Fungsi Dan Peran Ternak Dalam Kehidupan Masyarakat Tana Toraja Sebagai Aset Budaya Dan Plasmanutfah.

(1)

FUNGSI DAN PERAN TERNAK DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT TANA TORAJA SEBAGAI ASET BUDAYA

DAN PLASMANUTFAH

ARTIKEL ILMIAH

OLEH :

MOCHAMAD ALI MAULUDIN NIP. 19810129 200501 1001

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2010 KATA PENGANTAR

i


(2)

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulisan “Artikel Ilmiah” yang berjudul “P erspektif Sosiologis mengenai Peran dan Fungsi Ternak dalam Kehidupan Masyarakat Tana Toraja sebagai Aset Budaya dan Plasmanutfah, dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam tulisan karya ilmiah ini, penulis mencoba memaparkan dalam perspektif sosiologi bahwa budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tidak terlepas dari lingkungan dan mahluk hidup lainnya terutama ternak. Kegiatan tradisi Rambu Solo atau tradisi pesta adat kematian di Tana Toraja tidak terlepas dari fungsi dan peran ternak dalam ritual atau pesta tersebut. Keberadaan ternak dalam masyarakat membrikan tempat untuk dikembangbiakan dan juga menjada plasmanutfah sebagai aset masa depan.

Penulis merasa apabila tulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, semoga tulisan ini masih tetap bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi mereka yang memerlukannya.

Bandung, 15 September 2010

Penulis


(3)

DAFTAR ISI

BAB Halaman

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ………. ii

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Identifikasi Masalah ……… 3

1.3. Maksud dan Tujuan ………. 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kebudayaan ………... 5

2.1.1. Unsur-unsur Kebudayaan ………. 6

2.1.2. Sifat Hakikat Kebudayaan …………... 6

2.2. Deskripsi Kerbau …..………... 7

III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Asal Usul dan Perkembangan Suku Toraja ………. 9

3.2. Kebudayaan Rambo Solo………. 11

3.2.1. Proses Pelaksanaan ……….. 12

3.2.2. Dinamika Penyelenggaraan ……….. 15

3.3. Fungsi dan Peran Ternak ………. 17

3.3.1. Menakar Nilai Kerbau ………... 19

3.4. Pelestarian Budaya dan Plasmanutfah Kerbau ……… 22

IV KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan ………... 25


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beraneka ragam corak kebudayaan dengan latar belakang sejarah, asal usul yang berbeda-beda. Hal tersebut terlihat jelas dari keunikan adat- istiadat yang menjadi identitas dan kebanggaan masing-masing daerah. Meskipun saat ini pengaruh globalisasi dan westernisasi mengancam exisitas dari adat istiadat tersebut, namun di beberapa daerah, masyarakat masih mempertahankan dan berpegang teguh atas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Salah satu adat budaya yang mencerminkan kekuatan hubungan manusia terhadap alam semesta dan sesamanya adalah acara Rambu Solo’. Rambu solo’

merupakan salah satu bukti warisan budaya yang masih dipertahankan hingga detik ini oleh masyarakat Tana Toraja. Rambu Solo’ atau yang dikenal sebagai pesta adat kematian, bertujuan untuk menghormati para leluhur mereka dan untuk mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh.

Upacara kematian ini, berbeda dengan upacara-upacara kematian biasanya. Upacara kematian Rambu Solo' ini diadakan dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta. Namun upacara kematian ini tidak sedikitpun melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan. Karena itu upacara kematian ini sering disebut pesta kematian. Mereka meyakini bahwa dengan mengadakan upacara adat ini roh si mati dapat diiring sampai mencapai Nirwana keabadian


(5)

Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat berperan penting, salah satunya adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo. Rambu Solo adalah upacara kematian untuk menghormati orang tua yang telah mati sebagai pertanda hormat pada si mati atas jasa-jasa semasa hidupnya. Sama seperti adat-adat daerah lain yang menggunakan simbol sebagai perlambang atau tanda dalam suatu upacara adat. Begitu juga masyarakat tanah Toraja yang menggunakan simbol kerbau sebagai tanda mereka. Mereka meyakini bahwa kerbau inilah yang nantinya akan membawa roh si mati menuju nirwana alam baka ( roh si mati menunggangi kerbau). Kerbau di keseharian kehidupan masyarakat Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci juga melambangkan tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Keseharian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat.

Kerbau Tana Toraja memiliki ciri fisik yang khas ketimbang daerah lain, terutama pada warna kulitnya yang belang menyerupai sapi. Orang Toraja biasa menyebut jenis kerbau ini Tedong Bonga. Lantaran kulitnya yang aneh, maka kerbau belang memiliki arti penting dalam setiap ritual pesta kematian atau Rambu Solo. Kerbau ini diperlakukan secara khusus. Semenjak kecil sudah


(6)

dikebiri oleh pemiliknya sehingga dianggap suci sebagai hewan kurban pada upacara Rambu Solo`. Berdasarkan latarbelakang di atas maka kiranya kita lebih memahami dari pesta kematian Rambo solo dan peranan perangkat yang mendukungnnya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana fungsi dan peran ternak dalam kehidupan masyarakat tana toraja

2. Bagaimana tradisi Rambu Solo sebagai aset kebudayaan bangsa

3. Bagaimana upaya untuk melestarikan budaya dan plasmanutfah kerbau di kehidupan masyarakat Tana Toraja

1.3 Maksud dan Tujuan

Berdasarkan identifikasi masalah maka maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk Mengetahui fungsi dan peran ternak dalam kehidupan masyarakat tana toraja

2. Untuk mengetahui tradisi Rambu Solo sebagai aset kebudayaan bangsa

3. Untuk mengetahui upaya untuk melestarikan budaya dan plasmanutfah kerbau di kehidupan masyarakat Tana Toraja


(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kebudayaan

Kebudayan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayan. Malinowski dalam Soekanto (2005) mengemukakan bahwa Culural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super-organic, karena kebudyaan yang berturun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran.

