25
hidup antara dua umat yang berbeda yaitu Hindu dan Islam yang menghasilkan harmoni estetika yang sarat dengan unsur akulturasi budaya. Informasi yang
terdapat dalam tesis ini dijadikan salah satu acuan tentang terjadinya akulturasi antara budaya Hindu dengan Islam dalam bentuk seni pertunjukan. Ternyata
budaya masyarakat Hindu sangat fleksibel mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya serta unsur-unsur budaya lokal yang mempengaruhi.
2.2 Konsep
Terkait dengan judul penelitian ini, ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan. Adapun konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
2.2.1 Reproduksi
Secara konseptual, reproduksi dapat dilihat dari dua bentuk yaitu pertama, sebagai kata benda yang berarti pengembangbiakan, tiruan dan hasil pencetakan
ulang, dan kedua sebagai kata kerja reproduksi berarti melakukan reproduksi, menghasilkan ulang dan menghasilkan kembali Anwar, 2001:366. Istilah
reproduksi digunakan di dalam berbagai bidang ilmu seperti ilmu kedokteran, ilmu seni seni lukis, fotografi, kriya, ilmu sosial dan budaya. Di dalam ilmu kedokteran,
konsep reproduksi berkaitan dengan sistem reproduksi dan organ-organ vital yang merupakan instrumen reproduksi. Reproduksi merupakan proses biologis suatu
individu organisme. Reproduksi merupakan cara dasar mempertahankan diri dengan berkembangbiak yang dilakukan oleh semua bentuk kehidupan dan untuk
menghasilkan generasi selanjutnya. Di dalam seni, reproduksi sering digunakan
26
dalam upaya memperbanyak, atau pembuatan salinan atau tiruan dari sebuah lukisan, patung, fotografi dan benda-benda seni lainnya.
Reproduksi dalam konteks budaya, sebagaimana dikatakan oleh Irwan Abdullah 2006:45 adalah proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh
pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Dalam wacana yang lebih luas, reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang
menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Adapun penegasan yang dimaksud adalah penegasan kembali identitas kebudayaan asalnya. Sebagai sebuah proses aktif, reproduksi budaya bisa menghasilkan bentuk
yang sama dan bisa juga terjadi perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan tempat terjadinya reproduksi.
2.2.2 Seni Kakebyaran
Seni kakebyaran merupakan produk budaya masyarakat yang telah menjadi salah satu ikon budaya Bali. Di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya yang sangat
kuat dan merupakan cerminan identitas budaya masyarakat Bali yang dinamis. Kakebyaran itu sendiri berasal dari kata kebyar yang mendapat awalan ka dan
akhiran -an. Adanya imbuhan awalan dan akhiran tersebut, kakebyaran berarti sesuatu yang berhubungan dengan kebyar. Dalam kamus bahasa Bali yang disusun
oleh panitia penyusunan kamus Bali Indonesia 1978:274, kata kebyar ditulis dengan kata kebiar atau makebiar yang berarti menyala dengan tiba-tiba.
Selanjutnya diuraikan juga bahwa kata kebyar merupakan nama tabuh-tabuhan
27
dalam gamelan Bali dengan suara keras mengejutkan sebagai letupan atau seperti menyala-nyala yang memancar dengan tiba-tiba saat mulainya. Sebagaimana
terungkap dalam hasil penelitian Tim Survei ASTI Denpasar 1980:4, dalam Notes on The Balinese Gamelan Music Panji mengatakan bahwa byar berarti suatu bunyi
yang timbul dari akibat pukulan alat-alat gamelan secara keseluruhan dan bersama- sama.
Terkait dengan kata kebyar, McPhee 1966:326 dalam penjelasannya mengatakan,
”The word kebyar is hard to difine. It applies to the new style and to the music itself, to the dance, and to the modernized gamelan gong. It refers in
particular to the cymbals and their metallic class, and to the explosive unison attack of the gamelan with wich the music begins. It has been
explained to me as meaning a sudden outburst, ”like the bursting open of a flower”, as one informant engagingly by opening a tightly closed hand”.
