Reproduksi Seni Kekebyaran di Kota Mataran Nusa Tenggara Barat.

(1)

REPRODUKSI SENI

KAKEBYARAN

DI KOTA MATARAM NUSA TENGGARA BARAT

I GEDE YUDARTA

NIM 0990371002

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

REPRODUKSI SENI

KAKEBYARAN

DI KOTA MATARAM NUSA TENGGARA BARAT

DISERTASI UNTUK MEMPEROLEH GELAR DOKTOR PADA PROGRAM DOKTOR, PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

I GEDE YUDARTA

NIM 0990371002

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

Halaman Pengesahan

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI Pada Tanggal 8 April 2016

Promotor,

Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S. NIP. 195706181983031001

Mengetahui,

Kopromotor I

Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. NIP 194804121974031001

Kopromotor II

Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. NIP 194312311976021001

Ketua

Program Studi Doktor

Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U. NIP 194807201978031001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 195902151985102001


(4)

HALAMAN PENETAPAN TIM PENGUJI

Disertasi Ini telah Diuji dan Dinilai pada Ujian Disertasi Tahap II (Ujian Terbuka) pada Tanggal 8 April 2016

Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor: 1359/UN.14.4/HK/2016

Tentang

Tim Penguji Ujian Disertasi Tahap II (Ujian Terbuka) Program Doktor (S3) Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

No. Nama Jabatan

1 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) Ketua

2 Prof. Dr. I Made Budiarsa, M.A. Sekretaris

3 Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S. Anggota

4 Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. Anggota

5 Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A Anggota

6 Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. Anggota

7 Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. Anggota

8 Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Anggota

9 Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. Anggota

10 Dr. Putu Sukarja, M.Si. Anggota


(5)

SURAT PERNYATAAN PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : I Gede Yudarta

NIM : 0990371002

Program Studi : Program Doktor, Kajian Budaya Universitas Udayana Judul Disertasi : Reproduksi SeniKakebyaranDi Kota Mataram, Nusa

Tenggara Barat.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 28 Maret 2016 Yang membuat pernyataan

I Gede Yudarta NIM 0990371002


(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puja puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas karunia-Nyalah penelitian disertasi dengan Judul “Reproduksi Seni Kakebyaran Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Keberhasilan penulis di dalam mewujudkan disertasi ini, tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun material. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terimakasih kepada sejumlah pihak di bawah ini.

Pertama-tama, Tim Promotor yang terdiri dari Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S. selaku promotor, Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. selaku kopromotor I, dan Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. selaku kopromotor II atas segala bimbingan, petunjuk dan arahan yang sangat bermanfaat serta penuh ketelitian, kesabaran dan rasa tanggung jawab dalam suasana kekeluargaan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.D.P-KEND., (Rektor Universitas Udayana) dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I Prof. Dr. I Made Budiarsa, M.A. Asisten Direktur II Prof. Dr. Made Sudiana


(7)

Mahendra, Ph.D. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerima Beasiswa dan menjadi mahasiswa pada Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Tahun Angkatan 2009/2010. Trimakasih juga kami sampaikan kepada, Ketua Program Studi Doktor (S3)

Kajian Budaya, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan S.U. dan Dr. Putu Sukarja, M.Si. selaku sekretaris atas fasilitas yang diberikan serta mengarahkan dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan dari awal sampai akhir

Trimakasih juga penulis ucapkan kepada Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M. Hum. Wakil Rektor I, Prof. Dr. I Nyoman Artayasa, M.Kes., Wakil Rektor II, Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Hum. Wakil Rektor III, Drs. I Wayan Gulendra., M.Sn dan Wakil Rektor IV, I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn., atas penugasan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program S3 Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada tim penguji yang terdiri atas Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, M.S., Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., dan Dr. Putu Sukarja, M.Si. yang telah memberikan arahan, masukan, saran-saran, perbaikan, koreksi, penguatan, dan penyempurnaan dari tahap proposal sehingga disertasi ini dapat diwujudkan.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen pengajar pada Program Doktor Program Studi Kajian Budaya, dengan berbagai disiplin ilmu dan keahliannya memberikan kami kekayaan ilmu pengetahuan yang sangat berguna


(8)

yaitu: Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, M.S., Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. I Gede Semadi Astra, Prof. Dr. I Gede Wija, Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.H., Prof. Dr. I Ketut Nehen, SE., M.Ec., Prof. Dr. I Wayan Tjatera, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.S., M.Mis., M.M, D.Th., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Nyoman Suarka., M.Hum., Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmaja, M.A., Prof. Dr. A.A. Gde Putra Agung S.U., Prof. Dr. Koento Wibisono., Prof. Dr. Irwan Abdullah, Prof. Dr. Ing. I Made Merta, Dr. Drs. I Putu Sukarja, M.Si., Dr. I Gede Mudana, M.Si.

Seluruh pimpinan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Dekan I Wayan Suharta, S.SKar., M.Si., Wakil Dekan I I Dewa Ketut Wicaksana, S.SP., M.Hum., Wakil Dekan II, Ni Ketut Suyatini, S.SKar., M.Sn., Wakil Dekan III Dr. Dra. Ni Luh Sustyawati, M.Pd. Ketua Jurusan Karawitan Wardizal, S.Sen., M.Si dan Sekretaris Jurusan I Nyoman Kariasa, S.Sn., M.Sn beserta segenap rekan sejawat di Jurusan Karawitan Prof. Dr. I Wayan Rai S. M.A., Dr. I Komang Sudirga, S.Sn., M.Hum., Pande Gede Mustika, S.SKar., M.Si., Ida Bagus Nyoman Mas, S.SKar., I Nyoman Sudiana., S.S.Kar., M.Si. Kadek Suartaya, S.SKar., M.Si., I Ketut Partha, S.SKar., M.Si, Ni Ketut Suryatini, S.S.Kar., M.Sn. I Nyoman Pasek, S.S.Kar., M.Si., I Made Kartawan, S.Sm., M.A. I Gede Made Indra Sadguna, S.Sn., M.Hum. Ni Ketut Dewi Yulianti, S.S., M.Hum., Ni Putu Tisna Andayani, S.S. M..Hum., Drs. I Ketut Muryana, M.Si. I Ketut Sudhana,


(9)

S.SKar., M.Sn., Desak Made Suarti Laksmi, S.SKar., M.A., Saptono, S.Sen., M.Si., Tri Haryanto, S.Kar., M.Si. Hendra Santosa., S.S.Kar., M.Hum., atas motivasi dan dorongan moril yang senantiasa diberikan kepada penulis.

Seluruh staf administrasi Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, Putu Sukariawan, S.T., Dra. Ni Luh Witari, I Ketut Budiastra, I Nyoman Candra, Putu Hendrawan, Ni Wayan Ariati,S.E., Cok. Istri Murniati, dan A.A.A. Indrawati, atas segala layanan administrasi dan akademis selama menempuh studi.

Seluruh teman seperjuangan pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, angkatan tahun 2009, Drs. Hardiman, M.Si, Dr. Drs. Abdurrachman May, M.Si., Dr. Ida Ayu Made Gayatri, M.Si., Dr. Drs. Ida Bagus Beratha, M.Si., Dr. Drs. I Ketut Subrata, M.Ag., Dr. Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si., Dr. Drs I Made Gede Putra Wijaya, S.H., M.Si, Dr. Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd., Dr. I Made Yudha Bakti, SSP., M.Si., Dr. Drs. I Nyoman Winia, M.Si., Dr. Drs. I Ketut Suardika, M.Si., Dr. Drs. I Wayan Citrawan, M.Pd. Dr. Dra. Ni Luh Arjani, M.Hum., Dr. Drs. I Ketut Sudita, M.Si., Dr. Drs. Ahmad Tabrani, M.Pd., Dr. Yulinis, S.ST., M.Si., Dr. Drs. I Wayan Adnyana, M.M., M.Erg. Dr. Drs. I Gusti Lanang Wiratma, M.Si., Dr. Drs. A.A. Ngurah Sandiartha, M.Si., Dr. I Made Marajaya, Drs. I Nyoman Sukraliawan, M.Si., Drs. Dewa Made Suteja, M.Si. I Wayan Dedy Sumantra, M.Si., Drs. Ida Bagus Gde Putra, M.Si., atas kerjasama selama menempuh perkuliahan.

Para informan yang berdomisili di Kota Mataram, NTB dan di Bali: I Made Bagiana, I Nengah Sukantha, I Wayan Pariode, I Wayan Gde Sadrasa, I


(10)

Nyoman Adi Musti Tribudiloka, I Ketut Nita, Ni Wayan Sri Aritini, Ibu Ni Made Darmi, Prof. David D. Harnis, Ph.D., Saeful Hamdi, Amaq Saerah, I Wayan Drestha, Sumarni, S.Pd., Ni Putu Wijayanti, Ni Luh Sri Adriyanthi, I Made Bambang Wijaya (Alm), I Made Kawi, I Komang Renges, Jro Mangku I Made Getul, I Gusti Bagus Wesnawa (Alm), I Made Gustra, I Gede Partha, Ida Wayan Astha, I Wayan Wirya, I Ketut Rudati, I Nengah Rangki, Pande Gede Mustika, I Wayan Pasca Wirsutha seniman anggota sekaa-sakaa gong se-Kota Mataram, segenap pengurus dan anggota Himpunan Seniman Muda Kota Mataram atas bantuan, kerjasama dan segala informasi penting yang diberikan terkait dengan penelitian ini.

Orangtua kami tercinta, I Nyoman Yudha, S.SKar.(alm), dan Ni Wayan Nasa, istri terkasih Ni Ketut Seriani, anak-anaku tersayang Putu Yudiasih, I Made Adi Sedana, Ni Dyah Ayu Purnami, cucu-cucuku Luh Gede Jyoti Lestari dan Ni Luh Putu Feby Cahyani, serta adik-adik I Made Suryawan, Ni Nyoman Ayu Widuri, kakak yang penulis banggakan Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. atas segala dorongan dan motivasi, kesabarannya dan kesetiaannya menanti hasil perjuangan ini.

Penulis sadari bahwa disertasi hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan para pembimbing, promotor dan promotor, penguji, serta pembaca disertasi ini demi kesempurnaan dan dapat dijadikan bekal tambahan pengetahuan di kemudian hari.

Denpasar, Februari 2016 Penulis


(11)

ABSTRAK

Senikakebyaranmerupakan bagian dari seni pertunjukan Bali yang mulai berkembang pesat pada awal abad XIX. Pesatnya perkembangan senikakebyaran menjadikan seni pertunjukan ini tidak saja popular di wilayah Pulau Bali, meluas menembus ke wilayah provinsi dan negara-negara di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, salah satu wilayah penyebaran seni kakebyaran adalah di Pulau Lombok, khususnya di Kota Mataram. Adanya kebijakan di bidang budaya yang dikeluarkan oleh penguasa lewat jargon “Maju, Religius dan Berbudaya”, menegaskan orientasi pembangunan di Kota Mataram mempergunakan pendekatan nilai-nilai keagamaan yaitu Islam yang dianut secara mayoritas dan mengurangi simbol agama dan budaya lain. Fenomena ini menarik untuk dikaji karena di samping berhasil menembus wilayah kepulauan, keberadaan seni kakebyaran juga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di Kota Mataram.