Tylor dalam Soekanto (2005) mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, huku, adat-itiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (2005) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh untuk manusia. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir


(8)

orang-orang yang hidup bermasyarakat. Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat.

2.1.1 Unsur- unsur Kebudayaan

Kluckhon dalam Soekanto (2005) menyebutkan dalam karyanya yang berjudul Universal Catagories of Culture menunjukan ada tujuh poin dalam unsure-unsur kebudayaan yaitu :

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagaimnya) 2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,

peternakan, sistem produksi, sistem ditribusi dan sebagainya)

3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sitem perkawinan)

4. Bahasa (lisan maupun tulisan)

5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya) 6. Sistem pengetahuan

7. Religi (sistem kepercayaan)

2.1.2 Sifat Hakikat Kebudayaan

Masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda satu dengan lainnnya, kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimana pun juga. Soekanto (2005) menyebutkan sifat dan hakikat kebudayaan antara lain :

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan


(9)

4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan yang dizinkan.

2.2 Deskripsi Kerbau

Kerbau dan sapi merupakan kerabat dekat, namun berlainan family. Dalam bahasa biologi kerbau termasuk famili Buballus, sedangkan sapi tergolong Bovina, sehingga kedua famili ini tidak dapat dikawinkan untuk menghasilkan keturunan. El Nahas et al.(2001) menyatakan perbedaan utama antara kerbau dengan sapi terletak pada jumlah kromosom yang dimiliki kedua famili tersebut, kromosom diploid (2n) pada kerbau lumpur berjumlah 48, sedangkan pada sapi berjumlah 60.

Mahadevan (1992) menyatakan kerbau di Dunia dibagi dalam dua kelas yaitu kerbau Afrika (Syncerus) dan kerbau Asia (Bubalus). Kerbau Asia mempunyai 3 Spesies yakni B. Depresionis(Anoa), B. Mindorensisi (Tamaraw), dan B. Arne (Kerbau India), sedangkan kerbau Afrika terdiri dari satu spesies yaitu Syncerus Caffer.

Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relative ‘sulit’ terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah. Kerbau dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi basah sampai kondisi kering (Diwyanto dan Hardimirawan, 2006).

Hardjosubroto (2006) mengemukakan bahwa diantara kerbau rawa di Indonesia, sebagai akibat pengaruh lingkungan nampaknya telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup kerbau, seperti : 1) timbulnya kerbau-kerbau yang berbadan besar dan kerbau-kerbau-kerbau-kerbau yang berbadan kecil, 2) perbedaan


(10)

terhadap daya tahan terhadap panas, 3) kegemaran hidup di dalam air, atau berkubang. Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasinya.


(11)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Asal Usul dan Perkembangan Suku Toraja

Bentuk Pulau Sulawesi memilki empat semenanjung yang disebabkan oleh deretan pegunungan yang membujur ke empat jurusan dari pusat pulai tersebut. Semenanjung selatan secara geigrafis terdiri dari suatu rangkaian gunung berapi yang sudah mati yang dikelilingi oleh daratan-daratan sepanjang pantai. Gunung yang tertinggi kurang lebih 3000 m dan jarak antara garis pantai dan timur kira-kira 150 KM. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 diantaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Kata Toraja dibentuk dari dua kata yang berasal dari bahasa daerah, yaitu To yang berarti orang dan Ri Aja berarti dari gunung.

Berdasarkan mitologi, orang Toraja meyakini bahwa mereka berasal dari 2 (dua) nenek moyang yaitu To Lembang dan To Manurung. To Lembang artinya orang perahu yaitu orang yang datang dengan menggunakan perahu lalu berkembang dan beranakpinak di daerah Toraja, sedangkan To Manurung artinya orang yang diturunkan dari langit untuk mengatur tata kehidupan To Lembang

yaitu digunakan sebagai pengganti kata Desa meskipun pada prinsipnya aturan-aturan yang berlaku di Lembang sama persis dengan tata pemerintahan yang berlaku untuk Desa (Hetty Nooy-Palm dalam Hans J.Daeng, 2000). To Manurung

kemudian menikah dengan seorang Dewi Air (Sundiwai) yang melahirkan anak bernama Padada. Dari sinilah asal usul kelas bangsawan Toraja muncul dan melahirkan berbagai adat istiadat, termasuk Rambu Solo’.


(12)

Sistem orang Toraja didominasi oleh kelompok kekerabatan yang disebut

Marapuan atau Parapuan yang berorientasi kepada satu kakek moyang pendiri

Tongkonan, yaitu rumah komunal sekaligus menjadi pusat kekerabatan dan kehidupan sosial serta religi para anggotanya. Kelompok Marapuan terdiri atas kerabat dari 3-5 generasi. Karena orang Toraja menganut pola kekerabatan yang bilateral sifatnya, maka seseorang bisa menjadi anggota dari beberapa buah

Tongkonan.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja belum tersentuh oleh dunia luar sehingga masih menganut kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo yaitu Kepercayaan yang disertai dengan perilaku-perilaku tertentu. Misalnya ; seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka pantang baginya untuk makan nasi dan lauk pauk (hanya makanan tertentu yang boleh) hingga suaminya dipestakan. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Baik mereka yang masih memegang kepercayaan animisme maupun telah memiliki keyakinan beragama, ada prinsip dasar yang masih dipegang teguh untuk mengatur tata kehidupan (hubungan antar sesama manusia) orang Toraja yaitu prinsip penggarontosan ; Misa Ada Dipotuo Pantan Kada Dipomate (Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Mati), Sipakaele-Disirapai

(Saling Menghargai dan Musyawarah) serta Hidup Bagaikan Ikan Masapi (Hidup Bersama Bagaikan Ikan dan Air yang Saling Membutuhkan) merupakan semboyan hidup orang Toraja yang mencerminkan hubungan antar sesama manusia yang harus dijunjung tinggi.

Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Mayoritas suku Toraja kini telah memeluk agama Kristen (Protestan, Katolik & Advent), sementara sebagian menganut Islam dan sebagian


(13)

kecil lagi masih tetap pada kepercayaan animismenya. Sejak tahun 1990-an itulah masyarakat Toraja mengalami transformasi budaya yang ditandai dengan pergeseran mata pencaharian dari bercocok tanam (hortikultura) sederhana menuju agraris lalu berkembang ke sektor pariwisata yang terus meningkat dari masa ke masa.

3.2 Kebudayaan Rambo Solo

Rambu Solo adalah upacara kematian untuk menghormati orang tua yang telah mati sebagai pertanda hormat pada si mati atas jasa-jasa semasa hidupnya. Simbolisme yang berperan di kehidupan masyarakat tanah Toraja memberikan tempat sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu atau mengambarkan sesuatu misalnya pada pada pesta pernikahan, perayaan kelahiran dan pada upacara kematian. Dalam adat Sulawesi Selatan khususnya tanah Toraja pengunaan simbol-simbol erat sekali dengan kehidupan dan keseharian masyarakatnya.

Disini yang akan dibahas adalah simbol ” kerbau “ yang dipakai pada tradisi upacara kematian “ Rambu Solo “ di tanah Toraja. Keseharian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat.


(14)

Dari sejarah asal usul orang Toraja diyakini bahwa acara rambu solo’

merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur mereka yang terpusat pada tiga aspek; pertama, pemujaan kepada tokoh pencipta yang disebut

Puang Matua, kedua pemujaan kepada Deata-Deata (dewa pemelihara), dan ketiga pemujaan kepada roh-roh kakek moyang yang disebut Tomebali Puang, yang dianggap memberi berkah dan pelindung kepada keturunannya. Penghormatan utama tersebut terwujud dalam konsep tentang kematian dan upacara-upacara sekitar kematian.

Pesta adat rambu solo’ sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah dilakukan upacara adat dan seluruh prosesi kegiatan tuntas dilaksanakan. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman (seperti ; daun sirih, kopi), rokok bahkan selalu diajak berbicara

Acara rambu solo’ merupakan acara yang sangat unik, bukan saja karena pelaksanaannya yang kental dengan unsur adat dan cenderung berbau mistik. namun juga karena kemeriahan dan kemewahan penyelenggaraannya yang menelan biaya sangat besar (ratusan juta hingga miliaran rupiah). Rambu solo’ menghabiskan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan prosesi pemakaman di daerah lain. Hal ini disebabkan karena banyaknya rangkaian acara yang juga melibatkan banyak orang (ratusan pelayat & pengunjung). Pelaksanaan acara ini bahkan telah ditata sedemikian rupa, mulai dari persiapan tempat dengan


(15)

membangun puluhan pondok sebagai tempat kerabat & para tamu hingga pembentukan panitia, lengkap dengan tugasnya.

1. Pesta Rambu Solo’ dimulai dengan ritual Ma`tundan atau membangunkan arwah dari pembaringannya dan Ma’balun (membungkus jenazah). Jenazah kemudian dipindahkan dari rumah duka ke rumah adat Tongkonan atau rumah adat Toraja milik sekelompok kecil kerabat dan sehari-hari digunakan sebagai lumbung padi, menyimpan benda-benda sakral serta menjadi pusat kegiatan dari kelompok-kelompok kekerabatan untuk disemayamkan selama 1 (satu) hingga 3 (tiga) malam. Proses pemindahan jenazah (Ma’Parokko Alang) dan diiringi dengan alunan bunyi lesung dan bambu bertalu yang dimainkan oleh para nenek tua. Jenazah tersebut wajib ditunggui oleh kerabat dekat. Prosesi lainnya yang juga mulai dilakukan adalah Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah).

2. Pada saat jenazah dipindahkan, para laki-laki (termasuk kerabat dekat) akan bergotongroyong saling membantu mengangkat dan mengarak peti jenazah (yang beratnya bisa mencapai 100 Kg) ke sekitar kampung. Dalam arak-arakan, ada urutan yang wajib ditaati yaitu ; Pertama, orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan pembawa umbul-umbul, kemudian barisan tedong (kerbau) diikuti dengan para wanita sebagai kerabat terdekat, yang menarik kain panjang berwarna merah, lalu jenazah dan terakhir adalah pelayat lainnya. Semuanya menggunakan pakaian hitam pertanda rasa berkabung/ kehilangan yang mendalam.

3. Setelah jenazah disemayamkan di Tongkonan, kerabat mulai mengadakan penerimaan tamu, biasanya 1-2 hari tergantung dari banyaknya tamu yang datang.


(16)

Tamu kerabat yang datang membawa hantaran yang beragam, mulai dari yang termahal (kerbau, babi) hingga yang sangat sederhana seperti gula dan rokok (berlaku bagi tamu seperti wisatawan). Hantaran menunjukkan status sosial para pemberi. Hantaran juga menunjukkan seberapa dalam ikatan hubungan sekaligus rasa hormat tamu kepada almarhum. Hantaran ini akan dicatat (bahkan diumumkan) oleh Tuan rumah dan menjadi kewajiban para kerabat untuk membalas budi dengan memberikan hantaran (minimal sama) jika si pemberi kelak meninggal dunia. Tuan rumah menyambut para tamunya dengan senyum, sapa keramahan, menyajikan berbagai jenis tari-tarian khas serta menyuguhkan beraneka macam santapan yang telah dipersiapkan di atas wadah (daun pisang atau bahan alam lainnya). Sekilas tak terlihat perbedaan dengan acara-acara pesta lainnya yang penuh suka cita (bukan duka cita).