Terjemahan, Kata kebyar sangat sulit untuk diartikan. Kata ini diterapkan dalam dunia
musik gaya baru dan musik itu sendiri, untuk tarian, dan gamelan gong yang dimodernisasi. Hal ini mengacu terutama untuk simbal dan kelompok
logam, dan untuk suara bunyi yang serempak dan bergemuruh dari gamelan ketika musiknya dimulai. Beberapa penjelasan yang saya dapatkan berarti
riuh rendah seperti bunga yang mekar secara tiba-tiba, informasi yang sangat menarik dari informan adalah membuka tangan yang tertutup rapat”
Dari pernyataan tersebut, kebyar secara konseptual diartikan sebagai musik gaya baru dari modernisasi gamelan gong gong gede. Kebyar merupakan bunyi atau
suara yang ditimbulkan dari kelompok instrumen simbal dan logam yang dimainkan secara serempak dan bergemuruh di awal musik. Kebyar juga
diandaikan seperti kuncup bunga yang mekar secara tiba-tiba atau seperti tiba-tiba membuka tangan yang tertutup rapat.
28
Musik kebyar dari awal munculnya memang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan gamelan gong kebyar. Terkait dengan prihal lahirnya, Dibia 2003:39
menguraikan dua fase penting yaitu: munculnya teknik menabuh dengan pola ”ngebyar”, yaitu memukul alat-alat gamelan secara bersama-sama sehingga
menimbulkan suara keras yang menggelegar, dan terbentuknya barungan gamelan baru yang kemudian diberi nama gong kebyar. Hal ini menunjukkan bahwa
penciptaan dan munculnya gamelan gong kebyar berawal dari munculnya ide musikal yang kemudian diikuti dengan penciptaan barungan alat gamelan untuk
mewadahi dan sebagai media ungkap dari ide musikal tersebut. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Sukerta 2009:6, bahwa sebelum barungan gamelan gong kebyar
terwujud, terlebih dahulu muncul gending-gending yang menggunakan teknik- teknik kakebyaran yang disajikan pada jenis barungan gemalen tertentu yang
menggunakan laras pelog. Dari kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kakebyaran
merupakan sebuah konsep dan pola musikal yang diterapkan dalam gamelan Bali. Walaupun kemudian dipopulerkan lewat gamelan gong kebyar, namun sebelumnya
konsep musikal ini terlebih dahulu disajikan dalam beberapa jenis gamelan lainnya. Di wilayah kelahirannya yaitu di Bali Utara pola musikal yang ngebyar lazim
dimainkan dalam tabuh-tabuh lalonggoran yang sering disajikan untuk mengiringi berbagai upacara keagamaan. Lalonggoran merupakan salah satu gending sakral
yang dikeramatkan yang dalam penyajiannya senantiasa didahului dan dilengkapi dengan sesajen. Musikalitas tabuh lelonggoran ini disajikan dalam tempo yang
cepat, dinamis keras dan penyajiannya senantiasa digunakan untuk mengawali
29
sajian dari tabuh-tabuh yang lainnya dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Musikalitas yang cepat dan keras inilah yang sering diidentikkan dengan konsep
ngebyar. Seiring dengan munculnya seni kakebyaran dalam bentuk seni karawitan
instrumental, muncul pula bentuk seni kakebyaran yang lain yakni tari kakebyaran. Arini 2004:3 mengatakan tari kakebyaran adalah tari-tarian yang diiringi dengan
gamelan gong kebyar, pada umumnya memakai pukulan makebyar ketika memulai tabuh iringan tarinya. Sebagaimana munculnya seni tabuh kakebyaran di wilayah
Bali Utara, kakebyaran dalam bentuk seni tari juga diperkirakan awalnya muncul di wilayah tersebut. Hal ini dapat dicermati dengan adanya istilah kebyar
bulelengan, yakni sebuah istilah yang berarti sebuah tarian yang ditampilkan dengan iringan tetabuhan kebyar Buleleng Dibia, 2003:43. Istilah ini digunakan
untuk menyebutkan salah satu tari kebyar yang saat ini dikenal dengan tari Kebyar Legong. Semaraknya perkembangan seni kakebyaran di Buleleng di awal dekade
abad XX juga diikuti dengan munculnya beberapa tarian yang terinspirasi dari tari Kebyar Legong tersebut. Beberapa di antaranya yang populer di kalangan
masyarakat adalah tari Palawakya dan tari Teruna Jaya yang diciptakan oleh seniman-seniman Buleleng.