Sebagai budaya masyarakat minoritas tentunya menjadi tantangan bagi masyarakat etnik Bali untuk mengembangkan seni, tradisi dan budaya khususnya pengembangan seni kakebyaran. Untuk itu terkait dengan studi ini dirumuskan tiga permasalahan yaitu: 1) bentuk reproduksi seni kakebyaran, 2) mengapa terjadi reproduksi seni kakebyaran serta 3) bagaimanakah dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Untuk membahas dan menganalisis beberapa permasalahan tersebut dipergunakan tiga teori di antaranya teori reproduksi budaya, teori identitas dan teori semiotika. Teori reproduksi budaya dipergunakan untuk membedah rumusan masalah pertama yaitu bentuk reproduksi seni kakebyaran. Teori identitas dipergunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua dan teori semiotika untuk membahas permasalahan ketiga. Dari ketiga teori tersebut tidak tertutup kemungkinan dipergunakan secara eklektis untuk membahas substansi pokok bahasan dan subpokok bahasan yang terdapat pada masing-masing bab.

Penelitian dilaksanakan dengan mempergunakan metode kualitatif dengan berbagai teknik yang berlaku sesuai dengan paradigma kajian budaya. Di dalam pengumpulan data dipergunakan metode observasi partisipasi, wawancara, studi dokumen, dan studi pustaka yang relevan. Analisis dan pembahasan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan, dideskripsikan sebagai berikut: pertama, bentuk reproduksi seni kakebyaran terdapat beberapa aspek di antaranya musikalitas, bentuk dan instrumen, tata penyajian, fungsi, dan perannya di dalam penguatan budaya Bali dan Sasak. Kedua, penyebab terjadinya reproduksi seni kakebyaran, di antaranya: budaya, komunikasi budaya antara budaya Bali dan Sasak, agama, kehidupan sosial dan ekonomi. Ketiga, reproduksi seni kakebyaran berdampak terhadap kehidupan spiritual, sosio-kultural, dan berdampak ekonomis. Terkait dengan itu, makna yang ditimbulkan di antaranya, makna estetik/artistik makna kultural.


(12)

ABSTRACT

Kakebyaranis part of the performing art of Bali which began to develop flourishingly at the beginning of the 19thcentury. Such a dramatic development of

thiskakebyaranhas made this performing art become popular not only in Bali but also outside the island and even to all over the world. In Indonesia, one of its spreading regions is Lombok Island, especially in Mataram City. There are the cultural policies issued by the authorities from theirsloganit is advanced religious and cultured, it confirmed that the orientation of the development in Mataram City is approach using values of religion, which is embraced of Islam by the majority and reducing the symbols of religions and other cultures. This kind of phenomenon is worth investigating since apart from its ability to spread across the archipelago, the existence of this kakebyaran has influenced various aspects of life of the urban people of Mataram City.

As the culture of minority people, this certainly becomes the challenges of the Balinese ethnic group to develop art, tradition and culture particularly the development of kakebyaran. For that reason, in relation to this study, three research questions were formulated, they are: 1) Forms of reproduction of kakebyaran, 2) Why to be the reproduction of the kakebyaran art, and 3) The impacts and meanings of the reproduction of kakebyaran on the life of art and culture of the people of Mataram City, West Nusa Tenggara.

There are three theories employed to discuss and analyze the research questions formulated above. Those theories are: the theory of cultural reproduction, identity theory and semiotic theory. The Cultural Reproduction theory was used to discuss and analyze the first research question, that is the form of reproduction of thekakebyaran. Meanhile, the identity theory was employed to analyze the second research question and the semiotic theory was utilized to discuss and analyze the third research question. However, it is also possible to use the three theories eclectically to discuss and analyze the substance of the points of discussion and sub - points of discussion of each chapter.

The research was carried out using qualitative methods along with various techniques in accordance with paradigms of cultural studies. For data collection, the methods used were participative observation, interview, documentary study and related literatures study. Analize and discussion of the problem as been formulated, to descripted as as follows:First, there are several aspects in the form of reproduction of the kakebyaran. They are musicality, forms and instruments, the art of the performance/presentation, functions and its roles in strengthening the Balinese and Sasak cultures. Second, the cause of the reproduction of the kakebyaran, such as: cultural, cultural communication between the Balinese and Sasak cultures, religions, social life, and economic. Third, the reproduction of the kakebyaranart has brought some impacts on the spiritual life, socio-cultural life, and economy of the people in Mataram City. In line with this, the meanings that emerge from this phenomenon are aesthetic or artistic meaning and cultural meaning.


(13)

RINGKASAN DISERTASI

Senikakebyaranmerupakan bagian dari seni pertunjukan Bali yang mulai berkembang pesat pada awal abad XIX. Pesatnya perkembangan senikakebyaran menjadikan seni pertunjukan ini sangat popular di wilayah Pulau Bali. Berawal dari munculnya gong kebyar, seni kakebyaran pada saat ini berkembang dan memiliki cakupan wilayah artistik yang sangat luas. Apabila sebelumnya seni kakebyarandipahami terbatas sebagai salah satu bentuk kesenian yang dihasilkan dengan seperangkat gamelan gong kebyar, saat ini pemahaman seni kakebyaran sudah meluas melingkupi berbagai bentuk seni yang lain seperti seni tari sehingga munculah istilah tari kakebyaran yaitu tari-tarian yang diiringi dengan gamelangong kebyaratau tari-tarian yang diiringi dengan pola-pola musikal yang ngebyar. Demikian luasnya eksistensi estetika kakebyaran berkembang dalam seni pertunjukan Bali, sehingga mampu memengaruhi wilayah ensambel gamelan lainnya. Saat ini pola-pola kakebyaran dan komposisi kakebyaran secara utuh juga dimainkan dengan mempergunakan beberapa jenis gamelan seperti gamelan gong gede, smar pagulingan, palegongan, angklung, gender wayang dan yang lainnya.

Indikator popularitas seni kakebyaran dapat diketahui dari wilayah penyebarannya. Saat ini seni kakebyaran tidak hanya berkembang di wilayah Pulau Bali, namun sudah menyebar ke berbagai wilayah di seluruh Indonesia, bahkan mampu menembus ke negara-negara di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, seni kakebyaran menyebar hampir ke seluruh wilayah provinsi terutama provinsi yang menjadi daerah tujuan transmigrasi. Dalam cakupan wilayah internasional, seni kakebyaransudah menyebar ke berbagai wilayah atau negara di benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, dan benua Afrika. Dari berbagai wilayah penyebaran tersebut, salah satu wilayah penyebaran yang menarik untuk dikaji adalah wilayah Pulau Lombok, khususnya di Kota Mataram.

Kota Mataram sebagai bagian dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki keunikan tersendiri. Masyarakatnya pluralistik dengan berbagai etnik yang masing-masing hidup dengan tradisi budayanya. Keunikan lainnya,


(14)

sebagai wilayah yang plural sebagian besar atau mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat suku Sasak yang menganut agama Islam sebagai sistem kepercayaan mereka. Tingginya fanatisme terhadap sistem kepercayaan tersebut menimbulkan slogan-slogan seperti: “dengan Sasak nu dengan Islam”, “Lombok Pulau Seribu Masjid” dan motto yang diangkat oleh Kota Mataram adalah Maju, Religius dan Berbudaya.

Sebagai budaya masyarakat minoritas yang berada di tengah-tengah masyarakat yang demikian tinggi fanatisme terhadap kepercayaan, tentunya menjadi tantangan bagi masyarakat etnik Bali yang menganut keyakinan agama Hindu untuk mengembangkan seni, tradisi dan budaya khususnya pengembangan seni kakebyaran. Untuk itu terkait dengan studi ini akan dirumuskan tiga permasalahan yang dikaji yaitu: 1) bentuk reproduksi seni kakebyaran, 2) mengapa terjadi reproduksi seni kakebyaran serta 3) bagaimanakah dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Diangkatnya ketiga rumusan permasalahan ini tujuannya secara umum adalah untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang holistik tentang reproduksi senikakebyarandalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tanggara Barat. Secara khusus tujuannya adalah 1) mengetahui bentuk reproduksi seni kakebyaran, 2) untuk memahami penyebab terjadinya reproduksi seni kakebyaran dan 3) untuk menginterpretasi dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Disasarnya tujuan tersebut agar penelitian ini secara teoritis bermanfaat 1) bagi bidang keilmuan khususnya penyetaraan pengembangan di bidang seni pertunjukan dalam konteks kajian budaya, 2) meningkatkan pemahaman tentang reproduksi seni kakebyaran sebagai salah satu ikon dan identitas budaya masyarakat Bali ketika direpresentasikan di wilayah yang baru dan 3) untuk dapat dipergunakan sebagai referensi alternatif dalam penelitian lebih lanjut tentang reproduksi budaya khususnya dalam seni pertunjukan. Secara praktis penelitian ini: 1) dapat dipergunakan sebagai suatu sumbangan pemikiran dan sebagai acuan


(15)

di dalam menentukan berbagai kebijakan dalam pemerataan dan penyetaraan perkembangan seni pertunjukan khususnya senikakebyaran di Kota Mataram, 2) sebagai suatu bentuk solusi dalam memecahkan permasalahan kesenjangan yang terjadi dalam pekembangan senikakebyarandi Kota Mataram, sehingga nantinya terjadi pemerataan pengembangan kesenian tersebut baik secara kuantitas, utamanya kualitas, 3) untuk meningkatkan kesadaran para penentu kebijakan dan kepedulian semua pihak akan pentingnya peran kesenian dalam kehidupan masyarakat secara lebih luas, mempererat jalinan komunikasi antarbudaya, penguatan identitas, jati diri dan pembangunan karakter bangsa sehingga diharapkan tidak terjadi marjinalisasi budaya dalam kondisi masyarakat dengan budaya yang heterogen dan multikultur, 4) sebagai modal budaya yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik serta pembangunan daerah pada umumnya.

Untuk membahas dan menganalisis beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dipergunakan tiga teori yakni teori reproduksi, teori identitas dan teori semiotika. Ketiga teori tersebut dipergunakan secara eklektik untuk membedah permasalahan sebagaimana yang telah dirumuskan. Namun demikian secara spesifik teori reproduksi budaya dipergunakan untuk membedah rumusan masalah pertama yang berkaitan dengan bentuk reproduksi senikakebyaran. Teori identitas dipergunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua dan teori semiotika untuk membahas permasalahan ketiga. Dari ketiga teori yang dipergunakan tidak tertutup kemungkinan ketiga teori tersebut juga dipergunakan secara ekletis untuk membahas pokok bahasan dan subpokok bahasan yang terdapat pada masing-masing bab.

