Nasib Kehidupan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi Seiring Perkembangan
Zaman Berkaitan dengan Implementasi Nilai Pancasila dalam Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
1
Suci Varista Sury 13513100
1
Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UII
ABSTRAK
Krisis kehidupan yang mengancam orang rimba tak bisa dihindari seiring dengan sulitnya mendapatkan sumber makanan dan air bersih di hutan akibat kerusakan hutan dan
meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri HTI. Dalam Kompas.com 842015 Kasus kematian beruntun di komunitas Orang rimba dinilai sebagai
bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Negara tidak hadir pada saat ada kebutuhan warganya atas perlindungan hidup, kesehatan, pendidikan, dan budaya. Sejak Januari hingga
April 2015, kematian warga selama masa melangun di wilayah Terab, Kabupaten Sarolangun- Batanghari, Jambi, sudah mencapai 14 jiwa. Terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila seperti diatas yang telah dilanggar atas kehidupan masyrakat Suku Anak Dalam, seperti yang telah dikatakan Komnas HAM, ada enam pelanggaran atas hak-hak dasar Orang rimba
yang diakui secara universal. Implementasi nilai-nilai pancasila di Indonesia menjadi dipertanyakan keseriusannya.
Kata Kunci : Suku Anak Dalam; Kematian berturut-turut; Alih fungsi lahan; Nilai Pancasila;
I. Pendahuluan
Menurut Viva.co.id 1332015 Keberadaan orang rimba atau Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi semakin
memprihatinkan dan terdesak. Pilihan untuk hidup nomaden di hutan membuat kehidupan mereka belakangan ini semakin terancam. Orang rimba di daerah
jambi sering banyak yang sakit dan meninggal di hutan akibat krisis pangan, air bersih dan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Krisis kehidupan yang
mengancam orang rimba tak bisa dihindari seiring dengan sulitnya mendapatkan sumber makanan dan air bersih di hutan akibat kerusakan hutan
dan meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri HTI.
Hutan belantara Jambi itu kini sudah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit berskala nasional. Selama ini, mereka masih bertahan hidup di pinggir
hutan dengan menjual hasil hutan seperti rotan dan damar untuk keperluan makan. Bisa juga hasil hutan itu mereka tukarkan langsung dengan makanan ke
masyarakat lain di perkampungan terdekat. Akan tetapi, saat ini hasil hutan sudah tidak ada lagi.
Asisten Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Sukmareni, mengatakan, sejak Januari hingga April 2015, kematian warga selama masa
melangun di wilayah Terab, Kabupaten Sarolangun-Batanghari, Jambi, sudah mencapai 14 jiwa. Sejak sebulan terakhir, jumlah pasien Orang rimba yang
dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Hamba sebanyak 26 orang. Mayoritas pasien mengalami diagnosis demam 17 orang dan bronkopneumonia 15 pasien.
Selebihnya, ada pasien yang menderita anemia, disentri, dan demam. Sebagian besar pasien ini adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Dari 13 warga
meninggal selama masa melangun, delapan di antaranya anak balita. Sisanya berusia 50 tahun ke atas Kompas.com, 842015.
Dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini, kematian beruntun menimpa Orang rimba. Sudah 11 jiwa Orang rimba di bagian timur Taman Nasional
Bukit Duabelas TNBD Jambi meninggal dunia. Kesebelas Orang rimba ini terdapat di tiga kelompok Orang rimba yang berjumlah 150 orang, yaitu
Kelompok Terap yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Kelompok Serenggam yang di pimpin Tumenggung Nyenong, Kematian
beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari dengan enam kasus kematian yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa Mongabay.co.id,
1032015. Dalam Kompas.com 842015 Kasus kematian beruntun di komunitas
Orang rimba dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Negara tidak hadir pada saat ada kebutuhan warganya atas perlindungan hidup,
kesehatan, pendidikan, dan budaya. Demam dan batuk banyak menjangkiti kelompok Orang rimba, khususnya anak-anak, di sekitar Taman Nasional
Bukit Duabelas, Jambi, Rabu 43. Kondisi anak yang umumnya bergizi buruk itu memicu kerentanan terhadap penyakit dalam tubuh mereka. Penanganan
medis dan pasokan bahan makanan mendesak diberikan bagi kelompok masyarakat ini.
Dalam adat dan budaya Orang rimba setiap kematian yang menimpa anggota kelompoknya mengharuskan mereka untuk berpindah tempat hidup.
Ketika terjadi kematian mereka melakukan melangun, ritual adat yang dijalankan untuk mengekspresikan kesedihan, membuang sial ketika ada
kematian dengan pergi jauh meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang cukup lama. Biasanya mereka akan mengambil jalan melingkar
untuk suatu saat nanti mereka bisa kembali ke tempat semula mereka tinggal yaitu di Sungai Terap bagian timur Taman Nasional Bukit Dua Belas, tepatnya
di sekitar PT EMAL perkebunan kelapa sawit dan HTI Wana Perintis. Akan tetapi karena kematiannya beruntun, menyebabkan mereka ketakutan dan panik
Merdeka.com, 842015. Antropolog Orang rimba Robert Aritonang mengatakan, dengan kasus
kematian ini, pengelanaan Orang rimba kembali ke Sungai Terap sebagai titik awal jelajah mereka. Masa melangun itu disebut sebagai pengelanaan paling
singkat yang pernah mereka lakukan, yaitu sembilan kali melangun hanya dalam rentang tiga bulan. Dalam kehidupan normal Orang rimba, pengelanaan
biasanya satu kali dalam setahun dan berakhir sekitar tiga tahun kemudian. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap Orang rimba khususnya dalam
bidang kesehatannya ini diakui Kaswendi, Kepala Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi,
disebabkan Dinas Kesehatan sebagai pelayanan tidak memiliki kewenangan lebih untuk mengeluarkan kebijakan, khususnya kemudahan khusus bagi
Orang rimba Beritasatu.com, 3132015.
II. Pembahasan