kecil lagi masih tetap pada kepercayaan animismenya. Sejak tahun 1990-an itulah masyarakat Toraja mengalami transformasi budaya yang ditandai dengan
pergeseran mata pencaharian dari bercocok tanam hortikultura sederhana menuju agraris lalu berkembang ke sektor
pariwisata yang terus meningkat dari
masa ke masa.
3.2 Kebudayaan Rambo Solo
Rambu Solo adalah upacara kematian untuk menghormati orang tua yang telah mati sebagai pertanda hormat pada si mati atas jasa-jasa semasa hidupnya.
Simbolisme yang berperan di kehidupan masyarakat tanah Toraja memberikan tempat sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu atau mengambarkan
sesuatu misalnya pada pada pesta pernikahan, perayaan kelahiran dan pada upacara kematian. Dalam adat Sulawesi Selatan khususnya tanah Toraja
pengunaan simbol-simbol erat sekali dengan kehidupan dan keseharian masyarakatnya.
Disini yang akan dibahas adalah simbol ” kerbau “ yang dipakai pada tradisi upacara kematian “ Rambu Solo “ di tanah Toraja. Keseharian masyarakat
Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran
transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga
melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat.
3.2.1 Proses Pelaksanaan
Dari sejarah asal usul orang Toraja diyakini bahwa acara rambu solo’ merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur mereka yang
terpusat pada tiga aspek; pertama, pemujaan kepada tokoh pencipta yang disebut Puang Matua, kedua pemujaan kepada Deata-Deata dewa pemelihara, dan
ketiga pemujaan kepada roh-roh kakek moyang yang disebut Tomebali Puang, yang dianggap memberi berkah dan pelindung kepada keturunannya.
Penghormatan utama tersebut terwujud dalam konsep tentang kematian dan upacara-upacara sekitar kematian.
Pesta adat rambu solo’ sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap
benar-benar meninggal setelah dilakukan upacara adat dan seluruh prosesi kegiatan tuntas dilaksanakan. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut
hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan
diberi hidangan makanan dan minuman seperti ; daun sirih, kopi, rokok bahkan selalu diajak berbicara
Acara rambu solo’ merupakan acara yang sangat unik, bukan saja karena pelaksanaannya yang kental dengan unsur adat dan cenderung berbau mistik.
namun juga karena kemeriahan dan kemewahan penyelenggaraannya yang menelan biaya sangat besar ratusan juta hingga miliaran rupiah. Rambu solo’
menghabiskan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan prosesi pemakaman di daerah lain. Hal ini disebabkan karena banyaknya rangkaian acara yang juga
melibatkan banyak orang ratusan pelayat pengunjung. Pelaksanaan acara ini bahkan telah ditata sedemikian rupa, mulai dari persiapan tempat dengan
membangun puluhan pondok sebagai tempat kerabat para tamu hingga pembentukan panitia, lengkap dengan tugasnya.
1. Pesta Rambu Solo’ dimulai dengan ritual Ma`tundan atau membangunkan arwah dari pembaringannya dan Ma’balun membungkus jenazah. Jenazah
kemudian dipindahkan dari rumah duka ke rumah adat Tongkonan atau rumah adat Toraja milik sekelompok kecil kerabat dan sehari-hari digunakan sebagai
lumbung padi, menyimpan benda-benda sakral serta menjadi pusat kegiatan dari kelompok-kelompok kekerabatan untuk disemayamkan selama 1 satu hingga 3
tiga malam. Proses pemindahan jenazah Ma’Parokko Alang dan diiringi dengan alunan bunyi lesung dan bambu bertalu yang dimainkan oleh para nenek
tua. Jenazah tersebut wajib ditunggui oleh kerabat dekat. Prosesi lainnya yang juga mulai dilakukan adalah Ma’roto membubuhkan ornamen dari benang emas
dan perak pada peti jenazah. 2. Pada saat jenazah dipindahkan, para laki-laki termasuk kerabat dekat akan
bergotongroyong saling membantu mengangkat dan mengarak peti jenazah yang beratnya bisa mencapai 100 Kg ke sekitar kampung. Dalam arak-arakan, ada
urutan yang wajib ditaati yaitu ; Pertama, orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan pembawa umbul-umbul, kemudian barisan tedong
kerbau diikuti dengan para wanita sebagai kerabat terdekat, yang menarik kain panjang berwarna merah, lalu jenazah dan terakhir adalah pelayat lainnya.
