya musik yang berkembang di Kota Mataram berasal dari daerah Bali Utara. 20 Gong kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong kebyar, karya Pande Made Sukerta tahun 2009. Buku yang merupakan hasil editing dari disertasinya yang berjudul “Perubahan dan Keberlanjutan Dalam Tradisi Gong kebyar: Studi Tentang Gong kebyar Buleleng” 2004, adalah salah satu referensi penting tentang perkembangan, perubahan, dan keberlanjutan seni kakebyaran. Buku ini memberikan pengetahuan dalam berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan sejarah kelahiran gamelan Gong kebyar, hingga penyebarannya dari Daerah Bali Utara ke Bali Selatan ke seluruh wilayah di Bali, di beberapa daerah di Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Sebagaimana diuraikan oleh Pande Sukerta 2009:9, terjadinya penyebaran barungan Gong kebyar dapat dikatakan bahwa barungan gamelan gong kebyar bersifat mengglobal; artinya pada awalnya lahir di Kabupaten Buleleng kemudian berkembang ke seluruh Bali, ke beberapa wilayah di Indonesia dan di beberapa negara di dunia. Di samping penyebaran berungan gong kebyar, terdapat beberapa informasi dalam buku ini yang menarik dan penting untuk dipergunakan sumber kajian. Dilihat dari bentuknya secara fisik, sebagian besar tungguhan barungan gamelan gong kebyar di Lombok berupa tungguhan atau pelawah bakiakan yang menyerupai bentuk tungguhan barungan gong kebyar yang ada di Bali Utara. Demikian pula dengan bentuk-bentuk komposisi gong kebyar di mana di Lombok yang rata-rata memiliki komposisi tabuh sekatian, tabuh pelawasan yang sama dengan yang ada di Bali Utara. Persamaan bentuk tungguhan tersebut sangat menarik untuk dikaji kemungkinan terjadinya penyebaran secara langsung dari Bali 21 Utara ke wilayah Lombok. Hal ini belum terungkap dalam buku yang disusun oleh Pande Sukerta. Seni kakebyaran, merupakan sebuah “bunga rampai” beberapa tulisan yang dieditori oleh I Wayan Dibia 2008. Di dalamnya memuat berbagai tulisan dari beberapa pakar seni kakebyaran. Beberapa tulisan yang menarik untuk disimak di antaranya adalah sajian dari I Wayan Rai yang berjudul “Seni Kakebyaran Dewasa Ini”. Sebagaimana dalam uraiannya, berpijak dari kata dasar “kebyar” yang berarti letupan atau sinar memancar dengan tiba-tiba sehingga dapat membuat kita terkejut. Kata ini kemudian dilengkapi dengan awalan “ke” dan akhiran “an”, kakebyaran dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau jenis kesenian yang termasuk bidang seni pertunjukan yang memiliki ciri dan sifat ngebyar dalam Dibia, 2008:6 Uraian tentang seni kakebyaran dalam buku ini, memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam memperluas wawasan serta pemahaman tentang seni kakebyaran. Sebagaimana dikatakan Dibia dalam sambutannya, terdapat pandangan baru terhadap seni kakebyaran. Pada awalnya seni kebyar cenderung untuk dibatasi hanya pada bentuk kesenian yang diiringi oleh musik gong kebyar, kini seni kakebyaran telah mencakup wilayah estetik yang begitu luas dan telah melampaui batas gong kebyar Dibia, 2008:iii. Dalam studi tentang reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, nampak jelas adanya pengaruh yang kuat dari seni kakebyaran itu sendiri. Kegandrungan masyarakat terhadap fenomena kakebyaran juga terjadi di kalangan seniman dan masyarakat di Kota Mataram sehingga hal ini mendorong munculnya beberapa bentuk kesenian yang bernafaskan kebyar baik di dalam seni pertunjukan Bali maupun seni pertunjukan Sasak. 22 Tradisi Bali Lombok, Sebuah Catatan Budaya, oleh Wayan Suyadnya 2006. Secara ringkas dalam buku ini dibahas tentang keberadaan serta kehidupan masyarakat Bali yang berada di Lombok dengan budaya dan adat-istiadat yang dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa aspek kehidupan sosial, agama, adat isitiadat dan kesenian, walaupun disajikan secara ringkas namun cukup memberi gambaran situasi yang ada di Lombok. Sebagai sebuah catatan budaya, informasi dalam buku ini sangat relevan dipergunakan sebagai referensi untuk mendapatkan gambaran awal tentang keberadaan seni pertunjukan di Kota Mataram. Sebagaimana dikatakan Suyadnya 2006:9, “bila bertandang pada kampung-kampung tua pada sore menjelang malam. Pada beberapa banjar yang memiliki perangkat gamelan, sayup-sayup akan terdengar suara gamelan yang dimilikinya dimainkan warga setempat, baik gong, angklung maupun rindik. Begitu juga di sejumlah bale banjar, bisa dilihat adanya sekelompok teruna-teruni yang sedang belajar menari”. Walaupun secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus tentang keberadaan seni kakebyaran, namun dari beberapa uraian yang terdapat di dalamnya dapat diketahui bahwa salah satu aktivitas berkesenian yang dilakukan oleh masyarakat adalah di bidang seni pertunjukan seni karawitan dan seni tari yang menjadi kajian dari studi ini. Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem 1661-1950, karya Anak Agung Ketut Agung tahun 1991. Literatur ini banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Gelombang kedatangan orang-orang Bali di Lombok dimulai pada abad ke-12, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali. Pada saat itu Pulau Lombok dapat ditaklukkan oleh 23 Bali. Selanjutnya pada tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirarta Pangeran Sangupati yang merupakan utusan dari Kerajaan Gelgel dalam penyebaran agama Hindu di wilayah tersebut. Gelombang ketiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Tri Tunggal I I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem tahun 1692 pada saat pengembangan wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh kerajaan Karangasem ke wilayah Lombok. Berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut di atas, merupakan salah satu penyebab terjadinya desiminasi budaya di mana bala tentara serta orang-orang yang terlibat pada berbagai peristiwa tersebut banyak di antaranya menetap secara permanen dan melanjutkan kehidupan mereka dengan tradisi, budaya sebagaimana dilakukan di Bali. Buku ini memberikan gambaran historis yang sangat bermanfaat dalam mengungkap keberadaan seni pertunjukan Bali. Walaupun penelitian ini bukan merupakan kajian historis, namun berbagai informasi dalam buku ini memberikan gambaran yang terjadi pada masa lalu dan hal itu tentunya sangat berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini. Kuatnya kedudukan dan pengaruh Kerajaan Karangasem pada masa lalu berdampak pada kuatnya pengaruh kebudayaan Bali terhadap kebudayaan masyarakat setempat. Salah satunya adalah di bidang seni pertunjukan di mana pengaruh unsur-unsur kesenian Bali senantiasa tampak jelas dalam beberapa seni pertunjukan Sasak. Keberadaan barungan gamelan gong kebyar dan gending-gending kakebyaran di 24 kalangan masyarakat Sasak menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kesenian Bali terhadap kesenian masyarakat setempat. Buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan karya Irwan Abdullah. Refrensi ini memberikan kontribusi yang sangat besar untuk dimanfaatkan di dalam membahas dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Berbagai penjelasan dalam buku ini memberikan inspirasi, pemahaman tentang gejala, proses reproduksi budaya serta penanganan-penanganan terhadap konflik yang terjadi untuk dapat diaplikasikan dalam penelitian ini. Terkait dengan penyebaran unsur- unsur kebudayaan Bali, Abdullah 2006:3 secara khusus mencermati perubahan masyarakat yang menunjukkan kecenderungan lain dalam pendefinisian suatu praktik yakni proses mencairnya batas-batas ruang fisik. Mobilitas fisik telah dilengkapi dengan mobilitas sosial dan intelektual yang jauh lebih padat dan intensif. Sebagai dampak dari perkembangan media komunikasi yang mampu mengintegrasikan masyarakat dari yang bersifat lokal ke global, unsur-unsur kebudayaan Bali pun kemudian bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah dapat ditemukan di berbagai tempat, di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Uraian tersebut tentunya sangat sesuai dengan topik dalam penelitian ini dan menjadi tinjauan teoretis untuk mengungkap terjadinya reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Selain buku-buku di atas, sumber lain yang juga dipergunakan adalah tesis karya Gusti Ayu Ketut Suandewi yang berjudul ”Tari Batek Baris dalam Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Lombok Barat 2001. Tesis ini memberikan gambaran tentang bentuk, fungsi dan makna tari Batek Baris dalam kebersamaan 25 hidup antara dua umat yang berbeda yaitu Hindu dan Islam yang menghasilkan harmoni estetika yang sarat dengan unsur akulturasi budaya. Informasi yang terdapat dalam tesis ini dijadikan salah satu acuan tentang terjadinya akulturasi antara budaya Hindu dengan Islam dalam bentuk seni pertunjukan. Ternyata budaya masyarakat Hindu sangat fleksibel mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya serta unsur-unsur budaya lokal yang mempengaruhi.

2.2 Konsep