Penelitian tentang reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat mempergunakan metode deskriptif kualitatif dengan berbagai teknik yang berlaku sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian ilmiah. Di dalam pengumpulan data dipergunakan metode observasi partisipasi yaitu mengamati secara langsung dan secara aktif terlibat dalam berbagai aktivitas berkesenian. Hal ini dilakukan sebagai strategi pendekatan untuk memperoleh data yang otentik. Diketahuinya latar belakang peneliti sebagai seorang seniman, sering kali diminta


(16)

untuk memberikan pembinaan dan pelatihan secara langsung terhadap sekaa-sekaa atau sanggar seni yang menjadi objek penelitian. Dari kegiatan ini dapat dieksplorasi secara langsung dan mendalam berbagai informasi data yang penting terkait dengan aktivitas berkesenian para seniman di Kota Mataram.

Dari analisis dan pembahasan terhadap ketiga permasalahan sebagaimana telah dirumuskan, hasil penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, bentuk reproduksi senikakebyarandi Kota Mataram merupakan aktivitas masyarakat etnis Bali di dalam menumbuhkembangkan kesenian utamanya yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Seni kakebyaransebagai salah satu hasil karya cipta budaya masyarakat Bali, memiliki karakter dan identitas budaya yang sangat kuat dan sangat fleksibel, serta memiliki nilai universal. Dalam reproduksi seni kakebyaran terdapat beberapa aspek diantaranya musikalitas, bentuk dan instrumen, tata penyajian, fungsi dan perannya di dalam penguatan budaya Bali dan Sasak.

Kedua, terdapat beberapa penyebab terjadinya reproduksi senikakebyaran, di antaranya: budaya yang di dalamnya terdapat pemertahanan budaya, representasi budaya Bali dan Sasak, komunikasi budaya antara budaya Bali dan Sasak, agama, kehidupan sosial dan ekonomi.

Ketiga, reproduksi seni kakebyaran berdampak terhadap kehidupan spiritual, sosiokultural, dan berdampak ekonomis. Terkait dengan itu, makna yang ditimbulkan di antaranya, makna astetik/artistik di mana muncul berbagai bentuk kreatifitas dari para seniman untuk menghasilkan karya-karya baru dari pengalaman estetis yang dialami selama menggeluti senikakebyaran. Di samping makna estetik juga terdapat makna edukatif di mana kesenian khususnya seni kakebyaran dapat dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya para seniman untuk meningkatkan kualitas hidup (quality of life) di dalam mencapai kesejahteraan material dan non material. Terakhir, reproduksi seni kakebyarn memiliki makna kultural yaitu pemertahanan identitas budaya, penguatan budaya Bali dan Sasak.

Dari pembahasan terhadap rumusan masalah, dapat disimpulkan aktivitas reproduksi menghasilkan pemahaman terhadap musikalitas, instrumentasi, dan fungsi senikakebyarandi dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram. Kedua,


(17)

pemahaman terhadap penyebab terjadinya reproduksi seni kakebyaran yaitu, budaya, media komunikasi dan aspek ekonomi. Ketiga, reproduksi seni kakebyaran berdampak terhadap kehidupan spiritual, sosiokultural, dan berdampak ekonomis, serta bermakna estetik/artistik, edukatif dan kultural.

Dari penelitian ini terdapat empat temuan berikut ini.

Pertama, dalam reproduksi seni kakebyaran terdapat 3 (tiga) bentuk seni kakebyaran yang berhasil direproduksi yaitu: 1) seni kakebyaran gaya Bali, 2) seni kakebyaran gaya Bali-Lombok, dan 3) seni kakebyaran gaya Pesasakan. Adapun seni kakebyaran gaya Bali yang direproduksi adalah seni kakebyaran gaya Bali Utara dan seni kakebyaran gaya Bali Selatan. Reproduksi seni kakebyaran merupakan salah satu bentuk reproduksi kebudayaan. Munculnya beberapa bentuk gaya kakebyaran di Kota Mataram sesuai dengan pandangan Bourdieu tentang konsep habitus dan arena serta hubungan dialektis dari keduanya. Adanya persamaan dan perbedaan di dalam reproduksi disebabkan oleh kebudayaan sebagai fenomena yang senantiasa bergerak secara fleksibel, adaptif dan konfiguratif.

Kedua,senikakebyaransebagai salah satu identitas budaya Bali dibangun dan direproduksi secara bersama-sama tidak saja oleh masyarakat etnis Bali, namun juga oleh kalangan seniman etnis Sasak. Direproduksinya senikakebyaran di kedua etnis tersebut membuktikan bahwa seni kakebyaran sebagai media komunikasi yang ampuh untuk mempersatukan berbagai kelompok etnis yang ada di NTB dan sebagai bukti kekuatan seni sebagai media integrasi sosial.

Ketiga, reproduksi seni kakebyaran memicu kreativitas para seniman sehingga muncul berbagai bentuk karya seni baru yang bersifat representtif, akulturatif, dan hibrid. Karya seni yang diciptakan oleh para seniman Bali dan seniman Sasak menjadi representasi identitas dan budaya sesuai dengan latar belakang budaya Bali dan Sasak. Asimilasi dua budaya terjadi melalui media seni kakebyaran yang memunculkan kreatifitas seni yang akulturatif dan bernuansa hibrid.

Keempat, kuatnya keberadaan seni kakebyaran banyak memengaruhi beberapa jenis kesenian Sasak. Beberapa jenis kesenian seperti Gandrung, Cupak


(18)

Gerantang dan beberapa tarian lainnya mengalami perubahan iringan, dari instrumen musik tradisional Sasak ke gamelangong kebyar. Hal ini menunjukkan bahwa seni kakebyaran, walaupun merupakan bagian dari budaya masyarakat minoritas ternyata mampu memengaruhi budaya masyarakat mayoritas. Fenomena seperti ini, menjadi salah satu kasus yang berbeda dengan rumusan yang dipaparkan oleh Milton M. Gordon dan Arnold M. Rose (dalam Poerwanto, 2000:118) yang mengatakan asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan diri pada kelompok yang kebudayaan yang didatangi (host societe) dan dalam asimilasi loyalitas mereka (para migran) terhadap kebudayaan asal mereka semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan yang baru. Direproduksinya berbagai bentuk budaya oleh etnis Bali hal ini menunjukkan adanya peningkatan loyalitas terhadap budaya asalnya, dan peningkatan tersebut mampu mempengaruhi budaya lokal. Kendatipun demikian pola penyesuaian yang dilakukan hanya bersifat partisipatif sebagai salah satu bentuk toleransi dalam aktivitas budaya.


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PENETAPAN PENGUJI iv

SURAT PERNYATAAN PLAGIAT v

UCAPAN TERIMAKASIH vi

ABSTRAK xi

ABSTRACT xii

RINGKASAN xiii

DAFTAR ISI xix

DAFTAR TABEL xxiii

DAFTAR PETA xxiv

DAFTAR GAMBAR xxv

DAFTAR LAMPIRAN xxvii

GLOSARIUM xxviii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 10

1.3 Tujuan Penelitian... 11

1.3.1 Tujuan Umum……… 11

1.3.2 Tujuan Khusus……….. 11

1.4 Manfaat Penelitian…... 12

1.4.1 ManfaatTeoritis………. 12

1.4.2 Manfaat Praktis……….. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP LANDASAN TEORI DAN MODEL... 14

2.1 Tinjauan Pustaka... 14


(20)

2.2.1 Reproduksi... 25

2.2.2 Seni Kakebyaran... 26

2.3 Landasan Teori ... 33

2.3.1 Teori Reproduksi Budaya... 35

2.3.2 Teori Identitas... 42

2.3.3 Teori Semiotika... 47

2.4 Model Penelitian... 49

BAB III METODE PENELITIAN... 52

3.1 Rancangan Penelitian... 52

3.2 Lokasi Penelitian... 55

3.3 Jenis dan Sumber Data... 58

3.3.1 Jenis Data……… 58

3.3.2 Sumber Data……… 58

3.4 Penentuan Informan... 59

3.5 Instrumen Penelitian... 62

3.6 Teknik Pengumpulan Data... 63

3.6.1 Observasi Partisipasi... 64

3.6.2 Wawancara... 65

3.6.3 Studi Dokumen... 66

3.7 Teknik Analisis Data... 67

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data... 68

BAB IV GAMBARAN UMUM KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BALI DI KOTA MATARAM... 70

4.1 Gambaran Umum Kota Mataram... 70

4.1.1 Sejarah Kota Mataram... 74

4.1.2 Geografi... 77

4.1.3 Peta, dan Batas-Batas Wilayah Kota Mataram…...…………... 79

4.2 Demografi Bali di Kota Mataram... 79


(21)

4.2.2 Mata Pencaharian... 80

4.2.3 Agama... 86

4.2.4 Pendidikan... 94

4.3 Sistem Sosial... 96

4.3.1 Sistem Sosial Masyarakat Kota Mataram... 99

4.3.2 Sistem Sosial Masyarakat Bali di Kota Mataram... 101

4.4 Seni, Tradisi dan Budaya Masyarakat... 108

4.4.1 Kesenian Tradisional... 109

4.4.2 Tradisi dan Budaya Masyarakat Bali Di Kota Mataram... 120

BAB V BENTUK DAN FUNGSI REPRODUKSI SENIKAKEBYARAN DI KOTA MATARAM... 142

5.1 Musikalitas... 142

5.1.1 MusikalitasKebyarGaya Bali Utara... 145

5.1.2 MusikalitasKebyarGaya Bali Selatan... 158

5.1.3 MusikalitasKebyarGaya Pesasakan... 166

5.2 Instrumentasi... 177

5.2.1 Bentuk Dan Jenis Instrumen... 177

5.2.2 Setting Instrumen... 191

5.3 Fungsi SeniKakebyaran... 196

5.3.1 Fungsi Ritual... 197

5.3.2 Sajian Seni Pertunjukan... 203

5.3.3 Penguatan Budaya Setempat... 209

BAB VI TERJADINYA REPRODUKSI SENIKAKEBYARANDI KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT... 214

6.1 Budaya... 216

6.1.1 Pemertahanan Budaya... 217

6.1.2 Representasi Budaya... 228


(22)

6.2.1 Komunikasi Intra Etnis... 233 6.2.2 Komunikasi Antaretnis... 236 6.3 Ekonomi... 241

BAB VII. DAMPAK DAN MAKNA REPRODUKSI SENI

KAKEBYARAN DI KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT... 253 7.1 Dampak Reproduksi Seni Kakebyaran Di Kota Mataram, Nusa

Tenggara Barat……… 253

7.1.1 Dampak Spiritual... 254 7.1.2 Dampak Sosiokultural... 265 7.1.3 Dampak Ekonomis... 280 7.2 Makna Reproduksi Seni Kakebyaran di Kota Mataram, Nusa