4. Acara pemotongan kerbau (ma’tinggoro tedong). Sebelum disembelih, kerbau terlebih dahulu diadu (silaga tedong) di tanah lapang atau di areal persawahan yang kering. Pada saat acara ini berlangsung, banyak masyarakat yang menonton sekaligus bertaruh/ berjudi. Setelah kerbau diadu, kerbau diarak ke tempat penyembelihan dimana kerbau diikat pada batu “simbuang batu” yang tertancap di tanah. Kerbau disembelih bukan oleh orang sembarangan tapi yang memiliki

“kesaktian” karena kerbau harus mati hanya dengan sekali tebasan parang si Penyembelih. Beberapa pengalaman buruk pernah terjadi, kerbau yang disembelih tidak langsung terkapar bahkan mengamuk dan menyerang para pengunjung. Jika hal tersebut terjadi, maka dianggap sebuah aib dan biasanya si Penyembelih harus menanggung resiko dari kerabat almarhum dimana resiko tersebut bisa berujung pada kematian.


(17)

5. Penguburan : Penurunan jenazah dari tongkonan dan menggotong jenazah ketempat peristirahatan terakhir (ma’palao). Iring-iringan yang sama pada saat pemindahan jenazah dari rumah ke tongkonan juga terjadi di sini, ditambah dengan atraksi adu kaki (sisemba’) hingga sampai ke tempat pemakaman. Tempat pemakaman ada 2 (dua) jenis yaitu di gua-gua liang yang terdapat di tebing-tebing dan patane’ (kuburan dari kayu/ semen berbentuk rumah adat). Masing-masing kelompok kerabat memiliki lokasi pemakaman yang tidak boleh sembarang orang menggunakannya karena hal ini juga terkait dengan status sosial kelompok kerabat yang ada. Lokasi tebing menandakan bersatunya/ berkumpulnya tulang-tulang para kerabat di satu tempat. Menurut falsafah ajaran Aluk Todolo bahwa manusia itu sama saja pada waktu hidup dan matinya, jika semasa hidup berkumpul di rumah Tongkonan maka setelah mati berkumpul tulang belulang di dalam satu Liang atau Kuburan. Semakin tinggi gua/liang maka akan semakin mudah menggapai nirwana. Bagi bangsawan dalam kelompok kekerabatan, dibuatkan patane’ agar tidak bercampur dengan strata sosial yang dibawahnya. Di

patane’ tersebut hanya boleh ada 2 (dua) jenazah yaitu sepasang suami isteri. 6. Setelah prosesi penguburan selesai maka tiba waktu para kerabat untuk mengucap syukur pada sang pencipta sebagai tanda bahwa rangkaian acara telah berakhir.

3.2.2 Dinamika Penyelenggaraan

Kemeriahan pesta dapat dilihat dari berapa lama pesta diselenggarakan, areal pelaksanaan acara dan berapa banyak

jumlah hewan yang dikorbankan. Segala macam


(18)

alam keabadian. Semakin banyak binatang (kerbau & babi) disembelih, semakin baik dan lancar perjalanan arwah. Selain itu, semakin lama pesta dilaksanakan serta banyaknya hewan yang dikorbankan, juga menandakan semakin tinggi status sosial si arwah beserta keluarga intinya.

Perbedaan status sosial masyarakat setempat mengacu pada tingkatan masyarakat adat Toraja. Berikut stratifikasi sosial masyarakat adat Toraja dari yang terendah hingga tertinggi dalam pelaksanaan rambu solo’ :

1. Dipasang Bongi : Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam 1 hari saja. Hewan yang disembelih biasanya hanya babi dengan jumlah kurang dari sepuluh ekor.

2. Dipatallung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama 3 hari dan dilaksanakan di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Hewan yang disembelih adalah kerbau (tidak ada juga tidak masalah) dan babi dalam jumlah yang tidak banyak.

3. Dipalimang Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama 5 hari dan dilaksanakan di sekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan dengan jumlah kerbau yang disembelih 8 ekor ditambah 50 ekor babi.

4. Dipapitung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama 7 hari yang diselenggarakan di lapangan dan setiap harinya dilakukan pemotongan hewan dengan jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor ditambah dengan puluhan hingga ratusan babi.

Namun demikian, stratifikasi sosial pada masyarakat adat Toraja tersebut mulai bergeser. Yang tadinya berdasarkan garis keturunan dan kedudukan


(19)

(keturunan bangsawan, tokoh adat/ penguasa atau hanya masyarakat biasa), kini seiring dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan, banyak masyarakat biasa yang memiliki kemapanan ekonomi bisa menyelenggarakan pesta rambu solo’

seperti kelas bangsawan. 3.3 Fungsi dan Peran Ternak

Kerbau (Bos bubalus) adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah satu etnis yang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, khususnya Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta transaksi.

Selain Kerbau, babi dan ayam menempati urutan berikutnya. Kerbau adalah satu binatang khas asli Asia, dan menjadi salah satu binatang penting dalam kebudayaan suku-suku di Asia. Di seluruh Asia Tenggara misalnya, kerbau yang lamban sangat diandalkan sebagai hewan penghela, terutama digunakan membajak dan mengangkut hasil bumi (Reid 1992). Di banyak tempat di Asia, kerbau seperti halnya gajah dan kuda juga berperan penting dalam usaha tani. Selain menjadi hewan penghela, kerbau juga menjadi daging konsumsi yang umum selain babi dan ayam.

