34
dalam situasi dan atmosfir yang berbeda dengan wilayah budaya asalnya. Berbagai persoalan muncul ketika seni kakebyaran direproduksi di wilayah budaya yang baru
yang jauh dari budaya induknya. Sebagai identitas budaya dari etnis minoritas seni kakebyaran menjadi
terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Keberadaannya seperti anak yatim dan mengambang tidak jelas siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap eksistensi dan keberlanjutanya serta bagimana konsep pelestarian dan pengembangannya di masa yang akan datang. Reproduksi seni kakebyaran sebagai
salah satu upaya membangun serta penguatan identitas budaya masyarakat Bali memunculkan upaya-upaya resistensi dari budaya mayoritas dengan cara mengikis
atau menghilangkan elemen budaya Bali pada budaya Sasak sebagai upaya pemurnian identitas Sasak. Ketika muncul perlawanan tersebut terjadi pula hal-hal
yang bersifat dekonstruktif dari para seniman Bali dengan mengadakan beberapa perubahan agar nantinya dapat diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat
setempat. Dari berbagai persoalan tersebut, untuk mengkaji dan menganalisis persoalan reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat,
digunakan beberapa teori sebagai perangkat analisis sebagaimana dipaparkan berikiut ini.
2.3.1 Teori Reproduksi Budaya
Kajian tentang reproduksi kebudayaan pernah dikemukakan oleh Pierre F. Bourdiou melalui konsep habitus dan arena serta hubungan dialektis antara
keduanya. Menurut Bourdieu 1989, habitus adalah struktur mental atau kognitif
35
yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkian skema atau pola yang diinternalisasikan yang nereka gunakan untuk
merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika,
habitus adalah”produk internalisasi struktur” dunia sosial dalam Ritzer, 2003:522. Habitus dipahami sebagai seperangkat nilai, praktik dan kecenderungan
bathin yang distrukturkan” maupun “menstrukturkan”. Habitus merupakan sesuatu yang bersifat generatif yang akan selalu berkembang, artinya, habitus terdiri atas
penguasaan praktis sejumlah kecakapan skill, rutinitas, kemampuan dan asumsi yang masih bisa dimodifikasi dan digunakan sebagai dasar improvisasi. Meskipun
dibentuk dalam suatu wilayah atau ranah tertentu, disposisi-disposisi habitus bisa ditransfer dari satu ranah ke ranah yang lain Barker, 2014:115.
Nilai-nilai budaya Bali dengan berbagai praktik budayanya merupakan merupakan kebiasaan-kebiasaan yang senantiasa melekat pada diri orang Bali.
Secara nyata meskipun nilai-nilai serta berbagai praktik budaya tersebut lahir dan dibentuk di Bali, habitus ini bisa perpindah ke ranah yang lain mengikuti alur
perpindahan orang Bali. Berpindahnya orang-orang Bali dan selanjutnya menetap di Kota Mataram, diikuti dengan dipreproduksinya berbagai kebiasaan, khususnya
dalam aktivitas budaya, seni, tradisi, agama dan berbagai aspek kehidupan sosial. Ranah field adalah sejenis lingkungan kompetitif yang di dalamnya
terdapat berbagai jenis modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolis yang digunakan dan dimanfaatkan. Ada sejumlah arena semi otonom di dunia sosial
misalnya artistik, religious, dan perguruan tinggi yang semuanya memiliki logika
36
spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan para aktor tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan di suatu arena. Pada rumusan yang lain,
Bourdieu 1990a: 123-129 memakai field sebagai dunia sosial yang terus menerus berada dalam proses diferensiasi progresif serta jumlah kendala struktural
anggotanya. Field adalah arena perjuangan anggotanya untuk mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan simbolis. Tujuan utamanya adalah
memastikan “perbedaan” yang akan menjamin status aktor sosial yang dapat berfungsi sebagai sumber kekuasaan simbolis yang kemudian digunakan untuk
mencapai keberhasilan lebih lanjut dalam Lubis, 2014:108. Mengacu pada rumusan tersebut, wilayah Kota Mataram merupakan arena
perjuangan bagi masyarakat etnis Bali untuk mendapatkan berbagai sumber daya material dan kekuatan simbolis. Dengan mereproduksi kebudayaan, khususnya
kesenian, hal ini dijadikan sumber daya atau modal budaya untuk meraih materi dan sebagai kekuatan simbolis yang kemudian digunakan untuk mencapai
keberhasilan lebih lanjut. Hubungan dialektis di antara habitus dan arena sebagaimana diungkap
Bourdieu 1984a menunjukkan bahwa habitus dan arena saling menentukan satu sama lainnya. Secara tegas dikatakan,
“ habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi, dan hanya sah dalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitus
itu sendiri adalah “ lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis di mana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu.
Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yang
berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama dalam Ritzer, 2003:528.
37
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa suatu tindakan yang sama dapat memperoleh sesuatu makna yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika
dilakukan di arena yang berbeda. Terkait dengan pernyataan tersebut, habitus sangat berpengaruh ketika memasuki arena yang berbeda. Terjadinya perbedaan
makna berimplikasi terhadap beberapa aspek kehidupan di antaranya aspek sosial dan budaya. Fenomena ini searah dengan pandangan Kingsley Davis yang
menyatakan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah dua bidang yang saling berkaitan. Perubahan sosial adalah bagian dari perubahan kebudayaan
mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya dalam Soekanto, 2001:342.
Irwan Abdullah dalam bukunya Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan 2007 menguraikan bahwa reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan
identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar
sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses
identifikasi diri dan kelompok. Kebudayaan sebagai simbol menunjuk pada bagaimana suatu budaya dimanfaatkan untuk menegaskan batas-batas kelompok.
Pembentukan identitas kelompok migran di berbagai tempat cenderung terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Dasar reproduksi kebudayaan lebih
disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke masa kini dan beban sejarah yang dipikul oleh setiap kelompok yang meninggalkan wilayah kebudayaannya,
yakni untuk mewujudkan cita-cita dan identitas Abdullah, 2007:51-52.
38
Berpindahnya orang Bali dan memasuki wilayah budaya berbeda terkadang sulit melepaskan diri dari identitas budaya asal yang sudah melekat dan cenderung
masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi sebagai kelompok minoritas, untuk dapat diterima dan menjadi bagian dari sistem yang lebih luas
harus mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri sehingga sering menimbulkan perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya. Teori konfigurasi menjelaskan,
bahwa terjadi tiga proses sosial ketika ada perubahan sebagai akibat dari penyesuaian tersebut di antaranya: pertama terjadi pengelompokan baru dengan
orang-orang yang berbeda berarti adanya pembentukan hubungan sosial baru. Kedua, terjadi redefinisi sejarah kehidupan karena adanya fase kehidupan baru.
Ketiga, terjadi proses pemberian makna baru bagi diri seseorang, yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali kultural dirinya dan asal usulnya
Abdullah, 2007:44 Berpindahnya orang-orang Bali dan menempati wilayah dan lingkungan
sosial yang baru di Lombok secara tidak langsung menimbulkan pengelompokan baru dan membentuk hubungan sosial yang baru baik sesama orang Bali maupun
masyarakat setempat. Muncul fase baru dalam kehidupan masyarakat dan fase tersebut menjadi tonggak sejarah di wilayah yang baru. Keberadaan orang-orang
Bali dan menetap di Lombok memberikan pandangan baru terhadap identitas pribadi, kelompok dan identitas kesukubangsaan. Bagi orang Bali sendiri,
keberadaan mereka di Lombok senantiasa bangga menyebutkan diri sebagai orang Bali walaupun mereka lahir dan dibesarkan di Lombok dan mungkin mereka tidak
mengetahui daerah asalnya di Bali. Dari sudut pandang yang lain, bagi masyarakat
39
Lombok, mereka juga masih dianggap sebagai orang Bali. Walaupun demikian bagi orang Bali yang mempunyai sanak saudara di Bali, oleh sanak saudaranya mereka
sudah dianggap sebagai nyame Sasak orang Lombok. Sebagaimana fenomena yang terjadi pada wilayah yang lebih besar, dalam
wilayah yang lebih spesifik yakni di bidang seni pertunjukan juga terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan. Perubahan-perubahan yang terjadi menyesuaikan
dengan etika dan norma-norma kesopanan, di mana tari-tarian yang disajikan dengan kostum yang agak terbuka diharuskan mengubah konsep pakaian agar
bagian-bagian yang terbuka tertutupi. Sebagaimana diketahui beberapa tarian Bali disajikan dengan konsep kostum yang agak terbuka pada bagian lengan dan bahu.