Tenggara Barat... 290 7.2.1 Makna Estetik/Artistik... 290 7.2.2 Makna Edukatif... 297 7.2.3 Makna Budaya... 301

BAB VIII. PENUTUP... 314 8.1 Simpulan... 314 8.2 Temuan... 318 8.3 Saran-Saran... 321 DAFTAR PUSTAKA... 323

LAMPIRAN 329

Lampiran 1. Daftar Informan... 239 Lampiran 2. Pedoman Wawancara... 333 Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan Penelitian... 335 Lampiran 4. Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Tentang


(23)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Kecamatan, Desa/Kelurahan di Kota Mataram………… 71 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kepadatan

Penduduk Per Kecamatan di Kota Mataram Tahun 2011... 80 Tabel 4.3 Jumlah Umat Agama di Kota Mataram... 87 Tabel 4.4 Jumlah Sarana Peribadatan Per Kecamatan Tahun 2009... 89 Tabel 4.5 Jumlah Sekolah SD, SMP dan SMA dan Sebaran di

Masing-Masing Kecamatan Di Kota Mataram Tahun 2009... 96 Tabel 4.7 Jenis Kesenian dan Sanggar Seni di Kota Mataram………….... 112


(24)

DAFTAR PETA

Peta 4.1 Wilayah Kecamatan di Kota Mataram………. 77

Peta 4.2Pulau Lombok……… 78


(25)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Lambang Kota Mataram... 73 Gambar 4.2 Tari Rejang Dedari di Pura Bukit Ngandang Pagutan,

Mataram...………. 119 Gambar 4.3 Gibungan dan TradisiMagibung... 129 Gambar 4.4 Prosesi Masuci Rah, Mandi Sakral dengan Darah Kerbau... 133 Gambar 4.5 Prosesi Narat dalam Rangkaian Pujawali di Pura Bukit

Ngandang Pagutan... 136 Gambar 4.6 Pembacaan Sloka pada perayaan Dharma Santi Hari Raya

Nyepi... 138 Gambar 5.1 Prasasti DanRerajahandi Dalam Instrumen Kendang I

Kusuma Galangan………... 147 Gambar 5.2 Gamelan Gong Kebyar dari Paketan Singaraja yang Dibawa

Pada tahun 1923………. 152

Gambar 5.3 Instrumen Gender Rambat di Karang Kubu... 153 Gambar 5.4 Gamelan Gong Kebyar Karang Kubu Setelah Perombakan

Tahun 1934 dan Penambahan Instrumen Gangsa Jongkok dan

Terompong pada Tahun 1995……… 155

Gambar 5.5 Gamelan Angklung... 156 Gambar 5.6 I Ketut Loncah (Alm)………...…… 160 Gambar 5.7SekaaGong Cri Ganesa Dharma, Pagutan Mataram, I Ketut

Loncah (baris II berdiri paling kiri)……….. 162

Gambar 5.8 Ni Made Darmi (78Th)... 164 Gambar 5.9PelawahGamelan yang Dihiasi dengan Cukli... 176 Gambar 5.10PelawahModelBakiakanGaya Bali Utara... 179 Gambar 5.11PelawahGamelan yang Bergaya Bali Selatan... 180 Gambar 5.12Pelawah/TungguhanGamelan Pasasakan... 181 Gambar 5.13 Gamelan Gong Gede (palawasan)... 184 Gambar 5.14 Gamelan Angklung... 185 Gambar 5.15 Gamelan Gong Kebyar Mini ... 187


(26)

Gambar 5.16 Gamelan Gong Kebyar Utama... 189 Gambar 5.17SettingPosisi Limas... 192 Gambar 5.18SettingPosisi Limas... 192 Gambar 5.19Setting/Formasi Lajur... 193 Gambar 5.20 Setting/Formasi ”L”... 194 Gambar 5.21 Formasi Gamelan Bebarungan... 195 Gambar 5.22 SekaaGong Wala Astha Pasanthi, Sindu SeksariNgayahdi

Pura Pulaki, Ambengan, Cakranegara... 199 Gambar 5.23 Beberapa Jenis Gamelan dalam upacara Pitra Yadnya... 201 Gambar 5.24 Topeng Sidakarya... 204 Gambar 5.25Mebarungantara Mahasiswa ISI Denpasar denganSekaa

Gong Arga Yadnya Swara, Pancaka, Mataram……… 206 Gambar 5.26 Tari Cendrawasih pada acara resepsi pernikahan di Aula

Universitas Mataram... 207 Gambar 5.27 Tari Gandrung diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar... 212 Gambar 6.1 Pelepasan dan pelaksanaan KKN ISI Denpasar di Kota

Mataram Tahun 2012/2013……… 228

Gambar 6.2 Kemasan Kesenian Sasak sebagai Seni Pertunjukan Wisata.... 251 Gambar 7.1 Gamelan Gong Kebyar Kolaborasi dengan Rebana pada

Acara Pembukaan Seleksi Tilawatil Qur’an se NTB XXII

Tahun 2012... 264 Gambar 7.3 GamelanKelentang... 278 Gambar 7.3 Pak Yusuf danTapel Cupak... 279 Gambar 7.4 Promosi Jasa Penyewaan Gamelan di Karang Kecicang... 283 Gambar 7.5 GamelanGong Kebyardalam Festival Senggigi Tahun 2013.. 289 Gambar 7.6 Pementasan HSM dalam PKB Tahun 2015 di Taman Budaya


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Informan ………..330 Lampiran 2. Pedoman Wawancara..………....333 Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan Penelitian………...335 Lampiran 4. Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

No. 1359/UN14.4/HK/2016……….340 Lampiran 5. Sertifikat Kelulusan Promosi Doktor………..343


(28)

GLOSARIUM

Adonan : beberapa jenis bahan masakan yang dicampur menjadi satu

Angkul-Angkul : gapura/pintu gerbang

Apit Lawang : rongga yang terdapat pada pintu gerbang tempat menaruh sesajen

Arja : dramatari tradisional Bali dimana para pemainnya senantiasa melantunkan tembang-tembang macapat sebagai penghantar dialog

Bakiakan : tungguhan gamelan yang dipahat secara sederhana tanpa ukiran

Banjar : tempat berkumpulnya masyarakat Bali/ organisasi sosial masyarakat Bali

Banjar Karya : organisasi sosial yang keanggotaannya hanya bekerja jika ada kegiatan upacara

Banjar Rojong : organisasi masyarakat yang keanggotaannya masih memiliki hubungan kekeluargaan

Banjar Suka Duka : organisasi masyarakat yang keanggotaannya berasal dari berbagai kalangan masyarakat Barong Tengkoq : alat musik tradisional Sasak yang salah satu

alatnya (riyong) dimainkan di atas pundak

Betuakan : minum tuak

Catur Warna : tingkatan struktur sosial masyarakat berdasarkan tugas dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat. di Bali, pembagian Catur Warna terdiri atas brahmana, kesatria, wesia dan sudra. Ceretan : tempat minuman dari tanah liat

Comprang : alat musik tradisional Sasak, sering juga disebut dengan Barong Tengkok

Dius Kumaliki : kelahiran kembali secara spiritual dengan sarana ritual


(29)

Ebatan : adonan masakan tradisional Bali

Gangsa Gantung : instrumen gangsa yang daun bilahnya digantung pada bagian pelawahnya dengan mempergunakan utas tali yang terbuat dari kulit sapi/kambing Gangsa Jongkok : instrumen gamelan Bali yang dibuat dengan ukuran

pendek di mana daun bilahnya di pancang dengan besi/paku

Gender Barangan : instrumen gamelan palegongan yang berdaun bilah 13-14 bilah yang ukurannya lebih kecil dari gender rambat

Gender Rambat : instrumen gamelan palegongan yang berdaun bilah 13-14 bilah

Gibungan : Hidangan masakan tradisional yang di dalamnya terdapat berbagai jenis masakan yang terdiri dari nasi, berbagai jenis ebatan, sate, komoh, adonan sayur dan aseman.

Janger : seni pertunjukan Bali yang tergolong seni pergaulan

Kelentang : musik tradisional Sasak yang 10 bilah nadanya masing-masing terbagi dalam 1 tungguhan. Kendang Gupekan : kendang yang dimainkan hanya dengan

mempergunakan tangan

Lalonggoran. : komposisi karawitan klasik gaya Bali Utara Lelembaran : salah satu ebatan dalam menu gibungan. Lelengisan. : tungguhan gamelan yang berbentuk polos/tidak

diukir

Megocek : main judi sabungan ayam

Mesuci Rah : ritual pembersihan diri secara spiritual dengan mempergunakan darah kerbau

Narat : tradisi menusuk diri sendiri dengan senjata tajam (keris) pada saat dilaksanakannya ritual upacara


(30)

Ngelegu : tradisi makan snak bersama pada malam hari yang dilakukan oleh masyarakat yang terdapat di wilayah Karang Medain pada saat dilaksanakan upacara adat.

Ngurek tradisi menusuk diri semdiri dengan senjata tajam (keris) pada saat dilaksanakannya ritual upacara Norot : salah satu motif dan teknik memainkan gamelan

Bali dengan memukul 1 nada secara beruntun Oncang-Oncangan : salah satu motif dan teknik memainkan gamelan

Bali, permaduan antara pukulan polos dan sangsih dengan memukul selisih satu nada.

Palawasan : komposisi karawitan klasik yang dimainkan dengan mempergunakan gamelan pelawasan (gong gede)

Pamaksan : Sistem keanggotaan tempat pemujaan yang masih memiliki ikatan persaudaraan.

Panca Aksara : lima aksara suci

Pangenter : pemandu acara kegiatan adat istiadat

Panguakas : pemandu acaramagibung

Pejagrean : tradisi melek atau begadang semalam seuntuk yang dilaksanakan pada saat perayaan hari raya

Ciwalatri

Penyacah : salah satu instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar yang berbilah tujuh

Penyengker : tembok batas pekarangan rumah

Prembon : dramatari Bali yang merupakan perpaduan antara topeng dengan arja.

Preret : alat musik tradisional Sasak yang tergolong alat musik aerophone yang dimainkan dengan cara ditiup.


(31)

Riyong, : alat musik tradisional Bali yang dalam satu tungguhan teriri atas 12 pencon nada.

Sekaa Tajen : organisasi sosial yang anggotanya adalah para pemain sabungan ayam.

Sekatian : komposisi karawitan gaya Bali Utara yang

dimainkan dengan mempergunakan media gamelan gong kebyar, dan motif lagunya adalah gending pengecet yang dimainkan dengan teknik oncang-oncangan

Sidikara : ikatan persaudaran

Tajen : judi sabungan ayam

Teleq : jenis tarian Sasak klasik yang ditarikan oleh dua orang wanita.