Kerbau juga menjadi hewan utama dalam pesta dan upacara. Walaupun sudah jarang ditemukan praktik penyembelihan kerbau dalam pesta, diduga praktek di Toraja merupakan kebudayaan khas Asia yang masih tersisa.


(20)

Dibandingkan dengan babi atau ayam yang juga penting bagi orang Toraja, kerbau jauh lebih besar nilai sosialnya. Yang terutama adalah dalam usaha pertanian sawah dan ladang serta dalam ritual budaya rambu tuka’ dan rambu solo’ yang menjadi ciri masyarakat agraris Toraja. Baik dalam usaha pertanian maupun ritual budaya, kerbau menjadi alat transaksi yang sangat biasa. Selain sebagai alat transaksi dalam jual-beli tanah, kerbau terutama menjadi hewan korban pada pesta rambu tuka’ maupun rambu solo’. Laga kerbau pada pesta-pesta kematian merupakan daya tarik dan hiburan masyarakat.

Sedemikian pentingnya, di Toraja kerbau mendapat selain perlakuan istimewa, bahkan dengan rasa hormat tetapi juga beragam sebutan dan gelaran. Di Indonesia, populasi kerbau tersebar di sejumlah daerah. Namun, kerbau asal Toraja fisiknya jauh lebih besar, kekar dan gemuk di banding dengan kerbau di daerah lain di Indonesia. Yang terutama adalah warna yang membuatnya menjadi spesial.

Jika di tempat lain di Asia maupun di Indonesia, kerbau umumnya digunakan sebagai binatang penghela dan memenuhi kebutuhan daging, di Toraja kerbau justru tidak digunakan sebagai penghela. Kerbau biasanya diistirahatkan dalam kandang di bawah kolong rumah. Karenanya rumah tradisional Toraja yang berbentuk rumah panggung dikitari tiang-tiang sehingga membentuk kurungan. Di luar rumah ada juga tempat khusus untuk tempat beristirahat kerbau. Biasanya ditempatkan di dekat padang pengembalaan dengan sebutan bala. Sebuah bala

biasanya dikelilingi benteng yang ditanami bambu atau jenis tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pagar. Di dekat bala penduduk membuat kebun. Kotoran menjadi pupuk yang sangat baik untuk tanaman kebun. Air susu atau pangngandu’


(21)

menjadi minuman nikmat yang disajikan pada waktu makan. Kerbau dipakai untuk membajak sawah atau menggemburkan tanah. Perlakuan terhadap kerrbau sangat berbeda dengan di Bali dan Jawa di mana kerbau berperan penting dalam mengolah tanah pertanian.

Pengaruh kedekatan dengan kerbau yang berlangsung turun-temurun demikian dalam, sehingga alam pikiran orang Toraja begitu didominasi kerbau. Langgengnya tradisi kedekatan dengan kerbau ini ditopang oleh mitos seputar asal usul kerbau yang demikian berpengaruh terhadap benak pemikiran dan sikap orang Toraja pada kerbau.

3.3.1 Menakar Nilai Kerbau

Walaupun secara umum kerbau mempunyai nilai sosial tinggi, namun orang Toraja mempunyai cara menilai kerbau mereka. Tinggi rendahnya nilai kerbau tergantung pada mutu kerbau menurut penilaian yang berlaku umum, dan nampaknya sudah dipakai turun temurun sejak jaman nenek moyang. Penilaian ini juga berlaku bagi para pedagang kerbau saat ini dalam menentukan harga. Secara umum, orang Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit dan bulu, dan postur, serta tanda-tanda di badan. Mutu kerbau dapat dilihat dalam cara orang Toraja sendiri mengelompokkan kerbau berdasar jenis yang mereka kenal.

1. Berdasarkan Tanduk

Tanduk kerbau menentukan nilainya. Namun, peran tanduk bagi kerbau jantan lebih penting dibandingkan pada kerbau betina. Biasanya ukuran dan bentuk tanduk kerbau betina tidak terlalu diperhitungkan. Tidaklah demikian dengan kerbau jantan. Tanduk kerbau menjadi alat dekoratif yang bermakna dalam


(22)

masyarakat. Di rumah-rumah tongkonan tanduk kerbau disusun di depan rumah, sebagai simbol status seseorang atau tongkonan. Nilai satu kerbau muda ditentukan oleh pajang tanduknya. Semakin panjang maka semakin berharga. Harga otomatis akan turun bila terdapat cacat pada tanduknya, atau bentuknya tidak proporsional dengan badan kerbau. Ukuran ini dipakai dalam transaksi yang memakai kerbau. Umumnya, kerbau dipakai sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli tanah sawah atau kebun, gadai dan dalam pesta kematian.

Bentuk tanduk juga mempunyai arti penting dalam memberi nilai pada kerbau. Orang Toraja membedakan bentuk tanduk sebagai berikut:

1. tanduk tarangga yaitu tanduk yang keluar dan membentuk setengah lingkaran. Jenis ini sangat umum di Toraja. Untuk kerbau jantan, jenis ini sangat kuat dalam adu kerbau.

2. tanduk pampang yaitu tanduk yang keluar melebar dan cenderung panjang. Tanduk jenis ini biasanya terbentuk dari kerbau balian. Kerbau yang buah pelernya sengaja dilepas untuk memperindah tanduk.

3. tanduk sikki’ yaitu tanduk yang arahnya hampir sama dengan tarangga namun cenderung merapat bahkan ujungnya nyaris bertemu.

4. tanduk sokko yaitu tanduk yang arahnya turun ke bawah dan hampir bertemu di bawah leher. Dengan warna tertentu nilainya menjadi sangat mahal.