Semuanya menggunakan pakaian hitam pertanda rasa berkabung kehilangan yang mendalam.
3. Setelah jenazah disemayamkan di Tongkonan, kerabat mulai mengadakan penerimaan tamu, biasanya 1-2 hari tergantung dari banyaknya tamu yang datang.
Tamu kerabat yang datang membawa hantaran yang beragam, mulai dari yang termahal kerbau, babi hingga yang sangat sederhana seperti gula dan rokok
berlaku bagi tamu seperti wisatawan. Hantaran menunjukkan status sosial para pemberi. Hantaran juga menunjukkan seberapa dalam ikatan hubungan sekaligus
rasa hormat tamu kepada almarhum. Hantaran ini akan dicatat bahkan diumumkan oleh Tuan rumah dan menjadi kewajiban para kerabat untuk
membalas budi dengan memberikan hantaran minimal sama jika si pemberi kelak meninggal dunia. Tuan rumah menyambut para tamunya dengan senyum,
sapa keramahan, menyajikan berbagai jenis tari-tarian khas serta menyuguhkan beraneka macam santapan yang telah dipersiapkan di atas wadah daun pisang
atau bahan alam lainnya. Sekilas tak terlihat perbedaan dengan acara-acara pesta lainnya yang penuh suka cita bukan duka cita.
4. Acara pemotongan kerbau ma’tinggoro tedong. Sebelum disembelih, kerbau terlebih dahulu diadu silaga tedong di tanah lapang atau di areal persawahan
yang kering. Pada saat acara ini berlangsung, banyak masyarakat yang menonton sekaligus bertaruh berjudi. Setelah kerbau diadu, kerbau diarak ke tempat
penyembelihan dimana kerbau diikat pada batu “simbuang batu” yang tertancap di tanah.
Kerbau disembelih bukan oleh orang sembarangan tapi yang memiliki “kesaktian” karena kerbau harus mati hanya dengan sekali tebasan parang si
Penyembelih. Beberapa pengalaman buruk pernah terjadi, kerbau yang disembelih tidak langsung terkapar bahkan mengamuk dan menyerang para pengunjung. Jika
hal tersebut terjadi, maka dianggap sebuah aib dan biasanya si Penyembelih harus menanggung resiko dari kerabat almarhum dimana resiko tersebut bisa berujung
pada kematian.
5. Penguburan : Penurunan jenazah dari tongkonan dan menggotong jenazah ketempat peristirahatan terakhir ma’palao. Iring-iringan yang sama pada saat
pemindahan jenazah dari rumah ke tongkonan juga terjadi di sini, ditambah dengan atraksi adu kaki sisemba’ hingga sampai ke tempat pemakaman. Tempat
pemakaman ada 2 dua jenis yaitu di gua-gua liang yang terdapat di tebing-tebing dan patane’ kuburan dari kayu semen berbentuk rumah adat. Masing-masing
kelompok kerabat memiliki lokasi pemakaman yang tidak boleh sembarang orang menggunakannya karena hal ini juga terkait dengan status sosial kelompok
kerabat yang ada. Lokasi tebing menandakan bersatunya berkumpulnya tulang- tulang para kerabat di satu tempat. Menurut falsafah ajaran Aluk Todolo bahwa
manusia itu sama saja pada waktu hidup dan matinya, jika semasa hidup berkumpul di rumah Tongkonan maka setelah mati berkumpul tulang belulang di
dalam satu Liang atau Kuburan. Semakin tinggi gualiang maka akan semakin mudah menggapai nirwana. Bagi bangsawan dalam kelompok kekerabatan,
dibuatkan patane’ agar tidak bercampur dengan strata sosial yang dibawahnya. Di patane’ tersebut hanya boleh ada 2 dua jenazah yaitu sepasang suami isteri.
6. Setelah prosesi penguburan selesai maka tiba waktu para kerabat untuk mengucap syukur pada sang pencipta sebagai tanda bahwa rangkaian acara telah
berakhir.
3.2.2 Dinamika Penyelenggaraan