Toya Kumkuman : air suci yang di dalamnya terdapat berbagai jenis bunga

Tuak : minuman tradisional yang terbuat dari buah aren/kelapa


(32)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seni kakebyaran merupakan salah satu rumpun seni pertunjukan yang populer di masyarakat. Berawal dari munculnyagong kebyar, senikakebyaranpada saat ini berkembang dan memiliki cakupan wilayah artistik yang sangat luas. Apabila sebelumnya senikakebyarandipahami terbatas sebagai salah satu bentuk kesenian yang dihasilkan dengan seperangkat gamelan gong kebyar, saat ini pemahaman senikakebyaransudah meluas melingkupi berbagai bentuk seni yang lain seperti seni tari sehingga munculah istilah tarikakebyaranyaitu tari-tarian yang diiringi dengan gamelangong kebyaratau tari-tarian yang diiringi dengan pola-pola musikal yang ngebyar. Demikian luasnya eksistensi estetika kakebyaran berkembang dalam seni pertunjukan Bali, sehingga hasil seni ini mampu memengaruhi wilayah ensambel gamelan lainnya. Saat ini pola-pola kakebyaran dan komposisi kakebyaran secara utuh juga dimainkan dengan mempergunakan beberapa jenis gamelan seperti gamelangong gede, smar pagulingan, palegongan, angklung, gender wayangdan yang lainnya.

Seiring dengan semakin tersebarnya gamelangong kebyar, senikakebyaran juga menyebar mengikuti alur penyebaran gamelan tersebut. Saat ini seni kakebyaran sudah menyebar melampaui wilayah dan batas-batas Pulau Bali dan dimainkan tidak saja oleh orang Bali. Di beberapa wilayah Indonesia dan bahkan di beberapa negara di dunia, senikakebyaranmerupakan salah satu kesenian yang


(33)

2

cukup populer dan sering dipentaskan sebagai sajian seni pertunjukan. Pelakunya tidak saja para seniman Bali namun juga disajikan oleh seniman-seniman yang nota bene adalah bukan orang Bali.

Dalam dua kali Festival Seni Sakral Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Dirjen Bimas Hindu, terdapat beberapa kontingen perwakilan masyarakat Hindu dari beberapa provinsi menyajikan materi yang dilombakan menggunakan gamelangong kebyarsebagai pengiringnya. Pada saat dilaksanakan di Solo tahun 2010, terdapat 10 kontingen yang mewakili provinsi Lampung, Sumsel, DIY, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Banten, Bali, dan NTB. Sedangkan pada perhelatan ke II dengan tajuk Festival Seni Budaya Keagamaan Hindu Tingkat Nasional II dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 25-28 September 2012 diikuti oleh perwakilan dari 16 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa senikakebyaransudah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam wilayah yang lebih luas, terbentuknya Gamelan Sekar Jaya, di Amerika; group Sekar Jepun di Jepang, grup Gamelan Gita Asmara di Canada, ini membuktikan seni kakebyaran sudah menyebar hingga ke beberapa negara. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi persebaran budaya (culture diffusion). Seni kakebyaran mengalami penyebaran yang sangat luas dan mampu menembus batas-batas wilayah budaya di beberapa wilayah Nusantara dan di


(34)

3

berbagai belahan dunia. Bukti-bukti terjadinya penyebaran tersebut dapat dicermati dari persamaan unsur-unsur budaya khususnya seni kakebyaran yang terdapat di Bali dengan yang ada di luar Bali. G. Gerland (dalam Poerwanto, 2000:98-99), mencermati adanya persamaan unsur kebudayaan di berbagai tempat dipandang sebagai akibat terjadinya persebaran kebudayaan (culture diffusion).

Tersebarnya budaya Bali di berbagai wilayah di Indonesia secara umum disebabkan oleh adanya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka program pemerataan penduduk dan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan di sektor pertanian. Kepergian orang-orang Bali ke daerah transmigrasi tidak hanya membawa keahlian mereka sebagai petani, namun aspek-aspek budaya lain seperti sistem sosial kemasyarakatan, tradisi ritual keagamaan, kesenian dan berbagai unsur budaya yang sudah mengakar dan melekat dalam hidupnya ikut terbawa dalam program tersebut. Terbawanya unsur-unsur kebudayaan Bali ketika masyarakat Bali keluar Bali adalah sebuah sikap kesetiaan budaya yang telah diwarisi dari masa lampau, serta untuk mempertahankan identitasnya sebagai orang Bali. Kesetiaan kepada kebudayaan berarti kesetiaan kepada cara hidup termasuk nilai-nilai, ideal-ideal, sistem makna dan signifikansi, serta kepekaan moral dan spiritual (Ujan, 2009:120).

Jauh sebelum terjadinya difusi kebudayaan Bali melalui program transmigrasi ke berbagai wilayah di Indonesia, telah terjadi difusi kebudayaan Bali melalui proses invasi perluasan wilayah kekuasaan dan penyebaran ajaran agama Hindu di wilayah Pulau Lombok. Agung (1991) membagi kedatangan orang-orang Bali di wilayah Pulau Lombok dalam tiga gelombang. Gelombang pertama terjadi


(35)

4

pada abad ke-12 pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu, gelombang kedua terjadi pada abad ke-15, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, dan gelombang ketiga pada abad ke-17 pada masa penaklukan Lombok di bawah kekuasaan kerajaan Karangasem. Suyadnya (2002) menambahkan gelombang terakhir kedatangan orang-orang Bali ke Lombok terjadi setelah zaman kemerdekaan.

Ditemukannyatongtongperunggu di daerah Pujungan, Tabanan Bali yang bertuliskan huruf kwadrat yang berbunyi: sasak dana prihan, srih javanira, diperkirakan sebagai bukti kemenangan atas negeri Sasak. Tongtong itu ditulis setelah Anak Wungsu berkuasa kira-kira abad ke 12 (Wacana, dkk. 1977/1978:8). Di samping tujuan invasi, perluasan wilayah kekuasaan juga membawa misi keagamaan sebagaimana yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke-15 masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebagaimana diuraikan oleh Lalu Wacana, setelah kegagalan Gelgel menaklukkan Selaparang pada tahun 1520, pada tahun 1530 dilakukan upaya damai dengan mengirim Dang Hyang Nirartha ke Lombok yang akhirnya memasukkan faham baru berupa sinkretisme Hindu-Islam (Wacana, 1977/1978:42).

Kedatangan orang-orang Bali ke Lombok dalam beberapa gelombang tersebut banyak di antaranya yang akhirnya menetap di Lombok, hidup dengan tradisi, budaya dan agama sebagaimana yang sebelumnya dilakukan di Bali. Keberadaan komunitas Bali ini mengakibatkan terjadinya komunikasi antara masyarakat Bali dengan masyarakat Lombok. Saling memengaruhi dalam bidang budaya tidak dapat dihindari di antara kedua etnis tersebut dan akhirnya Bali dengan


(36)

5

tradisi dan budaya yang lebih kuat memberikan pengaruh yang lebih dominan. Menguatnya pengaruh budaya Bali terjadi pada zaman kekuasaan pemerintahan Kerajaan Karangasem di Lombok tahun 1661-1894. Posisi Kerajaan Karangasem sebagai penguasa menjadikan posisi kebudayaan Karangasem (Bali) menjadi sangat kuat dan dominan sehingga menghegemoni kebudayaan khususnya seni pertunjukan masyarakat setempat. Sebagaimana dikatakan Bannet (1986), hegemoni yang dimaksud adalah tentang bagaimana kelompok kelas yang berkuasa mampu mensubordinasi kelompok sosial supaya menyetujui berjalannya hubungan yang ada dan ia melakukannya dengan menawarkan sebuah harga kepada kelompok subordinan dalam statusquo. Dengan begitu apa yang disetujui sebenarnya adalah sebuah versi negosiasi dari ideologi dan budaya kelas yang berkuasa (dalam Tester, 2003:29).

Penguasaan Kerajaan Karangasem Bali atas Lombok pada masa lalu, saat ini sering dimunculkan dan dijadikan isu-isu yang memicu kebencian orang-orang Sasak yang menyebabkan terjadinya perlawanan sehingga menimbulkan konflik horizontal antara Sasak dengan Bali. Munculnya berbagai ungkapan yang lebih banyak bernada mendiskreditkan orang Bali, seperti bangsa penjajah, penguasa yang merendahkan derajat orang-orang Sasak memicu kebencian di kalangan masyarakat Sasak terhadap komunitas Bali. Apalagi ungkapan tersebut dikaitkan dengan simbol-simbol kepercayaan. Hal ini menjadikan komunitas Bali semakin tersudut sebagai kelompok minoritas. Kontestasi antara kedua etnis ini di ruang publik senantiasa memarginalkan etnis Bali, sehingga sangat berdampak terhadap eksistensi tradisi dan budaya Bali. Sebagaimana diungkap oleh Suprapto,


(37)

6

pengalaman sejarah interaksi Bali-Lombok masa lalu memberikan gambaran betapa kebijakan yang diskriminatif pihak kerajaan telah merangsang sejumlah perlawanan dan memengaruhi hubungan antarkomunitas Hindu dan Muslim (Suprapto, 2013:75).

Pada sisi yang lain, penerapan politik identitas dalam rangka pemurnian jati diri dan identitas budaya Sasak yang dilakukan kalangan elit penguasa, kelompok agamawan dan budayawan, menimbulkan reinterpretasi terhadap nilai-nilai budaya dengan memakai sudut pandang agama. Slogan yang diwacanakan oleh berbagai kalangan di atas yang mengatakan ”Islam itu Sasak dan Sasak itu Islam”

menyebabkan terjadi pemangkasan unsur-unsur budaya lain karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Sasak. Keinginan kalangan kaum elit tradisional dan kalangan birokrat ditujukan untuk meminimalisasi atau menghilangkan identitas budaya lain dalam rangka membangun identitas yang asli. Sebagaimana diungkap oleh Suprapto, sebagian besar pejabat sengaja mengusulkan pembangunan ruko dengan desain modern-minimalis untuk mengurangi dominasi warna atau nuansa Bali di Mataram. Jadi, ada motif teologis di balik pembangunan ruko-ruko di Kota Mataram. Adagrand design tata kota yang hendak mengganti warna Bali-Hindu dengan kultur Islam (Suprapto, 2013:91).