Dalam perkembangan selanjutnya, seni kakebyaran tidak saja berkembang di wilayah Bali Utara, namun mulai merambah beberapa wilayah di daerah Bali
Selatan dan ke beberapa wilayah di Bali hingga ke wilayah Lombok. Popularitas seni kakebyaranpun semakin menguat di masyarakat. Indah dan dinamisnya seni
tari kakebyaran yang diciptakan oleh seniman-seniman Buleleng memicu
30
kreativitas para seniman lainnya di wilayah Bali Selatan untuk menciptakan tari- tari kakebyaran. I Mario pada tahun 1920an menciptakan sebuah tarian yang
disebut dengan tari Kebyar Duduk dan selanjutnya melahirkan pula tari Kebyar Terompong, Oleg Tamulilingan dan beberapa tari lainnya. Selain Mario, maestro
tari kakebyaran lainnya adalah I Nyoman Kaler yang melahirkan banyak karya tari kakebyaran dengan berbagai karakter seperti tari perempuanfeminim dan tari
babancihan. Sebagaimana diuraikan oleh Arini, beberapa kakebyaran yang diciptakan oleh I Nyoman Kaler di antaranya yang tergolong tari feminim yakni:
tari Candra Metu, tari Puspawarna, tari Bayan Nginte, tari Kupu-Kupu Tarum dan tari Pengaksama. Sedangkan yang tergolong tari babancihan adalah tari Mergapati,
tari Wiranata, tari Panji Semirang, tari Demang Miring Arini 2004:16-19. Semaraknya perkembangan gambelan gong kebyar menyebabkan gamelan
ini semakin populer di kalangan masyarakat seni pertunjukan di Bali. Dalam penyajiannya tidak saja menyajikan tabuh-tabuh instrumental namun juga
mengiringi tari-tarian lain di samping tari-tari kakebyaran yang menjadi bagian dari seni kakebyaran tersebut. Beberapa jenis tarian klasik yang nota bene merupakan
repertoar dari gamelan palegongan seperti Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog, Candrakanta, Semarandana dan sebagainya mulai diringi dengan gamelan gong
kebyar. Hal ini terjadi seiring dengan semakin berkurangnya keberadaan gamelan palegongan di masyarakat. Demikian pula tari-tarian repertoar dari gamelan
babarongan, gong gede dan yang lainnya mulai merambah ke wilayah penyajian gamelan gong kebyar. Guna menghindari kerancuan dalam pembahasannya,
beberapa repertoar sebagaimana disebutkan di atas yang nota bene bukan berasal
31
dari wilayah seni kakebyaran tidak akan dibahas lebih dalam lagi. Walaupun saat ini sering disajikan lewat media gamelan gong kebyar tari-tarian palegongan dan
yang lainnya, hal itu bukanlah merupakan bagian dari bentuk seni kakebyaran. Dari uraian di atas, dapat dijelaskan kembali bahwa kakebyaran merupakan
sebuah konsep musikal dan bentuk barungan gamelan sebagai media penyajiannya, kakebyaran tidak terbatas hanya pada gamelan gong kebyar saja namun juga
gamelan lain yang memiliki repertoar dengan ciri-ciri serta identitas sebagaimana telah diuraikan di atas. Penjelasan konsep kakebyaran di bidang seni tari mengacu
kepada konsep seni tari kakebyaran yaitu tari-tarian yang diiringi dengan musik atau tabuh kakebyaran. Tidak terbatas pada penggunaan media gamelan gong
kebyar namun juga gamelan lainnya. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kakebyaran memiliki cakupan pengertian yang sangat luas, tidak saja
terbatas pada konsep musikal dan alat musik gamelan, akan tetapi sudah merambah pada bidang seni tari. Jadi seni kakebyaran sudah berkembang menjadi