Untuk dapat ditampilkan dihadapan masyarakat atau pejabat pemerintahan bagian- bagian tersebut ditutupi dengan baju. Perubahan juga terjadi pada bentuk seni
pertunjukan lainnya. Agar kesenian tersebut diterima oleh semua kalangan termasuk masyarakat setempat, beberapa elemen budaya sasak dimasukkan ke
dalam seni pertunjukan seperti digunakannya bahasa tradisional sasak. Berada di wilayah etnik yang berbeda menyebabkan orang-orang Bali
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlaku secara umum yang tentunya berbeda dengan situasi dan kondisi yang terdapat di Bali. Perubahan budaya dalam
konteks reproduksi tidak dapat dihindari karena ruang atau wilayah budaya yang baru memiliki kosmologi dan atmosfir yang berbeda dengan di daerah asalnya.
Atmosfir masyarakat di Kota Mataram khususnya berbeda dengan atmosfir masyarakat di Bali. Ketika masih dikuasai oleh keturunan Raja Karangasem, Kota
Mataram memiliki armosfir kehidupan budaya seperti di Bali di mana nuansa
40
kehidupan masyarakatnya hampir sama dengan yang ada di Bali. Seni, dan tradisi budaya masyarakat di Kota Mataram masih kuat dengan nuansa budaya Bali.
Namun setelah terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan dan pola kepemimpinan yang cenderung agamis, lambat laun atmosfir kehidupan
masyarakatnya mengalami perubahan. Keberadaan tradisi, dan budaya masyarakat termasuk di antaranya juga seni budaya Bali semakin memudar, bahkan banyak di
antaranya yang mengalami kepunahan. Semakin menguatnya kehidupan keagamaan di wilayah Lombok, justru
semakin memperlemah posisi keberadaan kebudayaan asli masyarakat terutama seni tradisi yang ada termasuk seni pertunjukan Bali. Segala bentuk kesenian yang
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai atau norma keagamaan akan ditinggalkan dalam kehidupan yang lebih luas. Ninuk Kleden 2004 pernah mencatat bahwa
pada era tahun 1990-an gendang beleq salah satu seni tradisional masyarakat Sasak menurun popularitasnya dan dikalahkan dengan Kecimol. Hal ini terjadi karena
keberadaannya ditolak oleh kelompok Islam karena kelompok ini tidak membenarkan adanya peralatan yang tebuat dari perunggu dan besi. Namun seiring
dengan terjadinya perubahan pandangan pada kelompok-kelompok tersebut, pada tahun 2000an peralatan tersebut populer kembali hingga dijadikan ikon budaya
Sasak. Diterimanya Gendang Beleq dalam wacana Islam bukannya tidak bersyarat. Ketua Sanggar Bedede dari Dasan Agung, Gapuk menunjukkan telapak tangan
dengan kelima jarinya terlentang, yang diartikan sebagai lima waktu shalat dan katanya seni itu letaknya di sela-sela jari tangan. Ini berarti kegiatan kesenian
41
seharusnya dilaksanakan di antara waktu sembahyang, misalnya di antara Lohor dan Azhar atau di antara Azhar dan Mahgrib Kleden, 2004:2009.
Fakta di atas menunjukkan bahwa keberadaan dan berbagai aktivitas kesenian dalam masyarakat untuk bisa tetap eksis dalam kondisi masyarakat seperti
itu mesti dilakukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi serta norma-norma yang ada dan berlaku secara mayoritas. Terjadinya perubahan dan penyesuaian
tersebut tidak saja pada kesenian lokal, namun juga kesenian-kesenian lainnya yang terdapat di Lombok termasuk kesenian Bali. Untuk mendukung teori reproduksi
budaya digunakan juga teori konfigurasi sebagai pisau analisis atas permasalahan pertama yaitu yang terkait dengan bentuk reproduksi seni kakebyaran Bali di Kota
Mataram. Bahwa dalam proses reproduksi seni kakebyaran tersebut di samping mereproduksi bentuk seni pertunjukan yang hampir sama dengan di daerah asalnya
Bali, terjadi juga beberapa perubahan yang bersifat konfiguratif dalam perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram. Beberapa bentuk komposisi
kakebyaran ditata kembali dan dimodifikasi untuk digunakan mengiringi tari-tarian Sasak dan tembang pesasakan dan dramatari.
2.3.2 Teori Identitas