Demikian kuatnya doktrin Islam dalam kehidupan masyarakat di Lombok mengakibatkan terjadi kemunduran dalam kehidupan seni budaya Bali. Sebagaimana diungkap oleh Wacana (1977/1978), seni gamelan dan seni tari di Lombok berangsur-angsur mulai berkurang bersamaan dengan pesatnya


(38)

7

perkembangan agama dan meningkatnya kesadaran beriman bagi golongan beragama Islam. Bermain gamelan dan menari dianggap sebagai kegiatan sia-sia yang membuat orang lalai mengerjakan ibadah dan merusak agama (Wacana, 1977/1978:203). Beberapa catatan para peneliti terdahulu mengungkapkan terjadinya kemunduran dalam kehidupan kesenian di NTB. Beberapa jenis kesenian tradisional, seperti gendang beleq, barong tengkoq, tawaq-tawaq, klentangan, gandrung, telek, dan kesenian lainnya mulai berkurang jumlahnya di masyarakat. Seperti yang diungkap oleh Sven Coderroth (1979), tahun 1967-1970 merupakan tahun-tahun badai, tatkala Tuan Guru melancarkan propagandanya secara intensif. Pada tahun 1967 sebuah dekrit pemerintah mamaksa kaum wetu telu ini untuk memilih salah satu agama yang diakui pemerintah. Afiliasi mereka ke dalam agama Islam dituntut untuk melaksanakan nilai-nilai keagamaan sesuai dengan yang diamanatkan oleh agama. Demikian pula tulisan Safrun Idrus (1976) ketika masyarakat setempat masih meyakini wetu telu, kesenian tersebut tumbuh sangat subur dan peminatnya banyak, tetapi setelah mereka melepaskan paham tersebut dan mengenal syariat Islam, kesenian tersebut mengalami kemunduran dan kehilangan peminat dan dewasa ini beberapa di antaranya hampir punah. Hal ini disebabkan oleh adanya fatwa-fatwa sementara tokoh-tokoh agama/Tuan Guru yang mengatakan bahwa kesenian seperti itu dilarang dalam Islam (Yaningsih, 1991/1992:31-32).

Sebagaimana diketahui Pulau Lombok populer dengan istilah ”Pulau Seribu Masjid” di mana 80% masyarakatnya merupakan penganut agama Islam yang


(39)

8

dalam kehidupan masyarakat Sasak, sehingga Islam sebagai agama merupakan sumber nilai, aturan moral atau hukum dan sistem budaya. Islam dijadikan ideologi dan falsafah hidup, sehingga segala tindakan dan pola pikir masyarakat harus bersesuaian dan berdasarkan ajaran Islam. Kata ”Sasak” dan ”Lombok” serta

gabungan dari kedua kata tersebut dimaknai sebagai satu-satunya jalan lurus yang identik dengan ajaran tauhid dalam Islam sehingga masyarakat Sasak kemudian melihat dirinya sebagai masyarakat Islam sejati dari awal keberadaannya di Gumi Sasak. Maka dari itu kemudian sering terdengar kata-kata ”dengan Sasak nu dengan Islam” yang bermakna orang Sasak itu orang Islam”. Ungkapan ini meneguhkan

identitas primordial dan kultural masyarakat (Lestari dalam Zuhdi, Dkk, 2011:157-162).

Ideologi dan falsafah tersebut menjadi dasar pertimbangan para penguasa dalam mengeluarkan berbagai kebijakan khususnya kebijakan budaya.

Ditetapkannya jargon Kota Mataram ”Maju, Religius dan Berbudaya” menegaskan

orientasi pembangunan kota sebisa mungkin didekatkan pada nilai-nilai agama

mayoritas (Islam) dan ”mengurangi” simbol agama lain. Konkritnya sedang terjadi

penguatan semangat keislaman di Mataram yang menggantikan warisan Bali-Hindu (Suprapto, 2013:97). Penjelasan Suprapto menunjukkan terjadi gerakan indigenousisasi, yaitu gerakan kembali ke identitas lokal untuk menjaga keaslian kelestarian budaya, sistem-sistem sosial dan kultur lokal dari serangan budaya kapitalis global, membersihkannya dari pengaruh yang serba asing (Abdilah, 2002:110). Adanya berbagai kebijakan dan gerakan tersebut secara tidak langsung berimbas terhadap eksistensi budaya etnik dari kelompok minoritas termasuk di


(40)

9

antaranya terhadap eksistensi kesenian Bali. Sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat minoritas kesenian Bali berada dalam posisi yang mengambang, tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atas keberadaan dan keberlanjutannya di kemudian hari. Posisi kebudayaan yang mengambang menimbulkan keengganan para pelaku, seniman dan masyarakat sehingga mengancam keberlanjutan dan kelestarian kesenian tersebut. Para seniman Bali di Kota Mataram merasa kebingungan dan mengalami kendala dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian yang mereka tekuni karena tidak adanya pengayom yang dapat memberikan jaminan terhadap upaya-upaya tersebut di kemudian hari.

Kesenian merupakan salah satu bagian penting dari aktivitas budaya masyarakat Bali. Di samping berfungsi sebagai hiburan masyarakat juga merupakan komponen yang sangat penting dalam aktivitas ritual keagamaan. Sebagaimana halnya di Bali, bagi masyarakat di Kota Mataram, kesenian merupakan sarana pendukung dan senantiasa ada dalam berbagai kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu orang-orang Bali di Kota Mataram berupaya mereproduksi tradisi kesenian yang mereka warisi dengan membangun tradisi tersebut sebagaimana yang terdapat di Bali. Di antara berbagai jenis kesenian yang direproduksi, senikakebyaranmerupakan salah satu yang populer di kalangan masyarakat di Kota Mataram dan di Lombok pada umumnya. Fleksibelitas yang dimiliki senikakebyaranmenyebabkan kesenian ini dapat dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas terutama dalam ritual keagamaan dan dilakoni bukan saja oleh orang-orang Bali namun juga di kalangan masyarakat Sasak. Hal ini menunjukkan adanya nilai kesemestaan seni bahwa senikakebyaran


(41)

10

menjadi simbol kerukunan dan kebersamaan antara orang Bali dan orang-orang Sasak di Lombok.

Seiring dengan perkembangan yang terjadi sebagai akibat dari persoalan sentimen budaya, etnisitas dan upaya-upaya revitalisasi serta pemurnian identitas Sasak, senikakebyaransebagai salah satu kesenian yang menjadi simbol kerukunan antaretnis Bali dan Sasak mulai terancam keberadaannya karena mulai jarang dipergunakan dalam aktivitas budaya dan dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat mayoritas. Seni kakebyaran semakin terbatas pemanfaatannya dan lebih banyak disajikan dalam aktivitas keagamaan umat Hindu di Kota Mataram. Reproduksi seni kakebyaran adalah sebagai upaya untuk memperkuat identitas budaya yang terancam eksistensinya oleh adanya perubahan strategi budaya pemerintah setempat. Penelitian ini sangat penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengetahui keberadaan, keberlanjutan, seni pertunjukan khususnya seni kakebyaran dalam rangka pemerataan pengembangannya, dan sebagai salah satu identitas seni budaya Bali, bisa diterima dan menempati posisi yang sejajar dengan budaya lokal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk reproduksi senikakebyarandi Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat?

2. Mengapa terjadi reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat?


(42)

11

3. Apa dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Sebagai sebuah aktivitas ilmiah, penelitan ini secara umum bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang holistik tentang reproduksi seni kakebyarandalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tanggara Barat. Terjadinya berbagai fenomena yang sangat menarik dari perspektif kajian budaya perlu diungkap ketika senikakebyaranyang merupakan ikon dan identitas budaya masyarakat Bali direpresentasikan di wilayah yang baru di luar daerah asalnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian memiliki tujuan khusus berikut ini:

1) Untuk mengetahui bentuk reproduksi seni kakebyaran dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

2) Untuk memahami penyebab terjadinya reproduksi seni kakebyarandi Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

3) Untuk menginterpretasi dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran terhadap kehidupan seni dan budaya masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.


(43)

12

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Sebagai sebuah studi tentang budaya, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bidang keilmuan khususnya penyetaraan pengembangan di bidang seni pertunjukan dalam konteks kajian budaya.

2) Sebagaimana dikatakan Abdullah (2007:42), pemahaman tentang reproduksi kultural yang menyangkut bagaimana kebudayaan asal direpresentasikan dalam lingkungan baru masih sangat terbatas. Untuk itu penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang reproduksi seni kakebyaran sebagai salah satu ikon dan identitas budaya masyarakat Bali ketika direpresentasikan di wilayah yang baru, khususnya di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

3) Untuk dapat dipergunakan sebagai referensi alternatif dalam penelitian lebih lanjut tentang reproduksi budaya khususnya dalam seni pertunjukan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan dilaksanakannya penelitian ini, manfaat praktis yang diharapkan adalah sebagai berikut.

1) Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai suatu sumbangan pemikiran dan sebagai acuan di dalam menentukan berbagai kebijakan dalam pemerataan dan penyetaraan perkembangan seni pertunjukan khususnya senikakebyarandi Kota Mataram.


(44)

13

2) Sebagai suatu bentuk solusi dalam memecahkan permasalahan kesenjangan yang terjadi dalam pekembangan senikakebyarandi Kota Mataram, sehingga nantinya terjadi pemerataan pengembangan kesenian tersebut baik secara kuantitas dan utamanya kualitas.

3) Untuk meningkatkan kesadaran para penentu kebijakan dan kepedulian semua pihak akan pentingnya peran kesenian dalam kehidupan masyarakat secara lebih luas, mempererat jalinan komunikasi antarbudaya, penguatan identitas, jati diri dan pembangunan karakter bangsa sehingga diharapkan tidak terjadi marjinalisasi budaya dalam kondisi masyarakat dengan budaya yang heterogen dan multikultur. 4) Keberadaan seni kakebyaran sebagai salah satu seni pertunjukan

dengan segala keunikan dan keindahannya merupakan modal budaya yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik serta pembangunan daerah pada umumnya.


(45)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Studi tentang seni kakebyaran di luar Bali secara khusus belum banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga referensi yang mengkaji tentang topik tersebut masih sangat terbatas. Untuk itu, dilakukan penelitian awal melalui penelitian Hibah Bersaing yang berhasil dimenangkan pada tahun 2010 dan 2011. Hasil penelitian yang berjudul “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata di Lombok Barat” oleh I Gede Yudarta dengan Ni Wayan Ardini, merupakan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan dilanjutkan pelaksanaan tahap II pada tahun 2011. Pada tahun pertama dari pelaksanaan penelitian ini secara khusus dilakukan pemetaan terhadap keberadaan kesenian Bali khususnya seni pertunjukan terkait dengan potensi yang dimiliki dalam pemanfaatannya sebagai salah satu penunjang dalam pengembangan industri pariwisata di Kota Mataram. Dari penelitian tersebut diperoleh data-data tentang keberadaan 68 sanggar dansekaakesenian dan keberadaan senikakebyaranyang terdapat di beberapa sanggar seni di Kota Mataram. Hasil penelitian ini memberikan manfaat yang signifikan, karena dari pemetaan tersebut diketahui keberadaan seni kakebyaran di Kota Mataram. Data yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai bahan studi terkait dengan reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun kedua dari penelitian hibah ini


(46)

15

dicoba untuk merumuskan sebuah konsep seni pertunjukan yang mencerminkan pluralitas budaya masyarakat di Kota Mataram dengan meramu sebuah paket seni pertunjukan multikultur yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kesenian diantaranya seni pertunjukan Bali di samping kesenian dari budaya masyarakat setempat. Memperhatikan perkembangan senikekebyarandi Kota Mataram dan di Lombok pada umumnya, potensi yang dimiliki cukup besar bila dimanfaatkan sebagai salah satu atraksi budaya untuk wisatawan.