5. Tekken Langi’ yakni tanduk yang mengarah secara berlawanan arah, satu ke bawah dan satu ke atas.

2. Berdasarkan Warna

Selain bentuk dan ukuran tanduk, kesempurnaan seekor kerbau ditentukan oleh warnanya. Warna juga menentukan nilai kerbau. Secara garis besar,


(23)

masyarakat Toraja mengenal tiga kategori warna berikut variasinya: bonga, puduk, dan sambao’. Dari tiga kategori ini masih terdapat variasi warna. Yang pertama mempunyai nilai relatif mahal, menyusul kedua dan ketiga.

(1) Bonga

Bonga adalah kerbau yang berwarna kombinasi hitam dan putih, diangap paling cantik, harganya puluhan sampai ratusan juta. Kerbau juga dapat ditemukan di masyarakat TO Bada, Sulawesi Tengah, Sumba, Flores, Roti dan Timor (Nooy-Palm, 1979). Namun secara proporsional sangat jarang. Di Toraja sendiri jenis ini sangat jarang. Kelahiran kerbau belang bagi pemiliknya merupakan suatu berkah. Upaya untuk perkawinan silang pun jarang sekali berhasil. Jadi kelahiran bonga sangat kebetulan. Satu kerbau bonga biasanya dinilai antara 10 hingga 20 kerbau hitam. Bonga memiliki beberapa variasi dari segi kombinasi warna dan tanda-tandanya.

(2) Pudu

Pudu’ umumnya berbadan kekar dan warna hitam. Kerbau jenis ini sangat kuat dalam bertarung. Pada acara adu kerbau pada pesta kematian, kerbau puduk umumnya tampil sebagai petarung yang kuat. Harganya biasanya setengah dari harga bonga.

(3) Sambao

Jenis ini adalah yang paling kurang nilainya. Warnanya abu-abu bahkan kecoklatan hampir mendekati warna sapi. Sambao’ adalah kerbau yang warnanya abu-abu dianggap paling murah nilainya.

Di Toraja ada dua pasar ternak, yakni pasar Makale dan pasar Bolu. Dahulu kala, pasar Bolu yang berada di Kecamatan Rantepao, lebih dikenal dengan nama


(24)

pasar Kalambe’. Walaupun tidak identik lagi sebagai pasar kerbau, di salah satu bagian pasar, disediakan pasar ternak, babi dan kerbau. Pasar hewan di Makale hanya untuk babi, jadilah pasar Bolu sebagai satu-satunya pasar resmi untuk kerbau di Kabupaten Toraja.

Kerbau Toraja lebih besar dan lebih gemuk di banding kerbau lain yang ditemukan di wilayah lain di Indonesia, khususnya warna yang membuat kerbau itu menjadi sangat spesial. Di pasar Bolu, para pedagang kerbau ”memarkir” kerbau dagangan di lots-lots yang dibangun oleh Pemda setempat.

3.4 Pelestarian Budaya dan Plasmanutfah Ternak

Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang tersebar dari sabang sampai merauke,. Kebudayaan yang terbentuk di kehidupan masyarakat Tana Toraja berkembang hingga dewasa ini. Melestarikan pesta adat rambu solo’ sebagai warisan yang sarat oleh nilai-nilai budaya ternyata membawa dampak dan pengaruh yang luar biasa bagi tatanan hidup masyarakat Tana Toraja. Dari segi positif jelas memberikan keragaman budaya yang ada di Nusantara dan juga mendapatkan nilai lebih dalam meningkatkan pendapatan daerah serta mendatangkan devisa karena bayak wisatawan baik lokal ataupun internasional.

Pesta rambu solo’ hingga saat ini masih exis keberadaannya disebabkan karena seluruh lapisan masyarakatnya masih menjunjung tinggi dan memegang teguh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mereka menyakini bahwa pesta ini adalah sakral karena terkait dengan “kebahagiaan” leluhur mereka di alam puya’. Selain karena nilai-nilai kesakralan tersebut, rambu solo’ juga dianggap sebagai pemersatu kelompok kerabat yang kini mulai terpencar karena berbagai penyebab. Faktor ekonomi dan pendidikan merupakan alasan sebagian


(25)

masyarakat Toraja pergi meninggalkan kampung halaman. Tapi bukan berarti bahwa mereka akan melepaskan diri dari identitas sebagai orang Toraja. Atribut-atribut sosial-budaya yang membedakan identitas mereka sebagai suku Toraja dengan kelompok lainnya tetap mereka pelihara.

Rambu solo’ merupakan atribut yang menjadi penyebab besar masyarakat Toraja untuk tetap datang kembali, sesukses atau sepahit apapun keadaan mereka di luar sana. Bahkan banyak orang Toraja yang sukses di luar kemudian kembali untuk membangun daerah mereka. Masyarakat Toraja juga meyakini bahwa selain sebagai wadah silaturahmi berfungsi memperat hubungan antar sesama, rambu solo’ adalah moment untuk memberikan persembahan/ hadiah kepada kerabat yang berduka agar mereka mendapatkan rezeki yang juga berlimpah sebab jika mereka berusaha menghindar maka musibah/ bencana akan terjadi sebagai kutukan dari leluhur mereka.

Saat ini, sebagian besar dari masyarakat Toraja telah memiliki agama & keyakinan sehingga pemahaman terhadap hidup dan kematianpun kini telah berubah (meskipun dalam pelaksanaan proses pemakaman tetap saja sulit untuk meninggalkan tradisi rambu solo’, terlebih bagi mereka yang berdarah bangsawan). Keberagaman agama di Tana Toraja (mayoritas Kristen Protestan, Katolik, Advent dan yang terkecil adalah Islam) tidak berarti bahwa tradisi rambu solo’ dapat bergeser. Bahkan dengan adanya rambu solo’ kekuatan hubungan serta toleransi beragama dapat berjalan dengan sangat baik.