sebuah konsep estetika seni pertunjukan Bali dalam musik dan tari. Dari penjelasan kedua konsep di atas, reproduksi seni kakebyaran
merupakan kombinasi dari konsep reproduksi dan seni kakebyaran. Seni kakebyaran sebagai objek material merupakan subunsur budaya di bidang kesenian
yang menjadi salah satu ikon budaya masyarakat Bali. Di dalamnya terdapat berbagai nilai yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya Bali. Keberadaan seni
kakabyaran di Kota Mataram adalah hasil proses reproduksi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali di dalam upaya menegaskan identitasnya sebagai orang Bali.
32
Seni kakebyaran merupakan salah satu bentuk dari berbagai aspek sosial, budaya yang dibangun oleh masyarakat Bali yang ada di Kota Mataram.
Reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, NTB merupakan upaya yang dilakukan oleh orang-orang Bali di Kota Mataram dalam membangun dan
mengembangbiakkan seni kakebyaran dalam rangka memperkuat dan menegaskan identitas mereka sebagai orang-orang Bali. Reproduksi seni kakebyaran di Kota
Mataram di samping memiliki kesamaan unsur-unsur dengan di daerah asalnya, juga menghasilkan berbagai perubahan bentuk yang disebabkan adanya perbedaan
lingkungan dan kultur di daerah asalnya Bali dengan di wilayahnya yang baru Mataram. Perubahan
terjadi karena reproduksi adalah proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan
adanya adaptasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Di dalam beradaptasi sangat memungkinkan terjadinya
perubahan karena adanya perbedaan beberapa faktor seperti lingkungan, kebiasaan- kebiasaan serta budaya yang berbeda.
Studi tentang reproduksi seni kakebyaran dalam konteks kajian budaya atau lebih di kenal dengan cultural studies merupakan sebuah studi yang berdasarkan
pada pendekatan multi dan postdisipliner. Sebagaimana dikatakan Hall dalam Barker, 2001:6, yang diperbincangkan adalah hubungan cultural studies persoalan
kekuasaan dan politik dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi atas dan ’bagi’ kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan khususnya kelas,
gender dan ras.
33
Berkaitan dengan praktik-praktik kekuasaan, cultural studies menunjukkan perhatian spesifik terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan yang pertama kali
karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan kelompok umur dan sebagainya. Keberadaan tradisi budaya Bali khususnya seni pertunjukan di Lombok
memunculkan persoalan yang sangat dilematis. Sebagai budaya dari kelompok minoritas, eksistensi seni kakebyaran di wilayah Kota Mataram terpinggirkan
dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Keterpinggiran tersebut terlihat dari kurangnya dukungan dari berbagai komponen masyarakat terutama institusi
pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan seni dan budaya. Di samping itu adanya kebijakan otonomi daerah, muncul tendensi atau kecenderungan daerah-
daerah di Indonesia lebih mementingkan pengembangan budaya etnik lokal daripada budaya para pendatang, apalagi didominasi oleh faktor agama. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan senantiasa mengacu pada agama dan budaya etnik lokal dan kurang berpihak kepada budaya di luar agama yang dominan dalam kehidupan
masyarakat.
2.3 Landasan Teori