GamelanGong kebyarmemiliki fleksibelitas yang tinggi dapat dimainkan untuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang acapkali disajikan sebagai tarian penutup. Dilematisnya, dari wawancara yang dilakukan kepada para seniman, tokoh masyarakat, dan beberapa orang tokoh yang terlibat langsung di bidang kepariwisataan, terdapat sebuah anjuran mengutamakan seni tradisi lokal Sasak dan tidak mempergunakan seni pertunjukan Bali dalam pagelaran atraksi wisata di hotel-hotel. Anjuran ini secara nyata telah memarjinalkan seni pertunjukan Bali dan dalam pengembangan industri pariwisata terjadi diskriminasi budaya terhadap salah satu potensi budaya yang ada dan berdampak tidak termanfaatkannya potensi budaya tersebut secara optimal. Dari kedua pelaksanaan penelitian ini banyak informasi dan data yang diperoleh untuk dijadikan referensi guna mendukung pelaksanaan studi ini. Terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap seni pertunjukan Bali, salah satu fenomena yang cukup menarik sebagai salah satu studi dengan perspektif kajian budaya (cultural studies).


(47)

16

Di samping dari hasil penelitian hibah bersaing yang berhasil dimenangkan dalam 2 (dua) periode (2010 dan 2011), penulis juga berhasil mendapatkan hibah penelitian Disertasi Doktor pada tahun 2013 dimana hasil penelitian tersebut dijadikan penelitian awal dari penelitian disertasi ini. Dari penelitian yang mengambil judul “Eksistensi Seni Kakebyaran dalam Kehidupan Masyarakat di Kota Mataram” berhasil ditemukan beberapa hal penting yang terkait dengan sejarah perkembangan seni kakebyaran, bentuk seni kakebyaran, eksistensi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram. Data-data yang berhasil diungkap dalam penelitian tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi penelitian ini dan beberapa temuan yang dihasilkan dijadikan sebagai bagian dari disertasi ini.

Penulis merasa sangat beruntung ketika berjumpa dan berdiskusi dengan David D. Harnis seorang ethnomusicologys dari Bowling Green State University (USA) yang telah melakukan penelitian tentang kesenian di Lombok pada tahun 1980. Dari diskusi diperoleh beberapa artikel di antaranya: Defining Ethnicity, (Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among The Balinese of Lombokyang telah dipublikasikan dalamJournal of Musicological Research24:265-286 tahun 2005; ‘‘Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’: Constructing Balinese Music Culture in Lombok yang diterbitkan pada Ethnomusicology Forum vol. 14, no 1 tahun 2005.

Dari kedua artikel tersebut diperoleh banyak informasi penting yang sangat diperlukan untuk melengkapi penelitian ini. Di samping mengungkap keberadaan seni pertunjukan secara umum, di dalam artikel itu diuraikan juga tentang keberadaan senikakebyarandi Lombok khususnya di Kota Mataram. Dalam artikel


(48)

17

Defining Ethnicity, (Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among The Balinese of Lombokhalaman 280 diuraikan:

”Although it is unknown when kebyar initially came to Lombok, the first registered gamelan gong kebyar was the still existing Rena Sari in 1939, although the style likely precedes this date on the island. Other clubs soon materialized. The next boom in new performing arts was in the late 1950s, after superstar Balinese dancer Ni Madé Darmi married a local Balinese, Wayan Kartawirya, came to Lombok, and worked with local musicians and dancers such as Ida Wayan Pasha”.

Terjemahan:

Tidak diketahui kapan tepatnya gong kebyar merambah Lombok, namun gong kebyar yang terdaftar pertama kali adalah pada tahun 1939 dan masih eksis hingga saat ini yakni Rena Sari, namun gaya kebyar ini kembali bermunculan saat ini di pulau ini. Terobosan baru seni pertunjukan di era tahun 1950-an, setelah pernikahan penari Bali terkenal Ni Made Darmi yang menikah dengan seorang pemuda Bali setempat, Wayan Kartawirya, kemudian menetap di Lombok dan bekerjasama dengan para musisi dan penari setempat seperti Ida Wayan Pasha

Dari kutipan di atas dikatakan bahwa pada tahun 1939 telah adasekaa gong kebyar yang bernama “Rene Sari” dan perkembangan seni kakebyaran semakin semarak terjadi pada tahun 1950an setelah salah satu “super star” penari Bali Ni Made Darmi menikah dengan I Wayan Kertawirya seorang musisi di Lombok serta bekerjasama dengan Ida Wayan Pasha. Informasi ini sangat penting terkait dengan latar belakang sejarah perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram. Sebagaimana diungkap dalam artikel “Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’: Constructing Balinese Music Culture in Lombokhalaman 10 ada diuraikan:

“Lombok Balinese music styles can be seen as being one of three types: 1) those with antecedents in Bali, 2) those with antecedents from the Sasak majority of Lombok and 3) those co-created with the Sasak. The first type comprises the majority of traditions, including the most popular gamelan in both Bali and Lombok, the gamelan gong kebyar. Gong kebyar exploded on the artistic scene in Bali in the 1920s and 1930s; it had a similar impact in Lombok during the 1950s. This form has linked Lombok Balinese to Bali and inspired people to greater artistic involvement on both islands. The vast


(49)

18

majority of 20th-century dance and theatre innovations employ gong kebyar

and form part of the kebyar movement” Terjemahan:

Gaya musik Bali Lombok dapat dilihat dalam tiga bentuk: 1) gaya yang masih erat kaitannya dengan Bali; 2) gaya musik yang erat kaitannya dengan Sasak Lombok dan 3) gaya musik yang merupakan perpaduan antara Bali dan Lombok. Gamelan gong kebyar sebagai salah satu gaya musik dari katagori yang pertama merupakan salah satu gamelan yang populer dalam masyarakat Bali dan Lombok. Semaraknya perkembangangong kebyardi Bali pada tahun 1920-1930 turut memengaruhi perkembangan seni kakebyaran di Lombok pada tahun 1950. Bentuk ini telah menginspirasi keterlibatan para seniman di kedua pulau dan sebagian besar tari-tarian di abad ke 20 serta pengembangan teater tradisional menggunakan gamelan gong kebyardan ini merupakan pergerakan senikakebyarandi Lombok. Kedua artikel di atas memberikan informasi tentang keberadaan serta perkembangan seni kakebyaran di Lombok pada masa yang lalu. Walaupun demikian situasi tersebut tentunya sangat berbeda dengan situasi dalam beberapa tahun belakangan ini. Banyak perubahan yang telah terjadi di masyarakat yang berdampak terhadap perubahan kesenian Bali yang terdapat di Lombok, khususnya di Kota Mataram. Walaupun sekilas tampak ada persamaan dengan kajian seperti yang diuraikan di atas, namun dengan mempergunakan pendekatan dan paradigma kajian budaya (culture studies) akan terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila dalam penelitian sebelumnya pembahasan tentang seni kakebyaran lebih bersifat umum, dalam studi ini senikakebyaranlebih difokuskan sebagai salah satu objek kajian dalam upaya orang-orang Bali mempertahankan identitas, tradisi budaya dan agamanya serta upaya integratif agar tradisi tersebut bisa diterima dalam kehidupan yang lebih luas.


(50)

19

Di samping beberapa artikel di atas, dirujuk juga beberapa referensi dan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun referensi tersebut diuraikan di bawah ini.

Music In Bali: A study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music,karyaColin McPheeyang diterbitkan pada tahun 1966 oleh New Haven and London, Yale University Press. Sebuah buku yang di dalamnya menguraikan tentang keberadaan musik (tradisional) Bali dengan berbagai jenis gamelan, bentuk musik, serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Bali. Berkaitan dengan penelitian ini secara khusus Colin McPhee membahas tentang musik kebyar pada chapter 19 sebagaimana diuraikan pada halaman 328.

“It was probably in the early years of the present century that musicians in certain village of north Bali, the territory of many innovations, began to transform the traditional gamelan gong gede into the modernized form known today as tha gamelan gong kebyar”

Terjemahan,

(diperkirakan pada tahun-tahun awal abad ini (XIX) para musisi dari desa-desa tertentu di wilayah Bali Utara mulai mengubah alat musik tradisional gamelan gong gede dimodernisasi menjadi gamelan gong kebyar sebagaimana kita ketahui saat ini).

Uraian ini memberikan informasi bahwa telah terjadi modernisasi dalam musik Bali yang dilakukan oleh para seniman di wilayah Bali Utara dengan mengubah gamelan gong gede menjadi gamelan gong kebyar. Dengan perampingan (pengurangan) beberapa instrumen dihadirkan sebuah musikkebyarbergaya perkusif yang penuh semangat (exuberant). Informasi yang terdapat di dalam buku ini sangat penting karena di dalamnya terdapat konsepkebyardan keberadaan beberapa gamelan dan gaya musik yang berkembang di Kota Mataram berasal dari daerah Bali Utara.


(51)

20

Gong kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong kebyar,karya Pande Made Sukerta tahun 2009. Buku yang merupakan hasil editing dari disertasinyayang berjudul “Perubahan dan Keberlanjutan Dalam TradisiGong kebyar: Studi TentangGong kebyarBuleleng” (2004), adalah salah satu referensi penting tentang perkembangan, perubahan, dan keberlanjutan seni kakebyaran. Buku ini memberikan pengetahuan dalam berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan sejarah kelahiran gamelanGong kebyar, hingga penyebarannya dari Daerah Bali Utara ke Bali Selatan ke seluruh wilayah di Bali, di beberapa daerah di Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Sebagaimana diuraikan oleh Pande Sukerta (2009:9), terjadinya penyebaran barungan Gong kebyar dapat dikatakan bahwa barungan gamelangong kebyarbersifat mengglobal; artinya pada awalnya lahir di Kabupaten Buleleng kemudian berkembang ke seluruh Bali, ke beberapa wilayah di Indonesia dan di beberapa negara di dunia.

Di samping penyebaran berungangong kebyar, terdapat beberapa informasi dalam buku ini yang menarik dan penting untuk dipergunakan sumber kajian. Dilihat dari bentuknya secara fisik, sebagian besartungguhan barungangamelan gong kebyar di Lombok berupa tungguhan atau pelawah bakiakan yang menyerupai bentuk tungguhan barungan gong kebyar yang ada di Bali Utara. Demikian pula dengan bentuk-bentuk komposisigong kebyardi mana di Lombok yang rata-rata memiliki komposisi tabuh sekatian, tabuh pelawasan yang sama dengan yang ada di Bali Utara. Persamaan bentuk tungguhan tersebut sangat menarik untuk dikaji kemungkinan terjadinya penyebaran secara langsung dari Bali


(52)

21

Utara ke wilayah Lombok. Hal ini belum terungkap dalam buku yang disusun oleh Pande Sukerta.