Salah satu tanda betapa besarnya sifat toleransi mereka adalah banyaknya Rumah Tangga yang terdiri dari berbagai agama ; Ayah, Ibu dan Anak-anak berbeda agama adalah hal yang biasa dan diperbolehkan. Mereka tidak merasa


(26)

berdosa karena menganggap bahwa pada dasarnya mereka adalah satu keluarga, semua agama adalah sama yaitu memuja satu Tuhan, hanya teknis pelaksanaan ibadah saja yang berbeda.

Ternak kerbau sebagai peran utama dalam acara rambu solo’ menempatkan nilai ekonomis yang tinggi dibanding dengan ternak yang lain. Penilaian postif dan negatif pasti akan muncul dari kalangan umum atau luar dalam menyikapi kegiatan rambu solo’. Para peternak di daerah Tana Toraja cenderung lebih banyak berternak kerbau dari pada ternak yang lainnya.

Upaya yang dilakukan baik peternak atau pun intansi dalam melestarikan ternak kerbau adalah salah satunya memilki pembudidayaan ternak. Atau lebih dikenal dengan penerapan Sapta Usaha ternak. Yaitu kemampuan peternak dalam hal: 1) Pembibitan, 2) Reproduksi, 3) tata laksana pemeliharaan, 4) Pakan, 5) kesehatan dan penyakit, 6) Perkandangan, dan 7) pasca panen dan pemasaran.


(27)

BAB IV KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut :

1. Fungsi dan peran ternak kerbau memberikan tempat tertinggi dari ternak lain. Selain fungsi dan peran sebagai ternak yang dekat dengan manusia dengan mebajak sawah dan penyumbang protein dalam daging serta menjadi alat transaksi dalam perkawinan, dalam pewarisan, dan dalam pesta kematian.

2. Kepemilikan kerbau menjadi salah satu simbol dalam kehidupan masyarakat Tana Toraja dan menempatkan dalam status sosial.

3. Pelestarian budaya dapat dilakukan dengan melaksanakan tradisi-tradisi yang ada dan didukung oleh pihak-pihak yang merasa bahwa ini merupakan warisan dari leluhur / nenek moyang.

4. Plasmanutfah pada kerbau dapat terus berlanjut jika tradisi rambo solo


(28)

DAFTAR PUSTAKA

Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dwiyanto, K. dan E. Hardiwirawan. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usha Ternak Kerbau Mendikung Program Kecukupan Daging Sapi. Balitbang Deptan Puslitbangnak bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan DijenNak, Dispet Provinsi NTB dan Pemda Kab. Sumbawa. Sumbawa 4-5 Agustus 2006

El Nahas, S.M., H.A de Honar and J.E. Womack. 2001. Current Status of the River Buffalo (Bubalus Bubalis) Gene Map. Journar of the American Genetic Association Vol. 92:221-225

Hardjosubroto, W. 2006. Kerbau Mutiara yang Dilupakan. Orasi Purna Tugas. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Hendrik Th. Chabot.1982. Bontormba, sebuah Desa Goa Sulawesi Selatan. dalam Kutjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Editor, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

http://www.torajacybernews.com/2010/01/kerbau-sebagai-simbol-status-sosial.html diunduh pada tanggal 10 September 2010

http://www.torajacybernews.com/2009/11/kerbau-dalam-tradisi-orang-toraja.html

di unduh pada tanggal 10 September 2010

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Mahadevan, P. 1992. Distrbution, ecology and Adaptation in World Animal Science (Buffalo Production). Editor by W. Ross Cockrill. FAO. Rome Ritzer G, Goodman DJ. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

Group.

Matullada. 1971. Kebudayaan-Makasar. dalam Kuntjaraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,Cetakan Kedua puluh. Jakarta: Penerbit Djambatan

Soekanto, Soerjono, 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada.


(29)

(1)

pasar Kalambe’. Walaupun tidak identik lagi sebagai pasar kerbau, di salah satu bagian pasar, disediakan pasar ternak, babi dan kerbau. Pasar hewan di Makale hanya untuk babi, jadilah pasar Bolu sebagai satu-satunya pasar resmi untuk kerbau di Kabupaten Toraja.

Kerbau Toraja lebih besar dan lebih gemuk di banding kerbau lain yang ditemukan di wilayah lain di Indonesia, khususnya warna yang membuat kerbau itu menjadi sangat spesial. Di pasar Bolu, para pedagang kerbau ”memarkir” kerbau dagangan di lots-lots yang dibangun oleh Pemda setempat.

3.4 Pelestarian Budaya dan Plasmanutfah Ternak

Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang tersebar dari sabang sampai merauke,. Kebudayaan yang terbentuk di kehidupan masyarakat Tana Toraja berkembang hingga dewasa ini. Melestarikan pesta adat rambu solo’ sebagai warisan yang sarat oleh nilai-nilai budaya ternyata membawa dampak dan pengaruh yang luar biasa bagi tatanan hidup masyarakat Tana Toraja. Dari segi positif jelas memberikan keragaman budaya yang ada di Nusantara dan juga mendapatkan nilai lebih dalam meningkatkan pendapatan daerah serta mendatangkan devisa karena bayak wisatawan baik lokal ataupun internasional.

Pesta rambu solo’ hingga saat ini masih exis keberadaannya disebabkan karena seluruh lapisan masyarakatnya masih menjunjung tinggi dan memegang teguh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mereka menyakini bahwa pesta ini adalah sakral karena terkait dengan “kebahagiaan” leluhur mereka di alam puya’. Selain karena nilai-nilai kesakralan tersebut, rambu solo’ juga dianggap sebagai pemersatu kelompok kerabat yang kini mulai terpencar karena berbagai penyebab. Faktor ekonomi dan pendidikan merupakan alasan sebagian


(2)

masyarakat Toraja pergi meninggalkan kampung halaman. Tapi bukan berarti bahwa mereka akan melepaskan diri dari identitas sebagai orang Toraja. Atribut-atribut sosial-budaya yang membedakan identitas mereka sebagai suku Toraja dengan kelompok lainnya tetap mereka pelihara.

Rambu solo’ merupakan atribut yang menjadi penyebab besar masyarakat Toraja untuk tetap datang kembali, sesukses atau sepahit apapun keadaan mereka di luar sana. Bahkan banyak orang Toraja yang sukses di luar kemudian kembali untuk membangun daerah mereka. Masyarakat Toraja juga meyakini bahwa selain sebagai wadah silaturahmi berfungsi memperat hubungan antar sesama, rambu solo’ adalah moment untuk memberikan persembahan/ hadiah kepada kerabat yang berduka agar mereka mendapatkan rezeki yang juga berlimpah sebab jika mereka berusaha menghindar maka musibah/ bencana akan terjadi sebagai kutukan dari leluhur mereka.

Saat ini, sebagian besar dari masyarakat Toraja telah memiliki agama & keyakinan sehingga pemahaman terhadap hidup dan kematianpun kini telah berubah (meskipun dalam pelaksanaan proses pemakaman tetap saja sulit untuk meninggalkan tradisi rambu solo’, terlebih bagi mereka yang berdarah bangsawan). Keberagaman agama di Tana Toraja (mayoritas Kristen Protestan, Katolik, Advent dan yang terkecil adalah Islam) tidak berarti bahwa tradisi rambu solo’ dapat bergeser. Bahkan dengan adanya rambu solo’ kekuatan hubungan serta toleransi beragama dapat berjalan dengan sangat baik.

Salah satu tanda betapa besarnya sifat toleransi mereka adalah banyaknya Rumah Tangga yang terdiri dari berbagai agama ; Ayah, Ibu dan Anak-anak berbeda agama adalah hal yang biasa dan diperbolehkan. Mereka tidak merasa


(3)

berdosa karena menganggap bahwa pada dasarnya mereka adalah satu keluarga, semua agama adalah sama yaitu memuja satu Tuhan, hanya teknis pelaksanaan ibadah saja yang berbeda.

Ternak kerbau sebagai peran utama dalam acara rambu solo’ menempatkan nilai ekonomis yang tinggi dibanding dengan ternak yang lain. Penilaian postif dan negatif pasti akan muncul dari kalangan umum atau luar dalam menyikapi kegiatan rambu solo’. Para peternak di daerah Tana Toraja cenderung lebih banyak berternak kerbau dari pada ternak yang lainnya.

Upaya yang dilakukan baik peternak atau pun intansi dalam melestarikan ternak kerbau adalah salah satunya memilki pembudidayaan ternak. Atau lebih dikenal dengan penerapan Sapta Usaha ternak. Yaitu kemampuan peternak dalam hal: 1) Pembibitan, 2) Reproduksi, 3) tata laksana pemeliharaan, 4) Pakan, 5) kesehatan dan penyakit, 6) Perkandangan, dan 7) pasca panen dan pemasaran.


(4)

BAB IV KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut :

1. Fungsi dan peran ternak kerbau memberikan tempat tertinggi dari ternak lain. Selain fungsi dan peran sebagai ternak yang dekat dengan manusia dengan mebajak sawah dan penyumbang protein dalam daging serta menjadi alat transaksi dalam perkawinan, dalam pewarisan, dan dalam pesta kematian.

2. Kepemilikan kerbau menjadi salah satu simbol dalam kehidupan masyarakat Tana Toraja dan menempatkan dalam status sosial.

3. Pelestarian budaya dapat dilakukan dengan melaksanakan tradisi-tradisi yang ada dan didukung oleh pihak-pihak yang merasa bahwa ini merupakan warisan dari leluhur / nenek moyang.

4. Plasmanutfah pada kerbau dapat terus berlanjut jika tradisi rambo solo tetap dilaksanakan di kehidupan masyarakat Tana Toraja.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dwiyanto, K. dan E. Hardiwirawan. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usha Ternak Kerbau Mendikung Program Kecukupan Daging Sapi. Balitbang Deptan Puslitbangnak bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan DijenNak, Dispet Provinsi NTB dan Pemda Kab. Sumbawa. Sumbawa 4-5 Agustus 2006

El Nahas, S.M., H.A de Honar and J.E. Womack. 2001. Current Status of the River Buffalo (Bubalus Bubalis) Gene Map. Journar of the American Genetic Association Vol. 92:221-225

Hardjosubroto, W. 2006. Kerbau Mutiara yang Dilupakan. Orasi Purna Tugas. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Hendrik Th. Chabot.1982. Bontormba, sebuah Desa Goa Sulawesi Selatan. dalam Kutjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Editor, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

http://www.torajacybernews.com/2010/01/kerbau-sebagai-simbol-status-sosial.html diunduh pada tanggal 10 September 2010

http://www.torajacybernews.com/2009/11/kerbau-dalam-tradisi-orang-toraja.html di unduh pada tanggal 10 September 2010

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Mahadevan, P. 1992. Distrbution, ecology and Adaptation in World Animal Science (Buffalo Production). Editor by W. Ross Cockrill. FAO. Rome Ritzer G, Goodman DJ. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

Group.

Matullada. 1971. Kebudayaan-Makasar. dalam Kuntjaraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,Cetakan Kedua puluh. Jakarta: Penerbit Djambatan

Soekanto, Soerjono, 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada.


(6)