Seni kakebyaran, merupakan sebuah “bunga rampai” beberapa tulisan yang dieditori oleh I Wayan Dibia (2008). Di dalamnya memuat berbagai tulisan dari beberapa pakar senikakebyaran. Beberapa tulisan yang menarik untuk disimak di antaranya adalah sajian dari I Wayan Rai yang berjudul “SeniKakebyaranDewasa Ini”. Sebagaimana dalam uraiannya, berpijak dari kata dasar “kebyar” yang berarti letupan atau sinar memancar dengan tiba-tiba sehingga dapat membuat kita terkejut. Kata ini kemudian dilengkapi dengan awalan “ke” dan akhiran “an”, kakebyaran dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau jenis kesenian yang termasuk bidang seni pertunjukan yang memiliki ciri dan sifatngebyar(dalam Dibia, 2008:6)

Uraian tentang seni kakebyaran dalam buku ini, memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam memperluas wawasan serta pemahaman tentang seni kakebyaran. Sebagaimana dikatakan Dibia dalam sambutannya, terdapat pandangan baru terhadap seni kakebyaran. Pada awalnya seni kebyar cenderung untuk dibatasi hanya pada bentuk kesenian yang diiringi oleh musikgong kebyar, kini seni kakebyaran telah mencakup wilayah estetik yang begitu luas dan telah melampaui batasgong kebyar(Dibia, 2008:iii). Dalam studi tentang reproduksi seni kakebyarandi Kota Mataram, nampak jelas adanya pengaruh yang kuat dari seni kakebyaranitu sendiri. Kegandrungan masyarakat terhadap fenomena kakebyaran juga terjadi di kalangan seniman dan masyarakat di Kota Mataram sehingga hal ini mendorong munculnya beberapa bentuk kesenian yang bernafaskan kebyar baik di dalam seni pertunjukan Bali maupun seni pertunjukan Sasak.


(53)

22

Tradisi Bali Lombok, Sebuah Catatan Budaya, oleh Wayan Suyadnya (2006). Secara ringkas dalam buku ini dibahas tentang keberadaan serta kehidupan masyarakat Bali yang berada di Lombok dengan budaya dan adat-istiadat yang dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa aspek kehidupan sosial, agama, adat isitiadat dan kesenian, walaupun disajikan secara ringkas namun cukup memberi gambaran situasi yang ada di Lombok. Sebagai sebuah catatan budaya, informasi dalam buku ini sangat relevan dipergunakan sebagai referensi untuk mendapatkan gambaran awal tentang keberadaan seni pertunjukan di Kota Mataram. Sebagaimana dikatakan Suyadnya (2006:9),

“bila bertandang pada kampung-kampung tua pada sore menjelang malam. Pada beberapa banjar yang memiliki perangkat gamelan, sayup-sayup akan terdengar suara gamelan yang dimilikinya dimainkan warga setempat, baik gong, angklungmaupunrindik. Begitu juga di sejumlah bale banjar, bisa dilihat adanya sekelompok teruna-teruni yang sedang belajar menari”. Walaupun secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus tentang keberadaan seni kakebyaran, namun dari beberapa uraian yang terdapat di dalamnya dapat diketahui bahwa salah satu aktivitas berkesenian yang dilakukan oleh masyarakat adalah di bidang seni pertunjukan (seni karawitan dan seni tari) yang menjadi kajian dari studi ini.

Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950), karya Anak Agung Ketut Agung tahun 1991. Literatur ini banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Gelombang kedatangan orang-orang Bali di Lombok dimulai pada abad ke-12, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali. Pada saat itu Pulau Lombok dapat ditaklukkan oleh


(1)

budaya. Di dalamnya terdapat persoalan yang berkaitan dengan identitas diri, identitas etnis dan identitas budaya. Bergayut dengan pandangan Abdullah, bahwa reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang yaitu orang Bali, yang berfungsi untuk menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Penegasan identitas sangat penting untuk dilakukan tatkala berada di wilayah yang masyarakatnya plural. Adanya penegasan tersebut adalah penting untuk menghindari terjadinya krisis identitas, mengetahui dan memahami perbedaan identitas masing-masing etnik sehingga nantinya terbangun sikap toleransi dan saling harga-menghargai di antara kelompok-kelompok yang ada.

2.3.3 Teori Semiotika

Semiotika adalah teori tentang tanda yang dikembangkan dari karya ahli bahasa berkebangsaan Swiss yaitu Ferdinand de Saussure (Barker, 2014:261). Walaupun dikembangkan dari seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss, semiotika berasal bahasa Yunani yaitu seme atau semeon yang berarti penafsir tanda atau tanda. Jadi, teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Ratna, 2004:97).

Di dalam perkembangannya para Saussurian (pengikut Ferdinand de Saussure) mengembangkan studi tentang tanda dan menjelaskan cara kerja tanda dalam kehidupan sosial. Secara lebih spesifik tanda-tanda tersebut digunakan untuk


(2)

menunjukkan suatu identitas, baik identitas pribadi, identitas nasional, identitas pekerjaan, identitas badan hukum, identitas jenis, dan identitas keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya seorang ahli semiotika Itali Umberto Eco, akhirnya memberikan kontribusi dan pemahaman yang sangat penting mengenai hubungan tanda dengan realitas. Umberto Eco memberikan beberapa penerapan yang dianggap relevan dengan semiotika termasuk di antaranya bidang budaya. Lebih lanjut ditegaskan lagi oleh Aart Van Zoest bahwa ilmu semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin ilmu seperti arsitektur, perfileman, sandiwara, musik, kebudayaan, interaksi sosial, psikologi dan media masa (Ratna, 2004:107). Aart van Zoest (dalam Sujiman, 1991:96), mengatakan secara semiotik kebudayaan merupakan reaksi dari kompetensi yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang, untuk menginterpretasi, dan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam batasan itu kebudayaan diejawantahkan sebagai suatu keseluruhan dari kebiasaan-kebiasaan tingkah laku dan hasil-hasil darinya.

Susane K. Langer (1957) (dalam Hadi, 2000:23) mengatakan kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai “hasil ciptaan”, yaitu suatu benda, atau produk manusia, akan tetapi dipandang sebagai simbol, lambang, yaitu “mengatakan tentang sesuatu”, jadi kesenian berhadapan dengan makna dan pesan untuk diresapkan. Oleh karena seni adalah simbolisasi manusia, maka prinsip penciptaan karya seni merupakan pembentukan simbol dan pembentukan simbol tersebut bersifat abstraksi.


(3)

Di dalam studi tentang reproduksi senikakebyarandi Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, terdapat beberapa topik bahasan yang berkaitan dengan permasalahan identitas, baik identitas diri, identitas sosial, identitas budaya, identitas etnik serta timbulnya makna-makna baru terkait dengan keberadaan seni kakebyaran di wilayah tersebut. Kesenian khususnya musik adalah representasi sebuah budaya yang di dalamnya terdapat simbol-simbol atau tanda. Jadi reproduksi senikakebyarandapat dimaknai sebagai reproduksi tanda dalam rangka penegasan identitas budaya Bali. Di wilayah Lombok, khususnya di Kota Mataram seni kakebyaran direproduksi dan dipresentasikan bukan hanya di kalangan masyarakat etnik Bali, akan tetapi juga di kalangan masyarakat Sasak. Seni kakebyaran yang berkembang di samping seni kakebyaran seperti yang di Bali, namun muncul pula gending-gending pesasakan dengan identitasnya masing-masing. Direproduksinya seni kakebyaran pada dua etnis Bali dan Sasak menandakan bahwa senikakebyaranbersifat plastis, lentur, dan fleksibel.

Adanya berbagai fenomena sebagaimana diuraikan di atas, penggunaan teori semiotika sangat tepat untuk membahas permasalahan dampak dan makna reproduksi seni kakebyaran. Bahwasanya reproduksi seni kakebyaran memiliki berbagai dampak dan makna seperti dampak kultural, dampak ekonomis dampak sosial serta makna estetik/artistik, makna edukatif dan makna kultural. Yang penting dampknya itu tidak saja bagi keberadaan senikakebyaranitu sendiri namun lebih luas terhadap keberadaan dan keberlanjutan seni pertunjukan yang merupakan tradisi budaya Bali dan perkembangan seni budaya di Kota Mataram pada umumnya.


(4)

2.4 Model Penelitian

Kehadiran kesenian Bali di Kota Mataram merupakan hasil difusi kebudayaan Bali. Di Kota Mataram, kesenian Bali hidup dan berkembang tidak saja di kalangan masyarakat etnis Bali, namun juga berkembang di kalangan etnis Sasak. Salah satunya yang berkembang dan populer di kalangan masyarakat adalah seni kakebyaran. Keberadaan kesenian ini merupakan salah satu subunsur kebudayaan yang penting karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama dalam aspek budaya, sebagai media komunikasi dan aspek ekonomi. Reproduksi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali merupakan salah satu upaya mempertahankan tradisi budaya, sebagai bagian dari upacara keagamaan, sebagai pemertahanan/penguatan identitas, sebagai media komunikasi dan sebagai sarana ekonomis bagi orang Bali. Hal yang sama juga melandasi terjadinya reproduksi di kalangan etnis Sasak, namun dalam konteks upacara keagamaan seni kakebyaran hanya bersifat partisipasi serta menjaga harmoni hubungan dengan orang-orang Bali.

Sebagai salah satu fenomena budaya, terdapat beberapa topik pembahasan yang menjadi fokus dalam penelitian reproduksi senikakebyarandi wilayah Kota Mataram. Adapun topik bahasan tersebut adalah: 1) bentuk reproduksi seni kakebyaran, 2) terjadi reproduksi seni kakebyaran, dan 3) dampak dan makna reproduksi senikakebyarandi Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Hasil analisis yang diperoleh dengan metode kualitatif terhadap topik bahasan di atas, diperoleh beberapa hasil temuan terkait reproduksi senikakebyaran


(5)

di Kota Mataram. Simpulan dan temuan hasil penelitian ini selanjutnya menjadi sumber rekomendasi kepada berbagai pihak terkait sepeti masyarakat, seniman dan pemerintah serta sebagai bahan pemikiran terhadap seni kakebyaran dan seni budaya pada umumnya demi pelestarian, pengembangan dan keberlanjutan di masyarakat. Hal tersebut penting karena terbukti kesenian khususnya seni kakebyaran menjadi salah satu aspek yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan sosial, budaya dan agama, menjadi media komunikasi intra dan antaretnis, serta sebagai modal ekonomi di dalam mensejahterakan masyarakat. Selanjutnya reproduksi seni kakebyaran sebagai bagian dari reproduksi budaya memiliki makna yang penting di dalam mewujudkan Kota Mataram yang Maju, Religius dan Berbudaya.


(6)

Penjelasan Tanda

Alur hubungan 1 arah

Hubungan yang saling mempengaruhi Muara dari aktivitas reproduksi